Anda di halaman 1dari 4

Nama: Irsyadul Ibad Ila Sabilirosyad

Nim: 2018 100 20311 041

Maqashid Syariah Menurut Al-Ghazzali, Najmuddin At-Thufi, Asy-Syatibi, dan


Jasser Auda

Maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata
maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan,
sedangkan syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum yang ditetapkan untuk
manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di
akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah berarti kandungan nilai yang
menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah
adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum (Asafri Jaya,
1996:5).

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, dapat dipahami bahwa yang
dimaksud Maqashid Al-Syari’ah adalah tujuan Allah menetapkan hukum-hukum
untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia, sekaligus juga menghindari berbagai
kerusakan, baik di dunia maupun akhirat. Dengan demikian, terlihat secara jelas
bahwa betapa eratnya hubungan antara maqashid al-syari’ah (tujuan hukum Islam)
dengan kemaslahatan (maslahat). Pemeknaan terhadap maslahat para ulama
mengungkapkannya dengan definisi yang berbeda-beda.

a. Maqashid Syariah Menurut Al-Ghazzali


menurut al-Ghazali, maslahat makna asalnya merupakan maslaha
dalam hukum Islam adalah setiap hal yang di maksudkan untuk
memelihara tujuan syariat yang pada intinya terangkum dalam al-
mabaadi’ al-khamsyah yaitu perlindungan terhadap agama (hifzd al-din),
jiwa (hifzd al-nafs) akal (hifzd –‘aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta
(hifzd al-maal). Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara
kelima hal tersebut disebut maslahat, dan setiap hal yang membuat
hilangnya lima unsur ini disebut mafsadah.
Konsep Maqasid Syariah Al-Ghazzali mengatakan bahwa setiap
maslahah yang bertentangan dengan Alquran, sunnah, atau ijma’ adalah
batal dan harus dibuang jauh-jauh. Setiap kemaslahatan yang sejalan
dengan tindakan syara’ harus diterima untuk dijadikan pertimbangan
dalam penetapan hukum Islam.1
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali membagi maslahat menjadi tiga,
yaitu:
1. Maslahat yang dibenarkan/ditentukan oleh nas/dalil tertentu (maslahat
mu’tabarah).
2. Maslahat yang dibatalkan/digugurkan oleh nas/dalil tertentu (maslahat
mulgah).
3. Pendapat apakah maslahah mursalah itu dapat dijadikan pertimbangan
dalam penetapan hukum Islam ataukah tidak.
b. Maqashid Syariah Menurut At-Thufi
menurut al-Thufi, maslahat secara urf merupakan sebab yang
membawa kepada maslahat (manfaat), sedangkan dalam hukum Islam,
maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagitercapainya tujuan
Syar’I (Allah) baik dalam bentuk ibadat maupun ma’amalah.
at-Thufi tidak membagi menjadi tiga tingkatan menjadi
dharuriat,hajiat dan tahsiniat. Dan hal lain yang membedakan Thufi
dengan ulama lainnya adalah bahwa al-maslaha itu terbatas hanya pada
hal muamalah, bukan ibadah.
c. Maqashid Syariah Menurut Asy-Syatibi
menurut al-Syathbi, semua hukum syara yang didukung oleh nas pasti
mendukung kemaslahatan manusia. Namun, ternyata ada bagian hukum
yang tidak mengandung kemaslahatan atau kemaslahatan itu
1
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, h. 294
berseberangan dengan nas. Konsekuensinya, maka bagi al-Syatibi hukum
itu harus ditolak atau keberadaan hukum itu adalah batil. Namun,
kenyataannya bagi al-Syatibi bukan berarti hukum itu harus ditolak, akan
tetapi hukum itu di mauqufkan dengan mengembalikan bahwa semua
hukum yang diturunkan tetap mengandung kemaslahatan, baik itu bisa
diketahui secara langsung bahkan sama sekali tidak diketahui oleh akal
manusia dengan keterbatasannya.
d. Maqashid Syariah Menurut Jasser Auda
Jasser Auda menggunakan Maqasid Syariah sebagai basis pangkal
tolak filosofi berpikirnya dengan menggunakan pendekatan sistem sebagai
metode berpikir dan pisau analisisnya. Sebuah pendekatan baru yang
belum pernah terpikirkan untuk digunakan dalam diskusi tentang hukum
Islam dan Ushul al-Fiqh. Ada enam fitur sistem yang dioptimalkan Jasser
Auda sebagai pisau analisis, yaitu dimensi kognisi dari pemikiran
keagamaan (cognition), kemenyeluruhan (wholeness), keterbukaan
(openness), hierarki berpikir yang saling mempengaruhi (interrelated
hierarchy), berpikir keagamaan yang melibatkan berbagai dimensi
(multidimensionality) dan kebermaksudan (purposefullness).
Jasser Auda menegaskan bahwa Maqasid hukum Islam merupakan
tujuan inti dari seluruh metodologi ijtihad Usul linguistik maupun
rasional. Lebih jauh, realisasi Maqasid, dari sudut pandang sistem,
mempertahankan keterbukaan, pembaruan, realisme, dan keluwesan dalam
sistem hukum Islam. Oleh karena itu, validitas ijtihad maupun validitas
suatu hukum harus ditentukan berdasarkan tingkatan realisasi Maqasid
Syariah yang ia lakukan. Dengan demikian, hasil ijtihad atau konklusi
hukum yang mencapai Maqasid harus disahkan. Kesimpulannya, proses
ijtihad menjadi, secara efektif, suatu proses merealisasikan Maqasid dalam
hukum Islam.2
2
Jasser Auda, Ibid. h.11-15
DAFTAR PUSTAKA

Retna Gumanti. 2018. “Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda" Jurnal Al-
himayah, 2 (1), hlm 97-188

Suansar Khatib. 2018. “KONSEP MAQASHID AL-SYARI`AH” Jurnal Mizani, 5


(1), hlm 47-62

Anda mungkin juga menyukai