Anda di halaman 1dari 18

PnBM Untuk Perwakilan Negara Asing Dibebaskan

Minggu, 30 Juni 2013 18:13 WIB

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ANTARA FOTO/Andika Wahyu

TEMPO.CO, Jakarta-  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan Peraturan


Pemerintah nomor 47 tahun 2013 tentang pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) kepada perwakilan negara asing dan
badan internasional serta pejabatnya. Peraturan yang berlaku sejak 17 Juni 2013 itu
merupakan hasil konvensi internasional yang telah diratifikasi dan kelaziman internasional.
Perwakilan negara asing yang dimaksud adalah perwakilan diplomatik, perwakilan konsuler
yang diakreditasikan kepada pemerintah Republik Indonesia, termasuk perwakilan
tetap/misi diplomatik yang diakreditasikan kepada Sekretariat ASEAN.

“Dan organisasi internasional yang diperlakukan sebagai perwakilan diplomatik/konsuler,


serta misi khusus, dan berkedudukan di Indonesia," demikian keterangan dari situs resmi
Sekretariat Kabinet, Ahad, 30 Juni 2013.

Adapun Badan Internasional yang diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPn BM adalah
suatu badan Perwakilan Organisasi Internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa,
badan-badan di bawah Perwakilan Negara Asing dan Organisasi/Lembaga lainnya yang
bertempat dan berkedudukan di Indonesia.Sedangkan yang dimaksud Pejabat Perwakilan
Negara Asing adalah kepala beserta staf Perwakilan Negara Asing, kecuali staf yang
merupakan Warga Negara Indonesia. Sementara pejabat Badan Internasional adalah
Kepala, Pejabat/Staf dan tenaga ahli Badan Internasional yang telah mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Indonesia untuk menjalankan tugas atau jabatan di Indonesia,
kecuali staf dan/atau tenaga ahli yang merupakan Warga Negara Indonesia. Pembebasan
PPN dan PPnBM kepada Perwakilan Negara Asing serta pejabatnya tersebut diberikan
berdasarkan asal timbal balik, yaitu apabila kepada perwakilan Indonesia di negara asing
tersebut diberikan pembebasan yang sama.

“Negara asing yang tidak memberikan pembebasan yang sama kepada perwakilan
diplomatik atau perwakilan konsuler Indonesia, maka kepada perwakilannya di Indonesia
tidak dapat diberikan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,” seperti dikutip dari Penjelasan Pasal 3 Ayat (1)
PP tersebut.Terhadap Barang Kena Pajak yang telah memperoleh pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang dipindahtangankan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diimpor
atau diperoleh, maka Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dibebaskan wajib dibayar kembali dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan sejak saat Barang Kena Pajak itu dipindahtangankan.

“Apabila Jasa Kena Pajak yang atas perolehannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai dialihmanfaatkan kepada pihak lain, Pajak Pertambahan Nilai yang
dibebaskan wajib dibayar kembali dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
dialihmanfaatkan kepada pihak lain,” bunyi Pasal 7 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2013 itu.Dalam hal pemindahtangaan atau pengalihmanfaatan itu dilakukan
kepada sesame Perwakilan Negara Asing, Badan Internasional, dan/atau pejabat, maka
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang dibebaskan tidak perlu dibayar kembali.
Dr. Ameur Zemmali :Kami Tak Bisa Menjadi
Wasit
Oleh : 

Tempo.co
Selasa, 15 Mei 2012 19:35 WIB

REUTERS

TEMPO.CO , Jakarta -Penasihat Hukum Komite Internasional Palang Merah (ICRC)


Yordania
Dr. Ameur Zemmali

“Kami Tak Bisa Menjadi Wasit”

Konflik bersenjata yang masih berlangsung di berbagai negara seperti Suriah, menimbulkan
keprihatinan banyak pihak. Jatuhnya korban tewas dari warga sipil, termasuk perempuan
dan anak-anak, sangat disesalkan. Padahal hukum humaniter internasional atau hukum yang
mengatur kode etik berperilaku saat perang, telah diadopsi oleh sebagian besar negara di
dunia, yang terangkum dalam Konvensi Jenewa.

Namun lemahnya penegakan hukum humaniter internasional menyebabkan banyak korban


terus berjatuhan. Banyak pihak kemudian berpaling kepada Komite Internasional Palang
Merah (ICRC) yang berperan sebagai “pemelihara” hukum ini untuk meningkatkan
perannya menjadi wasit.

“Sayangnya hal ini tidak mungkin kami lakukan. Sebab dengan prinsip dasar netral dan
transparan, kami dapat bekerja dengan pihak-pihak yang berkonflik demi kepentingan
kemanusiaan. Untuk itu kami tak bisa menjadi wasit atau watch dog,” kata Dr. Ameur
Zemmali, penasihat hukum Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Yordania di
Jakarta, Selasa 14 Mei 2012.

Zemmali hadir dalam peluncuran buku Islam dan Hukum Humaniter Internasional di
kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan. Buku
yang berisi kumpulan artikel para pemikir hukum humaniter internasional dari Arab ini
diedit oleh Zemmali pada 2007 dan dialihbahasakan oleh penerbit Mizan.

Berikut wawancara Sita Planasari Aquadini dari Tempo dengan Zemmali seusai peluncuran
buku tersebut:

(T) Banyak pihak terutama lembaga yang bekerja dalam konflik kemanusiaan resah atas
lemahnya penegakan hukum humaniter internasional. Mereka meminta Komite
Internasional Palang Merah (ICRC) mengambil peran sebagai wasit untuk menyelesaikan
konflik.

Sebagai pemelihara hukum humaniter internasional, mandat ICRC adalah untuk


memberikan bantuan kepada orang-orang yang terkena dampak konflik bersenjata dan
situasi kekerasan lainnya. Agar pekerjaan kami dapat berjalan lancar, tentu saja ada prinsip-
prinsip yang harus ditegakkan yakni netral dan tidak berpihak. Dengan prinsip ini, kami
dapat diterima oleh kedua pihak yang berkonflik, baik konflik antarnegara maupun konflik
negara dengan pemberontak.

Oleh sebab itu, kami jelas tidak dapat berurusan dengan yudisial seperti memberi kesaksian
di persidangan manapun, meski kami hadir dan menyaksikan konflik tersebut secara
langsung. Apalagi menjadi hakim, jaksa atau wasit dari konflik. Kebutuhan korban, baik
tahanan perang maupun warga sipil menjadi prioritas utama kami.

Lantas siapakah yang harus melakukan penegakkan hukum perang?

Negara yang terlibat konflik-lah yang harus menegakkan hukum tersebut. Secara
internasional, Konvensi Jenewa mengikat negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk dipatuhi dalam kondisi konflik. Sebanyak 194 negara telah meratifikasi
konvensi ini. Negara yang telah meratifikasi memiliki kewajiban untuk menghormati dan
memastikan hukum tersebut dilaksanakan.

Dasar dari penghormatan tersebut memiliki dua bentuk. Pertama preventif. Promosi
terhadap hukum humaniter harus dilakukan baik di masa damai maupun perang. Kedua
represif. Penegakan hukum dilakukan oleh negara yang terlibat konflik maupun komite
tribunal internasional. ICRC terus berdialog dengan negara di area konflik agar hukum
tersebut dihormati.

Tahanan Palestina melakukan aksi mogok makan sejak pertengahan April untuk menuntut
hak-hak mereka (Saat ini aksi tersebut telah berakhir). Apa langkah ICRC untuk membantu
mereka?

Kantor ICRC telah berada di Palestina sejak 1940-an. Kami telah berada di sana selama
hampir enam dekade. Selama itu pula kami melakukan kunjungan terhadap tahanan
Palestina yang berada di Israel. Kami mengorganisir kunjungan keluarga dan berdialog
dengan pihak penahan (Israel maupun Otoritas Palestina).
Dalam aksi mogok makan terakhir, kami terus memantau dan berusaha bernegosiasi dengan
kedua pihak untuk menemukan solusi. Tapi Pihak penahan, siapapun itu, harus bertanggung
jawab agar tahanan diperlakukan secara manusiawi. Pada kasus mogok makan, ICRC
mendesak agar hak tahanan dihormati dan tidak melakukan pemaksaan seperti memasukkan
makanan secara paksa tanpa izin.

Pemerintah Amerika berencana akan segera menutup tahanan Guantanamo. Apa saja
langkah ICRC dalam tahanan yang kontroversial ini?

Kami telah hadir dan bekerja untuk membantu para tahanan sejak penjara dibuka pada
2002. Saya juga pernah datang ke sana pada 2002. Hingga saat ini, ICRC terus melakukan
kunjungan rutin terhadap tahanan baik yang status pengamanan rendah maupun status
pengamanan tinggi. Ini kami lakukan untuk memastikan perlakuan manusiawi terhadap
para tahanan.

Para pekerja kemanusiaan menghadapi tantangan berat dalam melaksanakan tugasnya,


termasuk kematian. Kasus ini juga terjadi pada dokter ICRC di Pakistan. Apa langkah yang
harus dilakukan untuk mengeliminir masalah ini?

Pembunuhan terhadap Khalil Rasjed Dale, manajer program kesehatan Komite


Internasional Palang Merah (ICRC) di Pakistan, sangat kami sesalkan. Insiden ini meski
tidak diinginkan memang menjadi risiko terbesar pekerjaan ini. Namun serangan terhadap
anggota ICRC seperti melakukan serangan terhadap korban. Jadi saya dan anggota ICRC
menyerukan semua pihak untuk menghormati dan menegakkan hukum humaniter
internasional yang juga melindungi pekerja kemanusiaan.
WTO Sebut Cina Langgar Aturan Perdagangan
Internasional
Rabu, 6 Juli 2011 19:53 WIB

REUTERS/David Gray

TEMPO Interaktif, Jakarta - Badan Perdagangan Dunia (Word Trade Organization/WTO)


memutuskan bahwa Cina telah melanggar aturan perdagangan internasional. Kebijakan
Negeri Tirai Bambu tersebut, yang membatasi ekspor bahan baku industri untuk produksi
teknologi tinggi, dianggap tidak adil.

Cina, negara ekonomi terbesar kedua di dunia, merupakan produsen kadmium, emas,
indium, bijih besi, kapur, timah, mangan, merkuri, molibdenum, fosfat, garam, timah,
tungsten, vanadium, dan seng. Cina memasok 95 persen kebutuhan bahan baku untuk
industri di dunia.

Pembatasan itu telah memicu ketegangan antara Cina dan negara-negara pengimpor dari
Eropa dan Amerika. Pada 2009, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Meksiko mengajukan
komplain ke Badan Perdagangan Dunia. Mereka khawatir di balik pembatasan itu ada
keinginan Cina untuk mendominasi pasar barang-barang teknologi.

Pemerintah Cina beralasan, pembatasan dilakukan untuk menjaga sumber daya alam dan
melindungi lingkungan dari ancaman pencemaran. Namun argumen ini ditolak oleh panel
WTO.

Keputusan WTO yang dimuat di website resminya ini menyimpulkan bahwa pembatasan
kuota ekspor bahan mentah Cina ini sangat diskriminatif. Dunia barat dan Eropa banyak
membutuhkan bahan-bahan tersebut untuk industri baja, aluminium, bahan kimia, seng,
maupun bauksit.
Dalam putusan setebal 315 halaman itu, panel menyebut ekspor Cina tidak konsisten
terhadap komitmen yang telah disepakati dalam Protocol of Accession. Kuota Ekspor bahan
baku tidak sesuai dengan aturan Badan Perdagangan Dunia.

"Ini adalah putusan yang jelas untuk perdagangan terbuka dan akses yang adil untuk bahan
baku," kata Karel de Gucht dari Komisi perdagangan Eropa dalam sebuah pernyataan
kemarin. Cina, menurut Gucht, harus membuka ekspor untuk bahan mentah.

Ron Kirk, dari perwakilan perdagangan Amerika Serikat, menyebut keputusan WTO ini
merupakan kemenangan yang signifikan bagi produsen dan pekerja di Amerika Serikat dan
seluruh dunia.

Atas keputusan WTO tersebut, Cina bisa mengajukan permohonan banding. Mei Xinyu,
ekonom dari Akademi Perdagangan dan Kerja Sama Internasional, mengatakan pihak
otoritas Cina saat ini tengah mengevaluasi keputusan WTO tersebut. "Ada 95 persen
kemungkinan Cina akan naik banding." kata dia.
Organisasi Internasional Ini Mau Terima Palestina
Jadi Anggota
Reporter: 

Tempo.co
Editor: 
Suci Sekarwati

Kamis, 24 Mei 2018 10:00 WIB

Ilustrasi senjata kimia ISIS. Metro.co.uk

TEMPO.CO, Jakarta - Keanggotaan Palestina di organisasi pelarangan senjata kimia


atau OPCW telah menambah daftar organisasi internasional yang mau menerima Palestina
sebagai anggota. Keanggotaan Palestina di OPCW dinilai sebagai bagian dari kampanye
negara itu untuk memperluas pengakuan sebagai sebuah negara merdeka.

Markas Organisasi pelarangan Senjata Kimia di Den Haag, Belanda [Peter de Jong/AP]

Sebelumnya, Palestina mendapat status sebagai negara pemantau di PBB tetapi diblokade
oleh pemerintahan era mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, untuk mendapat
keanggotaan penuh di PBB. Kendati begitu, Palestina berhasil mendapat status keanggotaan
penuh di UNESCO.
OPCW adalah sebuah lembaga internasional pengawas senjata kimia telah melayani
sebagai badan pelaksana Konvensi Senjata Kimia sejak 1997. Lembaga yang bermarkas di
Den Haag, Belanda itu, pada Rabu 23 Mei 2018, mengabulkan keinginan Palestina yang
dimasukkan pada 17 Mei 2018 untuk menjadi anggota Konvensi Senjata Kimia.

Dikutip dari situs nhk.or.jp pada Kamis, 25 Mei 2018, Presiden Palestina, Mahmoud


Abbas, pada Januari 2018 telah mengekspresikan niatnya untuk segera memasukkan
lamaran menjadi anggota organisasi internasional tersebut. Sudan Selatan, Mesir, Israel dan
Korea Utara, belum menjadi anggota Konvensi Senjata Kimia.
"Hari ini Palestina telah menjadi anggota tiga organisasi internasional, yaitu
organisasi industri pengembangan PBB atau UNIDO, konferensi perdagangan dan
pembangunan atau UNCTAD dan sekarang anggota OPCW," kata Utusan PBB untuk
perdamaian Timur Tengah, Nicoklay Mladenov, seperti dikutip dari  undispatch.com,
Kamis, 24 Mei 2018.

OPCW adalah organisasi PBB yang bertugas menerapkan Konvensi Senjata Kimia, yakni
mencegah produksi, penyimpanan dan penggunaan senjata kimia. Situs
berita aljazeera.com mewartakan sebelumnya Palestina telah menjadi anggota Interpol pada
September 2017 dan anggota Pengadilan Kriminal Internasional atau ICC pada April 2015.
Tiga Kasus Sengketa Dagang Indonesia yang
Berakhir di Meja WTO
Reporter: 

Fajar Pebrianto
Editor: 

Dewi Rina Cahyani


Selasa, 7 Agustus 2018 17:13 WIB

Logo WTO. Ekonomski.net

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia kembali terlibat dalam pertikaian dagang dengan negara


lain. Sengketa dagang ini harus diselesaikan di badan penyelesaian sengketa Organisasi
Perdagangan Dunia atau World Trade Organization atau WTO.
Baca: AS Minta WTO Jatuhkan Sanksi Rp 5 T ke RI, Begini Awal Ceritanya

Kasus teranyar adalah Amerika Serikat resmi meminta WTO menjatuhkan sanksi sebanyak
US$ 350 juta atau sekitar Rp 5 triliun terhadap Indonesia. Permintaan Amerika ini
merupakan buntut dari kekalahan Indonesia pada sidang banding WTO, November 2017.
Dalam sidang ini, Indonesia dinilai bersalah karena menerapkan 18 hambatan non-tarif
pada produk impor hortikultura dan hewan.

Baca: Perang Dagang, AS Ancam Cabut Tarif Bea Masuk Produk Indonesia

Ini bukanlah kali pertama bagi Indonesia harus menelan kekalahan di WTO. Walau begitu,
ternyata tak sedikit kasus yang akhirnya dimenangkan Indonesia. Berikut di antara
beberapa kasus tersebut.

1. Kasus Mobil Nasional Timor dengan Jepang dan Uni Eropa


Pada Juli 1996, pemerintah resmi meluncurkan proyek mobil nasional bernama Timor
melalui kerja sama dengan Kia Motors, produsen mobil asa Korea Selatan. Karena berlabel
mobil nasional, bea masuk dan pajak barang mewah pada penjualan mobil ini dipangkas
sehingga harganya menjadi separuh harga rata-rata mobil saat itu.
Kebijakan Indonesia ini diprotes negara produsen mobil seperti Jepang dan Uni Eropa.
Mereka menyeret Indonesia ke badan penyelesaian sengketa WTO. Indonesia kalah dan
WTO memutuskan agar Indonesia mencabut kebijakan diskriminatif tersebut. Selanjutnya,
nasib mobil nasional Timor bagai hilang ditelan bumi.

2. Kasus Biodiesel dengan Uni Eropa


Pada Januari 2018, Indonesia menang melawan Uni Eropa dalam kasus pengenaan Bea
Masuk Anti-Dumping (BMAD) produk biodiesel. WTO memenangkan enam gugatan
Indonesia atas Uni Eropa.
Beberapa tahun sebelumnya, Uni Eropa memang menerapkan BMAD di angka 8,8 persen
sampai 23,3 persen pada produk biodiesel asal Indonesia. Kebijakan ini membuat nilai
ekspor biodiesel ke Uni Eropa bertekuk lutut dan terus mengalami penurunan sejak 2013.

3. Kasus kemasan rokok polos dengan Australia


Pada Juni 2018, Indonesia kembali menelan kekalahan di WTO dalam kasus kemasan
rokok berdesain polos. Indonesia beserta negara produsen rokok lainnya, Kuba, Honduras,
dan Republik Dominika, menggugat kebijakan kemasan rokok yang diterapkan di Australia
tersebut.Australia memang menerapkan kebijakan itu untuk pengendalian konsumsi rokok
di negara mereka. Tapi Indonesia dan tiga negara penggugat lainnya menilai kebijakan ini
melanggar hak atas kekayaan intelektual dari produsen. Gugatan ditolak oleh  WTO dan
Australia menang.
Cina Gabung Perjanjian Senjata Internasional
yang Ditolak Trump
Reporter: 

Tempo.co
Editor: 
Budi Riza

Sabtu, 28 September 2019 19:01 WIB

Suasana peluncuran rudal balistik jarak pendek di Korea Utara, Kamis, 25 Juli 2019. Kim
mengatakan bahwa uji coba senjata berpemandu taktis tipe baru itu merupakan peringatan
bagi Korea Selatan untuk berhenti mengimpor senjata teknologi tinggi, dan melakukan
latihan militer bersama dengan Amerika Serikat (AS). KCNA/via REUTERS

TEMPO.CO, Beijing – Pemerintah Cina bakal menandatangani perjanjian senjata


internasional, yang telah ditolak Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, mengatakan negaranya memiliki tanggung jawab
untuk meneken perjanjian ini kepada masyarakat internasional.

Saat ini ada 104 negara yang telah menandatangani perjanjian ini dan disetujui oleh Sidang
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2013.

Perjanjian senjata internasional ini mengatur lalu lintas perdagangan senjata global senilai
US$70 miliar atau sekitar Rp994 triliun. Perjanjian internasional ini juga mengatur agar
senjata tidak jatuh ke tangan para pelanggar Hak Asasi Manusia.
“Cina telah memulai proses legal domestik untuk bergabung dengan Perjanjian
Perdagangan Senjata,” kata Wang Yi seperti dilansir Reuters pada Sabtu, 28 September
2019.

Kemenlu Cina mengatakan negaranya bakal bergabung secepatnya dengan perjanjian ini
pasca pernyataan Wang Yi. Kemenlu mengatakan Cina bertekad mendukung semangat tata
kelola perdagangan senjata global dan mendukung prinsip multilateralisme.

Kemenlu Cina mengklaim pemerintahnya menekankan pentingnya penanganan senjata


ilegal dan penyalahgunaannya. Pemerintah Cina juga mendukung tujuan-tujuan yang ingin
dicapai dalam perjanjian itu.

Sikap Cina ini muncul pasca menguatnya perang dagang dengan AS. Cina kerap mengritik
AS karena menarik diri dari perjanjian internasional dan tidak mau mengikuti aturan
internasional serta prinsip multilateralisme.

Cina menjadi eksportir kelima senjata global antara 2014 – 2018 menurut


lembaga Stockholm Internationl Peace Research Institute. Namun, Cina tidak pernah
merilis data ekspor senjata tiap tahun. Pakistan dan Bangladesh menjadi negara pembeli
senjata terbesar Cina.
WHO Umumkan Status Darurat Internasional
Virus Corona Wuhan
Reporter: 

Non Koresponden
Editor: 

Eka Yudha Saputra


Jumat, 31 Januari 2020 09:00 WIB

Aktivitas petugas medis saat menangani pasien virus Corona di rumah sakit di Wuhan, Cina, 25 Januari 2020. THE CENTRAL
HOSPITAL OF WUHAN VIA WEIBO via REUTERS

TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya mengumumkan


darurat global untuk virus Corona Wuhan yang telah menewaskan 171 orang di Cina pada
Kamis dan menyebar di 18 negara.

Ada 7.800 kasus lebih yang terdeteksi di seluruh dunia, menurut data WHO terbaru pada
Kamis, dan mayoritas telah terjadi di Cina daratan, tempat virus tersebut berasal dari pasar
satwa liar ilegal di Kota Wuhan.

Sementara Komisi Kesehatan Nasional Cina telah mengumumkan pada penutupan hari
Kamis, 30 Januari, jumlah total kasus virus Corona Wuhan yang bertambah di Cina daratan
telah meningkat menjadi 9.692, menurut laporan CNN pada 30 Januari, dikutip pada 31
Januari WIB.
Angka itu melonjak 1,982 dari hari sebelumnya, dengan jumlah total sekarang jauh jumlah
yang terkait dengan pernafasan parah (SARS) pada tahun 2003, yang sebelumnya di antara
wabah terburuk di Asia.

Jumlah korban tewas di Cina daratan kini mencapai 213 orang, dengan 42 kematian baru
terjadi di provinsi Hubei, pusat penyebaran virus, dan satu di provinsi timur laut
Heilongjiang.

Tetapi hampir 100 kasus telah muncul di negara-negara lain, memicu larangan bepergian ke
Cina dan sentimen anti-Cina di beberapa tempat, dan lonjakan permintaan untuk masker
pelindung.

Di provinsi Hubei, di mana Wuhan adalah ibu kotanya, sekitar 60 juta orang hidup di dalam
isolasi saat Cina berupaya mengatasi epidemi tersebut.

Dikutip dari Reuters, 31 Januari 2020, Tedros Adhanom Ghebreyesus, direktur jenderal
WHO, memuji tanggapan Cina dalam konferensi pers di Jenewa tetapi mengatakan WHO
khawatir tentang penyebaran virus ke negara-negara yang tidak memiliki sumber daya
untuk menghadapinya.

"Alasan utama deklarasi ini bukan karena apa yang terjadi di Cina tetapi karena apa yang
terjadi di negara lain. Kekhawatiran terbesar kami adalah potensi penyebaran virus ke
negara-negara dengan sistem kesehatan yang lebih lemah," katanya.

Langkah ini akan memicu pengawasan yang lebih ketat dan pedoman berbagi informasi ke
semua negara, tetapi mungkin mengecewakan Beijing, yang telah menyatakan
keyakinannya dapat mengalahkan virus.

Ilustrasi virus Corona. REUTERS/Dado Ruvic

Para ahli sangat prihatin tentang kasus penularan dari orang ke orang di luar Cina, yang
menunjukkan potensi yang lebih besar untuk penyebaran virus lebih lanjut. Amerika
Serikat menjadi negara keempat yang melaporkan kasus penularan manusia ke manusia di
dalam negeri pada hari Kamis.

Pejabat dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengatakan virus seperti flu
itu dikonfirmasikan pada seorang pria di Illinois, sehingga jumlah total kasus AS menjadi
enam. Istri pria itu, yang juga terinfeksi, sebelumnya telah melakukan perjalanan ke Cina,
tetapi dia tidak.
"Sebagian besar kasus di luar Cina memiliki sejarah perjalanan ke Wuhan atau riwayat
kontak dengan seseorang dengan riwayat perjalanan ke Wuhan," kata Teros.

Jeremy Farrar, direktur Wellcome Trust, membenarkan keputusan WHO.

"Deklarasi darurat internasional tidak diragukan lagi akan mempertajam fokus pemerintah
dalam melindungi warga negara," kata Farrar. Langkah-langkah kesehatan masyarakat yang
dibutuhkan akan menjadi tantangan bagi semua negara, tetapi akan sangat sulit bagi negara-
negara berpenghasilan rendah, tambahnya.

Virus ini telah menyebar dengan cepat sejak Komite Darurat WHO terakhir bertemu
seminggu yang lalu. Tetapi saat belum ada kematian yang dilaporkan di luar Cina dan juga
tidak ada virus muncul di Afrika.

Italia menjadi negara terbaru yang mengumumkan kasus yang dikonfirmasi pada hari
Kamis. Perdana Menteri Giuseppe Conte mengatakan dua kasus virus Corona telah
terdeteksi.
Sawit Indonesia Dihambat Uni Eropa,
Wamendag: RI Ingin Sikap Adil
Reporter: 

Fajar Pebrianto
Editor: 

Rr. Ariyani Yakti Widyastuti


Jumat, 20 Desember 2019 12:27 WIB

Jerry Sambuaga di Kompleks Istana Kepresidenan jelang pelantikan wakil menteri 2019-2024, Jakarta, 25 Oktober 2019.
TEMPO/Ahmad Faiz

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga baru saja bertemu


dengan Komisi Eropa, lembaga eksekutif negara-negara Uni Eropa, di Brussels, Belgia.
Pertemuan dilakukan dalam rangka perundingan ke-10 Indonesia-European Union
Comprehensive Economic Partnership Agreement yang masih terus berlangsung.

Dalam perundingan tersebut, Jerry kembali menekankan sikap tegas Indonesia terkait
diskriminasi produk kelapa sawit oleh Uni Eropa. “Agak sedikit ironis ketika mereka (Uni
Eropa) blok kelapa sawit kita,” kata dia dalam Tempo Economic Briefing di Westin Hotel,
Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019.

Jerry mengatakan, negara-negara Uni Eropa selama ini dikenal gencar mendorong
keterbukaan dalam arus perdagangan global. Tapi sekarang, mereka justru menghambat
kelapa sawit Indonesia masuk ke sana. “Kalau konsisten dengan perdagangan internasional,
produk apapun harusnya dibuka secara lebar dan luas,” kata dia.
Sejak Juni 2018, Komisi Eropa telah menyepakati inisiatif keberlanjutan lingkungan dalam
Renewable Energy Directive atau RED II pada Juni 2018. Lewat inisiatif ini, Eropa
melarang penggunaan bahan bakar yang beresiko tinggi karena ditanam di area bekas
tanaman pangan. Kelapa sawit pun dinilai masuk dalam kategori ini.

Jerry memahami, negara manapun memiliki cara masing-masing untuk melindungi


produsen dan konsumen dalam negeri mereka. Tapi yang diinginkan Indonesia adalah sikap
yang adil. “Bukan dengan proteksionisme,” kata dia.

Sebab pada kenyataannya, kata Jerry, konsumen dan produsen makanan yang banyak
menggunakan kelapa sawit justru berasal dari Eropa. Sehingga, tak seharusnya Uni Eropa
menerapkan larangan tersebut dengan alasan keberlanjutan. 

Setelah ditelusuri pun, kata Jerry, ternyata ada lobi dari beberapa politisi di Parlemen Eropa
dibalik diskriminasi sawit Indonesia ini. Tapi Jerry memperingatkan, bahwa Eropa
hanyalah sebagian dari lingkup pasar kelapa sawit yang lebih besar. “Negara lain juga
sudah menanti (menerima sawit Indonesia),” kata dia.

Meski demikian, segala tensi yang terjadi tetap dibahas dalam perundingan IEU-CEPA ini.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi, kata Jerry, meminta perundingan bisa rampung dan
membuahkan hasil pada pertengahan 2020.

Meski telah berulang kali mendengar pernyataan dari pejabat Indonesia, Komisi Eropa tetap
pada keputusannya. Ditemui pada Jumat, 8 November 2019, Konselor Perubahan Iklim dan
Lingkungan Hidup, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Michael Bucki, mempertegas
sikap Uni Eropa.

Bucki menilai bahwa minyak kelapa sawit memiliki risiko yang tinggi terhadap
lingkungan. “Minyak kelapa sawit beresiko tinggi, tidak bisa dibantah,” kata Bucki saat
ditemui di Kantor Uni Eropa di Menara Astra, Jakarta.

Lebih jauh Bucki mengakui pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah perbaikan
dalam industri kelapa sawit. Indonesia dinilai juga sebenarnya memiliki niat yang baik
untuk memperbaiki tata kelola sawit ini. Namun, Uni Eropa menilai masih beberapa hal
yang belum diimplementasikan penuh, seperti penanaman kebun kelapa sawit yang legal
dan terdaftar “Saya kita belum diimplementasikan penuh."

Bucki menegaskan, RED II bukanlah diluncurkan untuk minyak kelapa sawit semata, tapi
untuk semua bahan bakar biofuel yang beresiko tinggi atau masuk dalam kategori ILUC
risk.

Ia  juga membantah pernyataan sejumlah pejabat pemerintah Indonesia yang selama ini
menyebut RED II hadir karena Uni Eropa tak ingin produk mereka seperti sunflower oil
dan rapeseed dikalahkan minyak kelapa sawit. “Saya tidak tahu, mengapa mereka (pejabat
Indonesia) mengatakan itu,” kata dia.

Kini, bersamaan dengan perundingan IEU-CEPA, Indonesia resmi mengirimkan Request


for Consultation ke Uni Eropa pada Senin, 9 Desember 2019. Artinya, Indonesia sudah siap
bertarung melawan RED II Uni Eropa di World Trade Organization (WTO).

Anda mungkin juga menyukai