Anda di halaman 1dari 61

Proposal PTK

PENGGUNAAN CD PENGAJARAN BICARA SEBAGI SUPLEMEN

UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MAHASISWA DALAM

PRAKTEK PENGAJARAN BICARA KONSONAN S

PADA ANAK TUNARUNGU

Disusun Oleh :

Budi Susetyo,dkk

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2005

1.
1. Judul Penelitian :

Penggunaan CD pengajaran bicara sebagai suplemen untuk


meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam praktek pengajaran bicara
konsonan S pada anak Tunarungu

1.
1. Latar Belakang

Mata kuliah artikulasi merupakan mata kuliah yang khusus diberikan


pada mahasiswa spesialisasai anak tunarungu. Mata kuliah ini mempunyai
dua aspek sasaran yang ingin dicapai yaitu pengetahuan tentang cara – cara
pengajaran bicara dan keterampilan dalam memperbaiki serta membentuk
bicara pada anak tunarungu.

Mata kuliah artikulasi I berisikan konsep – konsep dasar pembinaan bicara


pada ank tunarungu. Oleh karena itu pada mata kuliah artikulasi I lebih
menekankan pada aspek kognitif. Pengetahuan diperlukan sebagai dasar
dalam mealkukan perbaikan bicara pada anak tunarungu. Sedangkan mata
kuliah artikulasi II lebih menekankan pada praktek penanganan bicara
anak tunarungu. Oleh karena itu aspek keterampilan mahasiswa dalam
menangani anak tunarungu lebih ditekankan.

Mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan artikulasi belum menunjukkkan


hasil yang memuaskan terutama dalam praktek penanganan dan
pembentukan bicara pada anak tunarungu. Hal ini tampak dari hasil yang
diberikan mahasiswa setelah melakukan praktek di lapangan. Pada
umumnya mereka mengalami kesulitan, sehingga dalam menagani dan
memperbaiki bicara belum memuaskan. Kondisi semacam ini jika dianalisis
banyak faktor penyebabnya salah satunya terbatasnya kemampuan
mahasiswa dalam menggunakan audio visual dalam pengajaran konsonan S
pada anak tunarungu.

Menyadari banyak faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya


kekurang berhasilan, maka dalam pembelajaran mata kuliah artikulasi
perlu dikaji faktor utama yang memungkinkan sebagai penyebab kesulitan
yang dihadapi mahasiswa. Melalui pengkajian dapat ditemukan dan
sekaligus ditentuakn langkah – langkah untuk memperbaikinya. Berbagai
upaya telah dilakukan dalam memperbaiki system perkuliahan antara lain
dengan memanfaatkan fasilitas laboratorium semaksimal mungkin untuk
simulasi, perubahan penyampaian materi perkuliahan, penambahan waktu
praktek lapangan. Beberapa usaha telah dilakukan, tetapi belum
menunjukkan hasil yang memuaskan, terutam adlam keterampilan
memperbaiki bicara anak. Atas dasar kenyataan yang demikian, maka perlu
dicari alternative lainnya dengan melakukan inovasi –inovasi baik dalam
metode penyampaian maupun penggunaan fasilitas laboratorium serta
pemanfaatan multi media untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa
dalam menangani permasalahan bicara terutama pembentukan konsonan S
pada anak Tunarungu yang tidak dapat bicara.

Peningkatan kualitas mahasiswa dapat dilakukan melalui peningkatan


kemampuan dalam bidang pengetahuan dan bidang keterampilan.
Peningkatan dalam bidang pengetahuan dapat dilakukan dengan mengkaji
berbagai literature, memperhatikan perkuliahan dosen di kelas dan
sebagainya. Peningkatan dalam bidang keterampilan perlua adanya praktek
dalam penanganan dan pembentukan bicara pada subyek yang
sesungguhnya yaitu anak tunarungu. Kemampuan dalam bidang
keterampilan perlu dilakukan secara sendiri –sendiri oleh mahasiswa
dengan praktek di lapangan. Penguasaan pengetahuan secara teoritis
diperlukan sebagai media untuk menguasai keterampilan secara praktis.
Satu kelemahan yang sering terjadi khususnya mahasiswa adalah
penguasaan pada bidang keterampilan atau pada aplikasi di lapangan.
Penggunaan audio visual dalam praktek pembentukan konsonan S pada
anak tunarungu selama ini belum banyak dilakukan oleh mahasiswa.

1.
1. Perumusan masalah

Permasalahan yang terjadi pada mata kuliah artikulasi yaitu tidak


adanya subyek (anak tunarungu) untuk praktek di dalam kampus. Untuk
mengatasi permasalahan diatas dilakukan praktek di berbagai SLB-B. Dengan
demikian waktu pertemuan dalam pengajaran bicara sangat terbatas, sehingga
menyulitkan mahasiswa untuk trampil melakukan perbaikan bicara pada anak.
Untuk itu perlu dilakukan inovasi – inovasi dalam perkuliahan, sehingga
kemampuan mahasiswa dalam praktek pembentukan konsonan/vocal dapat
meningkat. Inovasi yang dilakukan dalam pembelajaran yaitu memanfaatkan
fasilitas yang dimiliki jurusan dan teknologi multi media semaksimal mungkin
dalam proses pembelajaran. Adapun inovasi yang dipilih dalam meningkatkan
keterampilan mahasiswa dalam penggunaan audio visual sebagai sarana
pembelajaran. Dengan demikian diharapkan kesulitan mahasiswa
dalampraktek pembentukan bicara yaitu konsonan S pada anak tunarungu
dapat teratasi seefektif dan efisien mungkin.

1.
1. Cara Pemecahan Masalah

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, yaitu melakukan percobaan –


percobaan dengan memggunakan media CD pembelajaran bicara yang
dilakukan di laboratorium/kelas yang diberikan tentang teknik – teknik
perbaikan bicara. Adapun langkah – langkah sebagai berikut :

1. Penyiapan dengan menyusun rencana topic materi sesuai dengan tingkat


kesulitan pada masing – masing konsonan maupun vocal.
2. Memperlihatkan kepada mahasiswa masing – masing teknik dalam
memperbaiki bicara lengkap dengan penggunaan berbagai sarana
pembelajaran dan peralatan peraga yang di perlukan.
3. Melakukan diskusi tentang berbagai teknik perbaikan bicara.
4. Mengumpulakan dan menganalisis data.

Untuk lebih jelasnya, maka desain inovasi yang digunakan dalam pembelajaran
dapat dilihat pada bagian di bawah ini :

Bagan desain pembelajaran artikulasi II dengan CD pembelajaran bicara

Materi Perkuliahan teori dan Praktek

Analiss hasil praktek 2 dari perekaman audio visual dan diskusi dalam rangka
perbaikan praktek berikutnya

Analisis hasil praktek 1 dari perekaman audio visual dan diskusi dalam rangka
perbaikan praktek
1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan penelitian adalah


menemukan pembelajaran yang efektif dan efisien dalam pembentukan bicara
pada konsonan S pada anak tunarungu.

1. Kontribusi/Manfaat Penelitian

Kontribusi yang ingin dicapai adalah bertambahnya wawasan


pengetahuan dalam bidang pendidikan, khususnya dalam pendidikan luar biasa
serta dapat diaplikasi secara praktis di lapangan dan di kelas sebagai salah satu
bentuk pembelajaran di ruang kuliah, sehingga mahasiswa tidak mengalami
kesulitan dalam pembentukan konsonan S. dengan demikian inovasi yang telah
ditemukan dapat digunakan dalam pengajaran bicara yaitu pembentukan
konsonan S pada siswa tunarungu.

1. Tinjauan Pustaka dan Hipotesis Tindakan

1. Tinjauan Pustaka

1. Pembelajaran bicara (konsonan s)

Belajar adalah kegiatan para siswa, baik dengan bimbingan guru atau
dengan usaha sendiri. Pendidik berusaha membantu agar siswa belajar lebih
terarah, cepat, lancer, dan berhasil baik. Atau istilah lain dengan
membelajarkan siswa. Pembelajaran agar berhasil perlu dilaksanakan
ssistematis, secara bulat dengan mempertimbangkan segala aspek.

Sebelum mengenal pembelajaran secara khusus perlu mengenal


pembelajaran secara umum. Pembelajaran di dalam kelas baik secara klasikal
atau individual dibutuhkan adanya model pembelajaran. Untuk itu perlu
diketahui terlebih dahulu pengertian model secara umum. Model dalam
kehidupan sehari – hari merupakan suatu pola yang di contoh, baik dalam
bentuk fisik suatu hasil kerja atu suatu pola tertentu menghasilkan perilaku
belajar yang baik. Model pembelajaran merupakan penyederhanaan dari
hubungan berbagai komponen yang ada dalam proses belajar mengajar di
dalam kelas. Komponen – komponen pembelajaran meliputi : metode belajar,
sarana dan prasarana, guru, siswa, kurikulum, alat evaluasi, dan sebagainya.
Menurut Zamroni, (1988:79), mengatakan model merupakan inti dari teori
dalam bentuk sederhana , sehingga mudah dibaca dan dipahami. Sedangkan
menurut Winardi (1986:53-55), mengatakan ada tiga cara untuk menyatakan
model, yaitu : (1) secara verbal menerangkan dengan kata – kata, (2) secara
grafis yaitu menerangkan dengan menyajikan diagram, dan (3) secara
matematis pada ilmu pasti.

Ada beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar
mengajar pada anak tunarungu yaitu :

1. Prinsip Bimbingan

Bimbingan dapat diartikan suatu proses bantuan atau tuntutan terhadap


individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan mengembangkan
kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.
Layanan pengajaran merupakan bantuan kepada siswa dalam mengatasi
kesulitan – kesulitan dalam kegiatan pengajaran sehingga mereka dapat
mengembangkan kemampuannya secara optimal.

1. Prinsip Pengayaan

Pengayaan dalam pembelajaran dimaksudkan dengan adanya pengayaan


pada kurikulum yang dipelajari oleh siswa. Kemampuan siswa dapat
ditingkatkan melalui perluasan kurikulum yang dipelajari akan mengakibatkan
pengetahuan mahasiswa semakin luas dan mendetail. Pengayaan kurikulum
dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu : berorientasi pada proses, berorientasi
pada konten, materi yang harus dipelajari, dan berorientasi pada produk atau
hasil.
1. Belajar Tuntas

Belajar tuntas merupakan suatu system belajar yang mengharapkan


sebagian besar siswa tujuan (basic learning objective) tertentu secara tuntas.
Penguasaan terhadap tujuan sehingga dapat dikatakan tuntas memiliki standar
tertentu sesuai dengan tuntutan masing – masing tujuan yang hendak dicapai.
Pencapaian standar dalam belajar tuntas pada umumnya para siswa
diharapkan minimal menguasai 85 % dari jumlah populasi peserta didik dan
dari 85 % siswa harus menguasai sekurang – kurangnya 75 % tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.

1. Individu dalam proses pembelajaran

Individu sebagai peserta dalam proses pembelajaran memilikiperbedaan


antara individu yang satu dengan yamg lainnya dalam berbagai hal, yaitu :
waktu dan irama perkembanagan , motif, intelegensi, dan emosi, kecepatan
belajar, dan pembawaan dan lingkungan. Perbedaan – perbedaan tersebut
dalam individu akan mengakibatkan hasil belajar yang dicapai akan berbeda –
beda pula. Oleh karena itu dalam pembelajaran pendidik bertugas memberikan
pelayanan yang tepat dan menyediakan waktu yang cukup, sehingga tujuan
yang telah ditetapkan dapat tercapai semaksimal mungkin oleh siswa.

1. Media (Alat Bantu) dalam pembelajaran

Bahan pengajaran adalah seperangkat materi keilmuan yang terdiri atas


fakta, konsep, prinsip, generalisasi suatu ilmu pengetahuan yang bersumber
dari kurikulum dan dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran.
Metodologi pengajaran adalah metode dan teknik yang digunakan dalam
melakukan interaksinya dengan siswa agar bahan pengajaran sampai kepaad
siswa, sehingga siswa menguasai tujuan pengajaran.

Dalam metodologi ada dua aspek yang paling menonjol, yaitu metode mengajar
dan media pengajaran sebagai alat bantu mengajar. Sedangkan penilaian adalh
alat untuk mengukur atau menentukan taraf tercapai tidaknya suatu tujuan
pengajaran.

Penetapan Isi dan Metoda

Guru dengan Media

Siswa

ola pembelajaran yang memanfaatkan media pembelajarn yang memanfaatkan


media pembelajaran sebagai sumber – sumber di samping guru dapat digambarkan
sebagai berikut :

Tujuan

Gambar 2.1 Pola pembelajaran dibantu media (Arifin,2000)

Dalam praktek pembelajaran sebenarnya tidak ada pola yang kaku antar
komponen pembelajaran. Pola kombinasi yang lengkap dapat digambarkan sebagai
berikut :

Salah satu gambar yang paling banyak dijadikan acuan sebagai landasan teori
penggunaan media dalam proses belajar adalah Dale’s Cone of Experience (Kerucut
Pengalaman dale). Kerucut ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga
tigkatan pengalaman yang dikemukakan oleh bruner. Hasil belajar seseorang
diperoleh mulai dari pengalaman langsung (konkret), kenyataan yang ada di
lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan sampai kepada
lambing verbal (abstrak). Semakin diatas puncak kerucut semakin abstrak media
penyampai pesan itu. Perlu dicatat bahwa urut – urutan ini tidak berarti prosesw
belajar dan interaksi mengajar belajar harus selalu dimulai dari pengalaman
langsung, tetapi dimulai dengan jenis pengalaman yang paling sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi mempertimbangkan
situasi belajarnya.

Gambar 2.3 Kerucut Pengalaman Edgar Dale (Hamalik, 1994)


Dasar pengembanagan kerucut di atas bukanlah tingkat kesulitan,
melainkan tingkat keabstrakan, jumlah jenis indera yang turut serta selama
penerimaan isi pengajaran atau pesan. Pengalaman langsung akan memberikan
kesan paling utuh dan paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang
terkandung dalam pengalaman itu, oleh karena melibatkan indera pengluhatan,
pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba. Ini dikenal dengan Learning by
doing karena memberi dampak langsung terhadap pemerolehan dan
pertumbuhan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa.

1.
1. Penggunaan Komputer dalam Pembelajaran

Teknologi informasi (TI) merupakan salah satu bagian teknologi yang


berkembang dengan pesat dan aplikasinya sangat luas dewasa ini.aplikasi TI
yang nyata misalnya dengan hadirnya multimedia dan web, dalam bidang
pendidikan yang melahirkan terobosan baru dalam meningkatkan efisiensi dan
efektifitas proses pembelajaran.

Komputer telah diterapkan dalam bidang pendidikan semenjak awal


perkembangannya. Walaupun sangat bersifat administrative yaitu berupa
pembuatan aplikasi database dan komputerisasi, namun dalam bentuk yang
awal tersebut sudah mulai memasuki aspek pendidikan yang manual dan modul
kerja sampai pada bentuk simulasi sederhana dalam suatu proses misalnya
dalam kegiatan industri, penelitian dan administrasi.

Berkembangnya hardwere komputer dalam 2 dekade terkhir dari


mainframe yang mahal sampai PC dalam bentuk sekarang yang
kemampuannya secara bertahap telah meningkat drastis, memungkinkan
penggunaan komputer dalam pendidikan paad berbagai bentuknya, seperti
yang paling akhir ini, pendidikan jarak jauh lewat internet dan softwere
pengajaran berbagai bidang studi dalam bentuk CD softwere multimedia yang
memuat animasi, film, gambar, musik dan suara yang interaktif.
Pengajaran dengan bantuan komputer dikembangkan dari model belajar
terprograma (programmed instruction). Belajar terprograma ini merupakan
istilah umu pada system belajar yang berbeda untuk tingkat – tingkat berbeda
pula. Penekanannya terletak paad perlunya respon dengan tujuan untuk
pembentukan hasil belajar melalui control dari feedback atau reinforcement
(pemberian support yang akan berpengaruh pada psikologis siswa)

1.
1. Multimedia dalam pembelajaran bicara

Penggunaan komputer dalam pembelajaran kimia sebenarnya sudah ada


sejak beberapa decade terakhir. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, buku
– buku teks banyak dilengkapi dengan softwere (multimedia) yang merupakan
suplemen materi. Suplemen tersebut biasanya berisikan hal – hal yang tidak
dapat dihadirkan langsung oleh buku, misalnya peristiwa – peristiwa yang
terjadi secara kebetualn atau sengaja dilakukan.

Penggunaan multimedia dalam pembelajaran bicara belum banyak diteliti,


sehingga hasilnya belum banyak dipublikasikan. Namun pada beberapa
penelitian di bidang lain menunjukkan bahwa penggunaan multimedia tersebut
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep – konsep
(sanger,2001)

Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahn besar tersebut ialah


dengan memanfaatkan multimedia yang dapat mempresentasikan semua
domain berpikir dalm pembelajaran bicara. Multimedia tersebut haruslah
memfasilitasi mahasiswa untuk berpikir baik dari segi konsep maupun praktis.

Penggunan alat bantu pengajaran sangat membantu mahasiswa peserta


didik CD pembelajaran bicara merupakan salah satu alat bantu pembelajaran
memiliki peranan yang sangat membantu dalam menjelaskan hal – hal abstrak
menjadi jelas dan sederhana serta lebih efisien dalam waktu. Melalui
multimedia dapat dipergunakan untuk menganalisis kegiatan praktek yang
dilakukan oleh masing – masing mahasiswa. Dengan audio visual dapat
dilakukan analisis pada kegiatan pembelajaran yang kemudian dapat dilakukan
berbagai analisis dari kelebihan dan atau kesalahan yng dilakukan oleh
mahasiswa dalam pembentukan bicara anak tunarungu. Melalaui analisis
tersebut, hasil praktek yang telah direkam, dapat diketahui mana yang perlu
perbaikan jika terjadi kesalahan dalam praktek. Proses pembelajaran
selanjutnya berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan demikian
hasil yang diharapkan akan lebih baik. Pengajaran bicara, paad anak
tunarungu sangat diperlikan adanya peralatan bantu yang memadai, karenha
anak tersebut telah memiliki permasalahan dalam pendengarannya.

1.
1. Tunarungu dan permasalahannya

1. Pengertian

Tunarungu adalah peristilahan secara umum yang diberikan kepada anak


yang mengalami kehilangan/gangguan pendengaran, sehingga ia mengalami
gangguan dalam melaksanakan kehidupan sehari – hari. Secara garis besar
tunarungu dibedakan menjadi dua yaitu tuli dan kurang dengar. Menurut
Smith, M (1975:392-394); tuli bilaman mengalami kerusakan pendengarannya
dalam taraf yang berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi. Kurang
dengan bilamana ia mengalami kerusakan pendengarannya dalam taraf yang
berat, sehingga pendengarannya tidak berfungsi. Kurang dengan bilaman ia
mengalami kerusakan pendengaran, tetapi alat pendengarannya masih
berfungsi.

1. Karakteristik Tunarungu

Ada beberapa karakteristik tunarungu yaitu :

1. Intelegensi
Karakteristik dalam segi intelegensi, secara potensial tidak berbeda
dengan anak normal pada umumnya; ada yang pandai, sedang, dan bodoh.
Namun demikian secara fungsional intelegensi mereka berada di bawah anak
normal. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam memahami bahasa.

1. Emosi dan sosial

Keterbatasan yang terjadi dalm berkomunikasi pada tuanrungu


mengakibatkan perasaan terasing dari lingkungannya. Tunarungu mampu
melihat semua kejadian, akan tetapi tidak mampu untuk memahami
danmengikuti secra menyeluruh, sehingga menimbulkan emosi yang tidak
stabil, mudah curiga dan kurang percaya pada diri sendiri. Dalam pergaulan
cenderung memisahkan diri terutama dengan orang normal, hal ini disebabkan
keterbatasan dalam berkomunikasi secara lisan.

1. Bahasa dan Bicara

Tunarungu dalam segi bahasa dan bicara mengalami hambatan, hal ini
disebabkan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan bicara denagn
ketajaman pendengaran, mengingat bahasa dan bicara merupakan hasil dari
proses peniruan. Sehingga tunarungu dalam segi bahasa yang dimiliki ciri yang
khas yaitu sangat terbatas dalam kosa kata, sulit mengartikan arti kiasan, kata
– kata yang abstrak.

1. Media Komunikasi Tunarungu dalam Belajar

Media komunikasi tunarungu ada tiga yaitu : oral, isyarat, dan


komunikasi total.

1. Media oral

Media yang digunakan tunarungu dalam belajar menggunakan bicara.


Proses belajar mengajar yang diberikan oleh guru kepada tunarungu
menggunakan media bicara sebagaimana proses pembelajaran pada anak
normal dalam mengikuti pelajaran di kelas. Sebagai konsekuensi logis dalam
menggunakan media oral yaitu guru harus mengajarkan bicara ada tunarungu.

1. Media Isyarat

Media yang digunakan oleh guru dalm proses pembelajaran menggunakan


isyarat – isyarat sebagai pengganti kata huruf, tidak menggunakan media
bicara.Isyarat yang digunakan kadang – kadang masih bersifat lokal sehingga
sulit untuk berkomunikasi dengan sesame tunarungu di tempat lain. Untuk
mengatasi masalah tersebut telah disusun kamus isyarat bahasa Indonesia. Oleh
karena itu semua tunarungu harus belajar isyarat tersebut.

1. Media komunikasi total

Komunikasi total merupakan perpaduan dari kedua media yang


terdahulu. Media ini digunakan secara bersama – sama dalam proses belajar
mengajar di dalam kelas. Dengan harapan bila siswa tidak mengerti dari bentuk
ucapannya, diharapkan siswa dapat mengerti melalui isyaratnya. Untuk itu
tunarungu harus belajar bicara dan belajar isyarat.

1. Metode pengajaran yang efektif bagi tunarungu

Untuk menentukan metode yang efektif bagi tunarungu, langkah yang pertama
adalah memahami segala karakteristik tunarungu terutama dalam segi bahasa
dan langkah yang kedua adalah ciri khas tunarungu adalah visual/pemata.
Dalam pembelajaran tidak perlu menggunakan kata – kata yang sulit untuk
dipahami tunarungu, apalagi menggunakan kata yang abstrak, tetapi
menggunakan kata – kata yang singkat, jelas dan nyata (jika memungkinkan).
Dalam proses pembelajaran segala sesuatu yang diucapkan guru atau
diisyaratkan harus berada di jangkauan mata (dapat dilihat) tuanrungu, jika
tidak dapat dilihat oleh anak tunarungu maka pembelajaran tidak ada
manfaatnya.
1. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan uraian dari pengertian belajar, model pembelajaran, prinsip –


prinsip belajar dan individu sebagai peserta didik maka kegiatan pembelajaran
diperlukan adanya keterpaduan diantara komponen dalam belajar.
Keterpadauan ini berlaku disemua jenjang pendidikan termasuk di sekilah luar
biasa. Penggunaan alat bantu pengajaran sangat membantu peserta didik audio
visual salah satu alat bantu pembelajaran memiliki peranan yang sangat
membantu dalam menjelaskan hal – hal abstrak menjadi jelas dan sederhana
serta lebih efisien dalam waktu. Audio visual dapat dipergunakan untuk
menganalisis kegiatan praktek yang dilakukan oleh masing – masing
mahasiswa. Dengan audio visual dapat dilakukan analisis pada proses
pembelajaran yang kemudian dapat dilakukan berbagai analisis dari kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan dalam kelas dan menganalisis segi kelebihan
dan atau kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam pembentukan
direkam, dapat diketahui mana yang perlu perbaikan jika terjadi kesalahan
dalam praktek. Proses pembelanjaran selanjutnya berdasrkan hasil analisis
yang telah dilakukan dengan demikian hasil yang diharapkan akan lebih baik.
Pengajaran bicara, konsonan S pada anak tunarungu sangat diperlukan adanya
peralatan bantu yang memadai, karena anak tersebut telah memiliki
permasalahan dalam pendengarannya. Sebelum mereka diajarkan berbagai
pengetahuan, mereka perlu ditangani terlebuh dahulu pada komunikasi secara
lisan (bicara). Pembentukan bicara pada anak tunarungu merupakan pekerjaan
yang tidak mudah perlu dicari inovasi – inovasi dalam pembelajaran bicara ,
sehingga kesulitan yang dihadapi para pendidik dana calon pendidik dapat
terpecahkan.

Berdasarkan uraian diatas maka diajukan hipotesis tindakan yaitu


penggunan CD pengajaran bicara sebagai suplemen dapat meningkatkan
keterampilan mahasiswa dalam praktek pengajaran bicara konsonan S pada
anak tunarungu di SLB-B.
1.
1. Rencana Penelitian

1. Setting penelitian

Penelitian dilakjukan di laboratorium dengan melihat tayangan CD mengenai


pembelajaran konsonan S denga segala permasalahannya dan SLB B sebagai
tempat praktek pembelajaran pembentukan konsonan.

1. Variabel

Variabel yang menjadi sasaran dalam rangka PTK adalah peningkatan


keterampilan mahasiswa dalam melakukan praktek pembentukan/perbaikan
konsonan S pada anak tunarungu di SLB-B. Di samping variable tersebut masih
ada beberapa variabel yang lain yaitu : 1) input: sarana pembelajaran,
lingkungan belajar, bahan ajar, guru, siswa, prosedur evaluasi dsb. 2) proses
KMB: Interaksi belajar, gaya guru mengajar, implementasi berbagai metode
perbaikan konsonan S dsb. 3)Out put : Hasil belajar siswa beruapa ucapan
konsonan S pada waktu berbicara, motivasi siswa, dsb.

1. Rencana Tindakan

1. Perencanaan

Untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa setelah memperoleh


pengetahuan secara teoritik perlu di tingkatkan dengan kegiatan
dilaboratorium. Kegiatan latihan ini untuk pembetulan konsonan S dengan
simulasi sesame mahasiswa dengan berbagai teknik perbaikan guan
memperoleh keterampilan nyata yang sesungguhnya. Pada simulasi ini dikaji
mulai dari mengetahui jenis kesulitan ynag dialami siswa pada konsonan S,
termasuk sarana yang akan digunakan. Kegiatan simulasi jika dipandang cukup
maka kegiatan dilanjutkan dengan pemberian penanganan pada siswa
tuanarungu secara langsung di lapangan (SLB-B) dan dilakukan perekaman.
1. Implementasi Tindakan

Rencana yang telah disusun dicobakan sesuai dengan langkah yang telah
dibuat yaitu proses perbaikan konsonan S pada anak Tunarungu.

1. Observasi dan Implementasi

Observasi ini dilakaukan untuk melihat pelaksanaan apakah semua


rencana yang telah dibuat dengan baik tidak ada penyimpangan –
penyimpangan yang dapat memberikan hasil yang kurang maksimal dalam
perbaikan konsonan S pada anak tunarungu. Observasi dilakukan oleh teman
sejawat dalam satu tim dan juga dilakukan perekaman lewat video record.

1. Analisis dan Refleksi

Hasil kegiatan pembentukan konsonan S yang telah direkam, diputar


kembali untuk dianalisis untuk mengetahui kegagalan atau kesalahan yang
dialami oleh praktikan dan kemudian didiskusikan dengan dosen dan sesame
mahasiswa untuk mencari penyelesaiannya yang efektif pada kegiatan
pembentukan bicara berikutnya pada tahap berikutnya.

1. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui observasi baik secra manual maupun melalui


perekaman video, khususnya untuk data langsung prosedur/proses. Data ini
digunakan untuk melihat proses/prosedur pelaksanaan perbaikan konsonan S
dan akan digunakan sebagai dasar penilaian pada segi perencanaan kegiatan.
Disamping itu data dikumpulkan melalui tes untuk mengukur kemampuan
siswa dalam mengucapkan konsonan S. Data ini diperlukan untuk menentukan
keberhasilan perencanaan perbaikan konsonan S yang telah dibuat.

1. Indikator kinerja
Sebagai tolak ukur keberhasilan bagi mahasiswa yaitu anak tunarungu dapat
mengucapkan konsonan S. Indikator ini merupakan tempat dari rencana yang
telah dibuat dan imlikasinya dalam rangka memperbaiki konsonan S pada anak
Tunarungu.

1. Personalia Penelitian

1. Ketua peneliti :

a. Nama Lengkap dan Gelar : Drs. Budi Susetyo,M.Pd

b. Golongan / pangkat / NIP : IVa/Pembina/131 662 488

c Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

d. Fakultas/jurusan : FIP/Pendidikan Luar Biasa

e. Perguruan Tinggi : UPI

ABSTRAK
Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Media Pembelajaran Kartu Domino
Pada Siswa Kelas VII Di SMP Negeri I Purwodadi
Kec. Purwodadi Kab. Pasuruan
Tahun Pelajaran 2007/2008

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya strategi belajar yang memberikan kesempatan


kepada siswa untuk aktif belajar, dengan cara merubah metode pembelajaran yang
berpusat pada guru (teacher oriented) menjadi berpusat pada siswa (student oriented).
Pembelajaran pecaha dengan menggunakan media pembelajaran kartu domino untuk
meningkatkan minat belajar siswa.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Implementasi pembelajaran
matematika dengan menggunakan media pembelajaran kartu domino. (2) Ketuntasan
belajar siswa terhadap pembelajaran pecahan dengan menggunakan kartu domino. (3)
Respon siswa terhadap pembelajaran pecahan dengan menggunakan media pembelajaran
kartu domino. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Purwodadi Kabupaten
Pasuruan dengan subyek penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Purwodadi
pada pelajaran matematika dengan materi pecahan. Datayang diambil dalam penelitian
ini adalah data tentang keterlaksanaan pembelajaran pecahan dengan menggunakan
media pembelajaran kartu domino, data tentang hasil belajar siswa yang diberikan setelah
pembelajaran pecahan dengan menggunakan media pembelajaran kartu domino dan data
tentang respon siswa terhadap pembelajaran pecahan dengan menggunakan media
pembelajaran kartu domino. Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi,
metode tes, metode angket dan metode dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian selama enam kali pertemuan diperoleh bahwa
keterlaksanaan pembelajaran pecahan dengan menggunakan media pembelajaran kartu
domino dikategorikan sangat baik (A). Keaktifan siswa yang dilihat dari aktivitas siswa
selama pembelajaran berlangsung dapat dikategorikan sangat baik (A). Persentase
ketuntasan belajar siswa sebesar 81,81%yang dinyatakan tuntas belajar secara klasikal,
terdapat 27 siswa yang tuntas belajar dan 7 siswa tidak tuntas belajar. Respon siswa
terhadap pembelajaran pecahan dengan menggunakan media pembelajaran kartu domino
dinilai positif.

Kata Kunci : Kartu Domino, Matematika dan Pembelajaran.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Seiring dengan terus berkembangnya Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (IPTEK),
pendidikan saat ini hendaknya didasarkan pada tingkat kualitas dan kemampuan paraguru
dalam menggunakan berbagai metode pembelajaran yang ada untuk menghadapi
permasalahan yang yang dihadapi oleh siswa. Guru sebagai pendidik juga harus
mempersiapkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan cara berfikir siswa agar menjadi
lebih kritis dan kreatif.
Matematika adalah cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempunyai peranan
sangat penting dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Matematika juga dapat menjadikan siswa menjadi manusiayang dapat berfikir secara
logis, kritis, rasional dan percaya diri. Tetapi matematika seringnya dianggap oleh siswa
sebagai mata pelajaranyang sulit untuk dipahami penerapannya, baik teori maupun
konsep-konsepnya sehingga menyebabkan prestasi belajar matematika belum
menunjukkan hasilyang memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari daftar nilai ulangan harian,
nilai tugas, nilai tes semester dan nilai ujian akhir nasionalyang belum sesuai dengan
harapan guru dan siswa.
Dalam pembelajaran matematika diharapkan agar siswa mampu menguasai dan
memahami teori, konsep dan prinsip-prinsip penerapannya, maka konsep-konsepyang
menjadi dasar ilmu harus diberikan siswa secara benar dan penekanannya pada kegiatan
pengamatan secara langsung ditrasfer kepada orang lain. Mentransfer konsep melalui
informasi atau ceramah belum tentu menghasilkan konsepyang jelas secara keseluruhan
malah mungkin akan menimbulkan salah konsep. Untuk itu diperlukan interaksi
mengajar yang baik antara guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar.
Agar terjalin komunikasi dan interaksi yang baik antar guru dengan siswa, maka seorang
guru harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa serta pemilihan metode dan
penggunaan media pembelajaran yang tepat dalam proses belajar mengajar. Dengan
menggunakan media pembelajran dalam pengajaran matematika diharapkan dapat
mempermudah siswa untuk menerima dan memahami matematika.
Keberhasilan siswa dalam belajar tergantung pada cara penyajian materi pembelajaran,
media pembelajaran dan metode mengajar yang digunakan oleh guru pada proses belajar
mengajar. Banyak macam media pembelajaran yang digunakan dalam menyajikan suatu
materi pelajaran. Salah satu cara penyajian materi pelajaran yang diharapkan dapat
meningkatkan prestasi belajar adalah dengan menggunakan media pembelajaran kartu
domino.
Kartu domino disini bukanlah suatu kartu yang digunakan oleh orang untuk berjudi,
melainkan suatu media untuk pembelajaran yang bentuknya dibuat seperti kartu domino
untuk menarik minat siswa dalam belajar matematika. Kartu domino digunakan untuk
memahami fakta dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian suatu
bilangan khususnya bilangan pecahan serta digunakan untuk menghafal bangun-bangun
geometri.
Kartu domino merupakan suatu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk
menarik minat siswa dalam pembelajaran matematika. Selain itu kartu domino juga
digunakan untuk menghafal fakta dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian serta digunakan untuk menghafal bangun-bangun geometri. Darhim
(2001:314)
Dalam pembelajaran matematika dengan mengunakan media pembelajaran kartu domino
dirasakan akan lebih efektif dan berhasil daripada menggunakan metode
ceramah/informasi terutama bagi siswa yang daya ingatnya kurang dalam belajar karena
banyaknya materi yang harus diterima di sekolah, selain itu dengan menggunakan kartu
domino ada keasyikan tersendiri dalam belajar sehingga siswa akan tertarik dan mudah
untuk menerima, mengerti dan memahami pelajaran yang dipelajari. Untuk itu, peneliti
ingin mengetahui sejauh mana efektivitas media pembelajaran kartu domino tersebut
digunakan dalam pembelajaran matematika. Karena berdasarkan observasi dan informasi
dari guru-guru di SMP Negeri 1 Purwodadi khususnya guru bidang studi matematika,
media pembelajaran kartu domino tersebut belum pernah digunakan dalam pembelajaran
matematika khususnya pada pokok bahasan bilangan pecahan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengajukan penelitian dengan judul:
”Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Media Pembelajaran Kartu Domino
Pada Siswa Kelas VII Di SMP Negeri I Purwodadi Kec. Purwodadi Kab. Pasuruan Tahun
Pelajaran 2007/2008”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Perlunya metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum yang
diterapkan
2. Apakah dengan menggunakan media pembelajaran kartu domino dapat meningkatkan
minat belajar siswa terhadap pelajaran matematika?
3. Apakah pengajaran kartu domino dapat meningkatkan prestasi belajar matematika
siswa kelas VII di SMP Negeri I Purwodadi Kec. Purwodadi Kab. Pasuruan tahun
pelajaran 2007/2008?
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi pembelajaran pecahan dengan menggunakan media
pembelajaran kartu domino?
2. Bagaimana ketuntasan siswa terhadap pembelajaran pecahan dengan menggunakan
media pembelajaran kartu domino?
3. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran pecahan dengan menggunakan media
pembelajaran kartu domino?
1.4 Batasan Masalah
Batasan permasalahan pada penelitian ini adalah:
1. Materi yang diajukan pada penelitian adalah pokok bahasan pecahan.
2. Sasaran atau obyek penelitian ini adalah siswa kelas VII di SMP Negeri I Purwodadi
Kec. Purwodadi Kab. Pasuruan tahun pelajaran 2007/2008.
3. Media pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah kartu domino.
1.5 Tujuan Penelitian.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah:
1. Untuk menegetahui implementasi pembelajaran pecahan dengan menggunakan media
pembelajaran kartu domino.
2. Untuk mengetahui ketuntasan siswa terhadap pembelajaran pecahan dengan
menggunakan media pembelajaran kartu domino.
3. Untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran pecahan dengan menggunakan
media pembelajaran kartu domino
1.6 Kegunaan Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai motivasi bagi guru untuk mererapkan metode mengajar dan media
pembelajaran dalam setiap kegiatan proses belajar mengajar matematika.
2. Sebagai masukan bagi guru atau calon guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar matematika.
3. Bagi siswa, dapat menyelesaikan permasalahan dengan cara berfikir kritis maupun
dengan kelompok.
1.7 Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahan tafsiran terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian
ini, maka peneliti memberikan batasan istilah sebagai berikut:
1. Pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu proses mendapatkan
informasi mengenai penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian pecahan
dengan menggunakan media pembelajaran kartu domino.
2. Pecahan adalah suatu bentuk bilangan , dengan a,b bilangan bulat dan b 0
3. Media pembelajaran kartu domino dalam penelitian adalah pembelajaran yang
menggunakan permainan alat peraga kartu domino.
4. Ketuntasan belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa dalam jangka waktu tertentu
dalam menyelesaikan materi (Hamalik.1989,104).
5. Respon siswa adalah tanggapan, pendapat dan antusias siswa terhadap pembelajaran
penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian pecahan dengan menggunakan
media pembelajaran kartu domino.
Sumber:

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/pendidikan-matematika/pembelajaran-
matematika-menggunakan-media-pembelajaran-kartu-domino-pada-siswa-kelas-vii-

Digg this post Bookmark to delicious Stumble the post Add to your technorati favourite
Subscribes to this post
« TIK sebagai Bagian Budaya Para Pendidik
20 Sikap

Kode PEND-PLB-0012) : Skripsi Peningkatan Prestasi Belajar Membaca


Permulaan Dengan Media Pembelajaran Kartu Kata Untuk Anak Tunagrahita
Ringan Kelas II SLB Negeri X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan untuk anak dengan berkebutuhan khusus membutuhkan suatu pola layanan
tersendiri khususnya bagi anak-anak tunagrahita sesuai dengan tingkat kemampuan
intelektualnya di bawah rerata. Kelainan khusus terhadap fisik atau mental pada anak
tunagrahita menghendaki layanan pendidikan khusus sesuai dengan Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 dalam
pasal 32 ayat (2). dinyatakan bahwa “Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa”. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai hendaya
perkembangan atau “Tunagrahita”.
Menurut H.T. Sutjihati Somantri, (1996: 86), ”klasifikasi anak Tunagrahita pada
umumnya didasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri dari (1). tunagrahita ringan,
(2). tungrahita sedang, dan (3) tunagrahita berat”. Tunagrahita ringan disebut juga moron
atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut
Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca,
menulis dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak
tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya
sendiri. Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik karena
mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya
Pembelajaran membaca permulaan erat hubungannya dengan pembelajaran menulis
permulaan karena sebelum mengajarkan menulis, guru harus terlebih dahulu
mengenalkan bunyi suatu tulisan beserta bunyi melalui pembelajaran membaca
permulaan. Pembelajaran membaca permulaan merupakan pembelajaran membaca tahap
awal dan kemampuan yang diperoleh siswa akan menjadi dasar pembelajaran membaca
lanjut yang dilaksanakan di kelas-kelas yang lebih tinggi. Membaca permulaan diberikan
secara bertahap, yakni pra membaca, dan membaca. Pada tahap pra membaca, kepada
siswa diajarkan (1) sikap duduk yang baik pada waktu membaca, (2) cara meletakkan
buku di atas meja, (3) cara memegang buku,(4) cara membuka dan membalik halaman
buku, dan (5) melihat dan memperhatikan tulisan. Pembelajaran membaca permulaan
dititikberatkan pada aspek-aspek yang bersifat teknis seperti ketepatan menyuarakan
tulisan, lafal dan intonasi yang wajar, kelancaran dan kejelasan suara. Kemampuan
membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap
kemampuan membaca lanjut. Sebagai kemampuan yang mendasari kemampuan
berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian
guru, sebab jika dasar itu tidak kuat maka pada tahap membaca lanjut siswa akan
mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai seperti
yang diharapkan oleh kita semua.
Ilmu yang paling penting pada tahap awal pendidikan formal ada tiga yaitu : membaca,
menulis dan berhitung. Keberhasilan dari pembelajaran tersebut sangatlah ditentukan
oleh guru, sebab guru yang baik adalah guru yang mempunyai kemampuan, baik
kemampuan dalam memahami teori dan kemampuan dalam menyampaikan pembelajaran
maupun kemampuan dalam memilih media pembelajaran yang tepat.
Dalam proses pembelajaran, baik bagi peserta didik pada Sekolah Dasar umum maupun
pada Sekolah Khusus tidak dapat dihindari penggunaan media pembelajaran sebagai
bagian yang integral. Salah satu media pembelajaran adalah buku ajar sebagai media
konvensional yang sampai saat ini masih dipergunakan, namun penyajian yang ditulis
dalam buku ajar ini umumnya berisi materi yang membutuhkan pemahaman yang tinggi
karena bentuknya yang baku dan ilmiah, sehingga diperlukan media pembelajaran
alternatif yang dapat membantu dalam mencapai tujuan pembelajaran di kelas. Anjuran
agar menggunakan media dalam pembelajaran terkadang sulit dilaksanakan, disebabkan
dana yang terbatas untuk membelinya. Menyadari hal itu, disarankan agar tidak
memaksakan diri untuk membelinya, tetapi cukup membuat media pembelajaran yang
sederhana selama menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Untuk tercapainya tujuan
pembelajaran tidak mesti dilihat dari kemahalan suatu media, yang sederhana juga bisa
mencapainya, asalkan guru pandai menggunakannya serta mampu memanipulasi media
sebagai sumber belajar dan sebagai penyalur informasi dari bahan yang disampaikan
kepada peserta didik dalam proses pembelajaran.
Media pembelajaran kartu atau Flash Cards merupakan salah satu media pembelajaran
visual yang sederhana untuk mempermudah cara belajar peserta didik, media ini dibuat
dengan biaya yang relatif murah, mudah dipahami dan dimengerti, namun sangat
diperlukan sebagai alat bantu yang dapat merangsang motivasi belajar dalam membaca
permulaan. Menurut Basuki Wibawa dan Farida Mukti (2001 :30) ”media kartu atau flash
cards biasanya berisi kata-kata, gambar atau kombinasi dan dapat digunakan
mengembangkan perbendaharaan kata-kata dalam mata pelajaran bahasa pada umumnya
dan pada bahasa asing pada khususnya”.
Kenyataan di lapangan pada beberapa Sekolah Luar Biasa, masih banyak ditemukan
siswa-siswa baik yang masih sekolah maupun yang telah lulus, namun tetap belum dapat
membaca dengan baik dan benar, meskipun hanya membaca kata-kata sederhana. Hal
tersebut juga menjadi permasalahan serius di SLB Negeri X Kabupaten X. Dan apabila
hal ini dibiarkan, maka tujuan institusional sekolah luar biasa akan semakin jauh dari
kenyataan Dengan melihat pentingnya kemampuan membaca, khususnya membaca
permulaan, inilah siswa kelas II Tunagrahita Ringan SLB Negeri X Kabupaten X
mengalami permasalahan, hal ini dapat kita lihat pada nilai raport semester 1 tahun
pelajaran XXXX/XXXX pada tabel berikut ini :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut : Apakah penggunaan media pembelajaran kartu kata dapat
meningkatkan prestasi belajar membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas II SLB
Negeri X Kabupaten X?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas
penggunaan media pembelajaran kartu kata dalam meningkatkan prestasi belajar
membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas II SLB Negeri X Kabupaten X

D. Manfaat Penelitian
Ada beberapa hal yang dapat diambil manfaat dari penelitian ini, adalah :
1. Manfaat Teoritis.
Hasil dari penelitian tindakan kelas ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber acuan
dan referensi bagi penelitian tindakan kelas lain atau berikutnya.
2. Manfaat Praktis.
a. Bagi anak
Dengan penggunaan media pembelajaran kartu kata diharapkan dapat mengatasi
permasalahan anak tunagrahita ringan dalam pembelajaran membaca permulaan.
b. Bagi Guru.
Kegiatan penelitian tindakan kelas ini akan melatih penulis sekaligus guru kelas dalam
memecahkan permasalahan dan meningkatkan pembelajaran serta mencari strategi
pembelajaran membaca permulaan yang tepat.
c. Bagi Sekolah
Hasil dari penelitian tindakan kelas ini dapat dikembangkan dan menjadi pedoman bagi
pihak sekolah dalam menyusun strategi pembelajaran yang lainnya.

MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG PENGUKURAN BERAT MELALUI


MODEL BERJUAL-BELI PADA SISWA TUNA GRAHITA RINGAN KELAS V DI
SLB NEGRI PELAMBUAN BANJARMASIN
PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:
SUPRIYATI
SLB NEGRI PELAMBUAN
BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN 2010
Judul Meningkatkan Pemahaman Tentang Pengukuran Berat Melalui Model
Berjual-beli Pada Siswa Tunagrahita Ringan Kelas V di SLB Negri
Pelambuan Banjarmasin
Peneliti Supriyati

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Standar kompetensi dan kompertensi dasar Sekolah Dasar Luar Biasa
Tunagrahita Ringan ( SDLB-C ) tahun 2006, mata pelajaran matematika diberikan
untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut
diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh,
mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang
selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran
matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah
terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara
penyelesaian untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu
dikembangkan ketrampilan memahami masalah, menyelesaikan masalah, dan
menafsirkan solusinya.
Materi pembelajaran matematika tunagrahita ringan kelas V standar
kompetensi pengukuran, kompetensi dasar melakukan pengukuran berat dengan
satuan kilogram erat kaitanya dengan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.
Anak Tunagrahita Ringan adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah
rata-rata anak normal, menurut Suparlan (1983:29) yaitu sebagai berikut” Anak
Tunagrahita ringan disebut juga anak Debil yaitu anak yang keadaanya lebih
ringan dibanding anak Embisil yang tingkat kecerdasanya/IQ 25-50, sedang anak
Tunagrahita Ringan memiliki tingkat kecerdasan/IQ 50/55-70/75.” Dari
pengertian tersebut dapat dikatakan anak Tunagrahita Ringan mengalami
keterbelakangan mental sehingga dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-
hari mengalami hambatan terutama daya ingat, penalaran, dan penerapan. Materi
pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah pengukuran khususnya
pengukuran berat memerlukan ingatan, penalaran dan ketrampilan dalam
menerapkan. Pada kenyataanya dalam pembelajaran anak tunagrahita ringan
sering mengalami kesulitan dalam mengingat tingkat satuan ukuran berat
( miligram, centigram, desigram, gram, dekagram, hektogram, kilogram ),
membedakan tingkatan satuan ukuran berat, menggunakan satuan ukuran berat
sesuai dengan jenis barang.
Dari permasalahan tersebut di atas diupayakan untuk mengatasi
permasalahan yang erat kaitanya dengan kehidupan sehari-hari yaitu masalah
pengukuran berat pada anak tunagrahita ringan kelas V melului model berjual-
beli, upaya ini diharapkan dapat mempermudah siswa mengingat, membedakan,
menggunakan satuan pengukuran berat sesuai dengan jenis barangnya. Karena
model berjual-beli ini penulis anggap pendekatan yang paling sesuai dengan
karakteristik anak tunagrahita ringan yang memerlukan pendekatan dengan
modeling. Model berjual-beli secara langsung anak akan mempraktekkan dengan
meniru model yaitu si penjual dan si pembeli, sehingga pembelajaran akan lebih
terkesan dan bermakna dalam ingatan anak yang akhirnya dalam menghadapi
masalah pengukuran berat dalam kehidupan sehari-hari akan terbantu. Dalam
pembelajaran siswa diarahkan pada situasi yang mendekati situasi yang
sebenarnya yaitu ada siswa yang berperan sebagai penjual dan ada siswa yang
berperan sebagai pembeli, barang- barang tiruan sebagai barang dagangan
ditentukan barang-barang yang diukur dengan satuan ukuran berat. Dengan model
berjual-beli anak akan secara langsung dapat menggunakan satuan pengukuran
berat.

B. Masalah dan Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang dapat diketahui permasalahan utamanya adalah:
Rendahnya pemahaman tentang pengukuran berat siswa tunagrahita ringan kelas
V di SLB Negeri Pelambuan , dari permasalahan tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tunagrahita ringan kelas V tentang
satuan pengukuran berat ?
2. Bagaimana siswa tunagrahita ringan kelas V dapat melakukan pengukuran
berat ?
3. Bagaimana siswa tunagrahita ringan kelas V dapat memecahkan soal cerita
sederhana tentang pengukuran berat ?

C. Batasan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka usaha untuk meningkatkan
tersebut dibatasi pada pengukuran berat kilogram, hektogram/ons dengan alat
timbangan duduk melalui model berjual-beli walaupun mungkin dapat digunakan
pengukuran , alat, dan model yang lain, sebab melalui model berjual-beli ini lebih
potensial untuk mencapai tujuan supaya terjadi peningkatan hasil belajar siswa.

D. Rencana Pemecahan Masah


Penelitian tindakan kelas ini direncanakan dalam rangka mencari solusi
permasalahan tersebut di atas melalui model berjual-beli untuk meningkatkan
kemampuan melakukankan pengukuran berat siswa tunagrahita ringan kelas V di
SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.

E. Tujuan Penelitian
Sebagaimana permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tindakan
kelas ini bertujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang satuan pengukuran berat siswa
tunagrahita ringan kelas V di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.
2. Meningkatkan ketrampilan melakukan pengukuran berat pada siswa
tunagrahita ringan di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.
3. Meningkatkan kemampuan memecahkan soal cerita sederhana tentang
pengukuran berat siswa tunagrahita ringan di SLB Negri Pelambuan
Banjarmasin.

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
siswa, guru, dan lembaga ( sekolah )
1. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan efektivitas dalam belajar
melakukan pengukuran berat, yang bermuara pada pengembangan
pengetahuan selanjutnya.
2. Bagi orang tua siswa, hasil penelitian ini dapat membantu meningkatkan
Ketrampilan siswa di rumah khususnya dalam menggunakan pengukuran
berat.
3. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
penelitian selanjutnya khususnya dalam pembelajaran pengukuran.
4. Bagi Kepala sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan
kebijakan pembelajaran melalui model berjual-beli khususnya pembelajaran
pengukuran mata pelajaran matematika siswa tunagrahita ringan kelas V di
SLB Negri Pelambuan Banjarmasin

G. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Tentang Anak Tunagrahita Ringan
Pengertian Anak Tunagrahita Ringan
Anak Tunagrahita Ringan menurut Bratanata S.A (1977:5)sebagai
berikut: “ Anak Tunagrahita Ringan adalah mereka yang masih punya
kemungkinan untuk memperoleh pendidikan dalam bidang membaca menulis
dan berhitung pada suatu tinggkat tertentu, biasanya hanya sampai tingkat kelas
IV SD serta mampu mempelajari ketrampilan-ketrampilan sederhana.”
Pengertian Anak Tunagrahita menurut Suparlan (1983:29) yaitu sebagai berikut
: “ Anak Tunagrahita ringan disebut juga anak Debil yaitu anak yang keadaanya
lebih ringan dibanding anak Embisil yang tingkat kecerdasanya / IQ 25-50,
sedangkan anak Tunagrahita Ringan memiliki tingkat kecerdasan /IQ 50/55-
70/75.”
Dari pengertian di atas, maka anak tunagrahita ringan adalah anak tungrahita
yang masih memiliki IQ 50/55-70/75, masih mempunyai potensi untuk
dikembangakan dalam bidang akademik seperti membaca, menulis dan
berhitung, penyesuaian sosial serta kemampuan kerja dalam bidang
ketrampilan yang dapat dijadikan hidup mandiri.

2. Tinjauan Tentang Belajar


a. Pengertian Belajar
Menurut W.S Winkel (1989:36) definisi belajar adalah sebagai berikut
” Belajar adalah suatu aktifitas mental/ psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan,
ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan ini bersifat secara relatif konstan dan
berbekas.”
Sedangkan menurut T. Margon (1977:63) belajar merupakan perubahan
tingkah laku yang relatif permanen sebagai akibat dari pengalaman atau
latihan.
Dari kedua definisi tersebut di atas dapat diambil pengertian bahwa belajar
merupakan kegiatan yang disengaja untuk melakukan proses perubahan
tingkah laku yang relatif permanen atau tetap. Jadi perubahan tingkah laku
yang terjadi karena belajar untuk jangka waktu tertentu akan tetap, akan
tetapi dilain pihak tingkah laku tersebut akan terus seumur hidup. Tingkah
laku akan dapat berubah jika mengalami proses belajar berikutnya. Inilah
perubahan tingkah laku yang relatif permanen. Perubahan sebagai akibat
belajar dapat berupa sesuatu yang baru dan segera nampak atau segala
sesuatu yang masih tersembunyi dan terjadi dimasa yang akan datang, atau
mungkin juga perubahan itu hanya berupa penyempurnaan dari hal-hal yang
telah dipelajari sebelumnya, Irwanto (1989:105).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Belajar
Peserta didik yang melakukan belajar tidak terlepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Tetapi tidak semua faktor mempunyai pengaruh yang
sangat besar, ada yang berperan sangat penting ada yang kecil pengaruhnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar antara lain:
1). Faktor intern yaitu faktor fisik dan psikis
Faktor fisik, yaitu keadaan anggota badan seperti kaki dan tangan yang
kurang sempurna serta ketajaman tinggkat pendengaran dan penglihatan
dapat mempengaruhi proses serta hasil belajar mengajar.
Anak tunagrahita ringan pada umumnya tidak mengalami kelainan fisik
yang dapat mempengaruhi proses belajar mengajar.
Faktor psikis adalah faktor yang berkaitan dengan kemampuan
intelektual.
Bagi anak tunagrahita ringan faktor ini sangat dominan, ciri-ciri anak
tunagrahita ringan menurut Sutratinah Tirtonegoro (1996 : 11) adalah :
a). Intelegensi di bawah normal ( 50/55 – 70/75)
b). Tidak dapat memusatkan perhatian dalam waktu yang lama.
c). Daya abstraksi rendah.
d). Perkembangan psikis lambat.
e). Perbendaharaan kata terbatas.
f). Daya ingat rendah.
g). Sugestibel.
h). Kepribadian kurang harmonis.
2). Faktor ekstern yaitu faktor alam, faktor sosial, dan faktor sarana /
prasarana.
Faktor ini sewaktu-waktu berubah sesuai dengan usaha masing-masing
peserta didik.
3. Tinjauan Pendekatan Kontektual
Pemikiran tentang Belajar yang Mendasari Pendekatan Kontektual. Pendekatan
kontektual mendasari diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar
sebagaiberikut:
1). Proses Belajar
Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus konstruksikan
pengetahuan dibenak mereka sendiri. Anak belajar dari mengalami dan
mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan dari
begitu saja oleh guru. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki
seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam
tentang suatu persoalan. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi
fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan ketrampilan
yang dapat diterapkan .
Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya dan bergelud dengan ide-ide. Proses belajar dapat
mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak tersebut berjalan terus
seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan ketrampilan
seseorang.
2). Transfer Belajar
Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
Ketrampilan dalam pengetahuan itu diperluas dengan konteks yang terbatas
( sedikit demi sedikit ). Penting bagi siswa untuk apa dia belajar dan
bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan ketrampilan itu.
3). Siswa Sebagai Pembelajar
Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu,
dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat
hal-hal baru. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari
sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk mempelajari hal-hal yang sulit,
strategi belajar amat penting. Peran orang dewasa ( guru ) membantu
menghubungkan makna yang baru dengan yang sudah diketahui.
Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka
sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
4). Pentingnya Lingkungan Belajar
Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada
siswa. Guru yang berakting di depan kelas, siswa menonton, bekerja dan
berkarya, dan guru mengarahkan .Pengajaran harus berpusat bagaimana cara
siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih
dipentingkan dibandingkan hasilnya. Umpan balik amat penting bagi siswa,
yang berasal dari proses penilaian yang benar. Menumbuhkan komunitas
belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
5). Hakekat Pembelajaran Kontektual
Pembelajaran kontektual adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia siswa
dan membuat siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapanya dalam kehidupan mereka sehari-hari,
dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni:
konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Quesitoning), menemukan
(Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan
(Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).
6). Pengertian Pendekatan Kontekstual
Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan untuk
memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang
dipelajarinya dengan mengaitkan konteks tersebut dengan konteks
kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, soasial, dan kultural)
sehingga siswa memiliki pengetahuan/ketrampilan yang fleksibel dapat
diterapkan/ditransfer dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan
/konteks lainnya. Merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan nya dengan situasi dunia nyata
dan mendorong belajar membuat hubungan antara materi yang
diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat.
Pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini mengacu pada
pendekatan kontektual yang hakekatnya membantu siswa menghubungkan
pengetahuan dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari, yang
dianggap relevan dengan keperluan siswa tunagrahita ringan.
4. Tinjauan Model Berjual-beli
Model berjual-beli merupakan salah satu cara pendekatan dalam
Pembelajaran. Pengertian Model Berjual-beli dalam kamus Bahasa Indonesia
oleh Muhammad Ali Model diartikan tiruan sedangkan berjual-beli adalah
kegiatan antara penjual dengan pembeli. Menurut pengertian di atas, jadi
Model Berjual-beli secara umum adalah suatu kegiatan menirukan kegiatan
antara penjual dan pembeli. Manfaat Model Berjual-beli dalam pembelajaran
untuk meningkatkan pemahaman siswa, meningkatkan daya kreasi, membuat
isi pelajaran tidak mudah terlupakan karena siswa langsung melakukan
kegiatan. Kegiatan pembelajaran ini dilaksanakan pada siswa Tunagrahita
Ringan kelas V di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin dalam upaya
meningkatkan kemampuan siswa melakukan pengukuran berat kilogram
dengan alat timbangan duduk dengan satuan ukur kilogram dan ons, kegiatan
yang akan dilakukan antara lain:
a. Mengenalkan satuan ukuran berat.
b. Mengenalkan alat ukur berat/timbangan.
c. Menggunakan alat ukur berat/timbangan.
d. Menyelesaikan soal cerita sederhana tentang pengukuran berat.
Dari uraian kajian teori diatas bahwa anak tunagrahita ringan di SLB Negri
pelambuan diasumsikan dapat melakukan kegiatan pembelajaran dengan
model berjual-beli

H. Hipotesis
Melalui model berjual-beli dapat meningkatkan kemampuan melakukan
pengukuran berat kilogran siswa tunagrahita ringan kelas V di SLB Negri
Pelambuan Banjarmasin.

I. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas
( PTK ) atau yang disebut dengan classroom action research. Yang nantinya akan
dilaksanakan atas empat rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam 3 siklus.
Suhardjono ( 2008:74) empat kegiatan itu antara lain: (a) perencanaan, (b) tindakan,
(c) pengamatan,
dan(d) refleksi. Adapun gambaran lokasi dan kegiatan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

1. Setting
Penelitian ini dilaksanakan di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin kelas V
tunagrahita ringan yang jumlah siswanya ada 7 orang, 3 siswa laki-laki dan 3
siswa perempuan. Dalam pengumpulan data nantinya 6 siswa tunagrahita ringan
semua mendapat tindakan yang sama.
2. Sasaran Penelitian
Hal yang perlu diteliti adalah faktor melakukan pengukuran berat kilogran dalam
bidang studi matematika siswa tunagrahita ringan kelas V SLB Negri Pelambuan
Banjarmasin melalui model berjual-beli. Datanya adalah siswa tunagrahita ringan
kelas V SLB Negri Pelambuan Banjarmasin. Alat penggali data dengan cara tes
dan observasi.
3. Rencana Tindakan
Tindakan direncanakan akan dilaksanakan sebanyak 3 siklus yang setiap siklus
meliputi kegiatan
a. Perencanaan
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan ini antara lain adalah
1). Membuat rencana pembelajaran standar kompetensi menggunakan
pengukuran kompetensi dasar melakuan pengukuran berat kiligram.
2). Membuat lembar kerja siswa tentang melakukan pengukuran berat kilogram
3). Mempersiapkan alat yang mendukung pembelajaran, dalam hal ini adalah
timbangan duduk.
b. Pelaksanaan
Setiap siklus dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan sesuai dengan jadwal
Kegiatan
Siklus I
PBM I/ Pertemuan I
1). Pengenalan, pemahaman, dan penanaman konsep pengukuran berat .
2). Menyebutkan, mengingat satuan pengukuran berat
3). Menyebutkan beberapa macam barang yang diukur dengan kilogram.
PBM II/ Pertemuan II
Belajar melakukan pengukuran benda ( pasir sebagai tiruan gula ) dengan
satuan berat kilogram melalui model berjual-beli.
PBM III/ Pertemuan III
1). Belajar menyelesaikan soa-soal cerita sederhana berkenaan dengan
pengukuran berat kilogram.
2). Tes akhir siklus I
Siklus II
PBM I/ Pertemuan I
1). Pengenalan, pemahaman, dan penanaman konsep tingkatan satuan ukuran
berat.
2). Menyebutkan, mengingat satuan ukuran berat.
3). Menyebutkan beberapa macam barang yang diukur dengan hektogram/ons
PBMII/Petemuan II
Belajar melakukan pengukuran berat dengan satuan hektogram/ons melalui
model berjual-beli.
PBM III/ Pertemuan III
1). Belajar menyelesaikan soal-soal cerita sederhana tentang pengukuran berat
hektogram/ ons.
2). Tes akhir siklus II.
Siklus III
PBM I/ Pertemuan I
1). Pengenalan, pemahaman, dan penanaman konsep ukuran berat ½
kilogram(5 ons)
2). Mengingat dengan menyebutkan satuan ukuran berat ½ kilogram/5ons
3). Menyebutkan beberapa macam benda yang diukur dengan satuan ½
kilogram/5ons.
PBM II/ Pertemuan II
Belajar melakukan pengukuran berat ½ kilogram/5 ons melalui model berjual-
beli.
PBM III/ Pertemuan III
1). Belajar menyelesaikan soal-soal cerita sederhana tentang pengukuran berat
½ kilogram/5 ons.
2). Tes akhir siklus III.
4. Data dan cara pengambilanya.
a. Dengan pengamatan ( obserfasi ).
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara melibatkan
interaksi antara peneliti dengan pengamat selama penelitian berlangsung dan
dilakukan secara sistematis, peneliti harus bersikap dan berlaku yang wajar
tidak menampakkan sebagai peneliti.
b. Dengan tes
Tes digunakan untuk memperoleh data Subyek, adapun data ini adalah prestasi
belajar siswa.
5. Analisa data.
Data kuantitatif yang berupa skor hasil tes obyektif dianalisis, skor hasil tersebut
dicari rata-ratanya dari perhitungan jawaban benar, kemudian diprosentasikan
dan disimpulkan.
6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Waktu Kegiatan Keterangan
Minggu ke 1 Penyusunan dan penyempurnaan Konsultasi proposal
proposal
Minggu ke 1 Pelaksanaan penelitian siklus 1 Konsultasi dengan
Minggu ke 1 Pelaksanaan penelitian siklus II d0sen pembimbing
Minggu ke 1 Pelaksanaan penelitian siklus III
Penyusunan laporan penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Bratanata,SA (1977), Pendidikan Anak Terbelakang. Bandung : Masa Baru


Depdiknas (2003), Standar Pelayanan Minimal Sekolah Luar Biasa. Jakarta : Direktorat
Pendidikan Luar Biasa.
Depdiknas (2003), Pendekatan Konstektual. Jakata : Direktorat Jendral Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Depdiknas (2006), Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Jakarta : Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Irwanto, dkk (1988), Psikologi Umum. Jakarta : Pusat Penelitian Unika Atmajaya.
Morgon, CT dan King, RA (1977), Introduktion to Psychology. New York :
Mc. Grow-Hill Book Company.
Muhammad Ali, Kamus Indonesia Modern. Jakarta : Pustaka Amani.
Arikunto Suharsimi (2002), Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Suharjono (2008), Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Kegiatan Pengembangan Profesi
Guru. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Supardi (2004), Penelitian Tindakan Kelas. Jakarata : PT Bumi Aksara.
Suparlan (1991), Pendidikan Anak Luar Biasa. Yogyakarata : FIP IKIP Yogyakarta.
Sutratinah T (1997), Orto Pedagogik. Yogyakarta : II. FIP IKIP Yogyakarta.
Winkel W,S (1989), Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta : Gramedia.

KERANGKA PENELITIAN TINDAKAN KELAS

A. Permasalahan
Dalam pembelajaran matematika tentang pengukuran berat pada siswa tunagrahita
ringan kelas V di SLB Negeri Pelambuan mengalami kesulitan dalam memahami
tentang satuan ukuran berat seperti gram, hektogran/ons, kilogram dsb.

B. Judul
Meningkatkan Pemahaman Tentang Pengukuran Berat Melalui Model Berjual-beli
Pada Siswa Tunagrahita Ringan Kelas V di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin

C. Latar belakang
Materi pembelajaran matematika tunagrahita ringan kelas V standar kompetensi
pengukuran, kompetensi dasar melakukan pengukuran berat dengan satuan
kilogram erat kaitanya dengan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Anak
Tunagrahita Ringan adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata
anak normal, menurut Suparlan (1983:29) yaitu sebagai berikut” Anak Tunagrahita
ringan disebut juga anak Debil yaitu anak yang keadaanya lebih ringan dibanding
anak Embisil yang tingkat kecerdasanya/IQ 25-50, sedang anak Tunagrahita Ringan
memiliki tingkat kecerdasan/IQ 50/55-70/75.” Dari pengertian tersebut dapat
dikatakan anak Tunagrahita Ringan mengalami keterbelakangan mental sehingga
dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari mengalami hambatan terutama
daya ingat, penalaran, dan penerapan. Materi pembelajaran yang berhubungan
dengan masalah-masalah pengukuran khususnya pengukuran berat memerlukan
ingatan, penalaran dan ketrampilan dalam menerapkan.Untuk mempermudah anak
tunagrahita ringan dalam memahami satuan pengukuran berat direncanakan dalam
pembelajaran menggunakan model berjual-beli.Pembelajaran melalui model
berjual- beli nantinya semua siswa aktif melakukan kegiatan sesuai dengan
perannya, yaitu ada siswa yang berperan sebagai penjual dan ada siswa yang
berperan sebagai pembeli.

D. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang dapat diketahui permasalahan utamanya adalah:
Rendahnya pemahaman tentang pengukuran berat siswa tunagrahita ringan
kelas V di SLB Negeri Pelambuan , dari permasalahan tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tunagrahita ringan kelas V tentang
satuan pengukuran berat ?
2. Bagaimana siswa tunagrahita ringan kelas V dapat melakukan pengukuran
berat ?
3. Bagaimana siswa tunagrahita ringan kelas V dapat memecahkan soal cerita
sederhana tentang pengukuran berat ?

E. Batasan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka usaha untuk meningkatkan
tersebut dibatasi pada pengukuran berat kilogram, hektogram/ons dengan alat
timbangan duduk melalui model berjual-beli walaupun mungkin dapat digunakan
pengukuran , alat, dan model yang lain, sebab melalui model berjual-beli ini lebih
potensial untuk mencapai tujuan supaya terjadi peningkatan hasil belajar siswa.

F. Rencana Pemecahan Masah


Penelitian tindakan kelas ini direncanakan dalam rangka mencari solusi
permasalahan tersebut di atas melalui model berjual-beli untuk meningkatkan
kemampuan melakukankan pengukuran berat siswa tunagrahita ringan kelas V di
SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.

G. Tujuan Penelitian
Sebagaimana permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tindakan kelas ini
bertujuan:
1. Meningkatkan pemahaman tentang satuan pengukuran berat siswa
tunagrahita ringan kelas V di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.
2. Meningkatkan ketrampilan melakukan pengukuran berat pada siswa
tunagrahita ringan di SLB Negri Pelambuan Banjarmasin.
3. Meningkatkan kemampuan memecahkan soal cerita sederhana tentang
pengukuran berat siswa tunagrahita ringan di SLB Negri Pelambuan
Banjarmasin.

H. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
siswa, guru, dan lembaga ( sekolah )
1. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan efektivitas dalam belajar
melakukan pengukuran berat, yang bermuara pada pengembangan
pengetahuan selanjutnya.
2. Bagi orang tua siswa, hasil penelitian ini dapat membantu meningkatkan
ketrampilan siswa di rumah khususnya dalam menggunakan pengukuran
berat.
3. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
penelitian selanjutnya khususnya dalam pembelajaran pengukuran.
4. Bagi Kepala sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan
kebijakan pembelajaran melalui model berjual-beli khususnya pembelajaran
pengukuran mata pelajaran matematika siswa tunagrahita ringan kelas V di
SLB Negri Pelambuan Banjarmasin

MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND


PICTURE

Sunday, January 10, 2010| ADMINISTRATOR #1


Bagikan Ke:
Iklan didalam posting ini adalah sumber dana bagi siswa miskin yang belum beruntung mendapatkan bantuan dari pemerintah. Sumbangsih
anda sangat berarti bagi mereka.
Terima Kasih, Salam Pendidikan dari Kami
Dari namanya tentu
Bapak/Ibu Guru sudah bisa menebak model pembelajaran Picture and Picture ini
tentunya menggunakan media pembelajaran berupa gambar, sama dengan Examples
Non Examples. Lalu apa bedanya dengan Model Pembelajaran Examples Non
Examples?. Perbedaannya adalah hanya terdapat pada : Jika example non example
menekannkan pada analisis dan diskripsi siswa terhadap gambar. Namun jika pictures
and pictures menekankan pada proses dan cara mereka berpikir dalam mengurutkan
gambar yang tersedia. Untuk lebih jelasnya silahkan lihan posting tentang Pembelajaran
example non example.

Model Pembelajaran ini mengandalkan gambar sebagai media dalam proses


pembelajaran. Gambar-gambar ini menjadi factor utama dalam proses pembelajaran.
Sehingga sebelum proses pembelajaran guru sudah menyiapkan gambar yang akan
ditampilkan baik dalam bentuk kartu atau dalam bentuk carta dalam ukuran besar. Atau
jika di sekolah sudah menggunakan ICT dalam menggunakan Power Point atau software
yang lain

Langkah Model Pembelajaran Model Picture and Picture :

1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai


Pada langkah ini guru diharapkan untuk menyampai apaka yang menjadi Kompetensi
Dasar mata pelajaran yang bersangkutan. Dengan demikian maka siswa dapat mengukur
sampai sejauh mana yang harus dikuasainya. Disamping itu guru juga harus
menyampaikan indicator-indikator ketercapaian KD, sehingga sampai dimana KKM yang
telah ditetapkan dapat dicapai oleh peserta didik.

2. Menyajikan materi sebagai pengantar


Penyajian materi sebagai pengantar sesuatu yang sangat penting, dari sini guru
memberikan momentum permulaan pembelajaran. Kesuksesan dalam proses
pembelajaran dapat dimulai dari sini. Karena guru dapat memberikan motivasi yang
menarik perhatian siswa yang selama ini belum siap. Dengan motivasi dan teknik yang
baik dalam pemberian materi akan menarik minat siswa untuk belajar lebih jauh tentang
materi yang dipelajari.
3. Guru menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan
materi.

Dalam proses penyajian materi, guru mengajar siswa ikut terlibat aktif dalam
proses pembelajaran dengan mengamati setiap gambar yang ditunjukan oleh guru atau
oleh temannya. Dalam pembelajaran bahasa Inggris atau bahasa Indonesia siswa dapat
mencerikan kronologi, jalan cerita atau maksud dari gambar yang ditunjukan. Dalam
Pelajaran Matematika dapat digambarkan tentang kubus, segitiga atau lainnya dari sini
dapat digambarkan mengenai diagonal, diagonal ruang, tinggi atau luas bidang. Dalam
pelajaran IPS dapat ditunjukan bagaimana dengan proses terjadinya batuan. Ingatlah
bahwa JIKA DAPAT DI VISUALKAN kenapa harus pakai kata-kata. Dengan Picture
atau gambar kita akan menghemat energi kita dan siswa akan lebih mudah memahami
materi yang diajarkan. Dalam perkembangakan selanjutnya sebagai guru Anda dapat
memodifikasikan gambar atau mengganti gambar dengan video atau demontrasi yang
kegiatan tertentu seperti membuat kopi, menggoreng tempe dan sebagainya.

4. Guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian memasang/mengurutkan


gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
Di langkah ini guru harus dapat melakukan inovasi, karena penunjukan secara langsung
kadang kurang efektif dan siswa merasa terhukum. Salah satu cara adalah dengan undian,
sehingga siswa merasa memang harus menjalankan tugas yang harus diberikan. Gambar-
gambar yang sudah ada diminta oleh siswa untuk diurutan, dibuat, atau dimodifikasi. Jika
menyusunan bagaiaman susunananya. Jika melengkapi gambar mana gambar atau
bentuknya, panjangnya, tingginya atau sudutnya. Perlu di ingat uratan dalam pembuatan
harus benar sebagai contoh dalam matematikan untuk menggambar diagonal ruang
adalah langkah yang harus dilakukan dengan benar sampai ditemukan diagonal ruangnya.
Untuk menceritakan gambar dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia ada urutan-
urutan yang harus dilakukan.

5. Guru menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebut


Setelah itu ajaklah siswa menemukan rumus, tinggi, jalan cerita, atau tuntutan KD
dengan indicator yang akan dicapai. Usahakan agar proses diskusi berlangsung dengan
tertib dan terkendali, ingat disini adalah Diskusi, bukan debat, jadi guru harus mampu
mengendalikan situasi yang terjadi sebagai moderator utamanya dengan memberika
sedikit penjelasan jika terdapat kendala dalam diskusi sehingga proses diskusi dalam
PBM semakin menarik.

6. Dari alasan/urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep/materi


sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai
Dalam proses diskusi dan pembacaan gambar ini guru harus memberikan penekanan-
penekanan pada hal ini dicapai dengan meminta siswa lain untuk mengulangi,
menuliskan atau bentuk lain dengan tujuan siswa mengetahui bahwa hal tersebut penting
dalam pencapaian KD dan indicator yang telah ditetapkan. Pastikan bahwa siswa telah
menguasai indikator yang telah ditetapkan.

7. Kesimpulan/rangkuman
Kesimpulan dan rangkuman dilakukan bersama dengan siswa. Guru membantu dalam
proses pembuatan kesimpulan dan rangkuman.

Resource :
http://wyw1d.wordpress.com/
http://sadiman2007.blogspot.com/

Jika Anda tidak menemukan dalam artikel kami, silahkan Anda cari di kotak penelusuran Google di bawah ini.
Tipsnya : ketikkan dengan menggunakan BAHASA INGGRIS, cari websitenya yang ada dengan kata kunci yang Anda masukkan,kemudian
copy artikelnya, dan paste kan ke Google Translate. Walapun sedikit rancu kalimatnya, namun masih dapat dipahami.
Terima Kasih

Read more: MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE|EDUCATION


FOR OUR COUNTRY - PENDIDIKAN UNTUK NEGERI KITA
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial No Derivatives
http://www.papantulisku.com/2010/01/model-pembelajaran-picture-and-
picture.html

Teka teki silang adalah sebuah game untuk mengisi petak2 dengan huruf sehingga
membentuk kata yang di maksud,
Pasti sudah tahu teka teki silang, mari mengungkap dari mana permainan ini berasal.
Saat suntuk, atau kadang ketika harus menunggu sesuatu, kita seringkali mudah merasa
bosan. Karena itu, berbagai cara kita lakukan. Mulai dari main game yang ada di
handphone, mengobrol, hingga mengisi teka teki silang (TTS).

“teka teki silang”

Hal yang terakhir inilah yang sebenarnya paling menantang bagi sebagian orang. Sebab,
sembari iseng, bisa sekaligus mengasah kemampuan otak dan menambah pengetahuan.
Karena itu, penggemar TTS bisa dikatakan sangat merata. Baik orang remaja, orang
dewasa, bahkan anak-anak pun kadang banyak yang memainkan permainan asah otak ini.
Tak heran, berbagai media massa, seringkali memberikan TTS pada edisinya sehingga
TTS ini menjadi sangat populer di berbagai belahan dunia.

Tapi, tahukah Anda siapa sebenarnya pencipta permainan asah otak ini? Adalah seorang
bernama Arthur Wynne yang pada sekitar tahun 1913 yang menciptakan TTS. Suatu
ketika, Arthur yang bekerja di sebuah media bernama New York World mendapat tugas
dari bosnya untuk membuat semacam permainan yang akan dimuat di media itu pada
bagian “fun”. Berbagai hal dicobanya untuk menciptakan permainan yang menarik
pembaca

Arthur wynne
Suatu kali, ia teringat pada masa kecilnya. Arthur ingat bahwa ia pernah memainkan
sebuah permainan yang dinamakan “Magic Squares”. Permainan itu adalah permainan
kata-kata, dimana sang pemain harus menyusun kata agar sama mendatar dan menurun
hingga membentuk kotak. Dari permainan ini, ia kemudian mencoba berkreasi dengan
menambah luasan kata-kata dengan bentuk yang lebih kompleks. Dan, untuk menyusun
hal itu, ia memberi semacam pertanyaan untuk membuka kunci jawabannya

TTS ala Arthur ini kemudian muncul pertama kali pada 21 Desember 1913. Bentuknya
waktu itu dibuat dengan pola ketupat. Sederhana dan sangat mudah dimainkan. Namun,
justru dengan kesederhanaan dan kemudahan ini, membuat banyak orang langsung
menyukai permainan ini. Maka, kesuksesan ini segera diikuti oleh berbagai media lain.
Dan, saking suksesnya, permainan ini pun dibukukan pada tahun 1924.

Kemudian, pada tahun 1942-an, New York Times, koran ternama di Amerika membuat
semacam standar untuk TTS. Standar itu seperti bentuk yang simetris dan panjang kata
minimal tiga huruf. Hal ini membuat permainan TTS makin asyik dan populer, hingga
akhirnya menyebar ke berbagai belahan dunia.

Bendera bajak laut yang tengkorak itu..

Asal Usul Lambang Bendera Bajak Laut


ttp://www.huteri.com/636/asal-muasal-teka-teki-silang
Sebuah teka-teki bisa membuat kita berpikir, mencari dan menemukan jawaban.
Kehidupan penuh dengan teka-teki yang kadangkala menyenangkan, membingungkan
dan menyulitkan langkah untuk memecahkannya. Teka-teki silang seperti sebuah misteri
yang menggelitik perasaan dan pikiran untuk meng-ulik-nya, sekedar hobi atau
kebutuhan. Sebuah teka-teki bisa menutrisi kesegaran pikiran dari kepenatan sekaligus
menambah wawasan dan mengasah kemampuan otak.

Mengisi TTS menjadi bagian tak terpisahkan dalam kondisi menunggu sesuatu atau
seseorang, menghadapi situasi yang membosankan atau di waktu luang sebagai kegiatan
pengisi waktu. Sejatinya, para penggemar TTS mampu mengambil manfaat dari mengisi
TTS, lebih dari sekedar mengalihkan rasa bosan atau hanya sekedar mengisi waktu luang.

Sejarah Singkat TTS

Teka-teki silang yang menjadi kegemaran lintas generasi ini, sesungguhnya merupakan
hal baru, tetapi tidak begitu baru. Artinya, hal ini sudah berlangsung dari zaman ke
zaman dengan format dan bentuk yang serupa tapi tak sama. Catatan sejarah menyatakan
bahwa format TTS seperti sekarang sudah ada sejak zaman kuno. Bentuknya masih
cukup sederhana, yaitu sebuah bujur sangkar berisi kata-kata, huruf-huruf yang sama
pada bujur sangkar itu menghubungkan kata-kata secara vertikal dan horizontal. Hampir
serupa dengan TTS yang kita kenal sekarang.

Dalam buku Tell Me When – Science and Technology, TTS pertama muncul di suratkabar
New York World pada tanggal 21 Desember 1913. TTS pertama ini disusun oleh Arthur
Winn dan diterbitkan pada lembar tambahan edisi hari Minggu suratkabar tersebut.
Selama beberapa waktu, TTS ini menjadi ciri tetap suratkabar tersebut. Bentuk dan
formatnya sudah seperti TTS yang kita kenal sekarang. Pola kotak-kotak hitam dan putih,
dengan kata-kata berbeda yang saling bersilangan secara mendatar dan menurun, serta
terdapat panduan pertanyaan atau definisi untuk tiap kata sebagai petunjuk pengisian.
Hingga tahun 1924, yaitu ketika buku TTS pertama kali terbit, TTS belum begitu
populer. Namun, setelah buku-buku TTS menyebar, TTS sangat digemari di seluruh
Amerika, selanjutnya merambah ke Eropa dan seluruh dunia termasuk kita di Indonesia.

Setelah TTS ini begitu digemari, para pegiat buku TTS mulai berkreasi menciptakan
teka-teki gambar dan kemudian dikenal dengan nama puzzle. Selain untuk hiburan,
fungsi teka-teki gambar atau puzzle lebih diarahkan kepada fungsi edukasi, yakni untuk
menstimulasi otak anak-anak. Baik TTS maupun teka-teki gambar/puzzle hingga saat ini
masih sangat populer dan digemari. Biasanya untuk mengisi waktu santai kita. Bersantai
sambil mengasah otak.

Filosofi TTS (: sebuah renungan menjelang berbuka puasa)

Sebuah TTS tidak hanya merupakan sekumpulan pertanyaan teka-teki yang dibukukan,
tetapi memiliki makna. Tak sekedar sebagai hiburan, tetapi juga mendidik kita untuk
terus menambah wawasan dan mengasah kemampuan berpikir cepat. Terlepas dari
adanya anggapan bahwa mengisi TTS merupakan indikasi kemalasan atau pun ada tujuan
lain dari pembuatnya, TTS memiliki nilai filosofis. Ada beberapa arti filosofis dalam TTS
yang menurut pandangan saya tidak berlebihan untuk diungkapkan. Pertama, bila
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, kotak-kotak berwarna hitam dan putih
melambangkan bahwa kehidupan kita juga tak lepas dari keadaan hitam putih, benar-
salah, baik-buruk. Kotak yang sama sekali dikosongkan (warna hitam) bisa diartikan
bahwa setiap keburukan tidak akan memiliki nilai yang lebih daripada kebaikan. Kotak
yang harus terisi merupakan gambaran bahwa hidup tak selalu sama, kadang-kadang ada
atau tiada sesuatu pun yang kita dapat. Panduan pertanyaan untuk mengisi kotak-kotak
putih menandakan usaha dan upaya untuk mengisi kehidupan itu agar lebih bermakna.

Kedua, persilangan kata dan huruf yang saling berkaitan secara vertikal dalam TTS
menggambarkan kehidupan manusia yang membutuhkan hubungan dengan kekuatan
supra yang akan melindungi hidupnya. Kekuatan di atas segala kekuatan makhluk,
kekuatan penguasa kehidupan, Yang Maha Kuasa. Bila dikaji dari pandangan spiritual,
kotak-kotak dan kata-kata yang tersusun secara vertikal melambangkan perintah dari atas
ke bawah untuk menemukan pilihan hidup, memaknai keterjalinan baik dan buruk, serta
mencapai tujuan hidup dalam keutuhan hakiki, yang digambarkan dengan seluruh kotak
putih yang semuanya terisi. Ibadah, doa dan pengharapan hanya kepada Sang Khalik.
Selain itu, dapat digambarkan bahwa dalam kehidupan manusia selalu ada yang berperan
sebagai penguasa atau berkuasa. Stratifikasi sosial merupakan hal yang tidak dapat
dihilangkan begitu saja. Ada penguasa ada yang dikuasai, ada yang di kelas atas, ada
yang kelas menengah dan kelas bawah, walaupun secara hakikat manusia itu diciptakan
sama. Namun, huruf yang di tengah atau di bawah pun bisa merangkai kata sendiri. Ini
menandakan bahwa keberhasilan bisa diperoleh siapa saja, sekalipun dari kelas atas atau
bawah.

Ketiga, secara horizontal, kotak dan kata pada TTS itu melambangkan kehidupan sosial
manusia yang saling membutuhkan satu sama lain, saling berkaitan dan saling memiliki
keterhubungan antarindividu maupun antargenerasi. Satu huruf dari satu kata bisa
merangkaikan kata-kata yang berbeda. Ini menggambarkan kehidupan yang dinamis,
tidak ada selembar catatan hidup pun yang bisa terhapuskan. Sejak awal sejarah
kehidupan manusia, hidup terus bergulir melahirkan berbagai generasi yang heterogen,
multibangsa, multibudaya, multikeyakinan dan multidinamika dalam menjalani
kehidupan. Keterkaitan antarhuruf pada kata yang berbeda juga dapat diartikan sebagai
keharusan untuk menjalankan hubungan sosial dengan baik, kesatuan untuk mencapai
tujuan hidup bersama, sehingga tercipta kehidupan yang tertib dan tentram.

Keempat, panduan pertanyaan dari sebuah TTS secara mendatar atau menurun
merupakan patokan dan petunjuk yang harus dibaca agar bisa mengisi kotak-kotak putih
yang kosong hingga benar-benar selesai. Hal ini menunjukkan makna bahwa hidup harus
memiliki pedoman. Melakukan berbagai upaya tentu harus disertai landasan ilmu,
landasan moral dan landasan keyakinan agar tujuan hidup yang benar bisa tercapai
dengan hasil yang optimal. Hidup tanpa pegangan moral, tanpa pedoman iman akan
terombang-ambing, sehingga sulit mencapai tujuan. Kalau pun ada kotak yang tak terisi
setelah kita baca panduan itu, itu menandakan keterbatasan kita sebagai manusia. Tidak
semua hal bisa dikuasai dengan sempurna dengan kemampuan yang sama, yang penting
kita sudah berusaha dengan tidak menyalahi pedoman.

Kelima, seluruh rangkaian proses pengisian TTS merupakan gambaran proses kehidupan
manusia. Ada usaha, ada cobaan dan ujian, ada kesulitan dan kemudahan, ada doa dan
pengharapan, serta ada kemampuan (ilmu) yang harus dimiliki, dikuasai dan diterapkan
dalam mencapai tujuan hidup walaupun dalam kenyataannya ada yang berhasil dan ada
yang gagal. Semua merupakan proses pembelajaran hidup.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Apa pun pendapat kita tentang sesuatu hal yang terlihat
“hanya sekedar” suatu saat bisa memberikan makna dan manfaat yang besar karena
sesuatu yang diciptakan pasti memiliki kegunaan. Jadikan TTS sebagi penambah
wawasan dan pengasah otak, tak sekedar pengisi waktu luang. (Nia Hidayati)

Kategori : Artikel
http://niahidayati.net/manfaat-teka-teki-silang-sebagai-penambah-wawasan-dan-
mengasah-ke
Merangsang anak untuk berani berimajinasi, bercerita, menyusun skenario dengan
menggunakan peraga yang bisa ditempel/dilepas di papan flanel.

Papan Flanel Rp 54000,-


Flanel Board

next
Halaman :
ISBN :
Harga : 23,000.00 21,850.00 (Anda hemat 1,150.00)
Buy

• twitter
• facebook

Descriptions

Ukuran papan 27 x 33 cm

Manfaat mainan:
Flanel board atau papan flanel digunakan sebagai alat bantu untuk anak bermain dan
belajar. Terbuat dari bahan kain flanel dan karton tebal. Sangat aman untuk anak-anak.
Terdiri dari dua permukaan yaitu warna biru dan coklat. Dapat digunakan dengan
didirikan atau dapat digunakan dengan cara digantung.

Cara Bermain:
Flanel board ini hanyalah sekedar alat bantu untuk tempat menempelkan potongan-
potongan dari flanel set. Tersedia potongan flanel set huruf, angka, dll, yang dijual
terpisah. Pengunaannya tidak memakai kapur, spidol, lem, atau perekat lainnya. Cukup
tempelkan potongan flanel set pada papan flanel ini dan potongan flanel akan menempel.
Mudah ditempel dan mudah pula dilepas oleh anak-anak. Aman dan nyaman untuk
menemani anak Anda bermain dan belajar. Papan ini bisa digunakan dengan cara
digantung atau didirikan.

Add to wishlist

Other Products
TANGRAM FLANEL SET

http://www.kutukutubuku.com/2008/open/13400/flanel_board

Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama
kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum. Pelajaran membaca, menulis, dan
berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah
usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum
mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap
sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri
didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak
cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.Piaget khawatir otak
anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7
tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi
yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka
beranjak besar. Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah
perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara
untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak
ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan.
Maria Montessori dan Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan metode
belajar membaca dan matematika bagi anak-anak usia dini. Maria Montessori, seorang
dokter wanita pertama dari Italia, telah mempraktikkan pembelajaran multiindrawi lewat
kegiatan sehari-hari. Pengalaman tersebut diperolehnya setelah menangani anak-anak
bermental terbelakang. Lewat kegiatan-kegiatan sederhana yang diulang setiap hari,
sebagian besar anak-anak itu mengalami kemajuan yang pesat. Mereka bahkan bisa
membaca dan menulis pada usia yang relatif muda, sekitar 4 dan 5 tahun tanpa harus
merasa terbebani. Montessori menciptakan alat-alat belajar dari benda-benda yang akrab
di sekeliling kita. Ia membuat alat belajar seperti perlengkapan bermain. Untuk mengajar
anak-anak membaca, ia membuat berbagai macam kartu huruf dari papan kayu atau
kertas tebal. Setiap huruf dicetak dari kertas ampelas yang cukup kasar. Selain anak-anak
membunyikan huruf-huruf tersebut, mereka juga merabanya untuk membentuk kepekaan
terhadap tekstur huruf. Kartu-kartu berisi kata bergambar yang dikelompokkan ke dalam
jenis-jenis kata juga menjadi alat belajar yang menarik bagi anak-anak. Glenn Doman
adalah contoh lain pendobrak teori perkembangan Piaget. Doman adalah seorang dokter
bedah otak. Ia berhasil membantu menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera
otak lewat flash card. Ia membuat kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna
merah pada karton tebal, dengan ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu itu
ditampilkan di hadapan si pasien dalam waktu cepat, hanya satu detik per kata. Adanya
perkembangan pada otak pasiennya membuat ia ingin mencobanya kepada anak-anak
bahkan bayi. Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena, bisa
saja anak-anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun akan kebingungan
ketika diberikan kata-kata baru yang belum pernah dibacanya. Kritik terhadap flash cards
memang sering dilontarkan orang, termasuk sebagian ahli psikologi. Hal itu disebabkan
flash cards dianggap sebagai cara yang kurang rasional, merusak pembelajaran nalar dan
logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan kemampuan membaca menurut para
psikolog dan orang pada umumnya harus diproses melalui tahapan-tahapan fonemik dan
fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal huruf dan mampu membedakan
bunyi, sampai akhirnya bisa menggabungkan huruf-huruf tersebut menjadi sebuah kata.
Itulah letak perbedaan Doman dan para pengkritiknya. Doman hanya merekomendasikan
pembelajaran membaca dan matematika sekitar 45 detik per hari. Bisa kita bayangkan,
betapa sebentarnya, dan kemungkinan anak-anak merasa terbebani karena metode itu
sangatlah kecil. Tak heran jika anak-anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mahir membaca
dan juga menjadi sangat suka serta tentu saja tidak menolak untuk belajar membaca
dengan pendekatan tersebut.

Kesimpulan :
Dari beberapa kalimat diatas dapat disimpulan dengan teori belajar Guildford yaitu
belajar adalah peubahan perilaku yang berasal dari stimulus luar. Stimulus luar yang
dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan lain ditampung dalam sebuah proses. Proses
inilah yang terjadi didalam otak. Saraf dan sel – sel otak akan mengumpulkan semua
stimulus dari luar tersebut. Perubahan perilaku itulah yang disebut sebagai hasil belajar.
Belajar adalah proses kognitif. Maka orang tidak bisa belajar apabila fungsi otaknya
terganggu. Metode Glenn Doman mengajak anak belajar dalam suasana yang sangat
nyaman seolah olah sianak diajak bukan belajar akan tetapi diajak bermain dengan riang.
Suasana inilah yang menimbulkan keingintahuan anak meningkat. dan kegiatan ini
dilaksanakan dengan penuh kasih orang tua terhadap anak dalam artian orang tua tidak
diijinkan untuk menguji sianak. Kegiatan harus dihentikan ketika si anak kelihatan sudah
bosan. Namun hal ini mungkin tidak akan berlangsung lama. Dikarenakan anak yang
masih berumur 2-7 tahun pada masa pra-Operasioanal (teori Piaget) hanya akan
melakukan suatu coping. Mungkin bila beranjak dewasa si anak ini tahu apa yang
diplajari namun tidak akan mengerti maksudnya dan mungkin anak tersebut akan lupa
yang sudah dipelajarinya pada umur 2 tahun.

Suka
Be the first to like this post.

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *

Nama *http://hendra0787.wordpress.com/2009/07/20/menghubungkan-teori-belajar-dari-
glen-doman-dengan-piaget/
Sepintas, pernyataan “mengajar anak balita membaca” rasanya seperti mengada-ada.
Betapa tidak, jangankan anak usia di bawah 5 tahun (balita), untuk mengajar membaca
pada anak yang sudah memasuki usia sekolah (SD) saja bukanlah pekerjaan yang mudah
bagi guru, begitu pula bagi orang tua saat mengajar si anak membaca permulaan.
Selanjutnya anak yang sudah melewati kelas 4 SD pun masih ada yang belum lancar
membaca.

Mengajar anak — apalagi masih usia dini atau balita — membaca perlu kesungguhan dan
kesabaran dari pihak guru maupun orangtua. Walau demikian kondisinya, masih banyak
orangtua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada guru di sekolah. Kurang
banyaknya peran orangtua bukanlah alasan bagi guru untuk tidak mencari upaya
menolong anak agar cepat bisa membaca dengan lancar. Tentu menjadi suatu kewajiban
bagi seorang guru tetap belajar dan menambah wawasannya dengan berbagai cara.

Orangtua pun sebaiknya ikut belajar bagaimana caranya agar anak cepat bisa membaca
dengan baik. Kalau sudah bisa membaca, hendaknya juga bisa menjadikan buku sebagai
kebutuhan rutin yang diberikan kepada anak. Harus disadari, pertama-tama yang
bertanggung jawab soal pendidikan anak (apalagi balita) adalah orangtua atau keluarga.

Buku-buku yang memuat hasil temuan, teori-teori, atau teknik-teknik pembelajaran


sepantasnyalah menjadi “santapan” bagi guru. Kalau tidak, mutu pendidikan kita akan
terus merosot sebagai akibat dari kurangnya minat baca para guru. Bagi guru, membaca
buku-buku itu tentu bisa dijadikan ajang untuk mengembangkan wawasan, pengetahuan,
dan kompetensinya dalam kegiatan belajar-mengajar. Bagi orangtua, tampaknya
pengetahuan ini sangat bermanfaat dalam menumbuhkan minat-baca anak pada usia dini.
Kalau minat baca anak sudah tumbuh dengan baik tinggal mengarahkan sesuai dengan
bakat dan minatnya.

Bukan Mengeja

Sehubungan dengan itu, ada teori yang layak diketahui


oleh guru dan orangtua. Glenn Doman mendapatkan teori dari banyaknya ia
berkecimpung membantu anak-anak yang mengalami kerusakan otak. Hasil penelitiannya
ternyata juga dapat diterapkan untuk membuat anak normal menjadi lebih cerdas. Salah
satunya, mengajarkan keterampilan membaca untuk anak balita atau anak di bawah 5
tahun.

Menurut Glenn, membaca sudah dapat diajarkan pada balita, bahkan lebih efektif
daripada sudah memasuki usia sekolah (6 tahun). Dalam penelitiannya dikemukakan
bahwa anak umur 4 tahun lebih efektif daripada umur 5 tahun. Umur 3 tahun lebih mudah
daripada 4 tahun. Jelasnya, makin kecil makin mudah untuk diajar — tentu dalam batas
anak mulai bisa bicara.

Glenn juga berpendapat, balita bisa menyerap informasi secara luar biasa. Semakin muda
umur anak, semakin besar daya serapnya terhadap informasi baru. Belajar bagi anak
adalah sesuatu yang mengasyikkan. Karena belajar mengasyikkan, maka ia bisa
menguasai lebih cepat.

Menurut Glenn, mengajar balita membaca bukan dengan mengeja seperti cara
konvensional di sekolah — dimulai pengenalan nama huruf, kemudian mengenal suku
kata, barulah mengenal kata, akhirnya kalimat. Glenn berteori, mengajar balita membaca
adalah dengan cara mengenalkan satu kata yang bermakna dan kata itu sudah akrab pada
pikiran anak atau sudah sering didengar dalam keseharian.

Misalnya, anak sudah biasa makan pisang. Tentunya anak balita itu sudah biasa
mendengar kata “pisang”. Kemudian kita ingin mengajar anak agar ia bisa membaca kata
“pisang”. Menurut Glenn, anak tak perlu lagi menghapal huruf p, i, s, a, ng, atau suku
kata pi dan sang yang masing-masing tidak bermakna. Jadi, bayi langsung diajar
membaca kata “pisang” pada kartu yang sudah disiapkan.

Untuk mengajar anak balita membaca, diperlukan kartu-kartu kata yang tercetak cukup
besar dan ditunjukkan secara cepat kepada anak, sekaligus dengan pisang yang biasa
dimakan. Anak akan menangkap apa yang dikatakan orangtuanya dan
menghubungkannya dengan tulisan yang ditunjukkan kepadanya. Demikian juga kata
yang lain, kata-kata yang sudah akrab dengan si anak beserta benda yang diacu.
Semuanya dibuatkan kartu-kartunya.

Teori Glenn ini diterapkan dengan pemikiran bahwa membaca adalah fungsi otak,
sedangkan mengajar membaca dengan mengeja huruf (cara konvensional di sekolah)
diikat oleh kaidah atau aturan bahasa. Aturan-aturan bahasa ini malah memperlambat
keterampilan anak membaca. Dengan teori Glenn, anak diajar melihat tulisan seperti
halnya melihat gambar. Rangkaian kata bagi si anak adalah suatu simbol dari benda yang
diucapkan si ibu atau si ayah yang membacakannya. Selanjutnya, karena makin hari
jumlah kata dan benda yang dikuasai makin banyak, maka tulisan kata dalam kartu makin
ditambah pula.

Glenn memberi catatan, mengajar bukan menjadi suatu beban, melainkan hak istimewa
bagi orangtua. Anak adalah prioritas yang penting dalam keluarga. Kegiatan belajar
membaca perlu diulang-ulang beberapa kali (15 hingga 25 kali), lalu kartu yang lama
diganti dengan kartu yang baru. Saat mengajar, anak maupun orangtua harus dalam
kondisi mood yang baik dan suasana yang menyenangkan. Durasi membacanya juga
harus sangat cepat, hanya sekilas-sekilas saja dan harus segera berhenti sebelum anak
ingin berhenti. Jangan mencoba untuk memberi tes karena anak tidak suka dites. Suasana
pembelajaran membaca pun mesti penuh dengan keramahan dan kehangatan.

Guru Keliru

Bagaimana dengan pembelajaran bahasa di sekolah? Belajar membaca adalah bagian dari
pembelajaran bahasa. Bertitik tolak dari teori Glenn, tampaknya kekeliruan guru bahasa
di sekolah menyebabkan anak kurang menguasai dengan baik bahasa yang dipelajari.
Dalam pembelajaran bahasa, guru sering menekankan kaidah bahasa daripada perolehan
bahasa, belajar menggunakan bahasa. Jika terjadi kesalahan dalam penerapan kaidah,
sepertinya anak itu berbuat dosa. Terlebih jika ditambah wajah guru yang kurang toleran,
bertambahlah rasa takut anak. Suasana pun jadi menakutkan.

Pada tahap anak sudah mampu membaca dengan lancar (pada kelas 4 ke atas), ternyata
dalam pembelajaran bahasa bukannya anak diajak belajar menggunakan bahasa,
melainkan belajar pengetahuan bahasa. Dari PR anak SD (padahal kurikulum berbasis
kompetensi) dalam pelajaran bahasa tampak dengan jelas anak belajar pengetahuan
bahasa, misalnya menyebutkan nama-nama jenis kalimat.

Kalau demikian, kapan anak mampu menggunakan bahasa? Kalau saja guru mau
memperluas wawasannya, misalnya membaca teori Glenn atau teori yang lain,
tampaknya kondisi pembelajaran bahasa akan lebih menarik dan bermanfaat. Dalam
pembelajaran bahasa, sesungguhnya anak belajar berbahasa lisan dan tertulis, bukan
tentang bahasa.

Aktivitas membaca merupakan alternatif yang kita anggap paling baik meningkatkan
mutu SDM, mungkin lebih baik daripada selembar ijazah yang pemiliknya kurang
melakoni aktivitas membaca. Aktivitas membaca bisa dilakukan kapan saja dan di mana
saja secara rutin. Sedangkan lewat pendidikan formal ada batas waktunya, misalnya anak
memasuki usia sekolah, kemudian tamat perguruan tinggi sudah selesai.

Menurut para pakar, sejak balita anak sudah bisa dibentuk agar bisa membaca. Setelah
anak mampu membaca sendiri, hendaknya terus dibina dengan cara memberikan buku
yang bermanfaat baik untuk menguasai Iptek maupun mengapresiasi nilai-nilai
kehidupan manusia. Makin dini usia, melakukan aktivitas membaca makin baik. (Bali
Post) http://geillita.blogspot.com/2011_01_01_archive.html
http://www.duniaedukasi.net/2010/03/belajar-membaca-dengan-metode-glenn.html

ersoalan membaca, menulis, dan berhitung atau calistung memang merupakan fenomena
tersendiri. Kini menjadi semakin hangat dibicarakan para orang tua yang memiliki anak
usia taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar karena mereka khawatir anak-anaknya
tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolahnya nanti jika sedari awal belum dibekali
keterampilan calistung.
Kekhawatiran orang tua pun makin mencuat ketika anak-anaknya belum bisa membaca
menjelang masuk sekolah dasar. Hal itu membuat para orang tua akhirnya sedikit
memaksa anaknya untuk belajar calistung, khususnya membaca. Terlebih lagi, istilah-
istilah “tidak lulus”, “tidak naik kelas”, kini semakin menakutkan karena akan
berpengaruh pada biaya sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus mengulang kelas.
Selama ini taman kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-
anak memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang sekolah dasar. Kegiatan yang
dilakukan di taman kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat
bermainedukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di
tingkat taman kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu
pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.
Akan tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena
ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak
lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan
pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan,
dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan
menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai
keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.
Perkembangan keterampilan membaca
Belajar membaca mencakup pemerolehan kecakapan yang dibangun pada ketrampilan
sebelumnya. Jeanne Chall (1979) mengemukakan ada lima tahapan dalam perkembangan
kemampuan membaca, dimulai dari ketrampilan pre-reading hingga ke kemampuan
membaca yang sangat tinggi pada orang dewasa.
Tahap 0, dimulai dari masa sebelum anak masuk kelas pertama, anak-anak harus
menguasai prasyarat membaca, yakni belajar membedakan huruf dalam alfabet.
Kemudian pada saat anak masuk sekolah, banyak yang sudah dapat “membaca” beberapa
kata, seperti “Pepsi”, “McDonalds”, dan “Pizza Hut.” Kemampuan mereka untuk
mengenali simbol-simbol populer ini karena seringnya melihat di televisi atau pun di sisi
jalan serta meja makan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka dapat membedakan
antara pola huruf, meskipun belum dapat mengerti kata itu sendiri. Pengetahuan anak-
anak tentang huruf dan kata saat ini secara umum lebih baik ketimbang beberapa generasi
sebelumnya, hal ini dikarenakan pengaruh acara televisi anak seperti “Sesame Street.”
Tahap1, mencakup tahun pertama di kelas satu. Anak belajar kecakapan merekam
fonologi, yaitu keterampilan yang digunakan untuk menerjemahkan simbol-simbol ke
dalam suara dan kata-kata. Kemampuan ini diikuti dengan tahap kedua pada kelas dua
dan tiga, di mana anak sudah belajar membaca dengan fasih. Di akhir kelas tiga,
kebanyakan anak sekolah sudah menguasai hubungan dari huruf-ke-suara dan dapat
membaca sebagian besar kata dan kalimat sederhana yang diberikan.
Perubahan dari “learning to read” menuju “reading to learn” dimulai dalam tahap 3,
dimulai dari kelas 4 sampai kelas 8. Anak-anak pada tahap ini sudah bisa mendapatkan
informasi dari materi tertulis, dan ini direfleksikan dalam kurikulum sekolah. Anak-anak
di kelas ini diharapkan belajar dari buku yang mereka baca. Jika anak belum menguasai “
how to” membaca ketika kelas empat, maka kemajuannya membaca untuk kelas
selanjutnya bisa terhambat.
tahap 4, dimulai pada saat sekolah tinggi, direfleksikan dengan kemampuan baca yang
sangat fasih. Anak menjadi semakin dapat memahami beragam materi bacaan dan
menarik kesimpulan dari apa yang mereka baca.
Emergent Literacy
Kendati kebanyakan anak belajar membaca di sekolah, namun sebagian besar anak
belajar tentang membaca di rumah. Mereka belajar simbol tertulis sesuai dengan bahasa
tutur ketika menyampaikan arti kepada orang lain.
Tapi kebanyakan anak pra-sekolah tidak membaca—tidak benar benar membaca. Mereka
mungkin dapat mengidentifikasi Coca-Cola, Burger King, atau tanda Fruit Loops ketika
melihatnya, tapi ini bukan benar-benar membaca. Kendati demikian, apa yang dipelajari
anak selama berbicara dengan orangtua tadi adalah kemampuan menyusun tahap
membaca yang sebenarnya. Gagasan bahwa ada kontinum perkembangan kemampuan
membaca, dari anak usia pra-sekolah hingga yang sudah menjadi pembaca fasih,
dikatakan sebagai emergent literacy.
Whitehurst dan Lonigan (199 mencatat sembilan komponen emergent literacy, sebagai
berikut.
1. Language: membaca merupakan kemampuan bahasa, dan anak-anak harus cakap
dengan bahasa tutur. kemampuan membaca yang terampil juga memerlukan lebih dari
sekedar kecakapan bahasa tutur. Membaca tidak berarti refleksi bahasa tutur, di mana
anak yang memiliki kecakapan bahasa yang tinggi akan menjadi anak dengan
kemampuan membaca yang juga baik.
2. Convention of print: anak-anak yang dipaparkan kepada pembacaan di rumah
melalui penemuan cetak. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, anak-anak belajar bahwa
membaca dilakukan dari kiri kek kanan, atas ke bawah, dan dari depan ke belakang.
3. Knowledge of letters: Kebanyakan anak-anak dapat menceritakan ABC sebelum
mereka masuk ke sekolah dan dapat mengidentifikasi individu huruf dari alphabet
(kendati beberapa anak berpikir “elemeno” adalah nama huruf antara “k” dan “p”.
pengetahuan huruf sangat kritis bagi kemampuan baca. Sebagai contoh, penelitian telah
menunjukkan bahwa kemampuan anak taman kanak-kanak untuk menamai huruf
memprediksikan nilai yang dapat diraihnya pada kemampuan membaca di kemudian
hari.
4. Linguistic awareness; anak harus belajar mengidentifikasi tidak saja huruf
melainkan unit linguistik, seperti fonem, silabel, dan kata. Mungkin yang paling penting
dari kemampuan linguistik untuk membaca adalah pengolahan fonologi, atau
diskriminasi dan mengartikan berbagai suara bahasa.
5. Korespondensi phoneme-grapheme: Ketika anak sudah memahami bagaimana
mensegmentasikan dan mendiskriminasikan beragam suara bahasa, maka mereka harus
mempelajari bagaimana suara ini sesuai dengan huruf tertulis. Kebanyakan proses ini
dimulai di masa pra-sekolah, di mana pengetahuan huruf dan sensitivitas fonologis
berkembang secara simultan dan resiprok.
6. Emergent reading: banyak anak-anak pura-pura membaca. Mereka akan mengambil
buku cerita yang sudah akrab bagi mereka dan “membaca” halaman per halamannya,
atau akan mengambil buku yang belum akrab bagi mereka dan pura-pura membaca,
membuat narasi sesuai dengan gambar di halaman tersebut.
7. Emergent writing: Sama dengan pura-pura membaca, anak-anak juga sering
berpura-pura menulis, membuat garis lekuk (squiggle) pada sebuah halaman untuk
“menuliskan” nama atau cerita mereka, atau merangkai huruf yang benar untuk
menghasilkan sesuatu yang menurut mereka sesuai dengan cerita.
8. Motivasi print: seberapa tertariknya anak-anak dalam membaca dan menulis?
Seberapa pentingkah bagi mereka untuk memahami kode rahasia yang memungkinkan
orangtua mengartikan serangkaian tanda pada sebuah halaman? Beberapa bukti
mengindikasikan bahwa anak kecil lebih tertarik dalam print (huruf cetak) dan membaca
memiliki skill emergent literacy yang lebih besar ketimbang yang kurang termotivasi
untuk melakukannya. Anak-anak yang tertarik dalam membaca dan menulis lebih
mungkin mengetahui huruf cetak, mengajukan pertanyaan tentang print, mendorong
orang dewasa untuk membacakannya untuk mereka, dan menghabiskan lebih banyak
waktu untuk membaca ketika mereka sudah bisa.
9. Other Cognitive Skill: Kemampuan kognitif individu, di samping yang berkaitan
dengan bahasa dan kesadaran linguistik mempengaruhi kemampuan baca anak-anak.
Berbagai aspek lain memori sangatlah penting di sini yang juga ikut mempengaruhi
kemampuan membaca.
Hubungan antara beberapa komponen emergent literacy dengan kemampuan baca
terkadang sulit dijelaskan. Namun demikian, jelas halnya bahwa keluarga memberikan
“The Whole Package”. Munculnya keterampilan emergent literacy kepada anak-anaknya
akhirnya anak akan membantu nantinya untuk memiliki kemampuan yang baca lebih
baik baik di awal sekolah maupun di kemudian hari, daripada keluarga yang hanya
memberikan paket sedikit-sedikit (Bialystok, 1996; Whitehurst & Lonigan, 1998). Ini
dibenarkan dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara kemampuan emergent literacy selama masa pra sekolah dengan
kemampuan membaca di sekolah dasar (Lonigan, Burgess, & Anthony, 2000; Storch &
Whitehurst, 2002).

Kemampuan membaca dan perkembangan kognitif


Phonemic awareness, adalah salah satu skill yang dapat memprediksikan kemampuan
membaca di kemudian hari, Phonemic awareness adalah pengetahuan tentang huruf yang
dapat dipisahkan dari suara. ‘kesadaran ini belum muncul pada anak-anak prescholl.
Penelitian telah menunjukkan bahwa sensitivitas anak-anak terhadap ritme akan berujung
pada kesadaran fonem, yang sebaliknya mempengaruhi kemampuan baca dan
menjadikannya lebih mudah bagi anak-anak untuk mengenali kata-kata tertulis baik yang
bersuara ataupun yang mirip (misalnya, cat dan at). Anak yang sedari kecil memiliki
kemampuan phonemic awareness yang baik dapat dipastikan kemampuan membacanya
juga baik.

Phonologic Recoding. Alasan bahwa kesadaran Phonologis merupakan predictor untuk


kemampuan baca awal adalah karena kemampuan baca awal yang secara umum
melibatkan penyuaraan kata-kata. Proses phonologic recoding ini merupakan dasar dari
mayoritas program instruksi membaca di AS saat ini. Anak-anak diajarkan mendengar
huruf dan mencoba mencocokkan antara huruf dan suara.
Kemampuan baca yang benar-benar fasih tidak dilakukan dengan menyuarakan setiap
huruf namun dengan secara langsung mendapatkan arti keseluruhan kata dari memori
(keseluruhan kata yang berdasar visual).
Kunci bagi kemampuan baca yang fasih adalah proses automatization (otomatisasi),
yakni pemerolehan arti kata tanpa melakukan usaha (otomatis). Kemampuan mengakses
arti kata, memperluas sumberdaya terbatas dari seseorang dalam proses ini sangat penting
bagi kemampuan baca yang terampil. Ketika terlalu banyak sumberdaya mental
digunakan hanya untuk mendapatkan arti kata individual, maka terlalu sedikit
sumberdaya yang tertinggal untuk memenggal akta-kata dan memahami arti yang lebih
besar dari suatu teks.

Pengajaran Membaca
Ada dua pendekatan penting pada instruksi membaca (reading instruction) dan komentar
tentang bagaimana bukti penelitian dipertimbangkan dalam topik ini. Pada dasarnya (dan
secara sederhana) instruksi membaca dapat dipikirkan sebagai, baik itu (1) proses bawah
ke atas (bottom-up process), anak-anak mempelajari komponen-komponen individu suatu
bacaan (mengidentifikasi huruf, korespondensi suara-huruf [letter-sound
correspondence]) dan meletakkannya bersamaan untuk memperoleh makna; atau (2)
proses atas ke bawah (top-down process), tujuan, pengetahuan latar belakang, dan
ekspektasi anak-anak menentukan informasi apa yang dipilih dari teks. Proses terakhir
ini merupakan suatu perspektif konstruktifis, mengingat kembali ide-ide Piaget. Tentu
saja, membaca yang terampil melibatkan bottom-up dan top-down process, pembuatan
tiap dikotomi artifisial. Namun demikian, reading instruction, terutama pada tingkat awal,
sering menekankan satu terhadap lainnya, dan oleh karena itu dikotomi memiliki
beberapa dasar dalam realitas.
Kurikulum yang menekankan bottom-up process ditunjukkan melalui metode fonik
(phonics method). Di sini, anak-anak diajar korespondensi suara- huruf spesifik, sering
kali independen pada tiap konteks “yang penuh makna”. Kurikulum yang menekankan
top-down process ditunjukkan melalui pendekatan bahasa-menyeluruh (whole-language
approach). Menurut Marilyn Adams dkk., “whole-language approach menekankan
bahwa pembelajaran dilabuhkan pada dan dimotivasikan oleh makna. Selanjutnya,
dikarenakan pemaknaan dan kepemaknaan yang penuh (meaningfulness) perlu
didefiniskan secara internal dan tidak pernah melalui pernyataan (pronouncement),
pembelajaran dapat efektif hanya pada seberapa jauh pembelajaran secara kognitif
dikendalikan oleh siswa”. Oleh karena itu, kurikulum bahasa-menyeluruh (whole-
language curricula) menekankan pada ketertarikan membaca (reading interesting) dan
teks penuh makna (meaningful text) sejak dini. Ruang kelas di mana bahasa keseluruhan
diajarkan, lebih cocok berpusat pada siswa (student centered) dibandingkan dengan
berpusat pada guru (teacher centered), memiliki integrasi membaca dan menulis dalam
keseluruhan kurikulum, memiliki penghindaran latihan bahasa, dan memiliki kesempatan
kecil dalam hal pengelompokan kemampuan secara kaku.
Bukti penelitian yang didiskusikan semestinya membuat gamblang pentingnya
pemrosesan level dasar (bottom-up) dalam pembelajaran membaca. Keterampilan
fonologis merupakan prediktor tunggal terbaik kemampuan membaca (dan
ketidakmampuan membaca). Kemampuan tersebut tidak berkembang secara spontan, dan
biasanya mengeksplisitkan instruksi. Kurikulum yang mengabaikan phonics,
mengabaikan tentang bagaimana “bermaknanya” phonics membuat pengalaman
membaca, sedang meresikokan melek huruf pada kebanyakan siswanya.

Paradigma belajar Membaca Pada Anak TK: Pro dan Kontra Calistung
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apa pun,
termasuk belajar membaca. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang
mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu,
permainan dan nyanyian tidaklah dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan
nyanyian adalah ilmu pengetahuan.
Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama
kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum. Pelajaran membaca, menulis, dan
berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah
usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum
mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di manaanak-anak dianggap
sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri
didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak
cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada
anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak
malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan
belajar setelah mereka beranjak besar.
Pesan yang ditangkap dari teori Piaget sering kali berhenti pada “larangan belajar
calistung”, namun tidak banyak orang memahami alasannya. Padahal perkembangan
dalam pembelajaran di era informasi sekarang ini sebenarnya sudah semakin jauh
berubah. Topik pelajaran bukanlah persoalan yang akan menghambat seseorang, pada
usia berapapun, untuk mempelajarinya. Syaratnya hanyalah mengubah cara belajar,
disesuaikan dengan kecenderungan gaya belajar dan usianya masing-masing sehingga
terasa menyenangkan dan membangkitkan minat untuk terus belajar.
Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu
bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk
mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya
seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan.
Memang benar jika membaca diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar
kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena
menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.
Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya
pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak.
Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang
pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal.
Penganut behaviorisme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk
anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan.
Namun demikian pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang
dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya
tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-
anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding
kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini
gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar
dan warna yang mencolok.
Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan
muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau
dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak.
Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres
untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.
Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan metode belajar membaca dan
matematika bagi anak-anak usia dini. Glenn Doman adalah contoh lain pendobrak teori
perkembangan Piaget. Doman adalah seorang dokter bedah otak. Ia berhasil membantu
menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera otak lewat flash card. Ia membuat
kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna merah pada karton tebal, dengan
ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu itu ditampilkan di hadapan si pasien dalam
waktu cepat, hanya satu detik per kata. Adanya perkembangan pada otak pasiennya
membuat ia ingin mencobanya kepada anak-anak bahkan bayi.
Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena, bisa saja anak-
anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun akan kebingungan ketika
diberikan kata-kata baru yang belum pernah dibacanya.
Kritik terhadap flash cards memang sering dilontarkan orang, termasuk sebagian ahli
psikologi. Hal itu disebabkan flash cards dianggap sebagai cara yang kurang rasional,
merusak pembelajaran nalar dan logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan
kemampuan membaca menurut para psikolog dan orang pada umumnya harus diproses
melalui tahapan-tahapan fonemik dan fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal
huruf dan mampu membedakan bunyi, sampai akhirnya bisa menggabungkan huruf-huruf
tersebut menjadi sebuah kata.
Itulah letak perbedaan Doman dan para pengkritiknya. Doman hanya merekomendasikan
pembelajaran membaca dan matematika sekitar 45 detik per hari. Bisa kita bayangkan,
betapa sebentarnya, dan kemungkinan anak-anak merasa terbebani karena metode itu
sangatlah kecil. Tak heran jika anak-anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mahir membaca
dan juga menjadi sangat suka serta tentu saja tidak menolak untuk belajar membaca
dengan pendekatan tersebut.
Mengembangkan kemampuan para pendidik untuk mengajar calistung secara
menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada
anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan
baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara
menyajikannya.
Metode Pengajaran Membaca Anak Glenn Doman
Ada dua faktor penting dalam Metode Glenn Doman ini adalah sebagai berikut :

• Sikap dan pendekatan orang dewasa. Syarat terpenting adalah, bahwa diantara
orang dewasa dan anak harus ada pendekatan yang menyenangkan, karena belajar
membaca merupakan permainan yang bagus sekali. Biasakan anak membaca
dengan suatu kegemaran, bisa dibuat permainan menarik untuknya
• Membatasi waktu untuk melakukan permainan ini sehingga betul-betul singkat.
Hentikan permainan ini sebelum anak itu sendiri ingin menghentikannya.
• Jangan pernah memaksa anak untuk belajar membaca tanpa kemauan dia sendiri.

Tahap Pembelajaran
1.Untuk tahap pertama, persiapkan kertas karton kaku warna putih dan spidol besar yang
ujungnya rata (selebar satu sentimeter) berwarna merah. Selain itu, juga spidol ukuran 0,5
sentimeter warna hitam. Kertas karton digunting-gunting sepanjang 60 sentimeter dengan
lebar 15 sentimeter, sediakan pula yang selebar 12,5 sentimeter.
2. Tuliskan kata di atas guntingan kertas karton dengan huruf kecil (bukan kapital),
huruf yang sederhana dan konsisten. Untuk tahap pertama, buatlah 15 kata di atas 15
lembar karton, dibagi menjadi tiga. Misalnya, lima lembar pertama adalah nama-nama
anggota keluarga (set A), lalu lima lembar kedua bertuliskan nama-nama organ tubuh (set
B), sedangkan lembar ketiga bertuliskan nama-nama bunga (set C). Yang jelas, gunakan
nama-nama yang tidak asing bagi dia, terutama nama benda yang sering anak jumpai
setiap hari. Dengan demikian, anak akan lebih mudah mengingatnya.
Pada hari pertama belajar, hanya ditunjukkan lima lembar pertama (set A) kepada anak
dengan membacanya, tiga kali sehari. Pada hari kedua, tunjukkan dan bacakan set A dan
set B, juga tiga kali sehari. Sementara pada hari ketiga, bacakan set A, B, dan C selama
tiga kali sehari. Pada hari keempat, lakukan seperti hari ketiga. Ini dilakukan terus sampai
kartu-kartu terbaca 15-25 kali. Perlu diingat bahwa urutan kata harus sama dari setiap
setnya. Agar tidak terjadi kekeliruan, setiap kertas bisa diberi nomor di sebaliknya,
sehingga waktu kita menunjukkannya kepada anak urutannya tetap sama.
sumber: http://fatonipgsd071644221.wordpress.com/

Pembaca Lain Juga Menyukai artikel di bawah ini :


PAUD

Anda mungkin juga menyukai