Anda di halaman 1dari 4

a.

Kehidupan Politik
Dalam catatan sejarah Indonesia, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan
terbesar pertama yang memiliki pengaruh kuat di Asia Tenggara. Sriwijaya
menguasai dan mengontrol seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara, baik yang
melalui Selat Sunda, Malaka, Karimata, dan Tanah Genting Kra. Di samping itu,
Sriwijaya juga berhasil menguasai daerah Indonesia sebelah barat, Semenanjung
Melayu, dan bagian selatan Filipina. Oleh karena itu, Sriwijaya disebut juga Kerajaan
Thelasocrasi, yakni kerajaan yang berhasil menguasai pulau-pulau di sekitarnya.
Kebesaran Sriwijaya seperti yang pernah diceritakan para penulis Arab dan
Cina itu tak pernah lengkap dan utuh. Raja-raja yang pernah memerintah di sana
hanya diketahui tiga nama saja. Sementara itu, bukti-bukti sejarah menunjukkan
Kerajaan Sriwijaya berusia cukup panjang, sejak abad ke-7 hingga abad ke-14. Ketiga
nama raja itu ialah Raja Dapunta Hyang, Raja Balaputradewa, dan Raja Sanggrama
Wijayattunggawarman.
Setelah itu, nama Sriwijaya tenggelam. Selanjutnya, penjelasan mengenai
Sriwijaya diperoleh dari sumber yang berasal dari tahun 1477. Penjelasan itu
menerangkan bahwa Raja Majapahit mengirimkan tentaranya untuk menaklukan raja-
raja Sumatera yang memberontak terhadap kekuasaan Majapahit. Salah satu di
antaranya ialah Raja Sriwijaya. Dengan ditaklukannya Kerajaan Sriwijaya oleh
Majapahit maka berakhirlah riwayat kerajaan itu.

1) Dapunta Hyang Sri Jayanasa (pertama)

Beliau adalah pendiri kerajaan Sriwijaya. Berita mengenai raja ini diketahui
melalui Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta
Hyang telah berhasil memeperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi,
yaitu dengan menduduki daerah Minangatamwan. Daerah ini memiliki arti yang
sangat strategis dalam bidang perekonomian, karena daerah ini dekat dengan jalur
perhubungan pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Sejak awal pemerintahannya,
Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi Kerajaan
Maritim.

2) Balaputera Dewa. ( terbesar)

Pada awalnya, Raja Balaputra Dewa adalah raja dari kerajaan Syailendra (di
Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra antara Balaputra
Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti
Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja
Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru
(kakek dari Raja Balaputra Dewa) yang tidak memiliki keturunan, sehingga
kedatangan Raja Balaputra Dewa di Kerajaan Sriwijaya disambut baik.

Kemudian, ia diangkat menjadi raja. Pada masa pemerintahan Raja Balaputra


Dewa, Kerajaan Sriwijaya berkembang semakin pesat. Raja Balaputra Dewa
meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat Sriwijaya. Di samping itu,
Raja Balaputra Dewa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang berada di
luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India,
seperti Kerajaan Benggala (Nalanda) maupun Kerajaan Chola. Bahkan pada masa
pemerintahannya, kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan penyebaran
agama Budha di Asia Tenggara

3) Sri Sanggarama Wijayatunggawarman (terakhir)

Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya dikhianati dan diserang oleh kerajaan Chola.
Sang raja ditawan dan baru dilepaskan pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di
Chola. b. Wilayah kekuasaan Setelah berhasil menguasai Palembang, ibukota
Kerajaan Sriwijaya dipindahakan dari Muara Takus ke Palembang. Dari Palembang,
Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di sekitarnya
seperti Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional,
Jambi Hulu yang terletak di tepi Sungai Batanghari dan mungkin juga Jawa Barat
(Tarumanegara).

b. Kehidupan Sosial
Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta merupakan
pusat agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha yang
berkembang di Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha Mahayana. Menurut berita dari
Tibet, seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) untuk
belajar agama Budha dari seorang guru bernama Dharmapala. Menurutnya, Sriwijaya
merupakan pusat agama Budha di luar  India. I-tsing menerangkan bahwa pendeta-pendeta
Cina datang ke Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan menyalin kitab-kitab agama
Budha. Tingginya kedudukan Sriwijaya sebagai pusat perkembangan agama Budha terlihat
dari datangnya pendeta Tantris yang bernama Wajrabodhi. Meskipun demikian, tidak
menutup kemungkinan, bahwa penduduk yang beragama Hindu terdapat pula di Sriwijaya.
Prasasti Talang Tuo isinya menyebutkan tentang pembuatan kebun Sriksetra atas perintah
Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai suatu pranidhana. Di samping itu, terdapat doa dan
harapan yang menunjukkan sifat agama Buddha. Sebaliknya, prasasti Karang Berahi, prasasti
Telaga Batu, dan prasasti Palas Pasemah umumnya berisi doa, kutukan, dan ancaman
terhadap orang yang melakukan kejahatan dan tidak taat pada peraturan Raja Sriwijaya.
c. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam.
Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah
menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan
menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari
Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang
meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan.
Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh
dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal¬kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan
milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah,
buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian.

d. Kehidupan Budaya
Kehidupan Budaya kerajaan sriwijaya Tonggak kehidupan budaya masyakarat
Sriwijaya yang sangat dibanggakan adalah pada saat Sriwijaya menjadi pusat
pengajaran ajaran Buddha di Asia Tenggara. Para pendeta yang berasal dari wilayah
sebelah timur Sriwijaya, seperti Cina dan Tibet banyak yang menetap di Sriwijaya.
Tujuan mereka adalah belajar ajaran Buddha sebelum mereka belajar di tanah asal
lahirnya ajaran itu (India). Pada tahun 1011– 1023, datang seorang pendeta Buddha
dari Tibet untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama Buddha di Sriwijaya.
Pendeta itu bernama Atisa dan menerima bimbingan langsung dari guru besar agama
Buddha di Sriwijaya, yaitu Dharmakitri.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah


Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya
merupakan kerajaan maritim yang selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat
dalam kurun waktu yang lama. Prasasti dan situs yang ditemukan di sekitar Palembang, yaitu
Prasasti Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684
M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan
Situs Tanjung Rawa.

Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi,


Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi
Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu,
Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi. Di Lampung, prasasti yang
ditemukan adalah  Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau,
ditemukan Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha

e. Faktor pendorong dan penghambat perkembangan


Faktor-faktor pendorong perkembangan Kerajaan Sriwijaya :
• Keberhasilan Kerajaan Sriwijaya menguasai perairan yang strategis.
• Semakin pesatnya perkembangan perdagangan yang dilakukan India dan Cina melalui Selat
Malaka membuat posisi Sriwijaya semakin penting
• Keruntuhan Kerajaan Fu-Nan sehingga kerajaan Fu-Nan di Asia Tenggara digantikan oleh
Sriwijaya. Prasasti Telaga Batu, berisi tentang kutukan.
Faktor-faktor penyebab kemunduran Kerajaan Sriwijaya :
• Adanya serangan dari Jawa atas pimpinan Dharmawangsa
• Adanya serangan dari Kerajaan Colamandala (India)
• Mundurnya perekonomian dan perdagangan Sriwijaya karena bandar-bandar penting
melepaskan diri dari Sriwijaya
• Adanya serangan dari Kerajaan Majapahit
• Munculnya kerajaan Samudra Pasai yang mengambil alih pengaruh Sriwijayadi selat
Malaka.

Faktor runtuhnya Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut.

 Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan
sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar
Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
 Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis
lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional.
Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep
dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis
daripada Palembang.
 Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan.
Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya
terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian
timur dan Sriwijaya di bagian barat.
 Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh
Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menyebabkan utusan
yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh
Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas pusat
Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030.
Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara
bertakhta di Singasari juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya,
namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya dengan pendudukan atas wilayah
Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah pendudukan oleh Majapahit dalam
usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377).

Anda mungkin juga menyukai