Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 11 MODUL 1
TRAUMA DENTAL DAN MAKSILOFASIAL

Disusun oleh : Kelompok 3

PUTRI AZ ZAHRA ARIANTO 1910026023


ARTHA MAULIDA 1910026024
SELVIA RAKHMAH 1910026026
KRISNA WAHYU WICAKSONO 1910026027
YULI BRYGITTA SIDABARIBA 1910026028
SALMA NADYA SALSABILA 1910026029
ARI INDRA KUSUMA 1910026030
NURAINI ILHAM 1910026031
CHAESARIANUS PAUL CHRISTIAN SOGE 1910026032

Tutor :
drg. Imran Irsal, Sp.Pros

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan yang
berjudul “Trauma Dental dan Maksilofasial” ini tepat pada waktunya. Laporan ini
disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari Diskusi Kelompok Kecil
(DKK) kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terselesaikannya laporan ini, antara lain :
1. drg. Imran Irsal, Sp.Pros selaku tutor kelompok 3 yang telah membimbing
kami dalam menyelesaikan Diskusi Kelompok Kecil (DKK).
2. Teman-teman kelompok 3 yang telah menyumbangkan pemikiran dan
tenaganya sehingga Diskusi Kelompok Kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan
dengan baik, serta dapat menyelesaikan laporan hasil Diskusi Kelompok
Kecil (DKK).
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
angkatan 2019 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per
satu.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun laporan ini
sangat terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil Diskusi
Kelompok Kecil (DKK) ini.

Samarinda, Maret 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...........................................................................................1

1.2 Tujuan ........................................................................................................1

1.3 Manfaat ......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3

2.1 Skenario .....................................................................................................3

2.2 Identifikasi Istilah Sulit ..............................................................................3

2.3 Identifikasi Masalah ....................................................................................3

2.4 Analisa Masalah ........................................................................................4

2.5 Kerangka Teori ..........................................................................................8

2.6 Learning Objective ....................................................................................8

2.7 Belajar Mandiri ..........................................................................................8

2.8 Sintesis .......................................................................................................9

BAB III PENUTUP .............................................................................................36

3.1 Kesimpulan ..............................................................................................36

3.2 Saran ........................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma maksilofasial merupakan suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua
bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Yang
dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan yang menutupi jaringan keras
wajah, sedangkan jaringan keras wajah adalah tulang yang terdapat di wajah, yang
diantaranya terdiri dari tulang hidung, tulang zigoma, tulang mandibula, dan tulang
maksila.
Penyebab trauma maksilofasial berbeda dari satu Negara dengan Negara
lainnya bahkan antar daerah di dalam satu Negara. Semua itu dipengaruhi oleh
perbedaan sosial ekonomi, lokasi geografis, dan budaya di daerah tersebut. Beberapa
penyebab dari trauma maksilofasial adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan rumah
tangga, terjatuh, cedera saat olahraga, dan lain-lain. Terpeleset, dan terjatuh sering
terjadi pada anakanak dan orang tua. Sementara kekerasan dan kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab cedera pada individu yang berusia 15-50 tahun dan yang paling
sering terkena adalah pria dengan kelompok usia 21-30 tahun.
Trauma dentoalveolar adalah trauma yang mengenai gigi dan tulang alveolar
pada maksila atau mandibula dan jaringan pendukung gigi. Fraktur dentoalveolar
adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan
alveolarnya disebabkan trauma, seperti pada usia lanjut yang terjatuh, ataupun dapat
juga berhubungan dengan cedera multisistem, seperti yang terjadi pada kecelakaan
kendaraan bermotor. Penanganan kegawatdaruratan fraktur dentoalveolar pada usia
lanjut dengan penyakit sistemik membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat serta
membutuhkan tingkat kekooperatifan pada pasien. Trauma dentoalveolar dapat
menyebabkan fraktur, pergeseran dan hilangnya gigi depan yang mengakibatkan
perubahan fungsi, estetis, gangguan berbicara, dan efek psikologis yang dapat
mengurangi kualitas hidup.

1.2 Tujuan
Setelah membaca laporan ini, diharapkan mahasiswa mampu,
1. Menjelaskan tentang trauma jaringan lunak, mencakup :
a. Etiologi
b. Klasifikasi

1
c. Penatalaksanaan
d. Pencegahan
2. Menjelaskan tentang trauma jaringan keras yang meliputi maksilofacial dan
dentoalveolar, mencakup :
a. Etiologi
b. Klasifikasi
c. Penatalaksanaan
d. Pencegahan

1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah agar mahasiswa dapat memahami
dan menjelaskan secara menyeluruh mengenai trauma jaringan lunak dan trauma
jaringan keras yang mencakup etiologi, klasifikasi, pentalaksanaan, dan pencegahan.
diharapkan nantinya pembelajaran ini akan bermanfaat pada blok dan modul
berikutnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Skenario

Seorang pria usia 35 tahun diantar oleh keluarganya ke unit gawat darurat RSUD.
A. Wahab Sjahranie dalam keadaan wajah bengkak dan berdarah, daerah sekitar
mulut mengalami luka abrasi dan terlihat kebiruan. Pria tersebut mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter
di UGD menunjukan, terdapat fraktur pada gigi anterior RA, bibir mengalami luka
laserasi.

2.2 istilah sulit

1. Luka abrasi : luka lecet ketika kulit bergesekan dengan benda atau material yang
memiliki permukaan kasar. Luka abrasi bisa terjadi ketika terjatuh, lalu kaki
bergesekan dengan aspal, atau lutut tergores ruas jalan, saat tidak sengaja terdorong.
ada 3 tipe

2. Fraktur : patah tulang. Retak atau patah akibat trauma dan pembengkakan. Patah
seluruhnya atau sebagian pada tulang

3. Luka laserasi : luka dalam atau sobekan pada kulit. Kecelakaan dengan pisau,
peralatan, dan mesin sering menjadi penyebab laserasi. Luka terbuka yang
disebabkan oleh benda biasa dari pisau dan benda tajam lainnya.

2.3 identifikasi masalah

1. Mengapa terjadi pembengkakan pada wajah pria tersebut?


2. Apa yang menyebabkan luka menjadi warna kebiruan?
3. Kenapa bisa terjadi fraktur pada gigi anterior RA?
4. Apa dampak fraktur pada pasien di scenario?
5. Bagaimana pemeriksaan pada pasien menurut scenario?
6. Bagaimana cara penanganan atau perawatan pada pasien menurut scenario?
7. Apakah ketika pasien mengalami fraktur boleh di cabut atau dilakukan
perawatan lain terlebih dahulu?
8. Apakah pasien di scenario bisa terkena penyakit lain atau infeksi lain?
9. Apakah usia berpengaruh pada proses penyembuhan luka yang diderita oleh
pasien?

3
10. Luka apa saja selain luka abrasi dan luka laserasi di rongga mulut?
11. Etiologi fraktur ?
12. Apa saja jenis-jenis fraktur atau trauma pada maksilofacial?
13. Apakah usia berpengaruh pada proses penyembuhan luka yang diderita oleh
pasien yang di scenario?

2.4 Analisis masalah

1. Mengapa terjadi pembengkakan pada wajah pria tersebut?


Bengkak merupakan suatu dari reaksi inflamasi yang terjadi saat seseorang
luka. Proses inflamasi-pemulihan luka merupakan suatu upaya tubuh untuk
membatasi dan menetralkan luka serta menjaga kelangsungan morfologi
jaringan. Dalam proses inflamasi terjadi peningkatan permeabilitas membran
kapiler oleh histamin yang berlangsung antara 15-30 menit atau bahkan
sampai dengan 1 jam setelah terjadi infeksi. Ini akan meningkatkan jumlah
protein plasma yang keluar dari kapiler menuju ruang interstitial. Hal ini
berakibat terjadinya peningkatan tekanan osmosis sekitar luka meningkat
sehingga air masuk, dengan demikian daerah sekitar luka menjadi bengkak.
Mungkin mengalami benturan keras sehingga mengalami inflamasi terjadinya
vasolidatasi sehingga terjadi pembengkakan. Karna fraktur pada gigi RA.
Pembuluh darah pecah atau kerusakan jaringan setelah itu terjadi peradangan
inflamasi setelah itu menjadi tumor atau bengkak.
2. Apa yang menyebabkan luka menjadi warna kebiruan?
Karna biasa 2-3 hari luka menjadi biru gelap karna kurangnya oksigen,
beberapa factor umur penderita pada anak gampang terjadi memar, penyakit
lainnya obesitas, pencandu alcohol, obat aspirin, kurangnya vit c.
Beberapa faktor dari adanya warna kebiruan :
- Kondisi dan Tipe Jaringan Luka
Disaat darah dari pembuluh darah keluar dari pembuluh darah, harus ada
tempat yang cukup di luar pembuluh darah untuk darah yang keluar
berakumulasi. Hal ini menjelaskan mengapa memar terilhat pada jaringan
yang longgar seperti mata atau skrotum dan kejarangannya timbul pada
telapak kaki ataupun telapak tangan, dimana ada jaringan fibrous yang
padat dan bidang fasia yang terbatas yang mencegah akumulasi dari darah.
Karena lebih besarnya volume jaringan subkutan pada orang-orang yang
gemuk, mereka akan lebih mudah mendapatkan memar dibandingkan
orang yang mempunyai lapisan subkutan yang lebih tipis.

4
- Umur Penderita
Pada anak-anak dan orang yang tua lebih mudah terkena memar. Volume
dari darah yang hilang ke jaringan dapat dipengaruhi oleh kerentanan
pembuluh darah dan koagulasi dari darah, pada orang yang tua,
kerentanan pembuluh darah sangat ekstrim dan memar yang luas dapat
timbul bahkan dari tekanan yang pelan. Kulit juga menjadi kurang
fleksibel dan lebih tipis karena terdapat sedikit lemak di bawah kulit
sehingga efek bantalan kulit menurun dan menyebabkan atroofi dermal.
Sedangkan pada anak-anak lebih mudah untuk terjadi memar dari pada
orang dewasa, karena jaringan yang lebih lunak dan volume yang lebih
kecil dari jaringan yang melindungi dan yang berbaring diatas pembuluh
darah.
- tekanan pada trauma kerusakan dari pembuluh darah biasanya searah
dengan besarnya tekanan yang diaplikasikan
- penyakit lainnya
Setiap orang mempunyai beberapa variasi dalam kerentanan terhadap
terjadinya memar, seperti mereka yang mengalami obesitas atau menderita
penyakit kronis misalnya pecandu alcohol, mempunyai jaringan subkutan
yang lebih luas.
Pertanyaan : apakah perubahan warna selain ungu gelap setelah 2-3
hari?
Jawaban : Ada warna hijau pucat adanya penyembuhan sedang
berlangsung.
3. Kenapa bisa terjadi fraktur pada gigi anterior RA?
Karna mungkin pria tersebut mengalami benturan pertama pada bagian gigi
rahang atas . Untuk yang mengalami kecelakaan akan mengalami fraktur pada
bagian maksila. Trauma facial 42-50% terjadi karena kecelakaan kenderaan
bermotor, 21% karna terjatuh, melemahnya tulang atau osteoporosis
berpengaruh pada maksila, mungkin posisi rahangnya pada keadaan terbuka
menjadi dominan fraktur pada gigi rahang atas tersebut
4. Apa dampak fraktur pada pasien di scenario?
Menyebabkan gangguan fungsional pada gigi, jika melibatkan dentin bisa
mengalami sensitive dan menimbulkan nyeri. Yang pasti terdapat fraktur
diperlukan pemeriksaan lanjut, tidak pasti pembengkakan trismus, parastesi
pada persyarafan. Dampak pada tulang alveolar dan sekitarnya

5
5. Bagaimana pemeriksaan pada pasien menurut scenario?
Pemeriksaan radiografi untuk fraktur, inspeksi, pemeriksaan ekstra oral dan
intra oral dilakukan tes kegoyangan pada gigi, vital sign, anamnesis,
pemeriksaan penunjang : foto rontgen
6. Bagaimana cara penanganan atau perawatan pada pasien menurut scenario?
- Luka abrasi atau lecet : diberi obat-obatan, betadin, antibiotic, dilakukan
pencucian secepatnya, pembersihan luka
- Luka laserasi : diberikan terapi, kalau besar dilakkukan
- Fraktur : pencabutan gigi lalu memberikan penyembuhan,
- Pembersihan luka dengan baik berupa irigasi, pemberian antiseptic,
menghilangkan benda asing
- Menghilangkan bagian yang tajam saja, dapat melakukan penambalan,
untuk fraktur akar sebaiknya dicabut.
7. Apakah ketika pasien mengalami fraktur boleh di cabut atau dilakukan
perawatan lain terlebih dahulu?
Bisa Dicabut dahulu, menurut kondisii fraktur dan pasien tersebut, kalau
fraktur di mahkota bisa dilakukan perawatan setelah itu melakukan
penambalan dan harus mengetahui apakah pasien memiliki penyakit sistemik.
tergantung posisi terjadinya fraktur.
8. Apakah pasien di scenario bisa terkena penyakit lain atau infeksi lain?
Bisa jika luka pasien tidak segera ditangani jadi bisa terkena infeksi lain,
karna ketika kita mengalami luka maka bakteri akan sangat aktif dan
menyebkan infeksi oportunistik.
9. Apakah usia berpengaruh pada proses penyembuhan luka yang diderita oleh
pasien?
Iya karena Usia merupakan salah satu factor untuk proses penyembuhan luka
dan dapat memperlambat proses penyembuhan luka. Semakin tua maka sistem
pertahanan tubuh semakin menurun.
10. Luka apa saja selain luka abrasi dan luka laserasi di rongga mulut?
Luka terbuka dan tertutup, luka insisi atau teriris karna benda yang tajam
seperti pisau, luka karna gigitan, luka bakar, luka tembakan. Tertutup ;
memar. Luka berdasarkan penyebabnya, berdasarkan integritas, berdasarkan
kedalaman.
11. Etiologi fraktur?
Dibagi menjadi 2 sengaja dan tidak sengaja.

6
 Sengaja ; benturan keras yang mengenai dagu, berkelahi, kebiasaan.
 Tidak disengaja ; jatuh, kecelakaan.
2 tipe fraktur :
1) Fraktur longitudinal terjadi pada seluruh gigi disebabkan oleh tekanan
oklusal seperti kebiasaan mengunyah es, dll .
2) Fraktur horizontal dibagi menjadi disengaja, tidak disengaja.
Kecelakaan saat olahraga, tindakan kekerasan, namun paling banyak adalah
kecelakaan lalu lintas.
12. Apa saja jenis-jenis fraktur atau trauma pada maksilofacial?
Klas 1 pada mahkota gigi berwarna putih
Klas 2 luas smpai dentin karna gigi anak-anak memiliki dentin besar
Klas 3 pada pulpa
Klas 4 merupakan gigi yang mengalami trauma menjadi non vital dengan atau
tanpa kehilangan struktur mahkota
Klas 5 kehilangan gigi
Klas 6 fraktur akar gigi
Klas 7 mahkota dan akar
Klas 8 fraktur mahkota massal
Klas 9 merupakan trauma pada gigi decidui
- Jaringan keras gigi ; letak mahkota, email dentin pada mahkota gigi tanpa
melibatkan pulpa, kompleks mengenai smua , pendukung ; trauma
mengenai pendukung gigi sehingga lebih sesitif, dan jaringan lunak
laserasi, contusion luka memar akibat benda tumpul, abrasi pada daerah
superfisial
- Alveolar rahang atas karna trauma, alveolar rahang bawah, fraktur pada
labial rahang atas, fraktur rahang atas, fraktur rahang bawah
- Fraktur enamel hanya mengenai lapisan enamel, fraktur akar.
13. Apakah usia berpengaruh pada proses penyembuhan luka yang diderita oleh
pasien yang di scenario?
Memakai helm untuk keselamatan, Menggunakan seat belt, dan mouth guard.
 Primer penggunaan moth guard, dll
 Sekunder mengobati pada gigi fraktur
 Tersier.

7
2.5 Kerangka teori

2.6 Learning objectives


1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang trauma jaringan lunak
a. Etiologi
b. Klasifikasi
c. Penatalaksanaan
d. Pencegahan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang trauma jaringan keras yang meliputi
maksilofacial dan dentoalveolar
a. Etiologi
b. Klasifikasi
c. Penatalaksanaan
d. Pencegahan

2.7 Belajar Mandiri


Pada step ini, masing-masing anggota kelompok belajar mandiri untuk menjawab
learning objectives yang sebelumnya telah disepakati bersama.

8
2.8 Sintesis
1. Trauma pada jaringan lunak
a. Etiologi trauma jaringan lunak
Cedera jaringan lunak dapat terjadi akibat kekerasan interpersonal. Jatuh
dari ketinggian adalah penyebab cedera paling umum, terhitung 56,5%
kasus. Cedera yang berhubungan dengan bermain atau olahraga (12,1%).
Kecelakaan sepeda (6,0%), trauma dari pegangan sumur tabung (3,9%),
luka yang berhubungan dengan hewan (2,6%), penyerangan (1,3%), dan
benda asing (0,9%. Senjata mungkin terlibat atau tidak. Cedera wajah juga
dapat terjadi akibat luka bakar baik sebagai cedera terisolasi atau terkait
dengan luka bakar pada bagian tubuh lainnya.
b. Klasifikasi trauma jaringan lunak
Jenis luka berdasarkan penyebabnya (Al-Muqsith, 2015; Karina dan
Ismail, 2015) :
a) Luka lecet (Vulnus Excoriasi)
Luka ini akibat gesekan dengan benda keras misalnya terjatuh dari
motor sehingga terjadi gesekan antara anggota tubuh dengan aspal.
Dimensi luka yaitu hanya memiliki panjang dan lebar, namun biasanya
mengenai ujung-ujung syaraf nyeri di kulit sehingga derajat nyeri
biasanya lebih tinggi dibanding luka robek.
b) Luka sayat (Vulnus scissum)
Jenis luka ini disebabkan oleh sayatan benda tajam misalnya logam
atau kayu. Luka yang dihasilkan tipis dan kecil, yang juga bisa
disebabkan karena di sengaja dalam proses pengobatan
c) Luka robek atau parut (Vulnus laseratum)
Luka jenis ini biasa karena benda keras yang merusak permukaan kulit
misalnya terjatuh, terkena ranting pohon, atau terkena batu sehingga
menimbulkan robekan pada kulit. Dimensi luka panjang, lebar dan
dalam.
d) Luka tusuk (Vulnus punctum)
Luka terjadi akibat tusukan benda tajam, berupa luka kecil dan dalam.
Pada luka ini perlu diwaspadai adanya bakteri clostridium tetani benda
tajam/logam yang menyebabkan luka.

9
e) Luka gigitan (Vulnus morsum)
Luka jenis ini disebabkan gigitan gigi, baik itu oleh manusia ataupun
binatang seperti serangga, ular, dan binatang buas. Perlu diwaspadai
luka akibat gigitan dari ular berbisa yang berbahaya.
f) Luka bakar (Vulnus combustion)
Luka atau kerusakan jaringan yang timbul karena suhu tinggi.
Penanganan jenis luka ini didasarka pada empat stadium luka dan
prosentase permukaan tubuh yang terbakar.

Jenis luka berdasarkan kontaminasi (Al-Muqsith, 2015; Karina dan


Ismail, 2015) :
a) Luka Bersih (Clean Wounds)
Luka bersih adalah luka bedah (luka sayat elektif dan steril) yang tidak
terinfeksi. Luka tidak mengalami proses peradangan (inflamasi) dan
juga tidak terjadi kontak dengan sistem pernafasan, pencernaan, genital
dan urinaria yang memungkinkan infeksi.
b) Luka bersih terkontaminasi (Clean-contamined Wounds)
Jenis luka ini adalah luka pembedahan (luka sayat elektif) dimana
terjadi kontak dengan saluran respirasi, pencernaan, genital atau
perkemihan dalam kondisi terkontrol. Potensi kontaminasi, bisa terjadi
walau tidak selalu, oleh flora normal yang menyebabkan proses
penyembuhan lebih lama.
c) Luka terkontaminasi (Contamined Wounds)
Luka terkontaminasi adalah luka terbuka, fresh, luka robek/parut
akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik
aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna.
d) Luka kotor atau infeksi (Dirty or Infected Wounds)
Luka kotor atau infeksi adalah terdapatnya mikroorganisme pada luka
akibat proses pembedahan pembdahan yang sangan terkontaminasi.
Kemungkinan terjadinya infeksi pada luka jenis ini akan semakin besar
dengan adanya mikroorganisme tersebut.

Jenis-jenis Luka
Berikut adalah jenis-jenis luka terbuka dan luka tertutup menurut
TBMM (2002:111) :

10
A. Luka Terbuka
a. Luka Lecet
Luka ini dapat terjadi akibat jatuh bergeser pada permukaan
yang keras dan kasar, timbul bintik-bintik kemerahan,
paling sering karena jatuh terseret atau terkena percikan
api. Luka terjadi pada permukaan sehingga lapisan kulit
sebelah atas terkelupas dan membekas berupa daerah yang
kasar dan lunak. Partikel benda asing sering terbawa dan
menimbulkan infeksi.
b. Luka Iris (Vulnus Scissum)
Luka iris disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau
pecahan kaca, pembuluh darah di pinggiran luka dapat
terpotong luas. Darah yang keluar mungkin cukup banyak,
bentuk luka memanjang dan jaringan kulit di sekitar luka
tidak mengalami kerusakan.
c. Luka Robek (Vulnus Traumaticum)
Terjadi karena trauma, mungkin kecelakaan lalu lintas atau
kecelakaan lainnya. Luka tidak beraturan, dan jaringan kulit
di sekitar luka jika diikat akan mengalami kerusakan.
B. Luka Tertutup
Menurut TBMM (2002:119), luka tertutup adalah luka di mana
kulit penderita tetap utuh, tak ada hubungan dengan dunia luar,
jadi kerusakannya terjadi pada jaringan yang disebabkan oleh
benda tumpul. Berikut ini adalah macam luka tertutup:
a. Contusio/memar
Luka tertutup di mana kerusakan jaringan di bawah kulit
hanya tampak sebagai benjolan jika dilihat dari luar.
Adapun tanda-tandanya yaitu daerah yang luka
bengkak/menonjol, rasa sakit, dan lemah. Cedera ini dapat
disebabkan oleh benturan atau pukulan pada kulit. Jaringan
di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil
pecah, sehingga darah dan cairan seluler merembes ke
jaringan sekitarnya (Morgan, 1995:63). Memar ini
menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada
kulit. Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya

11
pendarahan di daerah yang terbatas disebut hematoma (CK
Giam, dkk, 1992:191). Nyeri pada memar biasanya ringan
sampai sedang dan pembengkakan yang menyertai sedang
sampai berat. Adapun memar yang mungkin terjadi pada
daerah kepala, bahu, siku, tangan, dada, perut dan kaki.
Benturan yang keras pada kepala dapat mengakibatkan
memar dan memungkinkan luka sayat.
b. Cedera pada otot atau tendo dan ligamen ada dua jenis
cedera pada otot atau tendo dan ligamentum, yaitu :
1) Sprain
Menurut C.K. Giam, dkk (1992:92) berpendapat bahwa
sprain adalah cedera pada sendi, dengan terjadinya robekan
pada ligamentum, hal ini terjadi karena stress berlebihan
yang mendadak atau penggunaan berlebihan yang berulang-
ulang dari sendi. Berdasarkan berat ringannya cedera C.K.
Giam, dkk (1992:195) membagi sprain menjadi tiga
tingkatan, yaitu:
a) Sprain Tingkat 1
Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam
ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus.
Cedera menimbulkan rasa nyeri tekan, pembengkatan
dan rasa sakit pada daerah tersebut.
b) Sprain Tingkat 2
Pada cedera ini lebih banyak serabut dari ligamentum
yang putus, tetapi lebih separuh serabut ligamentum
yang utuh. Cedera menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan,
pembengkakan, efusi, (cairan yang keluar) dan biasanya
tidak dapat menggerakkan persendian tersebut.
c) Sprain Tingkat 3
Pada cedera ini seluruh ligamentum putus, sehingga
kedua ujungya terpisah. Persendian yang bersangkutan
merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian,
pembekakan, tidak dapat bergerak seperti biasa, dan
terdapat gerakan-gerakan yang abnormal.

12
2) Strain
Menurut C.K. Giam, dkk (1992:93), “strain adalah
kerusakan pada suatu bagian otot atau tendo karena
penggunaan yang berlebihan ataupun stress yang
berlebihan”. Berdasarkan berat ringannya cedera strain
dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
a) Strain Tingkat 1
Pada strain tingkat 1, terjadi regangan yang hebat, tetapi
belum sampai terjadi robekan pada jaringan muscula
tendineus.
b) Strain Tingkat II
Pada strain tingkat II, terdapat robekan pada unit musculo
tendineus. Tahap ini menimbulkan rasa nyeri dan sakit
sehingga kekuatan berkurang.
c) Strain Tingkat III
Pada strain tingkat III, terjadi robekan total pada unit
musculo tendineus. Biasanya hal ini membutuhkan
tindakan pembedahan, kalau diagnosis dapat ditetapkan.
c. Dislokasi
Dislokasi adalah terlepasnya sebuah sendi dari tempatnya
yang seharusnya. Dislokasi yang sering terjadi adalah
dislokasi di bahu, sendi panggul (paha), karena terpeleset
dari tempatnya maka sendi itupun menjadi macet dan juga
terasa nyeri (Kartono Mohammad, 2005:31). Sebuah sendi
yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya
biasanya menjadi kendor. Akibanya, sendi itu akan mudah
mengalami dislokasi kembali. Penanganan yang dilakukan
pada saat terjadi dislokasi adalah melakukan reduksi ringan
dengan cara menarik persendian yang bersangkutan pada
sumbu memanjang, immobilisasi dengan spalk pada jari-
jari, di bawa kerumah sakit bila perlu dilakukan resistensi
jika terjadi fraktur.

13
c. Penatalaksanaan trauma jaringan lunak
Prinsip Perawatan Luka
Dalam merawat luka pertama kali dilakukan yaitu pembersihan luka
semaksimal mungkin sehingga mengurangi kontaminasi pada luka dan
mencegah terjadinya infeksi. Misalnya pada luka lecet dan luka parut bisa
langsung dibersihkan dengan air mengalir, air hangat dan cairan antiseptic.
Sedangkan pada luka tusuk dan luka gigitan perlu dibersihkan lebih
maksimal untuk mengeluarkan racun atau mikroba yang mungkin terdapat
pada luka. Selanjutnya bagian yang mengeluarkan darah dengan kasa
steril atau kain yang bersih untuk menghentikan pendarahan sebelum
perawatan luka lebih lanjut Karina dan Ismail, 2015).
Perawatan selanjutnya terhadap luka yaitu menggunakan pembalut
luka (wound dressing) berupa tekstil medis dari bahan serat, benang, kain,
produk komposit yang biasanya disterilkan terlebih dahulu sebelum
digunakan. Pada mulanya, setiap luka dirawat supaya cepat kering
termasuk luka yang mengeluarkan cairan sel (lembab) langsung dibalut
dengan kain kasa. Setelah luka kering kasa biasanya lengket sehingga
jaringan tumbuh lebih lambat dan memungkinkan adanya infeksi pada
luka (Mutia, 2010; Purwaningsih, 2018).
Teknik yang berkembang saat ini dikenal dengan moist wound healing
atau perawatan luka berbasis lembab. Dengan menjaga kelembaban luka,
maka kain kasa tidak lengket pada luka. Hasil pengamatan pasien di
RSUP Dr. Sardjito yang dirawat lukanya dengan cara ini menunjukkan
peningkatan epitelisasi, angka infeksi lebih rendah (2,6%) dibandingkan
perawatan konvensional (7,1%), luka lebih cepat sembuh dan waktu inap
pasien lebih sedikit (Purwaningsih, 2018)
Kain penutup luka yang kontak langsung atau primary dressing saat ini
banyak dikembangkan dari produk alami, salah satunya dari sumber
bahari berupa alginat. zat ini diperoleh dari rumput laut yang banyak
dimanfaat diberbagai bidang termasuk untuk pengembangan tekstil medis.
Diketahui, luka lebih cepat sembuh (30-50%) apabila menggunakan
pembalut yang mengandung alginat Pembalut jenis ini memenuhi syarat
sebagai primer dressing yang baik diantaranya mampu menyerap cairan
luka, menjaga suhu/kelembaban luka, serta mampu mengatur aliran
udara/gas dari luka (Mutia, 2010). Selain alginat, modern dressings yang

14
dikenal lainnya yaitu hydrocolloids, hydrogels, semi permeable adhesive
film, foams, biological dressings dan tissue engineered skin substitutes
(Qureshi et al., 2015).

Dalam merawat luka pertama kali dilakukan yaitu:


1. Evaluasi luka
2. Tindakan antiseptik
Semaksimal mungkin sehingga mengurangi kontaminasi pada luka dan
mencegah terjadinya infeksi. Misalnya pada luka lecet dan luka parut bisa
langsung dibersihkan dengan air mengalir, air hangat dan cairan antiseptic.
Sedangkan pada luka tusuk dan luka gigitan perlu dibersihkan lebih
maksimal untuk mengeluarkan racun atau mikroba yang mungkin terdapat
pada luka.
3. Pembersihan luka
Mengeluarkan darah dengan kasa steril atau kain yang bersih untuk
menghentikan pendarahan sebelum perawatan luka lebih lanjut. Semua
kotoran dan benda asing di luka harus ditempatkan dan dihilangkan
(debridemen luka) sebelum ditutup.
Luka superfisial dapat dibersihkan dengan aman dengan air keran
berkualitas baik. Sediaan seperti klorheksidin encer menyakitkan untuk
diterapkan dan manfaatnya diragukan. Irigasi dengan NaCl di bawah
tekanan (menggunakan jarum ukuran 19 pada semprit 10-20 mL) adalah
cara yang baik untuk melepaskan dan menghilangkan benda asing.
Sinar-X berguna untuk mendeteksi beberapa benda asing, terutama
pecahan kaca atau logam. Luka yang membutuhkan eksplorasi harus
dibius terlebih dahulu untuk memungkinkan pemeriksaan dan
pembersihan yang lebih menyeluruh.
4. Penjahitan luka
Teknik pemasangan jahitan berbeda-beda sesuai dengan ukuran, bentuk
dan posisi luka. Analgesia dan anestesi yang memadai pada luka sangat
penting sebelum memulai penjahitan; ini seringkali lebih sulit dan
memakan waktu daripada penjahitan itu sendiri.
5. Penutupan luka
Luka dangkal kecil dengan ujung berlawanan tidak perlu ditutup dan dapat
ditangani dengan balutan saja. Luka lain mungkin ditutup dengan perekat

15
jaringan, strip perekat, jahitan atau kombinasi dari dua atau tiga di
antaranya.

Perekat jaringan
Perekat jaringan paling berhasil pada luka yang panjangnya kurang dari 3
cm, memiliki tepi lurus yang bersih, tidak memerlukan jahitan dalam, dan
tidak tegang saat tepi berlawanan. Mereka tidak memerlukan anestesi
lokal dan cepat serta mudah diaplikasikan.
Hasil kosmetik untuk luka yang ditutup dengan perekat jaringan sama
dengan penutupan luka yang dicapai dengan jahitan, staples atau strip
perekat. Namun, dengan perekat jaringan (dibandingkan dengan jahitan),
ada sedikit peningkatan dalam kejadian dehiscence luka, tetapi semua
komplikasi luka lainnya tampaknya sama untuk kedua metode penutupan
luka.
Setiap area kulit mungkin dilem; Namun, perekatan di sekitar mata
membutuhkan perawatan yang sangat hati-hati untuk mencegah lem
menetes ke mata atau ke bulu mata.
Jika merekatkan kulit kepala, hilangkan rambut dari luka tetapi jangan
mencukur atau memotong rambut di sekitarnya.
Sebelum menempelkan, luka harus kering dan tidak berdarah -
mengoleskan ALA terlebih dahulu dapat membantu mengatasi hal ini.
Untuk mengoleskan perekat jaringan, posisikan anak sedemikian rupa
sehingga lukanya paling atas untuk meminimalkan lem mengalir.
Pastikan operator mengenakan sarung tangan; Hal ini tidak hanya untuk
kebersihan, tetapi untuk memastikan bahwa sarung tangan bukan operator
yang menempel pada anak, jika perekat secara tidak sengaja menempel
pada jari operator.
Tepi luka disatukan dengan ujung sedikit menonjol, dan lapisan perekat
tipis dioleskan pada setiap sisi luka, kemudian luka dijembatani dengan
mengaplikasikan lapisan dari sisi ke sisi.
Berhati-hatilah agar tidak ada perekat di luka. Anak dan orang tua harus
diberi tahu bahwa perekat akan terasa hangat saat berpolimer.
Luka harus tetap bersih dan kering, tetapi pembalut biasanya tidak
diperlukan, karena luka tertutup perekat. Perekat tidak perlu dilepas dan
lepas secara spontan dalam 1-2 minggu.

16
Strip perekat
Strip perekat cukup untuk menutup luka sederhana yang memerlukan
pertentangan tepi kulit yang agak terpisah pada area tubuh yang tidak
berbulu. Mereka sangat berguna untuk menyelaraskan lipatan kecil kulit di
atas luka. Mereka tidak tetap di tempat untuk waktu yang lama, dan tidak
boleh digunakan jika ada gerakan kulit atau ketegangan di seluruh luka.
Buat strip sepanjang mungkin, dan pisahkan dengan jarak yang cukup di
antara masing-masing untuk memungkinkan drainase cairan dari luka.
Balut lukanya dan minta orang tuanya untuk menjaganya tetap kering
selama 72 jam.
6. Pembalutan
Menggunakan pembalut luka (wound dressing) berupa tekstil medis dari
bahan serat, benang, kain, produk komposit yang biasanya disterilkan
terlebih dahulu sebelum digunakan. Pada mulanya, setiap luka dirawat
supaya cepat kering termasuk luka yang mengeluarkan cairan sel (lembab)
langsung dibalut dengan kain kasa. Setelah luka kering kasa biasanya
lengket sehingga jaringan tumbuh lebih lambat dan memungkinkan
adanya infeksi pada luka.
Teknik yang berkembang saat ini dikenal dengan moist wound healing
atau perawatan luka berbasis lembab. Dengan menjaga kelembaban luka,
maka kain kasa tidak lengket pada luka. Hasil pengamatan pasien di
RSUP Dr. Sardjito yang dirawat lukanya dengan cara ini menunjukkan
peningkatan epitelisasi, angka infeksi lebih rendah (2,6%) dibandingkan
perawatan konvensional (7,1%), luka lebih cepat sembuh dan waktu inap
pasien lebih sedikit (Purwaningsih, 2018)
Kain penutup luka yang kontak langsung atau primary dressing saat ini
banyak dikembangkan dari produk alami, salah satunya dari sumber
bahari berupa alginat. zat ini diperoleh dari rumput laut yang banyak
dimanfaat diberbagai bidang termasuk untuk pengembangan tekstil medis.
Diketahui, luka lebih cepat sembuh (30-50%) apabila menggunakan
pembalut yang mengandung alginat. Pembalut jenis ini memenuhi syarat
sebagai primer dressing yang baik diantaranya mampu menyerap cairan
luka, menjaga suhu/kelembaban luka, serta mampu mengatur aliran
udara/gas dari luka.

17
Selain alginat, modern dressings yang dikenal lainnya yaitu
hydrocolloids, hydrogels, semi permeable adhesive film, foams, biological
dressings dan tissue engineered skin substitutes (Qureshi et al., 2015).
7. pemberian antibiotik dan imunisasi
Untuk sebagian besar laserasi, antibiotik tidak diindikasikan untuk
profilaksis melawan infeksi, tetapi pembersihan dan dekontaminasi luka
adalah yang terpenting.
Antibiotik harus diresepkan untuk keadaan tertentu, seperti gigitan
hewan atau manusia, dan luka dengan kontaminasi yang luas atau
kerusakan jaringan. Antibiotik yang direkomendasikan untuk gigitan
hewan atau manusia adalah asam amoksisilin / klavulinat (komponen
amoksisilin 22,5 mg per kg hingga maksimum 875 mg) setiap 12 jam
secara oral selama 5 hari.
Procaine penisilin (50mg / kg hingga maksimum 1,5g) secara
intramuskuler dapat ditambahkan jika ada kemungkinan penundaan dalam
memulai pengobatan antibiotic oral. Semua anak harus diperiksa untuk
perlindungan tetanus yang memadai untuk profilaksis. Rekomendasi dari
National Health and Medical Research Council harus diikuti dalam
menentukan kebutuhan vaksinasi tambahan.
8. Pengangkatan jahitan

> Prinsip Perawatan Luka Sesuai Lokasi


1. Luka kulit kepala seringkali dapat ditutup dengan teknik non-bedah
yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, luka dalam seringkali perlu
dijahit dalam dua lapisan untuk mencegah pembentukan rongga di
jaringan.
2. Luka dahi harus memiliki debridemen minimal dan alis tidak boleh
dicukur. Jahitan modern yang dapat diserap harus digunakan pada anak
kecil.
3. Luka di dagu seringkali jauh lebih dalam dari yang pertama kali muncul
dan rentan terhadap jaringan parut. Jahitan dalam seringkali diperlukan
untuk mencegah ketegangan pada jahitan kulit.
4. Laserasi kelopak mata yang melibatkan margin kelopak mata atau
lempeng tarsal memerlukan pertentangan dan perbaikan yang akurat, dan
anak-anak dengan cedera seperti itu sebaiknya dirujuk ke dokter mata atau

18
ahli bedah plastik. Laserasi sederhana lainnya dapat direkatkan atau dijahit
dengan tegangan rendah dengan jahitan halus yang dapat diserap.
5. Luka di sekitar mulut membutuhkan pertimbangan yang cermat. Jika
luka melewati batas vermilion, perkiraan tepi yang sangat akurat
diperlukan untuk mendapatkan hasil visual yang baik.
Pada anak kecil, ini sering kali paling baik dicapai dengan anestesi
umum. Luka yang benar-benar melewati bibir harus ditutup berlapis-lapis.
Laserasi pada bibir bagian dalam jarang membutuhkan intervensi apa pun.
Anak-anak dengan laserasi pada batas gusi (misalnya cedera degloving)
perlu dirujuk untuk debridemen dan perbaikan dengan anestesi umum.
6. Luka langit-langit dan lidah sembuh dengan sangat baik dengan sedikit
atau tanpa intervensi. Tidak memerlukan penjahitan kecuali luka
menganga lebar, memanjang melalui margin bebas atau terus berdarah.
7. Luka ujung jari dengan atau tanpa kehilangan kulit sangat umum
terjadi. Area kulit yang rontok hingga 1 cm2 dirawat dengan balutan tulle
dan sembuh dengan mengembalikan sensasi yang baik. Anak-anak dengan
tingkat kehilangan jaringan yang lebih besar harus dirujuk untuk
mendapatkan opini bedah plastik. 8. Amputasi parsial atau cedera
himpitan pada jari tangan atau kaki perlu diperiksa integritas alas kuku.
Jika ini rusak, rujuk anak untuk perbaikan operasi plastik diperlukan.
Fraktur falang distal menyiratkan kerusakan pada bantalan kuku, jadi
rontgen mungkin diperlukan pada beberapa cedera. Jika bantalan kuku
masih utuh, luka dapat ditutup menggunakan pita perekat atau jahitan.
9. Luka tangan perlu diperiksa dengan cermat, karena struktur yang lebih
dalam sering kali terlibat. Laserasi melalui cedera tendon risiko dermis.
Jika ada struktur seperti itu yang rusak atau ada keraguan, rujuk ke opini
bedah plastik. Fungsi neurologis harus diuji sebelum infiltrasi anestesi
lokal.

d. Pencegahan trauma jaringan lunak


Studi observasi menunjukkan bahwa trauma gigi dapat menyebabkan rasa
sakit, gangguan fungsional dan masalah estetika, dengan konsekuensi
fisik, emosional dan sosial bagi anak-anak dan keluarganya. Ini
menunjukkan perlunya program pencegahan primer dan sekunder pada
anak-anak dan dewasa muda.

19
 Primer
Penerapan tindakan pencegahan primer yang sesuai dengan tujuan
melindungi subjek bergantung pada informasi yang benar yang
dikelola antara lain oleh dokter gigi, ortodontis, ahli kesehatan gigi,
orang tua dan pengasuh, dan guru sekolah. Sekolah, rumah, fasilitas
olahraga, dan jalan adalah tempat terjadinya peristiwa traumatis
dengan frekuensi terbesar. Namun, mereka juga merupakan tempat
yang memungkinkan untuk memberikan informasi dan menerapkan
langkah-langkah pencegahan. Kampanye informasi, melalui sekolah,
klub olahraga, televisi, surat kabar, pamflet dan poster, dan yang
terpenting, internet adalah strategi yang berguna untuk meningkatkan
kesadaran pencegahan dan pertolongan pertama trauma gigi. Selain itu
juga bisa dengan pemakaian pelindung mulut (mouthguard) saat
berolahraga.
 Sekunder
Dalam kasus trauma gigi, pasien harus tetap tenang, setiap darah harus
dibersihkan dan sifat kerusakan yang ditimbulkan harus dievaluasi
dengan hati-hati (jenis gigi yang terlibat, fraktur gigi) dan jenis
pertolongan pertama yang diperlukan (perlu avulsi, penggantian,
pemasangan kembali fragmen, perlindungan pulpa gigi dan / atau gigi
yang terbuka).

2. Trauma pada jaringan keras


a. Etiologi trauma jaringan keras
1) Maksilofasial
 Laporan tersebut menunjukkan bahwa penyebab paling umum untuk
cedera maksilofasial adalah RTA (Road Traffic Incident), terhitung
73,8% cedera (197/267), di antaranya kendaraan roda dua bermotor
(MTW) adalah penyebab utama cedera ini (90,9%, 179 / 197),
termasuk tergelincir dan jatuh, tabrakan dengan kendaraan dan pejalan
kaki lain.
 Trauma akibat jatuh menyumbang 18,0% cedera (48/267), sebagian
besar terjadi pada anak-anak yang jatuh saat bermain, lansia yang
terjatuh akibat penyakit sistemik, atau laki-laki yang jatuh karena
pengaruh alkohol.

20
 Penyerangan oleh orang yang dikenal menyebabkan 6,7% cedera
(18/267).

 Tiga kasus cedera olahraga dan satu kasus cedera industri dilaporkan
dalam data

(Mohanavalli Singaram, Sree Vijayabala G, and Rajesh Kumar Udhayakumar,


J Korean Assoc Oral Maxillofac Surg. : Prevalence, pattern, etiology, and
management of maxillofacial trauma in a developing country: a retrospective
study. 2016 Aug; 42(4): 174–181)

2) Dentoalveolar
Faktor etiologi sangat berkaitan dengan usia penderita. Pada anak
prasekolah, jatuh adalah penyebab paling umum dari cedera mulut,
sedangkan pada anak usia sekolah, cedera paling sering disebabkan
oleh olahraga atau pukulan orang lain. Pada remaja dan dewasa
muda, penyerangan dan kecelakaan lalu lintas adalah faktor
etiologi yang paling umum.
Di negara berkembang, kecelakaan lalu lintas adalah penyebab
paling umum dari cedera dan kematian. Pola yang sama diamati
beberapa dekade lalu di banyak negara Barat, tetapi tindakan
pencegahan lalu lintas di negara-negara ini telah menurunkan
jumlah kecelakaan secara dramatis, meskipun jumlah mobil telah
meningkat pesat. Beberapa negara telah sangat berhasil dalam
mengurangi jumlah kematian dan cedera yang disebabkan oleh lalu
lintas.

21
b. Klasifikasi trauma jaringan lunak
1) Maksilofasial
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur
tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg
definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya Trauma pada
jarinagan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.
a. Berdiri Sendiri: Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum,
maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus.
b. Bersifat Multiple: Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal
dan fraktur kompleks mandibular
2. Dibedakan berdasarkan kekhususan.
Fraktur Le Fort:
 Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling
sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya prosesus
alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini
menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang
disebut floating jaw.
 Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur
piramidal yang diidentifikasikan dengan pemisahan
kompleks.
 Fraktur Le Fort III juga di kenal sebagai disosiasi
kraniofasial yang dideteksi dengan pemisahan seluruh
bagian tengah wajah dan tengkorak dan fraktir ini
terjadi pada jahitan nasofrontal dan
zygomaticomaxillary dan pelat pterigoid

Le Fort I (A), II (B), III (C) fracture patterns on a three-dimensional model

22
Tipe 1 : Fraktur Unilateral maupun bilateral tanpa adanya
deviasi garis tengah

Tipe 2 : Fraktur Unilateral maupun bilateral dengan adanya


deviasi garis tengah

Tipe 3 : Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang


bengkok dengan penopang septal yang utuh

Tipe 4 : Fraktur unilateral maupun bilateral dengan deviasi


berat atau rusaknya garis tengah hidung

Tipe 5 : Cedera berat meliputi laserasi dan trauma pada


jaringan lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka dan robeknya
jaringan

2) Dentoalveolar
 Infraction : suatu fraktur yang tidak sempurna pada email
tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau
vertikal. Fraktur (retakan) email yang tidak lengkap tanpa
kehilangan struktur gigi.
 Enamel Fracture : fraktur email yang tidak kompleks
(uncomplicated crown fracture) yaitu suatu fraktur yang
hanya mengenai lapisan email saja.Fraktur lengkap pada
email, Kehilangan enamel dan Tidak ada tanda-tanda
dentin yang terpapar, Tes Perkusi : Tidak empuk. Jika nyeri

23
tekan, evaluasi gigi untuk kemungkinan keseleo atau
cedera fraktur akar, Mobilitas normal, Tes pulpa
sensibilitas biasanya positif.
 Enamel dentin fracture : fraktur pada mahkota gigi yang
hanya mengenai email dan dentin saja tanpa melibatkan
pulpa fraktur terbatas pada enamel dan dentin dengan
kehilangan struktur gigi, tetapi tidak memperlihatkan
pulpa, tes perkusi: tidak empuk. Jika terlihat nyeri tekan,
evaluasi gigi untuk kemungkinan keseleo atau cedera
fraktur akar, mobilitas normal, tes pulpa sensibilitas
biasanya positif.
 Complicated crown fracture : Fraktur yang melibatkan
email dan dentin dengan kehilangan struktur gigi dan pulpa
terbuka, Mobilitas normal, Uji perkusi: tidak nyeri tekan.
Jika ada nyeri tekan, evaluasi kemungkinan keseleo atau
cedera fraktur akar. Pulpa yang terpapar sensitif terhadap
rangsangan
 Crown-root fracture without expose pulp: fraktur yang
mengenai email, dentin, dan sementum.Fraktur yang
melibatkan enamel, dentin dan sementum dengan
kehilangan gigi struktur, tetapi tidak mengekspos pulpa.
Fraktur mahkota meluas di bawah margin gingiva. Tes
perkusi: Lembut. Ponsel pecahan koronal. Uji sensibilitas
pulpa biasanya positif untuk apikal pecahan.
 Crown root fracture with expose pulp : fraktur yang
mengenai email, dentin, dan sementum. idak melibatkan
jaringan pulpa
 Root fracture: fraktur yang mengenai dentin, sementum,
dan pulpa tanpa melibatkan lapisan email. Segmen koronal
mungkin bergerak dan dapat berpindah tempat. Gigi
mungkin lunak untuk perkusi. Pengujian sensibilitas
awalnya mungkin memberikan hasil negatif, yang
menunjukkan kerusakan saraf sementara atau permanen.
Perubahan warna mahkota sementara (merah atau abu-abu)
dapat terjadi.

24
 Alveolar fracture : fraktur melibatkan tulang alveolar dan
dapat meluas ke tulang yang berdekatan. Mobilitas segmen
dan dislokasi dengan beberapa gigi yang bergerak bersama
merupakan gambaran umum. Pengujian sensibilitas
mungkin positif atau tidak.
 Konkusi : Tes kepekaan cenderung memberikan hasil yang
positif.
 Subluxation : Pengujian sensibilitas mungkin negatif pada
awalnya yang menunjukkan kerusakan pulpa sementara.
 Luksasi ekstruksi : Gigi tampak memanjang dan terlalu
banyak bergerak. Tes sensibilitas kemungkinan besar akan
memberikan hasil yang negatif.
 Lateral luksasi: Gigi bergeser, biasanya ke arah palatal /
lingual atau labial. Tes sensibilitas kemungkinan besar
akan memberikan hasil yang negative. Ini tidak bergerak
dan perkusi biasanya memberikan suara metalik (ankylotic)
yang tinggi.
 Intrusi luksasi : Gigi dipindahkan secara aksial ke tulang
alveolar. Ini tidak bisa bergerak dan perkusi dapat
memberikan suara metalik (ankylotic) yang tinggi. Tes
sensibilitas kemungkinan besar akan memberikan hasil
yang negatif.

25
c. Penatalaksanaan trauma jaringan keras
Penatalaksanaan pada fraktur maksila meliputi penegakan airway, kontrol
pendarahan, penutupan luka pada soft tissue (jaringan lunak), dan
menempatkan segmen tulang yang fraktur sesuai dengan posisinya melalui
fiksasi intermaksilari.
Sekarang ini treatment fraktur Le Fort tidak hanya bertujuan untuk
memperbaiki oklusi sebelum fraktur, tapi juga proyeksi, lebar, dan
panjang wajah serta integritas kavitas nasal, orbita dan kontur soft tissue.
Tujuan tersebut dicapai dengan melakukan CT scan potongan tipis,
reduksi terbuka ekstensif semua fraktur, stabilisasi rigid menggunakan
plat dan sekrup, cangkok tulang apabila terdapat gap akibat hilangnya
segmen tulang, dan reposisi selubung soft tissue.
Fiksasi Maksilomandibular. Teknik ini merupakan langkah pertama
dalam treatment fraktur maksila untuk memungkinkan restorasi hubungan
oklusal yang tepat dengan aplikasi arch bars serta kawat interdental pada
arkus dental atas dan bawah. Prosedur ini memerlukan anestesi umum
yang diberikan melalui nasotracheal tube. Untuk ahli bedah yang sudah
berpengalaman dapat pula diberikan melalui oral endotracheal tube yang
ditempatkan pada gigi molar terakhir. Tracheostomy biasanya dihindari
kecuali terjadi perdarahan masif dan cedera pada kedua rahang, karena
pemakaian fiksasi rigid akan memerlukan operasi selanjutnya untuk
membukannya.
Akses Fiksasi. Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada
tempat-tempat tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain
kemudahan untuk mencapainya. Untuk mencapai maksila anterior
dilakukan insisi pada sulkus gingivobuccal, rima infraorbital, lantai
orbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi subsiliari). Daerah
zygomaticofrontal dicapai melalui batas lateral insisi blepharoplasty.
Untuk daerah frontal, nasoethmoidal, orbita lateral, arkus zygomatic
dilakukan melalui insisi koronal bila diperlukan.
Reduksi Fraktur. Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara
anatomis. Tergantung pada kompleksitas fraktur, stabilisasi awal sering
dilakukan dengan kawat interosseous. CT scan atau visualisasi langsung
pada fraktur membantu menentukan yang mana dari keempat
pilar/buttress yang paling sedikit mengalami fraktur harus direduksi

26
terlebih dahulu sebagai petunjuk restorasi yang tepat dari panjang wajah.
Sedangkan fiksasi maksilomandibular dilakukan untuk memperbaiki lebar
dan proyeksi wajah.
Stabilisasi Plat dan Sekrup. Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih
disukai. Pada Le Fort I, plat mini ditempatkan pada tiap buttress
nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada Le Fort II, fiksasi tambahan
dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital. Pada Le Fort
III, plat mini ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk
stabilisasi. Plat mini yang menggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai
untuk stabilisasi buttress maksila. Ukuran yang sedemikian kecil dipakai
agar plat tidak terlihat dan teraba. Kompresi seperti pada metode yang
dijukan oleh Adam tidak dilakukan kecuali pada daerah
zygomaticofrontal. Sebagai gantinya maka dipakailah plat mini agar dapat
beradaptasi secara pasif menjadi kontur rangka yang diinginkan.
Pengeboran untuk memasang sekrup dilakukan dengan gurdi bor yang
tajam dengan diameter yang tepat. Sebelumnya sekrup didinginkan untuk
menghindari terjadinya nekrosis dermal tulang serta dilakukan dengan
kecepatan pengeboran yang rendah. Fiksasi maksilomandibular dengan
traksi elastis saja dapat dilakukan pada fraktur Le Fort tanpa mobilitas.
Namun, apabila dalam beberapa hari oklusi tidak membaik, maka
dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal.
Cangkok Tulang Primer. Tulang yang rusak parah atau hilang saat
fraktur harus diganti saat rekonstruksi awal. Bila gap yang terbentuk lebih
dari 5 mm maka harus digantikan dengan cangkok tulang. Cangkok tulang
diambil dari kranium karena aksesibilitasnya (terutama jika diakukan
insisi koronal), morbiditas tempat donor diambil minimal, dan memiliki
densitas kortikal tinggi dengan volum yang berlimpah. Pemasangan
cangkokan juga dilakukan dengan plat mini dan sekrup. Penggantian
defek dinding antral lebih dari 1.5 cm bertujuan untuk mencegah prolaps
soft tissue dan kelainan pada kontur pipi.
Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular. Setelah reduksi dan fiksasi
semua fraktur dilakukan, fiksasi maksilomandibular dilepaskan, oklusi
diperiksa kembali. Apabila terjadi gangguan oklusi pada saat itu, berarti
fiksasi rigid harus dilepas, MMF dipasang kembali, reduksi dan fiksasi
diulang.

27
Resuspensi Soft Tissue. Pada saat menutup luka, soft tissue yang telah
terpisah dari rangka dibawahnya ditempelkan kembali. Untuk
menghindari dystopia lateral kantal, displacement massa pipi malar ke
inferior, dan kenampakan skleral yang menonjol, dilakukan canthoplexy
lateral dan penempelan kembali massa soft tissue pipi pada rima
infraorbita.
Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila. Pada fraktur ini dapat terjadi
rotasi pada segmen alveolar denta, dan merubah lebar wajah. Sebagian
besar terjadi mendekati garis tengah pada palatum dan keluar di anterior
diantara gigi-gigi kuspid. Fraktur sagital dan juga tuberosity dapat
distabilkan setelah fiksasi maksilomandibular dengan fiksasi sekrup dan
plat pada tiap buttress nasomaksilari dan zygomaticomaxillary.
Perawatan Postoperative Fraktur Maksila. Manajemen pasca operasi
terdiri dari perawatan secara umum pada pasien seperti kebesihan gigi dan
mulut, nutrisi yang cukup, dan antibiotik selama periode perioperasi.
Perawatan Elektif. Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien
fraktur maksilofasial adalah penyembuhan tulang yang cepat, normalnya
kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi nasal, pemulihan fungsi
bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase perawatan
dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status
nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya
kemungkinan pasien merasa tidak nyaman.
Tujuan dari terapi fraktur adalah untuk mengembalikan anatomi dan
fungsi dari tulang dan jaringan lunak dalam waktu yang singkat dengan
resiko yang paling kecil. Terapi fraktur harus dilakukan sedini mungkin
untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Syarat untuk mendapatkan hasil yang optimal :
· Reposisi fragmen ke posisi yang benar secara anatomis
· Kontak yang baik antara kedua fragmen selama masa
penyembuhan
· Imobilisasi
Tahap-tahap terapi :
· Reposisi : Mengembalikan letak fragmen ke posisi yang benar
secara anatomi.

28
· Imobilisasi/Retensi : Dapat menggunakan IDW, miniplat
ataupun sekrup.
· Fiksasi : Tujuannya adalah agar fragmen yang telah direposisi
dan mendapat retensi tidak bergerak selama masa awal
penyembuhan, fiksasi ini dapat menggunakan metode fiksasi
maksilomandibular.
· Mobilisasi : Mobilisasi dini sehabis fraktur penting untuk
mencegah ankilosis pada sendi rahang pada kasus fraktur
kondilus, mengembalikan jalan nafas orofaringeal dan
mengembalikan rasa percaya diri pasien sehingga
dapatberkativitas dengan normal (fungsi sosial)

Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum,


lebih cepat merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian
membuktikan bahwa semakin lama luka dibiarkan terbuka dan tidak
ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan
malunion.

Perawatan Fraktur Maksilofasial

Sebelum dilakukan debridement, diberikan antibiotik profilaks yang


dilakukan di ruangan emergency. Yang terbaik adalah golongan
sefalosforin. Biasanya dipakai sefalosforin golongan pertama. Pada
fraktur terbuka, diberikan tambahan berupa golongan aminoglikosida,
seperti tobramicin atau gentamicin. Golongan sefalosforin golongan
ketiga dipertimbangkan di sini. Sedangkan pada fraktur yang dicurigai
terkontaminasi kuman clostridia, diberikan penicillin.

Peralatan proteksi diri yang dibutuhkan saat operasi adalah google,


boot dan sarung tangan tambahan. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan
pencucian dengan povine iodine, lalu drapping area operasi. Debridement
dilakukan pertama kali pada daerah kulit. Kemudian rawat perdarahan di
vena dengan melakuan koagulasi. Buka fascia untuk menilai otot dan
tendon. Viabilitas otot dinilai dengan 4C, “Color, Contractility,
Circulation and Consistency”. Lakukan pengangkatan kontaminasi canal
medullary dengan saw atau rongeur. Curettage canal medulary
dihindarkan dengan alasan mencegah infeksi ke arah proksimal. Irigasi
dilakukan dengan normal saline. Penggunaan normal saline adalah 6-10

29
liter untuk fraktur terbuka. Tulang dipertahankan dengan reposisi.
Penutupan luka dilakukan jika memungkinkan. Pada fraktur terbuka yang
tidak bisa dilakukan penutupan luka, dilakukan rawat luka terbuka,
hingga luka dapat ditutup sempurna. Perawatan fraktur dapat dibedakan
menjadi perawatan fraktur secara tertutup (closed) atau terbuka (open).

Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF)


disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan
manipulasi terhadap area fraktur secara langsung. Teknik IMF yang
biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar.

1. Closed Reduction
Pada prinsipnya, terapi fraktur konservatif dapat menggunakan
metode :
· Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligature dental,
splint dental, arch bar)
· Splin protesa, digunakan pada rahang yang tidak bergigi, dapat
dicekatkan dengan sekrup osteosintesis ke tulang atau dengan
circumferential wiring
· Yang bertumpu ke struktur tulang ekstra oral (head chin splint dan
gips pada fraktur hidung)

Macam metode IDW (InterdentalWiring) untuk metode tertutup :

i. Ligatur Dental
Ligatur dental sering digunakan sebagai “terapi awal atau dini”.
Kelemahannya adalah kurangnya stabilitas dalam jangka waktu
yang lama dan sering merusak struktur periodonsium gigi. Karena
itu, penggunaan ligature dental hanya bersifat sementara.
Pemasangan ligature dapat dilakukan dengan menggunakan kawat
berdiameter 0,35 atau 0,4 mm. Tipe ligature dental yang sering
digunakan adalah Ivy, Stout, Essig.
ii. Arch Bar
Ada 2 tipe Arch bar yaitu direk dan indirek.
a) Tipe Direk
Arch bar langsung dipasang menggunakan bantuan kawat 0,35
atau 0,4 mm. Keuntungan arch bar jenis ini adalah dapat langsung
digunakan tanpa memerlukan proses pembuatan di laboratorium,

30
umumnya arch bar dipasang pada gigi-gigi di rahang atas dan
bawah, setelah proses ligasi selesai barulah dilakukan MMF. MMF
dilakukan dengan menggunakan karet (rubber) maupun
menggunakan kawat 0,4 mm.
b) Tipe Indirek
Pada pasien sebelumnya dilakukan pencetakan dari rahang atas
dan bawah dengan menggunakan alginate, kemudian dilakukan
pembuatan arch bar sesuai dengan bentuk rahang pasien.
Keuntungannya adalah bentuk arch bar sesuai dengan bentuk
rahang dan gigi pasien. Selain itu, pada model dan articulator dapat
dapat dilakukan penyesuaian oklusi. Kerugiannya adalah diperlukan
tambahan waktu dan biaya untuk pembuatannya.
iii. Splin Protesa
Digunakan pada fraktur rahang tidak bergigi, jika pasien
mempunyai gigi tiruan lengkap maka sebelumnya dapat dilakukan
duplikasi dari gigi tiruan itu terlebih dahulu. Selanjutnya prinsipnya
adalah pemasangan protesa ke dalam mulut untuk digunakan
sebagai alat bantu guna mendapatkan oklusi dan artikulasi yang
baik. Selain itu, MMF juga dapat dilakukan lewat protesa ini.
Protesa dapat difiksasi di mulut menggunakan sekrup osteosintesi
(umumnya diperlukan 3-4 sekrup per rahang).

2. Open Reduction
Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan
dan reduksi terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan
pembedahan. Terapi fraktur dengan metode open reduction
diindikasikan pada:
· Fraktur multiple dan comminuted
· Fraktur terbuka
· Fraktur pada rahang yang atrofi
· Fraktur yang terinfeksi
· Fraktur pada pasien yang tidak dapat dilakukan terapi konservatif
seperti pada pasien epilepsy, ketergantungan alcohol,
keterbelakangan mental.

31
Terapi fraktur sebaiknya dilakukan secepat mungkin, penundaan
perawatan akan berakibat pada kalsifikasi tulang pada posisi yang
salah dan juga meningkatkan resiko infeksi. Meskipun secara umum
fraktur oran dan maksilofasial sebaiknya dirawat secara terbuka,
namun tidak semuanya membutuhkan. Pada fraktur tanpa
displacement umumnya tidak perlu intervensi bedah. Material yang
digunakan untuk fiksasi pada terapi fraktur dengan open reduction
antara lain kawat, pelat dan sekrup, miniplat, mikroplat.

d. Pencegahan trauma jaringan lunak


1) Maksilofasial
 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah pencegahan diri dari keadaan yang
dapat menimbulkan luka.
1. General
Penyedia layanan kesehatan, seperti dokter gigi, ahli
kesehatan gigi, dokter, dan perawat, memiliki peran penting
dalam pencegahan trauma gigi. Peran ini termasuk
memberikan pengetahuan dan motivasi kepada pasien dan
komunitas, promosi tindakan pencegahan seperti
penggunaan pelindung mulut dan masker wajah, serta
perawatan karies gigi dan restorasi yang rusak serta
maloklusi.
Tantangan penyedia layanan juga untuk mendeteksi
kebiasaan parafungsional yang berpotensi membahayakan,
seperti mengunyah es batu, peralatan logam, menggunakan
gigi untuk membuka kaleng minuman, botol dan paket
makanan, dan yang terpenting adalah mendiskusikan potensi
yang membahayakan tersebut kepada masyarakat.
Memotivasi pasien untuk tidak melakukan perilaku
berbahaya, serta memberikan pasien tindakan untuk
menghentikan kebiasaan atau untuk melindungi gigi.
2. Mouthguards
Merekomendasikan penggunaan pelindung mulut bagi para
olahragawan yang jenis olahraganya membahayakan daerah
sekitar mulut, seperti olahraga tinju. Penggunaan pelindung

32
mulut harus dilakukan di tingkat sosial umum dengan
menggunakannya selama kegiatan olahraga dan pelatihan
militer.
Saat merekomendasikan pelindung mulut, dokter gigi
sebaiknya lebih memilih pelindung mulut yang dibuat
khusus, yang menawarkan perlindungan superior daripada
dengan desain prafabrik.
a. Pencegahan Primer di Rumah
Bayi, anak-anak, dan orang tua adalah kategori orang
yang paling berisiko mengalami kecelakaan rumah
tangga. Untuk individu dalam usia 14 tahun, ruang
tamu (area rumah yang didedikasikan untuk waktu
luang dan untuk bermain) adalah lingkungan yang
paling berisiko dari kecelakaan rumah tangga. Pada
anak usia dini yang mulai berjalan dengan atau tanpa
alat bantu jalan adalah momen yang paling sering
terjadi. Trauma gigi pada anak usia dini lebih sering
diakibatkan karena jatuh dan menabrak furnitur. Oleh
karena itu pengawasan dari orang dewasa sangatlah
penting.
Pada individu yang menunjukkan overjet akan
meningkat pada individu yang sering menghisap
jempol atau boneka, trauma gigi lebih sering terjadi
pada kasus “wajah lebih dulu” jatuh. Oleh karena itu,
penting untuk melakukan perawatan ortodontik
spesialis untuk mengidentifikasi dan mengkoreksi
kemungkinan dini gigi. Dalam kasus overjet
meningkat, orang tua harus diberi tahu tentang risiko
trauma gigi yang disebabkan oleh jatuh wajah lebih
dahulu dan menyarankan evaluasi ortodontik.
b. Pencegahan Primer di Sekolah
Trauma yang paling umum adalah konsekuensi dari
kebiasaan mengunyah pena dan menyimpan alat tulis
di mulut, perkelahian, permainan yang menggunakan
benda tumpul, dan jatuh selama olahraga. Sehingga

33
direkomendasikan agar sekolah mengadakan
pelatihan kepada guru dan staf non pengajar tentang
risiko trauma gigi. Dianjurkan untuk
menginformasikan dan mengajari anak-anak
mengenai risiko perilaku berbahaya dan
konsekuensinya.
c. Pencegahan Primer di Lingkungan Olahraga
Saat melakukan kegiatan olahraga, dianjurkan untuk
menggunakan helm olahraga yang sesuai dengan
olahraga yang dipraktikkan, menggunakan pelindung
mulut, memberi tahu pemain tentang risiko
kerusakan gigi dan wajah serta manfaat dari tindakan
pengamanan ini.
 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah pencegahan atau meminimalisir


keparahan suatu insiden cedera yang terjadi. Mengintervensi,
mendiagnosa, dan mengobati pada gigi yang mengalami fraktur
sebagai pencegahan sekunder terhadap komplikasi trauma.

Dalam kasus trauma gigi, pasien harus tetap tenang, setiap


darah harus dibersihkan dan sifat kerusakan yang timbul harus
dievaluasi dengan hati-hati dan memberikan jenis pertolongan
pertama yang diperlukan (kebutuhan untuk avulsi, penggantian,
pemasangan kembali fragmen, perlindungan pulpa gigi dan atau
gigi yang terbuka). Gigi avulsi memiliki kemungkinan yang baik
untuk dipasang kembali jika telah disimpan dalam larutan cair
(larutan fisiologis, susu atau air liur). Ada kemungkinan
penyembuhan yang baik jika pemasangan kembali. Dalam semua
kasus, protokol tindak lanjut diperlukan untuk menghindari
komplikasi yang timbul. Sehingga direkomendasikan untuk segera
pergi ke departemen darurat dengan layanan gigi, atau ke dokter
gigi swasta. Jika gigi yang telah avulsi adalah gigi permanen,
direkomendasikan untuk dipasang kembali. Jika gigi avulsi
merupakan gigi sulung, pemasangan kembali tidak dianjurkan.

34
Manajemen trauma gigi di tempat insiden terjadi dengan cepat,
terutama dalam kasus avulsi, oleh profesional gigi, dokter darurat,
medis, paramedis, korps, guru, pelatih, dan orang awam sangat
penting untuk prognosis jangka panjang yang menguntungkan.

 Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah perawatan yang optimal dan rehabilitasi


dengan meminimalkan dampak dari cedera. Trauma gigi pada
anak-anak dapat dilakukan perawatan di bidang implantologi dan
teknologi porselen saat masa dewasa awal.

35
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cedera jaringan lunak dank eras dapat terjadi akibat kekerasan interpersonal,
jatuh dari ketinggian, olahraga, kecelakaan sepeda, trauma dari pegangan sumur
tabung, luka yang berhubungan dengan hewan, penyerangan dan benda asing.
Senjata mungkin terlibat atau tidak. Dan untuk klasifikasi trauma jaringan lunak
itu terbagi menjadi luka lecet (Vulnus Excoriasi ), luka sayat (Vulnus scissum),
luka robek atau parut (Vulnus laseratum), luka tusuk (Vulnus punctum), luka
gigitan (Vulnus morsum) dan luka bakar (Vulnus combustion) dan untuk trauma
jaringan keras seperti fraktur Le fort I, fraktur Le fort tipe II danfraktur Le fort III

3.2 Saran
Kami menyadari masih banyak kekurangan dari kelompok kami dalam
diskusi kelompok maupun pembuatan laporan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan kelompok kami di
masa mendatang.

36
DAFTAR PUSTAKA

Andersson, L. (2013). Epidemiology of Traumatic Dental Injuries. Journal of


Endodontics, 39(3), S2–S5. doi:10.1016/j.joen.2012.11.021

Cagetti, M. G., et al. (2019). Italian Guidelines for the Prevention and
Management of Dental Trauma in Children. Italian Journal of Pediatrics,
45(2019), 157.

Esmaeelinejad, M. (2018). Maxillofacial fractures: from diagnosis to treatment.


In Trauma Surgery. IntechOpen.

Kim, H. N., et al. (2020). Injury Prevention, Safety Education and Violence in
Relation to the Risk of Tooth Fracture among Korean Adolescents.
International Journal of Environmental Research and Public Health, 17,
8556.

Levin, L., Zadik, Y. (2012). Education on and Prevention of Dental Trauma: It’s
Time to Act. Dental Traumatology, 28, 49-54.

Mansjoer, A., Wardhani, W. I., & Setiowulan, W. (2000). Kapita Selekta


Kedokteran, Jilid 2.

Meikahani, R., et al. (2015). Pengembangan buku saku pengenalan pertolongan


dan perawatan cedera olahraga untuk siswa sekolah menengah pertama.
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia.

Mohanavalli Singaram, Sree Vijayabala G, and Rajesh Kumar Udhayakumar, J


Korean Assoc Oral Maxillofac Surg. : Prevalence, pattern, etiology, and
management of maxillofacial trauma in a developing country: a retrospective
study. 2016 Aug; 42(4): 174–181)

Oktaviani, D. J. (2019). Review: Bahan Alami Penyembuh Luka. Majalah


Farmasetika, 4(3), 45-56.
Paul Coulthard., et al. (2013). Oral and Maxillofacial Surgery, Radiology,
Pathology and Oral Medicine. London:Elsevier

Santanu Mukhopadhyay., et al. (2020). Oral and maxillofacial injuries in children:


a retrospective study. J Korean Assoc Oral Maxillofac Surg;46:183-190

Sarkum., et al. (2013). Pengaruh Pengelolaan Teknik Aseptik Pada Penanganan


Luka Terbuka Stadium II-III Terhadap Kejadian Infeksi di Rumah Sakit
Umum Daerah Sunan Kalijaga Demak. Jurnal Poltekkes Semarang.

Wayne F.Larrabee., et al. Archives of Facial Plastic Surgery (2011). JAMA &
Archives Journal

Welbury, R., Gregg. T. (2005). Managing Dental Trauma in Practice. London:


Quintessence Publishing Co. Ltd.

Young, S. J., et al. (2005). Bruising, abrasions and lacerations: minor injuries in
children I. The Medical Journal of Australia.

Zuhan, A., et al. (2016). Profil Penanganan Luka pada Pasien Trauma di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Kedokteran, 5(3), 21-26.

Anda mungkin juga menyukai