Bab Ii Kajian Pustaka
Bab Ii Kajian Pustaka
KAJIAN PUSTAKA
2.1. 1 Definisi
Definisi sakit kritis adalah berbagai proses penyakit yang menyebabkan instabilitas
fisiologis sampai dapat menyebabkan disabilitas atau kematian dalam hitungan menit
sampai jam. Gangguan sistem kardiovaskular dan neurologi merupakan efek segera
yang paling banyak mengancam nyawa. Beberapa instabilitas dapat diketahui secara
jelas dengan adanya kelainan dari nilai normal pada observasi klinis seperti tingkat
kesadaran, laju napas, laju denyut jantung, tekanan darah, dan produksi urin (Frost dan
Wise, 2007).
Beberapa hal perlu diperhatikan pada anak sakit kritis berbeda dengan orang
dewasa yang mengalami sakit kritis karena anak-anak memiliki keadaan fisik, fisiologi
dan emosional yang berbeda dari orang dewasa. Beberapa tanda dan gejala klinis
penyakit dan kegagalan sistem organ hampir sama pada semua usia, namun ada
penyakit atau komplikasi penyakit yang lebih sering terjadi pada anak dibandingkan
Unit Perawatan Intensif Anak (UPIA) adalah fasilitas atau unit yang terpisah, yang
dirancang untuk penanganan penderita anak yang mengalami gangguan medis, bedah,
8
9
trauma, atau kondisi yang mengancam nyawa lainnya, yang memerlukan perawatan
Pasien sakit kritis harus dirawat di ruang UPIA sesuai dengan kebutuhannya. Suatu
UPIA mampu menggabungkan teknologi tinggi dan keahlian khusus yang dibutuhkan
untuk merawat pasien sakit kritis, sehingga diperlukan untuk membuat prioritas pada
sarana yang terbatas ini, apabila kebutuhan melebihi jumlah tempat tidur yang tersedia.
1. Prioritas 1 (satu): kelompok ini meliputi anak kritis yang dengan terapi intensif
dapat sembuh sempurna dan dapat tumbuh dan berkembang sesuai potensi
genetiknya.
2. Prioritas 2 (dua): kelompok ini meliputi anak sakit kritis dengan penyakit dasar
yang secara medis saat ini belum dapat ditanggulangi namun dengan terapi
3. Prioritas 3 (tiga): kelompok ini meliputi anak sakit kritis dengan penyakit dasar
4. Prioritas 4 (empat): kelompok ini meliputi anak sakit kritis dengan prognosis
sangat buruk sehingga dengan terapi intensif pun proses kematian tidak dapat
dicegah.
10
melakukan monitoring yang intensif dan mengobati anak yang sakit kritis yang sangat
berisiko tinggi untuk mortalitas. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi derajat
keparahan penyakit pada anak sakit kritis yaitu usia, faktor penjamu, agen penyebab
infeksi, status gizi, pemakaian alat bantu pernapasan dan adanya penyakit komorbid.
karena beberapa perkiraan tersebut berguna untuk tujuan yang berbeda seperti menilai
prognosis pasien, pelaksanaan UPIA, penggunaan sumber daya dan juga dapat
mengevaluasi terapi serta mengatur dan menyesuaikan keparahan penyakit pada studi
teknologi tersebut tidak selalu berhasil untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien
dan menambah harapan hidup pasien. Pengukuran derajat keparahan penyakit saat
pertama masuk UPIA sangat diperlukan untuk menilai prognosis pasien tersebut.
Prosedur ini dapat dilakukan menggunakan skor prognosis mortalitas yang secara
Pediatric Risk of Mortality (PRISM) yang merupakan salah satu indikator utama yang
digunakan di UPIA. Saat ini sistem skoring terbaru yaitu PRISM III sudah tervalidasi
11
dan digunakan di seluruh Amerika Serikat dan di negara lain. Pediatric Risk of
Mortality (PRISM) III merupakan hasil perbaikan dari PRISM dan memiliki peran
penting sebagai indeks keparahan pasien di UPIA (Susianawati dkk., 2014). Pediatric
Risk of Mortality (PRISM) III terdiri dari 17 variabel fisiologis yang terbagi menjadi
Tabel 2.1
PRISM III
Kelompok Umur Rentang umur
Neonatus 0-<1 bulan
Bayi 1-12 bulan
Anak >12-144 bulan (12 tahun)
Remaja >144 bulan (12 tahun)
Sub skor :
1. Tanda vital kardiovaskular dan neurologi : 5 pengukuran
2. Keseimbangan asam basa : 5 pengukuran
3. Penilaian kimia : 4 pengukuran
4. Penilaian hematologi : 3 pengukuran
12
pH <7,48 0
7,48-7,55 2
>7,55 3
PCO2 <50mmHg 0
50-75mmHg 1
>75 mmHg 3
Total CO2 ≤ 34 mEq/L 0
>34 mEq/L 4
PaO2 ≥ 50 mmHg 0
42,0-49,9 mmHg 3
<42 mmHg 6
Catatan :
a) PaO2 memerlukan darah arteri
b) PCO2 dapat diukur dengan darah arteri, vena, atau kapiler
Catatan :
a) Total skor PRISM III = (subskor kardiovaskular dan neurologi)+(Subskor
keseimbangan asam basa)+(subskor kimia)+(subskor hematologi)
b) Interpretasi :
1. Subskor minimum dan total skor : 0
2. Subskor maksimum kardiovaskular dan neurologi : 30
3. Subskor maksimum keseimbangan asam basa : 10
4. Subskor maksimum kimia : 10
5. Subskor maksimum hematologi : 12
6. Total skor maksimum PRISM III : 74
7. Total skor yang lebih tinggi menggambarkan prognosis yang buruk
8. Peningkatan skor mengindikasikan adanya perburukan kondisi
2.2 Vitamin D
Vitamin D merupakan suatu prekursor hormon dan tersedia dalam dua bentuk yaitu
ergocalciferol (D2) yang didapatkan dari makanan, bentuk kedua ialah cholecalciferol
(D3) yang dapat berasal dari sumber makanan atau dapat disintesis di kulit dari 7-
dehydrocholesterol melalui radiasi sinar ultraviolet (Gambar 2.1) (Kulie dkk., 2009).
15
Vitamin D ditemukan pertama kali pada tahun 1922 di Inggris dan saat itu vitamin ini
dipercaya dapat menyembuhkan riketsia yang banyak diderita oleh warga Inggris (De
Luca, 2014).
dengan demikian dapat menjaga kecukupan minerelisasi tulang dan fungsi jantung dan
otot skeletal yang baik. Selama dekade terakhir ini didapatkan berbagai data dan
penelitian tentang hormon ini yang secara signifikan memiliki efek pleiotropik yang
Penemuan bahwa hampir seluruh jaringan dan sel di dalam tubuh memiliki reseptor
vitamin D dan beberapa memiliki enzim 1-α hydroxylase memberikan pemikiran baru
tentang efek non-skeletal atau pleiotropik dari vitamin ini (Krishnan dkk., 2013). Kadar
vitamin D yang cukup selain menjaga hemostasis kalsium darah juga memiliki efek
anti inflamasi, memengaruhi sistem imun, dan kadar sitokin. (Guillot dkk., 2010; De
Luca, 2014)
Vitamin D merupakan hormon yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh melalui
paparan sinar matahari. Sumber vitamin D yang paling utama berasal dari sinar
matahari, karena cahaya ultraviolet B (UVB) yang berasal dari matahari memicu
produksi vitamin D di kulit. Kekuatan sinar UVB tergantung pada ketinggian daerah,
sinar ini kuat pada daerah dekat garis equator dan lebih lemah pada derah dataran tinggi
Beberapa jenis makanan secara natural kaya akan kandungan vitamin D. Sumber
makanan yang mengandung vitamin D yang paling banyak adalah makanan yang
mengandung vitamin D adalah susu yang difortifikasi, ikan salmon, minyak hati ikan
kod, ikan tuna, jamur shiitake, kuning telur, dan margarin (Youseff dkk., 2015).
Beberapa sumber vitamin D dan jumlah kandungannya dapat dilihat pada Tabel 2.2
yang terfortifikasi dan minyak ikan) atau dapat disintesis di kulit dari 7-
untuk mengaktifkan vitamin D. Hidroksilasi pertama terjadi di hepar. Sinar ultra violet
darah akan diikat oleh protein yang dikenal sebagai Vitamin D Binding Protein
Tabel 2.2
Sumber vitamin D
Sumber vitamin D Kandungan vitamin D
Salmon
Segar, dari alam 600-1000 IU vitamin D3
Segar, biakan 100-250 IU vitamin D3 atau D2
Kalengan 300-600 IU vitamin D3
Calcidiol adalah bentuk utama vitamin D yang beredar di sirkulasi, namun bentuk ini
18
secara biologis belum aktif. Bentuk vitamin D inaktif ini merupakan bentuk yang
terbanyak beredar di sirkulasi sebingga digunakan oleh para klinisi untuk dapat
menentukan status vitamin D pasien (Christakos dkk., 2010; Youssef dkk., 2015).
(1,25(OH)2D3) atau calcitriol, bentuk aktif dari vitamin D (Holick, 2007; Christakos
dkk., 2010). Vitamin D yang aktif kemudian memasuki sirkulasi dengan berikatan
dengan protein pengikat vitamin D sehingga kompleks tersebut dapat masuk ke dalam
sel. Vitamin D berikatan dengan reseptor vitamin D (VDR) yang terdapat pada
berbagai tipe sel agar dapat menghasilkan efek pada targetnya, antara lain pada sistem
skeletal, ginjal, kulit, hepar, dan sel islet pankreas. Pada epitel saluran cerna, calcitriol
binding protein (Ca-BP), dan pada osteoblast calcitriol akan mematangkan osteoblast
menjadi osteoklast yang akan meningkatkan pelepasan kalsium ke dalam darah untuk
juga terjadi pada organ lain seperti pada payudara, prostat, usus besar, paru dan organ
Reseptor vitamin D pada banyak jenis sel menunjukkan bahwa vitamin D memiliki
fungsi yang luas. Beberapa sistem tubuh selain regulasi kalsium yang dipengaruhi
vitamin D antara lain sistem kardiovaskular, sistem imun, sistem endokrin, dan
metabolisme sel.
19
sirkulasi dan kadarnya dalam darah merupakan indikator terbaik untuk menentukan
status vitamin D dalam tubuh. Waktu paruh 25(OH)D3 yaitu 2-3 minggu, lebih panjang
jika dibandingkan bentuk aktif vitamin D yaitu 1,25(OH)2D3 yang memiliki waktu
paruh hanya 4 jam (Misra dkk., 2008). Klasifikasi status vitamin D dalam dapat
Tabel 2.3
Nilai Referensi Kadar Vitamin D
Status vitamin D Vitamin D (ng/mL)
IOM Perkumpulan KDOQI dewasa-NEJM 2007
endokrinologi,
AAP 2008
Defisiensi berat <5 - <5 -
Defisiensi 5-15 ≤20 5-15 <20
Insufisiensi 16-20 21-30 16-30 20-30
Sufisiensi 21-100 > 30 >30 31-60
Kelebihan 101-149 - - -
Keracunan >150 - - >150
AAP, American Academy of Pediatrics; IOM, Institute of Medicine; KDOQI,
Kidney Disease Outcome Quality Initiative; NEJM, New England Journal of
Medicine
Sumber: Lee dkk., 2013
Definisi defisiensi berat vitamin D adalah saat kadar 25(OH)D3 ≤ 12.5 nmol/L (5
ng/mL). Salah satu penelitian oleh Robinson (2006) menyebutkan 86% anak yang
21
memiliki kadar 25(OH)D3 < 20 nmol/L mengalami riketsia dan 94% anak mengalami
jika kadar 25(OH)D3 ≤ 20 ng/mL dan insufisiensi jika kadar 25 (OH)D3 21-30 ng/mL.
Anak-anak dan remaja berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D. Pada penelitian
di Boston diperkirakan 52% remaja Hispanic dan kulit hitam dan 48% praremaja kulit
Penelitian lainnya pada akhir musim dingin di Amerika Serikat didapatkan 42%
perempuan usia 15-49 tahun memiliki kadar 25(OH)D3 < 20ng/mL, dan 32% dari
pelajar yang sehat, paramedis dan residen di Rumah Sakit Boston didapatkan
mengalami defisiensi vitamin D, walaupun sudah minum susu 1 gelas per hari dan
mengkonsumsi multivitamin satu kali per hari dan setidaknya mengkonsumsi ikan
Seseorang dikatakan mengalami kelebihan vitamin D jika kadar 25(OH)D3 > 100
merupakan kasus yang jarang terjadi namun dapat disebabkan konsumsi berlebihan
vitamin D dosis tinggi. Dosis vitamin D lebih dari 50.000 IU per hari dapat
meningkatkan kadar 25(OH)D3 lebih dari 150 ng/mL dan berhubungan dengan
hiperkalsemia dan hiperpospatemia. Dosis vitamin D 10.000 IU per hari selama lebih
dari lima bulan tidak dapat menyebabkan intoksikasi (Misra dkk., 2008).
22
Pada keadaan sufisiensi vitamin D yaitu kadar 25(OH)D3 > 30 ng/mL, absorpsi
kalsium di usus dapat mencapai lebih dari 30%, walaupun absorpsi kalsium dapat
mencapai 60-80% selama periode pertumbuhan aktif. Pada keadaan defisiensi vitamin
D, absorpsi kalsium di usus hanya 10-15% dan terdapat penurunan reabsorspi total
mineral tulang pada lelaki dan perempuan ras kulit hitam, putih dan Meksiko-Amerika.
Pada kadar 25(OH)D3 30 ng/mL atau kurang terdapat penurunan absorpsi kalsium
lebih sering dilaporkan pada bayi dan remaja dibandingkan anak-anak. Pada periode
tidak dapat terpenuhi dan pasien biasanya mengalami hipokalsemia. Selama periode
23
anak-anak, adanya kebutuhan metabolik yang lebih rendah akan menyebabkan tubuh
hipokalsemia dapat memberikan gambaran klinis seperti spell apneu, stridor atau
wheezing, hipotonia, dan kelemahan otot. Defisiensi vitamin D yang berat juga
dkk., 2008).
Reseptor vitamin D terdapat pada usus kecil, kolon, osteoblast, limfosit sel T dan
sel B, islet sel β, dan pada hampir seluruh organ tubuh seperti otak, jantung, kulit,
dalam dua dekade terakhir menyarankan tentang pentingnya efek vitamin D pada
lebih dari 200 gen, termasuk gen yang bertanggung jawab untuk mengatur proliferasi
proliferasi sel baik sel normal dan sel kanker dan merangsang diferensiasi terminal sel
Reseptor vitamin D di kulit dimiliki oleh keratinosit. Saat sel keratinosit ini terpapar
dengan vitamin D, pertumbuhannya akan dihambat dan sel tersebut akan distimulasi
penting vitamin D pada sistem imun saat ditemukannya reseptor vitamin D (RVD) pada
hampir semua tipe sel imun, yaitu sel T CD4+ dan CD8+, sel B, neutrofil, makrofag,
Bukti awal fungsi vitamin D sebagai perangsang imunitas alamiah yang penting
adalah laporan mengenai terapi tuberkulosis dengan minyak hati ikan kod. Kemudian
antimikrobial makrofag dan merupakan sel efektor yang penting untuk melawan
dan T dan mengatur produksi immunoglobulin. Efek vitamin D pada sistem imunitas
innate tidak hanya mengatur respons inflamasi sistemik melainkan juga sebagai kontrol
lokal patogen (Kempker dkk., 2012). Penelitian in vitro oleh Gordon dkk. (2004)
yang merupakan bentuk sirkulasi utama vitamin D (Holick, 2007; Prietl dkk., 2013).
Sel target seperti monosit atau makrofag dan sel dendritik akan mengekspresikan enzim
25
secara lokal menjadi calcitriol. Pada monosit dan makrofag inilah terjadi respons
antibakterial terhadap infeksi. Pada sel dendritik, sintesis intrakrin calcitriol akan
menghambat maturasi sel dendritik, yang kemudian akan memodulasi fungsi sel T-
helper (Th). Efek imunitas intrakrin dari calcitriol juga terjadi pada CYP27B1 / sel-sel
Sel lain seperti neutrofil tidak mengekspresikan CYP27B1, oleh karena itu
kemungkinan akan terpengaruh oleh kadar calcitriol yang disintesis oleh ginjal.
Dengan cara yang sama sel epitel, tropoblast, dan sel desidual dapat memberi respons
pada proses intrakrin 25(OH)D3 juga dapat merespons terhadap calcitriol sistemik
Konsentrasi vitamin D lebih dari 30 ng/mL akan tetap menjaga pertumbuhan sel
dalam batas normal dan mencegah sel untuk berkembang sendiri menjadi sel kanker
yang tidak teregulasi. Defisiensi vitamin D berkaitan dengan beberapa kanker seperti
Pada penelitian cohort oleh Health Professionals Follow-Up dari 1095 lelaki
dengan penurunan total kasus kanker sebanyak 17%. Penelitian uji klinis acak pada
memiliki risiko kanker yang menurun setelah satu tahun terapi (ratio rate 0.232; 95%
Gambar 2.3 Mekanisme respons imun innate dan adaptif terhadap vitamin D
disebabkan konsumsi kalsium yang rendah, warna kulit dan perubahan gaya hidup.
Defisiensi vitamin D sering terjadi pada masa kanak-kanak dan bayi karena berbagai
faktor yang dapat dilihat pada Tabel 2.4 antara lain kurangnya asupan yang
musim, takut akan terjadinya kanker, kebiasaan orang tua yang melarang anaknya
bermain di luar, dan meningkatnya pigmentasi), dan kadar vitamin D maternal yang
mencapai kadar vitamin D yang cukup dalam darah. Pada orang kulit hitam lebih
orang dengan kulit lebih terang. Secara keseluruhan untuk memperoleh kadar vitamin
D yang sama dan cukup dalam darah, ras Asia India memerlukan waktu tiga kali dan
ras kulit hitam memerlukan waktu enam sampai sepuluh kali lebih banyak
Kadar 25(OH)D3 yang rendah dilaporkan pada (1) penelitian Specker dkk. (1985)
di Cincinati pada bayi ras kulit hitam dibandingkan dengan bayi ras kulit putih, (2)
penelitian Stein dkk. (2006) di Amerika Serikat bagian Tenggara didapatkan pada
perempuan prapubertas saat musim dingin dan (3) penelitian Harkness dan Bonny
(2005) didapatkan pada perempuan postmenarche saat musim dingin. Pada penelitian
prospektif di Inggris pada anak usia 0-5 tahun didapatkan anak yang mengalami
defisiensi vitamin D lebih sering pada anak kulit hitam Afrika, diikuti oleh anak dari
Asia selatan.
28
Tabel 2.4
Penyebab Defisiensi Vitamin D
Penyebab Contoh
Menurunnya sintesis vitamin D Pigmentasi kulit, agen fisik yang
menghambat paparan sinar UV,
pakaian, ketinggian daerah, musim,
polusi udara
Umur dan hal yang berhubungan secara Pada orang tua, obesitas
fisiologi
Defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan agen fisik yang menghambat paparan
sinar UV
Jumlah kulit yang terpapar sinar matahari juga penting, paparan sinar matahari ke
seluruh tubuh dibandingkan hanya jika terpapar pada muka, tangan, dan lengan
berhubungan dengan perbedaan sintesis vitamin D. Bayi dengan pakaian lengkap tanpa
topi untuk mencapai kadar vitamin D yang sama memerlukan empat kali paparan sinar
matahari lebih banyak dibandingkan bayi yang hanya memakai diaper. Permukaan
29
tubuh harus terpapar sinar matahari setidaknya 20% untuk meningkatkan kadar
Penggunaan tabir surya dapat menyerap sinar UV-B dan beberapa sinar UV-A dan
mencegah sinar tersebut untuk mencapai dan masuk ke kulit. Tabir surya dengan kadar
sun protection factor (SPF) 8 dapat menurunkan sintesis vitamin D3 sebanyak 95% dan
kadar SPF 15 dapat menurunkan sintesis sebanyak 98%. Sintesis vitamin D yang cukup
pada orang kulit putih, paparan sinar matahari pada tengah hari (antara pk. 10.00-15.00)
selama 10-15 menit pada musim semi, panas, dan gugur dapat mencukupi sintesis
Urbanisasi yang meningkat dan waktu yang dihabiskan untuk bekerja di ruangan
lebih banyak menyebabkan penurunan sintesis vitamin D walaupun pada orang kulit
putih. Anak yang mengalami cacat dan lebih banyak bermain di dalam ruangan juga
tidak mendapat paparan sinar matahari yang cukup (Misra dkk., 2008).
Defisiensi vitamin D lebih sering dilaporkan pada anak kulit putih yang tinggal di
Amerika Serikat bagian utara dibandingkan dengan bagian selatan. Hal ini
peningkatan ketinggian daerah. Sama halnya pada saat musim dingin, sinar matahari
masuk ke atmosfer pada sudut obliq, foton UV-B perlu melewati jarak atmosfer yang
lebih jauh dan kebanyakan foton terserap oleh ozon (Diamond, 2005).
Daerah di atas ketinggian 37º LU saat musim dingin, jumlah foton UV-B yang
yang dapat diproduksi di kulit (Holick, 2004). Anak semua umur berisiko mengalami
kadar vitamin D yang rendah selama musim dingin dibandingkan pada musim panas.
Pada saat musim panas kadar vitamin D biasanya cukup, namun terdapat pertanyaan
apakah paparan sinar matahari yang cukup pada musim panas dapat menjaga kadar
vitamin D selama musim dingin. Pada daerah ketinggian di bagian Utara walaupun
sudah mendapat paparan sinar matahari saat musim panas, suplementasi vitamin D
tetap disarankan untuk menjaga kadar vitamin D yang optimal selama musim dingin
Konsumsi makanan yang mengandung vitamin D seperti susu dan sereal yang
orang kulit hitam yang tinggal di daerah dataran yang lebih tinggi dan saat musim
Pada penelitian oleh Looker dkk. (2008) di Amerika Serikat didapatkan 12%
wanita usia 20-29 tahun memiliki kadar serum 25(OH)D3 di ambang batas defisiensi.
Defisiensi vitamin D dilaporkan lebih sering pada wanita hamil kulit hitam (42%)
dibandingkan kulit putih (4%) khususnya pada saat musim dingin dan pada daerah
yang lebih tinggi (Nesby-O’Dell dkk., 2002). Kadar vitamin D yang rendah selama
prematur, hipertensi, dan meningkatkan risiko berat lahir rendah (Fuller, 2000).
31
Bayi yang lahir prematur memerlukan vitamin D yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bayi cukup bulan karena memiliki durasi yang lebih pendek untuk transfer
(Greer, 2001).
Bayi yang memperoleh ASI ekslusif rata-rata 750 mL/hari tanpa mendapatkan
paparan sinar matahari hanya menghasilkan vitamin D 11-38 IU/hari. Sumber utama
vitamin D pada bayi dan anak adalah vitamin D yang disintesis di kulit. Namun
sinar matahari pada bayi < 6 bulan karena efek yang merugikan pada kulit, maka bayi
2.2.5.4 Malabsorpsi
dapat ditemukan pada anak dengan penyakit celiac, alergi makanan, setelah menjalani
reseksi usus kecil, dan anak dengan insufisiensi pankreas seperti fibrosis kistik,
25(OH)D3 dapat terjadi pada anak dengan penyakit hati kronis dan anak yang mendapat
terapi pengobatan yang lama seperti rifampicin, isoniazid, dan anti kejang selama lebih
Vitamin D dan reseptornya saat ini merupakan hal yang menjadi subjek yang
banyak diteltiti lebih lanjut. Dampak defisiensi vitamin D pada penyakit kritis masih
belum jelas. Prevalens defisiensi vitamin D yang cukup tinggi pada orang dewasa
dengan sakit kritis (antara 17-80%) dan pada anak dengan sakit kritis (antara 35-70%)
(Abou-Zahr dan Kandil, 2014). Defisiensi vitamin D pada populasi pasien dengan sakit
intensif yang lebih lama, dan peningkatan risiko infeksi (Braun dkk., 2011;Higgins
dkk., 2012).
Lee dkk. (2009) pertama kali melaporkan prevalens defisiensi vitamin D yang
tinggi pada orang dewasa sakit kritis dan memaparkan luaran yang buruk pada pasien
tersebut. Sejak itu beberapa penelitian lainnya yang juga melaporkan defisiensi vitamin
D dan luaran yang buruk pada pasien sakit kritis pada dewasa. Penelitian vitamin D
pada anak sakit kritis belum banyak dilakukan. Beberapa review penelitian vitamin D
Tabel 2.5
Review Penelitian Vitamin D pada Anak
Peneliti Rancangan Subjek Tujuan Luaran Hasil Level
penelitian penelitian of
eviden
ce
Madde studi N = 511 mengetahui kadar kadar vitamin D IV
n dkk. deskriptif seluruh prevalens vitamin didapatkan rendah
(2012) (observasio anak defisiensi D anak pada pasien dirawat
nal study) dirawat vitamin D yang di PICU
di PICU pada anak
33
Review di atas dapat disimpulkan pada seluruh penelitian didapatkan kadar vitamin
D yang rendah pada anak yang dirawat di UPIA dan di ruang perawatan intensif
35
neonatus, terdapat hubungan yang signifikan antara rendahnya kadar vitamin D dengan
kejadian sepsis pada anak dan bayi yang dirawat di ruang intensif. Kadar vitamin D
yang rendah juga terdapat hubungan yang signifikan dengan lama rawat dan derajat
keparahan pasien anak yang dirawat di UPIA. Penelitian oleh Hebbar dkk. (2014)
didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D dengan
Pada pasien sakit kritis, efek pleiotropik vitamin D dan perannya pada fungsi imun
menjadi hal yang ditekankan. Kadar vitamin D yang rendah pada pasien yang dirawat
di ruang intensif dapat disebabkan oleh kurangnya paparan terhadap sinar matahari dan
suplementasi diet yang kurang (Lee dkk., 2009). Beberapa patofisiologi yang
mendasari terjadinya disfungsi organ pada defisiensi vitamin D dapat terlihat pada
Gambar 2.4 dan Gambar 2.5. Konsekuensi potensial yang dapat terjadi pada
dan miopati.
tergantung terhadap kadar 1,25(OH)D3. Peptida ini sangat penting perannya untuk
imunitas innate dan diekspresikan pada permukaan epitel saluran napas, kandung
kemih, dan saluran pencernaan. Penelitian Jeng (2009), melaporkan korelasi positif
antara kadar 25(OH)D3 dengan kadar LL-37 di sirkulasi. Penelitian di Mesir oleh
Ismail dkk (2015). mendapatkan bahwa secara signifikan kadar vitamin D dan kadar
cathelicidine rendah pada neonatus dengan sepsis, namun pada anak yang lebih besar
36
kadar vitamin D secara signifikan rendah pada anak dengan sepsis namun tidak kadar
cathelicidine. Penelitian ini juga mendapatkan korelasi yang kuat didapatkan antara
kadar vitamin D dengan cathelicidine pada neonatus dengan sepsis. Penelitian oleh
Braun dkk. (2012) juga memperlihatkan pasien dengan kadar defisiensi 25(OH)D3
otot polos jantung, endotel, dan pada kardiomiosit. Vitamin D berperan untuk
menurunkan aktivitas renin plasma dan berkorelasi terbalik dengan insiden kalsifikasi
arteri koroner (Watson, 1997). Kadar 25(OH)D3 yang rendah juga berhubungan dengan
Hubungan defisiensi 25(OH)D3 dengan kelemahan otot sudah sangat jelas dengan
meningkatkan sekresi hormon paratiroid. Hal ini memiliki implikasi pada pasien
perawatan intensif, khususnya pada pasien yang kronis yang pernah mengalami
Gambar 2.4 Patofisiologi disfungsi organ karena insufisiensi vitamin D (Lee, 2009)
38
Gambar 2.5 Peran vitamin D pada penyakit akut (Youssef dkk., 2015)