Anda di halaman 1dari 26

STUDI KASUS RUMAH SAKIT

“CRITICAL APPRAISAL”

Dosen Pengampu :
apt. Y.B Heru Dwi Purnomo, M.Sc

Disusun Oleh :
1. Nadia Hasna (2120414643)
2. Nailati Syarifah (2120414644)
3. Nanda Hadmira Melati W (2120414645)
4. Natasyha Advaita (2120414646)
5. Ni Made Ari Susanti (2120414647)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telaah kritis atau critical appraisal adalah cara atau metode untuk
mengkritisi secara ilmiah terhadap penulisan ilmiah. Telaah kritismenjadisuatu
keharusan bagi seorang klinisi untuk menerapkan pengetahuan baru dalam praktek
sehari-hari. Telaah kritis digunakan untuk menilai validitas (kebenaran) dan
kegunaan dari suatu artikel atau journal ilmiah.Telaah Kritis merupakan bagian dari
Evidence-Based Medicine.
EBM merupakan praktik kedokteran klinis yang memadukan bukti
terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-nilai pasien. EBM bertujuan
membantu klinisi agar pelayanan medis memberikan hasil klinis yang optimal
kepada pasien. Penggunaan bukti ilmiah dari riset terbaik memungkinkan
pengambilan keputusan klinis yang lebih efektif, bisa diandalkan, aman, dan cost-
effective.
Pada masa lalu penentuan apakah seorang sakit atau tidak sakit sematamata
dilakukan dengan dasar pemeriksaan klinis, yang terbukti banyak menyebabkan
kesalahan diagnosis. Kemudian berkembang amat pesat berbagai pemeriksaan
penunjang atau prosedur diagnostik, mulai dari pemeriksaan laboratorium
sederhana sampai pemeriksaan pencitraan yang canggih. Tidak dapat dipungkiri
bahwa kita memerlukan berbagai jenis uji diagnostik untuk menegakkan
diagnosis pada sebagian besar kasus.
Uji diagnostik dapat dibagi berdasarkan pada kegunaannya misalnya untuk
skrining, untuk memastikan atau menyingkirkan diagnosis, untuk memantau
perjalanan penyakit, menentukan prognosis dan lain-lain.
Agar dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis, mendeteksi atau
memprediksi penyakit pada sekelompok orang yang tampaknya sehat, tetapi

1
mempunyai risiko terkena suatu penyakit tertentu (population at risk) maka alat uji
tersebut harus memiliki tingkat akurasi yang tinggi hingga dapat diandalkan. Untuk
memperoleh alat uji yang dimaksud di atas dapat dilakukan uji tunggal seperti
sensitivitas, spesifisitas dan uji prediksi atau uji gabungan.
Dalam makalah ini akan dijelaskan pengertian, tujuan, hasil Critical
Appraisal dan uji diagnostik dan langkah-langkah yang diperlukan dalam critical
appraisal agar kiranya dapat memperdalam tentang uji diagnostik dan
menerapkannya dalam studi epidemiologi..
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami tentang “Critical Appraisal dan uji diagnostik”.
C. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat agar dapat lebih
mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai “Critical Appraisaldan uji
diagnostik”

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Criticals appraisal atau telaah kritis adalah cara atau metode untuk mengkritisi
secara ilmiah terhadap penulisan ilmiah. Telaah kritis menjadi suatu keharusan bagi
seorang klinisi untuk menerapkan pengetahuan baru dalam praktek sehari-hari.
Telaah kritis digunakan untuk menilai validitas (kebenaran) dan kegunaan dari suatu
artikel atau journal ilmiah.

Critical Appraisal (Kajian Kritis) adalah suatu proses evaluasi secara cermat
dan sistematis untuk memutuskan apakah suatu tulisan penelitian atau majalah ilmiah
layak dipercaya. Hal ini merupakan salah satu kemampuan dasar yang penting bagi
seorang klinisi untuk dapat mengetahui dan menggunakan datadata penelitian yang
dapat dipercaya dan efisien.

Uji diagnostik adalah satu tindakan prosedur medis dengan maksud


menyingkirkan ketidakpastian tentang apakah suatu penyakit benar ada atau tidak.
Idealnya, uji diagnostik (laboratorium, imejing-radiologi, prosedur) yang dilakukan
untuk melengkapi informasi medis, hasilnya cepat diperoleh artinya status kesehatan
belum banuak berubah diagnosis (hasil) telah didapat, sehingga diagnosis dapat
ditegakkan disertai biaya yang murah.

Uji diagnostik dapat dilakukan secara bertahap (serial) , atau dilakukan


sekaligus beberapa uji diagnostik (paralel). Uji diagnostik yang ideal jarang sekali
ditemukan yaitu uji yang memberikan hasil positif pada semua subyek yang sakit dan
memberikan hasil negatif pada semua subyek yang tidak sakit. Hampir pada semua
jenis penyakit atau keadaan abnormal dilakukan penelitian untuk memperoleh uji
diagnostik baru.

3
B. Tujuan Critical appraisal

Critical appraisal berfungsi sebagai berikut:


- Secara sistematik mengevaluasi literature ilmiah
- Dapat memilih literature yang akan diambil
- Memutuskan artikel manakah yang akan mempengaruhi pekerjaan yang
- akan dilakukan
- Memisahkan penghalang antara peneliti dengan hasil penelitian
- Mendukung perkembangan dari Evidence Based Medicine (EBM)

Pengembangan uji diagnostik dapat mempunyai beberapa tujuan, termasuk:

1. Untuk menegakkan diagnosis penyakit atau menyingkirkan penyakit


Untuk keperluan ini uji diagnosis harus sensitif (kemungkinan negative semu
kecil), sehingga apabila didapatkan hasil yang normal (hasil uji negatif) dapat
dipergunakan untuk menyingkirkan adanya penyakit. Ia juga harus spesifik
(kemungkinan hasil positif semu kecil), sehingga apabila hhasilnya abnormal
dapat dipergunakan untuk menentukan adanya penyakit.
2. Untuk keperluan skrining
Skrining dilakukan untuk mencari penyakit pada subyek yang asimtomatik,
sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan agar diagnosis dini dapat
ditegakkan. Uji diagnostik untuk skrining harus mempunyai sensitivitas yang
sangat tinggi meskipun spesifisitasnya sedikit rendah. Penyakit yang perlu
dilakukan skrining memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
- Prevalens penyakit harus tinggi, meski kata “tinggi” ini relatif
- Penyakit tersebut menunjukkan morbiditas dan / atau mortalitasyang
bermakna apabila tidak diobati
- Harus ada terapi efektif yang dapat mengubah perjalanan penyakit
- Pengobatan dini memberikan hasil yang lebih baik ketimbang pengobatan
pada kasus lanjut

4
3. Untuk pengobatan pasien. Dalam pengobatan pasien, uji diagnostic sering
dilakukan berulang-ulang untuk :
- Memantau perjalanan penyakit atau hasil terapi
- Mengidentifikasi komplikasi
- Mengetahui kadar terapi suatu obat
- Menetapkan prognosis
- Mengkonfirmasi suatu hasil pemeriksaan yang tak terduga

Untuk kepentingan tersebut, reprodusibilitas suatu uji diagnostic sangat


penting, artinya apabila suatu uji dilakukan terhadap subyek yang sama pada
waktu yang sama, maka uji diagnostik tersebut harus memberi hasil yang sama
pula

4. Untuk studi epidemiologi. Uji diagnostik seringkali dilaksanakan dalam studi


epidemiologi. Suatu uji diagnostik yyang memberikan hasil yang positif (ada
penyakit) atau negatif (tidak ada penyakit) sering dipakai dalam survai
untuk menentukan prevalens suatu penyakit.

C. Langkah – Langkah Critical appraisal

Secara formal penilaian kritis (critical appraisal) perlu dilakukan terhadap


kualitas bukti-bukti yang dilaporkan oleh artikel riset pada jurnal. Penilaian kritis
kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang validitas (validity),
kepentingan (importance), dan kemampuan penerapan (applicability) bukti bukti
klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi, prognosis, pencegahan, kerugian, yang
akan digunakan untuk pelayanan medis individu pasien, disingkat “VIA”.

1. Validity
Setiap artikel laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah
kesimpulan yang ditarik benar (valid), tidak mengandung bias. Bias adalah
kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan kesimpulan hasil

5
riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi, akurasi
prognosis, maupun kerugian/ etiologi penyakit. Validitas (kebenaran) bukti yang
diperoleh dari sebuah riset tergantung dari cara peneliti memilih subjek/
sampel pasien penelitian, cara mengukur variabel, dan mengendalikan pengaruh
faktor ketiga yang disebut faktor perancu (confounding factor). Untuk
memperoleh hasil riset yang benar (valid), maka sebuah riset perlu
menggunakan desain studi yang tepat.

2. Importance
Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis perlu
dinilai tidak hanya validitas (kebenaran)nya tetapi juga apakah intervensi tersebut
memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik yang substansial, yang
cukup penting (important), sehingga berguna untuk menegakkan diagnosis
ataupun memilih terapi yang efektif.
Suatu tes diagnostik dipandang penting jika mampu mendiskriminasi
(membedakan) pasien yang sakit dan orang yangtidak sakit dengan cukup
substansial, sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran akurasi tes diagnostik.Suatu
intervensi medis yang mampu secara substantif dan konsisten mengurangi risiko
terjadinya hasil buruk (bad outcome), atau meningkatkan probabilitas terjadinya
hasil baik (good outcome), merupakan intervensi yang penting dan berguna untuk
diberikan kepada pasien. Suatu intervensi disebut penting hanya jika mampu
memberikan perubahan yang secara klinis maupun statistik signifikan, tidak
bisa hanya secara klinis signifikan atau hanya secara statistik signifikan.

Ukuran efek yang lazim digunakan untuk menunjukkan manfaat terapi


dalam mencegah risiko terjadinya hasil buruk adalah absolute risk reduction
(ARR), relative risk reduction (RRR), dan number needed to treat (NNT).
Ukuran efek yang lazim digunakan untuk menunjukkan manfaat terapi dalam
meningkatkan kemungkinan terjadinya hasil baik adalah absolute benefit increase
(ABI), relative benefit increase (RBI), dan number needed to treat (NNT).

6
Setiap intervensi medis di samping berpotensi memberikanmanfaat
juga kerugian (harm). Ukuran efek yang digunakan untuk menunjukkan
meningkatnya risiko terjadi kerugian oleh suatu intervensi medis adalah rasio
risiko (RR), odds ratio (OR), absolute risk increase (ARI), relative risk
increase (RRI), dannumber needed to harm (NNH).

3. Applicability

Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa
diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. ‗Bukti terbaik‘ dari sebuah
setting riset belum tentu bisa langsung diekstrapolasi (diperluas) kepada
setting praktik klinis dokter. Untuk memahami pernyataan itu perlu dipahami
perbedaan antara konsep efikasi (efficacy) dan efektivitas (effectiveness). Efikasi
(efficacy) adalah bukti tentang kemaknaan efek yang dihasilkan oleh suatu
intervensi, baik secara klinis maupun statistik, seperti yang ditunjukkan pada
situasi riset yang sangat terkontrol. Situasi yang sangat terkontrol sering kali tidak
sama dengan situasi praktik klinis sehari-hari. Suatu intervensi menunjukkan
efikasi jika efek intervensi itu valid secara internal (internal validity), dengan
kata lain intervensi itu memberikan efektif ketika diterapkan pada populasi
sasaran (target population)

Menurut Sackett et al. (2000), Evidence Based Medicine (EBM) adalah


integrasi bukti-bukti riset terbaik dengan keterampilan klinis dan nilai-nilai
pasien. Ketiga elemen itu disebut triad EBM.

Bukti klinis terbaik yang tersedia

Keterampilan klinis Nilai-nilai dan ekspektasi


Keadaan
klinis pasien pasien
yang lebih
baik
7
EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang
lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi
pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis,
dan nilai-nilai pasien. Penggunaan bukti ilmiah terbaik memungkinkan
pengambilan keputusan klinis yang lebih efektif, aman, bisa diandalkan, efisien,
dan cost-effective (Sackett et al., 2000).
Menurut Murti (2011), dua strategi yang digunakan untuk merealisasi
tujuan EBM adalah :

1. EBM mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti


terbaik, yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar.
2. EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis
berorientasi penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien.

Kegiatan penting yang dilakukan dalam EBM adalah telaah kritis atau
critical appraisal. Telaah kritis atau critical appraisal merupakan cara atau
metode untuk mengkritisi penulisan ilmiah secara ilmiah. Telaah kritis
merupakan satu tahap dalam proses praktek klinik yang berbasis bukti, dengan
melakukan penilaian obyektif terhadap informasi ilmiah yang bermanfaat.
Telaah kritis menjadi kebutuhan seorang dokter supaya hasil dari artikel atau
jurnal ilmiah tersebut dapat diterapkan dalam praktek sehari-hari. Telaah kritis
digunakan untuk menilai validitas metodologi, hasil dan kegunaan dari suatu
artikel atau jurnal ilmiah yang dipublikasikan. Dengan demikian, telaah kritis
dapat membantu menetapkan bahwa hasil suatu penelitian cukup baik untuk
digunakan dalam pengambilan keputusan (Murti, 2011).

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam kegiatan telaah


kritis. Langkah- langkah tersebut adalah :
1. Merumuskan pertanyaan klinis dengan struktur PICO.

8
2. Menemukan bukti hasil penelitian yang bisa menjawab pertanyaan tersebut.
3. Melakukan telaah kritis pada bukti hasil penelitian yang telah didapatkan,
untuk menilai validitasnya, kepentinganya, dan dapat diterapkan atau tidak.

9
BAB II
PEMBAHASAN

A. Rumusan Pico
Dalam pelayanan kesehatan kepada pasien selalu timbul pertanyaan
mengenai diagnosis, kausa, prognosis, maupun terapi yang akan diberikan
kepada pasien. Sebagian dari pertanyaan itu cukup sederhana dan merupakan
pertanyaan rutin yang mudah dijawab, atau disebut dengan pertanyaan latar
belakang (background questions) (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005).
Pertanyaan latar belakang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan
medis yang bersifat umum, misalnya fisiologi dan patofisiologi penyakit. Bagi
seorang dokter praktik, pertanyaan latar belakang mudah dijawab dengan
menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dari pendidikan dokter,
pengalaman praktik klinis, seminar, continuing medical education (CME),
ataupun kajian pustaka.
Sedangkan, pertanyaan klinis lainnya sulit dijawab dan tidak dapat
dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca buku teks, atau mengikuti
seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab disebut pertanyaan latar depan
(foreground questions) (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005).
Pertanyaan latar depan digunakan untuk memperoleh informasi spesifik
yang dibutuhkan dalam membuat keputusan klinis. Sehingga, perlu upaya
yang sistematis untuk menjawabnya dengan menggunakan bukti-bukti dari
sumber database hasil riset yang terpercaya kebenarannya. Jawaban yang
benar atas pertanyaan latar depan memerlukan keterampilan dokter untuk
menilai kritis kualitas bukti hasil riset (Murti, 2011).
Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa
diperoleh dari database, maka pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan
spesifik, dengan struktur yang disingkat PICO (Murti, 2011) :

10
1. Patient
Karakteristik pasien perlu dideskripsikan dengan jelas agar bukti-bukti
yang dicari relevan dengan masalah pasien dan dapat diterapkan. Bukti-
bukti yang dicari adalah bukti dari penelitian yang menggunakan sampel
pasien dengan karakteristik serupa dengan pasien yang datang ke praktik
klinik.
2. Intervention
Pertanyaan klinis harus menyebutkan dengan spesifik intervensi yang
ingin diketahui manfaatnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining,
tes/ alat/ prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi
terapi obat, vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan,
upaya rehabilitatif, intervensi medis dan pelayanan kesehatan lainnya.
3. Comparison
Dalam penilaian hasil riset, diperlukan adanya pembanding untuk
membantu proses penarikan kesimpulan. Misalnya untuk menarik
kesimpulan tentang efektivitas terapi, maka hasil dari pemberian terapi
perlu dibandingkan dengan hasil tanpa terapi. Jika terapi memberikan
perbaikan klinis pada pasien, tetapi pasien tanpa terapi juga menunjukkan
perbaikan klinis yang sama, suatu keadaan yang disebut efek plasebo,
maka terapi tersebut tidak efektif.
4. Outcome
Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis
(clinical outcome).

11
Pada telaah kritis ini, rumusan PICO yang diambil adalah:
1. Patient : Bayi berat lahir sangat rendah.
2. Intervention : Terapi insulin.
3. Comparison : Tanpa terapi insulin.
4. Outcome : Menurunkan mortalitas dan morbiditas.
B. Artikel Jurnal
Terlampir
Judul jurnal : Early Insulin Therapy in Very-Low-Birth-Weight Infants.
Publikasi : The New England Journal of Medicine Vol. 359, No. 18,
Page 1873-1884.
C. Form Critical Appraisal

A. Are the results of the trial valid?


(screening question)
1. Did the trial address Yes ( √ ) Can’t tell ( ) No ( )
a clearly focused a. Pada bagian studi populasi halaman 1874, tercantum
issue? dengan jelas mengenai populasi yang dipelajari yaitu
An issue can be bayi berat lahir sangat rendah yang memenuhi
focused in term of standar kriteria kelayakan yang direkrut antara tahun
a. The population 2005 dan 2007 dari delapan pusat perawatan intensif
studied neonatal. Bayi yang usianya kurang dari 24 jam
b. The intervention dimasukkan jika berat lahir mereka kurang dari 1500
given g, membutuhkan perawatan intensif, dan orang tua
c. The comparator diberikan informed consent tertulis. Kriteria
given eksklusinya adalah diabetes maternal dan kelainan
kongenital mayor.

“Very-low-birth-weight infants who met predefined


eligibility criteria were recruited between 2005 and

12
2007 from eight neonatal intensive care centers.
These centers were located in Cambridge,
Edinburgh, Leeds, and Luton (United Kingdom);
Leuven and Genk (Belgium); Amsterdam; and
Barcelona. Infants younger than 24 hours of age
were included if their birth weight was less than
1500 g, they required intensive care, and their
parents provided written informed consent.
Exclusion criteria were maternal diabetes and major
fetal congenital abnormalities.”

b. Pada bagian intervensi halaman 1874, dijelaskan


bahwa manajemen kontrol glukosa di kedua studi
kelompok ditentukan dalam protokol dan
dilaksanakan melalui prosedur operasi standar.
Akses vena sentral diperlukan untuk per-protokol
infus nutrisi parenteral dan dekstrosa 20%, dengan
demikian, hanya bayi yang masih ada akses sentral
yang dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam
penelitian.
Perlakuan pada kelompok terapi dan kelompok
control dijelaskan pada halaman 1874-1875.
Kelompok yang mendapatkan terapi insulin
menerima dosis tetap terus menerus infus insulin
(0,05 U per kilogram per jam), dengan dextrose 20%
intravena tambahan untuk mempertahankan
euglycemia (target kisaran, 4 sampai 8 mmol per liter
[72-144 mg per desiliter]) dalam 24 jam setelah lahir
sampai umur 7 hari. Insulin ASPART (Novo

13
Nordisk) digunakan, karena analog insulin ini
memiliki short half-life. Dextrose adalah diberikan
jika kadar glukosa darah menurun sampai kurang
dari 4,0 mmol per liter (72 mg per desiliter), mulai
pada 1 ml per kilogram per jam, dan insulin
dihentikan jika infus ini tidak mencegah terjadinya
hipoglikemia (<2,6 mmol per liter [47 mg per
desiliter]). Jika ada yang bertahan hiperglikemia (>
10 mmol per liter [180 mg per desiliter]), tingkat
infus glukosa dikurangi atau di infuskan insulin
tambahan. Pada kelompok kontrol, bayi menerima
perawatan standar di mana dokter bertanggung jawab
atas perawatan klinis kadar glukosa yang lebih besar
dari 10 mmol per liter (180 mg per desiliter) atau
kurang dari 2,6 mmol (47 mg per desiliter). Dokter
akan menentukan apakah laju infus dekstrosa harus
dikurangi atau ditambah atau jika terapi insulin harus
dimulai. Insulin dimulai hanya setelah dua kadar
glukosa lebih besar dari 10 mmol per liter dengan
menggunakan skala geser dan awal dosis 0,05 U per
kilogram per jam.

“Management of glucose control in both study


groups was predetermined in the protocol and
implemented through standard operating
procedures. Central venous access was required for
the per-protocol infusion of parenteral nutrition and
20% dextrose; thus, only infants with extant central

14
access were considered for inclusion in the study”
“Early-insulin group.
Infants who were randomly assigned to the
earlyinsulin group received a fixed-dose continuous
nfusion of insulin (0.05 U per kilogram per hour),
with additional intravenous 20% dextrose to
maintain euglycemia (target range, 4 to 8 mmol per
liter [72 to 144 mg per deciliter]) from within 24
hours after birth until 7 days of age. Insulin aspart
(Novo Nordisk) was used, since this insulin analogue
has a short half-life. Dextrose was infused if blood
glucose levels decreased to less than 4.0 mmol per
liter (72 mg per deciliter), starting at 1 ml per
kilogram per hour,19 and insulin was discontinued if
this infusion did not prevent a drift toward
hypoglycemia (<2.6 mmol per liter [47 mg per
deciliter]). If there was persisting hyperglycemia
(>10 mmol per liter [180 mg per deciliter]), rates of
infusion of glucose were reduced or additional
insulin was infused”

“Control Group
Infants who were randomly assigned to the control
group received standard care in which the physician
who was responsible for clinical care reviewed
glucose levels that were greater than 10 mmol per
liter (180 mg per deciliter) or less than 2.6 mmol (47
mg per deciliter). The physician would determine
whether the rate of infusion of dextrose should be

15
reduced or increased or if insulin therapy should be
initiated. Insulin was initiated only after two glucose
levels were greater than 10 mmol per liter with the
use of a sliding scale and an initial dose of 0.05 U
per kilogram per hour”

c.Pada bagian kelompok kontrol halaman 1875,


dijelaskan mengenai perlakuan yang diberikan pada
kelompok control atau kelompok pembanding.
Seperti yang telah dijelaskan pada poin b diatas,
Pada kelompok kontrol, bayi menerima perawatan
standar di mana dokter bertanggung jawab atas
perawatan klinis kadar glukosa yang lebih besar dari
10 mmol per liter (180 mg per desiliter) atau kurang
dari 2,6 mmol (47 mg per desiliter). Dokter akan
menentukan apakah laju infus dekstrosa harus
dikurangi atau ditambah atau jika terapi insulin harus
dimulai. Insulin dimulai hanya setelah dua kadar
glukosa lebih besar dari 10 mmol per liter dengan
menggunakan skala geser dan awal dosis 0,05 U per
kilogram per jam.

“Control Group
Infants who were randomly assigned to the control
group received standard care in which the physician
who was responsible for clinical care reviewed
glucose levels that were greater than 10 mmol per
liter (180 mg per deciliter) or less than 2.6 mmol (47
mg per deciliter). The physician would determine

16
whether the rate of infusion of dextrose should be
reduced or increased or if insulin therapy should be
initiated. Insulin was initiated only after two glucose
levels were greater than 10 mmol per liter with the
use of a sliding scale and an initial dose of 0.05 U
per kilogram per hour”

2. Was the assignment Yes (√ ) Can’t tell ( ) No ( )


of patients to Pada bagian studi populasi halaman 1874, dijelaskan
treatments bahwa penelitian dilakukan secara acak. Pengacakan
randomized? dicapai dengan penggunaan program berbasis
internet 24 jam (www.thesealedenvelope.com) yang
digunakan untuk mengurangi variabilitas menurut
pusat, berat badan lahir (<1000 g atau 1000 untuk
1500 g), dan usia kehamilan (<25 minggu atau ≥ 25
minggu). Bayi secara acak ditugaskan untuk studi
Kelompok sesegera mungkin selama hari pertama
hidup.

“The study was an international, open-label,


randomized, controlled trial. Randomization was
achieved with the use of a 24-hour Internet based
program (www.thesealedenvelope.com) that used
minimization to reduce variability according to
center, birth weight (<1000 g or 1000 to 1500 g),
and gestational age (<25 weeks or ≥25 weeks).
Infants were randomly assigned to a study group as
soon as possible during the first day of life.”
3. Were all of the Yes (√) Can’t tell ( ) No ( )

17
patients who entered Pada bagian abstrak jurnal halaman 1873, dijelaskan
the trial properly bahwa semua subyek yang ikut dalam penelitian
accounted for at its diperhitungkan dalam hasil dan kesimpulan.
conclusion? Dibandingkan dengan bayi dalam kelompok kontrol,
a. Was follow up bayi dalam kelompok terapi awal insulin memiliki
complete? rata-rata yang lebih rendah (± SD) kadar glukosa (6,2
b. Were patients ± 1,4 vs 6,7 ± 2,2 mmol per liter [112± 25 vs 121 ±
analysed in the 40 mg per desiliter], P = 0,007). Lebih sedikit bayi
groups to which pada kelompok terapi awal insulin yang memiliki
they were hiperglikemia selama lebih dari 10% dari minggu
randomised? pertama kehidupan (21% vs 33%, P = 0,008). Lebih
banyak bayi pada kelompok terapi awal insulin
mengalami episode hipoglikemia (didefinisikan
sebagai glukosa darah tingkat <2,6 mmol per liter
[47 mg per desiliter] untuk> 1 jam) (29% dalam
kelompok awal-insulin vs 17% pada kelompok
kontrol, P = 0,005), dan peningkatan hipoglikemia
signifikan pada bayi dengan berat lahir lebih dari 1
kg. Tidak ada perbedaan dalam analisis intention-to-
treat untuk hasil primer (mortalitas pada perkiraan
tanggal pengiriman) dan hasil sekunder (morbiditas).
Dalam analisis intention-to-treat, mortalitas pada 28
hari lebih tinggi pada earlyinsulin tersebut kelompok
dibandingkan dengan kelompok kontrol (P = 0,04).

” Results
As compared with infants in the control group,
infants in the early-insulin group had lower mean

18
(±SD) glucose levels (6.2±1.4 vs. 6.7±2.2 mmol per
liter [112±25 vs. 121±40 mg per deciliter], P =
0.007). Fewer infants in the early-insulin group had
hyperglycemia for more than 10% of the first week
of life (21% vs. 33%, P = 0.008). The early-insulin
group had significantly more carbohydrate infused
(51±13 vs. 43±10 kcal per kilogram per day,
P<0.001) and less weight loss in the first week
(standard-deviation score for change in weight,
−0.55±0.52 vs. −0.70±0.47; P = 0.006). More
infants in the early-insulin group had episodes of
hypoglycemia (defined as a blood glucose level of
<2.6 mmol per liter [47 mg per deciliter] for >1
hour) (29% in the early-insulin group vs. 17% in the
control group, P = 0.005), and the increase in
hypoglycemia was significant in infants with birth
weights of more than 1 kg. There were no differences
in the intention-to-treat analyses for the primary
outcome (mortality at the expected date of delivery)
and the secondary outcome (morbidity). In the
intention-to-treat analysis, mortality at 28 days was
higher in the earlyinsulin group than in the control
group (P = 0.04).”

a. Follow up dilakukan secara lengkap, dan dijelaskan


pada bagan 1 halaman 1877.

b. Subyek dianalisis sesuai dengan pengelompokan

19
awal yang dilakukan secara acak. Hal ini dijelaskan
pada bagian pemantauan glukosa halaman 1875.
Kadar glukosa pada bayi di kelompok terapi awal
insulin diperiksa per jam setelah insulin dimulai,
namun interval waktu itu meningkat menjadi setiap 6
jam sekali jika kadar glukosa telah stabil. Kadar
glukosa pada bayi di kelompok kontrol diukur
sebagai klinis yang ditunjukkan, setidaknya tiga kali
sehari (setiap 8 jam) .

“Glucose levels in infants in the early-insulin group


were checked hourly after insulin was initiated, but
the time interval was increased to every 6 hours
once glucose levels had stabilized. Glucose levels in
infants in the control group were measured as
clinically indicated, at least thrice daily (every 8
hours).”

Detailed Question
4. Were patients, health Yes ( ) Can’t tell ( ) No ( √ )
workers and study
personel “blind” to Pada penelitian ini, pengobatan tidak dilakukan
treatment? secara “blind”. Hal tersebut dijelaskan pada metode
c. Were the patients studi populasi halaman 1874. Pengobatan yang
d. Were the health dilakukan secara blind tidak layak, karena tidak akan
workers mencapai perbedaan yang memadai dalam kontrol
e. Were the study glukosa antara kelompok dan mungkin mengurangi
personel. keselamatan pasien.
“Blinding of the treatment allocation was not

20
feasible, since it would not achieve adequate
differences in glucose control between the groups
and might reduce patient safety.”
5. Were the groups Yes ( √) Can’t tell ( ) No ( )
similar at the start of
Pada tabel 1 dijelaskan mengenai karakteristik klinis
the trial?
dasar dari bayi dan ibu yang direkrut dalam
In term of other
penelitian. Karakteristik bayi tersebut berupa usia
factors that might
kehamilan ketika lahir, lingkar kepala bayi, jenis
effect the outcome
kelamin bayi, standar deviasi skor untuk berat badan
such as age, sex,
lahir, Indeks Risiko Klinis untuk Bayi (CRIB) skor
social class.
(skor berkisar dari 0 sampai 23, dengan skor yang
lebih tinggi menunjukkan lebih parah penyakit).
Karakteristik ibunya adalah ada tidaknya
korioamnionitis, ada tidaknya prolonged rupture of
membranes (PROM), dan menerima glukokortikoid
antenatal atau tidak.
6. Aside from the Yes (√ ) Can’t tell ( ) No ( )
experimental
Selain perlakuan yang dieksperimenkan, subyek
intervention, were the
diperlakukan sama. Hal itu dijelaskan pada tabel 2
groups treated
halaman 1880.
equally?
Kelompok kontrol dan kelompok terapi mendapatkan
beberapa perlakuan yang sama selain perlakuan
terapi insulin. Perlakuannya adalah pemberian cairan,
karbohidrat, protein, lipid, dan susu.
B. What are the results?
7. How large was the Hasil perhitungan pada mortalitas, odds rationya
treatment effect? sebesar 0,61 dengan interval kepercayaan 95% :
What outcomes are 0.33-1.15 dan P 0,2. Sedangkan odds ratio pada

21
measured? kejadian sepsis sebesar 1.11 (0.69-1.8), necrotizing
enterocolitis 0.92 (0.49-1.71), retinopathy 0.88 (0.42-
1.84), penyakit intracranial 0.83 (0.53-1.28), penyakit
paru kronik 0.85(0.54-1.35).
8. How precise was the Estimasi efek terapinya kurang tepat.
estimate of the
treatment effect?
What are its
confidence limits?
C. Will the results help locally?
9. Can the results be Yes ( √ ) Can’t tell ( ) No ( )
applied to the local
Hasil dari penelitian ini dapat diterapkan pada
population?
populasi lokal, karena pasien lokal dapat memenuhi
Do you think that the
kriteria pada penelitian ini, baik kriteria inklusi
patients covered by
maupun eksklusi.
the trial are similar
enough to your
population?
10. Were all clinically Yes ( √ ) No ( )
important outcomes
Pada bagian adverse event halaman 1878, dijelaskan
considered?
bahwa semua melaporkan efek samping utama, selain
If not, does this affect
hipoglikemia, yang terkait dengan hasil primer atau
the decision?
sekunder. Tidak ada yang melaporkan peristiwa
merugikan berkaitan dengan trauma, infeksi edema,
atau terkait dengan sensor pemantauan glukosa yang
diberikan berkelanjutan. Tidak ada reaksi efek
samping serius yang tidak dapat ditangani. Dokter
melaporkan episode hipoglikemia (glukosa darah
<2,6 mmol per liter untuk> 1 jam), pada 17 bayi di

22
kelompok terapi awal insulin (8,8%) (termasuk 2
yang memiliki protokol pelanggaran dan 4 yang
ditarik dari studi) dan 3 pada kelompok kontrol
(1,6%).

“All reported major adverse events, apart from


hypoglycemia, were related to the primary or
secondary outcomes. There were no reported
adverse
events relating to trauma, infection, or edema
associated with the continuous glucose-monitoring
sensor. No unanticipated serious adverse reactions
were suspected. Clinicians reported episodes of
hypoglycemia (blood glucose <2.6 mmol per liter for
>1 hour), in 17 infants in the early-insulin group
(8.8%) (including 2 who had protocol violations and
4 who were withdrawn from the study) and in 3 in
the control group (1.6%).”
11. Are the benefits worth Yes ( ) No ( √ )
the harms and costs?
Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini tidak
This is unlikely to be
senilai dengan biaya yang dikeluarkan. Karena hasil
addressed by the trial.
yang didapatkan belum maksimal, dan ada beberapa
But what do you
hal yang menunjukkan hasil yang tidak signifikan.
think?

23
DAFTAR PUSTAKA

Beardsall K, Vanhaesebrouck S, Ogilvy-Stuart AL, et al., 2008. Early insulin therapy


Fletcher, R.H., Fletcher, S.W., Wagner, E.H. (1996). Diagnosis. Clinical
epidemiology the essentials, 43-66. USA: williams & Wilkins
Gosall, Narinder., Gurpal., 2012, The Doctor’s Guide to Critical Appraisal, Carnegie
Book Production, Lancaster.

24
Hawkins, R. C., 2005. The evidence based medicine approach to diagnostic testing:
practicalities and limitations. Clin Biochem Rev, 26: 7-18.

in very low birth weight infants. The New England Journal of Medicine,
359 (18) : 1873-1884.
Murti B, Prof, dr, MPH, MSc, PhD (2011). Makalah “Pengantar EvidenceBased”.
Ilmu Kesehatan Masyarakat : Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas
Maret.
Murti, Bhisma., 2011. Pengantar Evidence Based Medicine, Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Rao, L. V. (2011). Introduction to Laboratory Medicine. Dalam M.A. Williamson,


L.M. Snyder, Interpretation of Diagnostic Tests (hal 6-10). Philadelphia:
Lippinoctt Williams & Wilkins
Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg WM, Haynes B (2000). Evidence
based medicine: how to practice and teach EBM. (2nd ed.) Toronto:
Churchill Livingstone.

25

Anda mungkin juga menyukai