Anda di halaman 1dari 11

Perikanan dan Kelautan Jaya

kumpulan info-info tentang dunia perikanan dan kelautan

 Beranda
 About Me
 DOWNLOAD

Sabtu, 19 Februari 2011


Pengaruh Bendungan atau DAM Terhadap Ekosistem Sungai

Sejalan dengan perkembangan masyarakat di wilayah daerah aliran sungai


(DAS), maka berbagai tatanan kehidupan berubah dengan cepat mengikuti berbagai
kebutuhan masyarakat. Salah satu dampak dari perubahan tersebut  ialah pola
pemanfaatan sumber daya alam yang berada disekitar masyarakat. Keinginan untuk
memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin, umumnya kurang
memperhatikan dampak yang akan muncul dikemudian hari. Selain itu perkembangan
penduduk dan pemukiman akan mendesak pola penggunaan lahan di wilayah hulu
berubah yang biasanya dikonversi dari penggunaan lahan pertanian ke non-pertanian. 

Hariyadi (1988) mengemukakan tingkat pertambahan penduduk yang begitu


pesat, sebaliknya luas DAS relatif tetap tidak mengalami perubahan, ditambah lagi
dengan faktor kemiskinan penduduk yang mengakibatkan semakin meningkatnya
perubahan penggunaan lahan yang pada umumnya kurang memperhatikan faktor
konservasi tanah dan air dalam pengelolaannya. Pemanfaatan potensi DAS baik sumber
daya lahan maupun sumberdaya air yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah
konservasi akan mengakibatkan degradasi terhadap kondisi DAS. 

Pesatnya pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang sangat besar.


Sering pula terlihat bahwa dalam pembangunan terjadi pengelolaan terhadap
penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, hal tersebut dapat mengakibatkan
terganggunya keseimbangan tata air dan turunnya kemampuan tanah produksi lahan
yang tergambar dengan menurunnya aliran rendah,  naiknya aliran maksimal, dan
naiknya hasil air tahunan, selain itu juga akan meningkatkan tingkat erosi dan
sedimentasi ( Ilyas dan Effendy, 1993).

Berbagai dampak akan terjadi sebagai akibat pemanfaatan sumber daya alam
yang kurang seimbang, salah satu dampak yang terjadi di wilayah DAS Ciliwung ialah
terjadinya banjir sebagai akibat air hujan yang melimpah memasuki wilayah Jakarta
dari arah hulu sedangkan bagian utara adalah daerah pantai yang kemiringannya tidak
cukup untuk mengalirkan air laut dengan lancar sehingga menimbulkan genangan.

bendungan
 Berikut ini beberapa permasalahan sosial dan lingkungan yang berkaitan
langsung dengan pembangunan bendungan : 

 Pembangunan bendungan terutama dengan kapasitas yang besar menyebabkan


punahnya spesies lokal (ikan), hilangnya hutan, lahan basah, dan lahan
pertanian.
 Bendungan telah merubah hidrologi sungai dan ekosistem sekelilingnya secara
permanen. Jika ternyata lingkungan sekitar bendungan berubah menjadi tidak
sesuai dengan kondisi desain maka ini merupakan masalah besar.
 Kualitas air akan menurun, akibat adanya bendungan volume air di beberapa
sungai menjadi turun sehingga akan menaikkan salinitas air.
 Dengan adanya bendungan akan berdampak pada terhambatnya aliran nutrient
yang dibutuhkan oleh ikan .
 Bendungan juga menjadi penghalang bagi ikan-ikan untuk melakukan migrasi
(bertelur), walaupun telah ditemukan teknologi fish ladder, namun tingkat
efektivitasnya masih rendah.
 Transportasi sediment di sepanjang sungai menjadi terganggu. Ini akan
mempengaruhi morfologi dari palung, hilir bantaran sungai dan bahkan deltas
pantai, dan pada gilirannya berdampak pada ekosistem di daerah-daerah
tersebut. sedimentasi di waduk juga akan mengurangi kapasitas dan bendungan
yang ada.
 Penelitian terakhir menemukan jika bendungan berkontribusi sepermpat dari
gas rumah kaca akibat terlepasnya gas methan dari degradasi tumbuhan air di
dalam bendungan.
 (khusus Indonesia) pembangunan bendungan merupakan lahan basah bagi para
penguasa korup untuk memperkaya diri sendiri. Tidak heran jika umur
bendungan menjadi lebih pendek akibat mutu bahan yang dikorbankan.
 Pembangunan bendungan memerlukan banyak lahan, jika penggusuran hanya
dilakukan atas dasar proyek sesaat maka dapat dibayangkan berapa banyak
warga terlantar, kehilangan mata pencaharian dan kehilangan tempat tinggal.

Namun tidak semua bendungan berdampak buruk, banyak success story


mengenai pemanfaatan bendungan, namun dari kesemuanya ada satu hal yang harus
digaris bawahi, manajemen. Manajemen dari pemerintah yang jelas dan tegas
mepertimbangkan skenario terburuk yang bakal terjadi bukan manajemen kebakaran
jenggot seperti yang terjadi sekarang.
 
BENDUNGAN GERAK SERAYU

Bendung Gerak Serayu


 
Bendung gerak serayu adalah bendung gerak pertama di Indonesia, terletak di
sebelah selatan kota Purwokerto tepatnya di Kecamatan Rawalo. Bendung Gerak Serayu
mulai dibangun pada tahun 1993 dan di resmikan pemakaiannya oleh Presiden Suharto
pada 20 November 1996.
Dengan berfungsinya Bendung Gerak Serayu dan seluruh jaringan irigasinya, maka
tanaman padi di Kabupaten Banyumas, Cilacap dan Kebumen tidak akan kekurangan
air, pada musim kemarau sekalipun. Bendung Gerak dan jaringan irigasi Serayu yang
dibangun dengan dana sekitar Rp 114 milyar diproyeksikan bisa mengairi secara teknis
sawah seluas 20.795 hektar.
Lokasi ini sekarang merupakan kawasan wisata yang sudah berkembang yang dikelola
oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas. Luas lahan lokasi wisata ini sekitar 5,00 Ha. Di
lokasi wisata ini kita dapat menikmati wisata berupa Bendung Gerak Serayu dengan
fasilitas penunjang berupa jalan menuju lokasi wisata yang sudah bagus dan tempat
parkir yang luas serta pemandangan sekitar yang indah. Di tempat itu juga di
manfaatkan untuk budidaya perikanan air tawar oleh masyarakat sekitar.

A.    DEGRADASI DAS PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN


DAMPAKNYA

Secara hidrologis DAS didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh punggung
topografi,  sehingga air yang jatuh akan mengalir melalui satu titik pengamatan. Dalam
suatu sistem hidrologi  DAS berlaku sistem masukan dan keluaran. DAS berfungsi
“processor” dimana masukannya adalah curah hujan dan energi, sedangkan
keluarannya adalah debit aliran sungai, sedimen, dan lain-lain. DAS juga merupakan
salah satu bentuk ekosistem yang terbagi ke dalam wilayah hulu, tengah dan hilir.  
Wilayah hulu didominasi oleh kegiatan pertanian lahan kering dan hutan, sedangkan di
wilayah hilir didominasi oleh lahan sawah dan pemukiman.

Sementara itu pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang menggunakan


dan atau memanfaatkan semua sumber daya alam/ biofisik  untuk memberikan hasil
yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat yang tinggal dalam DAS tersebut ( stake
holder ) dalam waktu yang tidak terbatas ( sustainable ) dengan menekan seminimal
mungkin kemungkinan terjadi kerusakan atau degradasi fungsi hidrologi DAS tersebut.

Suatu kegiatan pengelolaan DAS dipantau dan dievaluasi, untuk mengetahui


sejauh mana dampak positif dari kegiatan tersebut. Secara hidrologis, suatu pengelolaan
DAS dapat dikatakan telah memberikan dampak positif apabila parameter-parameter
hidrologi yang diamati pada keluaran dari suatu DAS menunjukkan kecenderungan
sebagai berikut ( Asdak, 2002, Hariyadi, 1988; Purwanto, 1992):
1.      Perbandingan antara debit maksimum bulan dan debit minimum bulan dalam satu
tahun, menunjukkan kecenderungan menurun.

2.      Unsur utama hidrograf aliran sungai menunjukkan :

a.   Waktu mencapai puncak semakin lama,

b.   Waktu dasar semakin panjang,

c.   Debit puncak menurun.

3.       Volume aliran dasar dan koefisien resesi semakin meningkat .

4.      Koefisien limpasan sesaat dan tahunan menurun.

5.      Muatan sedimen yang merupakan jumlah seluruh muatan yang terdiri dari muatan
dasar, muatan suspensi, dan padatan terlarut menunjukkan kecenderungan menurun.

6.      Kandungan unsur kimia dan hara di dalam perairan sungai yang merupakan hasil
proses biogeokimia di dalam DAS menunjukkan kecendurungan menurun.

Dari beberapa laporan dan evaluasi di Indonesia banyak ditemui DAS yang
dalam kondisi kritis atau mengalami degradasi. Beberapa indikator terjadi proses
degradasi  DAS secara  menyeluruh dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Penurunan produksi dari DAS yang sifatnya menurunkan kesejahteraan masyarakat
yang mengantungkan hidupnya pada DAS tersebut, seperti petani, peternak, dan lain
sebagainya;

2.       Perubahan terhadap fungsi hidrologi DAS seperti besarnya fluktuasi aliran sungai
atau perbedaan antara debit maksimal dan minimal;

3.      Peningkatan laju erosi lapisan tanah yang diikuti dengan perubahan terhadap biofisik
dan biokimia tanah;

4.      Perubahan terhadap keseimbangan ekosistem di dalam DAS dan juga di daerah
keluaran yang dipergaruhi DAS tersebut.

Konsep dasar pengelolaan DAS yang baik bertujuan untuk mempertahan kan
keberadaan sumber daya yang ada termasuk sumber daya air di DAS tersebut secara
berkelanjutan. Tujuan tersebut pada umumnya di Indonesia belum dapat dicapai secara
optimal mengingat berbagai masalah yang komplek dalam pengelolaan DAS antara
lain :

1.  Pertambahan penduduk yang meningkat tajam sehingga menurunkan daya tampung
DAS tersebut;

2.  Kemiskinan atau pendapatan rendah yang mengakibatkan tidak terkontrolnya aktivitas
masyarakat pengelolaan DAS yang umumnya lebih berorientasi pada tujuan jangka
pendek;

3.  Perencanaan dan pengaturan tata ruang DAS yang kurang mempertimbangkan fungsi
hidrologis DAS;
4.     Pengelolaan DAS yang bersifat manajerial maupun implementasi oleh masyarakat
pengguna belum mengikuti pola pengelolaan DAS yang berkesinambungan;

5.  Koordinasi antar kelembagaan yang ada belum optimal untuk pengelolaan DAS secara
terpadu;

6.      Perangkat hukum belum sepenuhnya memadai untuk menjaga kelestarian DAS.

B.   Menekan Degradasi DAS

Untuk mencegah terjadi degradasi DAS perlu dilakukan upaya terpadu di daerah
hulu maupun hilir.  Penanganan konservasi lahan di daerah hulu merupakan prioritas
utama agar dapat mencegah terjadi degradasi DAS lebih lanjut. Teknologi konservasi
lahan yang dapat diterapkan menurut  WOCAT  (World Overview of Conservation
Approach & Technology ) dibedakan menjadi empat jenis teknologi yaitu agronomi,
vegetasi, struktur dan manajemen. Keempat metoda ini dapat dilaksanakan secara
terpisah akan tetapi dapat di lakukan kombinasi.

Melihat indikator degradasi DAS Ciliwung di atas metoda konservasi haruslah


mencakup berbagai metoda untuk masing-masing unit sub wilayah peruntukan dalam
DAS seperti di daerah hutan, petanian, perkebunan, pemukiman, dan lain-lain.  Setiap
unit sub wilayah peruntukan membutuhkan penanganan dengan teknologi khusus agar
dapat  mereduksi terjadi erosi dan sekaligus meningkatkan fungsi hidrologi DAS.

Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam pendekatan penanganan DAS ialah
aspek sosial masyarakat dengan melibatkan masyarakat sebagai stake holder 
mengunakan pendekatan partisipatif. Pendekatan ini dimaksudkan agar masyarakat
dapat menerima, menerapkan, mengelola, dan mengembangkan sendiri teknologi
tersebut atau dengan kata lain meningkatkan akseptibilitas masyarakat terhadap
teknologi konservasi yang diterapkan.

Disisi lain aspek ekonomis juga perlu mendapat perhatian khusus seperti
perlunya tidaknya “downstream-upstream sharing” untuk mendukung kesinambungan
dari pelaksanaan konservasi sumber daya air.

Berbagai dampak yang terjadi sebagai akibat degradasi DAS Ciliwung telah
diuraikan secara umum di atas, salah satu dampak yang dirasakan masyarakat  hilir
secara langsung dan merupakan bencana akhir-akhir ini ialah banjir dan kekeringan.
Degradasi DAS menjadi salah satu pemicu terjadi banjir karena secara langsung akan
mempengaruhi, salah satu sebab ialah menurunnya kapasitas alir dan tampung saluran
drainase di daerah hilir.

Salah satu indikasi awal makin menurunnya kemampuan sungai-sungai dan


sistem drainase di wilayah Jabodetabek ialah jika membandingkan banjir yang terjadi
pada tahun 1996 dan tahun 2002. Dengan mengabaikan sementara data hujan yang
terjadi di DKI Jakarta, berdasarkan analisa hidrologi di bendung Katulampa pada tahun
1996 tercatat terjadi debit 614 m 3/dt sementara itu pada tahun 2002 tercatat debit 525,5
m3/dt, akan tetapi dampak banjir yang terjadi pada tahun 2002 lebih besar
dibandingkan tahun 1996. 

Pertimbangan tersebut di atas yang mendorong perlunya dilakukan pemeliharan


sungai-sungai di wilayah DAS Ciliwung sejalan penanganan konservasi di daerah hulu.
Pemeliharaan sungai-sungai dilaksanakan secara berkala  seiring dengan penanganan
konservasi tanah dan air di hulu sungai. Secara rinci pemeliharaan sungai-sungai
dijabarkan pada bagian berikutnya.

C.   Pemeliharaan Sungai-Sungai


Pemeliharaan sungai dibagi dalam dua bagian besar, yang pertama ialah  
pemeliharaan terhadap bangunan pengendali banjir yaitu bangunan  yang berfungsi
untuk pengaturan aliran air. Pemeliharaan terhadap bangunan pengatur aliran seperti
bendung, pintu air, pengarah arus, dan lain-lain dimaksudkan agar  bangunan tersebut
dapat berfungsi dengan baik pada saat diperlukan. Sebagai contoh kasus terjadinya
banjir akibat kerusakan pintu air dari pemukiman yang telah diproteksi dengan tanggul.
Semula tanggul dimaksudkan untuk menghindari limpasan air sungai akan tetapi pada
saat banjir justru pintu air tersebut menjadi jalan masuknya air dari sungai karena tidak
dapat berfungsi dengan baik akibat kurangnya pemeliharaan. Pemeliharaan terhadap
bangunan pengaturan air perlu dilaksanakan secara rutin agar dapat siap berfungsi
pada saat diperlukan. Pemeliharaan bangunan pengendali banjir dapat dilakukan oleh
Dinas yang terkait atau melibatkan partisipasi masyarakat yang berada di daerah
permukiman.

Kedua, pemeliharaan saluran pengendali banjir atau saluran drainase untuk


mempertahankan kapasitas alir dan tampung sungai-sungai dan atau saluran drainase
sebagai satu kesatuan sistem dengan bangunan pengendali banjir. Seperti yang
diuraikan di atas berkurangnya kapasitas alur dan tampung disebabkan oleh
tumbuhnya pemukiman liar di bantaran sungai,  pengendapan sampah, dan sedimen
hasil erosi di hilir.

Penyelesaian masalah pemukiman liar di bantaran merupakan problema khusus


dan membutuhkan pendekatan sosial masyarakat, untuk itu diperlukan  waktu  serta
anggaran biaya yang memadai. Masalah ini tidak dapat secara langsung dimasukan
kedalam pemeliharaan rutin akan tetapi harus ditangani secara khusus dengan
melibatkan berbagai instansi yang terkait.

Penyempitan kapasitas sungai akibat adanya endapan sampah dan sedimen


dapat dilakukan dengan dua hal yaitu pengelontoran secara rutin dan pengerukan.
Pengelontoran dapat dilakukan apabila sistem drainase mempunyai kemiringan yang
memadai sehingga air dapat mengalir secara grafitasi, sehingga endapan dapat terbawa
aliran ke arah muara. Sebagian besar sistem drainase di Jakarta berada di daerah
cekungan, sehingga prinsip pengelontoran kurang efektif secara efektif bekerja untuk
membersihkan sungai-sungai dan sistem drainase di kota Jakarta. Selain itu perlu
diperhatikan ekosistem daerah muara yang akan menerima berbagai limbah padat di
sepanjang sungai.

Pengerukan merupakan pekerjaan yang bertujuan mengeluarkan material padat


dari sungai atau saluran drainase. Pengeluaran material ini dimaksudkan untuk
mengembalikan penampang sungai sesuai dengan kapasitas rencana sungai atau
bahkan memperbesar kapasitas alir apabila memungkinkan. Mempelajari jumlah
sedimentasi yang terjadi setiap tahunnya di sungai-sungai sebagai akibat  erosi di
daerah hulu dan juga sampah yang masuk ke badan air, maka pekerjaan pengerukan
harus dilakukan secara berkala pada jangka waktu tertentu berdasarkan hasil  survey di
lapangan.

Pemeliharaan sungai akan lebih optimal jika didukung suatu sistem informasi
sungai yang terpadu,  sistem ini berbasis GIS dan memberikan informasi  kondisi setiap
segmen/ potongan sungai sebagai fungsi dari waktu. Melalui sistem informasi ini dapat
secara rutin dipantau kondisi sungai dengan kapasitas alirnya, sehingga dapat diketahui
waktu yang tepat melakukan pengerukan sungai. Untuk mendukung sistem ini perlu
dilakukan inventarisi awal terhadap seluruh kondisi sungai yang ada.

Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan pada pekerjaan pengerukan  sungai
dan saluran ialah hasil buangan/ kerukan diletakan atau dibuang di tempat (disposal
area) tepat agar tidak merusak ekosistem dan tidak kembali ke  badan air akibat hujan
atau aktivitas manusia lain. Selain itu juga pada pelaksanaannya pengerukan sebaiknya
dilakukan secara menyeluruh dari hilir ke hulu atau tidak dilakukan dalam segmen-
segmen sungai pendek-pendek untuk menghindari terjadinya perataan sedimen dan
back water curve akibat belum tuntasnya keseluruhan sistem sungai tersebut.
Pengaturan waktu dan urutan pengerukan setiap segmen dalam satu sungai perlu
memperhatikan pola perilaku aliran dan sedimentasi sungai tersebut.

Anda mungkin juga menyukai