Anda di halaman 1dari 8

SELF POSITIF

A. Self Sebagai Objek dan Subjek


Self sebagai objek dan self sebagai subjek adalah tema yang konsisten dibahas
diseluruh literatur tentang psikologi self. Self sebagai objek dibahas dari sudut pandang
psikologi sosial, kognitif, perilaku dan naratif seperti konsep diri, skema diri, sebagai
seperangkat keterampilan yang dipelajari, diri sebagai narasi dan diri sebagai konstruksi
sosial (Carr, 2013; Hefferon & Boniwel, 2011) (dalam Zadrian Ardi, 2019). Tema self
sebagai objek adalah pusat teori dalam tradisi evolusi yang menyoroti dasar biologis diri
sebagai agen sadar dengan kapasitas untuk memahami, belajar, berkomunikasi dan
beradaptasi dengan lingkungan (Zadrian Ardi, 2019).
Penelitian pada kedua aspek diri, terutama penelitian tentang evaluasi diri dan
pengaturan diri, telah menunjukkan kekuatan penting yang terletak pada kajian psikologi
positif. Self esteem yang tinggi dan self efficacy yang kuat, dimunculkan oleh pandangan diri
sebagai objek dan berkonstribusi untuk kekuatan dan ketahanan pribadi. Individu akan
memiliki kesehatan yang lebih baik dan kesejahteraan ketika individu mengevaluasi diri
secara positif (self esteem tinggi) dan percaya bahwa akan berhasil pada tugas yang sedang
diupayakan (self efficacy tinggi). Disamping itu, individu akan lebih sehat dan sejahtera jika
dapat menggunakan strategi dan koping tetrtentu untuk bisa mengelola tentang tantangan
hidup dan kecemasan yang mungkin timbul dari adanya konflik, permasalahan seksual,
agresivitas, dan permasalahan sosial lainnya (Zadrian Ardi, 2019).

B. Self Esteem
William James mendefinisikan self esteem sebagai perasaan berharga yang berasal
dari rasio antara kesuksesan aktual dengan pretensi individu. Maksud dari pretensi disini
adalah estimasi potensi keberhasilan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai, tujuan dan
aspirasi dalam hidup (Carr, 2013; Hefferon & Boniwel, 2011) (dalam Zadrian Ardi, 2019).
Definisi self esteem adalah konstruk yang membahas cara individu mengevaluasi diri
sendiri dan mengukur rasa harga diri dengan membandingkan bagaimana persepsi terhadap
diri dengan bagaimana individu tersebut bercita-cita. Self esteem bukanlah konstruk kesatuan
tapi diatur secara hierarkis dengan harga diri global secara keseluruhan berdasarkan penilaian
umum (Brewer & Kerslake, 2015; Harris, Donnellan & Trzesniewski, 2018; Kong, Ding &
Zhao, 2015) (dalam Zadrian Ardi, 2019). Konstruk tersebut disusun berdasarkan berbagai
variable yang membentuk self esteem secara menyeluruh, antara lain :
1. Mengukur Self Esteem
Pengukuran self esteem dapat dilakukan dengan berbagai jenis alat ukur dengan
kontruk dan dasar pengukuran yang berbeda pula. Alat ukur yang paling umum
digunakan untuk mengukur self esteem adalah kuesioner multidimensional self esteem.
Inventori untuk dapat menghasilkan skor untuk kondisi self esteem secara global,
kompetensi, kekuatan pribadi, kesukaan, kontrol diri,self image dan integritas identitas.
Sedangkan alat ukur versi siswa merupakan alat ukur yang bebas budaya dan
menghasilkan skor untuk self esteem secara global, self esteem berbasis sekolah dan self
esteem terkait kelompok sebaya. Selain itu, beberapa peneliti juga menggunakan acuan
konsep diri sebagai salah satu dimensi yang akan diukur oleh inventori self esteem,
sehingga hasilnya akan berupa satuan indeks self esteem (Kong et al., 2015) (dalam
Zadrian Ardi, 2019).
2. Pengembangan Self Esteem
Perkembangan kondisi self esteem pada diri individu sangat erat kaitannya
dengan pola pengasuhan. Orang tua yang menerima kelebihan dan kelemahan anaknya,
memberikan arahan terhadap suatu target yang harus dicapai dan mendukung anak-
anaknya dalam mencapai target tersebut cenderung anak tersebut akan memiliki self
esteem yang tinggi.
Konsistensi dalam pola pengasuhan juga memberikan kontribusi signifikan
terhadap self esteem anak. Orang tua yang konsisten dan cenderung tidak otoriter akan
mampu mengembangkan self esteem anak lebih baik dengan mampu bersikap hangat,
menghormati setiap capaian anak, dan membuka diri kepada anak-anak untuk membahas
aturan-aturan dirumah cenderung akan memiliki self esteem yang baik. Sebaliknya
orangtua yang tidak konsisten, permisif, sangat otoriter, menolak atau kasar terhadap
anakakan mengembangkan self esteem yang rendah pada anak (Aunillah & Adiyanti,
2015; Gruenenfelder-Steiger, Harris & Fend, 2016) (dalam Zadrian Ardi, 2019).
Pemodelan dari orangtua tentang bagaimana cara bersikap dan berperilaku juga
dapat mengembangkan self esteem lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan
nasihat lisan (Carr, 2013; Hefferon & Boniwell, 2011) (dalam Zadrian Ardi, 2019).
Self esteem juga dipengaruhi oleh faktor sosial yang lebih luas, terutama status
ekonomi. Status sosial ekonomi yang lebih tinggi dikaitkan dengan harga diri yang tinggi
dan kemiskinan sebaliknya. Self esteem relatif stabil dari waktu ke waktu, tetapi dapat
berubah pada titik transisi siklus hidup (Aunillah & Adiyanti, 2015; Gruenenfelder-
Steiger et al., 2016; Orth, Maes, & Schmitt, 2015; Pahlevi, Sugiharto, & Jafar, 2017)
(dalam Zadrian Ardi, 2019).
Penurunan self esteem pada permulaan masa remaja merupakan cerminan dari
meningkatnya kapasitas remaja untuk membayangkan bagaimana oran lain menilai
mereka dan kemampuan itu muncul dalam periode opersional formal. Namun seiring
dengan bertambahnya usia, maka self esteem juga akan kembali mengalami peningkatan
dengan frekuensi serta ritme yang lebih stabil (Carr, 2013; Hefferon & Boniwell, 2011)
(dalam Zadrian Ardi, 2019).
3. Meningkatkan Self Esteem
Sejumlah strategi dapat dilakukan untuk meningkatkan self esteem, antara lain
melalui pelatihan keterampilan, pengubahan lingkungan, terapi kognitif, dan
memanfaatkan transisi perkembangan yang dapat mempengaruhi kondisi self esteem.
Pelatihan keterampilan dapat meningkatkan kompetensi sekaligus akan berkontribusi
pada kondisi self esteem. Ini termasuk pelatihan dalam pemecahan masalah, keterampilan
sosial, keterampilan asertif, keterampilan akademik, dan keterampilan yang terkait
dengan pekerjaan, tergantung pada bidang kompetensi yang perlu ditingkatkan. Individu
dengan self esteem rendah cenderung memiliki bias kognitif dan tidak konsisten
menerima feedback yang positif sehingga melalui pelatihan keterampilan, kondisi ini
dpaat diatasi dan filter terhadap feedback dapat diperkuat (Zadrian Ardi, 2019).

C. Self Efficacy
Albert bandura adalah pencetus teori self efficacy (efikasi diri). Persepsi efikasi
diri mengacu pada keyakinan yang kita pegang tentang kemampuan untuk mengatur dan
melakukan tugas-tugas dalam domain tertentu dalam suatu tujuan. Self eficacy memandu
sebagian besar hidup individu, karna kemampuan ini akan cenderung memberikan
keyakinan pada individu apakah akan memenuhi kesuksesan ataupun sebaliknya (Carr,
2013; Hefferon & Boniwell, 2011) (dalam Zadrian Ardi, 2019).
Self efficacy akan muncul dalam bentuk domain yang dapat menentukan
keyakinan apakah harapan terhadap tujuan tersebut tercapai atau tidak. Jika individu
mengharapkan tindakannya sukses dan mencapai hasil yang diinginkan, maka tindakan
yang dilakukan dinamakan insetif, begitupun sebaliknya jika mengharapkan hal tersebut
tidak berhasil maka dinamakan disinsentif (Zadrian Ardi, 2019).
Keyakinan akan keberhasilan diri akan menentukan kinerja perilaku individu
secara umum, dan pada akhirnya akan mengarah pada hasil tertentu. Meskipun demikian,
kinerja yang muncul dari harapan dan penilaian terhadap kemampuan tidak selalu
mempengaruhi hasil. Self efficacy dalam hal ini mengambil peran sebagai dominan yang
memprediksi hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja secara komprehensif akan
mempengaruhi perilaku sehari-hari (Hampton & Newcomb,2018; Reisenhofer et al.,
2019; Schonfeld, Brailovskaia, Bieda, Zhang, & Margraf, 2016) (dalam Zadrian Ardi,
2019).
1. Sumber Self Eficacy
Efikasi diri yang tangguh berkembang dari pengalaman penguasaan dimana
tujuan tercapai melalui ketekunan dan kemampuan mengatasi rintangan. Keyakinan
self efficacy yang didapatkan diperbuat jika mereka diyakinkan bahwa mereka dapat
berhasil dan kemudian diberikan keterampilan dalam pengelolaan tantangan.
Akhirnya, keyakinan self efficacy orang ditingkatkan dengan mengejar tujuan dengan
positif (Hampton & Newcomb, 2018) (dalam Zadrian Ardi, 2019).
2. Hasil dari Self Efficacy
Keyakinan efikasi diri mengatur fungsi melalui kognitif, motivasi, emosional
dan pemilihan tujuan. Pada tingkat kognitif, orang dengan self efficacy yang
dipersepsikan tinggi menunjukkan daya nalar kognitif yang lebih besar, fleksibilitas
strategis dan efektifitas dalam mengelola tantangan dari lingkungan. Pada tingkat
motivasi individu dengan keyakinan self efficacy yang kuat akan mampu menetapkan
tujuan yang menantang, mengharapkan upaya mereka untuk menghasilkan hasil yang
baik, menganggap kegagalan sebagai factor yang dapat dikontrol seperti
kemungkinan usaha yang tidak maksimal, memandang hambatan sebagai hal yang
dapat diatasi dan begitu juga dengan termotivasi untuk bertahan dalam berjuang
untuk mencapai tujuan mereka (Zadrian Ardi, 2019).
Keyakinan efikasi mengatur keadaan emosi dengan memungkinkan individu
untuk menafsirkan secara potensial ancaman tuntutan sebagai tantangan yang dapat
dikelola dan dengan mengurangi kekhawatiran dan negatif memikirkan potensi
ancaman. Keyakinan self efficacy juga meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh
dan mengarah pada kualitas kesehatan fisik yang lebih baik, ketahanan yang lebih
besar dalam menghadapi stress, serta kemampuan sosial yang lebih baik (Zadrian
Ardi, 2019).

D. Strategi Coping
Menurut Aldwin dan Revenson (dalam Kertamuda & Herdiansyah, 2009) strategi
coping merupakan suatu cara atau metode yang dilakukan tiap individu untuk mengatasi dan
mengendalikan situasi atau masalah yang dialami dan dipandang sebagai hambatan,
tantangan yang bersifat menyakitkan, serta ancaman yang bersifat merugikan.
Neil R. Carlson (2007) mengungkapkan bahwa strategi coping adalah rencana yang
mudah dari suatu perbuatan yang dapat kita ikuti, semua rencana itu dapat digunakan sebagai
antisipasi ketika menjumpai situasi yang menimbulkan stress atau sebagai respon terhadap
stres yang sedang terjadi, dan efektif dalam mengurangi level stres yang kita alami.
Dapat dismipulkan bahwa strategi coping adalah upaya yang dilakukan individu
dalam menghadapi situasi penuh tekanan atau yang mengancam dirinya dengan
menggunakan sumber daya yang ada untuk mengurangi tingkat stres atau tekanan yang
dialami.
Lazarus dan Folkman (dalam Smet, 1994) menjelaskan terdapat 2 strategi dalam
melakukan coping, yaitu:
1. Emosional Focused Coping
Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini
melalui perilaku individu, seperti penggunaan alkohol, bagaimana meniadakan fakta-
fakta yang tidak menyenangkan, melalui strategi kognitif. Bila individu tidak mampu
mengubah kondisi yang penuh dengan stres, maka individu akan cenderung untuk
mengatur emosinya.
2. Problem Focused Coping
Digunakan untuk mengurangi stressor atau mengatasi stres dengan cara
mempelajari cara-cara atau ketrampilan-ketrampilan yang baru. Individu akan cenderung
menggunakan strategi ini bila dirinya yakin dapat merubah situasi yang mendatangkan
stres. Metode ini lebih sering digunakan oleh orang dewasa.

Sedangkan menurut Dahlan dan Pergament (dalam Primaldhi, 2008) terdapat strategi
coping lainnya yaitu Strategi Coping Berfokus Religi, yang merupakan usaha mengatasi
masalah dengan cara melakukan tindakan ritual keagamaan, misalnya sembahyang, berdoa,
atau pergi ke rumah ibadah. Strategi coping ini didasari oleh adanya keyakinan bahwa Tuhan
akan membantu seseorang yang mempunyai masalah. Penelitian menunjukkan bahwa ketika
menghadapi situasi yang stresful seperti kematian, penyakit, perceraian atau perpisahan
dengan pasangan karena masalah hukum, atau situasi apa pun yang dinilai negatif,
kebanyakan partisipan penelitian melibatkan agama untuk mengatasi berbagai masalahnya.
Dalam penelitiannya, Dahlan menemukan bahwa strategi coping berfokus religi selalu
dilakukan oleh subyek orang Indonesia, ketika mereka menghadapi stressor tertentu.

E. Mengakses Coping
Ada beberapa cara untuk mengkategorikan strategi coping yang digunakan individu
ketika menghadapi stres. Salah satu kategorisasi yang paling umum adalah
mengklasifikasikan strategi coping sebagai fokus masalah atau coping sebagai fokus
emosional. Strategi coping berfokus masalah bertujuan untuk mengubah atau menghilngkan
sumber stres, sedangkan strategi coping berfokus emosi memfokuskan pada penyesuaian
respon emosional yang ditimbulkan oleh situasi stres (Skinner, Edge, Altman & Sher wood)
(dalam Muhonen & Torkelson, 2011).
Menurut Pergament (dalam Zalfa, 2009) beberapa hal yang menjadi sumber coping
meliputi hal-hal yang memiliki pengaruh terhadap pemilihan seseorang atas strategi coping
tertentu. Hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Materi (seperti makanan, uang).


2. Fisik (seperti vitalitas dan kesehatan).
3. Psikologis (seperti kemampuan problem solving).
4. Sosial (seperti kemampuan interpersonal, dukungan sistem sosial).
5. Spiritual (seperti perasaan kedekatan dengan Tuhan).

F. Mekanisme Pertahanan Diri


Teori Freud secara gamblang menjelaskan tentang mekanisme pertahanan diri sebagai
bentuk dari ketidaksadaran individu dalam menghadapi realita. Secara singkat bentuk-bentuk
mekanisme pertahanan diri yaitu :
1. Represi. Didefinisikan sebagai upaya individu untuk menghilangkan frustrasi, konflik
batin, dan bentuk-bentuk kecemasan lain yang ada dalam dirinya.
2. Denial. Diartikan sebagai individu yang selalu menyangkal kenyataan tidak
menyenangkan yang terjadi dalam dirinya.
3. Proyeksi. Individu melakukan proyeksi dengan mengalihkan perbuatan tidak
menyenangkan atau kekeliruan kepada orang lain. Termasuk didalamnya segala
kegelisahan dan perasaan tidak enak yang lain sebagai akibat dari perbuatan orang lain,
dengan kata lain selalu menyalahkan pihak diluar dirinya sebagai penyebab setiap
persoalan.
4. Rasionalisasi. Merupakan upaya mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial
untuk membenarkan atau menyembunyikan perilaku yang buruk.
5. Intelektualisasi. Upaya seseorang untuk menghadapi situasi yang menekan perasaannya
dengan jalan analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan analisa
intelektual yang dilakukannya ia berharap tidak terganggu dengan situasi tersebut.
6. Pembentukan reaksi. Memungkinkan seseorang untuk melarikan diri dari gangguan
perasaan atau keinginan dengan mengumpamakan kebalikan dari kejadian tersebut. Jika
seoseorang sakit hati, reaksi yang diperbuat adalah menampakkan kegembiraan, seolah-
olah tidak terjadai apa-apa dengan dirinya.
7. Introyeksi. Terjadi ketika seseorang memperoleh pendapat atau nilai-nilai orang lain,
walaupun bertentangan dengan dengan sikap/prinsip yang dipegangnya. Dengan
pertahanan ini individu menerima apa saja yang disarankan oleh orang lain tanpa ada
tanggapan dan argumentasi mengapa menerima pendapat tersebut (dalam Sigit Sanyata,
2009).
KEPUSTAKAAN

Ardi, Zadrian. 2019. Buku Ajar Kesehatan Mental. Jakarta : Ikatan Konselor Indonesia (IKI).

Carlson, N. R. 2007. Psychology, the Science of Behavior, Sixth Edition. United States of
America : Pearson Education Inc.

Kertamuda, F. & Herdiansyah H. 2009. Pengaruh Strategi Coping Terhadap Penyesuaian Diri
Mahasiswa Baru. Jurnal Universitas Paramadina. Vol.6. No.1. Hlm. 11-23.

Muhonen, T & Torkelson, E. 2011. Exploring Coping Effectiveness and Optimism among
Municipal Employees. Journal Psychology. Vol.2. No.06. Sweden : Department of
Psychology, Lund University.

Primaldhi, A. 2008. Hubungan Antara Trait Kepribadian Neuroticsm, Strategi Coping, Dan Stres
Kerja. JPS. Vol.4. No.03.

Sanyata, Sigit. 2009. Mekanisme dan Taktik Bertahan : Penolakan Realita Dalam Konseling.
Paradigma. No.08. Hlm. 35-44.

Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : Grasindo.

Zalfa, K. 2009. Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Strategi Coping pada Santri
Pondok Pesantren Nurul Huda Mergosono Malang. Skripsi Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Hlm.39-40.

Anda mungkin juga menyukai