Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Metode PICO Dalam Telaah Jurnal


Dalam merumuskan rumusan masalah klinis, dapat dituliskan dengan format
PICO; terdiri atas 4 komponen; yaitu P atau problem/permasalahan pada pasien; I yang
merefleksikan suatu intervensi/indeks/ atau indikator, C merupakan kependekan dari
comparison, dan O atau outcome.
Pertanyaan klinis perlu mendeskripsikan dengan jelas karakteristik pasien
(karakteristik demografis pasien) dan masalah klinis pasien yang dihadapi pada praktik
klinis. Karakteristik pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan dengan eksplisit agar
bukti-bukti yang dicari dari database hasil riset relevan dengan masalah pasien dan dapat
diterapkan, yaitu bukti-bukti yang berasal dari riset yang menggunakan sampel pasien
dengan karakteristik serupa dengan pasien/ populasi pasien yang datang pada
praktikklinik.
Intervention Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi
yang ingin diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining, tes/
alat/ prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi terapi obat, vaksin,
prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan, upaya rehabilitatif, intervensi medis
dan pelayanan kesehatan lainnya. Tetapi intervensi yang dirumuskan dalam pertanyaan
klinis bisa juga merupakan paparan (exposure) suatu faktor yang diduga merupakan
faktor risiko/ etiologi/ kausa yang mempengaruhi terjadinya penyakit/ masalah
kesehataan pada pasien. Intervensi bisa juga merupakan faktor prognostic yang
mempengaruhi terjadinya akibat-akibat penyakit, seperti kematian, komplikasi,
kecacatan, dan sebagainya (bad outcome) pada pasien.
Comparison Pertanyaan klinis perlu pembanding dari intervensi yang diberikan
(misalnya: pembanding computed tomography (CT) yaitu ultrasonografi untuk
mendiagnosis apendisitis pada laki-laki usia 30 tahun dengan nyeri abdomenakut).
Outcome Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis
(clinical outcome). Outcome (patient-oriented outcome) mengacu pada 3 hal yaitu
death/kematian (misalnya: angka kematian ibu dan anak), disability/kecacatan (misalnya:
kebutaan karena retinopati diabetik pada pasien diabetes mellitus), dan
discomfort/ketidaknyamanan (misalnya: nyeri, mual, dan demam).
Suatu karya tulis ilmiah pada umumnya disusun berdasarkan suatu masalah.
Masalah sendiri merupakan kesenjangan antara keinginan dan kenyataan. Masalah-
masalah dalam bidang kedokteran dan kesehatan dapat disusun menjadi suatu
pertanyaanklinis. Pertanyaan klinis yang dibentuk sebaiknya harus memiliki model PICO
sehingga memudahkan peneliti untuk menemukan referensi terbaik bagi karya ilmiahnya.
Pertumbuhan publikasi karya ilmiah belakangan ini terjadi dengan sangat pesat. Publikasi
karya ilmiah dalam jurnal meningkat 2 kali lipat pada tahun 1950 dalam setiap 10 tahun
hingga saat ini meningkat 2 kali lipat hanya dalam 1 tahun. Kondisi ini akan meningkat 2
kali lipat setiap 73 hari pada tahun 2020.
Banyaknya jumlah publikasi ilmiah ini disertai dengan menurunnya beberapa
kualitas terbitan karya ilmiah dengan munculnya jurnal-jurnal yang tidak lagi
sepenuhnya mempertimbangkan kaidah dan etika keilmuan. Kualitas publikasi ilmiah
yang berkurang dan banyaknya jumlah publikasi ilmiah ini akan menyulitkan mahasiswa
yang sedang menyusun skripsi atau tugas akhirnya menemukan referensi skripsi yang
tepat untuk karya ilmiahnya. Metode PICO dapat dengan mudah digunakan untuk
menemukan referensi yang tepat untuk karya ilmiah yang sedang dibuat sangat
menghemat waktu yang dibutuhkan untuk mencarireferensi.

B. Konsep Persalinan
1. Definisi persalinan
Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun
kedalam jalan lahir (Wiknjosastro, 2008). Persalinan adalah fenomena kompleks
menyangkut perubahan fisik, hormonal, dan emosional, yang mungkin akan sangat
berbeda di antara individu wanita (Chapman dan Charles, 2013). Persalinan adalah
rangkaian proses yang berakhir dengan pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu yang
dimuali dengan kontraksi persalinan sejati, yang ditandai oleh perubahan progesif pada
serviks, dan diakhiri dengan kelahiran plasenta (Varney, 2008).
2. Sebab terjadinya persalinan
Apa yang menyebabkan terjadinya persalinan belum diketahui benar, yang ada
hanyalah merupakan teori-teori yang kompleks antara lain dikemukakan faktor-faktor
hormonal, struktur rahim, sirkulasi rahim, pengaruh tekanan pada saraf, dan nutrisi
(Mochtar, 2001).
1) Teori Penurunan Hormon: saat 1-2 minggu sebelum proses melahirkan dimulai,
terjadi penurunan kadar estrogen dan progestron. Progestron bekerja sebagai
penenang otot-otot polos rahim, jika kadar progestron turun akan menyebabkan
tegangnya pembulu darah dan menimbulkan his.
2) Teori Plasenta Menjadi Tua: seiring matangnya usia kehamilan, villi chorialis dalam
plasenta mengalami beberapa perubahan, hal ini menyebabkan turunnya kadar
estrogen dan progestron yang mengakibatkan tegangnya pembuluh darah sehingga
akan menimbulkan kontraksi uterus.
3) Teori Distensi Rahim: otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas
tertentu. Setelah melewati batas tersebut, akhirnya terjadi kontraksi sehingga
pesalinan dapat dimulai.
4) Teori Iritasi Mekanis: di belakang serviks terletak ganglion servikalis (fleksus
frankenhause). Bila ganglion ini digeser dan ditekan, misalnya oleh kepala janin,
akan menimbulkan kontraksi uterus.
5) Induksi partus: partus dapat pula ditimbulkan dengan jalan: Gagang laminaria
dimasukkan dalam kanalis servikalis dengan tujuan merangsang pleksus
Frankenhauser, Amniotomi (pemecahan ketuban), dan Oksitosin drips (pemberian
oksitosin menurut tetesan per infus).
3. Tahap persalinan
Proses persalinan melalui beberapa tahapan, yaitu: tahap pembukaan (kala I)
dimana terjadinya pembukaan serviks dari 0 cm sampai 10 cm, tahap pengeluaran (kala
II) yang dihitung dari pembukaan lengkap sampai dengan bayi lahir, tahap ketiga
disebut kala uri (kala III) dimana terjadi pelepasan plasenta dari dinding rahim sampai
lahirnya plasenta dan tahap keempat (kala IV) dihitung dari lahirnya plasenta sampai 2
jam (Saifuddin, 2002).
4. Faktor yang mempengaruhi persalinan
Tiga faktor utama yang menentukan prognosis persalinan adalah jalan lahir
(passage), janin (passanger), kekuatan (power), dan ada dua faktor lain yang juga sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan asuhan persalinan yaitu faktor posisi dan psikologi
(Sumarah, 2009).
a. Passage (Jalan Lahir)
Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yaitu bagian tulang padat, dasar panggul,
vagina, dan introitus (lubang luar vagina). Meskipun jaringan lunak, kususnya lapisan-
lapisan otot dasar panggul ikut menunjang keluarnya bayi, tetapi panggul ibu jauh lebih
berperan dalam proses persalinan (Sumarah, 2009).
b. Passanger (Janin dan Plasenta)
Passanger atau janin bergerak sepanjang jalan lahir merupakan akibat interaksi
beberapa faktor, yakni ukuran kepala janin, plasenta, letak, sikap, dan posisi janin.
Karena palsenta juga harus melewati jalan lahir, maka ia dianggap juga sebagai bagian
dari passenger yang menyertai janin. Namun palsenta jarang menghambat proses
persalinan pada kehamilan normal.
c. Power (Kekuatan)
Kekuatan terdiri dari kemampuan ibu melakukan kontraksi involunter dan
volunteer secara bersamaan untuk mengeluarkan janin dan plasenta dari uterus.
Kontraksi involunter disebut juga kekuatan primer, menandai dimualinya persalinan.
Apabila serviks dilatasi, usaha volunteer dimuali untuk mendorong, yang disebut
kekuatan sekunder, dimana kekuatan ini memperbesar kekuatan kontraksi involunter.
d. Psikologi
Tingkat kecemasan wanita selama bersalin akan meningkat jika ia tidak
memahami apa yang terjadi pada dirinya atau yang disampaikan kepadanya. Membantu
wanita berpartisipasi sejauh yang diinginkan dalam melahirkan, memenuhi harapan
wanita akan hasil akhir persalinannya, membantu wanita menghemat tenaga,
mengendalikan rasa nyeri merupakan suatu upaya dukungan dalam mengurangi
kecemasan pasien. Dukungan psikologi dari orang-orang terdekat akan membantu
memperlancar proses persalinan yang sedang berlangsung. Tindakan mengupayakan
rasa nyaman dengan menciptakan suasana yang nyaman dalam kamar bersalin, memberi
sentuhan, memberi penenangan nyeri non-farmakologi, memberi analgesia jika
diperlukan dan yang paling penting berada disisi pasien adalah bentuk-bentuk dukungan
psikologi. Dengan kondisi psikologi yang positif proses persalinan akan berjalan lebih
mudah.
e. Penolong
Penolong adalah dokter, bidan yang mengawasi ibu inpartu sebaik-baiknya dan
melihat apakah semua persiapan untuk persalinan sudah dilakukan, memberikan obat
atau melakukan tindakan hanya apabila ada indikasi untuk ibu maupun janin.
5. Persalinan Kala I
Persalinan kala I adalah kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan
nol sampai pembukaan lengkap (Sumarah dkk, 2009). Partus mulai ditandai dengan
keluarnya lendir bercampur darah (bloody show), karena serviks mulai membuka
(dilatasi) dan mendatar (effacement). Darah berasal dari pecahnya pembulu darah kapiler
sekitar kanalis servikalis karena pergeseran ketika serviks mendatar (Mochtar, 2001).
Proses ini berlangsung kurang lebih 18-24 jam, yang terbagi menjadi 2 fase,
yaitu fase laten (8 jam) dari pembukaan 0 cm sampai pembukaan 3 cm, dan fase aktif (7
jam) dari pembukaan 3 cm sampai pembukaan 10 cm. Dalam fase aktif masih dibagi
menjadi 3 fase lagi yaitu: fase akselerasi, dimana dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm
menjadi 4 cm, fase dilatasi maksimal, yakni dalam wakti 2 jam pembukaan berlangsung
sangat cepat, dari pembukaan 4 cm menjadi 9 cm, dan fase deserasi, dimana pembukaan
menjadi lambat kembali. Dalam waktu 2 jam pembukaan 9 cm menjadi 10 cm.
Kontraksi menjadi lebih kuat dan lebih sering pada face aktif (Sumarah, 2009).
Fase-fase yang dikemukaan di atas dijumpai pada primigravida. Bedanya
dengan multigravida ialah pada primi serviks mendatar (effacement) dulu baru dilatasi
dan berlangsung 13-14 jam sedangkan pada multi serviks mendatar dan membuka bisa
bersamaan dan berlangsung 6-7 jam (Mochtar, 2001).

C. Konsep Nyeri Persalinan


1. Nyeri Persalinan
Nyeri persalinan merupakan pengalaman subjektif tentang sensasi fisik yang
terkait dengan kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks, serta penurunan janin
selama persalinan. Respon fisiologis terhadap nyeri meliputi peningkatan tekanan darah,
denyut nadi, pernapasan, keringat, diameter pupil, dan ketegangan otot (Arifin, 2008).
Nyeri persalinan ditandai dengan adanya kontraksi rahim, kontraksi sebenarnya telah
terjadi pada minggu ke-30 kehamilan yang disebut kontraksi Braxton hicks akibat
perubahan-perubahan dari hormon estrogen dan progesteron tetapi sifatnya tidak teratur,
tidak nyeri dan kekuatan kontraksinya sebesar 5 mmHg, dan kekuatan kontraksi Braxton
hicks ini akan menjadi kekuatan his dalam persalinan dan sifatnya teratur. Kadang kala
tampak keluarnya cairan ketuban yang biasanya pecah menjelang pembukaan lengkap,
tetapi dapat juga keluar sebelum proses persalinan. Dengan pecahnya ketuban diharapkan
persalinan dapat berlangsung dalam waktu 24 jam (Gadysa, 2009).
Gambar 1. Lokasi Nyeri Persalinan

2. Etiologi Nyeri Dalam Persalinan


Selama persalinan kala satu, nyeri terutama dialami karena rangsangan
nosiseptor dalam adneksa, uterus, dan ligamen pelvis. Banyak penelitian yang
mendukung bahwa nyeri persalinan kala I adalah akibat dilatasi serviks dan segmen
uterus bawah, dengan distensi lanjut, peregangan, dan trauma pada serat otot dan
ligamen yang menyokong struktur ini. Bonica dan McDonald, (1995), menyatakan
bahwa faktor berikut mendukung teori tersebut :
1. Peregangan otot polos telah ditunjukkan menjadi rangsang pada nyeri viseral.
Intensitas nyeri yang dialami pada kontraksi dikaitkan dengan derajat dan
kecepatan dilatasi serviks dan segmen uterus bawah.
2. Intensitas dan waktu nyeri dikaitkan dengan terbentuknya tekanan intrauterin yang
menambah dilatasi struktur tersebut. Pada awal persalinan, terdapat pembentukan
tekanan perlahan, dan nyeri dirasakan kira-kira 20 detik setelah mulainya
kontraksi uterus. Pada persalinan selanjutnya, terdapat pembentukan tekanan lebih
cepat yang mengakibatkan waktu kelambatan minimal sebelum adanya persepsi
nyeri.
3. Ketika serviks dilatasi cepat pada wanita yang tidak melahirkan, mereka
mengalami nyeri serupa dengan yang dirasakan selama kontraksi uterus.
4. Rangsangan persalinan kala I ditransmisikan dari serat eferen melalui pleksus
hipogastrik superior, inferior, dan tengah, rantai simpatik torakal bawah, dan
lumbal, ke ganglia akar saraf posterior pada T10 sampai L1. Nyeri dapat
disebarkan dari area pelvis ke umbilikus, paha atas, dan area midsakral. Pada
penurunan janin, biasanya pada kala II, rangsangan ditransmisikan melalui saraf
pudendal melalui pleksus sakral ke ganglia akar saraf posterior pada S2 sampai
S4 (Patree, 2007).
Nyeri pada tahap I persalinan timbul dari uterus dan adnexa saat berkontraksi,
dan hal itu adalah nyeri viseral yang alami. Beberapa kemungkinan mekanisme yang
menjelaskan hal ini yaitu: nosiseptif yang berasal dari uterus telah diajukan namun
pengamatan saat ini bahwa nyeri itu lebih banyak dihasilkan akibat dilatasi serviks dan
segmen bawah uterus, dan mekanisme distensi sesudahnya. Intensitas nyeri berhubungan
dengan kekuatan kontraksi dan tekanan yang dihasilkan uterus yang akan melawan
obstruksi yang terjadi, serviks dan perineum mungkin juga berperan terhadap terjadinya
nyeri. Beberapa nosiseptik kemudian berperan dalam terjadinya nyeri, yaitu bradikinin,
leokotrin, prostaglandin, serotonin, asam laktat, dan substan P. Bukti yang mendukung
tentang nosiseptik yang berasal dari uterus didasarkan pada penelitian, hal ini telah
ditinjau kembali secara mendetail oleh Bonica (Idmgarut, 2009).

3. Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya adalah :
a) Arti nyeri
Arti nyeri bagi individu memiliki banyak perbedaan dan hamper sebagian arti
nyeri tersebut merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan, merusak dan lain-
lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar
belakang social cultural, lingkungan, dan pengalaman.
b) Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian sangat subjektif, tempatnya pada korteks
(pada fungsi evaluative secara kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh factor yang dapat
memicu stimulasi nociceptor.
c) Toleransi nyeri
Toleransi ini erat hubungannya dengan adanya intensitas nyeri yang dapat
mempengaruhi seseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan
toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-obatan, hipnotis, gesekan atau garukan,
pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat, dan lain-lain. Sedangkan faktor yng
menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tidak
kunjung hilang, sakit, dan lain-lain.
d) Reaksi terhadap nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang terhadap nyeri,
seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit. Semua ini merupakan bentuk
respons nyeri yang dapat di pengaruhi oleh beberapa factor, seperti : arti nyeri, tingkat
persepsi nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik dan
mental, takut, cemas, usia, dan lain-lain (Hidayat, 2008).
4. Nyeri Persalinan Kala I
Pada persalinan kala I sebelum atau sesudah terjadi kontraksi, sering kali
muncul lendir bercampur darah yang keluar dari vagina sebagai tanda persalinan, hal ini
disebabkan oleh karena terlepasnya sumbatan pelindung pada leher rahim, karena servik
mulai membuka dan mendatar sedangkan darah itu berasal dari pembuluh darah kapiler
yang berada disekitar Kanalis Servikalis yang peka akibat pergesaran yang terjadi
sewaktu serviks membuka (Prawirohardjo, 2002).
Persalinan kala I ditetapkan sebagai tahap yang berlangsung sejak rahim
kontraksi teratur sampai dilatasi serviks lengkap. Pada umumnya kaitan persalinan sulit
ditentukan, tahap pertama biasanya berlangsung jauh dari pada waktu yang di perlukan
untuk tahap kedua dan ketiga. Tahap pertama persalinan dibagi menjadi tiga bagian yaitu
fase laten, fase aktif, dan fase transisi. Fase laten dimulai saat kontraksi yang teratur dan
ditunjukkan dengan pembukaan serviks yang sangat lambat sampai mencapai ukuran
diameter 3 sampai 4 cm, dangan lamanya pada primipara 4 sampai 6 jam tetapi tidak
lebih 20 jam, sedangkan untuk multipara sekitar 4 jam tapi tidak lebih 14 jam. Kontraksi
rahim terjadi selama fase laten dengan peningkatan frekuensi, durasi dan intensitas
kontraksi. Kontraksi pada rahim berlangsung dari kontraksi ringan dengan lamanya 15
sampai 30 detik, dan berkembang menjadi nyeri sedang dengan lama kontraksi 30 sampai
40 detik dan frekuensi setiap 5 sampai 7 menit.
Rasa nyeri pada persalinan kala I disebabkan oleh munculnya kontraksi otot-
otot uterus, hipoksia dari otot-otot yang mengalami kontraksi, peregangan serviks pada
waktu membuka, iskemia korpus uteri, dan peregangan segmen bawah rahim. Selama
kala I, kontraksi uterus yang menimbulkan dilatasi serviks dan iskemia uteri. Impuls nyeri
selama kala I ditranmisikan oleh segmen saraf spinal dan asesoris thorasic bawah
simpatis lumbaris. Nervus ini berasal dari uterus dan serviks. Ketidaknyamanan dari
perubahan serviks dan iskemia uterus adalah nyeri visceral yang berlokasi di bawah
abdomen menyebar ke daerah lumbal belakang dan paha bagian dalam. Biasanya wanita
merasakan nyeri pada saat kontraksi saja dan bebas dari nyeri selama relaksasi. Nyeri
bersifat lokal seperti sensasi kram, sensasi sobek, dan sensasi panas yang disebabkan
karena distensi dan laserasi servik, vagina dan jaringan perineum. Selama fase aktif,
seviks berdilatasi (Bobak, 2004).
Rasa nyeri pada persalinan kala I terjadi karena aktivitas besar di dalam tubuh
guna mengeluarkan bayi. Persalinan diartikan sebagai peregangan pelebaran mulut rahim.
Kejadian itu terjadi ketika otot-otot rahim berkontraksi untuk mendorong bayi keluar.
Otot-otot rahim menegang selama kontraksi. Bersamaan dengan setiap kontraksi,
kandung kemih, rektum, tulang belakang, dan tulang pubic menerima tekanan kuat dari
rahim. Berat dari kepala bayi ketika bergerak ke bawah saluran lahir juga menyebabkan
tekanan. Rasa sakit kontraksi dimulai dari bagian bawah punggung, kemudian menyebar
ke bagian bawah perut mugkin juga menyebar ke kaki. Rasa sakit dimulai seperti sedikit
tertusuk, lalu mencapai puncak, kemudian menghilang seluruhnya (Danuatmadja dan
Meiliasari, 2004).
Pada awal persalinan, kontraksi mungkin terasa seperti nyeri punggung bawah
yang biasa atau kram saat haid. Kontraksi awal ini biasanya berlangsung singkat dan
lemah. Datangnya kira-kira setiap 15-20 menit. Namun, beberapa persalinan dimulai
dengan kontraksi-kontraksi kuat yang lebih dekat jarak waktunya. Banyak wanita yang
awalnya merasa sakit di bagian punggung mereka, yang kemudian merambat ke bagian
depan. Bila kontraksi-kontraksi terus datang, tetapi hanya berlangsung kurang dari 30
detik, atau jika tidak begitu kuat, dan jika tidak berdekatan waktunya, berarti masih
dalam tahap pra persalinan atau memasuki persalinan awal. Dalam persalinan sejati,
kontraksi akan bertambah kuat, panjang, dan makin berdekatan waktunya
(Simkin.,Walley.,dan Keppler, 2008).
Masa kala I pada ibu primigravida terjadi sekitar 13 jam sedangkan pada ibu
multigravida sekitar 7 jam. Kala pertama selesai apabila pembukaan serviks lengkap.
Intensitas kontraksi uterus meningkat sampai kala pertama dan frekuensi menjadi 2
sampai 4 kontraksi dalam 5 sampai 10 menit, juga lamanya his meningkat mulai dari 20
detik pada awal partus ibu sampai mencapai 60 sampai 90 detik pada kala pertama
(Prawirohardjo, 2002).
5. Skala Nyeri
Menurut Potter& Perry (2005) terdapat beberapa skala nyeri yang dapat
digunakan untuk menghitung tingkat nyeri antara lain:
1) Verbal Descriptor Scale (VDS)
Skala pendeskripsi verbal merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai
lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis.
Pendeskripsin ini diurutkan dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahan”.
Perawat menunjukkan klien tentang skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri terbaru yang dirasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh terasa
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah katagori untuk mendeskripsikan rasa nyeri.
2) Visual Analog Scale (VAS)
VAS merupakan sebuah garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus. Skala ini memberikaan kebebasan penuh pada klien untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena
klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu
kata.Penjelasan tentang intensitas digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Visual Analog Scale (VAS)

Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri pasa skala 1
ampai 3, rasa nyeri seperti gatal atau tersetrum atau nyut-nyutan atau melilit atau terpukul
atau perih atau mules. Intensitas nyeri skala 4 sampai 6, seperti kram atau kaku atau
tertekan atau sulit bergerak atau terbakar atau ditusuk-tusuk. Sangat nyeri pada skala 7
sampai 9 tetapi masih dapat di kontror oleh klien. Intensitas nyeri sangat berat pada skala
nyeri tidak terkontrol.
3) Skala Nyeri Oucher
Skala nyeri Oucher merupakan salah satu alat untuk mengukur intensitas nyeri
pada anak, terdiri dari dua skala yang terpisah, yaitu sebuah skala dengan nilai 0-100
pada sisi sebelah kiri untuk anak-anak yang lebih besar dan skala fotografik dengan enam
gambar pada sisi kanan untuk anak-anak yang lebih kecil.

Gambar 3. Skala Nyeri Oucher

1) Wong-Baker FACES Pain Rating Scale


Skala ini terdiri dari lima wajah dengan profil kartu yang menggambarkan
wajah dari wajah yang sedang tersenyum hal ini menunjukkan tidak adanya nyeri
kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat
sedih, sampai wajah yang sangat ketakutan hal ini menunjukkan adanya nyeri yang
sangat.

Gambar 4. Wong-Baker FACES Pain Rating Scale


Angka 0 menunjukkan sangat bahagia sebab tidak ada rasa sakit, angka 1
manunjukkan sedikit menyakitkan, angka 2 manunjukkan lebih manyakitkan, angka 3
manunjukkan lebih menyakitkan lagi, angka 4 menunjukkan jauh lebih menyakitkan dan
angka 5 menunjukkan benar-benar menyakitkan.
4) Numerik Rating Scale (NRS)

NRS digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan nyeri dan memberi
kebebasan penuh klien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. NRS merupakan skala
nyeri yang populer dan lebih banyak digunakan di klinik, khususnya pada kondisi akut,
mengukur intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik, mudah digunakan
dan didokumentasikan.

Gambar 5. Numerik Rating Scale (NRS)

Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri ringan pada skala 1
sampai 3rasa nyeri mulai terasa dan masih dapat ditahan, intensitas nyeri sedang pada
skala 4 sampai 6 rasa nyeri terasa mengganggu dengan usaha yang cukup untuk
menahannya, intensitas nyeri berat pada skala 7 sampai 10 nyeri terasa sangat
mangganggu / tidak tertahankan sehingga harus meringis, menjerit bahkan berteriak. Cara
menggunakan skala ini adalah: berikan salah satu angka sesuai dengan intensitas nyeri.

6. Penatalaksanaan Nyeri
Pada umumnya untuk mengatasi nyeri selama persalinan digunakan
farmakologis yaitu dangan menggunakan obat-obatan yang dapat mengurangi nyeri dan
cara nonfarmakologis atau tanpa obat. Cara farmakologi adalah dengan pemberian obat-
obatan analgesik yang bisa disuntikan, melalui infus int ra vena yaitu syaraf yang
mengantar nyeri selama persalinan. Tindakan farmakologis masih menimbulkan
pertentangan karena pemberian obat selama persalinan dapat menembus sawar plasenta,
sehingga dapat berefek pada aktifitas rahim. Efek obat yang diberikan kepada ibu
terhadap bayi dapat secara langsung maupun tidak langsung ( Kinney, 2002).
Metode pengontrolan nyeri secara nonfarmakologi sangat penting karena tidak
membahayakan bagi ibu maupun janin, tidak memperlambat persalinan jika diberikan
kontrol nyeri yang kuat, dan tidak mempunyai efek alergi maupun efek obat. Metoda
nonfarmakologi dibagi menjadi tiga komponen yang saling berinteraksi sehingga
mempengaruhi respon terhadap nyeri menurut Melzack, yaitu strategi motivasi-afektif
(interpretasi setral dari pesan yang berada diotak yang dipengaruhi oleh perasaan,
memori, pengalaman dan kultur seseorang), kognitif-evaluatif (interpretasi dari pesan
nyeri yang dipengaruhi oleh pengetahuan, perhatian seseorang, penggunaan strategi
kognitif dan evaluasi kognitif dari situasi) dan sensori-dikriminatif (pemberitahuan
informasi keotak menurut sensasi fisik) (Gadysa, 2009).

D. Konsep Aromaterapi
1. Definisi Aromaterapi
Aromaterapi merupakan bagian dari sekian banyak metode pengobatan alami yang
telah dipergunakan sejak berabad-abat. Aromaterapi bersal dari kata aroma yang berarti
harum dan wangi, dan terapi yang dapat diartikan sebagai cara pengobatan atau
penyembuhan. Sehingga aromaterapi dapat diartikan sebagai satu cara perawatan tubuh dan
penyembuhan penyakit dengan menggunakan minyak esensial. (Jaelani, 2009).
Aromaterapi menggunakan minyak lavender dipercaya dapat memberikan efek relaksasi
bagi saraf dan otot-otot yang tegang (carminative) setalah lelah beraktivitas. (Dewi, 2013)

2. Bunga Lavender
Bunga lavender memiliki 25-30 spesies, beberapa diantaranya adalah lavandula
angustifiola, lavandula lattifolia, lavandula stoechas (Fam. Lamiaceac). Asal tumbuhan ini
adalah dari wilayah selatan Laut Tengah sampai Afrika tropis dan ke timur sampai India.
Lavender juga menyebar di Kepulauan Kanari, Afrika Utara dan Timur, Eropa Selatan dan
Mediterania, Arabia, dan India (Dewi, 2013).
Nama Lavender berasal dari bahasa Latin “lavera” yang berarti menyegarkan dan
orang-orang Roma telah memakainya sebagai parfum dan minyak mandi sejak zaman
dahulu. Manfaat bunga lavender adalah dapat dijadikan minyak esensial yang sering
dipakai sebagai aromaterapi karena dapat memberikan manfaat relaksasi dan memiliki efek
sedasi yang sangat membantu pada orang yang mengalami insomnia (Dewi, 2013).
3. Zat Yang Terkandung Pada Minyak Lavender
Minyak Lavender memiliki banyak potensi karena terdiri atas beberapa kandungan.
Menurut penelitian, dalam 100 gram bunga lavender tersusun atas beberapa kandungan,
seperti: minyak esensial (1-3%), alpha-pinene (0,22%), camphene (0,06%), beta-
myrcene (5,33%), p-cymene (0,3%), limonene (1,06%), cineol (0,51%), linalool
(26,12%),borneol (1,21%), terpinen-4-ol (4,64%), linalyl acetate (26,32%) , geranyl
acetate (2,14%), dan caryophyllene (7,55%). Berdasarkan data diatas, dapat disimpulkan
bahwa kandungan utama dari bunga lavender adalah linalyl asetat dan linalool (C10H18O).
(Mclain DE, 2009).
Diteliti efek dari tiap kandungan bunga lavender untuk mencari tahu zat mana yang
memiliki efek anti-anxiety (efek anti cemas/relaksasi) menggunakan Geller conflict test
dan Vogel conflict test. Linalool, yang juga merupakan kandungan utama lavender,
memberikan hasil yang signifikan pada kedua tes. Dapat dikatakan linalool adalah
kandungan aktif utama yang berperan pada efek anti cemas (relaksasi) pada lavender.
(Mclain DE, 2009).

4. Kerja Ekstrak Lavender Sebagai Media Relaksasi


Indra penciuman memiliki peran yang sangat penting, dalam sehari kita bisa mencium
lebih kurang 23,040 kali. Bau-bauan dapat memberikan peringatan pada kita akan adanya
bahaya dan juga dapat memberikan efek menenangkan(relaksasi). Tubuh dikatakan dalam
keadaan relaksasi adalah apabila otot-otot ditubuh kita dalam keadaan tidak tegang.
(Buckle J, 2001).
Minyak Lavender terdapat kandungan linalil dan linalol yang dihirup masuk ke hidung
ditangkap oleh bulbus olfactory kemudian melalui traktus olfaktorius yang bercabang
menjadi dua, yaitu sisi lateral dan medial. Pada sisi lateral, traktus ini bersinap pada neuron
ketiga di amigdala, girus semilunaris, dan girus ambiens yang merupakan bagian dari
limbik. Jalur sisi medial juga berakhir pada sistem limbik. Limbik merupakan bagian dari
otak yang berbentuk seperti huruf C sebagai tempat pusat memori, suasana hati, dan
intelektualitas berada. Bagian dari limbik yaitu amigdala bertanggung jawab atas respon
emosi kita terhadap aroma. Hipocampus bertanggung jawab atas memori dan pengenalan
terhadap bau juga tempat bahan kimia pada aromaterapi merangsang gudang-gudang
penyimpanan memori otak kita terhadap pengenalan bau-bauan. Oleh karena itu, bau yang
menyenangkan akan menciptakan perasaan tenang dan senang sehingga dapat mengurangi
kecemasan. Selain itu, setelah ke limbik aromaterapi menstimulasi pengeluaran enkefalin
atau endorfin pada kelenjar hipothalamus, PAG dan medula rostral ventromedial. Enkefalin
merangsang daerah di otak yang disebut raphe nucleus untuk mensekresi serotonin
sehingga menimbulkan efek rileks, tenang dan menurunkan kecemasan. Serotonin juga
bekerja sebagai neuromodulator untuk menghambat informasi nosiseptif dalam medula
spinalis. Neuromodulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan cara menempati
reseptor di kornu dorsalis sehingga menghambat pelepasan substansi P. Penghambatan
substansi P akan membuat impuls nyeri tidak dapat melalui neuron proyeksi, sehingga
tidak dapat diteruskan pada proses yang lebih tinggi di kortek somatosensoris dan
transisional (Hutasoit dalam Karlina, dkk, 2015).
Minyak lavender adalah salah satu aromaterapi yang terkenal memiliki efek
menenangkan. Penelitian yang dilakukan terhadap manusia mengenai efek aromaterapi
lavender untuk relaksasi, kecemasan, mood, dan kewaspadaan pada aktivitas EEG (Electro
Enchepalo Gram) menunjukkan terjadinya penurunan kecemasan, perbaikan mood, dan
terjadi peningkatan kekuatan gelombang alpha dan beta pada EEG yang menunjukkan
peningkatan relaksasi. Didapatkan pula hasil yaitu terjadi peningkatan secara signifikan
dari kekuatan gelombang alpha di daerah frontal, yang menunjukkan terjadinya
peningkatan rasa kantuk. (Yamada,et al, 2005).

5. Manfaat Aromaterapi Lavender


Lavender secara tradisional diduga memiliki berbagai sifat terapeutik dan kuratif, mulai
dari mengurangi stress. Ada bukti yang berkembang yang menunjukkan bahwa minyak
lavender bisa menjadi obat yang efektif dalam pengobatan beberapa gangguan neurologis.
Minyak lavender adalah salah satu aromaterapi yang terkenal memiliki efek sedatif,
hypnotic, dan anti-neurodepresive pada manusia. Karena minyak lavender dapat memberi
rasa tenang, sehingga dapat digunakan sebagai manajemen stres. Kandungan utama dalam
minyak lavender adalah linalool asetat yang mampu mengendorkan dan melemaskan
sistem kerja urat-urat syaraf dan otot-otot yang tegang (Yamada, et al, 2005). Selain itu,
beberapa tetes minyak lavender dapat membantu menanggulangi insomnia, memperbaiki
mood seseorang, menurunkan tingkat kecemasan, meningkatkan tingkat kewaspadaan, dan
tentunya dapat memberikan efek relaksasi. (Dewi, 2013).
Lavender merupakan salah satu jenis aromaterapi. Aromaterapi lavender menurut
Tarsikah dalam Susilarini (2017) merupakan salah satu minyak esensial analgesik yang
mengandung 8% terpena dan 6% keton. Monoterpena merupakan jenis senyawa terpena
yang paling sering ditemukan dalam minyak atsiri tanaman. Pada aplikasi medis
monoterpena digunakan sebagai sedatif. Minyak lavender juga mengandung 30-50% linalil
asetat. Linalil asetat merupakan senyawa ester yang terbentuk melalui penggabungan asam
organik dan alkohol. Ester sangat berguna untuk menormalkan keadaan emosi serta
keadaan tubuh yang tidak seimbang, dan juga memiliki khasiat sebagai penenang serta
tonikum, khususnya pada sistem saraf. Wangi yang dihasilkan aromaterapi lavender akan
menstimulasi talamus untu mengeluarkan enkefalin, berfungsi sebagai penghilang rasa
sakit alami. Enkefalin merupakan neuromodulator yang berfungsi untuk menghambat nyeri
fisiologi.
Penelitian yang dilakukan oleh Jeffrey J. Gedney, Psyd., Toni L. Glover, MA., RN.,
dan Roger B, Fillingim, PhD. dengan judul “Sensory and Affective Pain Discrimination
After Inhalation of Esensial Oils”. Metode penelitian yang digunakan adalah randomized
crossover design dengan melakukan penelitian 26 orang sehat, tidak merokok, dan tidak
dalam pengobatan (13 laki-laki dan 13 wanita belum menopause). Dalam studi ini
didemonstrasikan bahwa inhalasi dari minyak esensial lavender dan rosemary tidak
menemukan hasil adanya efek analgesik. Tetapi evaluasi subjek secara retrospektif dari
pengaruh aroma terhadap perubahan intensitas nyeri dan nyeri yang tidak mengenakkan
menunjukkan mereka memperoleh manfaat yang menguntungkan, khususnya untuk
lavender. Jadi dalam evaluasi klinis secara retrospektif tentang efektivitas treatment,
aromaterapi dapat menimbulkan perubahan hubungan klinis pada laporan pasien mengenai
rasa nyeri. Oleh karena itu kecenderungan efek samping yang diperoleh dari penelitian ini
adalah bahwa aroma terapi dapat membantu dalam terapi yang berhubungan dengan nyeri
dan adanya kerusakan jaringan (Dewi, 2013).
Menurut hasil dari beberapa jurnal penelitian, didapatkan kesimpulan bahwa minyak
esensial dari bunga lavender dapat memberikan manfaat relaksasi (carminative), sedatif,
mengurangi tingkat kecemasan, dan mampu memperbaiki mood seseorang. (Dewi, 2013).
Dapus

Buckle J. 2001. Aromatherapy and Diabetes. Diabetes Spectrum. 4(3): 124-126


Dewi, IGA. 2013. Aromaterapi Lavender Sebagai Media Relaksasi. Farmasi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. 2(1): 21-53
Karlina, Reksohusodo, Widayati. 2015. Pengaruh Pemberian Aromaterapi Lavender secara
Inhalasi terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Persalinan Fisiologis pada Primipara
Inpartu Kala Satu Fase Aktif di BPM “Fetty Fathiyah” Kota Mataram. Universitas
Brawijaya. 2(2): 108-119
Mander, Rosemary. 2004. Nyeri Persalinan. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC
Mclain DE. 2009. Chronic Health Effect Assessment of Spike Lavender Oil. Walker Doney and
Associates. 1-18
Mochtar.1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta: EGC
Mochtar, Rustam. 2001. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Murray, Michelle dan Gayle M. Hueslsmann. 2013. Persalinan dan Melahirkan Praktik
Berbasis Bukti. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Saifuddin, AB. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Sumarah.2009. Perawatan IbuBersalin : Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin. Yogyakarta :
Fitramaya
Wiknjosastro, H. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: PT.Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2008.
Yamada K, Mimaki Y, Sashida Y, 2005. Effect Inhaling of the Vapor of Lavandula burnatii super-
Derrived Esensial Oil and Linalool on Plasma Adrenocorticotropin Hormone (ACTH),
Catecholamine and Gonadotropin Level in Experimental Menopausal Female Rats.
Pharmaceutical Society of Japan. 28(2): 1-18

Anda mungkin juga menyukai