Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

SNAKE BITE

Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Persyaratan Dokter Internship

oleh

dr. Chandra Ristiadi

Pembimbing:

dr. Narti

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR

KABUPATEN KARANGANYAR

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

Snake Bite

Karanganyar, April 2019

Mengetahui :

Pembimbing Internship

dr. Narti

(NIP :19611162010012005)

2
Berita Acara Presentasi Portofolio

Pada hari ini hari Kamis, tanggal April 2019 telah dipresentasikan portofolio
oleh:

Nama : dr. Chandra Ristiadi

Judul/ topik : Snake Bite

No. ID dan Nama Pendamping : dr. Narti

No. ID dan Nama Wahana : RSUD Karanganyar

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan

1. 1.

2. 2.

3. 3.

4. 4.

5. 5.

6. 6.

7. 7.

8. 8.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

dr. Narti

NIP : 19611162010012005

BAB 1

LAPORAN KASUS

3
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. BI
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 50 tahun
Alamat : Ngiri 5/7 Sapen Mojolaban
Tanggal Masuk : 10 maret 2019
No RM : 462732

ALLOANAMNESIS
Diberikan oleh : Pasien sendiri
Keluhan Utama : Nyeri pada betis kanan

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan keluhan utama nyeri
pada betis kanan setelah digigit ular 1,5 jam SMRS. Pasien mengatakan bahwa
ular yang menggigitnya berwarna coklat . Kejadian terjadi saat pasien memancing
di pinggir sungai. Setelah digigit, pasien menemukan sepasang bekas gigitan
taring pada betis kanannya yang dalam beberapa menit menghitam dan daerah
sekitar gigitan menjadi bengkak. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala, badan
lemas, mual dan muntah sebanyak 3 kali selama perjalanan ke RS. Keluhan
jantung berdebar, menggigil, pandangan kabur dan mimisan disangkal oleh
pasien. Sebelum ke RS pasien mengikat betis kanannya dengan kain.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat digigit ular sebelumnya (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)

Alergi Obat

4
Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS 15
Vital Sign
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 82 kali permenit
Nafas : 20 kali permenit
Suhu : 36,8oC

Skala nyeri : 8

Kulit : Teraba hangat, turgor baik, sianosis (-), pucat (-)


Kepala : Edema palpebra (-/-) , perdarahan konjunctiva (-/-), pupil
isokor 2mm/2mm, reflek cahaya +/+, Konjunctiva anemis (-/-), paralisis otot
wajah (-/-)
Leher : Dalam batas normal
Thorax :
 Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
 Palpasi : Vokal fremikus simertis normal kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
 Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), rongki (-/-) ,Wheezing(-/-).
Bunyi jantung I dan II normal.Murmur (-), galoop (-).

5
Abdomen :
 Inspeksi : Tampak datar
 Auskultasi : Bising usus normal
 Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrium (-)
 Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral teraba hangat, CRT < 2 detik, ptekie (-)
Anus dan Genitalia : Tidak diperiksa
Status lokalis :
Regio cruris dextra :
- Tampak sepasang tanda gigitan taring ( fang marks)
- Bengkak dan merah di sekitar gigitan (+), nekrotik(+), bulla (-)
- Nyeri (+) jika disentuh
- Perdarahan aktif (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Darah
 Hemoglobin : 15,7 gr %
 Hematokrit : 44,7 %
 Leukosit : 5.900 / mm3
 Trombosit : 187.000 / mm3
 Creatinin : 1,0 mg/dl
 Ureum : 16 mg/dl
 SGOT : 38 U/L
 SGPT : 41 U/L
 GDS : 96 mg/dl
DIAGNOSA KERJA : Snake Bite
Terapi
Non medikamentosa :

6
 Tenangkan pasien, minta pasien untuk tidak panik
 Immobilisasi daerah yang terkenan gigitan ular dengan ikatan kain,
meminta pasien untuk tidak banyak bergerak

Medikamentosa :
 Pembersihan luka dengan larutan antiseptik
 IVFD Nacl 0,9 % 500 cc + drip antibisa ular polivalen 2 vial dengan kecepatan
tetesan 40 tpm
 Injeksi ketorolac 25 mg iv
 Injeksi ranitidine 50 mg iv

Prognosis : Dubia Ad Bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

7
1. Definisi Snake Bite
Gigitan ular (Snake Bite) adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari
ular baik ular berbisa ataupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan ular tersebut
dapat menyebabkan kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
a.       Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular
b.      Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar
c.       Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan
d.      Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi.1

2. Jenis ular dan identifikasi2


Tidak semua spesies ular memiliki bisa sehingga pada kasus gigitan ular
perlu dibedakan atas gigitan ular berbisa atau gigitan ular tidak berbisa.
Ular berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar,
yaitu taring, pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini
mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa
dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari korban. Selain melalui taring,
bisa dapat juga disemburkan seperti pada ular kobra yang meludah dapat
memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang
diarahkan pada mata korban. Efek toksik bisa ular pada saat menggigit
mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan
efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit),
serta banyaknya serangan yang terjadi.
Dari ribuan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa,
dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh
dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya
sekitar 250 spesies.

8
Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke
dalam 4 familli utama yaitu:
1.    Familli Colubridae, kebanyakan ular berbisa masuk dalam famili ini,
misalnya ular pohon, ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis
pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis
geminatus). Pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah.
2.    Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen misalnya ular
cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok
(Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah), ular welang,
ular anang dan ular cabai.

9
3.    Familli Crotalidae/ Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal
dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang
menyerang mangsanya.Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae

10
dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa
berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan
mata.misalnya adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris), ular hijau dan ular bandotan puspo.

11
4.    Familli Hydrophidae, misalnya ular laut.
Ketiga family ular berbisa yang disebutkan terakhir ini memiliki jenis bisa
kuat yang terdapat di Indonesia.

12
Ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun,
beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna,
kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri
ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan
pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.

Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa

13
Tidak berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
Besar ular Sangat bervariasi Sedang
Pupil ular bulat Elips
Ekor ular Bersisik ganda Bentuk sisik tunggal
Agresifitas Mematuk berulang dan Mematuk 1 atau 2 kali
membelit sampai tidak  berdaya

3. Bisa Ular3,4,5,7
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik5.
Berdasarkan patofisiologis yang dapat terjadi pada tubuh korban, efek bisa
ular/ sifat bisa ular dapat dibedakan menjadi:
a.       Bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem
pembuluh darah. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular
yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga
sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b.      Bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak. Yaitu
bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati
dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik).
Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat

14
dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan
jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.
c.       Bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang
atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar.
Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak
gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya.
Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat
memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.

Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan


bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase
telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan
penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu
efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat
venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan
cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya
berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi. Efek
blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma.

15
Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis
disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.

4. Tanda Dan Gejala Gigitan Ular Berdasarkan Jenis Ular 5,6,7,8


A.    Gigitan Elapidae
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,
kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
3. Setelah digigit ular
a.       15 menit : muncul gejala sistemik
b.      10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga
sukar berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit
dingin, muntah, pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut.
Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
 

B.     Gigitan Viporidae/Crotalidae


Enzim prokoagulan viperidae dapat menstimulasi pembekuan darah namun
menyebabkan penurunan koagulasi darah. Contohnya racun Russell viper

16
mengandung beberapa prokoagulan yang mengaktifasi kaskade pembekuan
darah. Hasilnya menyebabkan pembentukan fibrin dalam darah. Yang
kemudian didegradasi oleh system fibrinolitik tubuh, sehingga system
fibrinolitik tubuh jumlahnya berkurang karena konsumsi tersebut atau
consumption coagulopathy. Efek racun viper yang lain menyebabkan efek
lokal yang hebat seperti nyeri, bengkak, bula, bengkak, nekrosis dan
kecenderungan perdarahan sistemik.
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

C.     Gigitan Hydropiridae


1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot,

17
mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting
untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung.

5. Diagnosa9,10,11
A.    Anamnesis
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan
tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular
(misalnya, adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda
envenomasi lokal.
2. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama
waktu berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di
rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan
sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah
diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan
ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah
persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular
berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa),
bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air
tawar), ular laut (laut atau air payau).
3. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan
dijauhkan dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil
ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang
ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut
berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan
ular sama sekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari
rumah sakit.

18
4. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang
terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah.
Pasien yang mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan
pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah
terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin
sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak
mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan
menandakan telah beredarnya neurotoksin.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Tanda Vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari
tanda bekas gigitan oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada
waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang
digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya
dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi
kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular
akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa
yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara
lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan
lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh,
infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari
famili Viperidae). Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses

19
j. Nekrosis

Tanda dan gejala sistemik2 :


a.       Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b.      Kardiovaskuler (viperidae)
Gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema
paru, edema konjunctiva (chemosis)
c.       Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan
yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah
menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik
spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari
perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan
cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan

20
pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa
(misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis),
serta perdarahan retina.

d.      Neurologis (Elapidae, Russel viper)


Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi
nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung,
kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e.       Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and
B. candidus, western Russell’s viper Daboia russelii)
Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.

21
f.       Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual,
nyeri pleura, dan lain-lain)
g.      Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism

6. Penatatalaksanaan 13,14,15
1. Pertolongan pertama
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan
racun (bisa ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Hal-hal yang harus dilakukan antara lain :

22
a.       Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap
b.      Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat dengan
kain (untuk memperlambat penyerapan racun)
c.       Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan racun
yang bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan yang
menyebabkan nekrosis
d.      Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi,
kompres dengan es, ataupun pemberian obat apapun
e.      Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di
proksimal lesi)
f.       Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi 3

2.  Perawatan Di Rumah Sakit


Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain :
a.       Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC (airway,
breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring tanda vital
b.      Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan
c.       Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu
terjadinya gigitan dan jenis ular
d.      Lakukan pemeriksaan fisik :

23
-          Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks), walaupun
terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun nekrosis
-          Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya kompartemen
sindrom)
-          Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva,
perdarahan di tempat gigitan)
-          Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis bulbar,
hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
-          Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
-          Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
e.       Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes fungsi
ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
f.       Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika
merupakan indikasi
g.      Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit adalah
jenis ular yang tidak berbisa)
3. Terapi Dengan Anti Venom12
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom.
Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini
dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek
lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam.
Indikasi pemberian anti venom antara lain :
a.      Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100000)
b.      Neurotoksisitas
c.       Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d.      Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e.       Gagal ginjal akut
f.      Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas,
atau bengkak yang membesar dengan cepat

24
g.     Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis,
peningkatan enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri.

Pilihan Anti Venom:


a.      Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik
(monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit
b.      Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan
untuk memperkirakan jenis ular :
-          Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular kobra/elapidae
-          Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/
viperidae
c.       Anti venom polivalen jika belum jelas
Dosis Dan Cara Pemberian
Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari
pabrik yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
a.       Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b.      Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan isotonic (5-
10 ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa larutkan dalam 500
ml) dan infus seluruhnya dalam 1 jam
c.       Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang
direkomendasikan belum habis
d.      Jangan lakukan uji sensitivitas
e.       Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f.       Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi jika
terjadi reaksi alergi
g.      Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose 5% dapat
diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang
setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau
bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100
ml). Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan
intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih

25
besar daripada dosis untuk dewasa. Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml
secara infiltrasi di sekitar luka dan 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau
intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita
harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat
pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way
(Depkes, 2001):
 Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
 Derajat II: 3-4 vial SABU
 Derajat III: 5-15 vial SABU
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pedoman terapi SABU menurut Schwartz dan Way (Depkes, 2001):

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Ukuran zona edema/ Gejala sistemik
eritemato kulit (cm)

0 0 + +/- < 3 cm/ 12 > 0

I +/- + + 3 – 12 cm/ 12 jam 0

II + + +++ >12-25 cm/ 12 jam Neurotoksik, mual,


pusing, syok

III ++ + +++ >25 cm/ 12 jam ++


Syok, petekia, ekimosis

IV +++ + +++ < ekstremitas ++


Gangguan faal ginjal,
koma, perdarahan
Pedoman terapi SABU menurut Luck :
 Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
 Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
 Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu
pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi
pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.

26
 Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah
untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita
dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu
setelah gigitan
 Terapi suportif lainnya pada keadaan :
 Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
 Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen,
vitamin K, tranfusi trombosit
 Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
 Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
 Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
 Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
 Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali
dengan sulfas atropin
 Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
 Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari
penggunaan obat – obatan narkotik depresan
 Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai
adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
5. Reaksi Anti Venom
Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin
terjadi :
a.       Reaksi anafilaktik tipe cepat
-          Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
-          Gejala meliputi : gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi hingga
reaksi anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan udema
laring

27
-          Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan
adrenalin IM (0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2
mg/kg), dan cairan resusitasi
-          Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan namun
dengan dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b.      Reaksi pirogenik
-          Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam anti
venom
-          Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
-          Tatalaksana seperti pada kasus diatas
-          Bila demam dapat diberikan parasetamol
c.       Reaksi tipe lambat
-          Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
-          Gejala serum like illness : demam, atralgia, limfadenopati
-          Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 5 dosis
-          Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari
6. Terapi Suportif
a.       Bersihkan luka dengan antiseptik
b.      Analgesik
c.       Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d.      Pemberian Anti Tetanus
e.       Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal
dingin, dan paresis
f.       Buang jaringan nekrosis
g.      Atasi keadaan gagal ginjal akuT

7.  Kesalahan Dalam Penatalaksanaan

a.    Memberikan anti venom pada semua kasus gigitan ular


Tidak semua gigitan ular membutuhkan anti venom, kira-kira 30% dari
gigitan ular kobra, dan 50% karena ular tanah tidak memerlukan anti

28
venom. Selain mahal, anti venom dapat menyebabkan reaksi anafilaktik
yang serius pada pasien. Sebaiknya anti venom hanya diberikan pada pasien
dimana manfaatnya lebih besar dari pada resikonya
b.      Menunda memberikan anti venom
Anti bisa ular harus diberikan sesegera mungkin, bahkan pada pusat
pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap
c.       Pemberian anti venom polivalen pada semua jenis gigitan ular
Anti bisa ular yang polivalen tidak dapat mencakup semua jenis ular. Selalu
perhatikan label dari pabrik saat hendak menggunakan
d.      Pemberian dosis yang lebih kecil pada anak-anak
Dosis berdasarkan jumlah racun yang masuk, bukan berdasarkan berat
badan
e.       Pemberian terapi pendahuluan dengan kortikosteroid atau antihistamin
Terapi ini diberikan pada meraka yang mendapat terapi anti bisa ular, karena
gigitan ular tidak menyebabkan reaksi alergi.

29
BAB III

PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien ini adalah snake bite. Diagnosis tersebut didukung
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis pada pasien ini didapatkan
keluhan utama nyeri pada betis kanan setelah digigit ular 1,5 jam SMRS. Pasien
mengatakan bahwa ular yang menggigitnya berwarna coklat. Kejadian terjadi saat
pasien memancing di pinggir sungai. Setelah digigit, pasien menemukan sepasang
bekas gigitan taring pada betis kanannya yang dalam beberapa menit menghitam
dan daerah sekitar gigitan menjadi bengkak. Pasien juga mengeluhkan sakit
kepala, badan lemas, mual dan muntah sebanyak 3 kali selama perjalanan ke RS.
Keluhan jantung berdebar, menggigil, pandangan kabur dan mimisan disangkal
oleh pasien.

Dari anamnesis didapatkan informasi tentang adanya gigitan ular dan jenis
ular yang menggigit serta ditemukan gejala local dan sistemik. Menurut literatur,
informasi mengenai jenis ular yang menggigit sangat penting untuk rencana
tatalaksana dan gejala local dan sistemik yang ditemukan pada pasien ini sesuai
dengan literatur snake bite.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan TTV dalam batas normal, skala nyeri 8
dan pemeriksaan kepala, leher, thoraks, dan abdmen dalam batas normal. Pada
status lokalis regio cruris dextra ditemukan tanda gigitan taring (fang marks),
bengkak dan merah di sekitar gigitan, nekrotik (+), dan nyeri (+).

Menurut literature, tanda dan gejala local pada daerah gigitan ular yang
dapat ditemukan antara lain tanda gigitan taring (fang marks), nyeri local,
inflamasi, nekrosis. Tanda dan gejala tersebut ditemukan pada pasien ini, sehingga
sesuai dengan literature.

30
Pada pasien ini telah diberikan penatalaksanaan Awal di IGD RSUD
Karanganyar, berupa pembersihan luka dengan larutan antiseptic, pemasangan
IVFD NaCl 0,9 % 500 cc + drip antivenom polivalen 2 vial ( 10 ml) dengan
kecepatan tetesan 40 tpm, pemberian injeksi ketorolac 25 mg untuk mengatasi
nyeri dan pemberian injeksi ranitidine 50 mg iv . Selain itu pasien juga dberikan
penjelasan dan edukasi untuk tidak panic dan tidak banyak bergerak.
Menurut literature, dosis dan cara pemberian antivenom polovalen yang
direkomendasikan adalah dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau
Dextrose 5% dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per
menit, lalu diulang setiap 6 jam. Maka pemberian terapi pada pasien ini sudah
sesuai dengan literature. Pembersihan luka dan pemberin analgetik pada pasien ini
merupakan terapi suportif yang menurut literatut sudah tepat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta Depkes. 2001.
Penatalaksanaan gigitan ular berbisa.
2. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
3. Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and
Critical Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
4. Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
5.Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
6. Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current
Concept Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1,
2002
7. Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular.
Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
8. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran
A, et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and
Modelling Based on Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med
5(11): e218. doi:10.1371/journal.pmed.0050218
9. SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke
from : www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
10. Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan
Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id
11. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
12. Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience
From Gulu Regional Hospital Uganda.

32
13.   Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in
the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for
Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
14. Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes.
BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244.
www.bmj.com.
15. WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South
East Asia Region.

33

Anda mungkin juga menyukai