Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kepatuhan

2.1.1 Definisi Kepatuhan

Menurut Pranoto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), patuh

adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah

perilaku sesuai aturan dan berdisiplin.

Sedangkan menurut Stanley dalam Maryati (2011), kepatuhan adalah

tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap intruksi atau petunjuk yang diberikan

dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau

menepati janji pertemuan dengan dokter.

Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007), kepatuhan

merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan

ke perilaku yang mentaati peraturan.

Kepatuhan dibedakan menjadi dua yaitu kepatuhan penuh (total

compliance) dimana pada kondisi ini penderita tuberkulosis paru patuh secara

sungguh-sungguh terhadap pengobatan, dan penderita yang tidak patuh (non

compliance) dimana pada keadaan ini penderita tuberkulosis tidak melakukan

pengobatan secara teratur.

Kepatuhan dalam pengobatan penderita tubercolosis paru merupakan

perilaku peran sakit, yaitu tindakan/kegiatan yang dilakukan penderita agar dapat

sembuh dari penyakit. Kepatuhan dalam menjalankan aturan pengobatan bagi

10
11

penderita Tuberkulosis paru sangat penting untuk dapat mencapai kesembuhan

yang optimal sehingga penularan kemasyarakat dapat dihindari.

Dikatakan patuh jika berobat secara teratur sewaktu 6 bulan dalam 2 fase

pengobatan dan paduan obat isoniazid, rifampsin, pirazinamid, streptomisin dan

etambutol baik kategori I, II dan sisipan. Dikatakan tidak patuh jika penderita

berobat secara tidak teratur selama waktu 6 bulan dalam 2 fase pengobatan dan

paduan obat isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol baik

kategori I, II dan sisipan.

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Feuer Stein ada beberapa faktor yang mendukung sikap patuh,

diantaranya : (dikutip dari Faktul dalam Maryati, 2011).

1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu kegiatan, usaha manusia meningkatkan

kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan

penyempurnaan kehidupan manusia dengan jalan membina dan

mengembangkan potensi kepribadiannya, yang berupa rohani (cipta, rasa,

karsa) dan jasmani. Domain pendidikan dapat diukur dari (Notoatmodjo,

2011) :

a. Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan(knowledge).

b. Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang diberikan

(attitude).

c. Praktek atau tindakan sehubungan dengan materi pendidikan yang

diberikan.
12

2. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien

yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri harus

dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan.

3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial.

Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman – teman sangat

penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami

kepatuhan terhadap program pengobatan.

4. Perubahan model terapi .

Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat

aktif dalam pembuatan program tersebut.

5. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien.

Suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien

setelah memperoleh informasi diagnosa.

Sedangkan menurut Carpenito dalam Maryati (2011), berpendapat bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang

dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan

kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-faktor

yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya :

1. Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika dirinya salah paham tentang

instruksi yang diberikan padanya. Kadang kadang hal ini disebabkan oleh

kegagalan profesional kesalahan dalam memberikan informasi lengkap,


13

penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang

harus diingat oleh penderita. Kesalahan pemahaman ini juga dapat terjadi

pada lanjut usia penderita hupertensi. Instruksi dokter untuk melakukan

diet rendah garam ini disalah artikan oleh lanjut usia penderita hipertensi

dengan hanya tidak boleh menambahkan garam pada makanan.

2. Tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang

bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang

diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu. Semakin tua

umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik,

akan tetapi pada umur–umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan

mental ini tidak secepat ketika berusia belasan tahun, dengan demikian

dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan

seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur – umur tertentu

dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring

dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat

pendidikan yang rendah. Lanjut usia sebagai kelompok usia yang telah

lanjut mengalami kemunduran daya ingat, sehingga terkadang tidak dapat

mencerna kepatuhan untuk diet rendah garam dengan sempurna, namun

hanya berkeinginan untuk menuruti keinginannya yaitu makan dengan rasa

yang diinginkannya.
14

3. Kesakitan dan pengobatan.

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada

akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai

gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan

dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas sering terabaikan.

4. Keyakinan, sikap dan kepribadian.

Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang gagal berbeda.

Orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas,

sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih

lemah dan memiliki kehidupan sosial yang lebih, memusatkan perhatian

kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang lebih ditandai dengan

kurangnya penguasaan terhadap lingkunganya. Variabel-variabel

demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidak patuhan. Bagi

lanjut usia yang tinggal di daerah sepanjang Pantura mungkin makanan

yang terasa asin akan lebih nikmat karena kebiasaan yang sudah dialami

sebelumnya.

5. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan

program pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi

dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga

yang sakit. Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang

lain, isolasi sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan.


15

6. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi

segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya seseorang yang sudah

pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang

bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan

perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah

akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik

tidak terjadi ketidakpatuhan.

7. Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga

teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam. Keluarga dan

teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh

penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada

ketidakpatuhan dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung

untuk mencapai kepatuhan. Dukungan sosial nampaknya efektif di negara

seperti Indonesia yang memiliki status sosial lebih kuat, dibandingkan

dengan negara-negara barat.

Sementara menurut Notoatmodjo (2011) faktor yang

mempengaruhi kepatuhan terbagi menjadi :

1. Faktor predisposisi (faktor pendorong)

a. Kepercayaan atau agama yang dianut

Kepercayaan atau agama merupakan dimensi spiritual yang dapat

menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap


16

agamanya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus

asa serta dapat menerima keadaannya, demikian juga cara akan

lebih baik. Kemauan untuk melakukan kontrol penyakitnya dapat

dipengaruhi oleh kepercayaan penderita dimana penderita yang

memiliki kepercayaan yang kuat akan lebih patuh terhadap anjuran

dan larangan kalau tahu akibatnya.

b. Faktor geografis

Lingkungan yang jauh atau jarak yang jauh dari pelayanan

kesehatan memberikan kontribusi rendahnya kepatuhan.

c. Individu

1. Sikap

Sikap merupakan hal yang paling kuat dalam diri individu

sendiri. Keinginan untuk tetap mempertahankan kesehatannya

sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berhubungan

dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya.

2. Pengetahuan

Penderita dengan kepatuhan rendah adalah mereka yang tidak

teridentifikasi mempunyai gejala sakit. Mereka berfikir bahwa

dirinya sembuh dan sehat sehingga tidak perlu melakukan

kontrol terhadap kesehatannya.

2. Faktor reinforcing (Faktor penguat)

a. Dukungan petugas
17

Dukungan dari petugas sangatlah besar artinya bagi penderita

sebab petugas adalah pengelola penderita yang paling sering

berinteraksi sehingga pemahaman terhadap kondisi fisik maupun

psikis lebih baik, dengan sering berinteraksi, sangatlah

mempengaruhi rasa percaya dan selalu menerima kehadiran

petugas kesehatan termasuk anjuran-anjuran yang diberikan.

b. Dukungan keluarga

Keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan

tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tentram

apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena

dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya

untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan baik, serta

penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga

untuk penunjang pengelolaan penyakitnya.

3. Faktor enabling (Faktor pemungkin)

Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dalam memberikan

penyuluhan terhadap penderita yang diharapkan dengan prasarana

kesehatan yang lengkap dan mudah terjangkau oleh penderita dapat

lebih mendorong kepatuhan penderita.

2.2 Konsep Tuberkulosis

2.2.1 Definisi Tuberkulosis


18

Menurut Sudoyo W. Aru (2006), tuberkulosis adalah Suatu penyakit

infeksi kronis menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis hampir

selurun organ tubuh dapat terserang oleh kuman ini tetapi paling banyak di paru.

Sedangkan menurut Soemantri Irman (2008), Tuberkulosis paru

merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru dan dapat juga menyebar ke

bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe yang

disebakan oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi.

2.2.2 Gejala Penyakit Tuberkulosis

Menurut Sudoyo W. Aru (2006), gejala penyakit Tuberkulosis dapat di

bagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ

yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas, terutama pada kasus baru,

sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosis secara klinik.

1. Gejala umum yang timbul adalah :

a. Demam, tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya di

rasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang, serangan

demam seperti serangan influenza dan bersifat hilang timbul.

b. Penurunan nafsu makan dan berat badan.

c. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai darah).

d. Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah.

e. Sesak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut.

2. Gejala khusus yang timbul tergantung dari organ tubuh yang terkena :
19

a. Apabila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-

paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan

menimbulkan suara “mengi” dan suara nafas melemah yang disertai sesak.

b. Apabila ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat

disertai dengan keluhan sakit dada.

c. Apabila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang

yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di

atasnya. Pada muara ini akan keluar cairan nanah.

d. Pada anak-anak, dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan

disebut sebagai meningitis (radang delaput otak). Gejalanya adalah kejang-

kejang, demam tinggi, penurunan kesadaran, dan kejang-kejang.

2.2.3 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis

Sumber penularan penyakit tuberkulosis paru adalah penderita

tuberkulosis paru BTA positif, yang dapat menularkan kepada orang-orang di

sekelilingnya, terutama kontak erat. Pada waktu batuk atau bersin, penderita

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet

yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama

beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam

saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia

melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru ke

bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,

saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes

RI, 2010).
20

Sedangkan menurut Crofton (2002), saat seorang penderita batuk,

sejumlah tetesan cairan ludah tersembur ke udara yang mengandung banyak

kuman. Tetsan yang paling besar akan jatuh ke tanah, namun yang terkecil yang

tidak dapat dilihat akan tetap berada dan ikut terbawa aliran udara baik di luar

maupun di dalam ruangan. Di dalam ruangan yang tertutup ataupun di dalam

ruangan yang sempit, tetesan tersebut melayang di udara dan akan bertambah

jumlahnya setiap kali orang tersebut batuk.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB

adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan

malnutrisi (Gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang

terinfeksi TB dan menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas

sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terinfeksi

penyerta (opportunistic), seperti tuberkulosis maka yang bersangkutan akan

menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang

terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan

demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Kemenkes, 2010).

2.2.4 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis

Menurut Sudoyo W. Aru (2006), tujuan pengobatan Tuberkulosis paru

adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah

kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap OAT.


21

1. Sejarah pengobatan tuberkulosis

Sepanjang sejarah pengobatan tuberkulosis, berbagai cara telah

dilakukan untuk mengobati pasien. Mulai dari era sebelum dan

sesudah ditemukan bakteri penyebab dan obat antituberkulosis,

pengobatan tuberkulosis mengalami beberapa tahap yakni :

a. Health Resort Era

Setiap pasien tuberkulosis harus dirawatb di sanatorium, yakni

tempat-tempat berudara segar, sinar matahari yang cukup, suasana

yang menyenangkan dan makanan yang bergizi tinggi.

b. Bedrest Era

Dalam hal ini pasien tidak perlu dirawat di sanatorium, tetapi cukup

diberi istirahat setempat terhadap fisiknya saja, disamping makanan

yang bergizi tinggi. Usaha pengobatan pada health resort and bed

rest era, masih bersifat pemberantasan terhadap gejala yang timbul.

c. Collapse Therapy Era

Sisini cukup paru yang sakit saja yang diistirahatkan dengan

melakukan pneumonia artifisial. Paru-paru yang sakit dibuang secara

wedge resection, satu lobus atau satu bagian paru.

d. Chemotherapy Era

Revolusi dalam pengobatan tuberkulosis dimulai pada tahun 1944,

yakni dengan ditemukannya streptomisin yang merupakan suatu obat

anti tuberkulosis dan bermacam-macam obat lainnya pada tahun-

tahun berikutnya. Pada tahun 1964 ditemukan rifampisin yang


22

semacam dengan revolusi mini dalam kemoterapi tuberkulosis,

karena jangka waktu pengobatan dapat dipersingkat menjadi 6-9

bulan. Kemoterapi bertujuan untuk :

1) Mengobati pasien dengan sesedikit mungkin mengganggu

aktivitas hariannya, dalam periode pendek, tidak memandan

apakah dia peka atau resisten terhadap obat.

2) Mencegah kematian atau komplikasi lebih lanjut akibat

penyakitnya.

3) Mencegah terjadinya kekambuhan.

4) Mencegah timbulnya resisten terhadp obat.

5) Mencegah risiko penularan penyakit tuberkulosis di

lingkungannya.

2. Aktivitas obat

a. Aktivitas bakteresid : Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman

yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas

bakteresid biasanya diukur dari kecepatan membunuh atau

melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil

yang negatif (2 bulan permulaan pengobatan).

b. Aktivitas sterilisasi : Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman

yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif).

Aktivitas sterilisasi di undur dari angka kekambuhan setelah

pengobatan dihentikan.
23

3. Tahap pengobatan

Menurut Sudoyo W. Aru (2006), terdapat dua tahap pengobatan yaitu :

a. tahap intensif (Initial phase), selama 1-3 bulan dengan memberikan

4-5 macam obat anti tuberkulosis per hari dengan tujuan :

1) Mencegah keluhan dan mencegah efek samping lebih lanjut.

2) Mencegah timbulnya resistensi obat.

b. Tahap lanjutan (Continuation phase), selama 4-6 bulan dengan hanya

memberikan 2 macam obat, 3 kali seminggu dengan tujuan :

1) Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi)

2) Mencegah kekambuhan (relaps)

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu selama 4-6 bulan. Tahap lanjutan

penting untuk membunuh kuman persisten untuk mencegah terjadinya

kekambuhan.

Pengobatan tuberkulosis paru mengunakan obat anti tuberkulosis (OAT)

dengan metode directly observed treatment shortcourse (DOTS).

1. Kategori I (2 RHZE/4 H3R3)

Obat ini diberikan kepada penderita Tuberkulosis paru BTA Positif,

Tuberkulosis paru BTA Negatif rontgent positif dan penderita

Tuberkulosis Ekstra Paru (berat). Lamanya pengobatan 6 bulan

dengan rincian: 2 bulan RHZE diminum setiap hari dan 4 bulan RH

diminum 3 kali dalam seminggu.


24

2. Kategori II (2RHZES/RHZE/5H3R3E3)

Obat ini diberikan kepada penderita kambuh (relaps), penderita gagal

pengobatan (failure). Lamanya pengobatan 8 bulan dengan rincian: 2

bulah RHZE + suntikan streptomisin (S), 1 bulan RHZE dan 5 bulan

RHE diminum 3 kali dalam seminggu (Depkes RI, 2002).

3. Kategori III (2 HRZ/4 H3R3)

Obat ini diberikan pada pasien baru dengan BTA (-), tetapi ada

kelainan paru tidak luas dan kasus ekstra paru pulmonal (selain

kategori I).

4. Kategori IV

Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya

harus dikultur dan uji kepekaan obat. Sesuai rekomendasi WHO

untuk seumur hidup diberi H saja atau untuk pengobatan TB

resistensi ganda (MDR-TB/multidrugs resistant tuberculosis).

2.2.5 Jenis obat

Menurut Sudoyo W. Aru (2006), pengobatan dengan strategi DOTS

(Direct Obseved Treadment Short Course) dipermudah dengan pengadaan obat

yang telah dipadukan sesuai dengan kategori tersendiri :

1. Obat primer (obat anti tuberkulosis tingkat satu)

a. Isoniasid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakteresid, dapat membunuh 90%

populasi dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini

sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolisme aktif,


25

yaitu pada saat kuman sedang berkembang. Dosis harian yang

dianjurkan adalah 5 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3kali seminggu dengan dosis 10 mg\kg BB.

b. Rifampisin (R)

Bersifat bakteresid, dapat membubuh kuman yang persisten

(dortmant) yang tidak dapat dibunuh oleh Isonasid. Dosis 10

mg\kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun

intermiten 3 kali seminggu.

c. Pirazinamid (Z)

Bersifat bakteresid, dapat membunuh kuman yang berada

didalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan

25 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali

seminggu diberikan dengan dosis 35 mg\kg BB.

d. Streptomisin (S)

Bersifat bakteresid, dengan dosis harian yang dianjurkan 15

mg\kg BB, sedangkan pengobatan untuk intermiten 3 kali

seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai

60 tahun dosisnya 0,75 gr\hari, sedangkan untuk umur sampai 60

tahun lebih dosisnya 0,50 gr\hari.

e. Ethambutol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15

mg\kg Bbsedangkan untuk pengobatan untuk intermiten 3 kali

seminggu digunakan dosis 30 mg\kg BB.


26

2. Obat sekunder ( Anti tubercolusis acid) terdiri dari : Kanamisin , PAS

(Para Amina Salictylic Acid), Tiasetason, Etionamid, Protionamid,

Sikloserin, Viomisin, Kapreomisin, Amikosin , Oflokasin.

2.2.6 Hasil pengobatan

1. Sembuh

Penderita dikatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan

secara lengkap dan pemeriksaan dahak 2 kali selama pengobatan

negative.

2. Pengobatn lengkap

Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal

karena sebab apapun.

3. Meninggal

Adanya penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal

karena sebab apapun

4. Pindah

Adanya penderita yang pindah berobat ke daerah atau kabupaten/kota

lain

2.2.7 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis

Menurut Mansjoer (2002), diagnosis penyakit tuberkulosis dapat

ditegakkan setelah melakukan beberpa pemeriksaan. Pemeriksaannya

meliputi :

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.

2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositos)


27

3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto thoraks yang mennjang

diagnosis TB yaitu :

a. Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apical

lobus bawah.

b. Bayangan berawan (patchy) atau berbecak (nodular).

c. Adanya kavitas tunggal atau ganda.

d. Kelaian bilateral, terutama di lapangan atas paru.

e. Adanya klasifikasi.

f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian .

g. Bayangan milier

4. Pemeriksaan sputum BTA

Pemeriksaan sputum BTA memastikan bahwa diagnosis

Tuberkulosis paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena

hanya 30-70% penderita Tuberkulosis yang dapat didiagnosis

berdasarkan pemeriksaan ini.

5. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)

Merupakan uji serologi immunoperosidase memakai alat histogen

mmunoperosidase staining untuk menentukan adanya igG spesifik

terhadap basil Tuberkulosis paru.

6. Tes mantoux/tuberkulin

7. Teknik Polymerase Chain Reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam

bebagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1


28

mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat mendeteksi adanya

resistensi.

8. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC)

Deteksi Growth indek berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari

metabolisme asam lemak oleh mycobacterium tuberculosis.

9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay

Deteksi respons humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi.

Pelaksanaanya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama

sehingga menimbulkan maslah.

10. MYCODOT

Deteksi antibodi memakia antigen lipoarabinoman yang direkatkan

pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan

dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah

memadai maka warna sisir akan berubah.

2.2.8 Klasifikasi diagnostik Tuberkulosis adalah :

1. TB paru

a. BTA mikroskopis langsung (+) atau biakan (+), kelaianan foto

thoraks menyokong TB dan gejala klinis sesuai TB .

b. BTA mikroskopis langsung atau biakan (-) , tetapi kelaianan

rontgen dan klnis sesuai pasien golongan ini memerlukan

pengobatan yang adekuat.


29

2. TB paru tersangka

Diagnosa pada tahap ini besifat sementara sampai hasil pemeriksaan

BTA didapat (paling lambat bulan). Pasien dengan BTA mikroskopis

langsung (-) atau belum ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan

belum lengkap, tetapi kelaianan rontgen dan klinis sesuai TB paru.

Pengobatan dengan anti TB sudah dapat dimulai.

3. Bekas TB (tidak sakit)

Ada riwayat Tuberkulosis pada pasien masa lalu dengan atau tanpa

pengobatan atau gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi

stabil pada serial sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu di obati.

Anda mungkin juga menyukai