Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anak Sakit Kritis

2.1. 1 Definisi

Definisi sakit kritis adalah berbagai proses penyakit yang menyebabkan instabilitas

fisiologis sampai dapat menyebabkan disabilitas atau kematian dalam hitungan menit

sampai jam. Gangguan sistem kardiovaskular dan neurologi merupakan efek segera

yang paling banyak mengancam nyawa. Beberapa instabilitas dapat diketahui secara

jelas dengan adanya kelainan dari nilai normal pada observasi klinis seperti tingkat

kesadaran, laju napas, laju denyut jantung, tekanan darah, dan produksi urin (Frost dan

Wise, 2007).

Beberapa hal perlu diperhatikan pada anak sakit kritis berbeda dengan orang

dewasa yang mengalami sakit kritis karena anak-anak memiliki keadaan fisik, fisiologi

dan emosional yang berbeda dari orang dewasa. Beberapa tanda dan gejala klinis

penyakit dan kegagalan sistem organ hampir sama pada semua usia, namun ada

penyakit atau komplikasi penyakit yang lebih sering terjadi pada anak dibandingkan

pada dewasa (Hazinski, 2013).

2.1. 2 Kriteria masuk Unit Perawatan Intensif Anak (UPIA)

Unit Perawatan Intensif Anak (UPIA) adalah fasilitas atau unit yang terpisah, yang

dirancang untuk penanganan penderita anak yang mengalami gangguan medis, bedah,

8
9

trauma, atau kondisi yang mengancam nyawa lainnya, yang memerlukan perawatan

intensif,observasi yang bersifat komprehensif, dan perawatan khusus (IDAI, 2009).

Pasien sakit kritis harus dirawat di ruang UPIA sesuai dengan kebutuhannya. Suatu

UPIA mampu menggabungkan teknologi tinggi dan keahlian khusus yang dibutuhkan

untuk merawat pasien sakit kritis, sehingga diperlukan untuk membuat prioritas pada

sarana yang terbatas ini, apabila kebutuhan melebihi jumlah tempat tidur yang tersedia.

Adapun beberapa prioritas pasien tersebut adalah (IDAI, 2009):

1. Prioritas 1 (satu): kelompok ini meliputi anak kritis yang dengan terapi intensif

dapat sembuh sempurna dan dapat tumbuh dan berkembang sesuai potensi

genetiknya.

2. Prioritas 2 (dua): kelompok ini meliputi anak sakit kritis dengan penyakit dasar

yang secara medis saat ini belum dapat ditanggulangi namun dengan terapi

intensif dapat menanggulangi keadaan kritis sepenuhnya, hingga anak kembali

pada keadaan sebelum dirawat di UPIA.

3. Prioritas 3 (tiga): kelompok ini meliputi anak sakit kritis dengan penyakit dasar

menyebabkan anak tidak mempunyai kontak dengan lingkungannya secara

permanen dan tidak mengalami tumbuh kembang.

4. Prioritas 4 (empat): kelompok ini meliputi anak sakit kritis dengan prognosis

sangat buruk sehingga dengan terapi intensif pun proses kematian tidak dapat

dicegah.
10

2.1. 3 Skoring derajat keparahan dan prediksi mortalitas di UPIA

Tujuan utama perawatan di UPIA adalah untuk mencegah mortalitas dengan

melakukan monitoring yang intensif dan mengobati anak yang sakit kritis yang sangat

berisiko tinggi untuk mortalitas. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi derajat

keparahan penyakit pada anak sakit kritis yaitu usia, faktor penjamu, agen penyebab

infeksi, status gizi, pemakaian alat bantu pernapasan dan adanya penyakit komorbid.

Kemampuan untuk memperkirakan risiko pasien terhadap kematian sangat penting,

karena beberapa perkiraan tersebut berguna untuk tujuan yang berbeda seperti menilai

prognosis pasien, pelaksanaan UPIA, penggunaan sumber daya dan juga dapat

mengevaluasi terapi serta mengatur dan menyesuaikan keparahan penyakit pada studi

klinis (Bhadoria dan Bhagwat, 2008).

Perkembangan teknologi untuk perawatan pasien di UPIA berkembang cepat,

menyebabkan biaya perawatan yang cukup tinggi di ruang intensif. Perkembangan

teknologi tersebut tidak selalu berhasil untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien

dan menambah harapan hidup pasien. Pengukuran derajat keparahan penyakit saat

pertama masuk UPIA sangat diperlukan untuk menilai prognosis pasien tersebut.

Prosedur ini dapat dilakukan menggunakan skor prognosis mortalitas yang secara

objektif menghitung keparahan penyakit dan memprediksi risiko mortalitas sesuai

kondisi klinis pasien (Bhadoria dan Bhagwat, 2008; Susianawati, 2014).

Berbagai sistem skoring prognosis mortalitas di UPIA, salah satunya adalah

Pediatric Risk of Mortality (PRISM) yang merupakan salah satu indikator utama yang

digunakan di UPIA. Saat ini sistem skoring terbaru yaitu PRISM III sudah tervalidasi
11

dan digunakan di seluruh Amerika Serikat dan di negara lain. Pediatric Risk of

Mortality (PRISM) III merupakan hasil perbaikan dari PRISM dan memiliki peran

penting sebagai indeks keparahan pasien di UPIA (Susianawati dkk., 2014). Pediatric

Risk of Mortality (PRISM) III terdiri dari 17 variabel fisiologis yang terbagi menjadi

26 rentangan (Tabel 2.1)

Tabel 2.1
PRISM III
Kelompok Umur Rentang umur
Neonatus 0-<1 bulan
Bayi 1-12 bulan
Anak >12-144 bulan (12 tahun)
Remaja >144 bulan (12 tahun)

Sub skor :
1. Tanda vital kardiovaskular dan neurologi : 5 pengukuran
2. Keseimbangan asam basa : 5 pengukuran
3. Penilaian kimia : 4 pengukuran
4. Penilaian hematologi : 3 pengukuran
12

Tanda vital kardiovaskular dan neuorologi Temuan Poin


Tekanan darah sistolik Bayi >65mmHg 0
Bayi 45-65 mmHg 3
Bayi <45mmHg 7
Anak >75mmHg 0
Anak 55-75 mmHg 3
Anak <55mmHg 7
Remaja >85mmHg 0
Remaja 65-85 mmHg 3
Remaja <65mmHg 7
Denyut jantung Bayi <215x/menit 0
Bayi 215-225x/mnt 3
Bayi >225x/menit 4
Anak <185x/menit 0
Anak 185-205x/menit 3
Anak >205x/menit 4
Remaja <145x/menit 0
Remaja 145-155x/menit 3
Remaja >155x/menit 4
Temperatur <33ºC 3
33-40ºC 0
>40ºC 3
Status kesadaran GCS ≥ 8 0
GCS < 8 5
Respons pupil Terdapat reaksi kedua pupil 0
Terdapat reaksi hanya 1 pupil dan 7
1 pupil tidak bereaksi namun
ukuran > 3mm
Tidak ada reaksi kedua pupil dan 11
ukuran >3mm
Catatan :
a) Denyut jantung tidak dapat diperiksa saat menangis atau gelisah karena
iatrogenik
b) Ukuran pupil tidak dapat diperiksa setelah dilatasi iatrogenik
c) Temperatur tubuh dapat rektal, oral, axilla, atau darah
d) Status kesadaran tidak dapat diperiksa dalam 2 jam pemberian sedasi, paralisis
atau anestesi.
13

Keseimbangan Asam Basa Temuan Poin


Asidosis pH >7,28 dan total CO2≥ 17 mEq/L 0
pH 7,0-7,28 atau total CO2 5-16,9 mEq/L 2
pH < 7,0 atau CO2 < 5 6

pH <7,48 0
7,48-7,55 2
>7,55 3
PCO2 <50mmHg 0
50-75mmHg 1
>75 mmHg 3
Total CO2 ≤ 34 mEq/L 0
>34 mEq/L 4
PaO2 ≥ 50 mmHg 0
42,0-49,9 mmHg 3
<42 mmHg 6
Catatan :
a) PaO2 memerlukan darah arteri
b) PCO2 dapat diukur dengan darah arteri, vena, atau kapiler

Penilaian Kimia Temuan Poin


Glukosa ≤200 mg/dL 0
>200 mg/dL 2
Potasium ≤ 6,9 mEq/L 0
>6,9 mEq/L 3
Kreatinin Bayi ≤ 0,9 mg/dL 0
Bayi > 0,9 mg/dL 2
Anak ≤ 0,9 mg/dL 0
Anak > 0,9 mg/dL 2
Remaja ≤ 1.3 mg/dL 0
Remaja > 1.3 mg/dL 2
BUN ≤14,9 mg/dL 0
>14,9 mg/dL 3
14

Penilaian Hematologi Temuan Poin


Hitung sel darah putih ≥3.000/µL 0
<3.000/µL 4
Hitung platelet >200.000/µL 0
100.000-200.00/µL 2
50.000-99.999/µL 4
<50.000/µL 5
PT dan PTT PT ≤ 22detik PTT ≤ 57 detik 0
PT>22 detik dan PTT > 57 detik 3
Sumber: Bhadoria dan Bhagwat, 2008

Catatan :
a) Total skor PRISM III = (subskor kardiovaskular dan neurologi)+(Subskor
keseimbangan asam basa)+(subskor kimia)+(subskor hematologi)
b) Interpretasi :
1. Subskor minimum dan total skor : 0
2. Subskor maksimum kardiovaskular dan neurologi : 30
3. Subskor maksimum keseimbangan asam basa : 10
4. Subskor maksimum kimia : 10
5. Subskor maksimum hematologi : 12
6. Total skor maksimum PRISM III : 74
7. Total skor yang lebih tinggi menggambarkan prognosis yang buruk
8. Peningkatan skor mengindikasikan adanya perburukan kondisi

2.2 Vitamin D

Vitamin D merupakan suatu prekursor hormon dan tersedia dalam dua bentuk yaitu

ergocalciferol (D2) yang didapatkan dari makanan, bentuk kedua ialah cholecalciferol

(D3) yang dapat berasal dari sumber makanan atau dapat disintesis di kulit dari 7-

dehydrocholesterol melalui radiasi sinar ultraviolet (Gambar 2.1) (Kulie dkk., 2009).
15

Vitamin D ditemukan pertama kali pada tahun 1922 di Inggris dan saat itu vitamin ini

dipercaya dapat menyembuhkan riketsia yang banyak diderita oleh warga Inggris (De

Luca, 2014).

Vitamin D terutama berperan untuk menjaga homeostasis kalsium dan phospat

dengan demikian dapat menjaga kecukupan minerelisasi tulang dan fungsi jantung dan

otot skeletal yang baik. Selama dekade terakhir ini didapatkan berbagai data dan

penelitian tentang hormon ini yang secara signifikan memiliki efek pleiotropik yang

luas (Misra dkk., 2008).

Penemuan bahwa hampir seluruh jaringan dan sel di dalam tubuh memiliki reseptor

vitamin D dan beberapa memiliki enzim 1-α hydroxylase memberikan pemikiran baru

tentang efek non-skeletal atau pleiotropik dari vitamin ini (Krishnan dkk., 2013). Kadar

vitamin D yang cukup selain menjaga hemostasis kalsium darah juga memiliki efek

anti inflamasi, memengaruhi sistem imun, dan kadar sitokin. (Guillot dkk., 2010; De

Luca, 2014)

Gambar 2.1 Struktur kimia vitamin D (De Luca, 2014)


16

2.2.1 Sumber vitamin D

Vitamin D merupakan hormon yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh melalui

paparan sinar matahari. Sumber vitamin D yang paling utama berasal dari sinar

matahari, karena cahaya ultraviolet B (UVB) yang berasal dari matahari memicu

produksi vitamin D di kulit. Kekuatan sinar UVB tergantung pada ketinggian daerah,

sinar ini kuat pada daerah dekat garis equator dan lebih lemah pada derah dataran tinggi

(Holick, 2007; Misra dkk., 2008).

Beberapa jenis makanan secara natural kaya akan kandungan vitamin D. Sumber

makanan yang mengandung vitamin D yang paling banyak adalah makanan yang

difortifikasi dan suplemen vitamin. Beberapa contoh makanan yang banyak

mengandung vitamin D adalah susu yang difortifikasi, ikan salmon, minyak hati ikan

kod, ikan tuna, jamur shiitake, kuning telur, dan margarin (Youseff dkk., 2015).

Beberapa sumber vitamin D dan jumlah kandungannya dapat dilihat pada Tabel 2.2

(Holick, 2007; Sim dkk., 2010).

2.2.2 Sintesis dan metabolisme vitamin D

Vitamin D3 (cholecalciferol) dapat berasal dari sumber makanan (produk makanan

yang terfortifikasi dan minyak ikan) atau dapat disintesis di kulit dari 7-

dehydrocholesterol melalui radiasi sinar ultraviolet. Dua tahap hidroksilasi diperlukan

untuk mengaktifkan vitamin D. Hidroksilasi pertama terjadi di hepar. Sinar ultra violet

akan mengubah 7-dehydrocholesterol menjadi previtamin D3. Vitamin D di dalam

darah akan diikat oleh protein yang dikenal sebagai Vitamin D Binding Protein

(VDBP) kemudian dibawa ke hepar (Holick,2007).


17

Tabel 2.2
Sumber vitamin D
Sumber vitamin D Kandungan vitamin D

Salmon
 Segar, dari alam 600-1000 IU vitamin D3
 Segar, biakan 100-250 IU vitamin D3 atau D2
 Kalengan 300-600 IU vitamin D3

Sarden, kalengan 300 IU vitamin D3


Makarel, kalengan 250 IU vitamin D3
Tuna, kalengan 230 IU vitamin D3
Minyak hati ikan kod 400-1000 IU vitamin D3
Jamur shiitake
 Segar (3,5 oz) 100 IU vitamin D2
 Dikeringkan (3,5 oz) 1600 IU vitamin D2
Kuning telur 20 IU vitamin D3 atau D2
Paparan sinar matahari 3000 IU vitamin D3
Susu 100 UI/8oz vitamin D3
Jus jeruk 100 UI/8oz vitamin D3
Yogurt 100 UI/8oz vitamin D3
Mentega 430 UI/3,5oz vitamin D3
Keju 100 UI/3oz vitamin D3
Suplementasi
 Vitamin D2 (kapsul) 50.000 IU/kapsul
 Vitamin D3 (sirup) 8000 UI/ml
 Multivitamin 400 UI vitamin D2 atau D3
 Vitamin D3 400,800,1000,dan 2000 UI
Sumber: Holick, 2007

Bentuk aktif vitamin D dihasilkan setelah previtamin D3 mengalami hidroksilasi oleh

enzim sitokrom P450 yaitu vitamin D 25 hydroxylase (CYP2R1, CYP2D11 dan

CYP2D25) menjadi 25-hydroxyvitamin D3 (25(OH)D3) atau calcidiol di dalam hepar.

Calcidiol adalah bentuk utama vitamin D yang beredar di sirkulasi, namun bentuk ini
18

secara biologis belum aktif. Bentuk vitamin D inaktif ini merupakan bentuk yang

terbanyak beredar di sirkulasi sebingga digunakan oleh para klinisi untuk dapat

menentukan status vitamin D pasien (Christakos dkk., 2010; Youssef dkk., 2015).

Tahap hidroksilasi kedua berlangsung di ginjal melalui enzim 1-α hydroxylase

yang mengubah 25-hydroxyvitamin D3 menjadi l,25-dihydroxyvitamin D3

(1,25(OH)2D3) atau calcitriol, bentuk aktif dari vitamin D (Holick, 2007; Christakos

dkk., 2010). Vitamin D yang aktif kemudian memasuki sirkulasi dengan berikatan

dengan protein pengikat vitamin D sehingga kompleks tersebut dapat masuk ke dalam

sel. Vitamin D berikatan dengan reseptor vitamin D (VDR) yang terdapat pada

berbagai tipe sel agar dapat menghasilkan efek pada targetnya, antara lain pada sistem

skeletal, ginjal, kulit, hepar, dan sel islet pankreas. Pada epitel saluran cerna, calcitriol

ini akan meningkatkan absorbsi kalsium dengan meningkatkan ekspresi calcium–

binding protein (Ca-BP), dan pada osteoblast calcitriol akan mematangkan osteoblast

menjadi osteoklast yang akan meningkatkan pelepasan kalsium ke dalam darah untuk

menjaga hemostasis kalsium. Hidroksilasi calcidiol menjadi calcitrio,l selain di ginjal

juga terjadi pada organ lain seperti pada payudara, prostat, usus besar, paru dan organ

lainnya, seperti terlihat pada Gambar 2.2 (Holick,2007).

Reseptor vitamin D pada banyak jenis sel menunjukkan bahwa vitamin D memiliki

fungsi yang luas. Beberapa sistem tubuh selain regulasi kalsium yang dipengaruhi

vitamin D antara lain sistem kardiovaskular, sistem imun, sistem endokrin, dan

metabolisme sel.
19

Gambar 2.2 Sintesis dan Metabolisme Vitamin D (Holick,2007)


20

2.2.3 Nilai normal dan abnormal konsentrasi vitamin D dalam darah

25(OH)D3 atau calcidiol merupakan bentuk vitamin D yang paling banyak di

sirkulasi dan kadarnya dalam darah merupakan indikator terbaik untuk menentukan

status vitamin D dalam tubuh. Waktu paruh 25(OH)D3 yaitu 2-3 minggu, lebih panjang

jika dibandingkan bentuk aktif vitamin D yaitu 1,25(OH)2D3 yang memiliki waktu

paruh hanya 4 jam (Misra dkk., 2008). Klasifikasi status vitamin D dalam dapat

dikelompokkan menjadi defisiensi, insufisiensi, cukup, dan intoksikasi berdasarkan

kadar 25(OH)D3 yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3
Nilai Referensi Kadar Vitamin D
Status vitamin D Vitamin D (ng/mL)
IOM Perkumpulan KDOQI dewasa-NEJM 2007
endokrinologi,
AAP 2008
Defisiensi berat <5 - <5 -
Defisiensi 5-15 ≤20 5-15 <20
Insufisiensi 16-20 21-30 16-30 20-30
Sufisiensi 21-100 > 30 >30 31-60
Kelebihan 101-149 - - -
Keracunan >150 - - >150
AAP, American Academy of Pediatrics; IOM, Institute of Medicine; KDOQI,
Kidney Disease Outcome Quality Initiative; NEJM, New England Journal of
Medicine
Sumber: Lee dkk., 2013

2.2.3.1 Defisiensi berat vitamin D

Definisi defisiensi berat vitamin D adalah saat kadar 25(OH)D3 ≤ 12.5 nmol/L (5

ng/mL). Salah satu penelitian oleh Robinson (2006) menyebutkan 86% anak yang
21

memiliki kadar 25(OH)D3 < 20 nmol/L mengalami riketsia dan 94% anak mengalami

hipokalsemia dengan kadar 25(OH)D3 < 20nmol/L.

2.2.3.2 Defisiensi vitamin D dan insufisiensi vitamin D

Sesuai rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP) defisiensi vitamin D

jika kadar 25(OH)D3 ≤ 20 ng/mL dan insufisiensi jika kadar 25 (OH)D3 21-30 ng/mL.

Anak-anak dan remaja berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D. Pada penelitian

di Boston diperkirakan 52% remaja Hispanic dan kulit hitam dan 48% praremaja kulit

putih pada penelitian di Maine memiliki kadar 25(OH)D3 < 20ng/mL.

Penelitian lainnya pada akhir musim dingin di Amerika Serikat didapatkan 42%

perempuan usia 15-49 tahun memiliki kadar 25(OH)D3 < 20ng/mL, dan 32% dari

pelajar yang sehat, paramedis dan residen di Rumah Sakit Boston didapatkan

mengalami defisiensi vitamin D, walaupun sudah minum susu 1 gelas per hari dan

mengkonsumsi multivitamin satu kali per hari dan setidaknya mengkonsumsi ikan

salmon 1 kali semingu (Holick, 2007).

2.2.3.3 Kelebihan dan intoksikasi vitamin D

Seseorang dikatakan mengalami kelebihan vitamin D jika kadar 25(OH)D3 > 100

ng/mL dan memiliki risiko mengalami intoksikasi vitamin D. Intoksikasi vitamin D

merupakan kasus yang jarang terjadi namun dapat disebabkan konsumsi berlebihan

vitamin D dosis tinggi. Dosis vitamin D lebih dari 50.000 IU per hari dapat

meningkatkan kadar 25(OH)D3 lebih dari 150 ng/mL dan berhubungan dengan

hiperkalsemia dan hiperpospatemia. Dosis vitamin D 10.000 IU per hari selama lebih

dari lima bulan tidak dapat menyebabkan intoksikasi (Misra dkk., 2008).
22

2.2.4 Efek defisiensi vitamin D

2.2.4.1 Metabolisme kalsium dan phosphor serta tulang

Pada keadaan sufisiensi vitamin D yaitu kadar 25(OH)D3 > 30 ng/mL, absorpsi

kalsium di usus dapat mencapai lebih dari 30%, walaupun absorpsi kalsium dapat

mencapai 60-80% selama periode pertumbuhan aktif. Pada keadaan defisiensi vitamin

D, absorpsi kalsium di usus hanya 10-15% dan terdapat penurunan reabsorspi total

phospat (Misra dkk., 2008).

Pada penelitian Bischoff-Ferrari dkk. (2006) didapatkan jika kadar serum

25(OH)D3 mencapai 40 ng/mL atau lebih berhubungan langsung dengan densitas

mineral tulang pada lelaki dan perempuan ras kulit hitam, putih dan Meksiko-Amerika.

Pada kadar 25(OH)D3 30 ng/mL atau kurang terdapat penurunan absorpsi kalsium

intestinal yang signifikan dan berhubungan dengan peningkatan hormon paratiroid.

Hormon paratiroid membantu reabsorpsi kalsium di tubular dan menstimulasi

ginjal untuk memproduksi 1,25-dihydroxyvitamin D. Hormon paratiroid juga akan

mengaktifkan osteoblast yang berfungsi menstimulasi pembentukan preosteoclast

menjadi osteoclast yang matur. Osteoclast melarutkan kolagen matriks yang

termineralisasi di tulang yang akan menyebabkan osteopenia dan osteoporosis dan

meningkatkan risiko fraktur (Holick, 2007; Misra dkk., 2008).

Defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan kejang hipokalsemia atau tetani

lebih sering dilaporkan pada bayi dan remaja dibandingkan anak-anak. Pada periode

peningkatan kecepatan pertumbuhan ini, terdapat peningkatan kebutuhan kalsium yang

tidak dapat terpenuhi dan pasien biasanya mengalami hipokalsemia. Selama periode
23

anak-anak, adanya kebutuhan metabolik yang lebih rendah akan menyebabkan tubuh

untuk mencegah gejala hipokalsemia dengan cara menarik penyimpanan kalsium

tulang. Anak-anak yang mengalami defisiensi vitamin D yang mengalami

hipokalsemia dapat memberikan gambaran klinis seperti spell apneu, stridor atau

wheezing, hipotonia, dan kelemahan otot. Defisiensi vitamin D yang berat juga

berhubungan dengan kardiomiopati yang berhubungan dengan hipokalsemia (Misra

dkk., 2008).

2.2.4.2 Ekstraskeletal efek Vitamin D

Reseptor vitamin D terdapat pada usus kecil, kolon, osteoblast, limfosit sel T dan

sel B, islet sel β, dan pada hampir seluruh organ tubuh seperti otak, jantung, kulit,

gonad, prostat, payudara, dan sel mononuklear. Berbagai penelitian epidemiologi

dalam dua dekade terakhir menyarankan tentang pentingnya efek vitamin D pada

sistem imun dalam pencegahan beberapa keganasan (Misra dkk., 2008).

1,25-dihydroxyvitamin D3 baik secara langsung ataupun tidak langsung mengontrol

lebih dari 200 gen, termasuk gen yang bertanggung jawab untuk mengatur proliferasi

seluler, diferensiasi, apoptosis dan angiogenesis. Vitamin D akan menurunkan

proliferasi sel baik sel normal dan sel kanker dan merangsang diferensiasi terminal sel

tersebut (Holick, 2007).

Efek vitamin D pada kulit

Reseptor vitamin D di kulit dimiliki oleh keratinosit. Saat sel keratinosit ini terpapar

dengan vitamin D, pertumbuhannya akan dihambat dan sel tersebut akan distimulasi

untuk berdiferensiasi. Terapi psoriasis digunakan topikal analog vitamin D.


24

Efek vitamin D pada sistem imun

1,25-dihydroxyvitamin D3 juga merupakan imunomodulator yang potensial. Peran

penting vitamin D pada sistem imun saat ditemukannya reseptor vitamin D (RVD) pada

hampir semua tipe sel imun, yaitu sel T CD4+ dan CD8+, sel B, neutrofil, makrofag,

dan sel dendritik (Kempker dkk., 2012).

Bukti awal fungsi vitamin D sebagai perangsang imunitas alamiah yang penting

adalah laporan mengenai terapi tuberkulosis dengan minyak hati ikan kod. Kemudian

banyak dilakukan penelitian mengenai efek calcitriol yang meningkatkan efek

antimikrobial makrofag dan merupakan sel efektor yang penting untuk melawan

patogen seperti Mycobacterium tuberculosis (Prietl dkk.,2013)

Pada imunitas adaptif, Vitamin D memengaruhi proliferasi dan diferensiasi sel B

dan T dan mengatur produksi immunoglobulin. Efek vitamin D pada sistem imunitas

innate tidak hanya mengatur respons inflamasi sistemik melainkan juga sebagai kontrol

lokal patogen (Kempker dkk., 2012). Penelitian in vitro oleh Gordon dkk. (2004)

mendapatkan vitamin D3 50.000-90.000 IU/ml dapat menghambat pertumbuhan dan

membunuh strain Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Klebsiella

pneumonia, dan Escherichia coli.

Mekanisme vitamin D terhadap sistem imunitas alami dan adaptif dapat

disimpulkan pada Gambar 2.3. Cholecalciferol (vitamin D3) atau ergocalciferol

(Vitamin D2) dimetabolisme di hati menjadi bentuk 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D3)

yang merupakan bentuk sirkulasi utama vitamin D (Holick, 2007; Prietl dkk., 2013).

Sel target seperti monosit atau makrofag dan sel dendritik akan mengekspresikan enzim
25

yang mengaktifkan vitamin D yaitu CYP27B1 dan reseptor vitamin D (RVD)

kemudian dapat menggunakan 25(OH)D3 untuk respons intrakrin melalui konversi

secara lokal menjadi calcitriol. Pada monosit dan makrofag inilah terjadi respons

antibakterial terhadap infeksi. Pada sel dendritik, sintesis intrakrin calcitriol akan

menghambat maturasi sel dendritik, yang kemudian akan memodulasi fungsi sel T-

helper (Th). Efek imunitas intrakrin dari calcitriol juga terjadi pada CYP27B1 / sel-sel

epitel yang mengekspresikan RVD (Prietl dkk., 2013).

Sel lain seperti neutrofil tidak mengekspresikan CYP27B1, oleh karena itu

kemungkinan akan terpengaruh oleh kadar calcitriol yang disintesis oleh ginjal.

Dengan cara yang sama sel epitel, tropoblast, dan sel desidual dapat memberi respons

pada proses intrakrin 25(OH)D3 juga dapat merespons terhadap calcitriol sistemik

untuk mendorong respons antibakterial (Prietl dkk., 2013).

Efek vitamin D pada keganasan

Konsentrasi vitamin D lebih dari 30 ng/mL akan tetap menjaga pertumbuhan sel

dalam batas normal dan mencegah sel untuk berkembang sendiri menjadi sel kanker

yang tidak teregulasi. Defisiensi vitamin D berkaitan dengan beberapa kanker seperti

kanker payudara, prostat dan kanker usus (Misra dkk., 2008).

Pada penelitian cohort oleh Health Professionals Follow-Up dari 1095 lelaki

didapatkan setiap peningkatan kadar 25(OH)D3 sebanyak 25 mmol/L berhubungan

dengan penurunan total kasus kanker sebanyak 17%. Penelitian uji klinis acak pada

wanita post menopause yang mengkonsumsi suplemen kalsium dan vitamin D


26

memiliki risiko kanker yang menurun setelah satu tahun terapi (ratio rate 0.232; 95%

CI 0.09-0.60) (Kulie dkk., 2009).

Gambar 2.3 Mekanisme respons imun innate dan adaptif terhadap vitamin D

(Prietl dkk., 2013)

2.2.5 Penyebab defisiensi vitamin D

Prevalens vitamin D di sebagian benua Indian diperkirakan 50-90% dan

disebabkan konsumsi kalsium yang rendah, warna kulit dan perubahan gaya hidup.

Defisiensi vitamin D sering terjadi pada masa kanak-kanak dan bayi karena berbagai

faktor yang dapat dilihat pada Tabel 2.4 antara lain kurangnya asupan yang

mengandung vitamin D, menurunnya sintesis sintesis vitamin D di kulit (karena


27

musim, takut akan terjadinya kanker, kebiasaan orang tua yang melarang anaknya

bermain di luar, dan meningkatnya pigmentasi), dan kadar vitamin D maternal yang

rendah (Balasubramanian dkk., 2013).

2.2.5.1 Penurunan sintesis vitamin D


Defisensi vitamin D yang berhubungan dengan pigmentasi kulit

Pigmentasi kulit menentukan durasi paparan sinar UV yang diperlukan untuk

mencapai kadar vitamin D yang cukup dalam darah. Pada orang kulit hitam lebih

banyak memerlukan waktu paparan terhadap sinar matahari dibandingkan dengan

orang dengan kulit lebih terang. Secara keseluruhan untuk memperoleh kadar vitamin

D yang sama dan cukup dalam darah, ras Asia India memerlukan waktu tiga kali dan

ras kulit hitam memerlukan waktu enam sampai sepuluh kali lebih banyak

dibandingkan dengan ras kulit putih (Misra dkk., 2008).

Kadar 25(OH)D3 yang rendah dilaporkan pada (1) penelitian Specker dkk. (1985)

di Cincinati pada bayi ras kulit hitam dibandingkan dengan bayi ras kulit putih, (2)

penelitian Stein dkk. (2006) di Amerika Serikat bagian Tenggara didapatkan pada

perempuan prapubertas saat musim dingin dan (3) penelitian Harkness dan Bonny

(2005) didapatkan pada perempuan postmenarche saat musim dingin. Pada penelitian

prospektif di Inggris pada anak usia 0-5 tahun didapatkan anak yang mengalami

defisiensi vitamin D lebih sering pada anak kulit hitam Afrika, diikuti oleh anak dari

Asia selatan.
28

Tabel 2.4
Penyebab Defisiensi Vitamin D
Penyebab Contoh
Menurunnya sintesis vitamin D Pigmentasi kulit, agen fisik yang
menghambat paparan sinar UV,
pakaian, ketinggian daerah, musim,
polusi udara

Kurangnya asupan nutrisi yang mengandung Diet vegetarian yang ketat


vitamin D

Umur dan hal yang berhubungan secara Pada orang tua, obesitas
fisiologi

Menurunnya penyimpanan vitamin D Pemberian ASI Eksklusif


maternal

Malabsorpsi Penyakit celiac, insufisiensi


pankreas (fibrosis kisitik), obstruksi
bilier (atresia bilier)

Penurunan sintesis Penyakit hati kronis

Meningkatnya degradasi 25(OH)D3 Obat seperti rifampisin, isoniazid,


anti kejang, glukokortikoid
Sumber: Balasubramanian dkk., 2013

Defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan agen fisik yang menghambat paparan

sinar UV

Jumlah kulit yang terpapar sinar matahari juga penting, paparan sinar matahari ke

seluruh tubuh dibandingkan hanya jika terpapar pada muka, tangan, dan lengan

berhubungan dengan perbedaan sintesis vitamin D. Bayi dengan pakaian lengkap tanpa

topi untuk mencapai kadar vitamin D yang sama memerlukan empat kali paparan sinar

matahari lebih banyak dibandingkan bayi yang hanya memakai diaper. Permukaan
29

tubuh harus terpapar sinar matahari setidaknya 20% untuk meningkatkan kadar

vitamin D dalam darah (Misra dkk., 2008).

Penggunaan tabir surya dapat menyerap sinar UV-B dan beberapa sinar UV-A dan

mencegah sinar tersebut untuk mencapai dan masuk ke kulit. Tabir surya dengan kadar

sun protection factor (SPF) 8 dapat menurunkan sintesis vitamin D3 sebanyak 95% dan

kadar SPF 15 dapat menurunkan sintesis sebanyak 98%. Sintesis vitamin D yang cukup

pada orang kulit putih, paparan sinar matahari pada tengah hari (antara pk. 10.00-15.00)

selama 10-15 menit pada musim semi, panas, dan gugur dapat mencukupi sintesis

vitamin D (Misra dkk., 2008).

Urbanisasi yang meningkat dan waktu yang dihabiskan untuk bekerja di ruangan

lebih banyak menyebabkan penurunan sintesis vitamin D walaupun pada orang kulit

putih. Anak yang mengalami cacat dan lebih banyak bermain di dalam ruangan juga

tidak mendapat paparan sinar matahari yang cukup (Misra dkk., 2008).

Defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan letak geografi

Defisiensi vitamin D lebih sering dilaporkan pada anak kulit putih yang tinggal di

Amerika Serikat bagian utara dibandingkan dengan bagian selatan. Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh menurunnya paparan sinar UV seiring dengan

peningkatan ketinggian daerah. Sama halnya pada saat musim dingin, sinar matahari

masuk ke atmosfer pada sudut obliq, foton UV-B perlu melewati jarak atmosfer yang

lebih jauh dan kebanyakan foton terserap oleh ozon (Diamond, 2005).

Daerah di atas ketinggian 37º LU saat musim dingin, jumlah foton UV-B yang

dapat menembus atmosfer menurun 80-100% dan konsekuensinya sedikit vitamin D3


30

yang dapat diproduksi di kulit (Holick, 2004). Anak semua umur berisiko mengalami

kadar vitamin D yang rendah selama musim dingin dibandingkan pada musim panas.

Pada saat musim panas kadar vitamin D biasanya cukup, namun terdapat pertanyaan

apakah paparan sinar matahari yang cukup pada musim panas dapat menjaga kadar

vitamin D selama musim dingin. Pada daerah ketinggian di bagian Utara walaupun

sudah mendapat paparan sinar matahari saat musim panas, suplementasi vitamin D

tetap disarankan untuk menjaga kadar vitamin D yang optimal selama musim dingin

(Wortsman dkk., 2000; Snijder dkk., 2005)

2.2.5.2 Penurunan konsumsi nutrisi yang mengandung vitamin D

Konsumsi makanan yang mengandung vitamin D seperti susu dan sereal yang

difortifikasi yang menurun dapat mengakibatkan defisiensi vitamin D, khususnya pada

orang kulit hitam yang tinggal di daerah dataran yang lebih tinggi dan saat musim

dingin (Misra dkk., 2008).

2.2.5.3 Penurunan penyimpanan vitamin D maternal

Pada penelitian oleh Looker dkk. (2008) di Amerika Serikat didapatkan 12%

wanita usia 20-29 tahun memiliki kadar serum 25(OH)D3 di ambang batas defisiensi.

Defisiensi vitamin D dilaporkan lebih sering pada wanita hamil kulit hitam (42%)

dibandingkan kulit putih (4%) khususnya pada saat musim dingin dan pada daerah

yang lebih tinggi (Nesby-O’Dell dkk., 2002). Kadar vitamin D yang rendah selama

kehamilan berhubungan dengan retardasi pertumbuhan intrauterine, kelahiran

prematur, hipertensi, dan meningkatkan risiko berat lahir rendah (Fuller, 2000).
31

Bayi yang lahir prematur memerlukan vitamin D yang lebih tinggi dibandingkan

dengan bayi cukup bulan karena memiliki durasi yang lebih pendek untuk transfer

vitamin D transplasenta dari ibu, sehingga sering mengalami defisiensi vitamin D

(Greer, 2001).

Bayi yang memperoleh ASI ekslusif rata-rata 750 mL/hari tanpa mendapatkan

paparan sinar matahari hanya menghasilkan vitamin D 11-38 IU/hari. Sumber utama

vitamin D pada bayi dan anak adalah vitamin D yang disintesis di kulit. Namun

rekomendasi terakhir American Academic of Pediatric (AAP) yang membatasi paparan

sinar matahari pada bayi < 6 bulan karena efek yang merugikan pada kulit, maka bayi

yang hanya mendapatkan ASI rentan mengalami defisiensi vitamin D.

2.2.5.4 Malabsorpsi

Absorpsi vitamin D tergantung pada kilomikron, sehingga anak yang mengalami

penyakit yang berhubungan dengan gangguan penyerapan lemak akan berisiko

mengalami defisiensi vitamin D. Penyakit riketsia yang disebabkan oleh malabsorpsi

dapat ditemukan pada anak dengan penyakit celiac, alergi makanan, setelah menjalani

reseksi usus kecil, dan anak dengan insufisiensi pankreas seperti fibrosis kistik,

penyakit Crohn, dan hepatopati kolestasis (Misra dkk., 2008).

2.2.5.5 Penurunan sintesis atau peningkatan degradasi 25(OH)D3

Defisiensi vitamin D akibat penurunan sintesis ataupun peningkatan degradasi

25(OH)D3 dapat terjadi pada anak dengan penyakit hati kronis dan anak yang mendapat

terapi pengobatan yang lama seperti rifampicin, isoniazid, dan anti kejang selama lebih

dari 6 bulan (Misra dkk., 2008).


32

2.3 Defisiensi Vitamin D Pada Anak Sakit Kritis

Vitamin D dan reseptornya saat ini merupakan hal yang menjadi subjek yang

banyak diteltiti lebih lanjut. Dampak defisiensi vitamin D pada penyakit kritis masih

belum jelas. Prevalens defisiensi vitamin D yang cukup tinggi pada orang dewasa

dengan sakit kritis (antara 17-80%) dan pada anak dengan sakit kritis (antara 35-70%)

(Abou-Zahr dan Kandil, 2014). Defisiensi vitamin D pada populasi pasien dengan sakit

kritis berhubungan dengan meningkatnya risiko mortalitas, waktu rawat di ruang

intensif yang lebih lama, dan peningkatan risiko infeksi (Braun dkk., 2011;Higgins

dkk., 2012).

Lee dkk. (2009) pertama kali melaporkan prevalens defisiensi vitamin D yang

tinggi pada orang dewasa sakit kritis dan memaparkan luaran yang buruk pada pasien

tersebut. Sejak itu beberapa penelitian lainnya yang juga melaporkan defisiensi vitamin

D dan luaran yang buruk pada pasien sakit kritis pada dewasa. Penelitian vitamin D

pada anak sakit kritis belum banyak dilakukan. Beberapa review penelitian vitamin D

pada anak dapat dilihat pada Tabel 2.5

Tabel 2.5
Review Penelitian Vitamin D pada Anak
Peneliti Rancangan Subjek Tujuan Luaran Hasil Level
penelitian penelitian of
eviden
ce
Madde studi N = 511 mengetahui kadar  kadar vitamin D IV
n dkk. deskriptif seluruh prevalens vitamin didapatkan rendah
(2012) (observasio anak defisiensi D anak pada pasien dirawat
nal study) dirawat vitamin D yang di PICU
di PICU pada anak
33

238 anak yang dirawat dirawat  pada pasien dengan


dengan di PICU di PICU syok septik
infeksi didapatkan
148 anak hubungan yang
dengan kuat dengan kadar
sepsis vitamin D yang
dan syok rendah dengan
sepsis kejadian syok
septik
McNall N=319 Mengetahui Prevalen  Prevalens defisiensi III
ydkk. anak prevalens s vitamin vitamin D 69% dan
(2012) yang defisiensi D, faktor insufiesiensi
dirawat vitamin D, risiko vitamin D sebesar
di 6 faktor risiko 23%.
PICU di serta luaran  Kadar vitamin D
Kanada klinis yang yang rendah
yg berhubungan berhubungan
memenu dengan dengan
hi defisiensi hipokalsemia,
kriteria vitamin D penggunaan
inklusi pada anak katekolamin.
untuk sakit kritis.  Kadar vitamin D
penelitia yang rendah secara
n AIP independen
signifikan
berhubungan
dengan waktu rawat
di PICU yang lebih
lama.
 Meningkatnya
derajat keparahan
penyakit yang
dinilai dengan skor
PRISM dengan
setiap peningkatan
poin cenderung
mengalami
defisiensi vitamin
D 8% (p=0.005)
Ismail uji kasus kasus 40 menilai dan hubunga  kadar vitamin D III
dkk. control anak dan menghubung n kadar dan cathelicidin
(2015) bayi kan kadar vitamin didapatkan secara
34

dengan vitamin D D dan signifikan lebih


sepsis dan cathelici rendah pada anak
kontrol cathelicidin din dan bayi dengan
20 anak pada bayi dan dengan sepsis
dan bayi anak-anak sepsis  didapatkan
sehat dengan sepsis hubungan yang kuat
dibandingkan antara kadar
dengan anak vitamin D dan
sehat cthecilidin

Cetinka uji kasus kelompo mengetahui hubunga  kadar vitamin D III


ya dkk. control k kasus hubungan n kadar didapatkan rendah
(2015) 50 bayi kadar vitamin vitamin pada bayi dengan
dengan D ibu dan D SNAD
SNAD bayi dengan dengan  adanya hubungan
kelompo SNAD dan SNAD antara defisiensi
k kontrol keparahan dibandin vitamin D dengan
50 bayi defisiensi gkan SNAD
sehat dengan dengan  adanya hubungan
SNAD bayi kadar vitamin D ibu
sehat dengan kadar
vitamin D bayi
Hebbar uji kasus kasus 61 mengetahui tingkat  pasien yang dirawat III
dkk. control orang prevalens keparaha di PICU menderita
(2014) kontrol defisiensi n defisiensi vitamin
46 orang vitamin D penderita D
pada anak yang  tidak didapatkan
yang dirawat dirawat hubungan antara
di PICU dan di PICU tingkat keparahan
menganalisa dengan kadar
hubungannya vitamin D
dengan  tidak didapatkan
infeksi pada hubungan antara
anak dengan kadar vitamin D
sakit berat dengan sepsis

Review di atas dapat disimpulkan pada seluruh penelitian didapatkan kadar vitamin

D yang rendah pada anak yang dirawat di UPIA dan di ruang perawatan intensif
35

neonatus, terdapat hubungan yang signifikan antara rendahnya kadar vitamin D dengan

kejadian sepsis pada anak dan bayi yang dirawat di ruang intensif. Kadar vitamin D

yang rendah juga terdapat hubungan yang signifikan dengan lama rawat dan derajat

keparahan pasien anak yang dirawat di UPIA. Penelitian oleh Hebbar dkk. (2014)

didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D dengan

tingkat keparahan penyakit pada anak yang dirawat di UPIA.

Pada pasien sakit kritis, efek pleiotropik vitamin D dan perannya pada fungsi imun

menjadi hal yang ditekankan. Kadar vitamin D yang rendah pada pasien yang dirawat

di ruang intensif dapat disebabkan oleh kurangnya paparan terhadap sinar matahari dan

suplementasi diet yang kurang (Lee dkk., 2009). Beberapa patofisiologi yang

mendasari terjadinya disfungsi organ pada defisiensi vitamin D dapat terlihat pada

Gambar 2.4 dan Gambar 2.5. Konsekuensi potensial yang dapat terjadi pada

defisiensi vitamin D pada pasien sakit kritis berhubungan dengan terganggunya

respons imun dan kecenderungan terjadinya infeksi, gangguan fungsi kardiovaskular,

dan miopati.

Cathelicidin (LL-37) merupakan peptida antimikrobial yang sintesisnya

tergantung terhadap kadar 1,25(OH)D3. Peptida ini sangat penting perannya untuk

imunitas innate dan diekspresikan pada permukaan epitel saluran napas, kandung

kemih, dan saluran pencernaan. Penelitian Jeng (2009), melaporkan korelasi positif

antara kadar 25(OH)D3 dengan kadar LL-37 di sirkulasi. Penelitian di Mesir oleh

Ismail dkk (2015). mendapatkan bahwa secara signifikan kadar vitamin D dan kadar

cathelicidine rendah pada neonatus dengan sepsis, namun pada anak yang lebih besar
36

kadar vitamin D secara signifikan rendah pada anak dengan sepsis namun tidak kadar

cathelicidine. Penelitian ini juga mendapatkan korelasi yang kuat didapatkan antara

kadar vitamin D dengan cathelicidine pada neonatus dengan sepsis. Penelitian oleh

Braun dkk. (2012) juga memperlihatkan pasien dengan kadar defisiensi 25(OH)D3

lebih banyak mengalami kultur darah yang positif.

Reseptor vitamin D juga banyak diekspresikan di sistem kardivaskular seperti pada

otot polos jantung, endotel, dan pada kardiomiosit. Vitamin D berperan untuk

menurunkan aktivitas renin plasma dan berkorelasi terbalik dengan insiden kalsifikasi

arteri koroner (Watson, 1997). Kadar 25(OH)D3 yang rendah juga berhubungan dengan

prognosis yang buruk pada pasien gagal jantung.

Hubungan defisiensi 25(OH)D3 dengan kelemahan otot sudah sangat jelas dengan

gejala yang merespons baik dengan pemberian suplementasi vitamin D. Kadar

25(OH)D3 yang rendah juga menyebabkan menurunnya kekuatan otot untuk

meningkatkan sekresi hormon paratiroid. Hal ini memiliki implikasi pada pasien

perawatan intensif, khususnya pada pasien yang kronis yang pernah mengalami

kesulitan mobilisasi dan penyapihan ventilasi mekanik (Visser dkk., 2006).


37

Gambar 2.4 Patofisiologi disfungsi organ karena insufisiensi vitamin D (Lee, 2009)
38

Gambar 2.5 Peran vitamin D pada penyakit akut (Youssef dkk., 2015)

Anda mungkin juga menyukai