Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asfiksia Neonatorum

2.1.1 Definisi

Asfiksia berasal dari bahasa Yunani sphyzein yang berarti berhentinya nadi.

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaaan gawat darurat neonatus berupa

kegagalan bernafas secara spontan, teratur, dan adekwat segera setelah lahir

(Snyder dan Cloherty, 1998). Pada kondisi asfiksia terjadi gangguan pertukaran

gas dan darah di paru-paru sehingga menimbulkan hipoksemia progresif dan

hiperkapnia yang berakhir dengan asidosis metabolik (Gomella, 2009). Kondisi

hipoksemia dan asidosis metabolik jika tidak tertangani dengan tepat dan cepat

dapat menyebabkan gangguan multiorgan seperti yang terbanyak gangguan ginjal

(50%), kemudian otak (28%), kardiovaskular (25%) dan paru (23%) (Snyder dan

Cloherty, 1998).

2.1.2 Etiologi

Asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas dan

pengangkutan oksigen (Rehan dan Phibbs, 2005). Gangguan ini dapat timbul pada

masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Gomella (2009) yang

mengutip dari American Hearth Association (AHA) dan American Academy of

Pediatrics (AAP) mengklasifikasikan penyebab asfiksia pada neonatus sebagai

berikut:

6
7

1. Faktor Ibu

a. Hipoksia ibu menyebabkan hipoksis pada janin. Kondisi ini dapat

terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau

anestesia lain.

b. Gangguan aliran darah uterus: berkurangnya aliran darah uterus akan

mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke janin.

2. Faktor Plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi

plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak

pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lainnya.

3. Faktor Janin

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah

dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara

ibu dan janin. Hal ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat

menumbung, tali pusat melilit leher dan lain-lainnya.

4. Faktor Neonatus

Supresi pusat pernafasan pada neonatus dapat terjadi karena beberapa

kondisi yaitu:

a. Pemakaian obat anestesia dan analgesia yang berlebihan.

b. Trauma persalinan

c. Kelainan kongenital bayi seperti hernia diafragmatika, atresia saluran

pernafasan, hipoplasia paru dan lainnya.


8

2.1.3 Patofisiologi

Fetus memiliki resiko yang besar untuk mengalami asfiksia pada periode

perinatal. Saat persalinan normal terjadi transien hipoksemia karena kontraksi

uterus, namun fetus yang sehat dapat mentoleransi kondisi tersebut. Ada lima

kondisi yang secara dasar dapat menimbulkan asfiksia saat proses persalinan,

yaitu (Rehan dan Phibbs, 2005):

1. Gangguan aliran darah umbilikal (misal: kompresi umbilikal).

2. Kegagalan pertukaran gas melewati plasenta (misal placental abruption).

3. Perfusi plasenta meternal yang tidak adekuat (misal hipotensi maternal

yang berat).

4. Kondisi abnormal pada fetus yang menyebabkan hilangnya toleransi

terhadap kondisi hipoksia yang transien atau intermiten saat persalinan

normal (misal: anemia, pertumbuhan fetus terlambat).

5. Kegagalan inflasi paru dan perubahan ventilasi perfusi yang seharusnya

terjadi saat lahir. Kondisi ini dapat disebabkan oleh sumbatan jalan nafas,

cairan berlebih di dalam paru, atau lemahnya respirasi.

Asfiksia neonatorum merupakan proses yang progresif dan reversibel. Waktu

dan kecepatan terjadinya perburukan sangat bervariasi. Pada asfiksia berat

kematian dapat terjadi kurang dari 10 menit, sedangkan pada asfiksia ringan

perburukan bisa terjadi 30 menit atau lebih. Pada tingkat awal, asfiksia akan

membaik secara spontan jika penyebabnya ditangani baik. Jika asfiksia bersifat

berat, perbaikan spontan tidak akan terjadi karena sudah timbul gangguan sistem

sirkulasi dan neurologi (Rehan dan Phibbs, 2005).


9

Gambar 2.1 secara skematik menggambarkan perubahan kardiopulmonal

yang terjadi selama asfiksia. Neonatus dikatakan vigorous jika mampu melakukan

adaptasi pernafasan berupa inflasi paru yang diikuti proses ventilasi dan perfusi

yang adekuat. Jika asfiksia bersifat berat akan terjadi depresi pusat pernafasan

sehingga proses adaptasi pernafasan menjadi tidak efektif (Rehan dan Phibbs,

2005).

Pada kondisi asfiksia terjadi penurunan hantaran oksigen ke otak dan jantung.

Kondisi hipoksia menyebabkan miokardium menggunakan cadangan glikogen

untuk menghasilkan energi melalui metabolisme anaerob. Efek dari metabolisme

anaerob adalah penurunan kadar pH atau asidosis. Kondisi hipoksia dan asidosis

menyebabkan penurunan fungsi miokardiaum yang akhirnya terjadi penurunan

aliran darah ke organ vital (Rehan dan Phibbs, 2005).

Respon adaptasi sirkulasi sistemik saat kondisi asfiksia diperantarai oleh

beberapa reflek fisiologis. Sistem hormonal juga berespon terhadap asfiksia yaitu

peningkatan plasma kortikotropin, glukokortikoid, katekolamin, arginin

vasopressin, renin, dan faktor natriuretik atrial serta penurunan insulin. Beberapa

perubahan hormonal memegang peranan penting untuk mempertahankan adaptasi

sirkulasi saat asfiksia. Katekolamin terutama dihasilkan dari medulla adrenal

berfungsi mempertahankan miokardium saat asfiksia sehingga meningkatkan

survival. Arginin vasopressin mempertahanan hipertensi, bradikardia, dan

redistribusi aliran sistemik. Glikogenolisis hepar meningkat untuk

mempertahankan konsentrasi glukosa plasma (Rehan dan Phibbs, 2005).


10

Gambar 2.1.
Perubahan kardiopulmonal pasien asfiksia
dan setelah resusitasi (Rehan dan Phibbs, 2005)

2.1.4 Diagnosis

Penilaian terhadap neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum bisa

dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang terjadi, baik dari

faktor maternal, faktor plasenta, faktor janin, dan faktor neonatus. Kemudian,

temuan klinis yang sering didapatkan dapat berupa lahir tidak bernafas/mengap-

mengap, tonus otot lemah, denyut jantung < 100 kali/menit, kulit sianosis sentral

dengan konfirmasi oksimetri. Penilaian yang digunakan untuk menilai asfiksia

neonatorum adalah sistem skor APGAR (Tabel 2.1) yang didukung oleh

pemeriksaan penunjang, salah satunya adalah analisis gas darah (AGD).


11

Skor Apgar sudah digunakan sejak tahun 1952 yang diperkenalkan pertama

kali oleh dr Virginia Apgar. Nilai Apgar adalah metode objektif untuk menilai

kondisi bayi baru lahir dan berguna untuk memberikan informasi mengenai

keadaan bayi secara umum serta responnya terhadap resusitasi (American

Academy of Pediatrics Committee On Fetus dan American College of

Obstreticians and Gynecologists Committee On Obstetric Practice, 2015).

Tabel 2.1.
Skor APGAR
Nilai
APGAR Tanda
0 1 2
Appearance Warna kulit Biru/ pucat Tubuh merah, Merah
ekstremits biru seluruh tubuh
Pulse Frekuensi Tidak ada < 100 x/menit > 100
jantung x/menit
Grimace Refleks Tidak ada Menyeringai/ Batuk,
gerakan sedikit bersin,
menangis
kuat
Activity Tonus otot Lunglai Fleksi Gerakan aktif
ekstremitas
lemah
Respiration Napas Tidak ada Tidak teratur, Menangis
dangkal kuat, teratur
Sumber: American Academy of Pediatrics Committee On Fetus dan American
College of Obstreticians and Gynecologists Committee On Obstetric
Practice, 2015.

Nilai APGAR dinilai pada menit ke-1 dan kemudian pada menit ke-5. Jika

skor menit ke-5 kurang dari 7, penilaian tambahan harus dilanjutkan setiap 5

menit hingga 20 menit. Interpretasi nilai APGAR skor adalah 0-3 (asfiksia berat),

4-6 (asfiksia sedang), dan 7-10 (vigorous baby) (American Academy of Pediatrics

Committee On Fetus dan American College of Obstreticians and Gynecologists

Committee On Obstetric Practice, 2015).


12

Skor APGAR 0-3 (asfiksia berat) pada menit ke-5 berhubungan dengan

meningkatnya mortalitas neonatus namun tidak dapat memprediksi disfungsi

neurologis yang mungkin terjadi. Keterbatasan skor APGAR adalah dipengaruhi

umur gestasi, pengobatan maternal, resusitasi, kondisi kardiorespirasi dan

neurologis. (American Academy of Pediatrics Committee On Fetus dan American

College of Obstreticians and Gynecologists Committee On Obstetric Practice,

2015). Sedangkan untuk pemeriksaan AGD neonatus dengan asfiksia didapatkan

PaO2 < 50 mmH2O, PaCO2 > 55 mmH2O, pH < 7,3 (Mohan, 2000).

Penelitian dari Casey dkk. (2001) tentang penggunaan skor APGAR untuk

penilaian terhadap 132.228 neonatus cukup bulan didapatkan skor APGAR menit

ke 5 sebesar 0-3 memiliki rasio mortalitas 244 per 1000 kelahiran (Resiko Relatif

(RR) 1.460, IK (interval kepercayaan) 95% 835-2.555), skor 4-6 memiliki rasio

mortalitas 9 per 1.000 kelahiran (RR 53, IK 95% 20-140) dan skor 7-10 dengan

rasio mortalitas 0,2 per 1.000 kelahiran (RR 1) (Tabel 2.2). Kombinasi skor

APGAR menit ke-5 0-3 dan pH ≤ 7 didapatkan RR 3.024 (IK 95% 1.864-5.508).

Hasil tersebut menunjukan skor APGAR masih relevan digunakan untuk menilai

kondisi asfiksia pada neonatus cukup bulan (Tabel 2.3).

Tabel 2.2.
Kematian neonatus aterm berhubungan dengan skor APGAR
Skor APGAR Kelahiran Kematian Neonatal Resiko Relatif,
menit ke-5 Hidup Jumlah (per 1000 95% Interval
kelahiran) Kepercayaan (IK)
0-3 86 21 (244) 1.460 (835-2.555)
4-6 561 5 (9) 53 (20-140)
7-10 131.581 22 (0,2) 1
Sumber: Casey dkk., 2011.
13

Penelitian Carte dkk. (1998) mengenai beberapa indikator morbiditas sistem

organ multipel post asfiksia mendapatkan hasil untuk skor APGAR menit ke-5 ≤ 3

memiliki ratio odds (RO) 7,4 (IK 95%, 1,3-38,1), deficit basa ≥ 10 mEq/L RO 4,5

(IK 95%, 1,9-10,3), pH arteri umbilikal < 7 RO 4,7 (IK 95%, 2,0-10,8), pH arteri

umbilikal < 7,1 RO 10,2 (IK 95%, 3,9-26,9), dan pH arteri umbilikal < 7,0 RO 24

(IK 95%, 6,4-94,1) (Tabel 2.4).

Tabel 2.3.
Resiko relatif dari kematian neonatus dengan skor APGAR menit ke-5 dan
derajat asidemia darah arteri umbilikal
Karakteristik RR (95% IK)
Skor APGAR menit ke-5 0-3 1.460 (835-2.555)
pH Darah Umbilikal
≤ 7,0 180 (97-334)
≤ 6,9 708 (381-1320)
≤ 6,8 1.407 (736-2.689)
Metabolik Asidemia + 3.204 (1.864-5.508)
Kombinasi skor APGAR menit ke 5 0-3 dan pH ≤ 7 3.204 (1864-5.580)
+ Metabolik asidemia jika hasil pemeriksaan darah arteri umbilikal memiliki
nilai pH ≤ 7, tekanan parsial karbondioksida (PaCO2) ≤ 76,3 mmHg, kosentrasi
bikarbonat ≤ 17,7 mmol per liter, dan ekses basa ≤ - 10,3.
Sumber: Casey dkk., 2011.

Tabel 2.4.
Hubungan indikator prediktif asfiksia
dengan morbiditas sistem organ multipel
Prediktor Rasio Odds Interval Kepercayaan
95%
Skor APGAR menit ke-5 0-3 7,4 1,3 – 38,1
Defisit basa ≥ 10 mEq/L 4,5 1,9 – 10,3
pH arteri umbilikal < 7,2 4,7 2,0 – 10,8
pH arteri umbilikal < 7,1 10,2 3,9 – 26,9
pH arteri umbilikal < 7,0 24 6,4 – 94,1
Morbiditas multipel sistem organ jika ditemukan gangguan ≥ 3 sistem organ.
Sumber: Carte dkk, 1998.
14

Sedangkan studi kasus-kontrol prospektif oleh Aggrawal dkk. (2005)

mendapatkan nilai skor Apgar menit ke-5 yaitu ≤ 3 mampu memprediksi

terjadinya GgGA pada neonatus dengan nilai sensitivitas 23,5%, spesifisitas

100%, nilai duga positif 100%, dan nilai duga negatif 38%. Sedangkan nilai skor

APGAR menit ke-5 yaitu ≤ 6 memiliki nilai sensitivitas 76,4%, spesifisitas

76,4%, nilai duga positif 12,5%, dan nilai duga negatif 20% untuk memprediksi

terjadinya GgGA pada neonatus.

2.1.5 Penyulit asfiksia

Redistribusi sirkulasi yang ditemukan pada pasien hipoksia dan iskemia akut

telah memberikan gambaran yang jelas terjadinya disfungsi berbagai organ tubuh

pada bayi asfiksia. Gangguan fungsi berbagai organ pada bayi asfiksia tergantung

pada lamanya asfiksia terjadi dan kecepatan penangannya. Gangguan multiorgan

terjadi pada 82% neonatus dengan asfiksia. Organ vital yang sering terkena

dampak adalah ginjal (50%), otak (28%), kardiovaskular (25%), dan paru (23%).

Suatu studi mendapatkan semua neonatus dengan nilai skor APGAR < 5 pada

menit 5 mengalami gangguan paling sedikit satu organ, sedangkan 90% neonatus

dengan skor APGAR > 5 pada menit ke-5 tidak ditemukan adanya gangguan

organ (Rehan dan Phibbs, 2005).

Gangguan organ lain yang terjadi pada asfiksia neonatorum (Gomella, 2009)

adalah:

a. Sistem Kardiovaskular: syok, hipotensi, insufisiensi trikuspid, nekrosis

miokardial, gagal jantung kongestif, dan disfungsi ventrikel.


15

b. Fungsi Ginjal: oliguria, anuria akut tubular atau kortikal nekrosis

(hematuria, proteinuria), dan gagal ginjal.

c. Fungsi Hepar: peningkatan serum g-glutamyl transpeptidase, peningkatan

ammonia dan bilirubin indirek, dan penurunan faktor-faktor pembekuan

darah pada usia 3-4 hari pada asfiksia sedang atau berat.

d. Traktus Gastrointestinal: ileus paralitik (usia 5-7 hari), enterokolitis

nekrotikans.

e. Paru: sindrom distres pernafasan, defisiensi atau disfungsi surfaktan,

pulmonary hemorrhage, shock lungs, dan hipertensi pulmonal persisten.

f. Sistem Hematologi: trombositopenia, disseminated intravascular

coagulopathy.

g. Metabolik: asidosis (peningkatan laktat), hipoglikemia (hiperinsulin),

hipokalsemia (peningkatan fosfat, metabolik asidosis) dan hiponatremia

atau syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH).

2.2 Ginjal pada Neonatus Cukup Bulan

2.2.1 Berat badan lahir memengaruhi perkembangan ginjal dan munculnya

penyakit ginjal pada neonatus cukup bulan

Nefrogensis dimulai pada usia kehamilan 9 minggu dan berakhir pada usia

kehamilan 32 - 34 minggu dengan jumlah nefron berkisar 600.000 sampai

800.000 nefron per ginjal. Gangguan pertumbuhan pada fetus seperti kondisi

IUGR atau malnutrisi ibu menyebabkan berat lahir rendah (< 2500 gram) yang

berhubungan dengan penurunan jumlah nefron. (Schreuder dkk., 2006). Bila


16

terjadi defisit nefron intrauterin akan muncul saat lahir dan menetap seumur

hidup. Ginjal dengan defisit nefron kongenital memiliki cadangan fungsional

lebih sedikit serta menjadi lebih peka terhadap gangguan ginjal dan penurunan

fungsi. Penelitian sebelumnya mendapatkan individu dengan riwayat berat lahir

rendah mengalami defisit jumlah nefron kongenital (Franco dkk., 2012; Nuyt dan

Alexander, 2009). Penelitian ultrasonografi ginjal menunjukan individu dengan

berat lahir rendah tampak memiliki ukuran ginjal yang lebih kecil dibandingkan

normal, kondisi ini mengesankan penurunan jumlah nefron (Spencer dkk., 2001).

Pada pasien dengan defisit nefron mekanisme kompensasi yang terjadi pada

glomerulus adalah hipertrofi dan hiperfiltrasi untuk mempertahankan fungsi renal

yang adekuat, mekanisme kompensasi ini mempercepat kehilangan glomerulus

dan penurunan fungsi ginjal. Peningkatan fungsi pada nefron yang tersisa untuk

mempertahankan hemodinamik glomerular dan tekanan intraglomerular

meningkatkan single nephron LFG (SN LFG). Masa ginjal yang mengalami

penurunan fungsi menyebabkan manifestasi klinis hipertensi sistemik dan

proteinuria. (Luyckx dan Brenner, 2005).

2.2.2 Laju filtrasi glomerulus pada neonatus cukup bulan

Laju filtrasi glomerulus (LFG) pada neonatus sepertiga sampai seperempat

dari LFG dewasa. Pada fetus, plasenta mempertahankan keseimbangan cairan dan

elektrolit serta membersihkan produk sisa metabolisme sehingga LFG rendah,

namun kemudian LFG meningkat progresif. Laju filtrasi glomerulus meningkat

paralel dengan usia gestasi sampai 36 minggu karena bertambahnya jumlah dan

ukuran nefron. Saat lahir LFG relatif rendah kemudian meningkat tajam sampai
17

usia 2 minggu dan berlanjut sampai dewasa (Gambar 2.2). Faktor yang

menyebabkan peningkatan LFG postnatal meliputi peningkatan tekanan darah

sistemik dan tekanan hidrostatik glomerulus, peningkatan ukuran pori-pori

dinding kapiler glomerulus dan koefisien ultrafiltrasi, peningkatan kaliber arteri

aferen dan eferen ginjal (Otukesh dkk., 2012).

Gambar 2.2.
Laju filtrasi glomerulus neonatus cukup bulan dan kurang bulan
serta peningkatan sampai remaja (Otukesh dkk., 2012)

2.3 Gangguan Ginjal Akut pada Neonatus

2.3.1 Definisi

Gangguan ginjal akut (GgGA) atau acute kidney injury (AKI) adalah keadaan

dimana terjadi gangguan fungsi ginjal secara akut yang ditandai peningkatan

kadar serum urium dan kreatinin, dengan atau tanpa penurunan produksi urine,

dan biasanya bersifat reversibel (Kellum dkk., 2007). Penurunan secara cepat laju

filtrasi glomerulus menyebabkan gangguan pada ekskresi nitrogen, hilangnya

pengaturan air, elektrolit, dan asam basa (Chua dan Sarwal, 2005). Gangguan
18

ginjal akut dengan oliguria atau anuria jika jumlah urine < 1 ml/kg/jam pada anak

atau < 0,5 ml/kg/jam pada neonatus (Bagga dan Jindal, 2003).

2.3.2 Etiologi

Pada neonatus penyebab GgGA dikelompokan menjadi penyakit renal

postnatal dan kelainan kongenital renal atau sindrom yang berpengaruh terhadap

renal (Chua dan Sarwal, 2005).

1. Penyakit renal postnatal

• Prerenal

- Volume intravaskular menurun disebabkan perdarahan perinatal,

twin to twin transfusion, abrupsi plasenta, trauma kelahiran,

dehidrasi, third space losses (sepsis, jaringan yang mengalami

trauma, necrotizing enterocolitis), gastrointestinal losses,

hipoalbumin, perdarahan neonatal (perdarahan intraventrikular,

perdarahan adrenal).

- Volume intravaskular efektif menurun karena gagal jantung

kongetif, perikarditis, tamponade jantung.

- Asfiksia perinatal, hipoksia, respiratory distress syndrome, hyaline

membrane diseases.

• Renal

- Tubular nekrosis akut dapat terjadi akibat asfiksia perinatal,

penggunaan obat-obatan nefrotoksik seperti obat golongan

aminoglikosida, media kontras intravena, obat antiinflamasi non


19

steroid (seperti indometasin), Angiotensin converting enzymes

inhibitors (seperti kaptopril, enalapril), ampoterisin B.

- Intertisial nefritis.

- Glomerulonefritis akut akibat antibodi dari ibu yang dapat

menembus plasenta dan menimbulkan reaksi dengan glomerulus.

- Lesi vaskular karena trombosis arteri renal, trombosis vena renal,

nekrosis kortikal.

- Penyebab infeksi seperti sepsis, pielonefritis, sifilis, toxoplasmosis,

kandidiasis.

• Postrenal

- Obstruksi pada soliter ginjal.

- Obstruksi uretra bilateral (bilateral fungal bezoar).

- Obstruksi uretra (katup uretra posterior).

- Neurogenic bladder karena mielomeningokel.

2. Kelainan kongenital renal atau sindrom yang berpengaruh terhadap renal

• Aplasia renal

Kelainan ini disebabkan karena ureteric buds gagal terbentuk selama

kehamilan, sehingga menyebabkan aplasia ginjal unilateral atau tidak

terbentuk ginjal. Angka kejadian aplasia renal berkisar 1 dari 500

kelahiran.

• Displasia/hipoplasia renal.

• Autosomal resesif atau dominan polycystic kidney diseases.


20

Kelainan ini ditandai dengan jaringan normal ginjal digantikan oleh

kista. Angka kejadian berkisar antara 1: 10.000 – 40.000 kelahiran.

• Sindrom Potter’s terjadi renal aplasia.

• Sindrom Meckel’s terjadi polycystic kidney diseases.

• Trisomi 21 terjadi cystic kidney diseases.

• Sindrom turner terjadi horseshoe kidney.

Penelitian dari Mortazavi dkk. (2009) terhadap neonatus dengan GgGA

menemukan bahwa asfiksia perinatal dan sepsis merupakan penyebab GgGA

tersering pada neonatus diikuti oleh gagal jantung, dehidrasi, pemberian obat

golongan nefrotoksik, dan anomali urologi atau kelainan kongenital renal atau

sindrom yang berpengaruh terhadap renal.

Penjelasan berikut lebih ditekankan penyebab GgGA yang sering terjadi

sesuai dengan penelitian Mortazavi dkk. (2009), kecuali asfiksia akan dijelaskan

pada subbab lain.

1. Sepsis

Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis yang timbul akibat respon

inflamasi sistemik (systemic inflammatory respons syndrome – SIRS) yang

terjadi akibat infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit yang timbul

pada 1 bulan pertama kehidupan (Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan

Anak, 2011). Inflamasi yang terjadi pada kondisi sepsis berhubungan

dengan kejadian GgGA. Sepsis menyebabkan produksi sitokin meningkat

yang akan merangsang peningkatan nitric oxide (NO) yang memiliki efek

vasodilator. Tubuh merespon vasodilatasi yang timbul melalui stimulasi


21

sistem saraf simpatis dan sistem renin angiotensin-aldosteron, dan

produksi vasopressin. Akhirnya kondisi ini menimbulkan vasokontriksi

pada ginjal yang akhirnya timbul GgGA. Mekanisme lain adalah kondisi

sepsis menyebabkan kerusakan endotel ginjal melalui mikrotrombus dan

peningkatan penggunaan faktor van-Wilbrand (Phan dkk., 2008).

Sepsis neonatorum dibagi menjadi dua yaitu clinically sepsis

(menunjukkan gejala klinis sepsis) dan proven sepsis (terbukti sepsis).

Clinically sepsis adalah bayi baru lahir sampai dengan usia 28 hari yang

didapatkan satu gejala klinis sepsis seperti pada tabel 2.5 atau dua septic

marker positif (Tabel 2.6). Proven sepsis adalah sama dengan definisi

yang terkandung dalam clinically sepsis ditambah hasil kultur darah positif

(Shah dan Padbury, 2014).

Tabel 2.5.
Manifestasi klinis sepsis neonatorum
Sistem saraf pusat Letargi, refleks hisap buruk, tidak dapat
dibangunkan, poor or high pitch cry, kejang
Kardiovaskuler Pucat, sianosis, dingin
Respiratorik Takipne, apne, merintih, retraksi
Saluran Muntah, diare, distensi abdomen
pencernaan
Hematologik Perdarahan, jaundice
Kulit Purpura, pustula
Sumber: Rohsiswatmo, 2005

Tabel 2.6.
Septic marker
Jumlah total leukosit kurang dari 5.000/mm3 atau lebih dari 30.000/mm3.
Jumlah total trombosit kurang dari 150.000/mm3
Rasio I:T lebih dari 0,2
Kadar CRP lebih dari 10 mg/L
Sumber: Shah dan Padbury, 2014.
22

2. Gagal jantung

Gagal jantung adalah suatu kondisi klinis saat jantung tidak mampu

memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

normal (Ross, 2012). Kondisi gagal jantung menyebabkan penurunan

aliran darah ke ginjal sehingga meningkatkan produksi renin dan akhirnya

meningkatkan konversi angiontensin II. Kemudian angiotensin II

menyebabkan vasokontriksi pada ginjal, yang akhirnya menimbulkan

penurunan LFG lalu timbul GgGA (Sreedharan dkk., 2009).

Diagnosis ditegakan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan

penunjang. Pada neonatus dan bayi digunakan kriteria Ross and

Reithmann sebagai berikut.


23

Tabel 2.7.
Kriteria gagal jantung Ross and Reithmann
Skor
0 +1 +2
Anamnesis
Diaforesis Di kepala saja, Di kepala Di kepala
saat aktivitas dan tubuh, dan tubuh ,
hanya saat termasuk
aktivitas saat istirahat
Takipneu Jarang terjadi Beberapa Sering
kali terjadi terjadi
Pemeriksaan Fisis
Pola respirasi Normal Retraksi Dispneu
dada
Laju napas/menit
Umur < 1 tahun < 50 50 – 60 > 60
Umur 1-6 tahun < 35 35 – 45 > 45
Umur 7-10 tahun < 25 25 – 35 > 35
Umur 11-14 tahun < 18 18 – 28 > 28
Denyut jantung/menit
Umur < 1 tahun < 160 160 – 170 > 170
Umur 1-6 tahun < 105 105 – 115 > 115
Umur 7-10 tahun < 90 90 – 1000 > 100
Umur 11-14 tahun < 80 80 – 90 > 90
Hepatomegali di < 2 cm 2 – 3 cm > 3 cm
subcostal
Sumber: Ross, 2012

3. Dehidrasi

Dehidrasi termasuk penyebab prerenal dari GgGA. Dehidrasi pada

neonatus menyebabkan menurunnya volume intravaskular yang akhirnya

akan menurunkan perfusi pada ginjal melalui rangsangan sistem renin

angiotensin aldosteron serta peningkatan agen vasoaktif (Phan dkk., 2008).

Mortazavi dkk. (2009) menyatakan dehidrasi yang terjadi pada neonatus

terkait dengan rendahnya asupan. Derajat dehidrasi berdasarkan pada

klasifikasi WHO (World Health Organization) yaitu tanpa dehidrasi,

dehidrasi ringan atau sedang, dan dehidrasi berat.


24

4. Pemberian obat nefrotoksik yaitu obat golongan aminoglikosida

(amikasin)

Salah satu penyebab kelainan tubulus pada neonatus adalah pemberian

obat nefrotoksik (Phan dkk., 2008). Obat golongan aminoglikosida

(Amikasin) bersifat nefrotoksik dengan insiden kejadian 5% dewasa serta

20% pada anak-anak. Obat aminoglikosida diekskresikan ke dalam lumen

tubulus serta berikatan dengan permukaan membran sel epitel tubulus.

Ikatan tersebut menyebabkan beberapa perubahan. Pertama, dapat

memperngaruhi struktur brush burder dan menyebabkan enzimuria.

Kedua, obat kemudian endositosis serta terakumulasi dalam sel lisosom sel

epitel tubulus renal. Akumulasi ini kemudian merangsang berbagai

mekanisme yang akhirnya menyebabkan lisis lisozom dan menimbulkan

kerusakan intraselular luas. Kerusakan ini menyebakan sel membangkak,

kehilangan gradient elektrokimia, dan nekrosis sel epitel tubular.

Nefrotoksisitas aminoglikosida sangat dipengaruhi oleh dosis yang

diberikan dan lamanya terapi (Phan dkk., 2008). Fanos dkk. (2010)

menyatakan karakteristik kenaikan serum kreatinin baru terjadi setelah

pemberian obat golongan aminoglikosida selama 5-10 hari. Sedangkan

penelitian clinical trial oleh Vasquez-Mendoza dkk. (2007) terhadap 120

bayi aterm yang mendapat terapi amikasin, didapatkan hasil toksisitas

ginjal terjadi pada 20% bayi yang mendapat amikasin dosis 20 mg/kg/hari

sekali sehari dibandingkan kejadian toksisitas ginjal sebesar 31,6% pada


25

bayi yang mendapat terapi amikasin 10 mg/kg/hari sebanyak 2 kali sehari

(p = 0,211).

3. Anomali urologi atau sindrom yang berpengaruh terhadap renal

Anomali urologi yang menyebakan GgGA meliputi refluk

verikouretral, hipoplasia renal, katup uretra posterior, unilateral renal

agenesis, ginjal polikistik, dan uretropelvic junction obstruction

(Mortazavi dkk., 2009).

2.2.3 Patogenesis

Nefrogenesis pada fetus telah selesai pada usia kehamilan 34 minggu. Setelah

lahir, laju filtrasi glomerulus (LFG) meningkat sangat cepat kerena meningkatnya

mean arterial pressure (MAP) dan tekanan hidrolik glomerular. Laju filtrasi

glomerulus pada neonatus cukup bulan masih sangat rendah sehingga sangat

penting untuk menjaga gradient tekanan intraglomerular. Gradien tekanan

intraglomerular pada neonatus dipertahankan oleh keseimbangan antara

komponen vasoaktif yaitu vasodilator dan vasokonstriktor. Gangguan

keseimbangan komponen vasoaktif menyebabkan penurunan perfusi dan filtrasi

disebut dengan vasomotor nephropathy (Sreedharan dkk., 2009).

Perubahan hemodinamik vasomotor nephropathy secara umum merupakan

pangkal penyebab kejadian GgGA (Sreedharan dkk., 2009), tanpa memandang

penyakit primer yang mendasari. Pada keadaan tersebut, terjadi penurunan aliran

darah ginjal (affective renal blood flow) yang mengakibatkan gangguan fungsional

menurunnya laju filtrasi glomerulus (GgGA Prerenal) atau dapat berlanjut

menimbulkan gangguan anatomis terutama pada tubulus (GgGA Renal). Namun,


26

bisa juga terjadi gangguan primer pada intrinsik renal berupa kerusakan

tubuler/vaskuler/glomerular/jaringan intertisial (GgGA Renal ataupun obstruksi

aliran urine (GgGA Post Renal)) yang menyebabkan penurunan LFG secara akut

(Siegal dkk., 1999).

Beberapa hipotesis mengenai pathogenesis GgGA telah dilaporkan. Semua

hipotesi tersebut berfokus pada faktor-faktor penyebab terjadinya penurunan LFG

secara nyata.

1. Back-leak theory

Filtrasi glomerulus pada beberapa kasus GgGA sebenarnya tetap

berjalan normal, namun telah terjadi tubular disruption (epitel tubulus

mengalami nekrosis) sehingga zat-zat yang seharusnya tidak dapat

direabsorpsi (misalnya inulin dan kreatinin) menjadi sebagian besar

tereabsorpsi (back leak atau bocor balik dari lumen tubuler ke dalam

sirkulasi peritubuler), sehingga dengan cara mengukur klirens kreatinin

atau inulin akan terlihat LFG menurun secara nyata. Percobaan binatang

dengan penyuntikan dosis kecil merkuri (nefrotoksik) membuktikan back-

leak theory tersebut (Siegal dkk., 1999).

2. Tubular obstruction theory

Menurut teori ini, penurunan LFG terjadi sebagian akibat adanya

timbunan debris intralumen tubuler dan atau adanya edema intertisial yang

menekan LFG. Usaha meningkatkan tekanan intra-tubuler (tekanan

hidrostatik) dengan pemberian forced diuretic (manitol atau furosemid)


27

dapat menghilangkan sumbatan dan mengembalikan fungsi ginjal sehat

kembali (Siegal dkk., 1999).

3. Vascular theory

Keadaan dimana tidak dijumpai kebocoran LFG atau obstruksi tubuler

ataupun keduanya. Beberapa ahli menjumpai keadaan hemodinamik,

sebagai berikut:

a. Vasokontriksi pre glomeruler (hipovolemia)

b. Dilatasi arteriol eferen

c. Penurunan permeabilitas kapiler glomerulus

Ketiga keadaan tersebut secara teoritis dapat menurunkan LFG secara

nyata (Siegal dkk., 1999).

Patofisiologi gangguan ginjal akut dapat juga diklasifikasikan berdasarkan

etiologi penyebab yaitu prerenal, renal, dan postrenal.

1. Gangguan ginjal akut prerenal

Gangguan ginjal akut prerenal merupakan jenis GgGA yang paling sering

ditemukan pada neonatus. Penyebabnya adalah hipoperfusi ginjal karena hipotensi

sistemik atau penurunan aliran darah yang selektif akibat dari hipoksia jaringan

tanpa hipotensi sistemik. Ginjal sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen

(Alatas, 2002). Penyebab GgGA prerenal meliputi asfiksia, respiratory distress

syndrome, dehidrasi karena masalah asupan, dan gagal jantung (Mortazavi dkk,

2009).

Asfiksia neonatorum merupakan penyebab tersering GgGA prerenal pada

bayi. Asfiksia neonatorum dapat mengakibatkan kerusakan multiorgan. Respon


28

sirkulasi terhadap asfiksia menyebabkan redistribusi aliran darah ke otak, hati,

adrenal dan ginjal. Hipoperfusi yang disertai hiperkapnia dan asidosis berperan

besar dalam kerusakan organ-organ tersebut. Penurunan aliran darah di daerah

medula akan menyebabkan tubulus ginjal dalam keadaan hipoksia dan terjadi

kerusakan dari sel tubulus, oleh karena terjadi ketidakseimbangan antara

kebutuhan dan masukan oksigen (Alatas, 2002).

Karena berbagai penyebab prerenal, volume sirkulasi darah total atau efektif

menurun, curah jantung menurun, dengan akibat darah ke korteks ginjal menurun

dan laju filtrasi glomerulus menurun. Tetapi fungsi reabsorbsi tubulus terhadap air

dan garam tetap berlangsung. Oleh karena itu pada GgGA prerenal ditemukan

hasil pemeriksaan osmolalitas urin yang tinggi >300 mOsm/kg dan konsentrasi

natrium urin yang rendah <20 mmol/L serta fraksi ekskresi natrium yang rendah

(<1%). Sebaliknya bila sudah terjadi nekrosis tubulus (GgGA renal) maka daya

reabsorbsi tubulus tidak berfungsi lagi. Ditemukan kadar osmolalitas urin yang

rendah < 300 mOsm/kg sedangkan kadar natrium urin tinggi >20 mmol/L dan

FENa juga tinggi (1%). GgGA prerenal memberi respon diuresis pada pemberian

cairan adekuat (Chim, 2005).

2. Gangguan ginjal akut renal

Berdasarkan etiologi, penyebab GgGA renal dikelompokkan menjadi

kelainan vaskuler, glomerulus, tubulus, interstitial dan kongenital. Nekrosis

tubuler akut (NTA) merupakan penyebab GgGA tersering (Fitzpatrick, 2005)

(Bergstein, 2004).
29

a. Kelainan tubulus

Kelainan utama terjadi pada sirkulasi janin yaitu terjadinya iskemia. Pada

ginjal terjadi penurunan perfusi ke korteks ginjal. Hal ini mungkin terjadi

akibat mekanisme umpan balik glomerulotubular infranefron sebagai reaksi

terhadap peningkatan konsentrasi natrium ke makula densa oleh karena

natrium tidak dapat diserap di tubulus proksimal. Sistem renin angiotensin

juga diduga berperan dalam mekanisme ini (Stapleton dkk., 1997).

Terdapat dua tipe nekrosis tubulus. Tipe pertama terjadi akibat zat

nefrotoksik, sehingga terjadi kerusakan sel-sel tubulus yang luas tetapi

membran basal tubulus tetap utuh. Sel-sel tubulus yang nekrosis masuk ke

lumen tubulus dan dapat menyumbat lumen. Tipe kedua akibat iskemia,

kerusakan terjadi lebih distal dan kerusakan fokal pada membran tubulus.

Nekrosis tubuler akut tipe iskemik akibat beberapa macam penyakit, antara

lain: sindrom nefrotik, luka bakar dan asfiksia perinatal (Stapleton dkk.,

1997).

b. Kelainan vaskuler

Kelainan ini dapat berupa trombosis atau vaskulitis. Trombosis arteri atau

vena renalis dapat terjadi pada neonatus yang mengalami kateterisasi arteri

umbilikalis, diabetes maternal, dan kelainan jantung bawaan sianotik.

Kelainan vaskuler lain yang menyebabkan GgGA adalah vaskulitis.

Penurunan LFG disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penurunan aliran darah

ginjal oleh karena peningkatan resistensi akibat kerusakan pembuluh darah

dan penurunan permukaan filtrasi (Stapleton dkk., 1997).


30

c. Kelainan glomerulus

Gangguan ginjal akut karena kelainan pada glomerulus dapat ditemukan

pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS), glomerulonefritis

membrano proliferatif tipe 2, glomerulonefritis kresentik idiopatik, sindrom

Goodpasture (Stapleton dkk., 1997).

d. Kelainan interstitial

Kelainan ini didapatkan pada keadaan nefritis interstitial misalnya pada

pasien artritis reumatoid juvenil atau pemakaian obat-obatan dan keadaan

pielonefritis akut yang sering didapatkan pada neonatus yang disertai dengan

sepsis (Stapleton dkk., 1997).

e. Anomali kongenital

Kelainan kongenital yang dapat mengakibatkan GgGA adalah agenesis

ginjal bilateral, ginjal hipoplastik dan ginjal polikistik infantil. Kecurigaan

akan kelainan kongenital ginjal jika didapatkan adanya kelainan kongenital

mayor lain pada bayi (Stapleton dkk., 1997).

3. Gangguan ginjal akut post renal

Gangguan ginjal akut post renal disebabkan oleh obstruksi aliran urin, dapat

bersifat kongenital atau didapat. Bila obstruksi di ureter harus bersifat bilateral,

kecuali pada ginjal soliter. Obstruksi dapat terjadi di seluruh saluran kemih mulai

dari ureter sampai uretra (Schrier, 2001).


31

2.3.4 Patogenesis gangguan ginjal akut pada asfiksia

Asfiksia akan mengakibatkan GgGA karena menyebabkan gangguan

distribusi darah sehingga bersifat GgGA pre renal. GgGA prerenal ditandai

dengan LFG yang menurun dan meningkatnya reabsorpsi air dan elektrolit pada

tubulus. Menurunnya aliran darah pada nefron bagian distal akan menstimulasi

apparatus juxtaglomerulus untuk mensekresikan renin yang menyebabkan

peningkatan aldosteron sehingga meningkatkan reabsorpsi natrium (Sreedharan

dkk., 2009).

Gangguan distribusi darah akan menurunkan volume intravaskular sehingga

menstimulasi pelepasan vasopressin dan reabsorpsi air dari duktus kolektivus. Hal

ini akan bermanifestasi sebagai oliguria, menurunnya kadar natrium dalam urin

dan meningkatnya osmolaritas urine. Pada kondisi tertentu tidak terjadi oligouria

dikarenakan kurang responsifnya ginjal terhadap vasopressin (Bagga dan Jindal,

2003).

Keadaan hipoperfusi dan anoksia yang berkepanjangan awalnya akan

mengakibatkan nekrosis tubuler akut. Kerusakan sel epitel tubulus ginjal akan

mengganggu kerja filtrasi glomerulus dimana terjadi obstruksi pada tubulus dan

terjadi backleak filtrasi glomerulus. Segmen S3 pada tubulus proksimal

merupakan bagian yang rentan terjadi kerusakan karena iskemi atau perlukaan.,

kemudian diikuti segmen S1, S2 dan pars ascenden dari ansa Henle. Gangguan

hemodinamik ini akan meurunkan suplai darah dan oksigen ada medulla ginjal

sehingga akan terjadi vasokontriksi dan kongesti pada pembuluh darah mendula

ginjal. Sel darah juga berperan terhadap kerusakan ini diantaranya leukosit akan
32

melepaskan sitokin yang bersifat vasokontriktor seperti leukotrien dan

tromboksan yang mengakibatkan kerusakan sel endotel (Bagga dan Jindal, 2003).

Kerusakan pada sel endotel memacu produksi endothelin (ET). Bentuk

isoform dari ET yaitu ET1 mempunyai kemampuan vasokonstriktor yang kuat.

Nitric oxide (NO) yang diproduksi oleh sel endotel normalnya akan melawan

pengaruh vasokonstriksi dari ET1. Produksi NO pada sel endotel yang normal

dikendalikan oleh nitric oxide synthaze (NOS), dan kerusakan pada sel endotel

akan menurunkan produksi NOS sehingga tidak akan terjadi perlawanan terhadap

efek vasokonstriksi (Bagga dan Jindal, 2003).

Keadaan hipoksia akan menurunkan produksi dari NO, menurunnya kadar

NO pada sel mesangial ginjal akan menyebabkan kerusakan pada glomerulus

ginjal. Produksi NO mempunyai keuntungan diantaranya akan menghambat

proses adesi, proliferasi, dan sintesis matriks ekstraselular di sel mesangial ginjal.

Turunnya kadar NO ini dikarenakan adanya peningkatan sintesis TGF-β1 pada

keadaan hipoksia. TGF-β1 akan menghambat aktifitas dan produksi NO di sel

mesangial dan sel epitel tubulus proksimal. Sehingga akan terjadi peningkatan

proliferasi sel dan matriks protein ekstraselular (Sahai ddk., 2009).

Beberapa penelitian mengenai pengaruh hipoksemia terhadap kerusakan

ginjal telah dilakukan. Selama keadaan hipoksia, laju filtrasi glomerulus ginjal

dan aliran urin pada neonatus masih konstan, akan tetapi terjadi penurunan aliran

darah ginjal dan peningkatan tahanan pembuluh darah ginjal dan fraksi filtrasi,

dimana vasokontriksi pada pembulih darah ginjal yang berhubungan dengan

keadaan hipoksia akan banyak terjadi pada pembulih darah eferen dibandingkan
33

aferen. Hipoksia pada ginjal juga mengakibatkan peningkatan fraksi ekskresi dari

natrium dan klorida sama seperti peningkatan osmolaritas urin dan penurunan

klirens dari ginjal (Friedlich dan Evans, 2005).

Akhirnya, hipoksia ginjal dapat menimbulkan gangguan perfusi dan dilusi

ginjal, seta kelainan filtrasi glomerulus. Hal ini timbul karena proses redistribusi

aliran darah akan menimbulkan beberapa kelainan ginjal antara lain nekrosis

tubulus dan berakhir dengan gagal ginjal (Snyder dan Clorherty, 1998).

Mekanisme asfikisa menyebabkan GgGA pada neonatus dapat dilihat pada

gambar 2.3.
34

ASFIKSIA

Redistribusi Aliran Darah

Aktivasi
Penurunan Perfusi Renal Baroreseptor
Sentral

TGF-β1 PG Renin
AVP
Aldosteron

NO Angiotensin II

Proliferasi sel &


sintesis matriks
ekstraselular Endotelin 1 Vasokontriksi Retensi Na Retensi Air

Disfungsi Endotel Kongesti medula Jajas pada sel epitel tubulus


(S3 Tubulus proksimal,
thick ascending limb)

Iskemi medula persisten Obstruksi tubulus Backleak of filtrate

LFG

GgGA

Gambar 2.3.
Mekanisme asfiksia menyebabkan gangguan ginjal akut pada neonatus
Sumber: Sreedharan dkk. (2009), Bagga dan Jindal (2003), Sahai dkk. (2009),
Friedlich dan Evans (2005), dan Snyder dan Clorherty (1998).

2.3.5 Gambaran klinis gangguan ginjal akut

Gejala klinis yang berhubungan dengan GgGA adalah pucat, oliguria, edema,

hipertensi, muntah dan letargi. Sedangkan kasus yang terlambat ditangani dapat

menimbulkan komplikasi berupa gejala kelebihan cairan yaitu gagal jantung

kongestif, edema paru, aritmia jantung akibat hiperkalemia, perdarahan

gastrointestinal, kejang dan penurunan kesadaran sampai koma.


35

Perjalanan klinis GgGA dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu oliguria, diuresis

dan pemulihan (Schrier, 1992; Alatas, 2002).

1. Fase oliguria

Fase oliguria jumlah urin kurang dari 0,5-1 mL/kgBB/hari pada neonatus dan

umumnya tidak sampai terjadi anuria. Oliguria berlangsung 4-5 hari atau lebih.

Pada oliguria prerenal, bila belum terjadi kerusakan permanen parenkim ginjal,

respon ginjal terhadap menurunnya perfusi ginjal adalah dengan menahan garam

dan air sehingga kadar natrium pada oliguria prerenal rendah <10 mEq/L. Pada

kerusakan parenkim yang menetap terjadi gangguan kemampuan ginjal menahan

natrium sehingga kadar natrium tinggi > 20 mEq/L. Diuresis sendiri dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu input cairan, status hidrasi, adanya obstruksi dan

adanya pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi yaitu seperti diuretika,

aminofilin dan non steroid anti inflammatory drugs (NSAID) (Alatas, 2002;

Schrier, 1992).

2. Fase diuresis

Fase diuresis dapat timbul secara mendadak, diuresis ini dapat disebabkan

oleh kadar ureum yang tinggi di dalam darah. Fase ini biasanya berlangsung

antara 2-3 minggu. Cairan yang terbentuk biasanya disertai elektrolit seperti

natrium, kalium dan klorida. Penderita pada fase ini mengalami kekurangan

elektrolit yang dapat menyebabkan kematian bila tak segera diatasi. Volume urin

yang berlebihan ini disebabkan kemampuan faal tubulus yang belum pulih

(Alatas, 2002; Schrier, 1992).


36

3. Fase penyembuhan

Fase penyembuhan ditandai dengan poliuria dan gejala uremia yang

berkurang. Faal glomerulus dan tubulus berangsur-angsur pulih dalam beberapa

minggu. Sedangkan daya mengkonsentrasi urin membutuhkan waktu yang lebih

lama untuk pulih. Beberapa pasien tetap menderita penurunan LFG yang

permanen, sekitar 5% pasien tidak mengalami pemulihan fungsi ginjal sehingga

membutuhkan dialisis untuk waktu yang lama (Alatas, 2002; Schrier, 1992).

2.3.6 Diagnosis

Penegakkan diagnosis GgGA pada neonatus harus diketahui riwayat keluarga,

obstetrik, anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yaitu: urinalisis, radiologis,

ultrasonografi, sidik ginjal serta pemeriksaan biokimiawi dan uji klirens.

Neonatus yang dicurigai mengalami GgGA dari anamnesis didapatkan keluhan

tidak kencing dalam 24-48 jam setelah lahir, sedangkan dari pemeriksaan fisik

ditemukan pernafasan yang cepat dan dalam karena adanya asidosis, hipertensi,

kesadaran yang menurun dan tanda dehidrasi. Kelainan kongenital pada neonatus

yang sering disertai terjadinya ggga yaitu low set ear, meningocele, ambigous

genitalia, atresia ani, defek dinding abdomen, kriptorkidismus, hipospadia

(Schrier, 1992).

Pada awalnya kriteria diagnosis GgGA pada neonatus menggunakan kadar

serum kreatinin > 1,5 mg/dL, kemudian menggunakan peningkatan nilai serum

kreatinin dan produksi urin seperti pada klasifikasi AKIN (The Acute Kidney

Injury Network). Saat ini diagnosis GgGA berdasarkan estimasi LFG dan

produksi urine seperti pada klasifikasi RIFLE dan disesuaikan untuk pasien anak
37

menjadi klasifikasi pRIFLE. Penelitian terbaru juga menemukan biomaker untuk

mendiagnosis GgGA seperti cystatin C, Neutrophil Gelatinase-Associated

Lipocalin (NGAL), dan Kidney Injury Molecule-1 (KIM-1).

a. Klasifikasi gangguan ginjal akut berdasarkan pediatric RIFLE

Klasifikasi RIFLE pertama kali dicetuskan oleh The Acute Dialysis Quality

Initiative (ADQI) pada tahun 2004. Klasifikasi RIFLE menentukan derajat

beratnya gangguan ginjal berdasarkan perubahan serum kreatinin, penurunan laju

filtrasi glomerulus (LFG), dan lamanya oliguri. Klasifikasi RIFLE terbukti dapat

mendeteksi gangguan fungsi ginjal dari ringan sampai keadaan paling berat serta

mampu mendeteksi GgGA lebih dini dari pada penilaian awal menggunakan nilai

serum kreatinin > 1,5 mg/dl. Penelitian tersebut juga mendapatkan mortalitas

GgGA semakin meningkat sesuai dengan stadium yaitu mortalitas 38,3% stadium

R, 50% pada stadium I, dan 74,5% pada stadium F (Bellomo dkk., 2004).

Kemudian Akcan-Arikan dkk. (2007) melakukan penyesuaian klasifikasi

RIFLE yang digunakan pada anak menjadi pediatrics RIFLE (pRIFLE).

Perbedaan utama klasifikasi RIFLE untuk dewasa dengan pRIFLE adalah pada

penentuan batas bawah nilai kreatinin serum stadium F yaitu pada anak memiliki

nilai kreatinin serum normal lebih rendah sehingga nilai kreatinin serum 4,0

mg/dL tidak menimbulkan disfungsi yang berat (Askenazi dkk., 2009). Klasifikasi

pRIFLE didasarkan pada estimated creatinin clearance (eCCl) sesuai dengan LFG

pada anak menggunakan rumus Schwartz (Akcan-Arikan dkk., 2007).

Penelitiaan tentang penggunaan rumus Schwartz untuk menghitung LFG

dibandingkan dengan baku emas menggunakan rumus conventional creatinine


38

clearance mendapatkan hasil rumus Schwartz memiliki nilai sensitivitas 87,5%,

spesifisitas 98,9%, nilai duga positif 91,3%, dan nilai duga negatif 98,3% untuk

menghitung LFG (Rauf dan Akbar, 2002)

Rumus Schwartz:

k x TB
LFG =
Pkr

Keterangan:
LFG : Laju filtrasi glomerulus
k : Konstanta yang berhubungan dengan daya ekskresi kreatinin per
unit
luas permukaan tubuh
TB : Tinggi atau panjang badan (dalam cm)
Pkr : Plasma/kreatinin serum

Tabel 2.8.
Klasifikasi pediatric RIFLE (pRIFLE)
Estimated creatinin Urine output (UO)
clereance (eCCL) criteria
Risk eCCL decrease by 25% UO < 0,5 ml/kg/h
x 8 hours
Injury eCCL decrease by 50% UO < 0,5 ml/kg/h
x 16 hours
Failure eCCL decrease by 75% UO < 0,3 ml/kg/h
x 24 hours
or anuria x 12 hours
Loss Persistent failure > 3 weeks
ESRD
End-stage renal disease
(End Stage Renal
(persistent failure > 3 months)
Diseases)
Sumber: Akcan-Arikan dkk. (2007)
39

Tabel 2.9.
Nilai konstanta berdasarkan usia dan jenis kelamin
Nilai k
Kelompok usia
(PKr dalam mg/dL)
Neonatus prematur 0,27
Neonatus aterm 0,37
Bayi (0-12 months) 0,45
Laki-laki & perempuan (2-12 tahun) 0,55
Perempuan (13-21 tahun) 0,55
Laki-laki (13-21 tahun) 0,70
Sumber: Akcan-Arikan dkk., 2007

Tabel 2.10.
Nilai normal laju filtrasi glomerulus anak
Kelompok usia Rerata LFG ± SD (ml/menit/1,73 m2)
Prematur:
1-3 hari 14,0 ± 5,0
1-7 hari 18,7 ± 5,5
4-8 hari 44,3 ± 9,3
3-13 hari 47,8 ± 10,7
8-14 hari 35,4 ± 13,4
1,5-4 bulan 67,4 ± 16,6
Aterm:
1-3 hari
20,8 ± 5,0
4-14 hari
36,8 ± 7,2
15-19 hari
1-3 bulan 46,9 ± 12,5
0-3 bulan 85,3 ± 35,1
4-6 bulan 60,4 ± 17,4
7-12 bulan 87,4 ± 22,3
1-2 tahun 96,2 ± 12,2
105,2 ± 17,3
Anak:
3-4 tahun 111,2 ± 18,5
5-6 tahun 114,1 ± 18,6
7-8 tahun 111,3 ± 18,3
9-10 tahun 110,0 ± 21,6
11-12 tahun 116,4 ± 18,9
13-15 tahun 117,2 ± 16,1
2,7-11,6 tahun 127,1 ± 13,5
9-12 tahun 116,6 ± 18,1
Sumber: Akcan-Arikan dkk., 2007
40

b. Pemeriksaan laboratorium

Pengukuran serum kreatinin dipakai untuk menentukan LFG pada neonatus,

adapun pemeriksaan kadar kreatinin sebaiknya dilakukan lebih dari 24 jam setelah

persalinan agar tidak terpengaruh kadar kreatinin dari ibu. Pada penelitian tersebut

juga mendapatkan nilai serum kreatinin akan menurun setelah usia 2 hari dan

nilainya menjadi relatif stabil pada usia 4 hari, dapat dilihat pada gambar 2.5

(Kaur dkk., 2011). Nauri dkk. (2008) melakukan penelitian terhadap fungsi ginjal

pada bayi baru lahir dilihat dari kadar kreatinin dalam darah. Penelitian dari

Aggarwal dkk. (2005) mendapatkan nilai serum kreatinin dan urea darah secara

signifikan lebih tinggi pada bayi asfiksia pada hari ke 4 tetapi tidak pada hari ke 2.

Gambar 2.4.
Kadar kreatinin pada neonatus dengan gangguan ginjal akit sesuai umur
Keterangan: serum kreatinin usia 6 jam, serum kreatinin usia 24 jam,
dan serum kreatinin usia 48 jam.
Sumber: Kaur dkk., 2011.
41

Urinalisis harus dilakukan secepatnya kecuali terjadi anuria karena banyak

membantu dalam mencari etiologi. Pemeriksaan urin dilakukan sebelum

pemberian diuretik. Pemeriksaan urin ditemukan sebelum pemberian diuretik.

Pemeriksaan urin ditemukan berat jenis > 1,020, proteinuria +/++, hematuri

minimal +/++, silinder hialin atau granula halus (+) (Haycock, 2005) (Friedlich

dan Evans, 2005).

Indeks urin digunakan untuk membedakan GgGA prerenal atau renal. Dasar

dari pemeriksaan ini adalah dengan melihat integritas fungsi tubulus ginjal. Pada

GgGA prerenal fungsi reabsorpsi tubulus masih baik, masih dapat menyerap

natrium dan air sehingga didapat urin yang pekat dengan berat jenis yang tinggi

(>1,020) dan osmolalitas tinggi (>400mOsm/kg). Pada GgGA renal telah terjadi

kerusakan tubulus, sehingga tidak dapat memekatkan urin, didapatkan kelainan

pada urin dengan berat jenis rendah (<1,020) dan osmolalitas rendah (<400

mOsm/kg). Sejalan dengan pemeriksaan berat jenis dan osmolalitas urin karena

daya reabsorbsi tubulus terganggu maka penyerapan natrium urin terganggu

hingga kadarnya pada GgGA renal menjadi tinggi (>40 mEq/L). Sedangkan pada

GgGA prerenal rendah (<20 mEq/L) (Vogt dkk., 2006).

Pemeriksaan fraksi natrium (FeNa) yaitu fraksi natrium yang diekskresikan

dalam urin pada GgGA prerenal rendah yaitu <1%, menunjukkan 99% natrium

direabsorpsi tubulus, sedangkan pada GgGA renal tinggi > 2%. Hal ini

menunjukkan kemampuan reabsorbsi natrium pada GgGA renal berkurang (Vogt

dkk., 2006).
42

Renal failure index (RFI) digunakan untuk membedakan GgGA renal dan

prerenal. Renal failure index pada neonatus GgGA prerenal < 3 dan pada GgGA

renal >11,6% (Vogt dkk., 2006).

c. Pemeriksaan biomaker

• Cystatin C

Cystatin C (CysC) adalah cysteine proteinase inhibitor dengan low-

molecular-weight 13 kDa yang diekspresikan pada semua sel berinti.

Cystatin C diproduksi secara konstan dan disekresi ekslusif melalui ginjal

(Sharma dkk., 2009). Cystatin C difiltrasi di glomerulus lalu diabsorpsi dan

katabolisme di tubulus proksimal tanpa sekresi signifikan di tubulus renal.

Kadar serum CysC meningkat pada neonatus cukup bulan dan menurun

pada usia 5 hari pertama, kamudian stabil sampai usia 28 hari (Novo dkk.,

2011).

Pada pasien asfiksia serum CysC dapat memprediksi kejadian GgGA

dengan APGAR skor menit ke 5 < 7 (Askenazi dkk., 2012). Namun, serum

CysC tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal pada kasus

sepsis neonatorum (Maruniak-Chudek dkk., 2012). Penelitian menunjukan

serum CysC tidak lebih sensitif dari serum kreatinin sebagai penentu LFG

pada neonatus (Treiber dkk., 2006).

• Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin

Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL) adalah protein

dengan berat molekul 25 kDa termasuk dalam superfamily lipocalin yang

diekspresikan di tubulus renal setelah iskemik, terpapar toksin, dan


43

transplantasi (Mishra dkk., 2003). Segera setelah timbulnya GgGA terjadi

peningkatan sistesis mRNA NGAL di tubulus proksimal yang menyebabkan

peningkatan sintesis dan ekskresi NGAL ke urin di tubulus proksimal

(Gupta dkk., 2005; Alge dkk., 2013). Produksi NGAL dapat juga meningkat

sebagai respon kerusakan jaringan selain ginjal, sehingga penggunaan

NGAL sebagai biomaker GgGA masih menjadi tantangan kedepan

(Chalkias dan Lacovidou, 2015).

• Kidney Injury Molecule-1

Kidney Injury Molecule-1 (KIM-1) adalah transmembran glikoprotein

tipe 1 yang normalnya tidak dapat terdeteksi pada urin, namun KIM-1 akan

meningkat setelah adanya iskemik pada ginjal atau kerusakan karena toxin

(Argyri dkk., 2013). Kidney Injury Molecule-1 dihasilkan dari tubulus

proksimal dan diekskresikan ke urin. Urin KIM-1 berhubungan dengan

kematian bayi badan lahir amat sangat rendah (BBLASR) (Askenazi dkk.,

2011). Pada neonatus dengan GgGA didapatkan kadar urin KIM-1 dan urin

NGAL lebih tinggi dibandingkan tanpa GgGA, namun tidak signifikan

secara statistik (Askenazi dkk., 2012).

d. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologis juga dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis,

diantaranya ultrasonografi dan pielografi intravena. Tujuan dari pemeriksaan

radiologis adalah untuk menentukan adakah ginjal, besarnya, obstruksi saluran

kemih dan melihat aliran darah ginjal (Haycock, 2005; Vogt dkk., 2006).
44

e. Biopsi ginjal

Hanya dilakukan apabila dicurigai adanya glomerulonefritis progresif cepat

atau nefritis interstitial (Haycock, 2005).

Anda mungkin juga menyukai