Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

“PERANAN ISLAM DALAM KEMERDEKAAN INDONESIA”

DOSEN PENGAMPU : Dr. SUPIAN, S.Ag, M.Ag

PENYUSUN MAKALAH :

Erik Arfansyah : I1A116010

WELLY MAREDO : I1A1160........

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS JAMBI

2018

BAB I
PENDAHULUAN

Perjuangan umat Islam di Indonesia sangatlah luas, bukan hanya di bidang politik saja, akan tetapi
mencakup berbagai segi kehidupan. Umat Islam Indonesia selalu berusaha berjuang untuk mendatangkan
pengertian lebih baik tentang agama Islam dan untuk mengurangi kebodohan di kalangan umat. Dalam
batasan yang sempit, perjuangan ini dapat dikatakan terletak di luar bidang politik. Tetapi sesungguhnya,
tentu yang satu tidak sama sekali dapat dipisahkan dari yang lain.

Kita bisa melihat bagaimana para ulama mencoba menggerakan masyarakat dengan melalui waktu-waktu
yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Mereka mendidik masyarakat supaya motivasinya
bangkit kembali di bidang ekonomi perdagangan. Bahkan pasar bukan hanya sebagai tempat kegiatan
jual-beli barang dagangan, tetapi juga dijadikan arena dakwah.

Pesantren kala itu juga bukan sekadar lembaga pendidikan semata, akan tetapi juga merupakan lembaga
penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang
memiliki keberanian moral yang tinggi. Perjuangan umat Islam di berbagai bidang kehidupan ini saling
berkaitan erat sehingga tidak bisa dipisahkan antarsatu bidang dengan bidang lain. Untuk itu, dalam
makalah ini akan dibahas beberapa hal menganai bagaimana perjuangan umat Islam di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

Umat Islam Indonesia punya peranan yang menentukan dalam dinamika perjuangan untuk memdapatkan
kemerdekaan.

2.1 Perjuangan Kerajaan-Kerajaan Islam melawan Kolonial

Dimulai sejak awal masuknya bangsa barat dengan pendekatan kekuatan yang represif (bersenjata), maka
dilawan oleh karajaan-kerajaan Islam di kawasan Nusantra ini. Perjuangan ini antara lain : Malaka
melawan serangan Portugis (1511) diteruskan oleh Ternate di Maluku (Portugis berhasil dihalau sampai
Timor Timur), kemudian Makasar melawan serangan Belanda(VOC), Banten melawan serangan Belanda
(VOC), dan Mataram Islam juga melawan pusat kekuasaan Belanda(VOC) di Batavia (1628-1629) dan
masih banyak lagi. Mereka gigih, dan Belanda pun kalangkabut, namun setelah ada politik “Devide Et
Impera” (pecah belah), satu persatu kerajaan ini dapat dikuasai. Meskipun demikian semangat rakyat
tidak pudar melawan penjajahan kolonial, maka selanjutnya perjuangan melawan penjajahan diteruskan
oleh rakyat dipimpin Ulama.

2.2 Perjuangan Rakyat Dipimpin oleh Para Ulama

Setelah kaum kolonial berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia, namun umat Islam bersama
para ulamanya tidak berhenti melawan penjajahan. Munculah era Gerakan Sosial merata di seluruh
pelosok tanah air. Ulama sebagai Elite Agama Islam memimpin umat melawan penindasan kez oliman
penjajah. Sejak dari Aceh muncul perlawanan rakyat dipimpin oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar,
Cut Nya’ Dhien; di Sumatera Barat muncul Perang Paderi dipimpin oleh Imam Bonjol; Perlawanan
KH.Hasan dari Luwu; Gerakan R. Gunawan dari Muara Tembesi Jambi; Gerakan 3 Haji di Dena
Lombok; Gerakan H. Aling Kuning di Sambiliung Kal-Tim; Gerakan Muning di Banjarmasin; Gerakan
Rifa’iyah di Pekalongan; Gerakan KH. Wasit dari Cilegon; Perlawanan KH. Jenal Ngarib dari Kudus;
Perlawanan KH. Ahmad Darwis dari Kedu; Perlawanan Kyai Dermojoyo dari Nganjuk; dan juga
perlawanan P. Dipanegara, masih banyak lagi.

Dari perlawanan itu, sesungguhnya pihak Belanda sudah goyah kekuasaaanya, sebagai bukti tiga
perlawanan : Rakyat Aceh, Sumatera Barat, dan Java Oorlog (Dipanegara) telah mengorbankan : 8000
tentara Belanda mati dan 20.000.000 Gulden kas kolonial habis. Oleh karena itu, mereka kemudian
mencari jalan lain, yaitu mengubah politik kolonialnya dengan pendekatan “ Welfere Politiek” (Politik
Kemakmuran) untuk menarik simpati rakyat jajahan. Namun, pada kenyataannya politik itu dijalankan
dengan perang kebudayaan dan idiologi, terutama untuk memecah dan melemahkan potensi umat Islam
Indonesia yang dianggapnya musuh utama pemerintah kolonial.

2.3 Pergerakan Nasional di Indonesia

Sebelum memesuki era Pergerakan Nasional, pihak kolonial mencoba politik kemakmuran dan balasbudi.
Munculah Politik Etische oleh Van Deventer; Politik Assosiasi oleh Ch.Snouck Hurgronje; dan Politik De
Islamisasi (Dutch Islamic Polecy) oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Kelihatannya politik itu humanis
untuk kesejahteraan rakyat, namun karena landasannya tetap kolonialisme, maka jadinya tetap eksploitatif
dan menindas rakyat. Khusus politik De Islamisasai sangat merugikan umat Islam, karena :

a. Memecah umat Islam jadi dua dikotomi Abangan dan Putihan

b. Membenturkan Ulama dengan Pemuka Adat

c. Membikin masjid dan memberangkatkan haji gratis untuk meredam gerakan Islam.( Snouck Hurgronje,
Islam in de Nederlansch Indie )

Akibat dari politik kolonial di atas, maka perjuangan melawan kolonial menjadi terpecah. Menurut Thesis
Endang Syaifuddin Anshari,MA. perjuangan di Indonesia terpecah jadi dua kelompok besar yaitu:
Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler. Kondisi inilah sampai sekarang masih tampak dalam dinamika
perpolitikan kita.

Sebagai salah satu yang penting pelopor awal Pergerakan Nasional di Indonesia ialah umat Islam, yaitu
pada tanggal 16 Oktober 1905, lahir Sarekat Dagang Islam (SDI). yang kemudian th. 1912 jadi Sarekat
Islam (SI), sebagai gerakan Ekonomi dan politik. Pada Tanggl 18 November 1912 lahir Muhammadiyah
sebagai gerakan Sosial Keagamaan, dari lembaga pendidikannya menghasilkan pimpinan bangsa
Indonesia yang menentang Belanda,kemudian selanjutnya Jami’atul Khoir, Al Irsyad, Jong Islamieten
Bond (1922), Persatuan Islam (Persis) th. 1920, Nahdlotul Ulama ( 1926 ), dan lainnya adalah dalam
kategori nasionalis Islami, yang kesemuanya punya andil dalam melawan Belanda. Di samping itu
lahirlah Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, dan Indische Partij (1912), Jong Java, PKI, Perhimpunan Indonesia
(PI), PNI (1927) dan sebagainya, adalah dalam kategori nasionalis sekuler.

Dalam menghadapi gerakan umat Islam, Belanda menggunakan “Christening Politiek” namun tidak
berhasil. Ketika gencarnya SI menuntut “Boemi Poetera Zelfbestuur” (Bangsa Indonesia berpemerintahan
sendiri), dengan gerakan Rapat Akbar dan pemogokan yang dilakukan hampir merata di pelosok
kepulauan Indonesia, maka Belanda grogi dan segera bertindak. Untuk menghadapi gelombang gerakan
umat Islam itu, maka upaya Politik Belanda dengan mendatangkan VIRUS KOMUNIS, yaitu
menggunakan tokoh-tokoh komunis Belanda Snevliet, Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma dan Van Burink,
didatangkan ke Indonesia untuk menghadapi Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh komunis itu kemudian
mengkader Semaun, Alimin Dharsono & Tan Malaka, disusupkan ke SI, terjadilah pembusukan dari
dalam, pecahlah SI jadi dua: SI Putih yang asli, dan SI Merah yang komunis bergabung dengan ISDV
( Indische Socialis Democratische Vereeniging ) jadi PKI (23 Mei 1920). Mulai dari sinilah maka umat
Islam berhadapan terus dengan komunis

Pada tahun 1937 organisasi-organisasi Islam bersatu membentuk MIAI ( Majlisul Islam A’la Indonesia ),
diprakarsai oleh Muhammadiyah, NU, Persis, Alwasliyah dan lainnya. Pada zaman Jepang MIAI diubah
namanya jadi MASJUMI ( Majlis Syurau Muslimin Indonesia ), dan memiliki pasukan Hizbullah
Sabilillah, sebagai modal perjuangan bersenjata di kemuidian hari.

Pada saat mempersiapkan kemerdekaan dalam BPUPKI disidangkan konsep dasar negara, muncul konsep
Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang telah diajukan, namun sidang belum menerima, kemudian
dibentuklah panitia Ad Hock (9 anggota), yang memutuskan Rumusan Piagam Djakarta 22 Juni 1945
( Djakarta Charter ). Rumusan itu melalui debat yang panjang akhirnya disetujui pada tanggal 16 Juli
1945. Namun, pada tanggal 18 Agustus 1845, keputusan itu dianulir atas usul Opsir Jepang
mengatasnamakan utusan dari Indonesia Timur, yang menyatakan bahwa bila kalimat “ Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluknya” tidak diubah, maka Indonesia Timur
akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia . Dengan demikian Hatta lobi dengan
para ulama agar dapat mengubah Piagam Djakarta demi persatuan Nasional RI. Pada awalnya para ulama
tidak setuju, sebab itu sudah keputusan BPUPKI sebagai konsensus nasional, namun demi toleransi dan
menjaga negara RI dari perpecahan, akhirnya disepakati dengan kalimat : “ Ketuhanan Yang Maha Esa “
(peranan Ki Bagus menempatkan Yang Maha Esa sebagai Taukhid Rakyat Indonesia ).

2.4 Peran Umat Islam dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan

Dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, umat Islam punya
peranan penting, yaitu : Pertama, secara pisik Umat Islam dengan Lasykar Hisbullah-Sabilillah, kemudian
diteruskan Asykar Perang Sabil (APS) dan lasykar Islam lainnya di daerah, gigih berjuang membantu
TKR (TNI) untuk mempertahankan NKRI dengan perang gerilnyanya melawan Sekutu-NICA
(Netherland Indie Civil Administration, Belanda) yang akan kembali berkuasa di Indonesia. Secara pisik
pula Lasykar Hisbullah-Sabilillah yang kemudian diteruskan oleh Markas Ulama Asykar Perang Sabil
(APS) bersama pasukan TNI dari Siliwangi melawan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 18
September 1948 ( dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin ), yang akan menghancurkan NKRI dan
akan membentuk Pemerintahan Komunis Indonesia, menjadi bagian atau satelit dari Commitern Komunis
Internasional yang berpusat di Moskow,Rusia. Pemberontakan PKI 1948 ini berjalan secara biadab,
membantai para ulama dan santri, membantai kaum nasionalis, membantai pamongpraja. Dengan adanya
kerjasama antara kelaskaran umat Islam, kelaskaran kaum nasionalis, dengan TNI berhasil
menghancurkan kekejaman dan kebiadaban Pemberontakan PKI 1948.

Setelah kemerdekaan dan adanya maklumat Wakil Presiden X/1946, bangsa Indonesia dipersilahkan
mendirikan partai politik. Dalam hal ini pada awalnya aspirasi politik umat Islam ditampung dalam satu
wadah, meneruskan namanya yaitu Majelis Syurau Muslimin Indonesia ( Masyumi ), dalam ikrar
persatuan umat Islam ”Panca Cita”.

Kedua, dalam proses perjuangan diplomasi ada beberapa perundingan antara lain Linggajati, Renfille,
Roem-Royen, dan KMB. Pada perundingan Renfille wilayah NKRI menjadi sempit, dan berdirilah
negara-negara bagian lain sebagai negara boneka Belanda, dan lebih parah lagi Yogyakarta sebagai
Ibukota NKRI diduduki Belanda. Secara spontan dan bertanggung jawab Mr.Syafruddin Prawiranegara
(Masyumi) mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 19 Desember 1948 di Sumatera
Barat

Adanya perlawanan gerilya bangsa Indonesia yang tiada hentinya ( termasuk perebutan Jogjakarta dari
tangan Belanda tanggal 1 Maret 1948), maka PBB meminta genjatan senjata dan diadakan perundingan
lagi, yaitu Roem – Royen. Dalam perundingan itu deplomasi Mr.Moh.Roem berhasil menggiring pihak
Belanda untuk antara lain :

1.Mengembalikan Ibukota RI Yogyakarta.

2.Pembebasan Soekarno-Hatta dan para mentri yang ditawan Belanda.

3. Menyelenggarakan Konfrensi Meja Bundar (KMB), dan

4. Belanda mengakui keberadaan RI.

Pada KMB Belanda mengakui eksistensi Republik Indonesia Serikat, yang masih memiliki negara-negara
bagian (boneka) dibawah pengaruh Belanda. Presiden Soekarno jadi Presiden RIS, sedangkan Mr. Assa’at
jadi Presiden Republik Indonesia( RI ) kedua, bagian dari RIS. Dalam rangka menyatukan Indonesia
kembali, tokoh umat Islam Muhammad Natsir (Masyumi) mempelopori “MOSI INTEGRAL NATSIR
yang isinya untuk KEMBALI KE BENTUK NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
(NKRI)”. Mosi integral Natsir ini mendapat dukungan sebagain besar anggota kabinet dan Presiden
Soekarno, meskipun Anak Agung Gde Agung dan Sultan Hamid II tidak mau ikut tanda tangan
mendukung, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno berdasarkan mosi itu
memberanikan diri menyatakan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.5 Umat Islam di Era Mencari Bentuk Demokrasi Indonesia

Undang-undang Dasar 1945 menggambarkan bahwa NKRI adalah negara demokrasi, namun formulasi
demokrasi yang bagaimana bentuknya masih dalam pencarian. Apakah Demokrasi Liberal, apakah
Demokrasi Sosialis, ataukah Demokrasi Theokrasi ?. Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap ( dari
Masyumi ) Indonesia mengadakan pemilihan umum pertama di tahun 1955, diikuti hampir + 100 partai,
disaksikann oleh PBB. Dalam pemilu itu muncul 4 kekuatan partai besar yaitu rangking pertama PNI dan
Masyumi suaranya berimbang, disusul NU, kemudian PKI. Hasil dari Pemilu itu adanya Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan kemudian pemilu kedua menghasilkan Konstituante (pembuat Konstitusi/
UUD). Dalam Konstituante memang ditawarkan dan untuk menjaring aspirasi rakyat dalam menentukan
UUD baru yang aspiratitf rakyat Indonesia. Berbagai golongan masyarakat yang diwakili oleh partainya
menyampaikan usulannya, sehingga mengerucut pada UUD pertama 1945 namun mengacu keputusan
Sidang BPUPKI 16 Juli 1945 yaitu Piagam Djakarta , dan mengacu dari keputusan PPKI 18 Agustus
1945, dengan suara berimbang, namun tidak dapat memenuhi 75% suara untuk dapat memutuskannya,
sehingga selalu tidak dapat diputuskan. Aklhirnya pihak Militer (A.H. Nasution ) membuat konsep Dekrit
Presiden, kemudian diterima oleh Bung Karno, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Dekrit Presiden itu
dideklarasikan.

2.6 Umat Islam di Era Demokrasi Terpimpin

Munculnya Dekrit Presiden ini untuk sementara dapat meredam perbedaan pendapat dalam konstituante,
namun juga berdampak menjadi awalnya bentuk pelaksanaan pemerintahan yang otoriter, kekuasaan
tunggal di tangan presiden. Hal ini terbukti, ketika Presiden Soekarno mengajukan RAPBN ke DPR hasil
Pemili 1955, oleh karena kondisi negara belum mampu, maka ditolak DPR dan diminta untuk diperbaiki,
namun dengan pendekatan kekuasaan Bung Karno membubarkan DPR hasil pemilu, dan kemudian
dengan kekuasaanya pula presiden Soekarno menyusun DPR baru atas tunjukannya dengan diberi nama
DPRGR. Tokoh-tokoh umat Islam menentang sikap otoriter ini, namun kemudian ditangkapi dan
dipenjara. Dari beberapa kasus yang menentang otoriter kekuasaan pada waktu itu, ditangkapilah tokoh-
tokoh Islam antara lain Mr.Prawoto Mangkusasmito ; Mr. Mohammad Roem; KH Muhammad Natsir;
KH E.Z. Muttakin; Mr. Kasman Singodimejo; dan Hamka dan lainnya , mereka tidak diproses hukum
melalui pengadilan.

Dari tahun 1960 sampai 1965 situasi negara dalam keadaan tegang , akibat adanya iklim antagonis dalam
masyarakat. Polarisasi NASAKOM yang dicetuskan pemerintah menjadi kekuatan yang saling benturan.
Pendekatan kaum Komunis (PKI) pada pemerintah banyak digunakan untuk menghantam umat Islam dan
gerakan Islam. Muncul istilah Ganyang Kontra Revolusi, Ganyang 7 Setan desa ( salah satunya haji ).
PKI mengadakan Aksi Sepihak, yaitu menyerobot dan menduduki tanah milik umat Islam, milik
pesantren dsb. untuk dibagikan pada para pendukungnya, sedangkan bila terjadi perlawanan diadakan
teror dan sampai pembunuhan. Setelah PKI merasa kuat dan siap untuk mengambil alih kekuasaan,
menyiapkan angkatan ke 5 Buruh Tani dipersenjatai, import senjata jenis Tschung dari RRChina, banyak
mengadakan pelatihan militer di beberapa daerah, dan mengadakan aksi sepihak menduduki tanah-tanah
perusahaan dan tanah masyarakat, serta mengadakan teror dan pembantaian terhadap lawan politiknya.
Menyerang tempat-tempat Ibadah menginjak-ijai kitab suci Al Qur’an, seperti peristiwa Kanigoro,
Bandar Betsy, menteror dan menangkapi seniman Manikebu lawannya Lekra (PKI), Puncaknya
meletuslah Pemberontakan G.30.S. / PKI. Digerakkan oleh Dewan Revolusi yang berisi tokoh-tokoh PKI
( DN Aidit, Sam Qomaruzaman, Nyoto, Nyono, Istiajid, dan sebagainya ) sebagai pengendali gerakannya
( Surat Perintah Comite Central/ CC PKI No. 13/ P1 / 65, tanggal 28 Septembar 1965, isinya Perintah
mendirikan Dewan Revolusi Daerah ). Pemberontakan G.30.S. /PKI telah membantai kalangan ABRI,
para Santri dan Kyai di pedesaan, pemuka agama lainnya termasuk di Bali, mereka telah disediakan
sumur-sumur untuk penguburannya.

Ummat Islam membentuk Kogalam ( Komando Kesiapsiagaan Umat Islam ) dan GEMUIS ( Genarasi
Muda Islam ), Organisasi-organisasi Islam mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI,
dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan
pemberontakan G.30.S./PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas, sehingga selamatlah
negara Republik Indonesia dari usaha dijadikan negara komunis. Situasi negara mulai ada perubahan,
masyarakat menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka lembaran baru dalam kehidupan negara
yang memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang memang sebagai jati diri Bangsa Indonesia.

2.7 Umat Islam di Era Orde Baru

Pada awal kebangkitan Orde Baru adalah dalam rangka kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila secara
murni dan konsekwen, memperbaiki stuktur birokrasi dan demokrasi bersih dan sehat. Pada awalnya umat
Islam memberikan dukungan , memang umat Islam untuk sementara merupakan eksponen dan dijadikan
tumpuan. Namun pada proses perjalanan sejarah selanjutnya eksponen umat Islam mulai ditinggal, dan
bahkan gerakan umat Islam mulai dimandulkan, bahkan berusaha untuk dibersihkan.

Gerakan politik Islam dilikwidasi sedikit demi sedikit posisinya bahkan dimandulkan, mulai Pemilu 1971
yang penuh rekayasa dan ”Bolduser”, menekan umat Islam dan politisi lain untuk memenangkan Golkar.
Maka berhasilah menguatkan posisi kekuasaan Suaharto, yang selanjutnya akan kembali mmenjadi
penguasa tunggal yang otoriter sampai tahun 1998.

Pemerintahan Orde Baru kemudian banyak meninggalkan potensi umatIslam, justeru merangkul kekuatan
minoritas di Indonesia yang ”diridloi oleh Amerika” serta sekutunya. Sebagai puncaknya kebijakan
terhadap umat Islam adalah dilarangnya partai dan organisasi massa memakai asas Islam.Kebijakan ini
sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje
untuk membatasi gerakan umat Islam di Indonesia. Kebijakan pemerintah Orde baru terhadap politik
Islam itu berdampak antara lain :

Pertama, peranan politik umat Islam yang mengusung cita-cita Islam tidak mendapat tempat yang layak,
bahkan dikerdilkan dengan cara rekayasa politik. Dengan menggunakan berbagai macam skenario politik
untuk menyudutkan dan memberi gambaran citra negatif bagi perjuangan umat Islam Indonesia. Sebagai
contoh, dimunculkanlah skenario Komando Jihad, Teror Warman, dan sebagainya, yang kesemuanya itu
memancing umat Islam untuk bertindak kekerasan, kemudian didlolimi. Dimunculkannya peristiwa-
peristiwa penuhy rekayasa seperti, Tanjung Priuk ( 600 umat Islam dibantai ); Talangsari (pembantaian
kyai dan sastri serta penduduk desa di Lampung ); pembajakan Pesawat Wayola, dan masih banyak lagi
poeristiwa di daerah-daerah yang menjadi korbannya umat Islam. Dalam bidang politik formal kekuatan
realitas umat Islam terus ditekan, dan dengan penuh rekayasa dikerdilkan, sehingga partai politik di DPR
dan MPR tidak dapat berkutik ( dibikin kecil ).

Kedua, di kalangan umat Islam mencari jalan lain ( tidak melalui politik praktis ), yaitu lebih
menggiatkan gerakan Dakwah – Sosial – Pendidikan dan Kebudayaan. Munculah gerakan Dakwah di
berbagai lapisan masyarakat dan pelatihan-pelatihan secara intens dalam memahami Islam Penanaman
Nilai dasar Islam (PNDI), lahirnya Lembaga Dakwah Kampus ( LDK ) seperti Jama’ah Salman (ITB),
Jamaah Shalahuddin (UGM), dan sebagainya. Gerakan Sosial meningkatkan kepedulian pada kaum fakir-
miskin-yatim piatu dan kaum mutadzafin, munculnya lembaga-lembaga sosial dan pendidikan baru di
kalangan umat Islam. Dalam bidang pendidikan berkembang dengan lahirnya lembaga-lembaga
pendidikan baru termasuk maraknya pertumbuhan perguruan tinggi Islam di Indonesia, dan adanya
peningkatan penerbitan buku-buku dan media Islam lainnya. Lahirnya lembaga-lembaga Seni-Budaya
Islam dengan karya-karyanya, lebih maraknya pemakian busana muslim dan muslimah ( pemakian Jilbab
diterima olah masyarakat dan banyak diikuti ).

Pemerintah Orde Baru yang selalu phobi pada gerakan Islam, kemudian membuat kebijakan antara lain
pembatasan gerakan dakwah, dengan mewajibkan izin dan mubaligh/da’i nya diseleksi oleh pemerintah
dengan wajib menggunakan SIM ( kartu Surat Ijin sebagi Mubaligh ), dan pengawasan ketat, serta
kemudian juga melarang kegiatan dakwah di kampus-kampus. Pemerintah Orde baru juga melarang
pemekaian Jilbab di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di lembaga pemerintahan, dan mencitrakan
bahwa pemakaian Jilbab itu adalah kaum Islam Radikal. Meskipun peraturan ini dilakukan dengan
pengawasan ketat dan represif, namun arus deras dari masyarakat Islam yang mendukung lebih kuat,
sehingga pemerintah Orde Baru tidak mampu mengatasinya.

Dalam rangka membendung arus kesadaran ber-Islam yang lebih intens ini, pemerintah Orde Baru
menggunakan berbagai macam skenario politik untuk menjebak aktivis-aktivis umat Islam agar berbuat
radikal, sehingga citra Islam terus negatif di Indonesia. Meski demikian hanya sebagian kecil yang dapat
terjebak, bagi yang sadar akan adanya skenario ini lebih baik diam dan menekuni gerakan dakwah,
sosial,pendidikan dan kebudayaan..

Adanya pembukaan hubungan dengan luar-negeri ( khususnya Amerika-Eropa-dan Jepang ), Orde Baru
banyak menerima ”Bantuan” alias Hutang. Selain itu pula pemerintah juga mengontrakkan sumber
minyak dan tambang lainnya termasuk Freeport, sehingga pemerintah Orde Baru banyak mengantongi
hasilnya. Kelihatannya dapat meningkatkan kemakmuran dan penghasilan negara, namun ternyata hanya
semu.

Pemerintah Orde Baru yang merasa tertolong dengan modal asing itu, kemudian banyak meninggalkan
umat Islam ( sebagai Ekonomi golongan menengah kebawah yang realistis penyangga perekonomian
Indonesia ).

Umat Islam dalam bidang ekonomi menduduki golongan pengusaha menengah ke bawah. Sentra-sentra
perekonomian umat Islam memiliki jaringan sampai pada ekonomi kerakyatan di lapisan bawah ( seperti
Ekonomi Pertanian; Tekstil; Batik; Garmen; sampai ke Industri Kerajinan Rakyat/rumah tangga ). Pada
zaman pemerintahan Orde Baru yang banyak bergantung pada Modal Asing, lebih berpihak pada
golongan ekonomi Konglomerat, sehingga sebagian pinjaman modal asing itu dialirkan pada
Konglomerat. Akibatnya ialah, pertama Golongan Konglomerat ini tangan-tangan guritanya sampai pada
lapisan ekonomi menengah kebawah, sehingga sistem kapitalistik-monopoli berakibat mematikan
golongan ekonomi menengah ke bawah yang sebagian besar adalah umat Islam. ( Menurut Richard
Rabison, The Rise Capitalism in Indonesia. ( disertasi ), bahwa Golongan Ekonomi Menengah ke Bawah
bagi Indonesia adalah pilar ekonomi yang nyata dan perlu diperkuat, sedangkan Golongan Ekonomi
Konglomerat yang mengandalkan Modal Asing pinjaman itu merupakan tiang penyangga yang semu,
suatu saat gampang melarikan modalnya ke luar negri, sehingga akan menggoyahkan perekonomian
Indonesia .

Pada akhir hayat pemerintahan Orde Baru, ditengarai setelah pihak asing kepercayaannya mulai
pudar,kemudian pembatasan kucuran dana pinjaman asing, dan masyarakat mulai tidak respek dan
mengecam terhadap permainan politik pemerintah Orde Baru, maka kekdudukannya menjadi lemah. Pada
kondisi lemah ini, pemerintah Orde Baru kelihatannya mulai mendekati umat Islam melalui tokoh-
tokohnya. Namun, cara-cara pendekatan itu sudah tidak populer lagi, akhirnya terjadi arus deras untuk
diadakan Reformasi. Arus deras Reformasi sebagai lokomotif (salah satunya Amien Rais) dan pendukung
terbesaenya adalah umat Islam, berhasil memberhentikan Pemerintahan Orde baru, pada tanggal 21 Mei
1998, Soeharto berhenti jadi presiden, dan masa transisi untuk sementara digantikan oleh BJ Habibie
sampai dengan pemilihan umum Era Reformasi.

PERAN UMAT ISLAM DI AWAL REFORMASI

Masyarakat Indonesia mengalami titik kulminasi jenuh pada pemerintahan Orde Baru (yang sudah
menjadi sama sengan Orde Lama). Cara-cara untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan
kendaraan GOLKAR yang dengan rekayasa skenariotip selalu memenangka pemilu, sehingga kekuasaan
Suharto dan Kroninya diusahakan terus untuk dipertahankan. Harmoko selaku ketua Golkar yang terakhir
mendorong Suharto untuk maju lagi jadi presiden di tahun 1997, mengklaim dengan mengatakan rakyat
Indonesia masih menginginkan kekuasaan Suharto.

Pada kenyataanya lain, masyarakat luas sudah mengiginkan perubahan kepemimpinan nasional, bahkan
sebagian di kalangan ABRI pun dan dunia internasional yang dulu sebagai pendukung dana dan politik
Orde Baru, mulai kendor dan meninggalkan dukungannya. Dalam kondisi seperti ini, Suharto mendekati
umat Islam melalui tokoh-tokohnya, namun tidak berhasil, sehingga Suharto terpaksa ”Berhenti” dari
jabatannya sebagai presiden, dan digantikan oleh wakilnya yaitu BJ Habibie.

Pada era pemerintahan BJ Habibie yang hanya lebih kurang 1 tahun, berhasil menekan inflasi yang
sebelumnya nilai rupiah terpuruk hingga Rp.15.000,- setiap satu dolarnya, dapat ditekan menjadi Rp.
6.000,- setiap dolar AS. Namun, adanya epouria politik yang terus bergelora, akhirnya pada sidang MPR
peratanggunganjawabnya tidak diterima, maka BJ. Habibie tidak mencalonkan jadi presiden.

Pada awal Reformasi umat Islam pun terimbas adanya epouria politik, sehingga pada rame-rame
mendirikan partai, antara lain lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ); Partai Amanat Nasional ( PAN
) ( meskipun tidak berdasarkan Islam, namun basis pendukungnya Islam ), Partai Bulan Bintang (PBB);
Partai Keadilan (PK); Partai MASYUMI BARU; Partai ABULYATAMA; Partai Syarekat Islam
Indonesia (PSII) ( (semuanya berdasarkan Islam dan basis pendukungnyapun Islam), dan sebagainya
ditambah Partai Persatuan Pembagunan (PPP) yang juga masih eksis dan punya masa.

Pada Pemilu 1999 PDI P berhasil unggul disusul Golkar, dan baru partai-partai Islam dan partai yang
basis pendukungnya Islam ( bila partai-partai Islam dan yang berbasis pendukungnya Islam bersatu, insya
Allah akan menang dalam pemilu. Namun, kanyataannya partai-partai Islam itu belum dapat bersatu
sampai kini ).

Meskipun PDI P unggul dalam pemilu, namun dalam pemilihan presiden tidak berhasil, MPR memilih
suara terbanyak Abdurrahman Wahid, sedangkan wakilnya baru Megawati. Abdurrahman wahid tidak
mulus jadi presiden RI, dengan adanya berbagai persoalan akhirnya diberhentikan oleh MPR, kemudian
digantikan oleh Megawati dengan mengambil wakil Hamzah Haz dari PPP.

Pada Pemilu 2004, partai-partai Islam dan yang berbasiskan Islam pun belum dapat meraih kemenangan.
Pada pemilu ini Golkar pewaris Orde Baru berhasil menang, sedangkan dalam pemilihan presiden pun
dimenangkan oleh SBY dan Jusuf Kalla ( dari Partai Demokrat dan Golkar ), sedangkan calon-calon lain
yang jelas dari tokoh-tokoh umat Islam belum berhasil menang ( Amien Rais; Hasyim Muzadi; dan
Sholahuddin Wahid ). Dengan keadaan seperti inilah sudah semestinya umat Islam perlu mukhasabah dan
menyusun langkah-langlah yang lebih baik untuk masa depannya.

Selain politik, juga terjadi euporia liberalisme yang semakin menjadi, pornografi dan pornoaksi, serta
banci merajalela dengan bebas melalui mass media, sehingga menjadi petaka rusaknya moral bangsa.
Mereka menggunakan senjata HAM untuk kebebasannya. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi tak
kunjung diputuskan, karena terkendala para pendukung gerakan perusak moral itu. Perjuangan melawan
KKN ( Korupsi- Kolusi – Nepotisme ) berjalan lamban, stagnan, karena tidak ada ketegasan dari
pemerintah, sehingga kasus BLBI yang memakan uang rakyat + 90 Trilyun pun belum dituntaskan.
Komunisme berusaha hidup kembali, melalui berbagai nama seperti PRD, PAPERNAS, dan mungkin
alan lahir Partai Kemerdekaan Indonesia (PKI), mereka juga menggunakan senjata HAM untuk
berlindung. Menghadapi komunisme pun tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
Tingkatan keadaan ekonomi masyarakat masih ”njomplang”, yang kaya semakin kaya, yang miskin
bertambah miskin. Masyarakat lapisan menengah ke bawah hidupnya semakin sulit, dan perlu diupayakan
kesejahteraannya secara serius. Namun,ada hal yang dapat jadi hiburan, yaitu berkembangnya
Perekonomian Syari’ah yang diharapkan dapat menjadi alternatif untuk dapat mengobati ketimpangan
kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia. Sudah waktunya Ekonomi Syari’ah berpihak pada masyarakat
dhuafa’, untuk ikut berusaha mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

BAB III
PENUTUP

Tulisan di makalah pendek ini barulah segelintir cerita bagaimana islam dalam peran kemerdekaan
dengan berusaha menggunakan fakta sejarah. Oleh karena itu, untuk mendalaminya perlu penelitian serta
menggunakan sumber dan informasi tambahan, sehingga akan lebih memperjelas tentang Umat Islam
dalam perjuangan Indonesia. Adanya kekurang mohon ma’af, ada pun kritik dan saran sangat diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

-Aboebakar Atjeh, Riwayat Hidup A. Wahid Hasjim. Djakarta, 1957.

-A.K. Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. Djakarta: Pust. Rakjat,1960

-Ahmad Adaby Darban,” Lasykar Santri Melawan penjajahan”, Makalah, ITB, 2006.

Anda mungkin juga menyukai