Anda di halaman 1dari 29

Masa Depan yang

Ditenggelamkan

Karangnangka berangkat menuju duha tatkala seorang lelaki lusuh menyusuri


alur sawah, surga kecil bagi para petani. Tubuh berototnya dibalut baju penuh
getah. Rambut ikalnya ditutupi caping kuning yang meneduhi dari teriknya
mentari. Kakinya beralaskan kulit mengiringi langkahnya. Ia edarkan pandangan
seluas mata memandang, namun tak ada burung yang tersangkut jaring yang ia
pasang.
Di ujung alur, langkahnya terhenti pada gubug usang di tengah sawah, tempat
ia dan beberapa petani lainnya menuai tenaga. Hari ini beruntung baginya, padi
yang mulai terisi semakin merunduk. Burung yang dicap petani sebagai hama pun
tak mampu menyambangi padi miliknya. Saat ia memantau keadaan sawah
terlihat hal yang sangat indah, bukan burung, bukan pula kerbau. Namun, ia
melihat seorang perempuan lugu dengan tangan menjinjing wadah makanan.
Untuk pertama kalinya ia melihat, entah karena tubuhnya yang molek dibalut
pakaian sederhana khas perempuan desa, entah karena rambut hitamnya yang
tersapu angin bagaikan ombak, entah karena warna kulitnya yang eksotis diintip
mentari lewat celah pepohonan, atau karena senyuman manisnya yang dapat
menyesatkan seorang lelaki yang memanndangnya, gadis itu membuat alam
semestanya terasa berhenti.
Sang perempuan lugu menoleh, lelaki lusuh pun memalingkan pandangannya
dan pura-pura kembali pada pekerjaan yang ia tekuni. Namun perempuan lugu itu
masih menghipnotis lelaki itu entah dengan cara apa perempuan lugu
melakukannya. Ketika lelaki lusuh kembali memalingkan pandangan pada tempat
perempuan itu berdiri, namun ia tak mendapati perempuan lugu itu.
Mentari telah condong ke barat dan menandakan bahwa lelaki lusuh itu harus
kembali pada maabnya. Semua tentang perempuan lugu yang tadi siang
tertangkap pandangannya, tersimpan dalam otak dan seolah tak mau terhapuskan
unuk saat ini dan entah sampai kapan. Sesampainya di rumah, lelaki itu langsung
beberes tubuhnya yang kotor ternodai lumpur sawah dan beristirahat sejenak dari
kewajibannya sebagai petani.

Malam menusuk pedukuhan Karangnangka selagi lelaki kumal itu duduk
termenung di pelataran rumahnya. Dari petak-petak sawah yang ia garap hasilnya
lumayan baik, hanya saja jaring yang ia pasang terkadang roboh terkena tiupan
angin. Kini, pikirannya sedang tenggelam dalam imajinasi tentang perempuan
lugu, tatkala lelaki paruh baya berjanggut lebat duduk disampingnya.
“Bagaimana sawah? Terserang hama?” Sapa lelaki paruh baya berjanggut
lebat. Lelaki lusuh itu masih terdiam dengan tatapan kosongnya. “tadi pak Rubadi
menawarkan cangkul baru dan pupuk,” lanjut lelaki paruh baya berjenggot lebat
sambil mengambil gelas berisikan kopi.
“Soal sawah baik-baik saja.” Jawab santai lelaki lusuh itu. “Cangkulnya
bagus tidak kualitasnya? Dan pupuknya berapa bayak?” lanjut lelaki lusuh itu.
Lelaki paruh baya berjenggot lebat pun termanggu “Kualitas cangkulnya
bagus, perihal pupuk nanti kamu bicarakan langsung dengan pak Rubadi.”
Jaeabannya lalau meneguk kopi yang tersedia.
“Iya, nanti saya temui pak Rubadi, membahas soal itu.” Ucap lelaki lusuh lalu
menyulut rokok dan menghisapnya.
“Pak Sukanto memintamu datang ke rumahnya, ya bolehlah setelah kamu
menyelesaikan urusan dengan pak Rubadi.” Ucap lelaki paruhbaya berjenggot
lebat itu.
“Pak Sukanto siapa? Warga mana?” tanya lelaki lusuh dengan rasa
penasarannya yang tinggi.
“Itu, yang orangnya tinggi besar, warga desa sebelah.” Jawab lelaki paruh
baya berjenggot lebat sambil menghembus napas.
“ooh, nanti bapak bantu saya untuk menemui beliau yah pak.” Pinta lelaki
lusuh dengan nada lirih dan kantuk yang mulai menguasai dirinya.
Perbincangan pun perlahan berubah menjadi hening sketika kehabisan bahan
bakar untuk menjalankannya. Lelaki lusuh beranjak dari tempat duduknya, lalu ia
siapkan tempat tidur untuk merajut mimpi. Namun apalah daya bayangan
perempuan lugu itu masih terbayang dalam ingatannya, dan ia pun sulit untuk
terlelap. Beberapa jam kemudian lelaki lusuh itu mulai dihantui rasa kantuk dan
akhirnya ia terlelap.

Tiga hari berselang lelaki kumal itu beranjak pergi dari zona nyamannya
untuk menemui Rubadi di rumahnya. Hembus angin pedesaan terasa sejuk
dihirup, kicauan burung bagai alunan musik alami, riuh warga berinteraksi pun
terasa sangat indah untuk dipandang. Langkahnya mengiringi dua kaki paruh baya
berjenggot lebat sebagai petunjuk arah, ketika mentari lebih tinggi dari tadi pagi
sampailah mereka di kediaman Rubadi. Ditemuilah Rubadi sedang membabad
rumput tinggi di depan rumannya. Setelah lama berbincang dengan Rubadi yang
ramah, mereka beranjak ke kediaman Sukanto warga desa sebelah. Detik, detak
dan ketuk mereka lalui dengan penuh semangat. Sesampainya di rumah Sukanto
Lelaki paruh baya berjenggott lebat itu pamit undur diri karena ada urusan yang
perlu dijalani. Lelaki lusuh itu pun bergegas ke depan pintu seraya merapihkan
tampilannya.
“Assalamualaikum.” Salam Leleki lusuuh itu ucapkan. “Assalamualaikum,
permisi.’ Lanjut ucapnya sembari menunggu.
“Waalaikumusalam.’ Terdengar suara halus seorang perempuan, lalu
membukakann pintu.
Lelaki lusuh itu terdiam dan alam semesta seketika berhenti untuk kedua
kalinya, kini ia dapat bersua dengan perempuan lugu yang ia pandang hari lalu.
“B... b... benar ini kediaman pak Sukanto? Tanya dibarengi gugup yang tak
terkira, “Beliau ada?” lanjut ucap leleki lusuh itu.
“iya benar, tapi bapak lagi keluar, entah kemana beliau beranjak.” Santai
perempuan itu menjawab. “ Tapi tadi bapak menitipkan pesan untuk tamu yang
bernama Sutarjo, anda Sutarjo?” tanya perempuan lugu itu.
“ betul sekali, saya Sutarjo.” Siangkat jawab lelaki lusuh itu.
“oh iya, mari masuk,” tuan puteri mempersilahkan Sutarjo masuk istananya
yang lumayan megah “kita bincangkan di dalam saja.” Ia meneruskan
kalimatnya.
“Jadi apa pesan dari bapakmu untuk saya?” ucap Sutarjo “oh ya, namamu
siapa?” sutarjo bertanya.
“ooh iya, lupa saya memperkenalkan diri.” Lugu perempuan itu kini terlihat
sangat jelas oleh Sutarjo. “Nama aku, Ratini Waranggana panggil saja aku Tini.”
Akhirnya Sutarjo tahu nama perempuan lugu itu.
“Bapak saya titip pesan, kamu dimita tolong oleh beliau untuk menggarap
sawah 10 petak di desa Karangnangka.” Tini menyampaikan pesan dari ayahanda
tercinta
“Sawah yang dekat sungai itu?” Celoteh Sutarjo sok-sokan tahu.
“loh kok tahu?” tanya penasaran Tini lalu mempersilahkan Sutarjo untuk
menyambi makanan yang telah disediakan Tini. “Padahal aku belum memberi
tahumu dan bahkan sawah itu bapak aku beli baru beberapa minggu ini.
“Ya tahu dong, secara sawah milik bapakmu itu bersbrangan dengan sawah
milik keluarga aku.” Jawab Sutarjo “Dan, hari lalu aku melihatmu di sana dengan
tangan menjinjing wadah makanan.” Sutarjo mengemukakan fakta.
“Kata bapakku, kamu mengurusi sawah miliknya hanya sampai panen
pertama saja.” Ucap Tini.
Entah karena paras cantik Tini, Sutaejo mengiyakan tawaran yang
disampaikan Tini padanya. Tak terasa waktu telah habis dan memaksa Sutarjo
meninggalkan kediaman pak Sukanto. Hari ini dilalui Sutarjo dengan hati
gembira, karena dapat bersua dan berkenalan dengan Ratini Waranggana anak
semata wayang Pak Sukanto. Diujung perjalanan menuju rumah, Sutarjo
mendengar seliwiran kata yang terlontar dari warga. Sutarjo merasa ada yang
tidak beres dari warga desa, Namun ia menghiraukan mereka.
Sesampainya di rumah Sutarjo, mendapati Germo si lelaki paruh baya
berjanggut lebat yaitu ayahhandanya sedang kebingungan seperti warga lain.
Sutarjo pun penasaran mengapa ayahnya bisa seperti itu. Lambat laun ia pun
berbincang dengan Germo.
“Ada apa Pak?” Tanya Sutarjo “kok, Kelihatan bingung sepertii itu.” Lanjut
sutarjo
“Itu Kolonial Belanda yang menjajah Nuasntara ini, mau membangun
bendungan di hulu sungai pemali, lalu desa kita akan ditenggelamkan untuk
dibangun waduk.” Germo lalu terdiam dan Sutarjo pun ikut terdiam.
Pikiran sutarjo kinidibuat kalut oleh kenyataan menimpa. Malam menimpa
sutarjo dan warga pedukuhan karangnangka yang akhurnya tertidur dengan
setumpuk pikiran kalut.

“Dan titipan pesan dari bapak saya, kamu dimita tolong oleh beliau untuk
menggarap sawah 10 petak di desa Karangnangka.” Tini menyampaikan pesan
dari ayahanda tercinta
“Sawah yang dekat sungai itu?” Celoteh Sutarjo menebak-nebak.
“loh kok tahu?” tanya penasaran Tini lalu mempersilahkan Sutarjo untuk
menyambi makanan yang telah disediakan Tini. “Padahal aku belum memberi
tahumu dan bahkan sawah itu bapak aku beli baru beberapa minggu ini.”
“Ya tahu dong, secara sawah milik bapakmu itu bersbrangan dengan sawah
milik keluarga aku.” Jawab Sutarjo “Dan, hari lalu aku melihatmu di sana dengan
tangan menjinjing wadah makanan.” Sutarjo mengemukakan fakta.
“Kata bapakku, kamu mengurusi sawah miliknya hanya sampai panen
pertama saja.” Ucap Tini.
Entah karena paras cantik Tini, Sutaejo mengiyakan tawaran yang
disampaikan Tini padanya. Tak terasa waktu telah habis dan memaksa Sutarjo
meninggalkan kediaman Sukanto. Hari ini dilalui Sutarjo dengan hati gembira,
karena dapat bersua dan berkenalan dengan Ratini Waranggana anak semata
wayang Sukanto. Diujung perjalanan menuju rumah, Sutarjo mendengar seliwiran
kata yang terlontar dari warga. Sutarjo merasa ada yang tidak beres dari warga
desa, Namun ia menghiraukan mereka.
Sesampainya di rumah Sutarjo, mendapati Germo si lelaki paruh baya
berjanggut lebat yaitu ayahhandanya sedang kebingungan seperti warga lain.
Sutarjo pun penasaran mengapa ayahnya bisa seperti itu. Lambat laun ia pun
berbincang dengan Germo.
“Ada apa Pak?” Tanya Sutarjo “kok, Kelihatan bingung sepertii itu.” Lanjut
sutarjo
“Itu Kolonial Belanda yang menjajah Nuasntara ini, mau membangun
bendungan di hulu sungai pemali, lalu desa kita akan ditenggelamkan untuk
dibangun waduk.” Germo lalu terdiam dan Sutarjo pun ikut terdiam.
Pikiran sutarjo kini dibuat kalut oleh kenyataan yang menimpa. Malam
menimpa sutarjo dan warga pedukuhan karangnangka yang akhurnya tertidur
dengan setumpuk pikiran kalut.

Lelaki lusuh itu bernama Sutarjo Ismoyono. Lahir 27 tahun silam, pada bulan
Januari, di sebuah Penukuhan yang bernama karangnangka, Winduaji. Ia timbuh
di rumah yang sederhana dalam keluarga yang sederhanan pula, namun
keluarganya memiliki sawah yang cukup luas, sekitar 15 petak sawah. Sesuai
dengan namanya Sutarjo merupakan lelaki yang penuh pesona dan lelaki yang
teguh akan pendiriannya.
Sutarjo Ismoyono tidak setuju dengan informasi pedukuhannya akan
ditenggelamkan bersama pedukuhan lainnya untuk dijadikan waduk oleh kolonial
Belanda, dan ia akan terus teguh dalam pendiriannya, dalam keputusan yang ia
pilih. Sutarjo juga dikenal baik oleh warga sekitar karena orangnya ramah dan
suka berinteraksi dengan warga sekitar hingga banyak orang yang menyeganinya.
Warga juga sependapat dengan Sutarjo menolak pedukuhannya untuk
ditenggelamkan.
Di sisi pedukuhan Pecikalan, Ratini Waranggana. Perempuan lugu kelahiran
25 tahun silam, pada bulan Febuari, di pojok pedukuhan pecikalan, winduaji, juga
mendengar tempat yang selama ini membesarkannya akan ditenggelamkan. Ratini
Waranggana si perempuan permata berwajah elok pun tidak mau pedukuhannya
ditenggelamkan begitu saja, terlalu banyak sejarah yang ia dan warga lainnya ukir
di pedukuhan asri itu.
Perihal penenggelaman pedukuhan Karangnangka dan pedukuhan sekitarnya
termasuk pedukuhan Pecikalan tempat dimana sang bidadari pujaan hati Sutarjo
tinggal. Walau penengelaman ini hanya sebatas informasi yang kurang falid
hampir seluruh warga yang pedukuhannya akan ditenggelamkan menolak
pedukuhannya untuk ditenggelamkan.
Sutarjo bertemu Adirman seorang lelaki tegas bertubuh kekar, beramut ikal.
Mereka membahas akan informasi yang akhir akhir iini di perbincangkan warga
pedukuhan.
“Man, menurutmi informasi itu benar ga sih?” Tanya Sutarjo “Aku khawatir
kalau informasi itu benar, mau tinggal dimana kita.” Lanjut Sutarjo.
“Aku juga tidak tahu Jo, kita tunggu saja waktu menjawabnya” balas Lelaki
kekar itu.
“Ah, kelamaan, semenjak aku mendengarnya, aku tidak bisa tidur pulas.”
Gelisah Sutarjo perlihatkan.
“Sudah, sabar saja dan berdoa semoga informasi itu tidak benar walau upun
benar semoga rencana Belanda itu gagal.” Nasihat Adirman berikan pada Sutarjo.
“Semoga saja, Amiin.” Doa Sutarjo panjatkan, Adirman mengamini.
Setelah perbincangan tersebut Sutarjo beranjak dari gubuk kecil di tengah
sawah tempat mereka berbincang. Karangnangka terlihat pasi, kala lelaki lusuh itu
berjalan menuju maabnya. Rokok yang telah ia sulut lalu dihisap dengan penuh
kegelisahan di hati dan kalutnya pikiran. Dengan tatapan kosong karena
memikirkan hal itu, sampai sampai ia tak melihat seorang di depannya hingga
menabraknya. Wadah makanan yang ia jinjing terjatuh beruntungnya makanan di
dalamnya telah habus dilahap.
“Maaf,” ujar lelaki itu sambil memnungut mengambi wadah makanan
tersebut, ditengoknya seorang yang ditabraknya “Eh Tini, sekali lagi kau minta
maaf.”
“Iya iya tak apa Jo, lain kali hati-hati.” Jawab Tini dengan sedikit kekesalan
pada Sutarjo.
“Mau kemana?” tanya Sutarjo “Kan sudah waktunya pulang dari sawah, ko
kamu malah menuju sawah?” lanjut Sutarjo bertanya.
“Aku mau mengambil barang yang tertinggal.” lalu perempuan itu perhi
begitu saja dengan meninggalkan sepucik kenangan.
Alam selalu terasa berhenti dan waktu seketika berlalu dengan cepat ketika
lelaki lusuh itu bertemu dengan perempuan pujaannya. Hari itu Sutarjo lalui
dengan rasan gelisah. Namun perempuan itu mampu sedikit meredakan rasa
gelisah lelaki lusuh itu, dan pada sore hari ia sampai di pedukuhan yang
membesarkannya, terlihat orang asing sedang adu mulut dengan pemimpin
pedukuhan dan beberapa pemuda termasuk Adirman. lalu Sutarjo menghampiri
mereka dengan tergesa dan rasa yang sama di benaknya.
“Berhenti semua, tolong tenang.” Teriak Sutarjo dengan lantang “Kalian
siapa?” keheranan sutarjo bertanya.
“Kami orang Belanda, Kami berencana dkan membangun bendungan di hulu
kali pemalii dan menenggelamkan pedukuhan Karangnangka dan pedukuhan
sekitar untuk dijadikan bendungan.” Salah satu dari orang belanda menjawab
dengan bahasa indonesia, entah darimana dia bis aberbahasa indonesia.
“Oh. Kalian orangnya?” Jawab Sutarjo dengan wibawa dan keteguhan
hatinya.
“Ya betul, kami tidak setuju.” Jawab pemimpin pedukuhan disertai keriuhan
warga yang semakin banyak kuantitasnya.
“Mending kalian pergi dari pedukuhan kami ini” Usir Sutarjo.
“Mari kita rundingkan dahulu.” Rayuan antek-antek Belanda itu.
“tak akan pernah ada perundingan, jelas kami menolaknya.” Jawab tegas
pemimpin pedukuhan.
“Oh, oke kalau kalian seperti ini, kami akan memaksa kalian untuk mau
menyetujui keputusan kami.” Jawab antek Belanda itu.
“Asu ko, lunga sekang kene bangsat.” Ceplosan Adirman memaksa mereka
pergi dan terjasilah kerusuhan antara warga dan puluhan antek-antek Belanda.
“Lunga, lunga, lunga” Usir warga memancing emosi antek-antek Belanda.
Saat itu Sutarjo berada di bagian depan barisan dan ia terkena pukul dan akhirnya
sisa hari ia lalui denga penuh kegelapan.

Seminggu berlalu dari kejadian kerusuhan itu, Sutarjo mulai menggarap


sawah Sukanto. Setiap ia bekerja di sawah Sutarjo tina selalu mengantarkan
makanan ketika matahari telah tepat pada titik terpanasnya. Rasa suka sutarjo pun
semakin besar dan tini pun mulai merasa nyaman akan keberadaa n Sutarjo di
Sisinya. apakah ini yang namanya cinta? Hati Tini bergeming.
Sukanto menyadari ada rasa di antara mereka, namun ia diam tak mengucap
kata. Sukanto setuju bila anaknya berjodoh dengan Sutarjo, karena menurutnya
Sutarjo merupakan pemuda yang cocok untuk anaknya. Enah darimana
pemikiranitu berasal, Sukanto pun berencana untuk menjodohkan anaknya dengan
Sutarjo. Sutarjo mau pun Tini telah kehilangan seorang Ibu dari usia mereka
masih dini, hingga mereka tumbuh menjadi orang yang tengguh dan mandiri.
Sutarjo Ismoyono dan Ratini Waranggana memiliki keserasian dan cocok
untuk mendaji pasangan hidup. Ketika malam rumah Sutarjo tiba-tiba di datangi
seorang lelaki tinggi besar bersama ajudannya.
“Assalamualaikum” lelaki tinggi besar itu mengucap salam.
“Waalaikumusalam” Stutarjo enjawab sambil merapikan kain yang
membalutnya.
“Jo.” Peria tinggi besar menjabat tangannya dengan kuat dan dilanjut
ajudannya.
“Iya pak, hendak apa Pak Sukanto mengunjungi rumah saya malam-malam
begini?” Tanya Sutarjo penuh keheranan
“Panggil dulu bapakmu, mari kita omongkan sesuatu.” Suruh Sukanto
“Sebentar saya panggilkan bapak.” Sutarjo pun beranjak memanggil sang
ayahanda tercinta.
“Urusan apa yang mau bapak bincangkan dengan kami?” Ucap Germo.
“Langsung saja pada intinya, aku ingin anakmu menikahi anak saya.” Ucapan
Sukanto membuat Sutarjo terdiam lemas “Untuk waktu secepatnya.” Lanjut
Sukanto.
“Oh, Saya terserah Sutarjo, ya Jo?” Celotehan Germo pada anaknya
Sutarjo tak mungkin menaolak tawaran emas itu. Malam ini berakhir sangat
indah dan Sutarjo pun susah untuk tidur karena ucapan Sukanro yang sangat
frontal pada dirinya.

Seminggu berlalu dari malam indah itu, mereka melaksanakan pernikahan


antara Sutarjo Ismoyono dan Ratini Waranggana. Sutarjo tak pernah segugup ini,
tak pernah setegang ini, menurutnya pertemuan dengan antek-antek Belanda hari
lalu tak ada apa-apanya. Ia duduk besebrangan dengan pria tinggi besar,
dijabatnya tangan Sutarjo dan di letakan pada meja kecil yang memisahkan
mereka berdua.
Lelaki berbadan tinggi besar pun membuka suara “Saya nikahkan engkau,
Sutarjo Ismoyono Bin Germo dengan, putri saya Ratini Waranggana Binti
Ssukanto,denagn mas kawin seperangkat alat salat dan sawah sejumlah tujuh
petak, dibayar tunai”..
“Saaya terima nikah, Ratini Waranggana Binti Sukanto dengan mas kawin
tersebut dibayar tunai.” Jawab Sutarjo.
Sehabis lelaki berpeci menimbang dan bertanya pada saksi, pernikahan
Sutarjo dan Tini pun dinyatakan sah. Sutarjo memperhatikan perempuan di
sebelahnya yang sangat angggun di hari bersejarah ini. Bukanlah rasan yang
membuar perempuan itu menjadi sangat anggun pada pagi hari ini, namun rona
kebahagiaan
yang terpancar melalui wajahnya. Tatapan mereka saling beradu, debaran pada
daa mereka berdua sangatlah kencang, namun hanyalah mereka masing-masing
yang merasakannya. Bibir Sutarjo pun berlandas di kening Tini, dan Tini pun
tersipu malu.
“Aku tak akan pernah meninggalkanmu untuk selamanya.” Bisik perempuan
itu.
“Selamanya terlalu lama, cukup sampai Tuhan mengambil aku dari pelukmu
atau kamu dari pelukmu. Cukup?” Balas Sutarjo.
“Cukup.” Tini berucap terharu entah karena waktu yang menurutnya terlalu
singkat atau entahlah.

Tatapan Tini melekat pada Lelaki yang tidur pulas di sebelahnya. Tangan
lelaki itu merangkulnya, tak ada helai benang nyang memisahkan mereka, kasur
pun porak poranda, badai ekstase telah terjadi malam tadi di sebuah kamar rumah
yang Sukanto siapkan sedari dulu untuk anak semata wayangnya ketika menikah.
Tini pun harus beranjak dari posisi nyamanya, memang ranjang adalah tempat
paling nikmat ketika mereka berdua ada di atasnya. Semerbak harum makanan
membuat Sutarjo terjaga dari tidurnya, lalu ia memakai pakaian sederhananya dan
membereskan kasur akibat perbuatannya dengan Tini semalam.
Tini memasak makanan kesukaan Sutarjo agar lelaki itu dapat bahagia di pagi
hari. Tini benci melihat lelaki itu bersedih maka dari itu Tini akan selalu membuat
Sutarjo bahagia. Sutarjo sangat beruntung dapat memiliki perempuan yang akan
selalu membuatnya bahagia. Perempuan itu pun memanggil Sutarjo agar bergegas
menuju dapur.
Akhirnya makanan telah siap dihidangkan, Tina pun mempersilahkan sutarjo
untuk melahap makanan yang berada di meja makan. Sutarjo memeluk Tini lalu
menyingkirkan makanan itu dan entah untuk keberapa kalinya Ssutarjo
membenamkan bibirnya di bibir Tini, makanan yang dihidangkan dapat
menunggu. Dan dapur pun menjadi saksi badai ekstase lanjutan yang dilakukan
kedua insan yang dimabuk asmara tersebut.

Tiga hari berlalu, di bulan Maret tahun 1929. Belanda menerjunkan ratusan
antek-anteknya untuk membuat masyarakat Karangnangka dan masyarakat
Pedukuhan sekitarnya termasuk pedukuhan Pecikalan. Berita itu pun terdengar
Sutarjo, lalu ia pamit pada pujaan hatinya yang telah hamil beberapa minggu
semenjak mereka bersatu. Antek-antek yang diperintahkan Barend Dedrick
seorang pemimpin mereka, menyisir rumah demi rumah untuk mengumpilkan
para pemuda desa untuk dipekerjakan membangun bendungan.
Keputusan sepihak Belanda menimbulkan kekacauan di pedukuhan-
pedukuhan tersebut. Dikumpulkannya seluruh pemuda di sebuah tanah lapanng di
tengah pedukuhan-pedukuhan itu, termasuk Sutarjo dan Adirman di dalamnya.
Saat situasi semakin memanas terdapat salah satu pemuda yang memberontak
seketika antek Belanda pun menembaknya dibagian kepala.
“Lihat itu, dia masti karena melawan kami, kalian mau nasibnya sama dengan
mereka?’ Ucap Herlod Karel salah satu antek Belanda.
“Belanda Asu.” Teriak Pemuda lainnya lalu ia disiksa sampai tak berdaya
dibuat antek Belanda.
“Sudah Man, kita diam terlebih dahulu, jangan melawan mereka.” Bisik
Sutarjo pada Adirman.
“Iya iya, nanti kita lawan mereka secara halus.” Balas Adirman.
Hari tu pun menjadi hari paling buruk yang dilalui Sutarjo, Adirman dan
seluruh pemuda dari berbagai Pedukuhan Sekitar Karangnangka. Mereka
diperbudak mulai hari itu juga untuk membangun bendungan di hulu sungai
pemali.
Tini yang sedang mengandung anak pertama hasil perbuatannya dengan
Sutarjo malam itu, terlihat sangat setres. Datanglah seorang lelaki, Tini Harap
Sutarjo dan ternyata adalah ayahnya sendiri, lalu memeluknya erat. Lalu Sukanto
menyuruh buah hatinya untuk beristirahat lalu ia membuatkan Tini minum.
“Sudah makan?” sambil menaruh gelas berisikan jamu.
“Belum pak, aku tak enak makan karena memikirkan Sutarjo.” Balas Tini.
“Kamu harus makan demi kesehatan calon anakmu, nanti aku panggilkan
orang untuk menemanimu di sini.” Lelaki itu menawarkan
“Baiklah aku sangat kesepian.” Tini mengamini.
“bapak pergi dulu, untuk menjemput Bibi.” Pamit Sukanto.
Tak berapa lama datanglah seorang perempuan yang akan menemaninya
beberapa hari kedepan atau mungkin sapai kelahiran calon anaknya. Tini sangat
sedih karena ditinggalkan lelaki yang menurutnya melankholis itu. Ia harus tenang
dan dabar juga jangan sampai setres demi kebaikan calon anaknya.

Malam ketiga puluh Sutarjo tak menemani isterinya di istana mereka yang
sederhana. Begitu pun Tini sangat merindukan Sutarjo, ia tak rela bila Sutarjo tak
balik lagi untuk hidup bersamanya. Pernikahan yang masih seumur jagung pun
belum harusnya sedang senang-senangnya. Namun bagi Sutarjo dan Tini tidak.
Bintang ditatap Sutarjo ia dapat melihat Tini di antara taburan cahaya, Namun
tak tak dapat menghapus rindunya pada Tini. Malam ini Sutarjo dan Adirman
bertemu di sebuah tempat di belakang tebing yang cukup dekat dari perkemahan
Belanda dan para pemuda pekerja.
“Man, aku sudah lelah disini, kerja tidak dikasih upah dan anu
menghawatirkan Tini dan calon anak aku. Bagaimana kalau malam ini kita kabur
saja?” Rencana Sutarjo paparkan.
“Gila kamu Jo, bagaimana kita bisa kabur lihat mereka, penjagaannya sangat
ketat.” Ujar Adirman.
“Halah aku tak peduli, asalkan aku bisa bertemu Tini.” Napsu menguasai
Sutarjo
“Lalu bagaimana dengan aku?’ Tanya Adirma “Apakah aku harus ikut
denganmu.” Lanjut adirman menunjukan bahwa dia sahabat sejati bagi Sutarjo.
“Tak usahlah, gini saja jika aku tidak balik ke sini selama satu minggu ke
depan, berarti aku telah tewas di tangan Belanda atau dimakan hewan buas dan
aku akan pergi pulang besok dini hari.” Jelasnya.
“Baiklah jika itu keputusanmu, hati-hati sobat.” Mereka saling berjabat dan
berpelukan saling menenangkan lalu mereka saling meninggalkan.
Smalaman Sutarjo tak tidur ia terus mencari celah untuk kabur menuju
istananya. Ia pun melewati bukit, lembah, sungai, ia tak melewati jalan biasanya
karena takut ketahuan antek-antek Belanda yang akan membunuhnya di tempat.
Fajar pun menujukan wajahnya namun ia masih beristirahat sejenak untuk
mengumpulkan
Fajar pun menujukan wajahnya namun ia masih beristirahat sejenak untuk
mengumpulkan tenaga dan melanjutkan perjalanan. Dilihatnya jalan dan terdapat
beberapa antek Belanda yang berjaga. Tak lama kemudian ia mengambil jalan lain
untukk ia lewati, namun ia terpeleset dan membuat sntek belanda menyadari
bahwa ada seorang lelaki yang hendak kabur. Terdengarlah tembakan peringatan
untuk menyuruh Sutarjo berhenti berlari, dibidiknya Sutarjo dan peluru berhasil
mendarat di tangannya. Sutarjo masih terus berlari dan sembunyilah ia di sebuah
gua yang cukup aman,
Matahari membakar hutan kala sutarjo membersihkan luka bekas tembakan
yang disaratkan antek Belanda. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki
menginjak dedaunan kering dan percakapan orang asing. Sutarjo sesaat terdiam
kala tiga antek Belanda itu berada di pintu masuk gua, lalu memasukinya. Sutarjo
berada di balik batuan gua yang cukup menutupi tubuhnya dari pantauan salah
satu antek tersebut. Jarak antek Belanda semakin dekat dengannya dan ia hanya
bisa terdiam dan hampir putus asa. Tiba-tiba sebuah batuan di langit langit gua
menimpa antek itu dan cukup untuk membuatnya berhenti bernapas. Dua antek
yang menunggu di luar pun memeriksa dan ditemukan temannya telah tewas
dengan kepala pecah, lalu kedua antek tersebut pun pergi meninggalkan
temannya.
Setelah dua antek tersebut pergi lumayan jauh, Sutarjo pun pergi dan
membawa senjata api yang ditinggalkan kedua antek tersebut bersama jasad
temannya. Langkah demi langkah beriringan dengan bau anyir dari darah yang
telah tehenti berkucur. Semangatnya terus membara hingga dilihatnya istana dia
dan pujaan hatinya. Lalu ia bergegas menuju istana itu dan ditemui isteri yang
langsung memeluknya di ruang tengah rumah, Sutarjo tak mengidahkan luka yang
di deritanya, ia langsung membenamkan kembali bibirnya di bibir Tini untuk
pertama kalnya setelah ia lalui panjnagya hari tanpa Tini di sampingnya.
Dari luar terdengar Seorang antek berteriak menyebut nama Sutarjo yang
membawa Adirman, lalu Sutarjo pun memperhatikan mereka dan langsung
mengekekusi antek yang telah menyiksa dahabatnya. Dan Sutarjo keluar rumah
untuk menolong Adirman, namun dia tertangkap oleh antek Belanda dan mereka
langsung di eksekusi di tempat. Tini hanya terdiam dengan hati sehancur-
hancurnya dan air mata mengalir deras-sederasnya.
Hari ini sangat kelam bagi Tini, Germo, dan Sukanto serta keluarga. Kni tini
menjalani hari sebagai janda setelah ditinggal suaminya yang dikubur suaminya
tadi sore hari bresama dengan sahabatnya, Adirman. Hari itu pula ia membenci
bahkan sangat semua tentang Belanda.

Sembilan bulan berlalu dan buah hati pun telah berhenti menjadi benalu
dalam tubuh sang ibu. Ia menamai anak lelaki itu Aswangga Ismoyono, yang
memiliki arti orang yang gesit dengan keteguhan pada dirinya. Anak itu tumbuh
diiringi oleh prmbangunan bendungan yang dibangun oleh warga pedukuhan-
pedukuhan sekitar. Tiga bulan anak itu lahir ke dunia ini, lahir pula bangunan
yang membendung huluu sungai pemali dan mereka dan Seluruh warga
pedukuhan yang di tenggelamkan seperti pedukuhan Karangnangka, Pecikalan,
Mungguhan, Keser Kulon, Kali Garung, Kedung Agung, Soka, dan Karangsempu,
harus angkat kaki dari kediaman mereka dan membangun pedukuhan baru di atas
bukit.
Akhirnya pertengahan tahun 1930 waaduk itu pun terlihat setelah orang
Belanda menamainya waduk Penjalin. Luasnya 1,25 Km persegi dan memiliki
nilai guna sebagai pengairan sawah seluas 20.000 Hektar persegi. Pemuda yang
menjadi budak pun dibunuh dengan cara di tenggelamkan di waduk Penjalin.
Setahun Kemudian telah terbangun Pedukuhan-pedukuhan yang di tengelamkan
dengan wajah yang baru dan tempat yang baru.
Sejarah tak mungkin mereka lupakan begitu saja, anak cucu warga didoktrin
untuk membenci Belanda. Waktu mungkiin menggoreskan luka yang sangat
dalam dan warga pedukuhan-pedukuhan tersebut yang kehilangan keluarganya
hanya bisa bersabar dan mengikhlaskan anggota keluarganya pergi menemui
Tuhan. Mereka harus menjalani hidup denagan tekanan dari Belanda entah
sampai kapan mereka tak tahu. Yang mereka inginkan hanyalah hidup tenag
seperti dahulu kala sebelum Belanda datang dan menghancurkannya. Dan Tini
menatap buah hatinya, kenangan tentang lelaki lusuh itu selalu tinggal
bersamanya. Kini, kejak dari segala jejak hadir di raut wajah makhluk mungil
yang sedang tertidur di pangkuannya. Bukan lagi hal yang perlu diratapi,
melainkan sebagai hal yang wajib disyukuri.


Rifky Yoga Prasetya, biasa disapa “Yoga”, ialah seorang lelaki kelahiran 5
Januari 2002. Akan menyelesaikan pendidikannya di SMA Negeri 1 Bumiayu,
tempat yang menurutnya sebagai tempat yang istimewa. Ia memiliki hobi
fotogeafi dan menciptakan puisi, ia telah menuai hasil dari karyanya yaitu Jura
lomba cipta puisi nasional melalui penilaian Rekam Jejak, yang hadiahnya adalah
liburan ke Singapura, Malaysia, dan Thailan sembari menulis buku bersama Wira
Nagara dan beberapa delapan pemenang lainnya. Karya-karyanya dapat anda lihat
pada instagram @r_prasetya_ dan @r.prasetya_.
Terimakasih pada orang tua, keluarga, kerabat, sahabat, teman-teman, dan
semuanya orang yang saya kenal saya ucap terimakasih.
MASA DEPAN YANG
DITEGGELAMKAN

Oleh :

Nama : Rifky Yoga Prasetya


Nomor absen : 26
Kelas : XII.10

Anda mungkin juga menyukai