Anda di halaman 1dari 27

PERMASALAHAN KEPEMIMPINAN BIROKRASI

DAN SOLUSINYA (STUDI KASUS PADA DINAS


PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN
PENYELAMATAN DKI JAKARTA)

Disusun Oleh:

ANDI PUTRI DJOHAR TENRI WARU BC191110269


AGUS MU’ALLIM BC191110081
AHMAD TALHIS BC191110275

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU ADMINISTRASI
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN MANAJEMEN STIAMI
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam semoga dilimpahkan


atas Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya.

Berkat limpahan rahmat dan karuniaNya yang tidak terhingga


penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Permasalahan
Kepemimpinan Birokrasi dan Solusinya (Studi Kasus Pada Dinas
Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta).

Penyusunan makalah ini dilakukan untuk memenuhi salah satu


tugas mata kuliah “Teori Administrasi Publik Lanjutan” Program Magister
S2 Administrasi Publik, Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI,
Jakarta.

Terima Kasih kami haturkan kepada berbagai pihak yang telah


memberi dukungan, bimbingan, petunjuk dalam penyusunan makalah ini
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna baik
dari segi penulisan maupun isinya. Apabila terdapat kesalahan dan
kekurangan, kami sangat menerima saran dan kritiknya guna menambah
wawasan. Besar harapan kami dengan adanya makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi semua kalangan.

Terima Kasih,
Jakarta 2 November 2019

Tim Penyusun
ABSTRAK

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan


kepemimpinan birokrasi dan solusinya pada Dinas Penanggulangan
Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta sektor Kota Administratif
Jakarta Pusat.
Hasil penulisan menunjukkan bahwa pada Dinas Penanggulangan
Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta sektor Kota Administratif
Jakarta Pusat masih kurang maksimalnya kontrol dan koordinasi dari
pemimpin, disamping itu respon dari masyarakat yang kurang juga ikut
menjadi akar masalah terjadinya kelambanan pelayanan.
Pihak dinas dalam menanggulangi permasalah tersebut melakukan
perekrutan, pelatihan, dan kerjasama dengan pihak eksternal.
Keberadaan kantor sektor dan pos pemadaman yang merata juga menjadi
catatan penting agar dapat melakukan pencegahan dan upaya
penyelamatan sedini mungkin. Disamping itu juga perlu penekanan,
tindaklanjut dan kontrol kerjasama-kerjasama dari pihak terkait agar
kegiatan berjalan lancar.

Kata Kunci: Kepemimpinan, Birokrasi


ABSTRACT

The writing of this paper aims to find out the problems of bureaucratic
leadership and the solution to the Jakarta Fire and Rescue Service Office
in the Central Jakarta Administrative City sector.
The results of the writing show that in the Jakarta Fire and Rescue Service
Office the Central Jakarta Administrative City sector is still lacking
maximum control and coordination from the leader, besides that the
response from the community which is also lacking also becomes the root
of the problem of service inaction.
The agency in dealing with these problems is recruiting, training, and
collaborating with external parties. The existence of evenly distributed
sector offices and outage posts is also an important note in order to be
able to carry out prevention and rescue efforts as early as possible.
Besides that, it also needs to be emphasized, follow-up and control of
collaborations from related parties so that activities run smoothly.

Keywords: Leadership, Bureaucracy


DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul Judul Penelitian......................................................... i


Kata Pengantar...................................................................................... ii
Abstrak................................................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................. 1
1.2. Ruang Lingkup Penulisan............................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan........................................................... 2
1.4. Manfaat Penulisan......................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 4
BAB III SOLUSI................................................................................. 9
BAB IV PENUTUP (KESIMPULAN).................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 13
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak jatuhnya orde baru dan masuknya sistem pemerintahan


kearah reformasi, banyak isu-isu publik terkait permasalahan dalam
birokrasi pemerintah belum terselesaikan. Sebagian besar merupakan isu
klasik yang dari masa ke masa masih bertahan dan berkembang pada
isu-isu tertentu. Banyaknya program maupun kegiatan yang dilaksanakan
belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Masih belum
maksimalnya kinerja sumberdaya aparatur, belum memadainya sistem
kelembagaan, dan juga sarana prasarana yang kurang menjadi beberapa
contoh permasalahan yang terjadi. Budaya birokrasi yang kental dengan
korupsi, kolusi, dan nepotisme juga telah dibangun sejak pemerintahan
sebelum era reformasi. Sehingga sebagian masyarakat masih memiliki
stigma negative terhadap komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap
reformasi birokrasi.

Dewasa ini partisipasi masyarakat dalam hal memberikan saran,


masukan dan kritik bagi pelayanan publik sangat terbuka, keluhan yang
paling sering terdengar dari masyarakat adalah berbelit-belitnya suatu
pengurusan akibat birokrasi yang kaku, selain itu kinerja pegawai
memberikan pelayanan ditinjau dari ketepatapan waktu dalam
memberikan pelayanan, kuantitas dan kualitas pelayanan juga masih
sangat rendah. Namun persoalan yang paling krusial saat ini adalah
bagaimana dan mampukah kepala instansi dari dinas terkait mengatasi
permasalahan ataupun isu-isu yang berkembang di masyarakat saat ini.
Pemerintah sebagai service provider (Penyedia Jasa) bagi masyarakat
dituntut untuk memberikan pelayanan dan memenuhi pemenuhan
kebutuhan yang baik dari segala aspek. Berdasarkan hal tersebut
peranan kepemimpinan birokrasi sangat diperlukan keaktifannya dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam mencapai tujuan bersama.
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta
hadir dengan tugas dan tanggung jawab memberikan perlindungan
kepada warganya dari ancaman bahaya kebakaran dan bencana lainnya.
Berdasarkan SK Gubernur Nomor 9 Tahun 2002 tentang Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Penanggulangan Kebakaran dan
Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta, mempunyai 3 (tiga) tugas pokok,
yakni:

1. Pencegahan Kebakaran

2. Pemadaman Kebakaran

3. Penyelamatan jiwa, ancaman kebakaran, dan bencana lain

Sejauh ini kinerja pelayanan Dinas Penanggulangan Kebakaran


dan Penyelamatan DKI Jakarta tentu memiliki capaian kinerja pelayanan
yang berhasil maupun yang perlu dilakukan evaluasi kembali. Dari
beberapa program maupun kegiatan pun tentu memiliki tantangan atau
hambatan-hambatan yang memerlukan peranan pemimpin dalam
mengatasinya.

1.2 Ruang Lingkup Penulisan

Berdasarkan pemaparan di atas kami selaku penulis membatasi


ruang lingkup penulisan pada permasalahan dan solusi kepemimpinan
birokrasi yang terjadi pada Dinas Penanggulangan Kebakaran dan
Penyelamatan DKI Jakarta sektor Kota Administrasi Jakarta Pusat

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah

1. Untuk mengetahui permasalahan apa saja yang terjadi pada Dinas


Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta Sektor
Kota Administrasi Jakarta Pusat

2. Untuk memberikan solusi pada Dinas Penanggulangan Kebakaran


dan Penyelamatan DKI Jakarta sektor Kota Administrasi Jakarta
Pusat.
1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini yakni:

1. Secara akademik, sebagai bahan informasi bagi penulis lain yang


mengkaji kepemimpinan birokrasi pada Dinas Penanggulangan
Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta pada masa yang akan
datang
2. Secara praktis, penulisan ini dapat menjadi bahan untuk evaluasi
dan masukan untuk Dinas Penanggulangan Kebakaran dan
Penyelamatan DKI Jakarta dalam menyempernukan dan
meningkatkan kualitas pelayanan publik
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Birokrasi

2.1.1 Pengertian Birokrasi

Birokrasi atau bureaucracy dalam Bahasa Inggris berasal dari

kata bureau berarti meja, dan cratein berarti kekuasaan. Dalam

konsep Bahasa Inggris, birokrasi disebut dengan “civil

administration, public sector, public service, public administration”

Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi

didefinisikan sebagai:

1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah

karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan

2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta


menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak lika-
likunya dan sebagainya

Max Weber (Islamy, 2003) mengatakan bahwa birokrasi


menjadi elemen penting yang menghubungkan ekonomi dengan
masyarakat. Adapun karakteristik model birokrasi yang ideal menurut
Weber sebagai berikut:

1. Pembagian kerja (division of labour)

2. Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)

3. Adanya sistem aturan (system of rules)


4. Hubungan impersonal (formalistic impersonality)

5. Sistem karir (career system)

Menurut Miftah (2007) birokrasi merupakan kepemimpinan

yang diangkat oleh suatu jabatan yang berwenang, dia menjadi

pemimpin karena mengepalai suatu unit organisasi tertentu.

Kepemimpinan birokrasi selalu dimulai dari peran yang formal, yang

diwujudkan dalam hirarki kewenangan. Dalam hal ini kewenangan

birokrasi merupakan kekuasaan legitimasi jika pimpinan mempunyai

otoritas berarti efektif kepemimpinannya.

2.1.2 Ciri-ciri Birokrasi

Ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber adalah:

1. Jabatan Administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis

(administratice offices are organized hierarchically)

2. Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (each

office has its own area of competence)

3. Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada

kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian

(civilcervants are appointed, not electe, on the basis of technical

qualifications as determined by diplomas or examinations)

4. Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau

kedudukannya (civil servants receive fixed salaries according to

rank)
5. Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya

pekerjaan sebagai pegawai negeri (the job is a career and the

sole, or at least primary, employment of the civil servant)

6. Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri (the official does not

own his or her office)

7. Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan

mendisiplinkan (the official is subject to control and discipline)

8. Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang

melebihi rata-rata (promotions is based on supersiors

judgement)

2.1.3 Peran dan Fungsi Birokrasi

Michael G. Roskin, et.al menyebutkan bahwa sekurang-

kurangnya ada 4 fungsi birokrasi di dalam suatu pemerintahan

modern. Fungsi-fungsi tersebut adalah:

1. Administrasi

2. Pelayanan

3. Pengaturan (regulation)

4. Pengumpul informasi (information gathering)

Selain Roskin, Andrew Heywood juga mengutarakan sejumlah

fungsi yang melekat pada birokrasi. Bagi Heywood, fungsi dari

birokrasi adalah:

1. Pelaksanaan administrasi

2. Nasehat kebijakan (policy advice)

3. Artikulasi kepentingan
4. Stabilitas poltik

2.2 Kepemipinan

2.2.1 Pengetian Kepemimpinan

Menurut James M. Black dalam Samsudin (2010)

“Kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan dan menggerakkan

orang lain agar mau bekerjasama di bawah kepemimpinannya

sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu”

Wirawan dalam Sagala (2012) mendefinisikan “Kepemimpinan

sebagai proses pemimpin menciptakan visi, mempengaruhi sikap,

perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma dan sebagainya dari pengikut

untuk merealisasi visi”

2.2.2 Fungsi Kepemimpinan

Fungsi – fungsi kepemimpinan dapat dijadikan sebagai suatu

strategi kepemimpinan yang harus dijalankan dengan menggunakan

sumber-sumber kekuasaan atau wewenang dan tanggung jawab

atau hak dan kewajibab yang dimiliki pemimpin, baik dalam situasi

formal maupun informal.

Menurut Rivai (2014:34-35) fungsi kepemimpinan dibedakan

dalam lima fungsi yaitu:

1. Fungsi Instruksi
Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai

komunikator merupakan pihak yang menentukan apa,

bagaimana, bilamana dan dimana perintah itu dikerjakan agar

keputusan dapat dilaksanakan secara efektif. Kepemimpinan

yang efektif memerlukan kemampuan untuk menggerakkan dan

memotivasi orang lain agar mau melaksanakan perintah

2. Fungsi Konsultasi

Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama

dalam usaha menetapkan keputusan, pemimpin kerapkali

memerlukan bahan pertimbangan, yang mengharuskannya

berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya yang

dinilai mempunyai berbahai bahan informasi yang diperlukan

dalam menetapkan keputusan. Tahap berikutnya konsultasi dari

pimpinan pada orang-orang yang dipimpin dapat dilakukan

setelah keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan.

3. Fungsi Partisipasi

Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan

orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan

mengambil keputusan maupun dalam melaksanakannya.

Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semuanya, tetapi

dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerja sama

dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang

lain. Keikutsertaan pemimpin harus tetap dalam fungsi sebagai

pemimpin dan bukan pelaksanaan


4. Fungsi Delegasi

Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan

wewenang membuat atau menetapkan keputusan, baik melalui

persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan. Fungsi

delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Orang-orang

penerima delegasi itu harus diyakini merupakan pembantu

pemimpin yang memiliki kesamaan prinsip, persepsi dan

aspirasi

5. Fungsi Pengendalian

Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang

sukses atau efekti mampu mengatur aktivitas anggotanya

secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif sehingga

memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.

Fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan

bimbingan, pengarahan, koordinasi dan pengawasan.

2.2.3 Tipe Kepemimpinan

Dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, maka

akan berlangsung aktivitas kepemimpinan, apabila aktivitas

tersebut dipilah-pilah, maka akan terlihat gaya kepemimpinan

dengan polanya masing-masing.

Menurut Umam (2012) pada umumnya, para pemimpin

dalam setiap organisasi dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe

utama yaitu:

1. Otokratis
Tipe ini menganggap bahwa pemimpin merupakan suatu hak.
Ciri-ciri pemimpin tipe ini adalah:
a. Menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi
b. Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi
c. Menganggap bahwa bawahan sebagai alat semata-mata
d. Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang
lain karena menganggap dialah yang paling benar
e. Dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan
pendekatan (approach) yang mengandung unsur paksaan
dan ancaman

Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe pemimpin otokratis


tersebut, dapat diketahui bahwa tipe ini tidak menghargai
hak-hak manusia sehingga tidak dipakai dalam organisasi
modern

2. Militeristis
Perlu diperhatikan bahwa seorang pemimpin tipe militeristis
tidak sama dengan pemimpin dalam organisasi militer. Artinya,
tidak semua pemimpin dalam militer bertipe militeristis.
Seorang pemimpin bertipe militeristis mempunyai sifat–sifat
berikut:
a. Dalam menggerakkan bawahan, perintah untuk mencapai
tujuan digunakan sebagai alat utama.
b. Dalam menggerakkan bawahan sering menggunakan
pangkat dan jabatannya.
c. Senang pada formalitas yang berlebihan.
d. Menuntut disiplin yang tinggi dan kepatuhan mutlak dari
bawahan.
e. Tidak mau menerima kritik dari bawahan.
f. Menggemari upacara–upacara untuk berbagai keadaan.
Dari sifat–sifat yang dimiliki oleh tipe pemimpin militeristis,
jelaslah bahwa tipe ini bukan merupakan tipe pemimpin yang
ideal.

3. Paternalistis

Tipe pemimpin paternalistis, mempunyai ciri tertentu, yaitu


bersifat paternal atau kebapakan. Pemimpin seperti ini
menggunakan pengaruh sifat kebapakan dalam menggerakkan
bawahan mencapai tujuan. Kadang–kadang, pendekatan yang
dilakukan bersifat terlalu sentimental. Sifat–sifat umum tipe
pemimpin paternalistis adalah sebagai berikut:
a. Menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak
dewasa.
b. Bersikap terlalu melindungi bawahan.
c. Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengambil keputusan sehingga jarang terjadi pelimpahan
wewenang.
d. Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengembangkan inisiatif dan daya kreasi.
e. Sering menganggap dirinya paling tahu segala hal.
Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu, pemimpin
seperti ini sangat diperlukan. Akan tetapi, ditinjau dari segi
sifat–sifat negatifnya, pemimpin paternalistis kurang
menunjukkan elemen kontinuitas terhadap organisasi yang
dipimpinnya.

4. Kharismatik
Sampai saat ini, para ahli manajemen belum berhasil
menemukan sebab–sebab seorang pemimpin memiliki
kharisma. Tipe pemimpin seperti ini mempunyai daya tarik
yang amat besar sehingga mempunyai pengikut yang sangat
banyak. Kebanyakan pengikut menjelaskan alasan mereka
menjadi pengikut pemimpin seperti ini. Karena kurangnya
seorang pemimpin yang kharismatik, sering hanya dikatakan
bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan
gaib (supernatural power). Perlu dikemukakan bahwa
kekayaan, umur, kesehatan, profil, pendidikan, dan
sebagainya tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe
pemimpin kharismatik.
5. Demokratis
Dari semua tipe kepemimpinan yang ada, tipe kepemimpinan
demokratis dianggap sebagai tipe kepemimpinan yang
terbaik. Hal ini karena tipe kepemimpin ini selalu
mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan dengan
kepentingan individu. Beberapa ciri dari tipe kepemimpinan
demokratis adalah sebagai berikut:
a. Dalam proses menggerakkan bawahan selalu bertitik tolak
dari pendapat bahwa manusia adalah mahluk yang
termulia di dunia.
b. Selalu berusaha menyelaraskan kepentingan dan tujuan
pribadi dengan kepentingan organisasi.
c. Senang menerima saran, pendapat, bahkan kritik dari
bawahannya.
d. Menoleransi bawahan yang membuat kesalahan dan
memberikan pendidikan kepada bawahan agar tidak
berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya
kreativitas, inisiatif, dan prakarsa dari bawahan.
e. Lebih menitikberatkan pada kerjasama dalam mencapai
tujuan.
f. Selalu berusaha menjadikan bawahannya lebih sukses
daripadanya.
g. Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya
sebagai pemimpin.
Tipe pemimpin seperti ini dianggap tipe yang terbaik, namun
dari sifat–sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin tipe
demokratis, jelaslah bahwa tidak mudah untuk menjadi
pemimpin demokratis.

2.3 Permasalahan
Dalam pelaksanaan pelayanan publik dan birokrasi pada Dinas
Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta
terkhusus wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat tentu mengalami
banyak tantangan. Setelah kami tinjau, terdapat beberapa permasalahan
yang terjadi seperti:

1. Kurangnya distribusi jumlah sektor dan pos pemadam di tingkat


kelurahan.
Untuk melakukan pencegahan dan upaya penyelamatan, Dinas
Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan dalam menjalankan
tugas dan fungsinya berorientasi dengan kecepatan. Dalam standar
pelayanan, respond time (waktu yang dibutuhkan dari terima informasi
hingga pertama kali melakukan pemadaman di tempat kebakaran)
minimum 15 menit dan rata-rata waktu pemadaman kurang dari 120
menit sehingga diperlukan distribusi pos yang strategis di berbagai
wilayah agar ketika terjadi suatu bencana, petugas dapat dengan
cepat datang ke lokasi kejadian untuk melakukan penyelamatan.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun
2008 tentang Kesiapan Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya
Kebakaran Pasal 33 menyebutkan bahwa dalam upaya
menanggulangi kebakaran dan bencana lainnya di tingkat kecamatan
di bentuk kantor sektor pemadam kebakaran dan di kelurahan
dibentuk pos pemadam kebakaran.
Pada kenyataannya, pengimplementasian perda tersebut terkendala
pada kondisi di lapangan yang sangat sulit mendapatkan lahan untuk
pembangunan kantor sektor maupun pos pemadam kebakaran.
Berikut data sebaran pos dan sektor pada wilayah kota Administrasi
Jakarta Pusat
Tabel 2.1. Sebaran Pos dan Sektor di Kota Administrasi Jakarta Pusat
JUMLAH
JUMLAH JUMLAH
POS
NO WILAYAH KECAMATAN   KELURAHAN
BERGERAK
POS SEKTOR
(KARAVAN)
1 Kota Cempaka Putih
Administrasi 1 Barat 1 0 0
Cempaka
Jakarta Cempaka Putih
Putih
Pusat 2 Timur 0 1 0
3 Rawasari 0 0 0
4 Cideng 1 0 0
5 Duri Pulo 0 0 0
6 Gambir 2 0 2
Gambir
7 Kebon Kelapa 0 0 0
8 Petojo Selatan 1 0 0
9 Petojo Utara 0 0 0
10 Galur 0 0 0
11 Johar Baru 0 1 0
Johar Baru
12 Kampung Rawa 0 0 0
13 Tanah Tinggi 0 0 0
14 Cempaka Baru 0 0 0
Gunung Sahari
15 Selatan 0 0 1
16 Harapan Mulia 0 0 1
Kemayoran 17 Kebon Kosong 0 0 0
18 Kemayoran 0 1 0
19 Serdang 1 0 0
20 Sumur Batu 0 0 0
21 Utan Panjang 0 0 0
22 Cikini 0 0 0
23 Gondangdia 0 0 0
Menteng 24 Kebon Sirih 0 0 0
25 Menteng 1 0 0
26 Pegangsaan 0 0 0
Gunung Sahari
27 Utara 0 0 0
28 Karang Anyar 0 0 0
Sawah Besar 29 Kartini 0 0 0
Mangga Dua
30 Selatan 0 1 0
31 Pasar Baru 1 0 0
Senen 32 Bungur 1 0 0
33 Kenari 0 0 0
34 Kramat 0 0 0
35 Kwitang 0 0 1
36 Paseban 0 0 0
37 Senen 0 0 0
38 Bendungan Hilir
1 0 0
39 Gelora 2 0 0
40 Kampung Bali1 0 0
Tanah
41 Karet Tengsin
0 0 0
Abang
42 Kebon Kacang0 0 0
43 Kebon Melati1 0 0
44 Petamburan 0 0 1
TOTAL 14 4 6
Sumber: Data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (1
Januari 2018)
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa untuk wilayah pusat saja pos
damkar hanya memilki 14 pos, 4 sektor, dan 6 pos bergerak. Data ini
menegaskan bahwa masih sangat terbatasnya jumlah sektor dan pos
pemadam kebakaran yang ada.

2. Sumber Daya Manusia yang kurang kompeten dan belum memadai.


Keberhasilan suatu instansi diukur dari bagaimana kinerja sumber
daya manusia dalam pencapaian visi misinya. Pada pelaksanaan
tugas dan fungsinya, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan
Penyelamatan membutuhkan sumber daya manusia yang mencukupi
dan tentunya berkualitas untuk menciptakan rasa aman masyarakat
dari bahaya kebakaran dan bencana lainnya.
Karakteristik PNS (Pegawa Negeri Sipil) yang berada dalam lingkup
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan mengacu pada
golongan, eselon, pendidikan, usia dan tempat tugas. Berdasarkan
data dari internal, jumlah pegawai berdasar eselon per 1 Januari 2018
sebesar 2.657 orang staff atau sebanyak 96,58% merupakan tenaga
pelaksana sebagai fire fighter, sementara Dinas Penanggulangan
Kebakaran dan Penyelamatan juga memerlukan pegawai yang
menjalankan fungsi lebih spesifik seperti fire safety engineer
laboratorium, operator kendaraan dan lainnya. Berdasarkan
pendidikan masih banyak pegawai dengan tingkat pendidikan SMA
yaitu sebanyak 2.277 orang atau 82,76% orang. Hal ini menunjukkan
bahwa masih perlu adanya upaya untuk meningkatkan kompetensi
sumber daya manusia yang berada dalam lingkup Dinas
Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan. Disamping itu jumlah
personil atau anggota juga belum memenuhi standar sebagai syarat
ideal. Syarat ideal dalam satu regu petugas pemadam kebakaran
adalah 6 orang. Sedangkan untuk saat ini yang terjadi dilapangan
dalam satu regu hanya ada 4 orang.
3. Kurang maksimalnya koordinasi dengan instansi terkait dan komunitas
masyarakat
Respon real time sangat diperlukan untuk mengurangi resiko adanya
ataupun meningkatnya koban dan kerugian pada saat terjadi
kebakaran atau bencana lainnya. Kurangnya sinergitas dan koordinasi
dengan OPD terkait (BPBD, Biro Penataan Kota dan Lingkungan
Hidup, Biro Prasarana dan Sarana Kota Sekretariat Daerah, Dinas
Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan, Dinas Perhubungan, Dinas
Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, Dinas Sumber Daya
Air, Satpol PP, Dinas Pendidikan), pemda sekitar DKI Jakarta, dan
Badan Usaha (Pemerintah/Swasta) terkait operasi penyelamatan atau
evakuasi penanganan mengakibatkan lambannya pergerakan petugas
pemadam kebakaran melakukan tugasnya.
4. Keterbatasan hydrant kebakaran dan tandon air di kawasan padat
hunian rawan kebakaran
Keterbatasan hydrant dan jauhnya jarak sumber air pada saat
terjadinya kebakaran di area padat hunian juga merupakan kendala
yang sering kali terjadi di lapangan. Rasio tandon air terhadap
kawasan rawan kebakaran pada tahun 2013 hingga tahun 2017 hanya
terdapat 10 tandon air untuk 56 kawasan rawan kebakaran. Sehingga
ketika kebakaran terjadi, pihak damkar sering mengalami kendala
kehabisan persediaan air di tangki mobil pemadaman, yang berakibat
api kembali mencuat.
5. Belum maksimalnya output sosialisasi terkait darurat kebakaran
Minimnya pengetahuan termasuk ketidaktahuan nomor darurat
kebakaran, masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya
kebakaran yang menimbulkan kurangnya pengetahuan terkait
penanganan bahan berbahaya dan beracun (B3). serta kurangnya
respon dan peran partisipasi masyarakat mengakibatkan lambatnya
penyampaian informasi adanya kebakaran di suatu wilayah tertentu.
BAB III

SOLUSI

Dari uraian-uraian permasalahan yang telah disebutkan pada


bab selanjutnya, kami tim penulis menyimpulkan beberapa solusi-
solusi yang diambil dan dilaksanakan oleh pimpinan dari dinas
terkait, yakni:

1. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8


Tahun 2008 tentang Kesiapan Pencegahan dan Penanggulangan
Bahaya Kebakaran Pasal 33 yang menyebutkan bahwa dalam
upaya menanggulangi kebakaran dan bencana lainnya di tingkat
kecamatan di bentuk kantor sektor pemadam kebakaran dan di
kelurahan dibentuk pos pemadam kebakaran. Dikarenakan sulitnya
mendapatkan lahan untuk dibangun kantor sektor dan pos di
wilayah DKI Jakarta maka Dinas Penanggulangan Kebakaran dan
Penyelamatan membuat alternatif solusi dengan adanya pos MOU
yaitu pos atau lahan yang dimiliki pihak swasta untuk ditempati oleh
petugas pemadam berjaga sebagai pos atau dengan menempatkan
pos karavan / pos bergerak yang dapat mobile berpindah sesuai
kebutuhan penjagaan
2. Dikarenakan masih banyaknya sumber daya manusia yang belum
berkompeten dan belum memadai, Dinas Penanggulangan
Kebakaran dan Penyelamatan dalam mengatasi bahaya kebakaran
dan bencana lainnya merekrut tenaga kontrak atau yang disebut
Penyedia Jasa Lepas Perorangan (PJLP). Per Januari tercatat
2018 tercatat 1.203 PJLP yang direkrut untuk menutup kekurangan
jumlah porsenil pemadam kebakaran. Perekrutan PJLP ini
dilaksanakan karena masih berlakunya momatorium (penghentian
sementara) penerimaan PNS. Selain melakukan perekrutan tenaga
kontrak, pihak dinas juga melibatkan masyarakat sekitar sebagai
tenaga pendukung dengan memberikan pelatihan cara mengatasi
kebakaran dini. Berdasarkan Instruksi Gubernur nomor 65 Tahun
2019 tentang gerakan warga cegah kebakaran, agar dibentuk FKK
(Forum Komunikasi Kebakaran) di tingkat Kecamatan dan SKKL
(Sistem Keselamatan Kebakaran Lingkungan) di tingkat Kelurahan
dan RW setempat. Tidak lupa juga Dinas Penanggulangan
Kebakaran dan Penyelamatan mengembangkan kerjasama dengan
lembaga asosiasi yang terkait tugas dan fungsi Penanggulangan
Kebakaran dan Penyelamatan seperti APKI (Asosiasi Pemadam
Kebakaran Indonesia), Masyarakat Profesi Proteksi Kebakaran
Indonesia (MP2KI), Indonesian Fire Protection Assosiation (IFPA),
APKARI (Asosiasi Penanggulangan Kebakaran Republik
Indonesia)
3. Agar kerja dari Dinas Penanggulangan Kebakaran dan
Penyelamatan cepat dan tepat perlu adanya peningkatan
koordinasi yang baik dengan pihak terkait, seperti membuat MOU
dengan instansi lintas sectoral yang berkaitan dengan tugas dan
lebih memanfaatkan dan mengedepankan teknologi dibidang
komunikasi seperti aplikasi maupun sistem komunikasi digital untuk
keperluan yang sifatnya urgent khususnya. Selain itu diperlukan
regulasi dan pengembangan kebijakan pedoman maupun teknis
terkait pencegahan maupun operasi penyelamatan yang sesuai
dengan kebutuhan saat ini.
4. Dinas Penanggulan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta
harus meningkatkan kesiapan sarana prasarana pencegahan dan
pengendalian kebakaran serta penyelamatan, menyusun pemetaan
sumber air yang dapat dijadikan sumber penanggulangan
kebakaran, meningkatkan kesiapan sumber daya air pemadaman
kebakaran milik Dinas. Selain itu Dinas juga dalam keadaan darurat
memanfaatkan parit-parit kecil yang terdapat aliran air dari limbah
masyarakat sekitar, di sedot menggunakan pompa kebakaran
untuk mengisi tangka air mobil pemadam dan melanjutkan operasi
pemadaman.
5. Pihak Dinas harus lebih berpartisipasi aktif meningkatkan
kesadaran dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan
kebakaran. Selama ini program dari Dinas sendiri sudah melakukan
upaya pemasaran kegiatan social melalui berbagai media seperti:
a. Iklan layanan masyarakat mengenai penanggulangan kebakaran
b. Mengadakan Pameran, Seminar, dan Lokakarya
c. Mengedarkan leaflet, booklet, poster, buku panduan, dan bulletin
d. Video program penyuluhan untuk masyarakat pemukiman,
penghuni gedung
e. Film animasi
f. Pemberian CD-ROM interaktif kepada masyarakat
g. Menerima kunjungan atau melakukan sosialisasi

Dari banyaknya program tersebut, sangat diharapkan kontrol dari


atasan agar sosialisasi tersebut dapat benar-benar dipahami oleh
masyarakat.
BAB IV

KESIMPULAN

Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta

pada umumnya mempunyai tugas untuk melaksanakan pencegahan

dan penanggulangan kebakaran serta penyelamatan. Banyaknya

kendala yang dihadapi dari Dinas Penanggulangan Kebakaran dan

Penyelamatan DKI Jakarta dalam menjalankan tugasnya selama ini

lebih kepada karena kurang maksimalnya kontrol dan koordinasi dari

pemimpin, disamping itu respon dari masyarakat yang kurang juga ikut

menjadi akar masalah terjadinya kelambanan pelayanan.

Banyak hal telah dilakukan pihak dinas, dalam mendukung

pelaksanaan pelayanan yang memerlukan sumber daya berkompeten

dan memadai, pihak dinas melakukan perekrutan, pelatihan, dan

kerjasama dengan pihak eksternal. Keberadaan kantor sektor dan pos

pemadaman yang merata juga menjadi catatan penting agar dapat

melakukan pencegahan dan upaya penyelamatan sedini mungkin.

Disamping itu juga perlu penekanan, tindaklanjut dan kontrol

kerjasama-kerjasama dari pihak terkait agar kegiatan berjalan lancar.


DAFTAR PUSTAKA

Islamy, Irfan.2003. Dasar-dasar Administrasi Publik dan Manajemen


Publik. Malang
Rivai Veithzal, Muliaman Darmansyah dan Mansyur Ramli. 2014.
Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sagala, Syaiful. 2012. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung:
CV Alfabeta
Thoha, Miftah.2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Umam, Khaerul. 2012. Manajemen Organisasi. Bandung: CV Pustaka
Setia
Rencana Strategis Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan
Provinsi DKI Jakarta 2017-2022

Anda mungkin juga menyukai