Disusun Oleh :
Budi Susetyo,dkk
2005
1.
1. Judul Penelitian :
1.
1. Latar Belakang
1.
1. Perumusan masalah
1.
1. Cara Pemecahan Masalah
Untuk lebih jelasnya, maka desain inovasi yang digunakan dalam pembelajaran
dapat dilihat pada bagian di bawah ini :
Analiss hasil praktek 2 dari perekaman audio visual dan diskusi dalam rangka
perbaikan praktek berikutnya
Analisis hasil praktek 1 dari perekaman audio visual dan diskusi dalam rangka
perbaikan praktek
1. Tujuan Penelitian
1. Kontribusi/Manfaat Penelitian
1. Tinjauan Pustaka
Belajar adalah kegiatan para siswa, baik dengan bimbingan guru atau
dengan usaha sendiri. Pendidik berusaha membantu agar siswa belajar lebih
terarah, cepat, lancer, dan berhasil baik. Atau istilah lain dengan
membelajarkan siswa. Pembelajaran agar berhasil perlu dilaksanakan
ssistematis, secara bulat dengan mempertimbangkan segala aspek.
Ada beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar
mengajar pada anak tunarungu yaitu :
1. Prinsip Bimbingan
1. Prinsip Pengayaan
Dalam metodologi ada dua aspek yang paling menonjol, yaitu metode mengajar
dan media pengajaran sebagai alat bantu mengajar. Sedangkan penilaian adalh
alat untuk mengukur atau menentukan taraf tercapai tidaknya suatu tujuan
pengajaran.
Siswa
Tujuan
Dalam praktek pembelajaran sebenarnya tidak ada pola yang kaku antar
komponen pembelajaran. Pola kombinasi yang lengkap dapat digambarkan sebagai
berikut :
Salah satu gambar yang paling banyak dijadikan acuan sebagai landasan teori
penggunaan media dalam proses belajar adalah Dale’s Cone of Experience (Kerucut
Pengalaman dale). Kerucut ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga
tigkatan pengalaman yang dikemukakan oleh bruner. Hasil belajar seseorang
diperoleh mulai dari pengalaman langsung (konkret), kenyataan yang ada di
lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan sampai kepada
lambing verbal (abstrak). Semakin diatas puncak kerucut semakin abstrak media
penyampai pesan itu. Perlu dicatat bahwa urut – urutan ini tidak berarti prosesw
belajar dan interaksi mengajar belajar harus selalu dimulai dari pengalaman
langsung, tetapi dimulai dengan jenis pengalaman yang paling sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi mempertimbangkan
situasi belajarnya.
1.
1. Penggunaan Komputer dalam Pembelajaran
1.
1. Multimedia dalam pembelajaran bicara
1.
1. Tunarungu dan permasalahannya
1. Pengertian
1. Karakteristik Tunarungu
1. Intelegensi
Karakteristik dalam segi intelegensi, secara potensial tidak berbeda
dengan anak normal pada umumnya; ada yang pandai, sedang, dan bodoh.
Namun demikian secara fungsional intelegensi mereka berada di bawah anak
normal. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam memahami bahasa.
Tunarungu dalam segi bahasa dan bicara mengalami hambatan, hal ini
disebabkan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan bicara denagn
ketajaman pendengaran, mengingat bahasa dan bicara merupakan hasil dari
proses peniruan. Sehingga tunarungu dalam segi bahasa yang dimiliki ciri yang
khas yaitu sangat terbatas dalam kosa kata, sulit mengartikan arti kiasan, kata
– kata yang abstrak.
1. Media oral
1. Media Isyarat
Untuk menentukan metode yang efektif bagi tunarungu, langkah yang pertama
adalah memahami segala karakteristik tunarungu terutama dalam segi bahasa
dan langkah yang kedua adalah ciri khas tunarungu adalah visual/pemata.
Dalam pembelajaran tidak perlu menggunakan kata – kata yang sulit untuk
dipahami tunarungu, apalagi menggunakan kata yang abstrak, tetapi
menggunakan kata – kata yang singkat, jelas dan nyata (jika memungkinkan).
Dalam proses pembelajaran segala sesuatu yang diucapkan guru atau
diisyaratkan harus berada di jangkauan mata (dapat dilihat) tuanrungu, jika
tidak dapat dilihat oleh anak tunarungu maka pembelajaran tidak ada
manfaatnya.
1. Hipotesis Tindakan
1. Setting penelitian
1. Variabel
1. Rencana Tindakan
1. Perencanaan
Rencana yang telah disusun dicobakan sesuai dengan langkah yang telah
dibuat yaitu proses perbaikan konsonan S pada anak Tunarungu.
1. Pengumpulan Data
1. Indikator kinerja
Sebagai tolak ukur keberhasilan bagi mahasiswa yaitu anak tunarungu dapat
mengucapkan konsonan S. Indikator ini merupakan tempat dari rencana yang
telah dibuat dan imlikasinya dalam rangka memperbaiki konsonan S pada anak
Tunarungu.
1. Personalia Penelitian
1. Ketua peneliti :
ABSTRAK
Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Media Pembelajaran Kartu Domino
Pada Siswa Kelas VII Di SMP Negeri I Purwodadi
Kec. Purwodadi Kab. Pasuruan
Tahun Pelajaran 2007/2008
BAB I
PENDAHULUAN
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/pendidikan-matematika/pembelajaran-
matematika-menggunakan-media-pembelajaran-kartu-domino-pada-siswa-kelas-vii-
Digg this post Bookmark to delicious Stumble the post Add to your technorati favourite
Subscribes to this post
« TIK sebagai Bagian Budaya Para Pendidik
20 Sikap
BAB I
PENDAHULUAN
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut : Apakah penggunaan media pembelajaran kartu kata dapat
meningkatkan prestasi belajar membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas II SLB
Negeri X Kabupaten X?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas
penggunaan media pembelajaran kartu kata dalam meningkatkan prestasi belajar
membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas II SLB Negeri X Kabupaten X
D. Manfaat Penelitian
Ada beberapa hal yang dapat diambil manfaat dari penelitian ini, adalah :
1. Manfaat Teoritis.
Hasil dari penelitian tindakan kelas ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber acuan
dan referensi bagi penelitian tindakan kelas lain atau berikutnya.
2. Manfaat Praktis.
a. Bagi anak
Dengan penggunaan media pembelajaran kartu kata diharapkan dapat mengatasi
permasalahan anak tunagrahita ringan dalam pembelajaran membaca permulaan.
b. Bagi Guru.
Kegiatan penelitian tindakan kelas ini akan melatih penulis sekaligus guru kelas dalam
memecahkan permasalahan dan meningkatkan pembelajaran serta mencari strategi
pembelajaran membaca permulaan yang tepat.
c. Bagi Sekolah
Hasil dari penelitian tindakan kelas ini dapat dikembangkan dan menjadi pedoman bagi
pihak sekolah dalam menyusun strategi pembelajaran yang lainnya.
Oleh:
SUPRIYATI
SLB NEGRI PELAMBUAN
BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN 2010
Judul Meningkatkan Pemahaman Tentang Pengukuran Berat Melalui Model
Berjual-beli Pada Siswa Tunagrahita Ringan Kelas V di SLB Negri
Pelambuan Banjarmasin
Peneliti Supriyati
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Standar kompetensi dan kompertensi dasar Sekolah Dasar Luar Biasa
Tunagrahita Ringan ( SDLB-C ) tahun 2006, mata pelajaran matematika diberikan
untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut
diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh,
mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang
selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran
matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah
terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara
penyelesaian untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu
dikembangkan ketrampilan memahami masalah, menyelesaikan masalah, dan
menafsirkan solusinya.
Materi pembelajaran matematika tunagrahita ringan kelas V standar
kompetensi pengukuran, kompetensi dasar melakukan pengukuran berat dengan
satuan kilogram erat kaitanya dengan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.
Anak Tunagrahita Ringan adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah
rata-rata anak normal, menurut Suparlan (1983:29) yaitu sebagai berikut” Anak
Tunagrahita ringan disebut juga anak Debil yaitu anak yang keadaanya lebih
ringan dibanding anak Embisil yang tingkat kecerdasanya/IQ 25-50, sedang anak
Tunagrahita Ringan memiliki tingkat kecerdasan/IQ 50/55-70/75.” Dari
pengertian tersebut dapat dikatakan anak Tunagrahita Ringan mengalami
keterbelakangan mental sehingga dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-
hari mengalami hambatan terutama daya ingat, penalaran, dan penerapan. Materi
pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah pengukuran khususnya
pengukuran berat memerlukan ingatan, penalaran dan ketrampilan dalam
menerapkan. Pada kenyataanya dalam pembelajaran anak tunagrahita ringan
sering mengalami kesulitan dalam mengingat tingkat satuan ukuran berat
( miligram, centigram, desigram, gram, dekagram, hektogram, kilogram ),
membedakan tingkatan satuan ukuran berat, menggunakan satuan ukuran berat
sesuai dengan jenis barang.
Dari permasalahan tersebut di atas diupayakan untuk mengatasi
permasalahan yang erat kaitanya dengan kehidupan sehari-hari yaitu masalah
pengukuran berat pada anak tunagrahita ringan kelas V melului model berjual-
beli, upaya ini diharapkan dapat mempermudah siswa mengingat, membedakan,
menggunakan satuan pengukuran berat sesuai dengan jenis barangnya. Karena
model berjual-beli ini penulis anggap pendekatan yang paling sesuai dengan
karakteristik anak tunagrahita ringan yang memerlukan pendekatan dengan
modeling. Model berjual-beli secara langsung anak akan mempraktekkan dengan
meniru model yaitu si penjual dan si pembeli, sehingga pembelajaran akan lebih
terkesan dan bermakna dalam ingatan anak yang akhirnya dalam menghadapi
masalah pengukuran berat dalam kehidupan sehari-hari akan terbantu. Dalam
pembelajaran siswa diarahkan pada situasi yang mendekati situasi yang
sebenarnya yaitu ada siswa yang berperan sebagai penjual dan ada siswa yang
berperan sebagai pembeli, barang- barang tiruan sebagai barang dagangan
ditentukan barang-barang yang diukur dengan satuan ukuran berat. Dengan model
berjual-beli anak akan secara langsung dapat menggunakan satuan pengukuran
berat.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka usaha untuk meningkatkan
tersebut dibatasi pada pengukuran berat kilogram, hektogram/ons dengan alat
timbangan duduk melalui model berjual-beli walaupun mungkin dapat digunakan
pengukuran , alat, dan model yang lain, sebab melalui model berjual-beli ini lebih
potensial untuk mencapai tujuan supaya terjadi peningkatan hasil belajar siswa.
E. Tujuan Penelitian
Sebagaimana permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tindakan
kelas ini bertujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang satuan pengukuran berat siswa
tunagrahita ringan kelas V di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.
2. Meningkatkan ketrampilan melakukan pengukuran berat pada siswa
tunagrahita ringan di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.
3. Meningkatkan kemampuan memecahkan soal cerita sederhana tentang
pengukuran berat siswa tunagrahita ringan di SLB Negri Pelambuan
Banjarmasin.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
siswa, guru, dan lembaga ( sekolah )
1. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan efektivitas dalam belajar
melakukan pengukuran berat, yang bermuara pada pengembangan
pengetahuan selanjutnya.
2. Bagi orang tua siswa, hasil penelitian ini dapat membantu meningkatkan
Ketrampilan siswa di rumah khususnya dalam menggunakan pengukuran
berat.
3. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
penelitian selanjutnya khususnya dalam pembelajaran pengukuran.
4. Bagi Kepala sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan
kebijakan pembelajaran melalui model berjual-beli khususnya pembelajaran
pengukuran mata pelajaran matematika siswa tunagrahita ringan kelas V di
SLB Negri Pelambuan Banjarmasin
G. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Tentang Anak Tunagrahita Ringan
Pengertian Anak Tunagrahita Ringan
Anak Tunagrahita Ringan menurut Bratanata S.A (1977:5)sebagai
berikut: “ Anak Tunagrahita Ringan adalah mereka yang masih punya
kemungkinan untuk memperoleh pendidikan dalam bidang membaca menulis
dan berhitung pada suatu tinggkat tertentu, biasanya hanya sampai tingkat kelas
IV SD serta mampu mempelajari ketrampilan-ketrampilan sederhana.”
Pengertian Anak Tunagrahita menurut Suparlan (1983:29) yaitu sebagai berikut
: “ Anak Tunagrahita ringan disebut juga anak Debil yaitu anak yang keadaanya
lebih ringan dibanding anak Embisil yang tingkat kecerdasanya / IQ 25-50,
sedangkan anak Tunagrahita Ringan memiliki tingkat kecerdasan /IQ 50/55-
70/75.”
Dari pengertian di atas, maka anak tunagrahita ringan adalah anak tungrahita
yang masih memiliki IQ 50/55-70/75, masih mempunyai potensi untuk
dikembangakan dalam bidang akademik seperti membaca, menulis dan
berhitung, penyesuaian sosial serta kemampuan kerja dalam bidang
ketrampilan yang dapat dijadikan hidup mandiri.
H. Hipotesis
Melalui model berjual-beli dapat meningkatkan kemampuan melakukan
pengukuran berat kilogran siswa tunagrahita ringan kelas V di SLB Negri
Pelambuan Banjarmasin.
I. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas
( PTK ) atau yang disebut dengan classroom action research. Yang nantinya akan
dilaksanakan atas empat rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam 3 siklus.
Suhardjono ( 2008:74) empat kegiatan itu antara lain: (a) perencanaan, (b) tindakan,
(c) pengamatan,
dan(d) refleksi. Adapun gambaran lokasi dan kegiatan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Setting
Penelitian ini dilaksanakan di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin kelas V
tunagrahita ringan yang jumlah siswanya ada 7 orang, 3 siswa laki-laki dan 3
siswa perempuan. Dalam pengumpulan data nantinya 6 siswa tunagrahita ringan
semua mendapat tindakan yang sama.
2. Sasaran Penelitian
Hal yang perlu diteliti adalah faktor melakukan pengukuran berat kilogran dalam
bidang studi matematika siswa tunagrahita ringan kelas V SLB Negri Pelambuan
Banjarmasin melalui model berjual-beli. Datanya adalah siswa tunagrahita ringan
kelas V SLB Negri Pelambuan Banjarmasin. Alat penggali data dengan cara tes
dan observasi.
3. Rencana Tindakan
Tindakan direncanakan akan dilaksanakan sebanyak 3 siklus yang setiap siklus
meliputi kegiatan
a. Perencanaan
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan ini antara lain adalah
1). Membuat rencana pembelajaran standar kompetensi menggunakan
pengukuran kompetensi dasar melakuan pengukuran berat kiligram.
2). Membuat lembar kerja siswa tentang melakukan pengukuran berat kilogram
3). Mempersiapkan alat yang mendukung pembelajaran, dalam hal ini adalah
timbangan duduk.
b. Pelaksanaan
Setiap siklus dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan sesuai dengan jadwal
Kegiatan
Siklus I
PBM I/ Pertemuan I
1). Pengenalan, pemahaman, dan penanaman konsep pengukuran berat .
2). Menyebutkan, mengingat satuan pengukuran berat
3). Menyebutkan beberapa macam barang yang diukur dengan kilogram.
PBM II/ Pertemuan II
Belajar melakukan pengukuran benda ( pasir sebagai tiruan gula ) dengan
satuan berat kilogram melalui model berjual-beli.
PBM III/ Pertemuan III
1). Belajar menyelesaikan soa-soal cerita sederhana berkenaan dengan
pengukuran berat kilogram.
2). Tes akhir siklus I
Siklus II
PBM I/ Pertemuan I
1). Pengenalan, pemahaman, dan penanaman konsep tingkatan satuan ukuran
berat.
2). Menyebutkan, mengingat satuan ukuran berat.
3). Menyebutkan beberapa macam barang yang diukur dengan hektogram/ons
PBMII/Petemuan II
Belajar melakukan pengukuran berat dengan satuan hektogram/ons melalui
model berjual-beli.
PBM III/ Pertemuan III
1). Belajar menyelesaikan soal-soal cerita sederhana tentang pengukuran berat
hektogram/ ons.
2). Tes akhir siklus II.
Siklus III
PBM I/ Pertemuan I
1). Pengenalan, pemahaman, dan penanaman konsep ukuran berat ½
kilogram(5 ons)
2). Mengingat dengan menyebutkan satuan ukuran berat ½ kilogram/5ons
3). Menyebutkan beberapa macam benda yang diukur dengan satuan ½
kilogram/5ons.
PBM II/ Pertemuan II
Belajar melakukan pengukuran berat ½ kilogram/5 ons melalui model berjual-
beli.
PBM III/ Pertemuan III
1). Belajar menyelesaikan soal-soal cerita sederhana tentang pengukuran berat
½ kilogram/5 ons.
2). Tes akhir siklus III.
4. Data dan cara pengambilanya.
a. Dengan pengamatan ( obserfasi ).
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara melibatkan
interaksi antara peneliti dengan pengamat selama penelitian berlangsung dan
dilakukan secara sistematis, peneliti harus bersikap dan berlaku yang wajar
tidak menampakkan sebagai peneliti.
b. Dengan tes
Tes digunakan untuk memperoleh data Subyek, adapun data ini adalah prestasi
belajar siswa.
5. Analisa data.
Data kuantitatif yang berupa skor hasil tes obyektif dianalisis, skor hasil tersebut
dicari rata-ratanya dari perhitungan jawaban benar, kemudian diprosentasikan
dan disimpulkan.
6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Waktu Kegiatan Keterangan
Minggu ke 1 Penyusunan dan penyempurnaan Konsultasi proposal
proposal
Minggu ke 1 Pelaksanaan penelitian siklus 1 Konsultasi dengan
Minggu ke 1 Pelaksanaan penelitian siklus II d0sen pembimbing
Minggu ke 1 Pelaksanaan penelitian siklus III
Penyusunan laporan penelitian
DAFTAR PUSTAKA
A. Permasalahan
Dalam pembelajaran matematika tentang pengukuran berat pada siswa tunagrahita
ringan kelas V di SLB Negeri Pelambuan mengalami kesulitan dalam memahami
tentang satuan ukuran berat seperti gram, hektogran/ons, kilogram dsb.
B. Judul
Meningkatkan Pemahaman Tentang Pengukuran Berat Melalui Model Berjual-beli
Pada Siswa Tunagrahita Ringan Kelas V di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin
C. Latar belakang
Materi pembelajaran matematika tunagrahita ringan kelas V standar kompetensi
pengukuran, kompetensi dasar melakukan pengukuran berat dengan satuan
kilogram erat kaitanya dengan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Anak
Tunagrahita Ringan adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata
anak normal, menurut Suparlan (1983:29) yaitu sebagai berikut” Anak Tunagrahita
ringan disebut juga anak Debil yaitu anak yang keadaanya lebih ringan dibanding
anak Embisil yang tingkat kecerdasanya/IQ 25-50, sedang anak Tunagrahita Ringan
memiliki tingkat kecerdasan/IQ 50/55-70/75.” Dari pengertian tersebut dapat
dikatakan anak Tunagrahita Ringan mengalami keterbelakangan mental sehingga
dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari mengalami hambatan terutama
daya ingat, penalaran, dan penerapan. Materi pembelajaran yang berhubungan
dengan masalah-masalah pengukuran khususnya pengukuran berat memerlukan
ingatan, penalaran dan ketrampilan dalam menerapkan.Untuk mempermudah anak
tunagrahita ringan dalam memahami satuan pengukuran berat direncanakan dalam
pembelajaran menggunakan model berjual-beli.Pembelajaran melalui model
berjual- beli nantinya semua siswa aktif melakukan kegiatan sesuai dengan
perannya, yaitu ada siswa yang berperan sebagai penjual dan ada siswa yang
berperan sebagai pembeli.
D. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang dapat diketahui permasalahan utamanya adalah:
Rendahnya pemahaman tentang pengukuran berat siswa tunagrahita ringan
kelas V di SLB Negeri Pelambuan , dari permasalahan tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tunagrahita ringan kelas V tentang
satuan pengukuran berat ?
2. Bagaimana siswa tunagrahita ringan kelas V dapat melakukan pengukuran
berat ?
3. Bagaimana siswa tunagrahita ringan kelas V dapat memecahkan soal cerita
sederhana tentang pengukuran berat ?
E. Batasan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka usaha untuk meningkatkan
tersebut dibatasi pada pengukuran berat kilogram, hektogram/ons dengan alat
timbangan duduk melalui model berjual-beli walaupun mungkin dapat digunakan
pengukuran , alat, dan model yang lain, sebab melalui model berjual-beli ini lebih
potensial untuk mencapai tujuan supaya terjadi peningkatan hasil belajar siswa.
G. Tujuan Penelitian
Sebagaimana permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tindakan kelas ini
bertujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang satuan pengukuran berat siswa
tunagrahita ringan kelas V di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.
2. Meningkatkan ketrampilan melakukan pengukuran berat pada siswa
tunagrahita ringan di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.
3. Meningkatkan kemampuan memecahkan soal cerita sederhana tentang
pengukuran berat siswa tunagrahita ringan di SLB Negri Pelambuan
Banjarmasin.
H. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
siswa, guru, dan lembaga ( sekolah )
1. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan efektivitas dalam belajar
melakukan pengukuran berat, yang bermuara pada pengembangan
pengetahuan selanjutnya.
2. Bagi orang tua siswa, hasil penelitian ini dapat membantu meningkatkan
ketrampilan siswa di rumah khususnya dalam menggunakan pengukuran
berat.
3. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
penelitian selanjutnya khususnya dalam pembelajaran pengukuran.
4. Bagi Kepala sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan
kebijakan pembelajaran melalui model berjual-beli khususnya pembelajaran
pengukuran mata pelajaran matematika siswa tunagrahita ringan kelas V di
SLB Negri Pelambuan Banjarmasin
Dalam proses penyajian materi, guru mengajar siswa ikut terlibat aktif dalam
proses pembelajaran dengan mengamati setiap gambar yang ditunjukan oleh guru atau
oleh temannya. Dalam pembelajaran bahasa Inggris atau bahasa Indonesia siswa dapat
mencerikan kronologi, jalan cerita atau maksud dari gambar yang ditunjukan. Dalam
Pelajaran Matematika dapat digambarkan tentang kubus, segitiga atau lainnya dari sini
dapat digambarkan mengenai diagonal, diagonal ruang, tinggi atau luas bidang. Dalam
pelajaran IPS dapat ditunjukan bagaimana dengan proses terjadinya batuan. Ingatlah
bahwa JIKA DAPAT DI VISUALKAN kenapa harus pakai kata-kata. Dengan Picture
atau gambar kita akan menghemat energi kita dan siswa akan lebih mudah memahami
materi yang diajarkan. Dalam perkembangakan selanjutnya sebagai guru Anda dapat
memodifikasikan gambar atau mengganti gambar dengan video atau demontrasi yang
kegiatan tertentu seperti membuat kopi, menggoreng tempe dan sebagainya.
7. Kesimpulan/rangkuman
Kesimpulan dan rangkuman dilakukan bersama dengan siswa. Guru membantu dalam
proses pembuatan kesimpulan dan rangkuman.
Resource :
http://wyw1d.wordpress.com/
http://sadiman2007.blogspot.com/
Jika Anda tidak menemukan dalam artikel kami, silahkan Anda cari di kotak penelusuran Google di bawah ini.
Tipsnya : ketikkan dengan menggunakan BAHASA INGGRIS, cari websitenya yang ada dengan kata kunci yang Anda masukkan,kemudian
copy artikelnya, dan paste kan ke Google Translate. Walapun sedikit rancu kalimatnya, namun masih dapat dipahami.
Terima Kasih
Teka teki silang adalah sebuah game untuk mengisi petak2 dengan huruf sehingga
membentuk kata yang di maksud,
Pasti sudah tahu teka teki silang, mari mengungkap dari mana permainan ini berasal.
Saat suntuk, atau kadang ketika harus menunggu sesuatu, kita seringkali mudah merasa
bosan. Karena itu, berbagai cara kita lakukan. Mulai dari main game yang ada di
handphone, mengobrol, hingga mengisi teka teki silang (TTS).
Hal yang terakhir inilah yang sebenarnya paling menantang bagi sebagian orang. Sebab,
sembari iseng, bisa sekaligus mengasah kemampuan otak dan menambah pengetahuan.
Karena itu, penggemar TTS bisa dikatakan sangat merata. Baik orang remaja, orang
dewasa, bahkan anak-anak pun kadang banyak yang memainkan permainan asah otak ini.
Tak heran, berbagai media massa, seringkali memberikan TTS pada edisinya sehingga
TTS ini menjadi sangat populer di berbagai belahan dunia.
Tapi, tahukah Anda siapa sebenarnya pencipta permainan asah otak ini? Adalah seorang
bernama Arthur Wynne yang pada sekitar tahun 1913 yang menciptakan TTS. Suatu
ketika, Arthur yang bekerja di sebuah media bernama New York World mendapat tugas
dari bosnya untuk membuat semacam permainan yang akan dimuat di media itu pada
bagian “fun”. Berbagai hal dicobanya untuk menciptakan permainan yang menarik
pembaca
Arthur wynne
Suatu kali, ia teringat pada masa kecilnya. Arthur ingat bahwa ia pernah memainkan
sebuah permainan yang dinamakan “Magic Squares”. Permainan itu adalah permainan
kata-kata, dimana sang pemain harus menyusun kata agar sama mendatar dan menurun
hingga membentuk kotak. Dari permainan ini, ia kemudian mencoba berkreasi dengan
menambah luasan kata-kata dengan bentuk yang lebih kompleks. Dan, untuk menyusun
hal itu, ia memberi semacam pertanyaan untuk membuka kunci jawabannya
TTS ala Arthur ini kemudian muncul pertama kali pada 21 Desember 1913. Bentuknya
waktu itu dibuat dengan pola ketupat. Sederhana dan sangat mudah dimainkan. Namun,
justru dengan kesederhanaan dan kemudahan ini, membuat banyak orang langsung
menyukai permainan ini. Maka, kesuksesan ini segera diikuti oleh berbagai media lain.
Dan, saking suksesnya, permainan ini pun dibukukan pada tahun 1924.
Kemudian, pada tahun 1942-an, New York Times, koran ternama di Amerika membuat
semacam standar untuk TTS. Standar itu seperti bentuk yang simetris dan panjang kata
minimal tiga huruf. Hal ini membuat permainan TTS makin asyik dan populer, hingga
akhirnya menyebar ke berbagai belahan dunia.
Mengisi TTS menjadi bagian tak terpisahkan dalam kondisi menunggu sesuatu atau
seseorang, menghadapi situasi yang membosankan atau di waktu luang sebagai kegiatan
pengisi waktu. Sejatinya, para penggemar TTS mampu mengambil manfaat dari mengisi
TTS, lebih dari sekedar mengalihkan rasa bosan atau hanya sekedar mengisi waktu luang.
Teka-teki silang yang menjadi kegemaran lintas generasi ini, sesungguhnya merupakan
hal baru, tetapi tidak begitu baru. Artinya, hal ini sudah berlangsung dari zaman ke
zaman dengan format dan bentuk yang serupa tapi tak sama. Catatan sejarah menyatakan
bahwa format TTS seperti sekarang sudah ada sejak zaman kuno. Bentuknya masih
cukup sederhana, yaitu sebuah bujur sangkar berisi kata-kata, huruf-huruf yang sama
pada bujur sangkar itu menghubungkan kata-kata secara vertikal dan horizontal. Hampir
serupa dengan TTS yang kita kenal sekarang.
Dalam buku Tell Me When – Science and Technology, TTS pertama muncul di suratkabar
New York World pada tanggal 21 Desember 1913. TTS pertama ini disusun oleh Arthur
Winn dan diterbitkan pada lembar tambahan edisi hari Minggu suratkabar tersebut.
Selama beberapa waktu, TTS ini menjadi ciri tetap suratkabar tersebut. Bentuk dan
formatnya sudah seperti TTS yang kita kenal sekarang. Pola kotak-kotak hitam dan putih,
dengan kata-kata berbeda yang saling bersilangan secara mendatar dan menurun, serta
terdapat panduan pertanyaan atau definisi untuk tiap kata sebagai petunjuk pengisian.
Hingga tahun 1924, yaitu ketika buku TTS pertama kali terbit, TTS belum begitu
populer. Namun, setelah buku-buku TTS menyebar, TTS sangat digemari di seluruh
Amerika, selanjutnya merambah ke Eropa dan seluruh dunia termasuk kita di Indonesia.
Setelah TTS ini begitu digemari, para pegiat buku TTS mulai berkreasi menciptakan
teka-teki gambar dan kemudian dikenal dengan nama puzzle. Selain untuk hiburan,
fungsi teka-teki gambar atau puzzle lebih diarahkan kepada fungsi edukasi, yakni untuk
menstimulasi otak anak-anak. Baik TTS maupun teka-teki gambar/puzzle hingga saat ini
masih sangat populer dan digemari. Biasanya untuk mengisi waktu santai kita. Bersantai
sambil mengasah otak.
Sebuah TTS tidak hanya merupakan sekumpulan pertanyaan teka-teki yang dibukukan,
tetapi memiliki makna. Tak sekedar sebagai hiburan, tetapi juga mendidik kita untuk
terus menambah wawasan dan mengasah kemampuan berpikir cepat. Terlepas dari
adanya anggapan bahwa mengisi TTS merupakan indikasi kemalasan atau pun ada tujuan
lain dari pembuatnya, TTS memiliki nilai filosofis. Ada beberapa arti filosofis dalam TTS
yang menurut pandangan saya tidak berlebihan untuk diungkapkan. Pertama, bila
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, kotak-kotak berwarna hitam dan putih
melambangkan bahwa kehidupan kita juga tak lepas dari keadaan hitam putih, benar-
salah, baik-buruk. Kotak yang sama sekali dikosongkan (warna hitam) bisa diartikan
bahwa setiap keburukan tidak akan memiliki nilai yang lebih daripada kebaikan. Kotak
yang harus terisi merupakan gambaran bahwa hidup tak selalu sama, kadang-kadang ada
atau tiada sesuatu pun yang kita dapat. Panduan pertanyaan untuk mengisi kotak-kotak
putih menandakan usaha dan upaya untuk mengisi kehidupan itu agar lebih bermakna.
Kedua, persilangan kata dan huruf yang saling berkaitan secara vertikal dalam TTS
menggambarkan kehidupan manusia yang membutuhkan hubungan dengan kekuatan
supra yang akan melindungi hidupnya. Kekuatan di atas segala kekuatan makhluk,
kekuatan penguasa kehidupan, Yang Maha Kuasa. Bila dikaji dari pandangan spiritual,
kotak-kotak dan kata-kata yang tersusun secara vertikal melambangkan perintah dari atas
ke bawah untuk menemukan pilihan hidup, memaknai keterjalinan baik dan buruk, serta
mencapai tujuan hidup dalam keutuhan hakiki, yang digambarkan dengan seluruh kotak
putih yang semuanya terisi. Ibadah, doa dan pengharapan hanya kepada Sang Khalik.
Selain itu, dapat digambarkan bahwa dalam kehidupan manusia selalu ada yang berperan
sebagai penguasa atau berkuasa. Stratifikasi sosial merupakan hal yang tidak dapat
dihilangkan begitu saja. Ada penguasa ada yang dikuasai, ada yang di kelas atas, ada
yang kelas menengah dan kelas bawah, walaupun secara hakikat manusia itu diciptakan
sama. Namun, huruf yang di tengah atau di bawah pun bisa merangkai kata sendiri. Ini
menandakan bahwa keberhasilan bisa diperoleh siapa saja, sekalipun dari kelas atas atau
bawah.
Ketiga, secara horizontal, kotak dan kata pada TTS itu melambangkan kehidupan sosial
manusia yang saling membutuhkan satu sama lain, saling berkaitan dan saling memiliki
keterhubungan antarindividu maupun antargenerasi. Satu huruf dari satu kata bisa
merangkaikan kata-kata yang berbeda. Ini menggambarkan kehidupan yang dinamis,
tidak ada selembar catatan hidup pun yang bisa terhapuskan. Sejak awal sejarah
kehidupan manusia, hidup terus bergulir melahirkan berbagai generasi yang heterogen,
multibangsa, multibudaya, multikeyakinan dan multidinamika dalam menjalani
kehidupan. Keterkaitan antarhuruf pada kata yang berbeda juga dapat diartikan sebagai
keharusan untuk menjalankan hubungan sosial dengan baik, kesatuan untuk mencapai
tujuan hidup bersama, sehingga tercipta kehidupan yang tertib dan tentram.
Keempat, panduan pertanyaan dari sebuah TTS secara mendatar atau menurun
merupakan patokan dan petunjuk yang harus dibaca agar bisa mengisi kotak-kotak putih
yang kosong hingga benar-benar selesai. Hal ini menunjukkan makna bahwa hidup harus
memiliki pedoman. Melakukan berbagai upaya tentu harus disertai landasan ilmu,
landasan moral dan landasan keyakinan agar tujuan hidup yang benar bisa tercapai
dengan hasil yang optimal. Hidup tanpa pegangan moral, tanpa pedoman iman akan
terombang-ambing, sehingga sulit mencapai tujuan. Kalau pun ada kotak yang tak terisi
setelah kita baca panduan itu, itu menandakan keterbatasan kita sebagai manusia. Tidak
semua hal bisa dikuasai dengan sempurna dengan kemampuan yang sama, yang penting
kita sudah berusaha dengan tidak menyalahi pedoman.
Kelima, seluruh rangkaian proses pengisian TTS merupakan gambaran proses kehidupan
manusia. Ada usaha, ada cobaan dan ujian, ada kesulitan dan kemudahan, ada doa dan
pengharapan, serta ada kemampuan (ilmu) yang harus dimiliki, dikuasai dan diterapkan
dalam mencapai tujuan hidup walaupun dalam kenyataannya ada yang berhasil dan ada
yang gagal. Semua merupakan proses pembelajaran hidup.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Apa pun pendapat kita tentang sesuatu hal yang terlihat
“hanya sekedar” suatu saat bisa memberikan makna dan manfaat yang besar karena
sesuatu yang diciptakan pasti memiliki kegunaan. Jadikan TTS sebagi penambah
wawasan dan pengasah otak, tak sekedar pengisi waktu luang. (Nia Hidayati)
Kategori : Artikel
http://niahidayati.net/manfaat-teka-teki-silang-sebagai-penambah-wawasan-dan-
mengasah-ke
Merangsang anak untuk berani berimajinasi, bercerita, menyusun skenario dengan
menggunakan peraga yang bisa ditempel/dilepas di papan flanel.
next
Halaman :
ISBN :
Harga : 23,000.00 21,850.00 (Anda hemat 1,150.00)
Buy
• twitter
• facebook
Descriptions
Ukuran papan 27 x 33 cm
Manfaat mainan:
Flanel board atau papan flanel digunakan sebagai alat bantu untuk anak bermain dan
belajar. Terbuat dari bahan kain flanel dan karton tebal. Sangat aman untuk anak-anak.
Terdiri dari dua permukaan yaitu warna biru dan coklat. Dapat digunakan dengan
didirikan atau dapat digunakan dengan cara digantung.
Cara Bermain:
Flanel board ini hanyalah sekedar alat bantu untuk tempat menempelkan potongan-
potongan dari flanel set. Tersedia potongan flanel set huruf, angka, dll, yang dijual
terpisah. Pengunaannya tidak memakai kapur, spidol, lem, atau perekat lainnya. Cukup
tempelkan potongan flanel set pada papan flanel ini dan potongan flanel akan menempel.
Mudah ditempel dan mudah pula dilepas oleh anak-anak. Aman dan nyaman untuk
menemani anak Anda bermain dan belajar. Papan ini bisa digunakan dengan cara
digantung atau didirikan.
Add to wishlist
Other Products
TANGRAM FLANEL SET
http://www.kutukutubuku.com/2008/open/13400/flanel_board
Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama
kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum. Pelajaran membaca, menulis, dan
berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah
usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum
mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap
sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri
didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak
cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.Piaget khawatir otak
anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7
tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi
yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka
beranjak besar. Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah
perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara
untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak
ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan.
Maria Montessori dan Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan metode
belajar membaca dan matematika bagi anak-anak usia dini. Maria Montessori, seorang
dokter wanita pertama dari Italia, telah mempraktikkan pembelajaran multiindrawi lewat
kegiatan sehari-hari. Pengalaman tersebut diperolehnya setelah menangani anak-anak
bermental terbelakang. Lewat kegiatan-kegiatan sederhana yang diulang setiap hari,
sebagian besar anak-anak itu mengalami kemajuan yang pesat. Mereka bahkan bisa
membaca dan menulis pada usia yang relatif muda, sekitar 4 dan 5 tahun tanpa harus
merasa terbebani. Montessori menciptakan alat-alat belajar dari benda-benda yang akrab
di sekeliling kita. Ia membuat alat belajar seperti perlengkapan bermain. Untuk mengajar
anak-anak membaca, ia membuat berbagai macam kartu huruf dari papan kayu atau
kertas tebal. Setiap huruf dicetak dari kertas ampelas yang cukup kasar. Selain anak-anak
membunyikan huruf-huruf tersebut, mereka juga merabanya untuk membentuk kepekaan
terhadap tekstur huruf. Kartu-kartu berisi kata bergambar yang dikelompokkan ke dalam
jenis-jenis kata juga menjadi alat belajar yang menarik bagi anak-anak. Glenn Doman
adalah contoh lain pendobrak teori perkembangan Piaget. Doman adalah seorang dokter
bedah otak. Ia berhasil membantu menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera
otak lewat flash card. Ia membuat kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna
merah pada karton tebal, dengan ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu itu
ditampilkan di hadapan si pasien dalam waktu cepat, hanya satu detik per kata. Adanya
perkembangan pada otak pasiennya membuat ia ingin mencobanya kepada anak-anak
bahkan bayi. Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena, bisa
saja anak-anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun akan kebingungan
ketika diberikan kata-kata baru yang belum pernah dibacanya. Kritik terhadap flash cards
memang sering dilontarkan orang, termasuk sebagian ahli psikologi. Hal itu disebabkan
flash cards dianggap sebagai cara yang kurang rasional, merusak pembelajaran nalar dan
logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan kemampuan membaca menurut para
psikolog dan orang pada umumnya harus diproses melalui tahapan-tahapan fonemik dan
fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal huruf dan mampu membedakan
bunyi, sampai akhirnya bisa menggabungkan huruf-huruf tersebut menjadi sebuah kata.
Itulah letak perbedaan Doman dan para pengkritiknya. Doman hanya merekomendasikan
pembelajaran membaca dan matematika sekitar 45 detik per hari. Bisa kita bayangkan,
betapa sebentarnya, dan kemungkinan anak-anak merasa terbebani karena metode itu
sangatlah kecil. Tak heran jika anak-anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mahir membaca
dan juga menjadi sangat suka serta tentu saja tidak menolak untuk belajar membaca
dengan pendekatan tersebut.
Kesimpulan :
Dari beberapa kalimat diatas dapat disimpulan dengan teori belajar Guildford yaitu
belajar adalah peubahan perilaku yang berasal dari stimulus luar. Stimulus luar yang
dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan lain ditampung dalam sebuah proses. Proses
inilah yang terjadi didalam otak. Saraf dan sel – sel otak akan mengumpulkan semua
stimulus dari luar tersebut. Perubahan perilaku itulah yang disebut sebagai hasil belajar.
Belajar adalah proses kognitif. Maka orang tidak bisa belajar apabila fungsi otaknya
terganggu. Metode Glenn Doman mengajak anak belajar dalam suasana yang sangat
nyaman seolah olah sianak diajak bukan belajar akan tetapi diajak bermain dengan riang.
Suasana inilah yang menimbulkan keingintahuan anak meningkat. dan kegiatan ini
dilaksanakan dengan penuh kasih orang tua terhadap anak dalam artian orang tua tidak
diijinkan untuk menguji sianak. Kegiatan harus dihentikan ketika si anak kelihatan sudah
bosan. Namun hal ini mungkin tidak akan berlangsung lama. Dikarenakan anak yang
masih berumur 2-7 tahun pada masa pra-Operasioanal (teori Piaget) hanya akan
melakukan suatu coping. Mungkin bila beranjak dewasa si anak ini tahu apa yang
diplajari namun tidak akan mengerti maksudnya dan mungkin anak tersebut akan lupa
yang sudah dipelajarinya pada umur 2 tahun.
Suka
Be the first to like this post.
Tinggalkan Balasan
Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *
Nama *http://hendra0787.wordpress.com/2009/07/20/menghubungkan-teori-belajar-dari-
glen-doman-dengan-piaget/
Sepintas, pernyataan “mengajar anak balita membaca” rasanya seperti mengada-ada.
Betapa tidak, jangankan anak usia di bawah 5 tahun (balita), untuk mengajar membaca
pada anak yang sudah memasuki usia sekolah (SD) saja bukanlah pekerjaan yang mudah
bagi guru, begitu pula bagi orang tua saat mengajar si anak membaca permulaan.
Selanjutnya anak yang sudah melewati kelas 4 SD pun masih ada yang belum lancar
membaca.
Mengajar anak — apalagi masih usia dini atau balita — membaca perlu kesungguhan dan
kesabaran dari pihak guru maupun orangtua. Walau demikian kondisinya, masih banyak
orangtua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada guru di sekolah. Kurang
banyaknya peran orangtua bukanlah alasan bagi guru untuk tidak mencari upaya
menolong anak agar cepat bisa membaca dengan lancar. Tentu menjadi suatu kewajiban
bagi seorang guru tetap belajar dan menambah wawasannya dengan berbagai cara.
Orangtua pun sebaiknya ikut belajar bagaimana caranya agar anak cepat bisa membaca
dengan baik. Kalau sudah bisa membaca, hendaknya juga bisa menjadikan buku sebagai
kebutuhan rutin yang diberikan kepada anak. Harus disadari, pertama-tama yang
bertanggung jawab soal pendidikan anak (apalagi balita) adalah orangtua atau keluarga.
Bukan Mengeja
Menurut Glenn, membaca sudah dapat diajarkan pada balita, bahkan lebih efektif
daripada sudah memasuki usia sekolah (6 tahun). Dalam penelitiannya dikemukakan
bahwa anak umur 4 tahun lebih efektif daripada umur 5 tahun. Umur 3 tahun lebih mudah
daripada 4 tahun. Jelasnya, makin kecil makin mudah untuk diajar — tentu dalam batas
anak mulai bisa bicara.
Glenn juga berpendapat, balita bisa menyerap informasi secara luar biasa. Semakin muda
umur anak, semakin besar daya serapnya terhadap informasi baru. Belajar bagi anak
adalah sesuatu yang mengasyikkan. Karena belajar mengasyikkan, maka ia bisa
menguasai lebih cepat.
Menurut Glenn, mengajar balita membaca bukan dengan mengeja seperti cara
konvensional di sekolah — dimulai pengenalan nama huruf, kemudian mengenal suku
kata, barulah mengenal kata, akhirnya kalimat. Glenn berteori, mengajar balita membaca
adalah dengan cara mengenalkan satu kata yang bermakna dan kata itu sudah akrab pada
pikiran anak atau sudah sering didengar dalam keseharian.
Misalnya, anak sudah biasa makan pisang. Tentunya anak balita itu sudah biasa
mendengar kata “pisang”. Kemudian kita ingin mengajar anak agar ia bisa membaca kata
“pisang”. Menurut Glenn, anak tak perlu lagi menghapal huruf p, i, s, a, ng, atau suku
kata pi dan sang yang masing-masing tidak bermakna. Jadi, bayi langsung diajar
membaca kata “pisang” pada kartu yang sudah disiapkan.
Untuk mengajar anak balita membaca, diperlukan kartu-kartu kata yang tercetak cukup
besar dan ditunjukkan secara cepat kepada anak, sekaligus dengan pisang yang biasa
dimakan. Anak akan menangkap apa yang dikatakan orangtuanya dan
menghubungkannya dengan tulisan yang ditunjukkan kepadanya. Demikian juga kata
yang lain, kata-kata yang sudah akrab dengan si anak beserta benda yang diacu.
Semuanya dibuatkan kartu-kartunya.
Teori Glenn ini diterapkan dengan pemikiran bahwa membaca adalah fungsi otak,
sedangkan mengajar membaca dengan mengeja huruf (cara konvensional di sekolah)
diikat oleh kaidah atau aturan bahasa. Aturan-aturan bahasa ini malah memperlambat
keterampilan anak membaca. Dengan teori Glenn, anak diajar melihat tulisan seperti
halnya melihat gambar. Rangkaian kata bagi si anak adalah suatu simbol dari benda yang
diucapkan si ibu atau si ayah yang membacakannya. Selanjutnya, karena makin hari
jumlah kata dan benda yang dikuasai makin banyak, maka tulisan kata dalam kartu makin
ditambah pula.
Glenn memberi catatan, mengajar bukan menjadi suatu beban, melainkan hak istimewa
bagi orangtua. Anak adalah prioritas yang penting dalam keluarga. Kegiatan belajar
membaca perlu diulang-ulang beberapa kali (15 hingga 25 kali), lalu kartu yang lama
diganti dengan kartu yang baru. Saat mengajar, anak maupun orangtua harus dalam
kondisi mood yang baik dan suasana yang menyenangkan. Durasi membacanya juga
harus sangat cepat, hanya sekilas-sekilas saja dan harus segera berhenti sebelum anak
ingin berhenti. Jangan mencoba untuk memberi tes karena anak tidak suka dites. Suasana
pembelajaran membaca pun mesti penuh dengan keramahan dan kehangatan.
Guru Keliru
Bagaimana dengan pembelajaran bahasa di sekolah? Belajar membaca adalah bagian dari
pembelajaran bahasa. Bertitik tolak dari teori Glenn, tampaknya kekeliruan guru bahasa
di sekolah menyebabkan anak kurang menguasai dengan baik bahasa yang dipelajari.
Dalam pembelajaran bahasa, guru sering menekankan kaidah bahasa daripada perolehan
bahasa, belajar menggunakan bahasa. Jika terjadi kesalahan dalam penerapan kaidah,
sepertinya anak itu berbuat dosa. Terlebih jika ditambah wajah guru yang kurang toleran,
bertambahlah rasa takut anak. Suasana pun jadi menakutkan.
Pada tahap anak sudah mampu membaca dengan lancar (pada kelas 4 ke atas), ternyata
dalam pembelajaran bahasa bukannya anak diajak belajar menggunakan bahasa,
melainkan belajar pengetahuan bahasa. Dari PR anak SD (padahal kurikulum berbasis
kompetensi) dalam pelajaran bahasa tampak dengan jelas anak belajar pengetahuan
bahasa, misalnya menyebutkan nama-nama jenis kalimat.
Kalau demikian, kapan anak mampu menggunakan bahasa? Kalau saja guru mau
memperluas wawasannya, misalnya membaca teori Glenn atau teori yang lain,
tampaknya kondisi pembelajaran bahasa akan lebih menarik dan bermanfaat. Dalam
pembelajaran bahasa, sesungguhnya anak belajar berbahasa lisan dan tertulis, bukan
tentang bahasa.
Aktivitas membaca merupakan alternatif yang kita anggap paling baik meningkatkan
mutu SDM, mungkin lebih baik daripada selembar ijazah yang pemiliknya kurang
melakoni aktivitas membaca. Aktivitas membaca bisa dilakukan kapan saja dan di mana
saja secara rutin. Sedangkan lewat pendidikan formal ada batas waktunya, misalnya anak
memasuki usia sekolah, kemudian tamat perguruan tinggi sudah selesai.
Menurut para pakar, sejak balita anak sudah bisa dibentuk agar bisa membaca. Setelah
anak mampu membaca sendiri, hendaknya terus dibina dengan cara memberikan buku
yang bermanfaat baik untuk menguasai Iptek maupun mengapresiasi nilai-nilai
kehidupan manusia. Makin dini usia, melakukan aktivitas membaca makin baik. (Bali
Post) http://geillita.blogspot.com/2011_01_01_archive.html
http://www.duniaedukasi.net/2010/03/belajar-membaca-dengan-metode-glenn.html
ersoalan membaca, menulis, dan berhitung atau calistung memang merupakan fenomena
tersendiri. Kini menjadi semakin hangat dibicarakan para orang tua yang memiliki anak
usia taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar karena mereka khawatir anak-anaknya
tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolahnya nanti jika sedari awal belum dibekali
keterampilan calistung.
Kekhawatiran orang tua pun makin mencuat ketika anak-anaknya belum bisa membaca
menjelang masuk sekolah dasar. Hal itu membuat para orang tua akhirnya sedikit
memaksa anaknya untuk belajar calistung, khususnya membaca. Terlebih lagi, istilah-
istilah “tidak lulus”, “tidak naik kelas”, kini semakin menakutkan karena akan
berpengaruh pada biaya sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus mengulang kelas.
Selama ini taman kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-
anak memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang sekolah dasar. Kegiatan yang
dilakukan di taman kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat
bermainedukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di
tingkat taman kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu
pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.
Akan tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena
ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak
lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan
pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan,
dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan
menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai
keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.
Perkembangan keterampilan membaca
Belajar membaca mencakup pemerolehan kecakapan yang dibangun pada ketrampilan
sebelumnya. Jeanne Chall (1979) mengemukakan ada lima tahapan dalam perkembangan
kemampuan membaca, dimulai dari ketrampilan pre-reading hingga ke kemampuan
membaca yang sangat tinggi pada orang dewasa.
Tahap 0, dimulai dari masa sebelum anak masuk kelas pertama, anak-anak harus
menguasai prasyarat membaca, yakni belajar membedakan huruf dalam alfabet.
Kemudian pada saat anak masuk sekolah, banyak yang sudah dapat “membaca” beberapa
kata, seperti “Pepsi”, “McDonalds”, dan “Pizza Hut.” Kemampuan mereka untuk
mengenali simbol-simbol populer ini karena seringnya melihat di televisi atau pun di sisi
jalan serta meja makan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka dapat membedakan
antara pola huruf, meskipun belum dapat mengerti kata itu sendiri. Pengetahuan anak-
anak tentang huruf dan kata saat ini secara umum lebih baik ketimbang beberapa generasi
sebelumnya, hal ini dikarenakan pengaruh acara televisi anak seperti “Sesame Street.”
Tahap1, mencakup tahun pertama di kelas satu. Anak belajar kecakapan merekam
fonologi, yaitu keterampilan yang digunakan untuk menerjemahkan simbol-simbol ke
dalam suara dan kata-kata. Kemampuan ini diikuti dengan tahap kedua pada kelas dua
dan tiga, di mana anak sudah belajar membaca dengan fasih. Di akhir kelas tiga,
kebanyakan anak sekolah sudah menguasai hubungan dari huruf-ke-suara dan dapat
membaca sebagian besar kata dan kalimat sederhana yang diberikan.
Perubahan dari “learning to read” menuju “reading to learn” dimulai dalam tahap 3,
dimulai dari kelas 4 sampai kelas 8. Anak-anak pada tahap ini sudah bisa mendapatkan
informasi dari materi tertulis, dan ini direfleksikan dalam kurikulum sekolah. Anak-anak
di kelas ini diharapkan belajar dari buku yang mereka baca. Jika anak belum menguasai “
how to” membaca ketika kelas empat, maka kemajuannya membaca untuk kelas
selanjutnya bisa terhambat.
tahap 4, dimulai pada saat sekolah tinggi, direfleksikan dengan kemampuan baca yang
sangat fasih. Anak menjadi semakin dapat memahami beragam materi bacaan dan
menarik kesimpulan dari apa yang mereka baca.
Emergent Literacy
Kendati kebanyakan anak belajar membaca di sekolah, namun sebagian besar anak
belajar tentang membaca di rumah. Mereka belajar simbol tertulis sesuai dengan bahasa
tutur ketika menyampaikan arti kepada orang lain.
Tapi kebanyakan anak pra-sekolah tidak membaca—tidak benar benar membaca. Mereka
mungkin dapat mengidentifikasi Coca-Cola, Burger King, atau tanda Fruit Loops ketika
melihatnya, tapi ini bukan benar-benar membaca. Kendati demikian, apa yang dipelajari
anak selama berbicara dengan orangtua tadi adalah kemampuan menyusun tahap
membaca yang sebenarnya. Gagasan bahwa ada kontinum perkembangan kemampuan
membaca, dari anak usia pra-sekolah hingga yang sudah menjadi pembaca fasih,
dikatakan sebagai emergent literacy.
Whitehurst dan Lonigan (199 mencatat sembilan komponen emergent literacy, sebagai
berikut.
1. Language: membaca merupakan kemampuan bahasa, dan anak-anak harus cakap
dengan bahasa tutur. kemampuan membaca yang terampil juga memerlukan lebih dari
sekedar kecakapan bahasa tutur. Membaca tidak berarti refleksi bahasa tutur, di mana
anak yang memiliki kecakapan bahasa yang tinggi akan menjadi anak dengan
kemampuan membaca yang juga baik.
2. Convention of print: anak-anak yang dipaparkan kepada pembacaan di rumah
melalui penemuan cetak. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, anak-anak belajar bahwa
membaca dilakukan dari kiri kek kanan, atas ke bawah, dan dari depan ke belakang.
3. Knowledge of letters: Kebanyakan anak-anak dapat menceritakan ABC sebelum
mereka masuk ke sekolah dan dapat mengidentifikasi individu huruf dari alphabet
(kendati beberapa anak berpikir “elemeno” adalah nama huruf antara “k” dan “p”.
pengetahuan huruf sangat kritis bagi kemampuan baca. Sebagai contoh, penelitian telah
menunjukkan bahwa kemampuan anak taman kanak-kanak untuk menamai huruf
memprediksikan nilai yang dapat diraihnya pada kemampuan membaca di kemudian
hari.
4. Linguistic awareness; anak harus belajar mengidentifikasi tidak saja huruf
melainkan unit linguistik, seperti fonem, silabel, dan kata. Mungkin yang paling penting
dari kemampuan linguistik untuk membaca adalah pengolahan fonologi, atau
diskriminasi dan mengartikan berbagai suara bahasa.
5. Korespondensi phoneme-grapheme: Ketika anak sudah memahami bagaimana
mensegmentasikan dan mendiskriminasikan beragam suara bahasa, maka mereka harus
mempelajari bagaimana suara ini sesuai dengan huruf tertulis. Kebanyakan proses ini
dimulai di masa pra-sekolah, di mana pengetahuan huruf dan sensitivitas fonologis
berkembang secara simultan dan resiprok.
6. Emergent reading: banyak anak-anak pura-pura membaca. Mereka akan mengambil
buku cerita yang sudah akrab bagi mereka dan “membaca” halaman per halamannya,
atau akan mengambil buku yang belum akrab bagi mereka dan pura-pura membaca,
membuat narasi sesuai dengan gambar di halaman tersebut.
7. Emergent writing: Sama dengan pura-pura membaca, anak-anak juga sering
berpura-pura menulis, membuat garis lekuk (squiggle) pada sebuah halaman untuk
“menuliskan” nama atau cerita mereka, atau merangkai huruf yang benar untuk
menghasilkan sesuatu yang menurut mereka sesuai dengan cerita.
8. Motivasi print: seberapa tertariknya anak-anak dalam membaca dan menulis?
Seberapa pentingkah bagi mereka untuk memahami kode rahasia yang memungkinkan
orangtua mengartikan serangkaian tanda pada sebuah halaman? Beberapa bukti
mengindikasikan bahwa anak kecil lebih tertarik dalam print (huruf cetak) dan membaca
memiliki skill emergent literacy yang lebih besar ketimbang yang kurang termotivasi
untuk melakukannya. Anak-anak yang tertarik dalam membaca dan menulis lebih
mungkin mengetahui huruf cetak, mengajukan pertanyaan tentang print, mendorong
orang dewasa untuk membacakannya untuk mereka, dan menghabiskan lebih banyak
waktu untuk membaca ketika mereka sudah bisa.
9. Other Cognitive Skill: Kemampuan kognitif individu, di samping yang berkaitan
dengan bahasa dan kesadaran linguistik mempengaruhi kemampuan baca anak-anak.
Berbagai aspek lain memori sangatlah penting di sini yang juga ikut mempengaruhi
kemampuan membaca.
Hubungan antara beberapa komponen emergent literacy dengan kemampuan baca
terkadang sulit dijelaskan. Namun demikian, jelas halnya bahwa keluarga memberikan
“The Whole Package”. Munculnya keterampilan emergent literacy kepada anak-anaknya
akhirnya anak akan membantu nantinya untuk memiliki kemampuan yang baca lebih
baik baik di awal sekolah maupun di kemudian hari, daripada keluarga yang hanya
memberikan paket sedikit-sedikit (Bialystok, 1996; Whitehurst & Lonigan, 1998). Ini
dibenarkan dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara kemampuan emergent literacy selama masa pra sekolah dengan
kemampuan membaca di sekolah dasar (Lonigan, Burgess, & Anthony, 2000; Storch &
Whitehurst, 2002).
Pengajaran Membaca
Ada dua pendekatan penting pada instruksi membaca (reading instruction) dan komentar
tentang bagaimana bukti penelitian dipertimbangkan dalam topik ini. Pada dasarnya (dan
secara sederhana) instruksi membaca dapat dipikirkan sebagai, baik itu (1) proses bawah
ke atas (bottom-up process), anak-anak mempelajari komponen-komponen individu suatu
bacaan (mengidentifikasi huruf, korespondensi suara-huruf [letter-sound
correspondence]) dan meletakkannya bersamaan untuk memperoleh makna; atau (2)
proses atas ke bawah (top-down process), tujuan, pengetahuan latar belakang, dan
ekspektasi anak-anak menentukan informasi apa yang dipilih dari teks. Proses terakhir
ini merupakan suatu perspektif konstruktifis, mengingat kembali ide-ide Piaget. Tentu
saja, membaca yang terampil melibatkan bottom-up dan top-down process, pembuatan
tiap dikotomi artifisial. Namun demikian, reading instruction, terutama pada tingkat awal,
sering menekankan satu terhadap lainnya, dan oleh karena itu dikotomi memiliki
beberapa dasar dalam realitas.
Kurikulum yang menekankan bottom-up process ditunjukkan melalui metode fonik
(phonics method). Di sini, anak-anak diajar korespondensi suara- huruf spesifik, sering
kali independen pada tiap konteks “yang penuh makna”. Kurikulum yang menekankan
top-down process ditunjukkan melalui pendekatan bahasa-menyeluruh (whole-language
approach). Menurut Marilyn Adams dkk., “whole-language approach menekankan
bahwa pembelajaran dilabuhkan pada dan dimotivasikan oleh makna. Selanjutnya,
dikarenakan pemaknaan dan kepemaknaan yang penuh (meaningfulness) perlu
didefiniskan secara internal dan tidak pernah melalui pernyataan (pronouncement),
pembelajaran dapat efektif hanya pada seberapa jauh pembelajaran secara kognitif
dikendalikan oleh siswa”. Oleh karena itu, kurikulum bahasa-menyeluruh (whole-
language curricula) menekankan pada ketertarikan membaca (reading interesting) dan
teks penuh makna (meaningful text) sejak dini. Ruang kelas di mana bahasa keseluruhan
diajarkan, lebih cocok berpusat pada siswa (student centered) dibandingkan dengan
berpusat pada guru (teacher centered), memiliki integrasi membaca dan menulis dalam
keseluruhan kurikulum, memiliki penghindaran latihan bahasa, dan memiliki kesempatan
kecil dalam hal pengelompokan kemampuan secara kaku.
Bukti penelitian yang didiskusikan semestinya membuat gamblang pentingnya
pemrosesan level dasar (bottom-up) dalam pembelajaran membaca. Keterampilan
fonologis merupakan prediktor tunggal terbaik kemampuan membaca (dan
ketidakmampuan membaca). Kemampuan tersebut tidak berkembang secara spontan, dan
biasanya mengeksplisitkan instruksi. Kurikulum yang mengabaikan phonics,
mengabaikan tentang bagaimana “bermaknanya” phonics membuat pengalaman
membaca, sedang meresikokan melek huruf pada kebanyakan siswanya.
Paradigma belajar Membaca Pada Anak TK: Pro dan Kontra Calistung
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apa pun,
termasuk belajar membaca. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang
mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu,
permainan dan nyanyian tidaklah dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan
nyanyian adalah ilmu pengetahuan.
Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama
kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum. Pelajaran membaca, menulis, dan
berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah
usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum
mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di manaanak-anak dianggap
sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri
didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak
cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada
anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak
malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan
belajar setelah mereka beranjak besar.
Pesan yang ditangkap dari teori Piaget sering kali berhenti pada “larangan belajar
calistung”, namun tidak banyak orang memahami alasannya. Padahal perkembangan
dalam pembelajaran di era informasi sekarang ini sebenarnya sudah semakin jauh
berubah. Topik pelajaran bukanlah persoalan yang akan menghambat seseorang, pada
usia berapapun, untuk mempelajarinya. Syaratnya hanyalah mengubah cara belajar,
disesuaikan dengan kecenderungan gaya belajar dan usianya masing-masing sehingga
terasa menyenangkan dan membangkitkan minat untuk terus belajar.
Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu
bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk
mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya
seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan.
Memang benar jika membaca diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar
kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena
menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.
Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya
pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak.
Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang
pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal.
Penganut behaviorisme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk
anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan.
Namun demikian pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang
dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya
tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-
anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding
kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini
gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar
dan warna yang mencolok.
Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan
muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau
dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak.
Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres
untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.
Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan metode belajar membaca dan
matematika bagi anak-anak usia dini. Glenn Doman adalah contoh lain pendobrak teori
perkembangan Piaget. Doman adalah seorang dokter bedah otak. Ia berhasil membantu
menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera otak lewat flash card. Ia membuat
kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna merah pada karton tebal, dengan
ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu itu ditampilkan di hadapan si pasien dalam
waktu cepat, hanya satu detik per kata. Adanya perkembangan pada otak pasiennya
membuat ia ingin mencobanya kepada anak-anak bahkan bayi.
Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena, bisa saja anak-
anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun akan kebingungan ketika
diberikan kata-kata baru yang belum pernah dibacanya.
Kritik terhadap flash cards memang sering dilontarkan orang, termasuk sebagian ahli
psikologi. Hal itu disebabkan flash cards dianggap sebagai cara yang kurang rasional,
merusak pembelajaran nalar dan logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan
kemampuan membaca menurut para psikolog dan orang pada umumnya harus diproses
melalui tahapan-tahapan fonemik dan fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal
huruf dan mampu membedakan bunyi, sampai akhirnya bisa menggabungkan huruf-huruf
tersebut menjadi sebuah kata.
Itulah letak perbedaan Doman dan para pengkritiknya. Doman hanya merekomendasikan
pembelajaran membaca dan matematika sekitar 45 detik per hari. Bisa kita bayangkan,
betapa sebentarnya, dan kemungkinan anak-anak merasa terbebani karena metode itu
sangatlah kecil. Tak heran jika anak-anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mahir membaca
dan juga menjadi sangat suka serta tentu saja tidak menolak untuk belajar membaca
dengan pendekatan tersebut.
Mengembangkan kemampuan para pendidik untuk mengajar calistung secara
menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada
anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan
baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara
menyajikannya.
Metode Pengajaran Membaca Anak Glenn Doman
Ada dua faktor penting dalam Metode Glenn Doman ini adalah sebagai berikut :
• Sikap dan pendekatan orang dewasa. Syarat terpenting adalah, bahwa diantara
orang dewasa dan anak harus ada pendekatan yang menyenangkan, karena belajar
membaca merupakan permainan yang bagus sekali. Biasakan anak membaca
dengan suatu kegemaran, bisa dibuat permainan menarik untuknya
• Membatasi waktu untuk melakukan permainan ini sehingga betul-betul singkat.
Hentikan permainan ini sebelum anak itu sendiri ingin menghentikannya.
• Jangan pernah memaksa anak untuk belajar membaca tanpa kemauan dia sendiri.
Tahap Pembelajaran
1.Untuk tahap pertama, persiapkan kertas karton kaku warna putih dan spidol besar yang
ujungnya rata (selebar satu sentimeter) berwarna merah. Selain itu, juga spidol ukuran 0,5
sentimeter warna hitam. Kertas karton digunting-gunting sepanjang 60 sentimeter dengan
lebar 15 sentimeter, sediakan pula yang selebar 12,5 sentimeter.
2. Tuliskan kata di atas guntingan kertas karton dengan huruf kecil (bukan kapital),
huruf yang sederhana dan konsisten. Untuk tahap pertama, buatlah 15 kata di atas 15
lembar karton, dibagi menjadi tiga. Misalnya, lima lembar pertama adalah nama-nama
anggota keluarga (set A), lalu lima lembar kedua bertuliskan nama-nama organ tubuh (set
B), sedangkan lembar ketiga bertuliskan nama-nama bunga (set C). Yang jelas, gunakan
nama-nama yang tidak asing bagi dia, terutama nama benda yang sering anak jumpai
setiap hari. Dengan demikian, anak akan lebih mudah mengingatnya.
Pada hari pertama belajar, hanya ditunjukkan lima lembar pertama (set A) kepada anak
dengan membacanya, tiga kali sehari. Pada hari kedua, tunjukkan dan bacakan set A dan
set B, juga tiga kali sehari. Sementara pada hari ketiga, bacakan set A, B, dan C selama
tiga kali sehari. Pada hari keempat, lakukan seperti hari ketiga. Ini dilakukan terus sampai
kartu-kartu terbaca 15-25 kali. Perlu diingat bahwa urutan kata harus sama dari setiap
setnya. Agar tidak terjadi kekeliruan, setiap kertas bisa diberi nomor di sebaliknya,
sehingga waktu kita menunjukkannya kepada anak urutannya tetap sama.
sumber: http://fatonipgsd071644221.wordpress.com/