BLOK NEOPLASIA
“BENJOLAN DI LEHER”
KELOMPOK A-9:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574
SKENARIO 2
BENJOLAN DI LEHER
Seorang laki-laki, usia 30 tahun datang ke poliklinik RS YARSI dengan keluhan
timbul benjolan di leher kanan. Teraba atau di ketahui oleh pasien sejak 3 minggu
sebelumnya. Awalnya benjolan sebesar kacang tanah dan semakin membesar 1 minggu
terakhir dengan ukuran sebesar telur puyuh. Demam, sering keringat malam hari, dan
penuruan berat badan(dari 65 kg menjadi 50kg) dialami oleh pasien. Tidak terdapat nyeri atau
kesulitan menelan. Berdasarkan pemeriksaan dokter, disebut kemungkinan pembengkakan
kelenjar getah bening dan perlu dilakukan tindakan biopsi. Setelah di biopsi didapat hasil
pemeriksaan patologi dengan suatu keganasan dengan sel dominan sel limfosit.
PERTANYAAN
1. Mengapa benjolan semakin lama semakin membesar?
2. Mengapa pasien demam, keringat malam hari serta berat badan menurun?
3. Faktor resiko dan etiologi penyakit tersebut?
4. Kenapa tidak ada nyeri menelan?
5. Pemeriksaan apa saja yang dapat dilakukan?
6. Diagnosis penyakit ini adalah?
7. Tatalaksana penyakit ini adalah?
8. Prognosis penyakit ini adalah?
9. Gejala klinis lain yang dapat di temukan selain dari skenario diatas?
10. Penyakit lain yang dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah bening?
11. Mengapa limfosit dominan?
JAWABAN
1. Karena sel pada kelenjar getah bening mengalami proliferasi. Pada kelenjar getah
bening banyak limfosit karena produksi meingkat dikarenakan adanya infeksi yang
akan mengakibatkan pembesaran kelenjar getah bening
2. Berat badan menurun karna saat sel menjadi ganas sehingga membutuhkan energi
yang banyak. Demam dikarenakan limfosit berproliiferasi yang akan mengeluarkan
sitokin sehingga menimbulkan demam. Keringat malam dikarenakan adanya
manifestasi mengeluarkan keringat karna demam.
3. Jenis kelamin, paparan kimia seperti pestisida, virus EBV, genetik
4. Karena benjolan belum menekan syaraf sehingga tidak menimbulkan rasa sakit. Tidak
terjadi gangguan menelan karena posisi kelenjar getah bening tidak menggangu
esofagus.
5. USG, CT SCAN, pemeriksaan darah, limfangiografi rontgen toraks
6. Limfoma non hodgkin dan limfoma hodgkin
7. Kemoterapi, radioterapi
8. Tergantung stadium
9. Splenomegali, invasi ke hepar, kulit skeletal
10. Limfadenitis TB
11. Karena adanya reaksi inflamasi
HIPOTESIS
Jenis kelamin, paparan kimia seperti pestisida, virus EBV serta genetik dapat
menyebabkan limfoma non hodgkin dengan gejala benjolan semakin membesar karena
adanya proliferasi sel limfosit, demam karna proses inflamasi, berat badan menurun karena
keganasan, keringat malam karena proses inflamasi, serta gejala klinis lainya seperti
splenomegali. Diagnosis dapat ditegakan dengan cara biopsi, UGS, CT SCAN dan
limfangiografi, tatalaksana dari penyakit ini kemoterapi dan radioterapi, tidak semua benjolan
dileher merupakan tanda keganasan, diagnosis banding penyakit ini adalah limfadenitis TB.
Prognosis penyakit ini tergantung pada stadium penyakitnya.
SASARAN BELAJAR
L.O 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN LIMFOMA
1.1 Definisi Limfoma
1.2 Etiologi Limfoma
1.3 Epidemiologi Limfoma
1.4 Klasifikasi Limfoma
1.5 Patofisiologi Limfoma
1.6 Manifestasi Klinis Limfoma
1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Limfoma
1.8 Tatalaksana Limfoma
1.9 Komplikasi Limfoma
1.10 Pencegahan Limfoma
1.11 Prognosis Limfoma
L.O 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN LIMFOMA
Limfoma malignum adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan
jaringan limfatik di organ lainnya. Ia merupakan salah satu keganasan system
hematopoetik, terbagi menjadi 2 golongan besar yaitu limfoma Hodgkin (HL) dan
limfoma non Hodgkin (NHL).
NON HODGKIN : Pada limfoma jenis ini penyakit berkembang dari limfosit
yang abnormal yang akan terus membelah dan bertambah banyak dengan tidak
terkontrol akibat faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau
bakteria (HIV, HCV, EBV, Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida,
pengawet dan pewarna kimia). Pembelahan yang tak terkendali dari limfosit B dan
T akibat mutasi sel menjadi sel ganas.
Faktor resiko limfoma Hodgkin adalah infeksi virus onkogenik yang diduga
berperan dalam menimbulkan lesi genetic, virus memperkenalkan gen asing ke dalam
sel target. Virus-virus ini adalah virus Epstain-barr, Sitomegalovirus, HIV dan Human
Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor resiko lain adalah defisiensi imun, misalnya pada
pasien transplantasi organ dengan pemberian obat imunosupresif atau pada pasien
cangkok sumsum tulang. Keluarga dari pasien pasien Hodgkin (adik-kakak) juga
mempunyai risiko untuk terjadi penyakit hodgkin.
Di negara maju Eropa dan Amerika, insiden HL memiliki dua puncak usia.
Puncak pertama pada segmen usia 20 – 30 tahun, di antaranya yang dominan adalah
jenis nodular sklerotik, puncak kedua pada usia di atas 50 tahun. Di negara
berkembang termasuk China, kurva insiden-usia untuk HL tidak menunjukkan puncak
pertama, tapi terdapat peningkatan mencolok insiden anak pria yang menderita HL
jenis sel campur dan HL jenis deplesi limfosit. HL pediatric 85% terjadi pada anak
pria; di antara HL jenis nodular sclerosis pada dewasa, penderita wanita agak lebih
banyak dari pria; sedangkan pada HL jenis lain pada dewasa, proporsi penderita pria
jauh lebih tinggi dari penderita wanita,Insiden NHL kurang lebih 8 kali lipat HL.
Limfoma sel limfosit kecil terutama terjadi pada lansia; limfoma limfoblastik
terutama pada remaja pria dan dewasa muda; limfoma sel folikular terutama pada
setengah bawa; limfoma burkitt terutama pada anak dan dewasa muda.
Karakteristik Hl klasik adalah terdapatnya sel Reed Sternberg klasik atau sel
Hodgkin berinti tunggal dalam jaringan neoplasia, sel tumor berekspresi
imunologik CD30 positif, CD15 juga umumnya positif. Berdasarkan jumlah
sel limfosit kecil, sel granulosit eosinofilik, netrofilik, histiosit, sel plasma,
fibroblas dan serat kolagen dan karakteristik sebuka reaktif lain di latar
belakangnya dan morfologi sel HRS, HL klasik dapat dibagi menjadi 4 subtipe
histologik: HL klasik kaya sel limfosit, HL nodular sklerosis, Hl sel campuran
dan HL deplesi limfosit. Kesemua subtipe histologik ini memiliki ekspresi
imunologik dan ciri genetik sama, tapi karakteristik klinis mereka dan
hubungannya dengan Ebv tidak sama. Jenis ekspresi imunologik: CD30+,
CD15+ (75-85%), CD20+/-, CD79α-, BCL6-, CD45, EMA-, ALKI, LMP1+/-.
Ciri genetik: dapat ditemukan rearansemen gen Ig.
1. Limfoma Hodgkin klasik kaya limfosit (LRCHL): kaya sel limfosit kecil, latar
belakang tidak terdapat granulosit netrofilik dan granulosit eosinofilik difus
maupun sel HRS sporadis seperti karakteristik HL klasik. Terutama mengenai
kelenjar limfe superfisial, jarang ditemukan mengenai kelenjar limfe
mediastinal maupun membentuk massa limfatik besar.
Perjalanan
Jenis Gambaran Mikroskopik Kejadian
Penyakit
Neoplasia jaringan limfoid dalam klasifikasi WHO tahun 2001 dibagi menjadi
3 golongan besar: neoplasia sel B, neoplasia sel T dan sel NK, dan limfoma
Hodgkin.
Banyak neoplasia jaringan limfoid dapat tampil sebagai limfoma dan lekemia,
misalnya lekemia limfositik kronis sel B dan limfoma limfosit kecil, limfoma
limfosit kecil, limfoma limfoblastik dan lekemia limfoblastik, limfoma Burkitt
dan lekemia Burkitt. Oleh karena itu, klasifikasi WHO mencakup limfoma dan
lekemia limfostitik. Pada dua golongan besar yaitu neoplasia sel B dan sel
T/NK dapat dibagi lagi menurut derajat diferensiasi sel tumor menjadi
neoplasia sel prekursor dengan tahap diferensiasi paling awal dan neoplasia
sel perifer atau matur dengan tahap diferensiasi lebih matur. Kedua golongan
besar limfoma non-Hodgkin itu memiliki banyak entitas penyakit, setiap
entitas penyakit memiliki epidemiologi, etiologi dan ciri klinisnya yang khas,
mereka sering kali bereaksi berbeda terhadap terapi. Dokter patolog dan klinis
harus memahami lingkup perubahan morfologis dan perilaku klinis setiap
entitas tersebut, melakukan diskusi mulitidisipliner agar dapat menegakkan
diagnosis tepat subtipe tertentu.
Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg
yang bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel Reed-
Sternberg adalah suatu sel besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda
(binucleated), berlobus dua (bilobed), atau berinti banyak (multinucleated)
dengan sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak jelas di dalam inti
sel adanya anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti “mata burung hantu”
(owl-eyes), yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.5
(a) (b)
Gambar 1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed
Sternberg dan (b) Limfoma Non Hodgkin
1.5 Patofisiologi Limfoma
Pada umumnya limfoma berasal dari sel B pada germinal center atau post-
germinal center. Sel B yang normal pada germinal center dapat mengalami
immunoglobulin class switching (jadi misalnya tadinya dia bisanya cuman ngasilin
IgM, kalo di germinal center dia bisa ngasilin IgA juga), karena proses ini dan
kesalahan hipermutasi somatik pada sel B, membuat sel B pada germinal center
mempunyai resiko tinggi mengalami mutasi.
Neoplasma pada limfoid dapat mengganggu fungsi normal imunitas tubuh, dapat
terjadi imunodefisiensi ataupun autoimun.
LIMFOMA HODGKIN (LH)
Limfoma Hodgkin merupakan limfoma yang berasal dari sel B. limfoma Hodgkin.
Lebih tepatnya pada limfoma Hodgkin hanya terdapat 1-2% sel B yang pada limfoma
dikenal sebagai Reed-Sternebg Cell (RS). Selain sel RS, pada limfoma terdapat respon
imun yang berlebihan. Sel RS secara genotip memiliki gen immunoglobulin, tetapi secara
fenotip sel RS tidak memiliki ciri khas dari sel B dan lebih sering menekspresikan gen
yang terekspresikan di sel T, makrogag dan sel dendrit.
Target utama EBV adalah sel limfosit B. Saat limfosit B terpapar oleh EBV, sel akan
mengalami pertumbuhan yang terus menerus (Jawetz). 20-40% pasien di Asian dan
Amerika Selatan lebih dari 70% Limfoma Hodgkin ditemukan positif terinfeksi EBV.
Pada LH dengan EBV positif, infeksi laten terhadap limfosit B dicanangkan sebagai awal
mula transformasi terjadi. EBV dapat merubah sinyal pertahanan hidup (survival signal)
yang biasanya di hasilkan oleh B-Cell Receptor (BCR) saat reaksi pada germinal center.
Selanjutnya sel B yang sekarang jadi defisiensi BCR, kabur dari jalur apoptosis normal.
Pathogenesis EBV: dapat ditularkan dari saliva yang terinfeksi, awal mulanya infeksi
pada orofaring. Replikasi firus terjadi pada sel epitel atau permukaan limfosit B pada
faring dan kelenjar saliva. Sel B yang terinfeksi menyebar dari orofaring ke seluruh
tubuh. (Jawetz)
HLA kelas I dan II mempresentasikan antigen EBV pada system imun, pada pasien
positif EBV diperkirakan ini merupakan proses yang penting. Pada HLA kelas II
dikaitkan dengan peningkatan dan penarikan(?) sel inflamasi dan dapat memengaruhi LH.
Pathogenesis yang menghubungkan LH dengan HLA dimulai dari HLA yang
mempresentasikan antigen kepada CD4+ sel limfosit Th. HLA yang mempresentasikan
antigen ini meningkatkan jumlah limfosit, limfosit memberikan respon imun. Limfosit
pada komponen inflamasi diperkirakan esensial dalam pathogenesis terjadinya LH.
Genetik
Pada penyakit Hodgkin, tidak terdapat adanya lesi genetic. Sel-selnya tetapi
aneuploid, sel RS mempunyai 28 copy kromosom. Sel dapat memiliki mutase p53,
evidence dari EBV 30-60% kasus.
1.6 Manifestasi Klinis Limfoma
Baik tanda maupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Manifestasi Klinis dari Limfoma
Limfoma Hodgkin Limfoma Non-
Hodgkin
Asimtomatik Asimtomatik
limfadenopati limfadenopati
Gejala sistemik Gejala sistemik
(demam intermitten, (demam intermitten,
keringat malam, BB keringat malam, BB
Anamnesis turun) turun)
Nyeri dada, batuk, Mudah lelah
napas pendek Gejala obstruksi GI
Pruritus tract dan Urinary
Nyeri tulang atau tract.
nyeri punggung
Teraba pembesaran Melibatkan banyak
limonodi pada satu kelenjar perifer
kelompok kelenjar Cincin Waldeyer dan
(cervix, axilla, kelenjar mesenterik
inguinal) sering terkena
Cincin Waldeyer & Hepatomegali &
kelenjar mesenterik Splenomegali
Pemeriksaan jarang terkena Massa di abdomen
Fisik Hepatomegali & dan testis
Splenomegali
Sindrom Vena Cava
Superior
Gejala susunan saraf
pusat (degenerasi
serebral dan
neuropati)
Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga dapat
ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi Costwell.
Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh
Costwell
Keterlibatan/Penampakan
Stadium
I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ
ekstralimfatik (IE)
II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2
regio yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma
yang sama (IIE)
III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi
diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau
limpa (IIIES)
IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ
ekstralimfatik
Suffi
x
A Tanpa gejala B
B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
2. Pemeriksaan fisik
1. Pembesaran KGB
2. Kelainan atau pembesaran organ
3. Performance status : ECOG atau WHO/karnofsky
3. Pemeriksaan diagnostik
a. Biopsy
1. Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif,
superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/perifer yang paling
representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Spesimen
kelenjar diperiksa:
a. Rutin: Histopatologi: sesuai kriteria REAL-WHO
b. Khusus Imunohistokimia
2. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya
dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka kombinasi
core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain (IHK, Flowcytometri dan lain-
lain) mungkin mencukupi untuk diagnosis
3. Tidak diperlukan penentuan stadium dengan laparotomi
b. Laboratorium:
1. Rutin
Hematologi:
Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED, hitung jenis
Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah. Analisis urin : urin
lengkap
Kimia klinik:
2. Khusus
Gamma GT
Serum Protein Elektroforesis (SPE)
Imunoelektroforesa (IEP)
Tes Coomb
B2 mikroglobulin
c. Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina illiaca
dengan hasil spesimen 1-2 cm
d. Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT Scan thorak/abdomen.
Bila hal ini tidak memungkinkan, evaluasi sekurang-kurangnya dapat dilakukan
dengan : Toraks foto PA dan Lateral dan USG seluruh abdomen.
e. Konsultasi THT
Bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi.
f. Cairan tubuh lain (Cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal) jika
dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, disamping
pemeriksaan rutin lainnya
g. Imunofenotyping
Minimal dilakukan pemeriksaan imunohitstokimia (IHK) untuk CD 20 dan akan lebih
ideal bila ditambahkan dengan pemeriksaan CD45, CD3 dan CD56 dengan format
pelaporan sesuai dengan kriteria WHO (kuantitatif).
h. Konsultasi jantung
Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi jantung
Diagnosis Banding
Limfadenopati harus dibedakan dari infeksi non-spesifik kelenjar limfe atau
infeksi virus, metastasis, mononucleosis infeksiosa, dll.
Setiap pembesaran kelenjar limfe dengan diameter > 1cm, diobservasi selama 6
minggu, jika tetap tidak mengecil, maka harus dilakukan biopsi.
Massa mediastinum dan hilus pulmonal tanpa limfadenopati superfisial, sering kali
perlu dibedakan dari kanker paru dan tuberculosis. Pada umumnya, massa limfoma
dapat lebih besar, progresi lebih cepat, kadang kala timbul multiple atau bilateral.
Sindrom kompresi vena kava superior sering kali tidak se-menonjol kanker paru tipe
sentral. Pemeriksaan bronkoskopi dan tomografi hilus pulmonal area mediastinum
dapat membantu membedakan antara keduanya.
1.8 Tatalaksana Limfoma
a. Pembedahan
Tata laksana dengan pembedahan atau operasi memiliki peranan yang terbatas
dalam pengobatan limfoma. Untuk beberapa jenis limfoma, seperti limfoma
gaster yang terbatas pada bagian perut saja atau jika ada resiko perforasi,
obstruksi, dan perdarahan masif, pembedahan masih menjadi pilihan utama.
Namun, sejauh ini pembedahan hanya dilakukan untuk mendukung proses
penegakan diagnosis melalui surgical biopsy.7
b. Radioterapi
Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan
limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini lebih
sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah banyak
digunakan untuk mengobati limfoma hodgkin seperti radioimunoterapi dan
radioisotope. Radioimunoterapi menggunakan antibodi monoclonal seperti
CD20 dan CD22 untuk melawan antigen spesifik dari limfoma secara
langsung, sedangkan radioisotope menggunakan 131Iodine atau 90Yttrium untuk
irradiasi sel-sel tumor secara selektif. Teknik radiasi yang digunakan
didasarkan pada stadium limfoma itu sendiri, yaitu:
Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
Untuk stadium IV secara total body irradiation
Gambar 5. Berbagai macam teknik radiasi
c. Kemoterapi
Merupakan teknik pengobatan keganasan yang telah lama digunakan dan
banyak obat-obatan kemoterapi telah menunjukkan efeknya terhadap limfoma.
Pengobatan Awal:
1. MOPP regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus atau lebih.
o Mechlorethamine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 8
o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2 hari ke 1 dan 8
o Procarbazine: 100 mg/m2, hari 1-14
o Prednisone: 40 mg/m2, hari 1-14, hanya pada siklus 1 dan 4
2. ABVD regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus
1. ICE regimen
a. Ifosfamide: 5 g/m2, hari ke-2
b. Mesna: 5 g/m2, hari ke-2
c. Carboplatin: AUC 5, hari ke-2
d. Etoposide: 100 mg/m2, hari ke 1-3
2. DHAP regimen
a. Cisplatin: 100 mg/m2, hari pertama
b. Cytarabine: 2 g/m2, 2 kali sehari pada hari ke-2
c. Dexamethasone: 40 mg, hari ke 1-4
d. Imunoterapi
Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-α, di mana
interferon-α berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun akibat
pemberian kemoterapi.
e. Transplantasi sumsum tulang
Transplasntasi sumsum tulang merupakan terapi pilihan apabila limfoma tidak
membaik dengan pengobatan konvensional atau jika pasien mengalami
pajanan ulang (relaps). Ada dua cara dalam melakukan transplantasi sumsum
tulang, yaitu secara alogenik dan secara autologus. Transplantasi secara
alogenik membutuhkan donor sumsum yang sesuai dengan sumsum penderita.
Donor tersebut bisa berasal dari saudara kembar, saudara kandung, atau
siapapun asalkan sumsum tulangnya sesuai dengan sumsum tulang penderita.
Sedangkan transplantasi secara autologus, donor sumsum tulang berasal dari
sumsum tulang penderita yang masih bagus diambil kemudian dibersihkan dan
dibekukan untuk selanjutnya ditanamkan kembali dalam tubuh penderita agar
dapat menggantikan sumsum tulang yang telah rusak.
1 Desen, Wan. 2008. Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi 2. Jakarta: FKUI
2 Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009 ; 2773-2779
3 Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th Edition. Philadelphia:
Elsevier & Saunders Dessain, S.K. 2009. Hodgkin Disease. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/201886-overview.
4 Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant Lymphoma. Swiss Med
Wkly (134) : 472-480.
5 Price, S.A dan Wilson, L.M. 2005. “Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease
Processes, Sixth Edition”. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari dan Mahanani.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC
6 Vinjamaram, S. 2010. Lymphoma, Non-Hodgkin. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview.
7 Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen A.M. 2001. Jawetz, Melnick and Adelbergs,
Mikrobiologi Kedokteran, Alih Bahasa oleh Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E.B.,
Mertaniasih, N.M., Harsono, S., dan Alimsardjono, L. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
8 Insanilhusna, Roza. 2010. Tinjauan Pustaka Limfoma Maligna. Dilihat 1 April 2018
https://www.scribd.com/doc/102667843/Limfoma-Maligna
9 Chabner, Bruce E et al. 2013. Harrison's Manual of Oncology. Mc-Graw Hill
10 Kementerian Kesehatan RI. 2015. Panduan Nasional Penanganan Limfoma Non-
Hodgkin. Jakarta.
11 Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Data dan Kondisi Penyakit
Limfoma di Indonesia. Jakarta.