Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM
Zuhur Diana, Lia Khozinatul Mufida
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: lia.mufida27@gmail.com

Abtract
This article discusses an analysis of a curriculum development model based on a model of the
thinking of experts including Ralp W Tayler, Hilda Taba, Saylor and Alexander, Peter F.
Oliva, and competency-based curriculum (KBK). Of course, from all of these models, we
must know what methods they use, as well as their advantages and disadvantages in the
implementation process. So that we can compare and find out what method suits the situation
and situation that is being experienced in different periods of time

Abstrak
Artikel ini membahas mengenai analisis tentang model pengembangan kurikulum berdasarkan
model hasil pemikiran para ahli diantaranya yaitu Ralp W Tayler, Hilda Taba, Saylor dan
Alexander, Peter F. Oliva, dan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Tentunya dari semua
model tersebut kita harus mengetahui metode apa yang mereka gunakan hingga kekurangan
dan kelebihannya dalam proses implementasinya. Sehingga kita bisa membandingkan dan
mengetahui metode apa yang sesuai dengan situasi dan keadaan yang sedang dialami dalam
jangka waktu yang berbeda pula.
Keywords: Model kurikulum, analisis, tokoh

A. PENDAHULUAN
Dalam pendidikan tentunya dibutuhkan model pengembangan kurikulum untuk
mempermudah tercapainya tujuan pendidikan baik itu tujuan pendidikan secara nasional
maupun secara mandiri. Kemudian ada juga bermacam-macam model pengembangan
kurikulum yang turut serta ada di dalamnya. Diantaranya adalah model dari berbagai ahli
yang digunakan untuk mempermudah proses kurikulum itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui bahwa model merupakan pola-pola atau bentuk-bentuk yang
penting yang gunanya sebagai pedoman untuk melakukan tindakan tertentu. Selain itu, model
atau pola juga dapat ditemukan hampir di setiap proses kegiatan pendidikan. Dengan adanya
model kurikulum ini, diharapkan mampu memunculkan efektivitas proses pembelajaran yang
dilakukan. Saat ini kita mengetahui banyak sekali lembaga pendidikan yang menggunakan
model pengembangan kurikulum untuk memajukan kualitas pendidikannya. Menurut
Sukmadinata, pengembangan kurikulum merupakan proses penyusunan kurikulum baik itu
untuk membentuk kurikulum yang baru ataupun memperbaiki kurikulum yang telah ada
sehingga pengembangan model kurikulum dalam suatu lembaga juga merupakan bentuk
naratif grafis matematis serta simbol-simbol untuk penyempurnaan kurikulum sendiri
.

B. MODEL RALP W. TAYLER


Pada tahun 1949 Ralp. W. Tayler menerbitkan sebuah buku berjudul Basic Principles
of Curriculum and Instruction. Buku klasik ini menjadi sumber rujukan yang sangat
berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum hingga masa kini. Model pengembangan
kurikulum yang dikemukakan oleh Tyler sifatnya cenderung pada bagaimana merancang
kurikulum yang sesuai dengan tujuan dan misi dari sebuah lembaga pendidikan. Atau dapat
dikatakan bahwa model ini tidak menjelaskan tahapan-tahapan atau langkah-langkah
pengembangan kurikulum secara terperinci. Tyler memberikan dasar-dasar pengembangannya
saja.1
Tyler mengemukakan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus menyertakan
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. What educational purposes should the school seek to attain?
b. What educational experiences can be provided that are likely to attain these purposes?
c. How can these educational experiences be affectively organizad?
d. How can we determine whether these purposes are being attained?2
Berdasarkan empat pertanyaan di atas, bisa disimpulkan bahwa model pengembangan
kurikulum Tyler memuat empat hal fundamental yang menjadi dasar dalam pengembangan
kurikulum, yaitu:
a. Menentukan tujuan pendidikan yang hendak dicapai
b. Menentukan pilihan proses atau pengalaman belajar yang akan dilakukan agar dapat
mencapai tujuan pendidikan yang hendak dicapai
c. Menentukan pengaturan atau oganisasi materi kurikulum
d. Menentukan cara dalam menilai hasil belajar (evaluasi)
Keempat hal ini harus menjadi pertimbangan dalam menyusun dan merumuskan
kurikulum, baik itu di lembaga pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Lebih lanjut
Tyler juga mengemukakan bahwa untuk menentukan tujuan pendidikan tidak hanya condong
kepada pendapat para ahli disiplin ilmu saja, akan tetapi juga harus memperhatikan minat dan
kebutuhan dari anak dan masyarakat berdasarkan falsafah pendidikan. Begitu juga dalam
kegiatan belajar-mengajar harus diperhatikan latar belakang pendidikan dan pengalaman anak
sehingga mereka bisa memberikan respon mental atau emosional maupun dalam bentuk sikap.
Jadi dalam proses belajar ini harus ditentukan strategi belajar seperti apa yang dilakukan
untuk mencapai tujuan pendidikan. Serta bagaimana pengalaman belajar dapat
diorganisasikan dengan efektif. Menurut Tyler evaluasi tidak hanya berupa tes tulis, akan
tetapi dapat berupa observasi, hasil pekerjaan siswa, keaktifannnya dan model-model lain
sehingga ditemukan hasil evaluasi yang lebih komprehensif dengan tujuan pendidikan.3

1
Alhamuddin, Politik Kebijakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia Sejak Zaman Kemerdekaan hingga
Reformasi (1947-2013), (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2019), hlm. 35.

2
Lismina, Pengembangan Kurikulum di Sekolah dan Perguruan Tinggi, (Sidoarjo: Uwais Inspirasi Indonesia,
2018), hlm. 117.

3
Ibid, hlm. 118.
C. MODEL HILDA TABA
Hilda Taba mengemukakan gagasan tentang pengembangan kurikulum yang memiliki
keterkaitan dengan model pengembangan kurikulum Ralp. W. Tayler. Dapat dikatakan bahwa
Taba setuju dengan Tyler, hanya saja Taba berusaha untuk memberikan rangkaian kegiatan
pada setiap masing-masing tahapan sehingga lebih dirinci lagi penjelasannya. Hilda Taba
menjelaskan model pengembangan kurikulum pada bukunya yang berjudul Curriculum
Development: Teori and Practice di tahun 1962.4 Berikut tahapan model pengembangan
kurikulum Taba: 5
Step 1: Diagnosis of needs (diagnosis kebutuhan)
Tahap pertama yang sangat penting adalah mendiagnosis kebutuhan anak didik agar
nantinya dapat menentukan kurikulum yang tepat untuk diberikan kepada peserta didik.
Diagnosis ini dibutuhkan karena latar belakang peserta didik yang berbeda sehingga perlu
mendiagnosis perbedaan, kelemahan dan variasi dari latar belakang tersebut.
Step 2: Formulation of objectives (formulasi pokok-pokok)
Hasil dari diagnosis kebutuhan akan memperoleh informasi-informasi yang berguna
untuk menentukan tahap berikutnya yaitu formulasi yang jelas dan tujuan-tujuan secara
menyeluruh dalam membentuk dasar pengembangan komponen berikutnya. Dari tujuan yang
terbentuk akan menentukan jenis pelajaran apa yang akan diikuti oleh peserta didik. Berikut
hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan menurut Taba:
a. Concepts or ideas to be learned (konsep atau ide yang akan dipelajari)
b. Attitude, sensitivities, and feelings to be developed (sikap, sensitivitas, dan perasaan yang
akan dibangun)
c. Ways thinking to be reinforced, strengthened, or initiated (pola pikir yang akan
ditekankan, dikuatkan, atau dirumuskan)
d. Habits and skills to be mastered (kebiasaan dan kemampuan yang akan dikuasai)
Step 3: Selection of content (seleksi isi)
Kriteria seleksi isi yang dikemukakan oleh Taba diantaranya:
a. Validity of significance of content (validitas dan signifikansi isi)
b. Consistency with social realities (konsisten dengan realitas sosial)
c. Balance of breadhth and depth (keseimbangan antara keluasaan dan kedalaman)
d. Provision for wide range of objectives (ketentuan untuk keluasaan cakupan dari tujuan)
e. Learn ability and adaptability to experiences of students (pembelajaran yang sesuai
dengan kemampuan dan pengalaman siswa)
f. Appropriateness to the needs and interests of the students (sesuai dengan kebutuhan dan
minat siswa)

4
Ibid, hlm. 119.

5
Ali Usmar, “Model-Model Pengembangan Kurikulum dalam proses Kegiatan Belajar”, Jurnal An-Nahdhah,
Vol. 11, No. 2, hlm. 3-9.
Step 4: Organization of content (organisasi inti)
Ada tiga macam organisasi kurikulum, yaitu:
a. Sparated subject curriculum (kurikulum dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-
pisah)
b. Correlated curriculum (sejumlah mata pelajaran yang dihubungkan antara satu dengan
lainnya)
c. Broad field curriculum (mengkombinasikan beberapa mata pelajaran)
Step 5: Selection of learning experiences (seleksi pengalaman belajar)
Adapun kriteria yang perlu diperhatikan terhadap seleksi pengalaman belajar,
diantaranya: Validitas, dapat diterapkan di sekolah, kelayakan dalam hal waktu, kemampuan
guru, fasilitas sekolah, dan pemenuhan terhadap harapan masyarakat, optimal dalam
mengembangkan kemampuan peserta didik, memberikan peluang untuk pengembangan
berpikir rasional, memberikan peluang pengembangan kemampuan peserta didik sebagai
individu dan anggota masyarakat, terbuka terhadap hal baru dan toleransi terhadap perbedaan
peserta didik, memotivasi belajar lebih lanjut, memenuhi kebutuhan peserta didik,
memperluas minat peserta didik dan mengembangkan kebutuhan pengembangan pada ranah
kognitif, afektif, psikomotorik, sosial, emosi, dan spiritual peserta didik.
Step 6: Organization of learning experiences (organisasi pengalaman belajar)
Pada tahap ini perlu memperhatikan tingkat perkembangan pada peserta didik. Untuk
pengalaman belajar dapat berupa mata pelajaran atau program. Sementara pengorganisaian
pengalaman belajar dapat secara horizontal maupun vertikal. Pengorganisasian secara vertikal
yaitu pengalaman belajar yang diulang-ulang pada tingkatan yang berbeda agar peserta didik
semakin paham. Sedangkan pengorganisasian secara horizontal yaitu pengalaman belajar
yang saling dikaitkan antara satu kajian dengan kajian lain yang masih dalam satu tingkatan. 6
Step 7: Determination of what evalute and of the ways and means of doing it (Penentuan
tentang apa yang dievaluasi dan cara melakukannya)
Taba memberikan beberapa anjuran sebagai berikut:
a. Criteria for a program of evaluation (menentukan kriteria program penilaian)
b. A comprehensive evaluation program (menyusun program penilaian yang menyeluruh)
c. Techniques for securing evidence (teknik mengumpulkan data)
d. Interpretation of evaluation data (mengintepretasikan data penilaian)
e. Translation of evaluation data into the curriculum (menerjemahkan data evaluasi ke
dalam kurikulum)
f. Evaluation as a cooperative enterprise (evaluasi sebagai usaha kerja sama)
Model pengembangan kurikulum Taba merupakan model terbalik yang diperoleh
berdasarkan data induktif. Berdeba dengan model pengembangan kurikulum umumnya yang

6
Ekspedia Smart, “Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum”,
http://ekspediasmart.blogspot.com/2014/03/langkah-langkah-
pengembangan-kurikulum.html, (diakses pada Sabtu, 20 Maret 2021, pukul
20.24 WIB).
didahului dengan konsep-konsep data deduktif terlebih dahulu. Model Taba dimulai dengan
mencari data di lapangan sebagai percobaan, kemudian menyusun teori dan diadakannya
pelaksanaan. Setidaknya ada lima tahapan pengembangan kurikulum Taba, yaitu:
a. Melakukan sejumlah percobaan bersama guru
b. Menguji percobaan yang dilakukan
c. Melakukan revisi dan konsolidasi
d. Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum
D. MODEL SAYLOR DAN ALEXANDER
Saylor dan Alexander mengemukakan bahwa, “We define curriculum as a plan for
providing sets of learning opportunities for person to be educate.” Jadi Saylor dan Alexander
mendefinisikan bahwa kurikulum adalah sebuah rencana yang diarahkan pada sekumpulan
kesempatan aktivitas pembelajaran bagi individu agar menjadi terdidik.7 Adapun tahapan
model pengembangan kurikulum Saylor dan Alexander sebagai berikut:8
a. Bases (external variables)
Merupakan langkah pertama dalam memperhatikan dasar-dasar atau variabel-variabel
eksternal yang meliputi:
1) Legal requirements (peraturan perundang-undangan)
2) Educational research (riset pendidikan)
3) Region acreditation standards (standar akreditasi nasional)
4) Views of community groups (pandangan kelompok masyarakat), dll.
b. Goals, objectives, and domains
Yaitu menentukan tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum harus mencakup
empat domain utama mencakup:
1) Personal development (pengembangan individu)
2) Human relations (hubungan antar manusia)
3) Continued learning skills (keterampilan melanjutkan belajar)
4) Specialization (spesialisasi)
c. Curriculum implementation
Yaitu mengimplementasikan kurikulum dalam pembelajaran baik di dalam kelas
maupun di luar kelas. Implementasi kurikulum merupakan tugas setiap guru dimana guru
harus mampu mengelaborasi kurikulum dalam proses pembelajaran yang meliputi metode
pembelajaran, sumber belajar, dan mendorong motivasi peserta didik untuk belajar.

7
Vinda Cori Imami, dkk, “Model Pengembangan Kurikulum Saylor, Alexander, dan Lewis”,
https://pdfslide.net/documents/pengembangan-kurikulum-model-saylor.html, (diakses pada Sabtu, 20 Maret
2021, pukul 21.00 WIB)

8
Miftahuddin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam: Teoritas dan Praktis, (Semarang: The Mahfud
Ridwan Institute, 2020) hlm. 41-42.
d. Curriculum evaluation
Merupakan tahapan terakhir guru untuk merumuskan prosedur evaluasi dalam
menentukan kemajuan belajar peserta didik. Selain itu evaluasi ini juga berkaitan dengan
proses evaluasi terhadap rencana kurikulum itu sendiri yang dilakukan oleh para pengembang
kurikulum. Hasil data yang terkumpul dari evaluasi akan melahirkan keputusan mengenai
kebijakan atau perencanaan kurkulum berikutnya.

E. MODEL PETER F OLIVA


Model kurikulum selajutnya adalah model kurikulum Peter F. Oliva. Dimana dalam
model kurikulum ini salah satu kuncinya adalah kurikulum haruslah komprehensif, simpel,
dan juga sistematik. Selain itu, model pengembangan kurikulum Oliva juga mengandung 12
komponen di dalamnya, diantaranya adalah sebagai berikut ini:
1. Menetapkan dasar filsafat dengan mempertimbangkan hasil kebutuhan umum untuk
siswa dan masyarakat.
2. Menganalisis kebutuhan masyarakat tempat sekolah itu berada, kebutuhan khusus
siswa dan pentingnya ilmu yang harus diajarkan.
3. Merumuskan tujuan umum kurikulum yang didasarkan kepada kebutuhan seperti yang
tercantum pada langkah sebelumnya.
4. Merumuskan tujuan khusus kurikulum yang merupakan penjabaran dari tujuan umum
kurikulum.
5. Mengorganisasikan rancangan implementasi kurikulum.
6. Menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan umum pembelajaran.
7. Merumuskan tujuan khusus pembelajaran.
8. Menetapkan dan menyeleksi strategi pembelajaran yang dimungkinkan dapat
mencapai tujuan pembelajaran.
9. Menyeleksi dan menyempurnakan teknik penilaian yang akan digunakan.
10. Mengimplementasikan strategi pembelajaran.
11. Mengevaluasi pembelajaran.
12. Mengevaluasi kurikulum
Oliva (1992) juga menyatakan bahwa kurikulum berkaitan dengan apa yang harus
diajarkan, sedangkan pengajaran mengacu pada bagaimana cara mengajarkannya. Menurut
Oliva kurikulum berhubungan dengan sebuah program, sebuah perencanaan, isi atau materi
pelajaran serta pengalaman belajar, sedangkan pengajaran berkaitan dengan metode, tindakan
mengajar, implementasi dan presentasi.
Peter F. Oliva menggambarkan kemungkinan hubungan antara kurikulum dengan
pengajaran dalam beberapa model sebagai berikut:
1. Model dualistis (the dualistic model)
Pada model ini kurikulum dan pengajaran terpisah. Keduanya tidak bertemu.
Kurikulum yang seharusnya menjadi input dalam menata sistem pengajaran tidak tampak.
Demikian juga pengajaran yang semestinya memberikan balikan dalam proses
penyempurnaan kurikulum tidak terjadi, karena kurikulum dan pengajaran berjalan sendiri.
Model ini digambarakan sebagai berikut :

Model 1. Model Dualistis

2. Model berkaitan (the interlocking model)


Dalam model ini kurikulum dan pengajaran dianggap sebagai suatu sistem yang
keduanya memiliki hubungan. Kurikulum dan pengajaran maupun sebaliknya pengajaran dan
kurikulum ada bagian yang berkaitan, sehingga keduanya memiliki hubungan. Digambarkan
sebagai berikut :

Model 2. Model berkaitan

3. Model konsentris (the concentric model)


Pada model ini kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan dengan kemungkinan
kurikulum bagian dari pengajaran atau pengajaran bagian dari kurikulum. Di sini ada
ketergantungan satu dengan yang lain. :

Model 3. Model berkaitan

4. Model Siklus (the ciclical model)


Model ini menggambarkan hubungan timbal balik antara kurikulum dan pengajaran.
Keduanya dianggap saling mempengaruhi. Segala yang ditentukan dalam kurikulum akan
menjadi dasar dalam proses pelaksanaan pengajaran. Sebaliknya yang terjadi dalam
pengajaran dapat memengaruhi keputusan kurikulum selanjutnya. Dalam model ini hubungan
keduanya sangat erat meski kedudukannya terpisah yang berarti dalam analisis juga terpisah.
Digambarkan sebagai berikut :

Model 4. Model Siklus9

F. MODEL KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK)


Eve Krakow (2003) mengemukakan bahwa pengajaran berbasis kompetensi adalah
keseluruhan tentang pembelajaran aktif (active learning) dimana guru membantu siswa
untuk belajar bagaimana belajar dari pada hanya mempelajari isi (learn how to learn
rather than just cover content). Sedangkan Pusat kurikulum, Balitbang Depdiknas
(2002:3), mendefinisikan bahwa kurikulum berbasis kompetensi merupakan perangkat
rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,

9
Ali Usmar, “Model-Model Pengembangan Kurikulum dalam proses Kegiatan Belajar”, Jurnal An-Nahdhah,
Vol. 11, No. 2, hlm. 3-9
penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam
pengembangan kurikulum sekolah. Dalam hal ini kurikulum berorientasi pada hasil dan
dampak yang diharapkan melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan
keberagaman yang dapat diwujudkan sesuai dengan kebutuhannya. Kurikulum berbasis
kompetensi memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran.
Standar kompetensi diartikan sebagai ketetapan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu matapelajaran.
Dalam kurikulum berbasis kompetensi tujuannya adalah mengkondisikan setiap
peserta didik agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sehingga proses penyampaiannya
harus bersifat kontekstual dengan mempertimbangkan faktor kemampuan, lingkungan,
sumber daya, norma, integrasi dan aplikasi berbagai kecakapan kinerja, dengan kata lain
KBK berorientasi pada pendekatan konstruktivisme.
Ciri-ciri kurikulum berbasis kompetensi adalah sebagai berikut, yaitu:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun
klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar yang lain yang
memenuhi unsur edukasi.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi. Dengan demikian kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk
menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya
dan bangsanya. Kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan,
keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas sosial, serta
membudayakan dan mewujudkan karakter nasional.
Dengan kurikulum ini tentunya memudahkan guru dalam penyajian pengalaman
belajar yang sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu pada empat
pilar pendidikan universal (UNESCO), yaitu: learning to know, learning to do, learning to
be, dan learning to live together
Komponen Utama Kurikulum Berbasis Kompetensi Kurikulum berbasis kompetensi
merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen dasar yaitu:
1. Kurikulum dan Hasil Belajar
2. Penilaian Berbasis Kelas
3. Kegiatan Belajar Mengajar, dan
4. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah.
Oleh karena itu tentunya ada kelebihan dari KBK, diantaranya:
1. Mengembangkan kompetensi-kompetensi siswa pada setiap aspek mata pelajaran dan
bukan pada penekanan penguasaan konten mata pelajaran itu sendiri
2. Mengembangakan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student oriented). Siswa
dapat bergerak aktif secara fisik ketika belajar dengan memanfaatkan indra seoptimal
mungkin dan membuat seluruh tubuh serta pikiran terlibat dalam proses belajar.
Dengan demikian, siswa dapat belajar dengan bergerak dan berbuat, belajar dengan
berbicara dan mendengar, belajar dengan mengamati dan menggambarkan, serta
belajar dengan memecahkan masalah dan berpikir. Pengalaman-pengalaman itu dapat
diperoleh melalui kegiatan mengindra, mengingat, berpikir, merasa, berimajinasi,
menyimpulkan, dan menguraikan sesuatu. Kegiatan tersebut dijabarkan melalui
kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
3. Guru diberi kewenangan untuk menyusun silabus yang disesuaikan dengan situasi dan
kondisi di sekolah/daerah masing-masing.
4. Bentuk pelaporan hasil belajar yang memaparkan setiap aspek dari suatu mata
pelajaran memudahkan evaluasi dan perbaikan terhadap kekurangan peserta didik.
5. Penilaian yang menekankan pada proses memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi
kemampuannya secara optimal, dibandingkan dengan penilaian yang terfokus pada
konten10

G. PENUTUP
Artikel diatas membahas mengenai beberapa analisis tentang model pengembangan
kurikulum berdasarkan model hasil pemikiran para ahli diantaranya yaitu Ralp W Tayler,
Hilda Taba, Saylor dan Alexander, Peter F. Oliva, dan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK). Tentunya dari semua model tersebut kita harus mengetahui metode apa yang
mereka gunakan hingga kekurangan dan kelebihannya dalam proses implementasinya.
Sehingga kita bisa membandingkan dan mengetahui metode apa yang sesuai dengan
situasi dan keadaan yang sedang dialami dalam jangka waktu yang berbeda pula. Mulai
dari model Ralp W Tayler dengan empat hal fundamental yang menjadi dasar dalam
pengembangan kurikulum, yaitu menentukan tujuan pendidikan yang hendak dicapai,
menentukan pilihan proses atau pengalaman belajar yang akan dilakukan agar dapat
mencapai tujuan pendidikan yang hendak dicapai, menentukan pengaturan atau oganisasi
materi kurikulum, dan menentukan cara dalam menilai hasil belajar (evaluasi), lalu Hilda
Taba dengan melakukan sejumlah percobaan bersama guru, menguji percobaan yang
dilakukan, melakukan revisi dan konsolidasi, serta pengembangan keseluruhan kerangka
kurikulum. Hingga yang terakhir KBK dengan empat komponen dasarnya yaitu kurikulum
dan hasil belajar, penilaian berbasis kelas, kegiatan belajar mengajar, dan pengelolaan
kurikulum berbasis sekolah

DAFTAR PUSTAKA
Alhamuddin. 2019. Politik Kebijakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia Sejak Zaman
Kemerdekaan hingga Reformasi (1947-2013). Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas
Lismina. 2018. Pengembangan Kurikulum di Sekolah dan Perguruan Tinggi. Sidoarjo: Uwais
10
Depdiknas (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas
Inspirasi Indonesia
Miftahuddin. 2020. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam: Teoritas dan Praktis,
(Semarang: The Mahfud Ridwan Institute,)
Usmar, Ali. 2016. “Model-Model Pengembangan Kurikulum dalam proses Kegiatan
Belajar”, Jurnal An-Nahdhah, Vol. 11, No. 2
Vinda Cori Imami, dkk, “Model Pengembangan Kurikulum Saylor, Alexander, dan Lewis”,
https://pdfslide.net/documents/pengembangan-kurikulum-model-saylor.html, (diakses
pada Sabtu, 20 Maret 2021, pukul 21.00 WIB)
Ekspedia Smart. “Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum”
http://ekspediasmart.blogspot.com/2014/03/langkah-langkah-pengembangan-
kurikulum.html, (diakses pada Sabtu, 20 Maret 2021, pukul 20.24 WIB)

Anda mungkin juga menyukai