Anda di halaman 1dari 21

PENGGUNAAN DETEKTOR FOTOAKUSTIK

UNTUK
PENGUJIAN KUALITAS BENIH KEDELAI
Sri Agustini Sulandari

ABSTRACT
To contribut the Goverment reffart in food resistance, it had
been done a study and research of soybean seed quality with
Baluran variety in various classes, were principle seed, spreaded
seed and consumption seed by using Photoaccoustic Detector
that based on Laser CO2 “Sealled Off”. To study this quality of
seed, had done a research to find out the different a of pattern
etilen gas output from soybean seed Baluran variety with the
three different classes of seed that in the process of germinating.
From the result of etilen output gas pattern, the highest
concentration was spreaded seed (2.27 ppm), and then followed
consumption seed (1.04 ppm) and the lowest was principle seed
(0.60 ppm). The enhancement a physical condition of sprout
showed that spreaded seed was the fastest growth seed, whereas
principle and consumption seeds showed the same flow of
growth. Although, principle seed showed that there was 2% seed
could not germinate. There was positive correlation among
physical condition of seed with etilen output concentration. The
seed with high germinated flow had also given the high etilen
output concentration.
Keywords : photoaccoustic, soybean seed, etilen, concentration.

1. PENDAHULUAN
Pengukuran gas kelumit merupakan salah satu subyek yang
sangat penting dalam bidang biologi, pertanian dan lingkungan.
Pada bidang pertanian, misalnya pengukuran gas etilen banyak dilakukan

Sri Agustini Sulandari adalah Dosen Program Studi Fisika, Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Alamat Korespondensi:
Kampus III, Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, DIY. Email:
ritasuhadi@staff.usd.ac.id

33
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

untuk menyelidiki biosintesa proses pemasakan buah. Dengan


mengetahui proses yang terjadi, dimungkinkan untuk memanfaatkannya
dalam proses penyimpanan buah. Pengukuran gas etilen juga dapat
digunakan sebagai indikator kualitas benih karena setiap benih
melakukan aktivitas biologis. Proses ini akan diikuti dengan pancaran
gas tertentu seperti etilen. Keluaran gas ini tergantung dari aktivitas dan
kondisi benih yang bersangkutan. Dengan demikian, gas keluarannya
dapat dijadikan indikator keadaan benih tersebut (Santosa, 2002). Karena
itu diperlukan alat ukur konsentrasi gas yang sensitif, selektif, dan cepat
responnya. Selama ini kromatografi gas atau Gas Chromatography (GC)
banyak digunakan sebagai peralatan standar. Namun, GC kurang sensitif
dan kurang cepat waktu tanggapnya. Dalam praktek agar dapat
mendeteksi gas kelumit dengan GC, kadang perlu dilakukan akumulasi
sampel terlebih dahulu. Jadi, proses yang akan diamati tidak dapat diikuti
secara langsung (online).
Berbeda dari GC, detektor fotoakustik sangat peka, selektif, dan
cepat tanggapnya (Sigrist, 1995). Untuk pengukuran etilen, detektor
fotoakustik yang berbasis laser CO2 mempunyai limit deteksi sampai
pada orde ppt (sub part per trillion, 1: 1012) (Harren, 1998). Dengan
demikian pengukuran etilen dapat dilakukan secara online sehingga
proses-proses yang ada dapat diikuti secara waktu nyata (Wasono, 1998).
Karena sensitivitasnya yang sangat tinggi ini, detektor fotoakustik
berbasis laser CO2 banyak digunakan untuk mengukur konsentrasi etilen
pada proses biologi. Tanaman r umex yang terendam air akan
memberikan respon dengan tumbuh lebih panjang dan mengemisikan
etilen (Harren et al., 1990a). Etilen yang dipancarkan saat penyerbukan
dapat teramati pada satu buah anggrek (Harren et al., 1990b).
Etilen yang dipancarkan saat benih mulai pecah untuk
berkecambah, dapat dimanfaatkan sebagai indikator kualitas benih.
Karena detektor fotoakustik berbasis laser CO2 sangat peka untuk
mengukur etilen, maka pada penelitian ini, pengukuran etilen
digunakan untuk penentuan kualitas benih tanpa merusak benih itu
sendiri.
Dalam bidang per tanian, khususnya holtikultura, kualitas
benih dibedakan dalam 3 kategori/kelas, yaitu 1) benih pokok (BP),
2) benih sebar (BR), dan 3) benih konsumsi (BK). Dengan
mempertimbangkan upaya pemerintah dalam bidang ketahanan
pangan, peneliti melakukan uji kualitas benih kedelai varietas baluran,
dengan kelas yang berbeda.

34
Sri Agustini Sulandari, Penggunaan Detektor Fotoakustik ....

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Efek Fotoakustik
Serapan radiasi oleh suatu molekul gas terjadi apabila radiasi
tersebut beresonansi dengan transisi antar aras-aras tenaga molekul
gas itu. Jika molekul gas menyerap radiasi foton, maka molekul yang
menempati aras tenaga dasar E0 (ground state) akan tereksitasi ke
aras tenaga yang lebih tinggi E1 (excited state), dengan E = E1 – E0
= h merupakan perbedaan tenaga antara dua aras tersebut, sedang
merupakan frekuensi radiasi foton yang diserap. Molekul yang
tereksitasi tadi berada dalam keadaan tidak stabil sehingga
cenderung kembali ke aras dasar yang stabil disertai disipasi energi
E lewat proses deeksitasi molekuler. Proses deeksitasi molekul
tersebut berlangsung melalui berbagai cara (Gambar 1), yaitu:
a) Molekul memancarkan radiasi foton yang sering disebut
deeksitasi radiatif atau proses fluoresensi.
b) Molekul memulai reaksi secara kimiawi atau pengaturan
ikatan kimia yang dinamakan proses fotokimia.
c) Molekul satu membentur molekul lain yang berspesies, sama
yang berada pada keadaan dasar E0 kemudian mengeksitasi
molekul tersebut ke keadaan eksitasinya E1. Proses demikian
disebut sebagai pemindahan energi antarsistem.
d) Molekul saling berbenturan dan pada saat itu tenaga eksitasi
diubah menjadi tenaga translasi atau tenaga kinetik yang
mengakibatkan tenaga translasi dua molekul sesudah
benturan secara rata-rata lebih besar daripada sebelum
benturan. Hal ini akan menimbulkan pemanasan medium gas
(Rosencwaig, 1980).

35
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

Relaksasi
Non-radiatif

Gambar 1. Berbagai Jenis Proses yang Terjadi pada Molekul Menuju Aras
Dasarnya setelah Menyerap Radiasi Laser h (Rosencwaig, 1980)
Proses fotokimia terjadi bila energi radiasinya cukup tinggi, sedang
pada energi rendah, proses yang saling berkompetisi adalah fluroresensi
dan pererasan dengan cara benturan. Pererasan radiatif melalui
fluroresensi terjadi dalam waktu 10-2 detik pada panjang gelombang
inframerah = 10 m dan 10-7 detik pada panjang gelombang
cahaya tampak = (0,4 – 0,8) µm. Sedang pererasan nonradiatif dengan
cara benturan antarmolekul waktu relaksasinya bervariasi antara =
10-5 - 10-7 detik pada tekanan atmosfer. Dengan demikian pada panjang
gelombang = 10 µm pererasan radiatif dapat diabaikan secara
sempurna karena laju pererasan nonradiatif (1/ ) jauh lebih besar
daripada laju pererasan radiatif (1/ ) (Harren, 1988).
Efek fotoakustik sangat ditentukan oleh banyaknya proses
pererasan non radiatif, sedang proses yang terjadi pada serapan
radiasi oleh molekul dapat diatur sesuai dengan yang dikehendaki.
Untuk radiasi laser yang mempunyai panjang gelombang di daerah
sekitar 10 µm, proses pererasan hampir seluruhnya berbentuk
deeksitasi nonradiatif. Adapun panjang gelombang pada daerah ini
dimiliki oleh radiasi inframerah yang dihasilkan oleh sumber radiasi
laser CO2 (Harren, 1988).
Radiasi inframerah menyebabkan molekul tereksitasi ke aras
rotasi vibrasi sehingga terjadi kenaikan enegi kinetik rerata
molekul gas akibat benturan molekul-molekul yang mengakibatkan suhu
cuplikan gas naik. Pada volume tertutup sesuai dengan persamaan
keadaan yang berlaku pada gas, kenaikan suhu akan mengakibatkan
kenaikan tekanan. Jika berkas radiasi yang datang pada cuplikan gas

36
Sri Agustini Sulandari, Penggunaan Detektor Fotoakustik ....

dimodulasi intensitasnya secara periodik pada frekuensi audio , maka


akan didapatkan kenaikan dan penurunan tekanan secara periodik pula
yang membangkitkan bunyi pada frekuensi pula. Gelombang akustik
yang terbentuk dapat dideteksi dengan mikrofon (Pao, 1977; Rosencwaig,
1980; Harren, 1988).

2.2 Sinyal Latar dan Derau Sistem Spektroskopi


Fotoakustik (SFA)
Sinyal FA yang berasal bukan dari serapan radiasi oleh cuplikan
tetapi ditimbulkan oleh adanya serapan radiasi oleh dinding dan
jendela sel FA serta hamburan radiasi yang masuk ke dalam detektor
akustik disebut sinyal-sinyal latar (background signals) yang pada
umumnya besarnya berbanding lurus dengan daya radiasi yang
masuk ke dalam sel FA. Oleh karena itu, dapat diperkirakan tingkat
besarnya terhadap sinyal FA dalam bentuk faktor serapan latar
ekivalen b, yang mencirikan besar sinyal FA yang berasal dari
serapan radiasi oleh medium yang berbanding lurus dengan sinyal
FA latar yang muncul. Parameter b menentukan kepekaan alat FA
ditengah-tengah adanya sinyal latar. Secara eksperimen b dapat
diperkirakan sewaktu cuplikan ada dalam sel FA kemudian cuplikan
itu digantikan dengan cuplikan standar yang tidak menyerap radiasi.
Oleh karena radiasi yang datang dimodulasi, maka akan
didapatkan modulasi pemanasan gas. Perubahan suhu cuplikan gas
tersebut menyebabkan perubahan tekanan sehingga terbentuklah
sinyal akustik latar yang mempunyai frekuensi sama dengan
frekuensi sinyal akustik akibat serapan radiasi oleh cuplikan gas.
Amplitudo sinyal latar tersebut umumnya jauh lebih kecil
dibandingkan dengan sinyal akustik akibat serapan cuplikan gas
secara langsung. Sumber sinyal latar bisa berasal dari jendela sel
atau hamburan radiasi.
Selain sinyal latar, terdapat sinyal tambahan yang disebut derau
akustik yang muncul dari kegaduhan akustik dan getaran sistem
akibat alat-alat listrik serta sistem modulator radiasi elektromagnetik.
Dengan menggunakan penguat lock-in yang sensitif dan rancangan
sel yang tepat, maka derau akibat kegaduhan akustik dan getaran
mekanis dapat berkurang. Sedangkan derau modulator (chopper)
dapat dihilangkan dengan menjauhkan modulator dari sel FA. Selain itu,
derau sistem juga ditimbulkan oleh rangkaian elektronik terutama derau
di dalam penguat (amplifier) yang dihubungkan dengan mikrofon

37
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

(Kreuzer, 1977). Terdapat tiga sumber derau di dalam penguat, yaitu


sumber derau tegangan, arus shunt dan tahanan Johnson (derau
termal). Derau tegangan penguat tidak bergantung pada frekuensi tetapi
bergantung pada lebar pita alat ukur. Sedang derau arus penguat dan
derau tahanan Johnson berbanding terbalik dengan frekuensi.
Pada frekuensi yang cukup rendah, derau yang selalu lebih kuat
daripada derau jenis lain adalah derau kedipan (flicker noise), yang
dicirikan oleh rapat daya yang berbanding terbalik dengan frekuensi.
Derau jenis ini disebut juga derau 1/f. Frekuensi pada derau kedipan
yang sebanding dengan derau jenis lain disebut sebagai frekuensi
pojok (corner fequency) yang mempunyai nilai 1 kHz.

3. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat Penelitian
Laboratorium Fotoakustik, Jurusan Fisika UGM Yogyakarta.

3.2 Rangkaian Peralatan


Rangkaian peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Rangkaian Peralatan Detektor Fotoakustik:


1. Powermeter, 2. Piezo, 3. Cermin, 4. Sel Fotoakustik, 5. Tabung Laser CO2,
6. Chopper, 7. Kisi, 8. Steppermotor, 9. Lock-in Amplifier, 10. Komputer,
11. Power Supply, dan 12. Power Supply.

38
Sri Agustini Sulandari, Penggunaan Detektor Fotoakustik ....

3.3 Deskripsi Peralatan


Secara keseluruhan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Detektor Fotoakustik. Detektor Fotoakustik ber fungsi untuk
mengukur konsentrasi gas tertentu. Detektor Fotoakustik memiliki 2
komponen utama, yaitu laser dan sel fotoakustik dan mikrofon.

3.3.1 Laser
Pada detektor fotoakustik, laser yang digunakan sebagai sumber
cahaya adalah laser CO2 sealed-off yang terdiri dari:
a) Power Supply
Power supply (Gambar 2, Nomor 11) berfungsi sebagai penyedia
arus listrik yang akan dialirkan ke tabung laser sehingga elektron-
elektron akan menembak molekul-molekul yang terdapat pada
medium laser. Molekul-molekul tersebut akan melakukan eksitasi
ke tingkat energi yang lebih tinggi. Melalui proses tersebut kondisi
inversi populasi dapat tercapai.
b) Resonator Optis
Resonator optis yang digunakan terdiri dari cermin parsial dan
kisi yang dipasang sejajar dan saling berhadapan. Kedua cermin
ini akan memantulkan cahaya yang datang. Melalui proses ini
akan terjadi pancaran terangsang tambahan yang akan
membentuk aksi laser. Salah satu cermin yang digunakan (Gambar
2, Nomor 3) adalah cermin 98%. Pada cermin tersebut, 98% cahaya
akan dipantulkan untuk penguatan laser dan 2% cahaya akan
diteruskan sebagai keluaran laser. Untuk cermin lainnya (Gambar
2, Nomor 7), digunakan kisi yang berfungsi memantulkan cahaya
laser dengan panjang gelombang yang dipilih untuk digunakan.
Posisi kisi dapat diatur oleh steppermotor (Gambar 2, Nomor 8)
yang akan menggerakkan kisi dan menempatkannya pada posisi
panjang gelombang laser yang diinginkan.
c) Tabung Laser
Tabung laser (Gambar 2 Nomor 5) terdiri atas dua tabung yang
berlapis, yaitu tabung dalam yang berisi medium aktif laser
berupa campuran gas CO2, N2, dan He, dan tabung luar yang dialiri
air dan berfungsi sebagai pendingin. Pada penelitian ini, digunakan
tabung laser LTG (Laser Tech Group INC.) model LT 30-626, serial
No. 200801, panjang 52 cm.

39
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

d) Piezo
Piezo (Gambar 2, Nomor 2) yang terletak di belakang cermin
berfungsi untuk mengatur panjang resonator laser. Piezo akan
mendorong cermin sehingga panjang resonator ber ubah.
Pengaturan ini untuk memperoleh daya laser yang optimum.
e) Chopper
Chopper (Gambar 2, Nomor 6) digunakan untuk memodulasi laser.
Saat laser melalui celah chopper, cahaya laser akan langsung
mengenai kisi dan dipantulkan sehingga intensitas laser akan tinggi.
Namun, jika cahaya laser terhalang chopper, intensitas laser yang
dihasilkan adalah nol. Dengan mengatur frekuensi putaran chopper,
modulasi laser dapat diubah-ubah.
f) Powermeter
Powermeter (Gambar 2, Nomor 1) digunakan untuk mengukur
keluaran daya laser (output laser) yang dihasilkan.

3.3.2 Sel Fotoakustik


Sel fotoakustik (Gambar 2, Nomor 4) merupakan ruang proses
konversi cahaya menjadi sinyal akustik berlangsung. Sel fotoakustik
mempunyai dua bagian utama, yaitu resonator dan mikrofon. Sinyal
keluaran dari mikrofon akan dimonitor oleh lock-in amplifier,
kemudian akan diolah oleh komputer. Desain sel fotoakustik
ditunjukkan pada Gambar 3. Mikrofon yang digunakan untuk menangkap
sinyal akustik terletak di dalam sel fotoakustik. Mikrofon ini sangat peka
sehingga desain dari sel fotoakustik sangat tebal yang bertujuan agar
terhindar bunyi dari luar. Bunyi yang ditangkap mikrofon pun adalah
bunyi yang sesuai dengan frekuensi resonansi gas yang terdapat di dalam
sel fotoakustik. Untuk sistem intrakavitas, sel fotoakustik ditempatkan
di dalam rongga laser. Sistem ini dipilih karena dapat menghasilkan daya
yang besar sehingga memungkinkan batas deteksi yang sangat rendah.

40
Sri Agustini Sulandari, Penggunaan Detektor Fotoakustik ....

Gambar 3. Sel Fotoakustik. I: pintu masuk gas; O: pintu keluar gas; M: Mikropon

3.4 Persiapan Sistem Deteksi

3.4.1 Pelurusan Laser


Untuk pelurusan laser, digunakan alat bantu pengatur cahaya yaitu
laser HeNe. Cahaya diatur agar posisinya jatuh pada tengah kisi. Arah
pantulan cahaya dari kisi harus tepat menuju kembali sumber datangnya
cahaya. Apabila belum kembali ke posisi datangnya cahaya, maka
pantulan cahaya tersebut dapat diarahkan dengan mengatur posisi kisi.
Kemudian dipasang tabung laser dan chopper sedemikian hingga cahaya
tepat kembali ke sumber. Chopper ditempatkan di dekat kisi dengan
tujuan mengurangi bunyi yang masuk ke sel fotoakustik dan juga untuk
menghindari sinar pantulan laser dari chopper tidak masuk ke sel
fotoakustik. Yang terakhir dipasang cermin dan diatur kembali sehingga
posisi cahaya pantulan yang berasal dari cermin tepat berada ditengah
cahaya datang.

3..4.2 Pencarian Garis Laser


Kedudukan laser HeNe diganti dengan powermeter. Laser
dinyalakan dan dihubungkan dengan osiloskop. Pencarian awal
dilakukan secara manual yaitu dengan menggerakkan kisi
menggunakan tangan agar diketahui daerah kerja laser. Pencarian
daerah kerja laser perlu agar pada saat dijalankan kisi tidak mengenai

41
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

chopper. Pada saat menggerakkan kisi, osiloskop terus diperhatikan


apakah terdapat sinyal atau tanda adanya laser. Apabila terdapat sinyal
adanya laser, maka pencarian dilanjutkan menggunakan komputer.

3.4.3 Pencarian dan Optimalisasi Daya Laser


Apabila daerah kerja laser telah diketahui, selanjutkan komputer
dihubungkan untuk menggerakkan steppermotor menggunakan
program software yang telah tersedia. Dengan menggunakan
program tersebut, scanning dapat dilakukan untuk menampilkan
hasil pengeseran laser. Dari hasil scanning dapat diketahui keluaran laser
yang dihasilkan dan juga besarnya daya laser yang diperoleh dengan
mengatur tegangan dan kuat arus listriknya serta pengatur tegangan
pada Piezo.

3.4.4 Pemasangan Sel Fotoakustik


Setelah proses optimalisasi selesai, dilakukan pemasangan sel
fotoakustik untuk sistem intrakavitas. Sel fotoakustik diletakkan di dalam
rongga resonator laser, yaitu diantara cermin dan tabung laser. Pada
saat pemasangan sel fotoakustik, posisi steppermotor diletakkan pada
posisi garis laser yang memiliki daya paling besar. Hal ini dilakukan
karena pada waktu pemasangan sel fotoakustik akan terjadi penyerapan.
Pemasangan sel fotoakustik harus secara hati-hati karena bobot dari
sel fotoakustik yang sangat berat akan mempengaruhi posisi resonator
laser. Apabila posisi resonator laser berubah maka daya laser akan
hilang. Posisi sel fotoakustik juga diatur, agar laser tidak membentur
dinding sel akustik.

3.5 Pencarian Garis Laser CO2 untuk Gas Etilen


Setelah pemasangan dan pengaturan sel fotoakustik, sistem
deteksi siap untuk digunakan. Langkah selanjutnya adalah pencarian
garis laser untuk gas etilen. Proses pencarian dilakukan dengan
memasukkan sampel (buah apel) ke dalam kuvet, kemudian dilakukan
proses scanning. Setelah diperoleh hasil scanning, kemudian diamati
garis laser yang mengalami penyerapan terbesar. Apabila terjadi
penyerapan terbesar pada salah satu garis laser, maka garis tersebut
mer upakan garis laser untuk gas etilen. Garis laser tersebut
kemudian digunakan untuk mengukur konsentrasi gas etilen.

42
Sri Agustini Sulandari, Penggunaan Detektor Fotoakustik ....

3.6 Persiapan Benih Kedelai sebagai Sampel


Benih yang akan diteliti, dibatasi pada benih varietas Baluran
dengan kelas BP, BR, dan BK. Benih kedelai dimasukkan ke dalam kuvet
yang diberi alas kapas basah. Jumlah benih yang dimasukkan ke dalam
kuvet sama banyak untuk setiap kelas benih. Jumlah benih merupakan
variabel yang dikontrol dalam penelitian ini. Benih yang sudah
dimasukkan di dalam kuvet ditunggu sampai mulai pecah (proses
berkecambah mulai berlangsung). Setelah benih berusia 2 hari
pengukuran dilakukan. Sebelum dimasukkan ke dalam sel fotoakustik,
gas yang keluar dari kuvet dilewatkan terlebih dahulu ke dalam scraper
yang berisi natrium chlorat. Hal ini berfungsi untuk mengikat uap air
yang berasal dari kuvet.

3.7 Teknik Pengumpulan Data


Data yang akan dicari dalam penelitian ini adalah konsentrasi
gas etilen yang dikeluarkan oleh benih kedelai dari varietas Baluran
dengan kelas Benih Pokok (BP), Benih Sebar (BR), dan Benih
Konsumsi (BK), saat benih tersebut berkecambah. Untuk memperoleh
data konsentrasi gas etilen yang dikeluarkan oleh kecambah, dilakukan
langkah pengukuran sebagai berikut.
1) Diukur sinyal/daya dan konsentrasi dari sinyal latar.
2) Dilakukan kalibrasi menggunakan gas etilen standar dengan
konsentrasi 10 ppm untuk memperoleh ekuivalensi antara
sinyal/daya dengan konsentrasi.
3) Mengukur sinyal/daya dari gas etilen yang dikeluarkan kecambah
dikurangi sinyal/daya dari latar, kemudian dikonversi ke
konsentrasi gas etilen.

3.8 Teknik Analisis Data


Data mengenai konsentrasi gas etilen yang dikeluarkan oleh
berbagai jenis benih kedelai tersebut dianalisis berdasarkan pola
kur va konsentrasi gas etilen. Dari kur va konsentrasi gas etilen
tersebut, selanjutnya dianalisis apakah jenis benih yang berbeda
memperlihatkan pola kurva konsentrasi gas etilen yang juga berbeda.

43
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Sinyal/Daya (S/P) Latar
Tabel 1: Konsentrasi dan S/P dari latar
Latar
Konsentrasi Sinyal/Daya (V/W)
3,04E-08 5,33E-05

4.1.2 Kalibrasi Etilen


Tabel 2: Konsentrasi dan S/P dari Etilen Standar
Kalibrasi Etilen
Konsentrasi Sinyal/Daya (V/W)
1,00E-05 0,01754

4.1.3 Kurva S/P vs Waktu dan Konsentrasi vs Waktu


dari Benih Kelas BP
Benih kedelai yang dikecambahkan dalam kuvet, ditutup rapat
selama dua hari sehingga terjadi akumulasi gas etilen di dalam kuvet.
Kurva S/P vs waktu dan konsentrasi etilen vs waktu dari benih, dapat
dilihat pada gambar 4.1. dan 4.2.

44
Sri Agustini Sulandari, Penggunaan Detektor Fotoakustik ....

Gambar 4.1. Kurva S/P vs Waktu dari Benih Kelas BB

Konsentrasi vs Waktu

Gambar 4.2. Kurva Konsentrasi Etilen vs Waktu dari Benih Kelas BP

45
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

4.1.4 Kurva S/P vs Waktu dan Konsentrasi vs Waktu


dari Benih Kelas BR
Kur va S/P vs waktu dan kurva konsentrasi etilen vs waktu dari
benih kelas BR dapat dilihat pada gambar 4.3. dan 4.4.

S/P vs Waktu

Gambar 4.3. Kurva S/P vs Waktu dari Benih Kelas BR

Gambar 4.4. Kurva Konsentrasi Etilen vs Waktu dari Benih Kelas BR

46
Sri Agustini Sulandari, Penggunaan Detektor Fotoakustik ....

4.1.5 Kurva S/P vs Waktu dan Konsentrasi vs Waktu


dari Benih Kelas BK
Kurva S/P vs waktu dan kurva konsentrasi etilen vs waktu dari
benih kelas BK dapat dilihat pada gambar 4.5. dan 4.6.

Gambar 4.5. Kurva S/P vs Waktu dari Benih Kelas BK

Gambar 4.6. Kurva Konsentrasietilen vs Waktu dari Benih Kelas BK

47
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

4.1.6 Konsentrasi Etilen Awal


Yang dimaksud dengan konsentrasi etilen awal adalah
konsentrasi gas etilen pada awal pengukuran, yang nilainya ditunjukkan
pada Tabel 3.
Tabel 3: Konsentrasi Etilen Awal
Kalibrasi Etilen
Konsentrasi Sinyal/Daya (V/W)
1,00E-05 0,01754

Benih Pokok (BP)


Sinyal/Daya Latar Konsentrasi ppm (1000ppb)
0,0165 5,33E-05 9,38E-06 9,38
Benih Sebar (BR)
Sinyal/Daya Latar Konsentrasi ppm (1000ppb)
0,017 5,33E-05 9,66E-06 9,66
Benih Konsumsi (BK)
Sinyal/Daya Latar Konsentrasi ppm (1000ppb)
0,011 5,33E-05 6,24E-06 6,24

4.1.7 Konsentrasi Etilen Flat


Gas etilen yang terakumulasi konsentrasinya makin menurun dan
kemudian mendatar (flat). Konsentrasi etilen flat ini menunjukkan
konsentrasi etilen yang dihasilkan secara langsung (on line) oleh
kecambah kedelai.
Tabel 4: Konsentrasi Etilen Flat

Kalibrasi Etilen
Konsentrasi Sinyal/Daya (V/W)
1,00E-05 0,01754

48
Sri Agustini Sulandari, Penggunaan Detektor Fotoakustik ....

BP
Sinyal/Daya Latar Konsentrasi ppm
1,11E-03 0,00E+00 6,33E-07 0,63
BR
Sinyal/Daya Latar Konsentrasi ppm
0,00403 0,00E+00 2,30E-06 2,30
BK
Sinyal/Daya Latar Konsentrasi ppm
0,00188 0,00E+00 1,07E-06 1,07

4.1.8 Kondisi Fisik Benih Kelas BP, BR, dan BK


Saat dilakukan Pengukuran

a. Kelas BP
Jumlah 100 biji. Semua biji mulai berkecambah dilihat dari
tumbuhnya akar. Tetapi, akar masih belum menembus kulit ari.
b. Kelas BR
Jumlah 100 biji. Semua biji mulai berkecambah yang dilihat dari
tumbuhnya akar, jumlah biji yang akarnya masih belum menembus
kulit ari ada 56 biji, jumlah biji yang akarnya sudah menembus kulit
ari dengan panjang + 5 mm ada 18 biji, dan jumlah biji yang akarnya
sudah menembus kulit ari dengan panjang + 10 mm ada 26 biji.
c. Kelas BK
Jumlah 100 biji. Ada 98 biji mulai berkecambah dilihat dari
tumbuhnya akar tetapi akar masih belum menembus kulit ari.,
sedangkan 2 biji tidak berkecambah

4.2 Pembahasan
4.2.1 Pola Keluaran Gas Etilen
Karena gas etilen terakumulasi, maka konsentrasi awal dari
etilen cukup tinggi, yaitu 9,38 ppm untuk BP, 9,66 ppm untuk BR, dan
6,24 ppm untuk BK. Konsentrasi etilen kemudian turun menyerupai
kurva eksponensial. Pola penurunan secara eksponensial ini sama untuk

49
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

benih BP, BR dan BK. Setelah waktu kurang lebih 25 menit, konsentrasi
keluaran etilen dari benih BP, BR, maupun BK menjadi konstan (kurva
konsentrasi vs waktu mendatar). Konsentrasi yang konstan ini
(konsentrasi flat) menunjukkan produksi real etilen dari benih (bukan
hasil akumulasi). Konsentrasi flat ini terukur untuk benih BP 0,60 ppm,
benih BR 2,27 ppm dan benih BK 1,04 ppm.

4.2.2 Perbandingan Pola Keluaran Etilen

a. Persamaan
1) Pola penurunan konsentrasi eksponensial baik untuk benih BP,
BR maupun BK.
2) Waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi etilen
yang konstan adalah sama, yaitu kurang lebih 25 menit.
b. Perbedaan
1) Konsentrasi etilen awal berbeda-beda. Tertinggi adalah benih
BR (9,66 ppm) kemudian benih BP (9,38 ppm) dan paling
rendah benih BK (6,24 ppm).
2) Konsentrasi flat juga berbeda-beda. Tertinggi adalah benih BR
(2,27 ppm) kemudian benih BK (1,04 ppm) dan paling rendah
benih BP (0,60 ppm).

4.2.3 Kondisi Fisik Benih


Perkembangan kecambah memperlihatkan benih BR merupakan
benih yang paling cepat per tumbuhannya. Benih BP dan BK
memperlihatkan kecepatan yang sama tetapi benih BK memperlihatkan
ada 2% benih yang tidak berkecambah.

4.2.4 Pola Keluaran Etilen dan Kualitas Benih


1) Dari pola keluaran etilen (konsentrasi awal dan konsentrasi flat),
tidak terlihat bahwa urutan kualitas benih adalah benih BP
kemudian BR dan BK.
2) Dari pola keluaran etilen (konsentrasi awal dan konsentrasi flat),
benih BR menunjukkan konsentrasi keluaran etilen tertinggi.
3) Dari kondisi fisik benih, terlihat bahwa benih BR memiliki
kecepatan berkecambah paling tinggi.

50
Sri Agustini Sulandari, Penggunaan Detektor Fotoakustik ....

4. KESIMPULAN
1. Pola keluaran etilen dari benih BP, BR dan BK memiliki kesamaan
dalam hal menurun secara eksponesial dan memerlukan waktu
yang sama untuk mencapai konsentrasi konstan.
2. Dari pola keluaran etilen (konsentrasi awal dan konsentrasi flat)
terlihat bahwa urutan kualitas benih adalah benih BP kemudian
BR dan BK.
3. Ada korelasi positif antara kondisi fisik benih dengan
konsentrasi keluaran etilen. Benih dengan kecepatan
berkecambah yang tinggi memberikan konsentrasi keluaran
etilen yang tinggi pula. Hal ini terjadi pada benih kelas BR.

51
Jurnal Penelitian Vol. 14, No. 1, November 2010

DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pertaian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2006. Kebijakan
Perbenihan dan Deskripsi Varietas Tanaman Pangan.
Yogyakarta.
Harren, F. J. M. 1988. “The Photoaccoustic Ef fect, Refined, dan
Applied to Biological Problems”. Ph.D. Thesis. Catholic
University of Nijmegen The Netherlands. Harren F.J.M.,
Bijnen, F.G.C.
Reuss, J., Voesenek L. A.C. J., Blom C.W.P.M. 1990a. “Sensitive
Intracavity Photoaccoustic Measurements with a CO 2
Waveguide Laser”. Appl Phys. B. 50: 137-144.
Harren F. J. M., Reusss J., Woltering E.J., Bicanic D.D. 1990b.
“Photoacoustic Measurements of Agriculturally Interesting
Gases and Detection of C2H 4 Below the Ppb Level”. Applied
Spectroscopy. Vol. 44, No 8: 1360-1368.
Morse, P.M. dan Ingard K.U. 1968. Theoretical Acoustics. New York:
Mc Graw-Hill Book Company.
Pao, Y.H. 1977. Optoaccoustic Spectroscopy and Detection. New York:
Academic Press.
Repond, P., Sigrist M. W. 1996. “Photoaccoustic Spectroscopy on Trace
Gases with Continuously Tunable CO2 Laser”. Applied Optics.
Vol. 35. No. 21: 4065-4085.
Rosencwaig, A. 1980. Photoaccoustic and Photoaccoustic Spectroscopy.
New York: John Wiley and Sons.
Santosa I. E. 2002. “Oxidative Stress and Pathogenic Attack in
Plants, Studied by Laser Based Photoaccoustic Trace Gas
Detection”. PhD Thesis. Nijmegen.
Sigrist M. W. 1995. “Trace Gas Monitoring by Laser-Photoaccoustic
Spectroscopy”. Infrared Phys. Technol 36: 415-425.
Thony A., Sigrist M. W. 1995. “New Developments in CO 2 Laser
Photoacoustic Monitoring of Trace Gases”. Infrared Phys.
Technol. Vol. 36 No. 2: 585-615.
Wasono, M. A. J. 1998. “Construction and Performance of CO 2
Laser Driven Photoacoustic Spectrometer as A Monitor of
Ethylene Emmision in Post Har vest Metabolisme of
Tropical Fruits”. Ph.D. Disser tation. Yogyakarta: UGM.

52

Anda mungkin juga menyukai