Anda di halaman 1dari 6

Ringkasan Bank Syariah

Kelompok 4 Bab 7
Istishna
A. Pengertian Istisna
Transaksi istishna’ ini hukumnya boleh (jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat
muslim sejak awal masa tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya. Dalam fatwa
DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli, mustahi’) dan penjual (pembuat, shani’)
Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan pula
seperti transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah di
mana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayar cicilan, dalam jual beli
istishna’ barang diserahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama di bayar secara
cicilan.
Dengan demikian, metode pembayaran pada jual beli murabahah muajjal sama pesis
dengan metode pembayaran dalam jual beli istishna’, yakni sama-sama dengan sistem
angsuran(installment). Satu-satunya hal yang membedakan antara keduanya adalah
waktu penyerahan barangnya. Dalam murabahah muajjal, barang di serahkan di muka,
sedangkan dalam istishna’ barang di serahkan di belakang, yakni pada akhir periode
pembiayaan. Hal ini terjadi, karena biasanya barangnya belum di buat/belum wujud.[1]
Seperti halnya praktik salaam, secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna’ dalam
perbankan syariah cenderung dilakukan dalam format istishna’ paralel. Hal ini dapat di
pahami karena pertama, kegiatan istishna’ oleh bank syariah merupakan akibat dari
adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua bank syariah bukanlah
produsen dari barang dimaksud. Secara umum tahapan praktik istishna’ (dan istishna’
paralel) di perbankan syariah adalah sama dengan tahapan praktik salam. Perbedaannya
terletak pada car pembayaran yang tidak di lakukan secara sekaligus, tetapi dilakukan
secara bertahap (angsuran).
Akad istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu. Istishna’ dapat dilakukan langsung
antara dua belah pihak antara pemesan atau penjual seperti atau melalui perantara. Jika
dilakukan melalui perantara maka akad disebut dengan akad istishna’ paralel.
Dari hasil telaahan atas Standar Operasi Prosedur produk istisna’, terdapat beberapa hal
yang dapat di cermati lebih jauh, yaitu :
1. Secara umum pemahaman bank syariah terhadap akad istishna’ adalah berkaitan
dengan pembelian suatu benda yang memiliki nilai besar dan di produksi secara
bertahap, misalnya, bangunan, pesawat terbang, dan sebagainya.
2. Sama halnya dengan praktik salam, praktik akad istishna’ di bank syariah
hampir selalu dilakukan dalam format istishna’ paralel. Dengan demikian
praktik istishna’ di perbankan syariah lebih terorientasi pada upaya pencarian
marjin antara harga akad I dan akad II.
3. Sama halnya dengan praktik salam, praktik istishna’ di industri perbankan
syariah lebih mencerminkan kegiatan utang piutang (penyediaan dana) dari pada
kegiatan jual beli. Implikasinya adalah pengakuan piutang istishna’ lebih
mencerminkan piutang uang (sebagai akibat kegiatan penyediaan dana) dari
pada piutang barang (sebagai akibat kegiatan penyediaan dana) dari pada
piutang barang (sebagai akibat kegiatan jual beli)

B. Rukun dan Syarat Istisna


Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu:
1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan
memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang
pesanan.
2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga
(tsaman), dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qobul.[3]
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i istishna’ juga mengharuskan
tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan
di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
1. Modal transaksi ba’i istishna’
a. Modal harus di ketahui
b. Penerimaan pembayaran salam
2. Al-muslam fiihi (barang)
a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
b. Harus bisa di identifikasi secara jelas
c. Penyerahan barang harus di lakukan di kemudian hari
d. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada
suatu waktu kemudian, tetapi madzhab syafi’i
e. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk
penyerahan barang
f. Tempat penyerahanpenggantian muslam fiihi dengan barang lain
C. Dasar Hukum Istisna
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i di atas petunjuk Al-
Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin:
1. Al-qur’an
  ‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّبا‬
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah:
275)”
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap
perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang
kuat dan shahih.
2. As-sunnah
 ‫ب إِلَى ْال َع َج ِم فَقِي َل لَهُ إِ َّن ْال َع َج َم الَيَ ْقبَلُونَ إِالَّ ِكتَابًا َعلَ ْي ِه‬
َ ُ‫ى هَّللا ِ ص َكانَأ َ َرا َد أَ ْن يَ ْكت‬
َّ ِ‫س رضي هللا عنه أَ َّن نَب‬ ٍ َ‫َع ْنأَن‬
‫ رواه مسلم‬.‫ض ِه فِى يَ ِد ِه‬ ِ ‫ َكأَنِّى أَ ْنظُ ُر إِلَى بَيَا‬:‫قَا َل‬.‫ض ٍة‬ َّ ِ‫ فَاصْ طَنَ َع خَاتَ ًما ِم ْنف‬.‫خَ اتِ ٌم‬
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab,
lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat
yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar
ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-
akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim). Perbuatan nabi ini menjadi buktinya tabah wa akad istishna' adalah akad
yang dibolehkan.
3. Al-Ijma’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah
bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau
ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
melarangnya.
Hakikat Akad Istisna
Menurut Madzhab Hanafi Bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena
bertentangan dengan Bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi
bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan
dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiki penjual. Meskipun
demikian, Madzhab Hanafi menyetujui kontrak Istishna, dengan alasan
menganggap baik dan perlu untuk kepentingan umat terhadapnya.
Para ahli fiqih malikiah, Syi’ah dan Hanbali mengqiaskan Bai’ al-istishna’ dengan
Bai’ As-salam karena dalam keduanya barang yang dipesan belum berada ditangan
penjual manakala kontrak ditandatangani.

D. Ruang Lingkup Istisna


Pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang
melakukan transaksi istishna ' baik sebagai penjual maupun pembeli.
Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:
1. Perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Lembaga keuangan syariah nonbank seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan
dana pensiun; dan
3. Lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan perundang- undangan
yang berlaku untuk menjalankan transaksi istishna’.
Selanjutnya dalam konteks pengaturan dalam Pernyataan ini istilah entitas akan
digunakan dalam pengertian meliputi lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah.
Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah
(sukuk) yang menggunakan akad istishna'.
E. Perbedaan Istisna dan Salam
Istishna’ mirip dengan salam, namun ada beberapa perbedaan di antara keduanya,
antara lain:
1. Objek istisna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa
untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi
lebih dahulu.
2. Harga dalam akad salam harus dibayar penuh dimuka, sedangkan harga dalam
akad istishna’ tidak harus dibayar penuh dimuka melainkan dapat juga dicicil atau
dibayar dibelakang.
3. Akad salam efektif tidak dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai
memeproduksi.
4. Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian, namun akad istishna’ tidak
merupakan keharusan.
Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istisna’, pembeli
dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti bahwa jika perusahaan
terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang dan membayar
harganya. Namun demikian, harga dalam istisna’ dapat diartikan dengan waktu
penyerahan. Jadi, boleh disepakati bahwa apabila terjadi keterlambatan penyerahan
harga dapat dipotong sejumlah tertentu per hati keterlambatan.

Kesimpulan

1. Pengertian Istishna’
pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan pula seperti transaksi
murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah di mana barang
diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayar cicilan, dalam jual beli istishna’
barang diserahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama di bayar secara cicilan.
2. Rukun dan Syarat Istishna’
Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :
a. Pelaku akad
b. Objek akad
c. Shighah

Syarat dari Istishna’ yaitu

a. Modal transaksi ba’i istishna’


b. Al-muslam fiihi (barang)
3. Dasar hukum Istishna’
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i di atas petunjuk Al-
Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
4. Ruang lingkup Istishna’
Pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang
melakukan transaksi istishna ' baik sebagai penjual maupun pembeli.
Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:
a. Perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Lembaga keuangan syariah nonbank seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan
dana pensiun; dan
c. Lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk menjalankan transaksi istishna’
5. Perbedaan Istishna’ dan Salam
Istishna’ mirip dengan salam, namun ada beberapa perbedaan di antara keduanya,
antara lain:
a. Objek istisna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa
untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi
lebih dahulu.
b. Harga dalam akad salam harus dibayar penuh dimuka, sedangkan harga dalam akad
istishna’ tidak harus dibayar penuh dimuka melainkan dapat juga dicicil atau
dibayar dibelakang.
c. Akad salam efektif tidak dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai
memeproduksi.
d. Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian, namun akad istishna’ tidak
merupakan keharusan.

Anda mungkin juga menyukai