Anda di halaman 1dari 14

APLIKASI TEORI ISTIHSAN DALAM PENGEMBANGAN HUKUM BISNIS ISLAM

Makalah Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu :

Dr. Nurul Huda,M.H.I

Disusun Oleh :

1. Devita Aulia Sari (2018.5502.04.0742)


2. Alna Novaldi Pradika (2018.5502.04.0737)
3. Siti Cholifah (2018.5502.04.0767)

Prodi Hukum Ekonomi Syariah

Fakultas Syariah

Institut Agama Islam Sunan Giri Bojonegoro

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan
puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini yang membahas tentang “Aplikasi
Teori Istihsan Dalam Hukum Bisnis Islam”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat melancarkan proses pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima segala bentuk saran dan kritik dari pembaca, agar kami dapat memperbaiki makalah
ini. Kami berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan juga dapat dipahami oleh
pembaca.

Bojonegoro, 30 Desember 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

Kata Pengantar…………………………………………………………………..……….……….2

Daftar isi………………………………………………………………………..……….………...3

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………..…………………..4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………..…………………….5
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………..…………………...5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian teori istihsan dalam hukum bisnis islam ……..................................................6


B. Urgensi teori istihsan dalam hukum bisnis islam.….……………………..…...……........8
C. Aplikasi teori istihsan dalam hukum bisnis islam kontemporer……………………….10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………….……………………………...13
B. Saran…………….…………………………………………………………………….…13

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang telah diturunkan kepada umat
manusia sebagai pedoman dalam menata kehidupan di dunia dan di akhirat. Oleh karena
itu, maka kandungan Al-Qur’an meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Hanya saja Al-
Quran dalam membicarakan suatu masalah tidak tersusun secara sistematis dan terperinci.
Pada umumnya keterangan Al-Quran bersifat global. Kemudian Nabi Muhammad saw,
sebagai utusan Allah untuk hambanya diberikan otoritas untuk menjelaskan lebih rinci hal-
hal yang bersifat global yang terdapat dalam Al-Quran. Sunnah sebagai penjelas dari apa
yang telah tertulis dalam Al- Quran, maka dapat dipahami bahwa sunnah baik berupa
perkataan, perbuatan dan taqrir nabi merupakan sumber kedua sesudah Al-Quran.
Namun diakui juga bahwa Al-Quran dan sunnah terbatas, karena tidak semua
persoalan dapat dijawab oleh Al-Quran dan sunnah. Sementara semakin lama semakin
banyak persoalan yang muncul. Untuk menyelesaikan persoalan yang muncul, maka
ulama-ulama melakukan ijtihad (Hamka Haq, 1997: 104).
Karena wahyu tidak turun lagi sebab Rasulullah telah wafat. Maka tidak ada lagi
yang dapat menilai hasil ijtihad mereka apakah benar atau salah, untuk itulah diperlukan
ijma’ sebagai parameter dalam menguji kebenaran hasil ijtihad itu dengan pertimbangan
ijma’ yang diambil secara kolektif jauh lebih kuat dibanding dengan yang dibuat secara
individu (Iskandar Usman, 1994: 5).
Para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟I, dan Imam
Ahmad bin Hanbal, masing-masing memiliki metode ijtihad tersendiri. Dalam melakukan
ijtihad yang dijadikan dasar dalam istinbath hukum. Kepopuleran para mujtahid tersebut,
sehingga sebagian besar umat Islam hanya bertaklid pada salah satu imam. Mereka hanya
mencurahkan kemampuannya untuk memahami nash. Akhirnya mempersempit cakrawala
pikiran mereka dalam lingkungan terbatas mengenai cabangcabang hukum dari para
mujtahid. Dalil-dalil syara’ yang dijadikan sebagai sumber hukum bagi para mujtahid
masing-masing berbeda. Imam Abu Hanifah menjadikan dalil-dalil syara‟ yaitu: Al-Quran,
sunnah, ijma’ sahabat, qiyas, istihsan dan ‘urf. Mazhab Maliki berpegang kepada Al-

4
Quran, sunnah, ijma’ ahlul Madinah, fatwa sahabat, khabar ahad dan qiyas, istihsan,
istislah dan sad al-zara’i, muru’at khilaf almujtahidin, istishab dan syar’manqablana.
Sedangkan dalil-dalil syara’ yang dipegang oleh mazhab Syafi’I adalah Alquan, sunnah,
ijma‟ qiyas , istislah dan istishab. Bagi Ahmad bin Hanbal berpegang pada Al-Quran,
sunnah, fatwa sahabat dan qiyas
Dari gambaran tersebut, maka dapat dipahami bahwa tidak semua imam
mujtahid sepakat menggunakan istihsan sebagai sumber hukum. Imam Syafi‟I telah
menolak penggunaan istihsan sebagai sumber hukum karena dianggap seorang mujtahid
telah mengambil sesuatu yang menurutnya baik, bukan didasari oleh argumentasi yang
diperoleh secara langsung menurut redaksi teks (nash) Al-Quran dan sunnah ataupun
berdasarkan ijma’ para sahabat rasul (Muhammad Abu Zahrah, diterjemahkan oleh Abdul
Syukur, 2005: 479) Bahkan lebih jauh Imam Syafi‟i mengatakan menggunakan istihsan
sebagai istinbath hukum dengan hawa nafsu dan mencari enaknya saja.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pengertian teori istihsan dalam hukum bisnis islam?


2. Bagaimana urgensi teori istihsan dalam hukum bisnis islam?
3. Bagaimana pengaplikasian teori istihsan dalam hukum bisnis islam?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian teori istihsan dalam hukum bisnis islam
2. Untuk mengetahui bagaiaman urgensi teori istihsan dalam hukum bisnis islam
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaplikasian teori istihsan dalam hukum bisnis islam

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Istihsan Dlam Hukum Bisnis Islam

Secara harfiyah, Istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-


hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. (‫نا‬H‫ئ حس‬H‫)عد الش‬. Menurut Imam al-Ghazali
dalam kitabnya al-Mustashfa, Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid
menurut akalnya.

Secara terminologi, Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi bahwa istihsan


adalah :1

‫ عن قياس جلي الى مقتضى قياس خفي او عن حكم كلي الى حكم استثنائي لدليل انقدح في‬H‫عدول المجتهد‬
‫عقله رجح لديه هذا العدول‬.

“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang
jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan hukum kulli (umum)
kepada ketentuan hukum yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena ada kesalahan
memahami dalil yang memungkinkan memenangkan perpindahan itu.”

Beberapa definisi ulama, selain al-Ghazali di atas, tentang istihsan ini


sebagaimana yang dikatakan Juhaya S. Praja dalam tulisannya tentang Ushul Fiqih, adalah
yang diberikan oleh Al-Muwafiq Ibnu Qudamah al-Hambali, beliau mengatakan bahwa
“Istihsan adalah keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu
dari al-Qur’an dan As-Suunah”. Abu Ishaq As-Syatibi (mazhab Maliki) berkata Istihsan
adalah “pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat Juz’iy dalam menanggapi dalil
yang bersifat global”2. Menurut Hasan al Kurkhi al-Hanafi, Istihsan adalah “perbuatan adil

1
Al-Syarahsi, Ushul al-Sarakhsi (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993), 200.
2
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991), 79.

6
terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain karena adanya
suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan”.3

Imam Bazdawi, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Aziz al-Bukhari, dalam


Kasyf al-Asror fi Ushul al-Bazdawi memberikan definisi istihsan dengan mengatakan
“Istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau
pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.

Dari definisi-definisi tersebut, dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika
seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum
yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua
dari hukum yang pertama.

Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas
dasar Istihsan, padahal secara qiyas, tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu
dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika
wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu
dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang
ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.

Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf, sebagaimana dikutip oleh Ehsan At-
Thoriqi, dalam Jurnal Academia, memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan
Istihsan dengan mengatakan, “Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash
yang ada atau kaidah umum tertentu, kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum
tertentu. Namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini memiliki
kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian-dalam pandangannya-bila
nash yang umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada,
justru akan menyebabkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. Karena itu, ia pun
meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil dari
pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari kaidah
umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’

3
Ibid.hal. 144

7
inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan
ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini
dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain
juga atas hasil ijtihad ini.

B. Urgensi Teori Istihsan Dalam Hukum Bisnis Islam

Ada beberapa contoh kasus yang dialami dalam menyelesaikan masalah perekonomian
Islam yang sesuai dengan kaidah fiqhiyyah Istihsan, diantaranya:

1. Akad Jual beli Mu’atah di swalayan


Jual beli mu’atah yaitu jual beli tanpa ada ucapan ijab qabul secara lisan. 4
Menurut ketentuan umum (qiyas), setiap tansaksi jual beli harus memakai ijab qabul,
namum karena ur’f yang berlaku di zaman sekarang di swalayan biasa terjadi transaksi jual
beli tanpa adanya ijab qabul, maka jual beli mu’atah dibenarkan. Jual beli mu’atah ini
sering terjadi di mall, swalayan, supermarket dll. jual beli ini sesuai dengan kaidah
fiqhiyyah Al-istihsanu bil ur’f yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan
ketentuan qiyas, yang berdasarkan adat kebiasaan yang sudah dipraktikan dan dikenal baik
dalam kehidupan masyarakat yang berlaku umum.
2. Akad salam ( pesanan )
Pada jual beli salam saat transaksi jual beli berlangsung, barang yang
diperjualbelikan itu belum ada wujudnya. Sedangkan menurut ketentuan umum dan
menjadi sandaran qiyas maka transaksi model seperti ini tidah sah. Karena tidak memenuhi
salah satu persyaratan jual beli. Model jual beli ini dibolehkan berdasarkan ayat al-Qur’an:
‫يا أيها الذين امنوا اذا تداينتم بدين الى أجل مسمى فاكتبوا‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktuyang tidak ditentukan, hendaklah kamu menulisnya...”
Dari penyelesaian masalah diatas dapat dikategorikanke dalam Istihsan bin nash
yaitu istihsan yang berdasarkan ayat atau hadits. Maksudnya ada ayat atau hadits tentang
hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Mujtahid dalam

4
Muhammad syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 68.

8
meletakan hukum tidak menggunakan qiyas tapi menggunakan nash karena ada nash yang
menuntunnya.5
3. Menabung di Bank Konvensional

Diperbolehkan Menabung di bank konvensional ketika di daerah tersebut benar-


benar tidak ada bank syariah. Selain itu, bekerja di bank konvensional sementara belum
mendapatkan pekerjaan lainnya yang halal. masalah masuk kategori Al-istihsan bid
dhoruroti yaitu istihsan berdasarkan keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid
tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Mujtahid juga tidak menuntut dalil yang
secara umum karena adanya dharurat yang menghendaki pengecualian. Dalam kata lain
menghindari dari kemafsadatan.

4. Akad Waqaf
Dalam madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah
pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut
qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan
waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari
penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah
hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan
waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewamenyewa yang penting ialah pemindahan hak
memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.
Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang
yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali),
maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan
hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua
peristiwa ini ada persamaan `illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta,
tetapi qiyasnya adalah Istihsan dan Implementasinya
qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka
dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
5
Muhammad syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 69.

9
5. Masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu
dan kadar air yang digunakan. Secara qiyâs seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena
adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya
tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsân
pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal
tersebut

C. Aplikasi Teori Istihsan Dalam Hukum Bisnis Islam Kontemporer

Pengembangan istihsan dalam hukum bisnis islam sangat strategis perannya. Hal
ini karena metode ini memiliki daya kepekaan yang tinggi terhadap perubahan sosial
masyarakat dalam kehidupan yang serba cepat dan canggih. Berikut ini aplikasi metode
istihsan dalam hukum bisnis islam kontemporer.6
1. Pembiayaan Salam Paralel
Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dana kepada
pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah. Penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada
pengguna dana. Berdasarkan undang-undang perbankan No. 10 Tahun 1998.
Salam secara etimologis artinya pendahuluan, dan secara muamalah adalah
penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan
barang yang dibeli masih dalam tangguhan penjual, di mana syaratnya ialah mendahulukan
pembayaran pada waktu akad. Secara terminologis, jual beli salam ialah menjual suatu
barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya
disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya
diserahkan dikemudian hari. Barang pesanan harus jelas spesifikasinya. Spesifikasi barang
pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati. Jika barang pesanan yang
dikirim tidak sesuai dengan spesifik dalam akad. Maka bank syariah akan
mengembalikannya kepada penjual.
Akad salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi salam yaitu antara
pemesanan pembeli dan penjual serta antara penjual dengan pemasok (supplier) atau pihak

6
Mohammad Mufid. Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. (Jakarta Prenadamedia grup 2016).

10
ketiga lainnya. Hal ini terjadi ketika penjual tidak memiliki barang pesanan dan memesan
kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan tersebut.7
2. Jual Beli Via Vending Machine
Seperti yang diketahui bersama, bahwa di Bandara Internasional Soekarno-Hatta,
di Departemen Store,, Supermarket, Café, Halte Bus, sudanh banyak dilengkapi fasilitas
Vending Machine sebagai alat atau mesin untuk menjual barang secara otomatis.
Vending Machine sebagai alat menjual barang secara otomatis sangat praktis.
Karena mesin tersebut tidak membutuhkan tenaga operator untuk menjual barang tersebut.
Sementara pembeli dapat membelinya sesuai dengan keinginannya dengan memasukkan
sejumlah uang sesuai harga barang yang ditetapkan, lalu menekan tombol pada barang
yang diinginkan, maka secara otomatis barang itu akan keluar dengan sendirinya. Bahkan,
jika uang yang membutuhkan uang kembalian, mesin secara otomatis juga akan
memberikan kembalian secara otomatis pula.
Jual beli semacam ini, tidak membutuhkan ijab Kabul seperti akad jual beli seperti
biasanya. Akan tetapi, transaksi ini sudah menunjukkan perelaan kedua pihak
(pembeli/penjual). Untuk melakukan transaksi tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan
istihsan, transaksi semacam ini dibolehkan berdasarkan kebiasaan (‘urf) yang berkembang
di masyarakat.

3. Jual Beli Istisna pada Bank Syariah


Istisna’ atau pemesanan secara bahasa berarti meminta dibuatkan. Transaksi jual
beli al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam
kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Produk istisna menyerupai
produk salam tetapi dalam istisna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam
beberapa kali pembayaran.
4.  Istihsan Jual Beli Kredit (Bai’ Taqsith)
Bai’Taqsith sama dengan jual beli kredit atau disebut juga sebagai al-bai’
bitsamanil ajil atau al-bai’ila ajal. Adapun definisinya adalah jual beli secara cicilan dalam
jangka waktu tertentu dimana harga kredit lebih tinggi (bertambah) dari harga cash (naqd).
Harga kredit 1 tahun berbeda dengan harga 2 tahun, dan seterusnya.

7
Abdul Wahab Kalaf, Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Aman, 2003).

11
5. Tawwaruq Muktiguna untuk Pembiayaan Produktif
Pembiayaan multiguna dapat menggunakan skim Tawarruq emas atau bai’ al-wafa
wal ijarah yang disebut dengan bai’ istighlal (lihat qanun al-Majjalah al-ahkam al-adliyah).
Mayoritas ulama menyetujui bai’ tawarruq, namun umar bin abdul aziz,ibnu Taymiyah dan
ibnu Qayyim memakruhkannya.
Kalau berpegang pada pendapat mayoritas ulama, maka penerapan
tawwaruq,tidak bermasalah. Namun jika berpegang pada pendapat umar bin abdul aziz
ibnu Taymiyah dan ibnu Qayyim, yang kemakhrukannya, maka hal itu dapat dihilangkan
dengan metode istihsan.

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum
tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya
lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.

Pengembangan istihsan dalam hukum bisnis islam sangat strategis perannya. Hal
ini karena metode ini memiliki daya kepekaan yang tinggi terhadap perubahan sosial
masyarakat dalam kehidupan yang serba cepat dan canggih.

B. SARAN

Dengan kemampuan berfikir kita, diharapkan kepada semua pihak setelah


membaca makalah ini dapat meningkatkan kualitas pemahaman yang mendalam mengenai
Teori Istihsan Dalam Hukum Bisnis Islam. Sehingga dapat menerapkan semua pemahaman
yang ada dalam filsafat hukum bisnis islam sesuai dengan semestinya, karena dengan
dengan begitu dapat membuat kita lebih menghargai, mencintai, dan memaknai setiap ilmu
yang ada di dunia ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Syarahsi, Ushul al-Sarakhsi Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993, 200.

Wahab Khalaf Abdul, Ilmu Ushul al-fikih Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan
VIII,thn 1991, 79.

Ibid.hal. 144

Antonio Syafi’i Muhammad, Bank Syariah dari Teori ke Praktik Jakarta: Gema Insani,
2001, 68.

Antonio syafi’i Muhammad, Bank Syariah dari Teori ke Praktik Jakarta: Gema Insani,
2001, 69.

Mufid Mohammad . Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. Jakarta Prenadamedia grup


2016.

Abdul Wahab Kalaf Abdul, Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Aman, 2003.

14

Anda mungkin juga menyukai