Anda di halaman 1dari 9

Pelvic Inflammatory Disease

Oleh

Jonathan Bernard Tueeah

20014101045

Masa KKM : 29 Maret-6 Juni 2021

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2021

A. Pengertian
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi  pada traktur
reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur   penunjang pelvis. PID
merupakan sebuah spektrum infeksi pada traktus genitalia wanita yang termasuk di
dalamnya endometritis, salpingitis, tuba-ovarian abses, dan peritonitis. Biasanya disebabkan
oleh kolonisasi mikroorganisme di endoserviks yang bergerak ke atas menuju endometrium
dan tuba fallopi. Inflamasi dapat timbul kapan saja dan pada titik manapun di traktus
genitalia.

B. Jenis PID
Beberapa jenis inflamasi yang termasuk PID dan sering ditemukan adalah:
1) Salpingitis
Mikroorganisme yang tersering menyebabkan salpingitis adalah N. Gonorhea dan C.
trachomatis. Salpingitis timbul pada remaja yang memiliki  pasangan seksual multiple dan
tidak menggunakan kontrasepsi. Gejala meliputi nyeri perut bawah dan nyeri pelvis yang
akut. Nyeri dapat menjalar ke kaki. Dapat timbul sekresi vagina. Gejala tambahan berupa
mual, muntah, dan nyeri kepala. Temuan laboratorium yaitu normal leukosit atau
leukositosis. Penatalaksanaan adalah dengan antimicrobial terapi. Pasien harus
dihospitalisasi, tirah baring, dan diberi pengobatan empirik. Prognosis bergantung pada
terapi antimicrobial spectrum luas dan istirahat yang total. Komplikasi berupa hidrosalping,
pyosalping, abses tubaovarian, dan infertilitas.
2) Abses Tuba Ovarian
Abses ini dapat muncul setelah onset salpingitis, namun lebih sering akibat infeksi
adnexa yang berulang. Pasien dapat asimptomatik atau dalam keadaan septic shock. Onset
ditemukan 2 minggu setelah menstruasi dengan nyeri pelvis dan abdomen, mual, muntah,
demam, dan takikardi. Seluruh abdomen tegang dan nyeri. Leukosit dapat rendah, normal,
atau sangat meningkat. Diagnosis bandingnya yaitu kista ovarium, neoplasma ovarium,
kehamilan ektopik, dan periapendiceal abses. Penatalaksanaan awal dengan antibiotik. Jika
massa tidak mengecil setelah 2-3 minggu terapi antibiotic, merupakan indikasi
pembedahan.

C. Etiologi
PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit menular seksual
seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis. Mikroorganisme endogen yang ditemukan di
vagina juga sering ditemukan pada traktus genitalia wanita dengan PID. Mikroorganisme
tersebut termasuk bakteri anaerob seperti prevotella dan peptostreptokokus seperti G.
vaginalis. Bakteri tersebut bersama dengan flora vagina menyebar secara asenden dan secara
enzimatis merusak   barier mukosa serviks.  N. gonorrhea dan C. Trachomatis telah diduga
menjadi agen etiologi utama PID, baik secara tunggal maupun kombinasi. C. trachomatis
adalah bakteri intraseluler patogen. Secara klinis, infeksi akibat parasit intraseluler obligat
ini  bermanifestasi dengan servisitis mukopurulen.
Bakteri fakultatif anaerob dan flora endogen vagina dan perineum juga diduga menjadi
agen etiologi potensial untuk PID. Yang termasuk diantaranya adalah Gardnerella
vaginalis, Streptokokus agalactiae, Peptostreptokokus, Bakteroides, dan mycoplasma
genital, serta ureaplasma genital. Patogen nongenital lain yang dapat menyebabkan PID
yaitu haemophilus influenza dan Haemophilus parainfluenza.
Actinomices diduga menyebabkan PID yang dipicu oleh penggunaan AKDR. Pada
negara yang kurang berkembang, PID mungkin disebabkan juga oleh salpingitis
granulomatosa yang disebabkan Mycobakterium tuberkulosis dan Schistosoma.

D. Faktor Resiko
Hubungan seksual dengan  banyak pasangan (multiple sexual partner), riwayat infeksi
menular seksual sebelumnya, dan riwayat pelecehan seksual. Prosedur bilas vagina sering
telah dianggap sebagai faktor risiko untuk PID, tetapi penelitian mengungkapkan tidak ada
hubungan yang jelas. Prosedur ginekologi seperti biopsi endometrium, kuretase, dan
histeroskopi merupakan predisposisi untuk naiknya infeksi sehingga menyebabkan PID.
Pada usia lebih muda, ditemukan keterkaitan dengan peningkatan resiko PID, hal ini
disebabkan karena terjadi peningkatan permeabilitas mukosa cervix, zona yang lebih besar
dari ektopi servik, prevalensi yang rendah dari proteksi antibodi anti-chlamydia, dan
perilaku yang beresiko tinggi.
E. Diagnosis
Secara tradisional, diagnosa PID didasarkan pada trias tanda dan gejala yaitu, nyeri
pelvik, nyeri pada gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan adanya demam. Namun, saat
ini telah terdapat beberapa variasi gejala dan tanda yang membuat diagnosis PID lebih sulit.
beberapa wanita yang mengidap PID bahkan tidak bergejala.
Penegakan diagnosa dimulai dengan anamnesis dimana pasien dapat mengeluhkan
gejala yang bervariasi. Gejala muncul pada saat awal siklus menstruasi atau pada saat akhir
menstruasi. Nyeri abdomen bagian bawah dijumpai pada 90% kasus dengan kriteria nyeri
tumpul, bilateral, dan konstan. Nyeri diperburuk oleh gerakan, olahraga, atau koitus. Nyeri
dapat juga dirasakan seperti tertusuk, terbakar, atau kram. Nyeri biasanya berdurasi.
Sekresi cairan vagina terjadi pada 75% kasus. Demam dengan suhu >38º, mual, dan
muntah. gejala tambahan yang lain meliputi perdarahan per vaginam, nyeri punggung
bawah, dan disuria. Nyeri organ pelvis dijumpai pada PID. Adanya nyeri pada pergerakan
serviks menandakan adanya inflamasi peritoneal yang menyebabkan nyeri saat peritoneum
teregang pada pergerakan serviks dan menyebabkan tarikan pada adnexa.
PID dapat didiagnosa dengan riwayat nyeri pelvis, sekresi cairan vagina, nyeri tekan
adnexa, demam, dan peningkatan leukosit.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati:
 Nyeri tekan perut bagian bawah
 Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri  pada
pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang  bilateral
 Mungkin ditemukan adanya massa adnexa
Beberapa tanda tambahan adalah:
 Suhu oral lebih dari 38ºC
Pemeriksaan Laboratorium
 Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari 100.000   pada
50% kasus. Hitung leukosit mungkin normal, meningkat, atau menurun, dan tidak
dapat digunakan untuk menyingkirkan PID.
 Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu diagnose namun
tetap tidak spesifik.
 Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.
 Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan untuk 
mengkonfirmasi PID.
 Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih.

Pemeriksaan Radiologi
 Transvaginal ultrasonografi: pemeriksaan ini memperlihatkan adnexa, uterus,
termasuk ovaroium. Pada pemeriksaan ini PID akut nampak dengan adanya
ketebalan dinding tuba lebih dari 5 mm, adanya septa inkomplit dalam tuba, cairan
mengisi tuba fallopi, dan tanda cogwheel. Tuba fallopi normal biasanya tidak terlihat
pada USG.
 CT digunakan untuk mendiagnosa banding PID. Penemuan CT pada PID adalah
servisitis, ooforitis, salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan adanya abses
atau kumpulan cairan pelvis.Penemuan CT scan tidak  spesifik pada kasus PID
dimana tidak bukati abses.
 MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akan terlihat  penebalan,
tuba yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis bebas atau kompleks
tubaovarian

Prosedur Lain
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Mengevaluasi cairan
di dalam abdomen dilakukan untuk menginterpretasi kerusakan. Pus menunjukkan adanya
abses tubaovarian, rupture apendiks, atau abses uterin. Darah ditemukan pada ruptur
kehamilan ektopik, kista korpus luteum, mestruasi retrograde, dll.
Criteria minimum pada laparoskopi untuk mendiagnosa PID adalah edema dinding
tuba, hyperemia permukaan tuba, dan adanya eksudat pada permukaan tuba dan fimbriae.
Massa pelvis akibat abses tubaovarian atau kehamilan ektopik  dapat terlihat.
Endometrial biopsi dapat dilakukan untuk mendiagnosa endometritis secara
histopatologis.

F. Pencegahan
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pencegahan dapat dilakukan dengan mecegah terjadi infeksi yang disebabkan oleh
kuman penyebab penyakit menular seksual, terutama chlamidya. Peningkatan edukasi
masyarakat, penapisan rutin, diagnosis dini, serta penanganan yang tepat terhadap
infeksi chlamidya berpengaruh besar dalam menurunkan angka PID. Edukasi hendaknya
focus pada metode pencegahan penyakit menular seksual, termasuk setia terhadap satub
pasangan, menghindari aktivitas seksual yang tidak aman, dan menggunakan pengaman
secara rutin.
2. Adanya program penapisan penyakit menular seksual dapat mencegah terjadinya PID
pada wanita. Mengadakan penapisan terhadap pria perlu dilakukan untuk mencegah
penularan kepada wanita.
3. Pasien yang telah didiagnosa dengan PID atau penyakit menular seksual harus diterapi
hingga tuntas, dan terapi juga dilakukan terhadap  pasangannya untuk mencegah
penularan kembali.
4. Wanita usia remaja harus menghindari aktivitas seksual hingga usia 16 tahun atau lebih.
5. Kontrasepsi oral dikatakan dapat mengurangi resiko PID.
6. Semua wanita berusia 25 tahun ke atas harus dilakukan penapisan terhadap chlamidya
tanpa memandang faktor resiko.
G. Penatalaksanaan
CDC memperbaharui panduan untuk diagnosis dan manajemen PID. Panduan CDC
terbaru membagi criteria diagnostic menjadi 3 grup :
1. Grup 1 : minimum kriteria dimana terapi empiris diindikasikan bila tidak ada etiologi
yang dapat dijelaskan. Kriterianya yaitu adanya nyeri tekan uterin atau adnexa dan nyeri
saat pergerakan serviks.
2. Grup 2 : kriteria tambahan mengembangkan spesifisitas diagnostic termasuk kriteria
berikut : suhu oral >38,3ºC, adanya secret mukopurulen dari servical atau vaginal,
peningkatan erythrocyte sedimentation rate, peningkatan c-reactif protein, adanya bukti
laboratorium infeksi servikalis oleh   N. gonorhea atau C. trachomatis.
3. Grup 3 : kriteria spesifik untuk PID didasarkan pada prosedur yang tepat untuk beberapa
pasien yaitu konfirmasi laparoskopik, ultrasonografi transvaginal yang memperlihatkan
penebalan, tuba yang terisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas pada pelvis, atau
kompleks tuba-ovarian, dan endometrial biopsy yang memperlihatkan endometritis.
Kebanyakan pasien diterapi dengan rawatan jalan, namun terdapat indikasi untuk
dilakukan hospitalisasi yaitu :
 Diagnosis yang tidak jelas
 Abses pelvis pada ultrasonografi
 Kehamilan
 Gagal merespon dengan perawatan jalan
 Ketidakmampuan untuk bertoleransi terhadap regimen oral
 Sakit berat atau mual muntah
 Imunodefisiensi
 Gagal untuk membaik secara klinis setelah 72 jam terapi rawat jalan Terapi
dimulai dengan terapi antibiotik empiris spectrum luas. Jika terdapat AKDR,
harus segera dilepas setelah pemberian antibiotic empiris pertama. Terapi
terbagi menjadi 2 yaitu terapi untuk pasien rawat inap dan rawat jalan.
Terapi Pasien Rawat Inap
Regimen A : berikan cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per 12 jam ditambah
doxisiklin 100 mg per oral atau iv per 12 jam. Lanjutkan regimen ini selama 24 jam setelah
pasien pasien membaik secara klinis, lalu mulai doxisiklin 100 mg per oral 2 kali sehari
selama 14 hari. Jika terdapat abses tubaovarian, gunakan metronoidazole atau klindamisin
untuk menutupi bakteri anaerob.
Regimen B : berikan clindamisin 900 mg iv per 8 jam tambah gentamisin 2 mg/kg BB
dosis awal iv diikuti dengan dosis lanjutan 1,5 mg/kg BB per 8 jam. Terapi iv dihentikan 24
jam setelah pasien membaik secara klinis, dan terapi per oral 100 mg doxisiklin dilanjutkan
hingga 14 hari.
Terapi Pasien Rawat Jalan
Regimen A : berikan ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal tambah doxisiklin 100 mg
oral 2 kali sehari selama 14 hari, dengan atau tanpa metronidazole 500 mg 2 kali sehari
selama 14 hari.
Regimen B : berikan cefoxitin 2 gr im dosis tunggal dan proibenecid 1 gr per oral
dosis tunggal atau dosis tunggal cephalosporin generasi ketiga tambah dozisiklin 100 mg
oral 2 kali sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazole 500 mg oral 2 kali sehari
selama 14 hari.
Pasien dengan terapi intravena dapat digantika dengan terapi per oral setelah 24 jam
perbaikan klinis. Dan dilanjutkan hingga total 14 hari. Penanganan  juga termasuk
penanganan simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi cairan.
Terapi Pembedahan
Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus dievaluasi
ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan. Laparotomi digunakan
untuk kegawatdaruratan sepeti rupture abses, abses yang tidak respon terhadap pengobatan,
drainase laparoskopi. Penanganan dapat pula   berupa salpingoooforektomi, histerektomi,
dan bilateral salpingooforektomi. Idealnya, pembedahan dilakukan bila infeksi dan inflamasi
telah membaik.

H. Prognosis
Prognosis pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera. 2 Terapi dengan
antibiotik memiliki angka kesuksesan sebesar 33-75%. Terapi   pembedahan lebih lanjut
dibutuhkan pada 15-20% kasus. Nyeri pelvis kronik  timbul oada 25% pasien dengan
riwayat PID. Nyeri ini disangka berhubungan dengan perubahan siklus menstrual, tapi dapat
juga sebagai akibat perlengketan atau hidrosalping. Gangguan fertilitas adalah masalah
terbesar pada wanita dengan riwayat PID. Rerata infertilitas meningkat seiring dengan
peningkatan frekuensi infeksi. Resiko kehamilan ektopik meningkat pada wanita dengan
riwayat PID sebagai akibat kerusakan langsung tuba fallopi.

I. Komplikasi
Abses tuba ovarian adalah komplikasi tersering dari PID akut, dan timbul   pada
sekitar 15-30% wanita yang dirawat inap di RS. Sekuel yang  berkepanjangan, termasuk
nyeri pelvis kronik, kehamilan ektopik, infertilitas, dan kegagalan implantasi dapat timbul
pada 25% pasien. Lebih dari 100000 wanita diperkirakan akan mengalami infertilitas akibat
PID. Keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan dapat menyebabkan sekuele seperti
infertilitas. Mortalitas langsung muncul pada 0,29 pasien per 100000 kasus  pada wanita usia
15-44 tahun. Penyebab kematian yang utama adalah rupturnya abses tuba-ovarian.
Kehamilan ektopik 6 kali lebih sering terjadi pada wanita dengan PID.

DAFTAR PUSTAKA
1. Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek &   Novak’s
Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William & Wilkins.
2. Sarwono Prawirohardjo, Prof, dr, DSOG dan Hanifa Wiknjosastro, Prof, dr, DSOG; Ilmu
Kandungan, YBP-SP,Edisi ke dua, estacan ke tiga, FKUI, Yakarta; 1999, Hal 271 -27-2
3. Pernoll, Martin L. 2001. Pelvic Inflammatory Disease dalam Benson & Pernoll’s
handbook of Obstetric and Gynecology 10th edition. USA : McGrawhill Companies.
4. Edmonds, Keith D. 2007. The Role of Ultrasound in Gynaecology dalam Dewhurst’s
Textbook of Obstetric and Gynaecology 7 th edition. London : Blackwell Publishing.

Anda mungkin juga menyukai