Pembahasan
Indonesia sering dilanda bencana alam, seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi,
karena secara geografis terletak di beberapa lempeng tektonik. Berdasarkan data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia, telah terjadi total 5176 kejadian bencana
alam di Indonesia. selama tahun 2016, dan angka ini cenderung meningkat setiap tahunnya.
Banjir, gempa bumi, dan letusan gunung berapi adalah tiga bencana alam yang paling
sering terjadi yang menyebabkan jumlah evakuasi tertinggi pada tahun 2016 (825.928
orang). Namun penelitian terkait peran dan kompetensi perawat di daerah bencana masih
jarang dilakukan. Beberapa penelitian di Indonesia telah berfokus pada perspektif perawat
bencana mengenai peran dan kompetensi mereka. Memahami orang yang selamat
Pandangan tentang praktik perawat dapat memberikan informasi yang berharga bagi
pengembangan kompetensi keperawatan kebencanaan khususnya di Indonesia. Perawat di
Indonesia masih kurang memahami tugas dan peran mereka, khususnya perawat bencana.
perawat memainkan peran penting dalam penanggulangan bencana. Dari tahun ke tahun,
perawat dipanggil dan terpanggil untuk menolong memenuhi kebutuhan individu, kelompok,
dan komunitas dalam masa krisis.
Selain itu, perawat memiliki peran di dalam posko pengungsian dan posko bencana. Hal
yang dapat dilakukan, yakni mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian hingga
berkolaborasi dengan petugas farmasi untuk mengecek ketersediaan obat. Fase postimpact
juga membutuhkan peran perawat di dalamnya. Dalam fase ini, perawat membantu
masyarakat untuk hidup normal kembali melalui proses konsultasi atau edukasi serta
membantu memulihkan kondisi fisik dengan cepat.
Namun saat dilapangan hal tersebut tidak semua terlaksana sesuai dengan peran dan
fungsinya. Oleh karena itu dalam penelitian tersebut masyarakat terutama para korban
bencana memiliki harapan besar terhadap perawat bencana. Harapan tentang apa yang
dapat dilakukan perawat dalam merespon bencana, antara lain: a) penyediaan asuhan
keperawatan langsung, b) penyediaan informasi akses pelayanan kesehatan, c) penyediaan
sumber daya melalui koordinasi lintas sektor, dan d) kegiatan kesiapsiagaan bencana untuk
Komunitas. Korban bencana sebagian besar mengalami luka fisik, dan pengobatan harus
diberikan di tempat pengungsian karena terganggunya akses. Pertama, melalui kerja sama
dengan tenaga kesehatan lainnya, perawat bencana diharapkan memberikan intervensi,
termasuk pengkajian atau pemeriksaan kesehatan, dan distribusi obat. Dalam kelompok
fokus korban gempa, salah satu peserta berbagi bagaimana mereka menerima perawatan
segera setelah guncangan sampai mereka dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Mereka
berharap lebih banyak diberikan pendidikan kesehatan. Para korban juga berharap bahwa
perawat bencana lebih memperhatikan kelompok rentan, seperti wanita hamil dan
menyusui, anak-anak, lansia, penyandang cacat, dan individu dengan penyakit kronis.
Masyarakat juga mengharapkan perawat tidak hanya berada di puskesmas atau menunggu
di posko, tetapi mendatangi kerumah rumah untuk memberikan asuhan keperwatan. Hal
tersebut dikarenakan jalan atau akses menuju ke pelayanan kesehatan menjadi terbatas
setelah terjadi bencana. Selain itu kurangnya informasi mengenai akses pelayanan
kesehatan yang dimiliki masyarakat sangat kurang. Banyak peserta yang membicarakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan akses pelayanan kesehatan, seperti biaya rumah
sakit. Sebenarnya pemerintah Indonesia telah menawarkan layanan rumah sakit kepada
semua korban bencana tanpa biaya. Sayangnya,karena kurangnya informasi tertentu,
beberapa orang yang selamat tidak dapat memperoleh manfaat dari layanan kesehatan.
Oleh karena itu peran perawat maupun pemerintah sangat dibutuhkan dalam
penanggulangan atau penanganan pasca bencana.