Anda di halaman 1dari 114

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI DIREKTORAT INSPEKSI DAN SERTIFIKASI OBAT TRADISIONAL,
KOSMETIK, DAN PRODUK KOMPLEMEN
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT
PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

YISKA NATHASA SITUMORANG, S.Farm.


1206313892

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JUNI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI DIREKTORAT INSPEKSI DAN SERTIFIKASI OBAT TRADISIONAL,
KOSMETIK, DAN PRODUK KOMPLEMEN
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT
PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

YISKA NATHASA SITUMORANG, S.Farm.


1206313892

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JUNI 2013

ii
HALAMAN PENGESAHA

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini diajukan oleh:


Nama/NPM : Yiska Nathasa Situmorang, S.Farm. / 1206313892
Program Studi : Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia
Judul Laporan :iLaporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat
Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan
Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan
Jl. Percetakan
takan Negara No. 23 Jakarta Pusat Periode 4-26
4
Februari 2013

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker
A pada
Program Studi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas
Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dra. Kristiana Haryati,


Ha Apt. (.............
(..............................)

Pembimbing II : Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt. (..............................)

Penguji i: (..............................)

Penguji i: (..............................)

Penguji i: (..............................)

Ditetapkan di : Depok

Tanggal :

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI), khususnya di
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
Komplemen pada tanggal 4 - 26 Februari 2013 dapat diselesaikan dengan baik.
Praktek Kerja Profesi Apoteker di bidang pemerintahan dilaksanakan
sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Apoteker.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Dra. Lucky S. Slamet, M.Sc., selaku Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia.
2. Drs. Sukiman Said Umar, Apt., selaku Direktur Inspeksi dan Sertifikasi
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
3. Dra. Kristiana Haryati, Apt., selaku Ka. Sub. Dit. Sertifikasi Direktorat
Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen,
juga selaku pembimbing dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia.
4. Seluruh staf dan karyawan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia, khususnya Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional,
Kosmetik, dan Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, yang telah memberikan bantuan dan perhatian selama
pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
5. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia sekaligus pembimbing PKPA di Badan POM RI.
6. Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia sekaligus pembimbing akademik.
7. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia atas
didikan dan bantuannya selama perkuliahan di pendidikan profesi apoteker.

iv Universitas Indonesia
8. Orang tua, kakak, dan adik yang telah memberikan semangat untuk
menyelesaikan perkuliahan di pendidikan profesi apoteker.
9. Seluruh teman-teman Apoteker UI Angkatan 76 yang telah berjuang bersama-
sama melaksanakan PKPA untuk mendapatkan gelar apoteker.
10. Seluruh pihak yang telah membantu penulisan laporan PKPA yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa laporan ini
bukan merupakan hasil yang sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran
yang membangun demi penyempurnaan laporan ini sangat diharapkan. Semoga
ilmu dan pengalaman yang telah diperoleh selama Praktek Kerja Profesi Apoteker
di Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, khususnya pada
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
Komplemen ini dapat berguna sebagai bekal untuk terjun ke masyarakat dalam
rangka pengabdian profesi.

Jakarta, Juni 2013

Penyusun

v Universitas Indonesia
vi Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI....................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Tujuan ..................................................................................... 2
1. 3 Manfaat ................................................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN UMUM BADAN POM RI ........................................ 4


2.1 Visi dan Misi Badan POM RI ................................................. 4
i

2.2 Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan


iPOM RI ................................................................................ 4
2.3 Prinsip dan Kerangka Konsep SisPOM ................................. 5
2.4 Target Kinerja Badan POM RI .............................................. 7
2.5 Budaya Organisasi Badan POM RI ....................................... 7
2.6 Kebijakan dan Strategi Badan POM RI ................................. 8
2.7 Struktur Organisasi Badan POM RI....................................... 13
2.8 Reformasi Birokrasi Badan POM RI ..................................... 22
2.9 Quality Management System (QMS) Badan POM RI ............ 26

BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT INSPEKSI DAN


SERTIFIKASI OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK, DAN
PRODUK KOMPLEMEN ............................................................ 28
3.1 Struktur Organisasi Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi
Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen.......... 28
3.2 Tugas dan Fungsi Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi
Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen.......... 28
3.3 Sub Direktorat Sertifikasi....................................................... 29
3.4 Sub Direktorat Inspeksi Produk I ........................................... 39
3.5 Sub Direktorat Inspeksi Produk II ......................................... 52

BAB 4 PEMBAHASAN .............................................................................. 54


4.1 Sub Direktorat Sertifikasi ....................................................... 54
4.2 Sub Direktorat Inspeksi Produk I dan II ................................. 56

vii Universitas Indonesia


BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 58
5.1 Kesimpulan ............................................................................. 58
5.2 Saran ....................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61

LAMPIRAN .................................................................................................... 63

viii Universitas Indonesia


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Struktur Organisasi Badan POM RI ............................................ 63


Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi
Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen Badan
POM RI ....................................................................................... 64
Lampiran 3. Alur Permohonan Surat Keterangan Impor (SKI)..................... 65
Lampiran 4. Alur Permohonan Surat Keterangan Ekspor (SKE)................... 66
Lampiran 5. Alur Pemeriksaan Industri ........................................................... 67
Lampiran 6. Alur Pemeriksaan Sarana Importir dan Sarana Usaha
Perorangan/Badan Usaha yang Melakukan Kontrak
Produksi ....................................................................................... 68
Lampiran 7. Alur Pemeriksaan Sarana Distribusi ............................................ 69
Lampiran 8. Alur Pengawasan Promosi dan Iklan ........................................... 70

ix Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan teknologi yang pesat telah membawa perubahan-
perubahan yang signifikan pada industri farmasi dan makanan di Indonesia.
Dengan adanya peningkatan teknologi produksi, obat dan makanan dapat
diproduksi dalam skala yang sangat besar. Ditambah lagi dengan adanya
kemajuan teknologi transportasi yang memungkinkan produk-produk tersebut
dapat terdistribusi dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam waktu
singkat. Selain itu, pada era globalisasi sekarang ini, entry barrier perdagangan
internasional antar negara dapat dikatakan tidak ada. Hal ini menyebabkan
produk-produk kesehatan seperti produk obat, obat tradisional, kosmetika, produk
komplemen, makanan dan perbekalan kesehatan rumah tangga lainnya dalam
waktu yang singkat dapat menyebar ke berbagai daerah dan negara.
Meresponi perkembangan teknologi tersebut, diperlukan suatu institusi
dan infrastruktur pengawasan yang kuat, memiliki kredibilitas profesional yang
tinggi serta kewenangan terhadap penegakan hukum. Berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.103 tahun 2001, dibentuklah Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia sebagai institusi pemerintah yang secara
resmi mengawasi obat dan makanan di Indonesia. Badan POM ditetapkan sebagai
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada
Presiden dan dikoordinasi oleh Menteri Kesehatan.
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.
02001/SK/KBPOM, terkait pengawasan terhadap obat tradisional, kosmetika, dan
produk komplemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan membentuk Deputi II
Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen.
Selanjutnya, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetika, dan
Produk Komplemen yang berada di bawah Deputi II memiliki tugas untuk
melakukan penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar,
kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian,

1 Universitas Indonesia
2

bimbingan teknis dan evaluasi di bidang inspeksi sarana produksi dan distribusi
serta sertifikasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen, dan proses
produksi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen.
Sebagai institusi yang melakukan pengawasan di bidang obat dan
makanan, Badan POM RI memerlukan sumber daya manusia yang tepat dan
sesuai dengan fungsinya. Terkait fungsi pengawasan terhadap produk-produk
kesehatan terrmasuk obat , maka dibutuhkan sumber daya manusia yang
memahami tentang ilmu kefarmasian, yaitu apoteker. Sebagai salah satu bentuk
tanggung jawab sosial kepada masyarakat, apoteker dapat berperan dalam hal
penyusunan kebijakan atau regulasi serta pelaksanaan pengawasan terhadap
produk-produk kesehatan yang beredar di masyarakat. Hal tersebut dilakukan
untuk melindungi masyarakat dari produk-produk kesehatan yang tidak memenuhi
syarat.
Oleh karena itu, untuk mengenalkan mahasiswa calon apoteker kepada
tugas, fungsi, serta ruang lingkup kegiatan dari institusi pemerintah di bidang
pengawasan obat dan makanan, maka diselenggarakan Praktek Kerja Profesi
Apoteker di Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia pada
periode 4-26 Februari 2013.

1.2 Tujuan
Berikut ini adalah tujuan pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker
yang diselenggaraka di Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
pada adalah :
1. Tujuan Umum
Peserta Praktek Kerja Profesi Apoteker dapat memahami dan menjelaskan
peran dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
2. Tujuan Khusus
Peserta Praktek Kerja Profesi Apoteker dapat memahami dan menjelaskan
kegiatan dari Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetika,
dan Produk Komplemen Badan POM RI.

Universitas Indonesia
3

1.3 Manfaat
Melalui pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia, diharapkan calon apoteker dapat lebih
siap terjun ke dunia kerja, khususnya dalam bidang pemerintahan yang terkait
dengan pengawasan obat dan makanan.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN UMUM BADAN POM RI

2.1 Visi dan Misi Badan POM RI


Berdasarkan hasil Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.
04.01.21.11.10.10509 tahun 2010, Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia (Badan POM RI) mempunyai visi menjadi institusi terpercaya
yang diakui secara internasional di bidang pengawasan obat dan makanan untuk
melindungi masyarakat.
Adapun misi dari Badan POM RI adalah :
1. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional.
2. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten.
3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini.
4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan
makanan yang berisiko terhadap kesehatan.
5. Membangun organisasi pembelajar (learning organization)

2.2 Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan POM RI


Menurut Keputusan Kepala Badan POM RI No. 02001/SK/BPOM tahun
2001, Badan POM RI merupakan lembaga pemerintah non departemen yang
dibentuk untuk melaksanakan tugas kepemerintahan tertentu dari Presiden. Badan
POM RI dikepalai oleh pejabat setingkat menteri.Tugas Badan POM RI adalah
melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugasnya Badan POM RI melakukan fungsinya yang
meliputi berbagai kegiatan sebagai berikut :
1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat
dan makanan.
2. Pelaksanaaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan.
3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM.

4 Universitas Indonesia
5

4. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi


pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan.
5. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian,
keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
Dalam menyelenggarakan fungsinya, Badan POM RI memiliki
kewenangan sebagai berikut :
1. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan
makanan.
2. Perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan untuk
mendukung pengobatan secara makro.
3. Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan.
4. Penetapan persyaratan penggunaan bahan makanan tambahan (zat aditif)
tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengemasan peredaran obat
dan makanan.
5. Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri
farmasi.
6. Penetapan pedoman penggunaan, konservasi dan pengembangan tanaman
obat.

2.3 Prinsip dan Kerangka Konsep SisPOM


Di dalam Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.04.1.28.11.11.09219
tahun 2011 disebutkan bahwa untuk menjalankan fungsi pengawasan, Badan
POM RI memiliki prinsip Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM)
sebagai berikut :
1. Tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat dan profesional.
2. Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat risiko dan berbasis bukti-bukti
ilmiah.
3. Lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh siklus proses.
4. Berskala nasional/lintas propinsi, dengan jaringan kerja internasional.
5. Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum.

Universitas Indonesia
6

6. Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan kuat yang


berkolaborasi dengan jaringan global.
7. Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk
Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi
luas dan kompleks. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengawasan
yang komprehensif, semenjak awal proses suatu produk hingga produk tersebut
beredar ditengah masyarakat.

Untuk menekan sekecil mungkin risiko yang bisa terjadi, dilakukan


SisPOM tiga lapis yakni:

1. Sub-sistem pengawasan Produsen

Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara


produksi yang baik atau good manufacturing practices agar setiap bentuk
penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum
produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang
dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap standar
yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif
maupun pro-justisia.

2. Sub-sistem pengawasan Konsumen

Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan


kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang
digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan
oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya
masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan
suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang
tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat
membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak
memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong
produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya.

Universitas Indonesia
7

3. Sub-sistem pengawasan Pemerintah/Badan POM

Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi;


penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di
Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk
yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum.
Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen
terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga
melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.

2.4 Target Kinerja Badan POM RI


Berikut ini adalah target kinerja Badan POM RI menurut Keputusan
Kepala Badan POM RI No. iHK.04.1.28.11.11.09219 tahun 2011 :
1. Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan NAPZA
2. Terkendalinya mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan
makanan termasuk klim pada label dan iklan di peredaran;
3. Tercegahnya risiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat
pengelolaan yang tidak memenuhi syarat;
4. Penurunan kasus pencemaran pangan;
5. Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetensi dan
keterampilan personil yang memadai;
6. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar sesama
dan pihak terkait

2.5 Budaya Organisasi Badan POM RI


Untuk membangun organisasi yang efektif dan efisien, dalam Keputusan
Kepala Badan POM RI No. iHK.04.1.28.11.11.09219 tahun 2011 disebutkan
bahwa budaya organisasi Badan POM RI dikembangkan dengan nilai-nilai dasar
sebagai berikut :
1. Profesionalisme.
Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan
komitmen yang tinggi.

Universitas Indonesia
8

2. Kredibilitas.
Memiliki kredibilitas yang diakui masyarakat luas, nasional dan internasional.
3. Kecepatan.
Tanggap dan cepat dalam bertindak mengatasi masalah.
4. Kerjasama.
Mengutamakan kerjasama tim.

2.6 Kebijakan dan Strategi Badan POM RI


Kebijakan dan strategi Badan POM RI ditetapkan dalam Keputusan
Kepala Badan POM RI No. HK.04.1.28.11.11.09219 tahun 2011.
l

2.6.1 Sasaran Strategi Badan POM RI


Sasaran strategis Badan POM RI selama lima tahun (2010-2014) adalah
sebagai berikut :
1. Pengawasan obat dan makanan terlaksana secara efektif untuk melindungi
konsumen di dalam dan di luar negeri dengan sistim yang tergolong terbaik di
ASEAN.
2. Terwujudnya laboratorium pengawasan obat dan makanan yang modern
dengan jaringan kerja di seluruh indonesia dengan kompetensi dan kapabilitas
terunggul di ASEAN.
3. Meningkatnya kompetensi, kapabilitas dan jumlah modal insani yang unggul
dalam melaksanakan pengawasan obat dan makanan.
4. Diterapkannya sistem manajemen mutu di semua unit kerja Badan POM.

2.6.2 Arah Kebijakan dan Strategi Nasional Badan POM RI


2.6.2.1 Fokus Satu
Peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita, dan keluarga berencana. Melalui
upaya yang menjamin produk obat dan makanan yang memenuhi persyaratan
keamanan dan mutu, yang digunakan dalam upaya peningkatan cakupan peserta
KB aktif contohnya pemilihan makanan pemulihan bagi ibu hamil. Kekurangan
Energi Kronik (KEK) serta pencapaian cakupan imunisasi yang tinggi, merata dan
berkualitas pada bayi, anak sekolah dan Wanita Usia Subur (WUS).

Universitas Indonesia
9

2.6.2.2 Fokus Dua


Perbaikan status gizi masyarakat, melalui pengujian laboratorium terhadap
sampel-sampel produk yang digunakan untuk upaya asupan zat gizi makro, mikro,
dan lainnya, untuk memenuhi angka kecukupan gizi, surveilans pangan dan gizi,
pemberian makanan pendamping ASI, fortifikasi, pemberin makanan pemulihan
balita gizi-kurang, serta penanggulangan gizi darurat.

2.6.2.3 Fokus Tiga


Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti
penyehatan lingkungan, melalui upaya pengawasan yang diarahkan untuk
menurunkan proposi obat dan makanan bermasalah dipasar, sebagai salah satu
faktor risiko timbulnya penyakit.

2.6.2.4 Fokus Empat


Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu, dan
penggunaan obat, serta pengawasan obat dan makanan, yang dilaksanakan melalui
kegiatan-kegiatan pengawasan produksi Produk Terapetik (PT) dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), pengawasan produk dan bahan berbahaya,
pengawasan obat dan makanan di 31 Balai Besar/Balai POM, pemeriksaan secara
laboratorium, pengujian dan penilaian keamanan, manfaat serta mutu obat dan
makanan juga pembinaan laboratorium POM, standardisasi PT dan PKRT,
penyelidikan dan penyidikan terhadap pelanggaran dibidang obat dan makanan
inspeksi dan sertifikasi obat tradisional, kosmetik, dan produk komplemen,
inspeksi dan sertifikasi makanan, pengawasan distribusi PT dan PKRT,
pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif, penilaian produk
terapetik dan produk biologi, penilaian obat tradisional, kosmetik, dan produk
komplemen, penilaian makanan, riset keamanan, khasiat, mutu obat dan makanan
serta pengembangan Obat Asli Indonesia (OAI).

Universitas Indonesia
10

2.6.3 Arah Kebijakan Strategi Badan POM RI


2.6.3.1 Memperkuat Sistim Regulatori Pengawasan Obat dan Makanan
Sistim pengawasan obat dan makanan diperkuat dengan mekanisme
operasional infrastruktur yang handal dengan kapabilitas berkelas dunia (world
class) dengan menggunakan teknologi informasi yang modern regulatori dan
seluruh fungsi pengawasan, dilakukan revitalisasi yang diterapkan secara
terintegrasi dan menyeluruh (comprehensive).

2.6.3.2 Mewujudkan Laboratorium Badan POM yang Handal


Kapabilitas laboratorium BPOM ditingkatkan terunggul di ASEAN
dengan jaringan kerja (networking) nasional dan internasional. Cakupan dan
parameter pengujian laboratorium, serta kompetensi personil laboratorium
pengawasan obat dan makanan ditingkatkan dengan menetapkan Good
Laboratory Practices (GLP) secara konsisten mengembangkan sistim rujukan
laboratorium nasional.

2.6.3.3 Meningkatkan Kapasitas Manajemen Badan POM


Institusi Badan POM dikembangkan secara knowledge and learning
organization yang kredibel, inovatif dan unggul. Pengembangan institusi berfokus
terutama pada penguatan kompetensi, profesionalitas, kapabilitas modal insani.
Untuk itu dilakukan pendidikan dan pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan
(continous training and education) yang dilaksanakan di dalam dan di luar negeri
serta dengan membangun Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan POM (PPP
Badan POM). Implementasi Sistim Pengawasan Obat dan Makanan serta layanan
publik oleh Badan POM dimantapkan dengan meningkatkan kapasitas manajemen
dengan mutu penyelenggaraan kepemerintahan yang efektif dan efisien. Untuk itu
dilakukan penerapan standar Reformasi Birokrasi (RB) dan tata kelola
pemerintahan yang baik secara menyeluruh dan konsisten.

2.6.3.4 Memantapkan Jejaring Lintas Sektor dan Memberdayakan Masyarakat


Pengawasan Obat dan Makanan lebih diperkuat dengan memantapkan
jejaring kerjasama lintas sektor terkait di dalam negeri dan kerjasama bilateral
Universitas Indonesia
11

maupun multilateral dengan berbagai institusi di luar negeri. Melalui Komunikasi,


Informasi, dan Edukasi (KIE) dilakukan pemberdayaan kepada masyarakat luas
agar mampu mencegah dan melindungi diri sendiri dari penggunaan obat dan
makanan yang berisiko terhadap kesehatan.

2.6.4 Strategi Badan POM RI


2.6.4.1 Strategi Pertama
Peningkatan intensitas pengawsan pre market Obat dan Makanan, untuk
menjamin, khasiat/manfaat dan mutu produk, diselenggarakan melalui fokus
prioritas sebagai berikut :
1. Penapisan penilaian produk obat dan makanan sebelum beredar sebagai
antisipasi globalisasi, termasuk ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).
2. Peningkatan pelayanan publik terkait pendaftaran produk obat dan makanan
melalui online registration.
3. Pengawasan pengembangan faksin baru produksi dalam negeri, untuk
mempercepat pencapaian target Millenium Development Goal’s (MDG’s).
4. Peningkatan technical regulatori advice untuk pengembangan jamu, herbal
terstandar, dan fitofarmaka.
5. Pengawasan Pengembangan Teknologi Pangan (PPRG), iradiasi, untuk
perlindungan konsumen dan ketersedian pangan, peningkatan pemenuhan
Good Manufacturing Practices (GMP) industri obat dan makanan domestik
dalam rangka meningkatkan daya saing.

2.6.4.2 Strategi Kedua


Penguatan sistim, sarana, dan prasarana laboratorium obat dan makanan
diselenggarakan melalui fokus prioritas sebagai berikut :
1. Pemantapan penerapan Quality Management System (QMS) dan persyaratan
Good Laboratory Practices (GLP) terkini.
2. Peningkatan sarana dan prasarana laboratorium di pusat dan di daerah, sesuai
dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
3. Pemenuhan persyaratan laboratorium sesuai standar GLP terkini.
4. Peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) laboratorium.
Universitas Indonesia
12

2.6.4.3 Strategi Ketiga


Peningkatan pengawasan post market obat dan makanan, diselenggarakan
memalui fokus prioritas sebagai berikut :
1. Penetapan sampling dan pengujian obat dan makanan, berdasarkan risk based
approaches.
2. Intensifikasi pemberantasan produk ilegal, termasuk produk palsu.
3. Perluasan cakupan pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS),
melalui operasionalisasi Mobil Laboratorium (ML).
4. Pengawasan sarana post market sesuai dengan Good Manufacturing
Practices (GMP) dan Good Distribution Practices (GDP).
5. Perkuatan pengawasan post market kosmetik melalui audit kepatuhan dan
evaluasi keamanan kosmetik.

2.6.4.4 Strategi Keempat


Pemantapan regulasi dan standar di bidang pengawasan obat dan
makanan, diselenggarakan melalui fokus prioritas sebagai berikut :
1. Penyelarasan regulasi terkait dengan perubahan lingkungan strategis dibidang
pengawasan obat dan makanan.
2. Peningkatan penerapan standar obat dan makanan yang terharmonisasi.

2.6.4.5 Strategi Kelima


Pemantapan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam bidang
tindak pidana obat dan makanan, diselenggarakan melalui fokus prioritas sebagai
berikut :
1. Peningkatan kualitas dan kuantitas PPNS.
2. Peningkatan pelaksanaan penyidikan obat dan makanan.
3. Peningkatan koordinasi dengan sektor terkait dalam rangkaian Criminal
Justice System (CJS) untuk sustainable law enforcement tindak pidana obat
dan makanan.

Universitas Indonesia
13

2.6.4.6 Strategi Keenam


Perkuatan Institusi diselenggarakan melalui prioritas sebagai berikut :
1. Implementasi RB BPOM termasuk peningkatan pelayanan publik.
2. Perkuatan sistim pengelolaan data Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) termasuk strategi media komunikasi.
3. Perkuatan human capital management BPOM.
4. Restrukturisasi Organisasi (RO) untuk menjawab tantangan perubahan
lingkungan strategis.
5. Peningkatan dan penguatan peran dan fungsi Balai POM, Integrated Bottom
Up Planning (IBUP) dan Quality System Evaluation (QSE).
6. Perkuatan legislasi di bidang pengawasan obat dan makanan.

2.6.4.7 Strategi Ketujuh


Meningkatkan Kerjasama Lintas Sektor (KLS) terkait Pembagian Peran
Badan POM (PPBP) dengan Lintas Sektor (LS) terkait, yang diselenggarakan
melalui fokus prioritas sebagai berikut :
1. Pemantapan koordinasi pengawasan obat dan makanan, pemantapan sistim
kerjasama operasional pengawasan obat dan makanan.
2. Peningkatan operasi terpadu pengawasam Obat Tradisional (OT), kosmetik,
dan makanan.
3. Perkuatan jejaring komunikasi.
4. Pemantapan koordinasi pengembangan jamu brand Indonesia,
pengintegrasian dengan pelayanan kesehatan.
5. Pemberdayaan masyarakat melalui KIE.

2.7 Struktur Organisasi Badan POM RI


Keputusan Kepala Badan POM RI No. 02001/SK/BPOM mengatur
struktur organisasi Badan POM RI. Bagan struktur organisasi Badan POM dapat
dilihat pada Lampiran 1.
2.7.1 Kepala Badan POM RI
Organisasi Badan POM RI dipimpin oleh seorang Kepala yang bertugas :

Universitas Indonesia
14

1. Memimpin Badan POM RI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan.
2. Menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum sesuai dengan tugas
Badan POM RI.
3. Menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas Badan POM RI yang
menjadi tanggung jawabnya.
4. Membina dan melaksanakan kerja sama dengan instansi dan organisasi yang
lain.

2.7.2 Sekretariat Utama Badan POM RI


Sekretariat Utama yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Utama bertugas
mengkoordinasikan perencanaan, pengendalian terhadap program, administrasi
dan sumber daya lingkungan Badan POM RI.Sekretariat utama terdiri atas :
1. Biro Perencanaan dan Keuangan.
2. Biro Kerjasama Luar Negeri.
3. Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat.
4. Biro Umum.
5. Kelompok Jabatan Fungsional.
Adapun fungsi dari sekretariat utama adalah :
1. Pengkoordinasian, sinkronisasi dan integrasi perencanaan, penganggaran,
penyusunan pelaporan, pengembangan pegawai termasuk pendidikan dan
pelatihan serta perumusan kebijakan teknis di lingkungan Badan POM RI.
2. Pengkoordinasian, sinkronisasi dan integrasi penyusunan peraturan
perundang-undangan, kerjasama luar negeri, hubungan antar lembaga
kemasyarakatan dan bantuan hukum, terkait dengan tugas Badan POM RI.
3. Pembinaan dan pelayanan administrasi ketatausahaan, organisasi dan tata
laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, perlengkapan dan rumah tangga.
4. Pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan pusat-pusat dan
unit-unit pelaksana teknis di lingkungan Badan POM RI.
5. Pelaksana tugas lain yang ditetapkan oleh kepala, sesuai dengan bidang
tugasnya.

Universitas Indonesia
15

Sekretaris Utama Badan POM RI secara administrasi membina


pelaksanaan tugas sehari-hari dari Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional,
Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Pusat Riset Obat dan Makanan, dan Pusat
Informasi Obat dan Makanan.

2.7.3 Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika,


Psikotropika dan Zat Adiktif
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif yang dikepalai oleh seorang Deputi bertugas melaksanakan
perumusan kebijakan di bidang pengawasan terapetik, narkotika, psikotropika dan
zat adiktif. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif terdiri dari lima Direktorat, yaitu :
1. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi.
2. Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga (PKRT).
3. Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT.
4. Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT.
5. Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA).
Deputi ini memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan kebijakan umum di
bidang pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif.
2. Penyusunan rencana pengawas produk terapetik, narkotika, psikotropika dan
zat adiktif.
3. Pengawasan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang penilaian obat dan produk biologi.
4. Pengawasan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang standardisasi produk terapetik dan PKRT.
5. Pengawasan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian

Universitas Indonesia
16

bimbingan di bidang pengawasan produksi dan distribusi produk terapetik


dan PKRT.
6. Pengawasan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang pengawasan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
(NAPZA).
7. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang produk
terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain.
8. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan produk terapetik dan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif.
9. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh kepala, sesuai dengan bidang
tugasnya.

2.7.4 Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk


i Komplemen
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk
komplemen yang dikepalai oleh seorang Deputi bertugas melaksanakan penilaian
dan registrasi obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan sebelum beredar
di Indonesia, selanjutnya melakukan pengawasan peredaran obat tradisional,
kosmetik dan produk komplemen, termasuk penandaan dan periklanan.
Penegakan hukum dilakukan dengan inspeksi Cara Produksi Obat yang Baik
(CPOB), Cara Produksi Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), Cara Produksi
Kosmetik yang Baik (CPKB), sampling, penarikan produk, public warning
sampai pro justisia, didukung antara lain oleh Tim Penilai Obat Tradisional dan
Tim Penilai Kosmetik. Deputi Bidang Pengawasan Obat tradisional, Kosmetika
dan Produk komplemen terdiri dari empat Direktorat, yaitu :
1. Direktorat Penilaian Obat Ttradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik.
2. Direktorat Standarisasi Obat Tradisional, Kosmetika dan Produk Komplemen.
3. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
Komplemen.

Universitas Indonesia
17

4. Direktorat Obat Asli Indonesia.


Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk komplemen
ini memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan umum di bidang
pengawasan obat tradisional, kosmetika dan produk komplemen.
2. Penyusunan rencana pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk
komplemen.
3. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang penilaian obat tradisional, suplemen makanan dan
kosmetik.
4. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang standardisasi obat tradisional, kosmetik dan produk
komplemen.
5. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang obat asli Indonesia.
6. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang inspeksi dan sertifikasi obat tradisional, kosmetik dan
produk komplemen.
7. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan
obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen.
8. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan obat tradisional, kosmetik
dan produk komplemen.
9. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh kepala, sesuai dengan bidang
tugasnya.

Universitas Indonesia
18

2.7.5 Deputi Bidang Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya


Deputi bidang Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya yang dikepalai
oleh seorang Deputi bertugas melaksanakan penilaian dan evaluasi keamanan
pangan sebelum beredar di Indonesia dan selama peredaran seperti pengawasan
terhadap sarana produksi dan distribusi maupun komiditinya, termasuk penandaan
dan periklanan, dan pengamanan produk dan bahan berbahaya. Di samping itu,
deputi ini melakukan sertifikasi produk pangan. Produsen dan distributor dibina
untuk menerapkan sistem jaminan mutu, terutama penerapan Cara Pembuatan
Makanan yang Baik (CPMB), Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP),
Cara Distribusi Makanan yang Baik (CDMB) serta Total Quality Management
(TQM). Di samping itu diselenggarakan Surveilance, penyuluhan informasi
keamanan pangan serta pengawasan produk dan bahan berbahaya, yang didukung
antara lain oleh Tim Penilai Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya terdiri dari lima Direktorat, yaitu :
1. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan.
2. Direktorat Standardisasi Produk Pangan.
3. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan.
4. Direktorat Surveillance dan Penyuluhan Keamanan Pangan.
5. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya.
Deputi ini memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan kebijakan umum di
bidang pengawasan pangan dan bahan berbahaya.
2. Penyusunan rencana pengawasan pangan dan bahan berbahaya.
3. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang penilaian keamanan pangan.
4. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang standardisasi keamanan pangan.
5. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang inspeksi dan sertifikasi produk pangan.
Universitas Indonesia
19

6. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan


prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang survailan dan penyuluhan keamanan pangan.
7. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan
prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian
bimbingan di bidang pengawasan produk dan bahan berbahaya.
8. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan
keamanan pangan dan bahan berbahaya.
9. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan keamanan pangan dan
bahan berbahaya.
10. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh kepala, sesuai dengan bidang
tugasnya.

2.7.6 Inspektorat Badan POM RI


Inspektorat yang dikepalai oleh seorang Inspektur mempunyai tugas
melaksanakan pengawasan fungsional di lingkungan Badan POM RI. Inspektorat
memiliki fungsi :
1. Penyiapan perumusan kebijakan, rencana, dan program pengawasan
fungsional.
2. Pelaksanaan pengawasan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Pengusutan mengenai kebenaran laporan dan pengaduan tentang hambatan,
penyimpangan atau penyalahgunaan dalam pelaksanaan tugas yang dilakukan
oleh unsur atau unit di lingkungan Badan POM RI.
4. Pelaksanaan urusan tata usaha Inspektorat.
Inspektorat terdiri dari :
1. Kelompok Jabatan Fungsional.
2. Sub-bagian Tata Usaha.

Universitas Indonesia
20

2.7.7 Pusat Pengujian Obat dan Makanan


Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional yang dikepalai oleh seorang
Kepala mempunyai tugas melaksanakan pemeriksaan secara laboratorium,
pengujian dan penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lain, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan
berbahaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta
melaksanakan pembinaan mutu laboratorium pengawasan obat dan makanan.
Deputi ini memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Penyusunan rencana dan program pengujian obat dan makanan.
2. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu
produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, alat kesehatan,
obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya.
3. Pembinaan mutu laboratorium PPOMN.
4. Pelaksanaan sistem rujukan pengawasan obat dan makanan.
5. Penyediaan baku pembanding dan pengembangan metoda analisa pengujian.
6. Pelatihan tenaga ahli di bidang pengujian obat dan makanan.
7. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan.
8. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan pusat.

2.7.8 Pusat Penyidikan Obat dan Makanan


Pusat Penyidikan Obat dan Makanan yang dikepalai oleh seorang Kepala
mempunyai tugas melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan
melawan hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lain, obat tradisonal, kosmetik, produk komplemen dan makanan, serta
produk jenis lainnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Penyidikan Obat dan
Makanan mempunyai fungsi :
1. Penyusunan fungsi rencana dan program penyelidikan dan penyidikan obat
dan makanan.
2. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan obat dan makanan.
3. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan
obat dan makanan.

Universitas Indonesia
21

2.7.9 Pusat Riset Obat dan Makanan


Pusat Riset Obat dan Makanan yang dikepalai oleh seorang Kepala
mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi, keamanan
pangan, dan produk terapetik serta mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Penyusunan rencana dan program riset obat dan makanan.
2. Pelaksanaan riset obat dan makanan.
3. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset obat dan makanan.

2.7.10 Pusat Informasi Obat dan Makanan


Pusat Informasi Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan
kegiatan di bidang pelayanan informasi obat, informasi keracunan dan teknologi
informasi, serta menyelenggarakan fungsi sebagai berikut :
1. Penyusunan rencana dan program kegiatan pelayanan informasi obat dan
makanan.
2. Pelaksanaan pelayanan informasi obat.
3. Pelaksanaan kegiatan informasi keracunan.
4. Pelaksanaan kegiatan di bidang teknologi informasi.
5. Evaluasi dan penyusunan laporan pelayanan informasi obat dan makanan.
6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan pusat.

2.7.11 Unit Pelaksana Teknis Badan POM RI


Unit Pelaksana Teknis Badan POM RI merupakan unit organisasi yang
melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan obat dan makanan di wilayah
kerjanya, diatur dengan keputusan Kepala Badan POM RI, setelah mendapat
persetujuan tertulis dari menteri yang bertanggung jawab di bidang
pendayagunaan aparatur negara. Fungsi pengawasan obat dan makanan di daerah
dilaksanakan oleh Balai Besar dan Balai POM yang merupakan perpanjangan
tangan dari Badan POM.

Universitas Indonesia
22

2.7.12 Kelompok Jabatan Fungsional Badan POM RI


Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan
sesuai dengan jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku :
1. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari berbagai jabatan fungsional
Pengawas Farmasi dan Makanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan jabatan
fungsional lain sesuai dengan bidang keahliannya.
2. Masing-masing Kelompok Jabatan Fungsional dikoordinasikan oleh seorang
tenaga fungsional senior yang ditunjuk oleh Sekertaris Utama.
3. Jumlah tenaga fungsional sebagaimana dimaksud, ditentukan berdasarkan
kebutuhan dan beban kerja.
4. Jenis dan jenjang jabatan fungsional, diatur berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

2.9 Reformasi Birokrasi Badan POM RI


Menurut Badan POM RI, 2010, dalam rangka tercapainya tata kelola
pemerintahan yang baik, Badan POM diwajibkan melaksanaan Reformasi
Birokrasi (RB) secara menyeluruh yang dilaksanakan bertahap 5 tahunan sampai
tahun 2025. Berbagai peraturan sebagai landasan legal dan operasional untuk
mempercepat pelaksanaan RB periode 2010–2014 telah dikeluarkan oleh
pemerintah yaitu:
1. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi (GDRB) yang berisi rancangan induk kebijakan reformasi birokrasi
secara nasional untuk kurun waktu 2010-2025.
2. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PAN dan RB) Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map
Reformasi Birokrasi (RMRB) berisi rancangan rinci program reformasi
birokrasi berdasarkan dalam kurun waktu lima tahun 2010-2014.
3. Sembilan Peraturan Menteri PAN dan RB sebagai pedoman operasional
penyusunan dan penerapan program RB di Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah.

Universitas Indonesia
23

Adapun visi RB 2025 adalah “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”,


yaitu pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan
yang demokratis. Operasionalisasi visi tersebut dilakukan melalui empat misi,
yaitu :
1. Membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
2. Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen
sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan
publik, perubahan mind set dan cultural set.
3. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif.
4. Mengelola sengketa administrasi secara efektif dan efisien.
Fokus sasaran Reformasi Birokrasi pada 5 (lima) tahun pertama (2010-
2014) adalah:
1. Penguatan birokrasi pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
2. Meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat.
3. Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
Reformasi Birokrasi Badan POM RI dilakukan untuk mencapai tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan reformasi birokrasi di BPOM secara umum
yaitu kinerja birokrasi Badan POM menjadi lebih efektif dan efisien melalui
pendekatan yang sistematik untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik
dan menciptakan aparatur negara yang bersih, professional dan bertanggung
jawab. Sedangkan tujuan reformasi birokrasi di Badan POM secara khusus adalah
terselenggaranya pelayanan publik yang prima dan perlindungan masyarakat
melalui Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dan pengamanan produk ilegal
secara konsisten dan menyeluruh.
Sasaran yang ingin dicapai dari proses reformasi birokrasi yang akan
dilakukan di Badan POM, secara umum adalah mengubah pola pikir (mind set),
budaya kerja (culture set) dan sistem manajemen Badan POM dalam
pelayanan publik. Di samping itu, secara khusus sasaran yang akan dicapai dari

Universitas Indonesia
24

proses reformasi birokrasi yang akan dilakukan di Badan POM adalah sebagai
berikut:
1. Kelembagaan: Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing).
2. Budaya organisasi: Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi.
3. Ketatalaksanaan: Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif,
efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
4. Regulasi, deregulasi birokrasi: Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang
tindih dan kondusif.
5. Sumber daya manusia: SDM yang berintegrasi, kompetensi, professional,
berkinerja tinggi dan sejahtera
6. Pelayanan publik: Pelayanan publik yang mengedepankan ke empat belas
aspek pelayanan serta mampu memberikan tingkat kepuasan masyarakat yang
tinggi sehingga didapat kepercayaan publik pada Badan POM.
7. Pengawasan dan Akuntabilitas: Keseluruhan proses pengawasan Obat dan
Makanan dan seluruh proses pendukungnya mulai dari perencanaan,
penganggaran, implementasi, administrasi keuangan dan pelaporan
merupakan proses yang akuntabilitasnya terjaga dengan baik, bebas dari
unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme
Pola pikir pencapaian Reformasi Birokrasi Badan POM RI secara
operasional diuraikan pada Gambar 2.1, yaitu dimulai dari penyempurnaan
kebijakan nasional bidang aparatur yang mendorong terciptanya kelembagaan
yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas fungsi Badan POM. Kebijakan
dilaksanakan melalui penataan dan penguatan peraturan perundang-undangan,
organisasi, tata laksana dan SDM serta didukung sistem pengawasan dan
akuntabilitas yang mampu mewujudkan pemerintahan yang berintegritas. Melalui
manajemen perubahan, implementasi hal-hal tersebut di Badan POM akan
mengubah mind set dan cultural set birokrat Badan POM ke arah budaya yang
lebih profesional, produktif, dan akuntabel.

Universitas Indonesia
25

Gambar 2.1. Pola Pikir Reformasi Birokrasi Badan POM RI

Program Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan Badan POM meliputi:


1. Program manajemen perubahan
2. Program penataan peraturan perundangundangan
3. Program penataan dan penguatan organisasi
4. Program penataan tatalaksana
5. Program penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur
6. Program penguatan pengawasan
7. Program penguatan akuntabilitas kinerja
8. Program peningkatan kualitas pelayanan publik
9. Program monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Sebagai salah satu pilar utama yaitu penyelenggaraan pelayanan publik,
Badan POM berupaya agar terjadi perbaikan terus menerus pada pelayanan publik
yang dilakukan. Upaya yang telah dilakukan bahkan jauh sebelum arus utama
reformasi birokrasi mengemuka adalah melaksanakan sistem pelayanan satu atap,
upaya perbaikan yang akan dilakukan adalah single sign on serta upaya pelayanan
registrasi online dan percepatan pelayanan. Semua hal tersebut didukung dengan
perubahan pola pikir, perilaku serta internalisasi budaya kerja Badan POM. Upaya
yang telah dilakukan untuk perubahan pola pikir dan perilaku adalah melakukan
asesmen organisasi untuk berubah, namun sebelumnya, bahkan Badan POM telah

Universitas Indonesia
26

menggulirkan learning organization serta telah pula mengidentifikasi aspek


peningkatan kapasitas organisasi.
Badan POM sebagai lembaga pemberi pelayanan publik perlu melakukan
pembenahan terus menerus sesuai dengan peluang dan tantangan baik internal
maupun eksternal. Hasil survey integritas sektor publik tahun 2009 oleh KPK,
Evaluasi produk sebelum beredar termasuk lima belas unit layanan dengan skor
integritas tertinggi. Standar minimal integritas yang ditetapkan oleh KPK dalam
survey ini sebesar 6,00 dari skala 0 – 10,00, semakin besar nilai semakin baik
integritasnya. Hasil survey integritas sektor publik tahun 2010 oleh KPK untuk
layanan pendaftaran MD/ML Badan POM termasuk 10 (sepuluh) teratas unit
layanan dengan nilai integritas 7,48 sedangkan untuk perizinan ekspor/impor yang
termasuk dalam kategori makanan dan obat-obatan memiliki nilai integritas 7,13.
Dalam arus utama pemberantasan korupsi, Badan POM bertekad untuk
mendukung seluruh kebijakan tersebut, salah satunya dengan meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas serta perkuatan sistem pengawasan internal. Hal
yang sudah dilakukan antara lain adalah mengidentifikasi serta melakukan upaya
perkuatan pengawasan pada titik-titik rawan korupsi serta pelaksanaan e-
Procurement.

2.9 i Quality Management System (QMS) Badan POM RI


Menurut Keputusan Badan POM RI No. HK.04.1.28.11.11.09219 tahun
2011, seluruh unit kerja di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan wajib
menerapkan Sistem Manajemen Mutu (Quality Management System) Badan
Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut QMS Badan POM. QMS
Badan POM didokumentasikan dalam bentuk Dokumen QMS, terdiri atas:
1. Level 1 berupa Manual Mutu
Merupakan dokumen kebijakan menjelaskan kebijakan mutu dan sasaran
mutu yang ditentukan oleh Badan Besar Pengawas Obat dan Makanan yang
berisi struktur dan metode dalam menjalankan sistem manajemen mutu.
Manual mutu merupakan merupakan acuan untuk pengembangan Dokumen
QMS Level 2, Level 3 dan Level 4.

Universitas Indonesia
27

2. Level 2 berupa Standard Operating Procedures


Merupakan dokumen operasional dan digunakan untuk merinci siapa saja
yang terlibat dalam suatu kegiatan mutu, kapan, dimana dan bagaimana
melaksanakan serta acuan yang digunakan untuk menjamin pelaksanaan
kegiatan mutu sesuai dengan ketentuan. Dokumen ini dibuat oleh sekretaris
utama.
3. Level 3 berupa Instruksi Kerja
Instruksi kerja digunakan untuk menjelaskan lebih detil terhadap kegiatan/
tugas yang belum dijelaskan secara terperinci dalam prosedur tetap sehingga
dengan instruksi tersebut mutu hasil setiap tugas dapat dipastikan seuai yang
dipersyaratkan, serta mengacu kepada prosedur tetap terkait. Dokumen ini
dibuat oleh kepala unit kerja.
4. Level 4 berupa Format dan Catatan yang dibentuk sesuai dengan
input dari Dokumen QMS Level 2 dan Level 3.
Merupakan dokumen pendukung untuk mengidentifikasi dan membuktikan
pelaksanaan kegiatan mutu guna tercapainya persyaratan mutu yang telah
ditentukan. Dokumen Mutu dikomunikasikan, dikoordinasikan,
didistribusikan, dimengerti, diterapkan oleh semua personil dan
dikembangkan. Termasuk dalam dokumen level IV ini adalah: Petunjuk
Pelaksanaan (Juklak), Petunjuk Tekhnis (Juknis), Pedoman, Surat Edaran,
dokumen eksternal dll. Dokumen ini dibuat oleh kepala unit kerja.
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.
06.02.2.23.2.11.00903 tahun 2011, seluruh unit kerja di lingkungan Badan
Pengawas Obat dan Makanan bertanggung jawab terhadap pengembangan
sasaran mutu sebagai lampiran Dokumen QMS Level 1 dan pengembangan
Dokumen QMS Level 2, Level 3 dan Level 4.

Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN KHUSUS
DIREKTORAT INSPEKSI DAN SERTIFIKASI OBAT TRADISIONAL,
KOSMETIK, DAN PRODUK KOMPLEMEN

3.1 Struktur Organisasi Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat


Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM RI No. 02001/SK/BPOM
tahun 2001, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan
Produk Komplemen berada di bawah Deputi II Bidang Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen. Direktorat ini dipimpin oleh
seorang direktur yang bertanggung jawab langsung kepada deputi tersebut.
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
Komplemen terdiri dari Sub Direktorat Inspeksi Produk I, Sub Direktorat Inspeksi
Produk II, dan Sub Direktorat Sertifikasi. Struktur organisasi dari Direktorat
Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen
dilampirkan pada Lampiran 2.

3.2 Tugas dan Fungsi Direktorat Inspeksi dan Sertikasi Obat Tradisional,
Kosmetik, dan Produk Komplemen
i

Menurut Keputusan Kepala Badan POM RI No. 02001/SK/BPOM tahun


2001, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
Komplemen memiliki tugas untuk melakukan penyiapan perumusan kebijakan,
penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan
pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang inspeksi sarana produksi
dan distribusi serta sertifikasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen,
dan proses produksi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat
Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen menjalankan berbagai fungsi,
antara lain :

28 Universitas Indonesia
29

1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar,


kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan,
pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang inspeksi sarana produksi dan
distribusi Produk I.
2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar,
kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan,
pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang inspeksi sarana produksi dan
distribusi Produk II.
3. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar,
kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan,
pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang sertifikasi obat tradisional,
kosmetik dan produk komplemen, dan proses produksi obat tradisional,
kosmetik dan produk komplemen.
4. Penyusunan rencana dan program inspeksi dan sertifikasi obat tradisional,
kosmetik dan produk komplemen.
5. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang
inspeksi dan sertifikasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen.
6. Evaluasi dan penyusunan laporan inspeksi dan sertifikasi obat tradisional,
kosmetik dan produk komplemen.
7. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan Deputi
Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif.

3.3 Sub Direktorat Sertifikasi


Sub Direktorat Sertifikasi melakukan sertifikasi untuk produk I dan
produk II (Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Makanan). Keputusan
Kepala Badan POM RI No. 02001/SK/BPOM mengatur tugas, fungsi dan struktur
organisasi Sub Direktorat Sertifikasi.
3.3.1 Tugas Sub Direktorat Sertifikasi
Sub Direktorat Sertifikasi memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
evaluasi dan pelaksanaan sertifikasi obat tradisional, kosmetik, suplemen
Universitas Indonesia
30

makanan, fasilitas produksi dan proses produksi obat tradisional, kosmetik, dan
suplemen makanan.

3.3.2 Fungsi Sub Direktorat Sertifikasi


Dalam memenuhi tugasnya, Sub Direktorat Sertifikasi menjalankan
beberapa fungsi, yaitu :
1. Penyusunan rencana dan program sertifikasi obat tradisional, kosmetik,
suplemen makanan.
2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan sertifikasi obat
tradisional, fasilitas produksi dan proses produksi obat tradisional.
3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan sertifikasi
kosmetik dan suplemen makanan, fasilitas produksi dan proses produksi
kosmetik, dan suplemen makanan.
4. Evaluasi dan penyusunan laporan sertifikasi obat tradisional, kosmetik,
suplemen makanan.
5. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan direktorat.

3.3.3 Struktur Organisasi Sub Direktorat Sertifikasi


Sub Direktorat Sertifikasi terdiri atas 3 seksi, yaitu Seksi Sertifikasi Obat
Tradisional, Seksi Sertifikasi Kosmetik dan Suplemen Makanan serta Seksi Tata
Operasional.
3.3.3.1 Seksi Sertifikasi Obat Tradisional
Seksi Sertifikasi Obat Tradisional mempunyai tugas menyiapkan bahan
perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan
pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta
melakukan sertifikasi obat tradisional, fasilitas produksi dan proses produksi obat
tradisional.

Universitas Indonesia
31

3.3.3.2 Seksi Sertifikasi Kosmetik dan Suplemen Makanan


Seksi Sertifikasi Kosmetik dan Suplemen Makanan mempunyai tugas
menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan
program, penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, evaluasi dan
penyusunan laporan, serta melakukan sertifikasi kosmetik, dan suplemen
makanan, fasilitas produksi dan proses produksi kosmetik, dan suplemen
makanan.

3.3.3.3 Seksi Tata Operasional


Seksi Tata Operasional mempunyai tugas melaksanakan tata operasional
di lingkungan Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan
Produk Komplemen.

3.3.4 Business Process Sub Direktorat Sertifikasi


Business Process pada Sub Direktorat Sertifikasi didapatkan berdasarkan
Dokumen Quality Management System (QMS) Level 2 berupa Standar Prosedur
Operasional untuk Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik,
dan Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2011.
Kegiatan Sub Direktorat Sertifikasi meliputi persetujuan denah bangunan,
rekomendasi izin produksi, sertifikasi CPKB/CPOTB dan persetujuan fasilitas
bersama serta penerbitan Surat Keterangan Impor (SKI) dan Surat Keterangan
Ekspor (SKE).
3.3.4.1 Persetujuan denah bangunan
Berikut ini adalah prosedur pelaksanaan persetujuan denah bangunan :
1. Setelah menerima pengajuan permohonan persetujuan denah bangunan dari
pemohon, Sub Direktorat Sertifikasi mengevaluasi dokumen pengajuan
permohonan.
a. Jika dokumen lengkap dan benar, maka akan diproses lebih lanjut.
b. Jika dokumen belum lengkap dan belum benar, maka ditolak.
2. Sub Direktorat Sertifikasi menerbitkan persetujuan denah bangunan.
3. Sub Direktorat Sertifikasi menyerahkan persetujuan denah bangunan kepada
pemohon.
Universitas Indonesia
32

4. Sub Direktorat Sertifikasi melakukan rekapitulasi dan evaluasi persetujuan


denah bangunan.

3.3.4.2 Rekomendasi Izin Produksi


Dalam proses penerbitan izin produksi, Badan Pengawas Obat dan
Makanan berperan dalam memberikan rekomendasi izin produksi kepada
Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini diberikan alur permohonan izin produksi :
1. Permohonan izin produksi diajukan oleh pemohon kepada Direktur Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan tembusan kepada Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan
Kepala Balai Badan Pengawas Obat dan Makanan setempat.
2. Paling lama 7 hari kerja sejak menerima tembusan, Kepala Dinas Provinsi
setempat melakukan evaluasi terhadap pemenuhan persyaratan administratif.
3. Paling lama 7 hari kerja sejak menerima tembusan, Kepala Balai Badan
Pengawas Obat dan Makanan setempat melakukan pemeriksaan terhadap
kesiapan/pemenuhan CPKB atau CPOTB.
4. Paling lama 14 hari kerja setelah evaluasi terhadap pemenuhan persyaratan
administratif dinyatakan lengkap, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat
wajib menyampaikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
5. Paling lama 14 hari kerja setelah pemeriksaan terhadap kesiapan/pemenuhan
CPKB/CPOTB dinyatakan selesai, Kepala Balai setempat wajib
menyampaikan analisis hasil pemeriksaan kepada Kepala Badan Badan
Pengawas Obat dan Makanan melalui Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat
Tradisional, Kosmetik, Produk Komplemen kemudian akan diberikan kepada
Sub. Direktorat Sertifikasi. Laporan analisi ini juga ditembuskan kepada
kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktur Jenderal.
a. Setelah Sub Direktorat Sertifikasi menerima laporan analisis hasil
pemeriksaan, dilakukan tindak lanjut terhadap laporan analisis hasil
pemeriksaan dan menyerahkan hasil analisis tersebut ke Deputi II Bidang
Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen.
Universitas Indonesia
33

b. Deputi Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan


Produk Komplemen merekomendasi Izin Produksi.
c. Paling lama 7 hari setelah menerima analisis hasil pemeriksaan, Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan menerbitkan rekomendasi izin
produksi yang ditujukkan kepada Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Kementerian Kesehatan.
6. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
Komplemen melalui Sub. Direktorat Sertifikasi melakukan rekapitulasi
rekomendasi izin produksi.
7. Apabila dalam 30 hari kerja setelah tembusan surat permohonan diterima oleh
Kepala Balai Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi setempat, tidak dilakukan pemeriksaan/evaluasi Pemohon
dapat membuat surat pernyataan siap berproduksi Kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada Kepala Badan Badan Pengawas Obat dan Makanan,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat danKepala Balai Badan
Pengawas Obat dan Makanan setempat.
8. Dalam jangka waktu 14 hari kerja setelah menerima rekomendasi dari Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Badan Badan Pengawas Obat dan
Makanan atau setelah menerima surat pernyataan sebagaimana dimaksud
pada No.g, Direktur Jenderal mengeluarkan surat keputusan yang menyetujui,
menunda atau menolak Izin Produksi.

3.3.4.3 Sertifikasi CPKB/CPOTB dan Persetujuan Fasilitas Bersama


Berikut ini adalah prosedur pelaksanaan sertifikasi sarana produksi
(CPKB/CPOTB) dan persetujuan fasilitas bersama :
1. Perencanaan Pemeriksaan
a. Setelah menerima surat permohonan sertifikasi sarana atau fasilitas
bersama dari pemohon, Sub Direktorat Sertifikasi mengevaluasi
dokumen terkait permohonan sertifikasi/persetujuan fasilitas bersama.
1) Jika memenuhi syarat, memberikan persetujuan terkait dokumen
kelengkapan kepada industri.

Universitas Indonesia
34

2) Jika tidak memenuhi syarat, maka pemohon diminta untuk


melengkapi dokumen terkait melalui perbaikan dokumen fasilitas
bersama
b. Sub Direktorat Sertifikasi menyusun rencana pemeriksaan sarana
produksi dalam rangka sertifikasi/persetujuan fasilitas bersama.

2. Persiapan pemeriksaan
a. Sub Direktorat Sertifikasi menetapkan tim sertifikasi sarana produksi
dengan menggunakan surat tugas.
b. Tim sertifikasi menyiapkan dokumen dan peralatan terkait pemeriksaan
sarana produksi.
c. Tim sertifikasi melaksanakan rapat persiapan pemeriksaan sarana
produksi untuk menyusun aide memoir, agenda inspeksi, dan rencana
pelaksanaan inspeksi, daftar hadir.

3. Pelaksanaan Pemeriksaan
a. Tim sertifikasi melakukan opening meeting bersama dengan pihak sarana
produksi.
b. Tim sertifikasi melaksanakan pemeriksaan yang meliputi site vist dan
review dokumen.
c. Tim sertifikasi menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan/atau
daftar periksa serta menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP
dan/atau daftar periksa oleh pemeriksa sarana dan pihak industri.
d. Tim sertifikasi melakukan closing meeting bersama dengan pihak sarana
produksi.

4. Pelaporan Hasil Pemeriksaan


Tim sertifikasi membuat laporan hasil pemeriksaan berdasarkan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP dan/atau daftar periksa kemuadia mengklasifikasikan temuan
menggunakan form laporan hasil pemeriksaan.

Universitas Indonesia
35

5. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Sarana Produksi Obat tradisional dan/atau


kosmetik.
a. Tim sertifikasi melakukan tindak lanjut terhadap hasil pemriksaan sesuai
instruksi kerja (IK) tindak lanjut.
1) Jika hasil pemeriksaan memnuhi ketentuan, maka dibuat laporan
hasil pemeriksaan sarana.
2) Jika hasil pemeriksaan tidak memenuhi ketentuan, maka dibuat surat
tindak lanjut perbaikan ke pemohon.
b. Tim sertifikasi menyerahkan BAP dan/atau daftar periksa, daftar hadir,
form laporan hasil pemeriksaan sarana kepada Direktorat Inspeksi dan
Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen atau
Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan.

6. Melakukan Evaluasi Corrective Action Preventive Action (CAPA) dari sarana


produksi
a. Dalam rangka sertifikasi
1) Sub Direktorat Sertifikasi menganalisis laporan CAPA dari sarana
produksi.
a) Sub Direktorat Sertifikasi mengeluarkan surat pemeriksaan
dinyatakan selesai kepada industri jika hasil evaluasi CAPA
memenuhi syarat.
b) Sub Direktorat Sertifikasi mengirimkan surat evaluasi tindak
lanjut terhadap sarana berdasarkan evaluasi CAPA jika tidak
memenuhi syarat.
2) Sub Direktorat Sertifikasi membuat laporan hasil pemeriksaan sarana
kepada Ka Badan melalui Deputi II Bidang Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetika dan Produk Komplemen serta membuat surat
perintah pembayaran dan surat pemberitahuan sertifikasi ke Balai
Besar/BPOM setempat.
3) Deputi II menganalisis laporan hasil pemeriksaan sarana.
4) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan menyetujui laporan hasil
pemeriksaan sarana.
Universitas Indonesia
36

b. Dalam rangka fasilitas bersama


1) Sub Direktorat Sertifikasi menganalisis laporan CAPA dari sarana
produksi
a) Sub Direktorat Sertifikasi mengeluarkan surat pemeriksaan
dinyatakan selesai kepada industri bila hasil evaluasi CAPA
memenuhi syarat.
b) Sub Direktorat Sertifikasi mengirimkan surat evaluasi tindak
lanjut terhadap sarana jika evaluasi CAPA tidak memenuhi
syarat.
2) Sub Direktorat Sertifikasi membuat dan menganalisis laporan hasil
pemeriksaan sarana kepada Deputi II Bidang Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetika, dan Produk Komplemen.
3) Deputi II menyetujui laporan hasil pemeriksaan sarana.

7. Penerbitan Sertifikat/Surat Persetujuan Fasilitas Bersama


a. Sertifikat CPOTB/CPKB
1) Sub Direktorat Sertifikasi mengusulkan penerbitan sertifikat CPOTB
dan/atau CPKB kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
melalui Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetika,
dan Produk Komplemen.
2) Deputi II merekomendasi penerbitan sertifikat CPOTBCPKB kepada
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
3) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan menerbitkan sertifikat
CPOTB/CPKB.
4) Sub Direktorat Sertifikasi melakukan rekapitulasi dan evaluasi
sertifikat CPOTB/CPKB.
b. Surat Persetujuan Fasilitas Bersama
1) Sub Direktorat Sertifikasi mengusulkan penerbitan surat persetujuan
fasilitas bersama kepada Deputi II Bidang Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetika, dan Produk Komplemen.
2) Deputi II menerbitkan surat persetujuan fasilitas bersama.

Universitas Indonesia
37

3) Sub Direktorat Sertifikasi melakukan rekapitulasi dan evaluasi surat


persetujuan fasilitas bersama.

3.3.4.4 Peneribitan Surat Keteragan Impor (SKI) dan Surat Keterangan Ekspor i

(SKE)
iii

Berikut ini adalah prosedur pelaksanaan penerbitan SKI :


1. Pemohon melakukan registrasi onleine melalui aplikasi e-BPOM http://e-
bpom.bpom.go.id atau//e-bpom.pom.go.id beserta data dukung registrasi
INSW.
2. Sub Direktorat Sertifikasi menerima dokumen permohonan registrasi (hard
copy) dari pemohon dan melakukan pengecekan kelengkapan dan kebenaran
dokumen.
a. Jika dokumen lengkap dan benar, permohonan registrasi INSW disetujui.
b. Jika dokumen belum lengkap dan benar, dikembalikan ke pemohon
untuk dilengkapi.
3. Sub Direktorat Sertifikasi melakukan verifikasi dokumen yang telah disetujui
dengan data yang telah di entry oleh pemohon ke database pada portal e-
bpom.
a. Jika belum sesuai maka permohonan ditolak.
b. Jika telah sesuai maka permohonan registrasi dapat disetujui dengan
memberikan username dan password secara elektronik.
4. Sub Direktorat Sertifikasi menerima pengajuan SKI dari pemohon dengan
melampirkan bukti pembayaran PNBP (secara elektronik dan hardcopy).
5. Sub Direktorat Sertifikasi memeriksa kelengkapan dan kebenaran dokumen
pengajuan permohonan SKI.
a. Jika dokumen lengkap dan benar, maka akan diproses lebih lanjut dan
jika diperlukan dibuat tanda terima pengajuan.
b. Jika dokumen belum lengkap dan benar, dikembalikan ke pemohon
untuk dilengkapi.
6. Sub Direktorat Sertifikasi mencetak draft SKI (jika diperlukan).
7. Sub Direktorat Sertifikasi melakukan evaluasi draft SKI dengan dokumen
pemohon.
Universitas Indonesia
38

a. Jika evaluasi disetujui, maka akan dilakukan rekomendasi.


b. Jika evaluasi tidak disetujui, maka dokumen dikembalikan ke pemohon
untuk dilengkapi.
8. Jika diperlukan Sub Direktorat Sertifikasi melakukan verifikasi draft SKI ke :
a. Direktorat Penilaian
b. PIOM
c. PPOMN
d. Direktorat Standardisasi
e. Instansi lain yang terkait : Dirjen Bea Cukai, Kementerian Kesehatan,
kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Pertahanan.
9. Sub Direktorat Sertifikasi menerbitkan SKI dalam bentuk hard copy dan
dalam soft copy ke portal INSW Bea Cukai.
10. Sub Direktorat Sertifikasi menyerahkan hard copy SKI ke pemohon.
11. Sub Direktorat Sertifikasi merekapitulasi pernerbitan SKI per bulan.
Selanjutnya, berikut ini adalah prosedur pelaksanaan penerbitan SKE :
1. Sub Direktorat Sertifikasi menerima pengajuan SKE dari pemohon
(hardcopy) dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dengan
melampirkan bukti pembayaran PNBP.
2. Sub Direktorat Sertifikasi memeriksa kelengkapan dan kebenaran dokumen
pengajuan permohonan SKE.
a. Jika berkas permohonan lengkap dan benar, diproses lebih lanjut dan jika
diperlukan dibuat tanda terima pengajuan.
b. Jika dokumen belum lengkap dan benar, maka dikembalikan ke pemohon
untuk dilengkapi.
3. Sub Direktorat Sertifikasi mencetak draft SKE.
4. Sub Direktorat Sertifikasi melakukan evaluasi draft SKE dengan dokumen
pemohon.
a. Jika evaluasi disetujui, maka akan dilakukan rekomendasi.
b. Jika evaluasi tidak disetujui, maka dokumen dikembalikan ke pemohon
untuk dilengkapi.

Universitas Indonesia
39

5. Jika diperlukan Sub Direktorat Sertifikasi melakukan legalitas produk jadi


dan penandaan yang disetujui ke Direktorat Penilaian.
6. Sub Direktorat Sertifikasi menerbitkan SKE dalam bentuk hardcopy.
7. Sub Direktorat Sertifikasi menyerahkan hardcopy SKE yang telah disahkan
kepada pemohon.
8. Sub Direktorat Sertifikasi penerbitan SKE per bulan.

3.4 Sub Direktorat Inspeksi Produk I


Sub Direktorat Inspeksi Produk I melakukan inspeksi untuk produk obat
tradisional dan suplemen makanan. Keputusan Kepala Badan POM RI No.
02001/SK/BPOM mengatur tugas, fungsi dan struktur organisasi Sub Direktorat
Inspeksi Produk I.
3.4.1 Tugas Sub Direktorat Inspeksi Produk I
Sub Direktorat Inspeksi Produk I memiliki tugas melaksanakan penyiapan
bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman,
standar, kriteria dan prosedur, evaluasi serta pelaksanaan inspeksi sarana produksi
dan distribusi Produk I.

3.4.2 Fungsi Sub Direktorat Inspeksi Produk I


Dalam menjalankan tugasnya, Sub Direktorat Inspeksi Produk I Badan
POM RI menjalankan fungsi :
1. Penyusunan rencana dan program inspeksi Produk I.
2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi sarana
produksi dan distribusi obat tradisional dan suplemen makanan.
3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penandaan dan
promosi obat tradisional dan suplemen makanan.
4. Evaluasi dan penyusunan laporan inspeksi Produk I.

Universitas Indonesia
40

3.4.3 Struktur Organisasi Sub Direktorat Inspeksi Produk I


Sub Direktorat Inspeksi Produk I terdiri atas 2 seksi, yaitu Seksi Inspeksi
Obat Tradisional dan Sumplemen Makanan serta Seksi Pengawasan Penandaan
dan promosi Obat Tradisional dan Sumplemen Makanan.
3.4.3.1iSeksi Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan
Seksi Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan mempunyai
tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan
program, penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, evaluasi dan
penyusunan laporan, serta melakukan inspeksi sarana produksidan sarana
distribusi obat tradisional dan suplemen makanan.

3.4.3.2 Seksi Pengawasan Penandaan dan Promosi Obat Tradisional dan


Suplemen Makanan
Seksi Pengawasan Penandaan dan Promosi Obat Tradisional dan
Suplemen Makanan mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan
teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria,
dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengawasan
penandaan dan promosi obat tradisional dan suplemen makanan.

3.4.4 Business Process Sub Direktorat Inspeksi Produk I


Pada dasarnya, business process pada Sub Direktorat Inspeksi Produk I
dan Produk II dapat dikatakan serupa dan hanya berbeda pada target yang
diinspeksi. Sub Direktorat Inspeksi Produk I berfokus pada obat tradisional dan
suplemen makanan sedangkan Sub Direktorat Inspeksi Produk II berfokus pada
kosmetika. Berdasarkan Dokumen Quality Management System (QMS) Level 2
berupa Standar Prosedur Operasional untuk Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi
Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan
Makanan tahun 2011, kegiatan Sub Direktorat Inspeksi Produk I dan Produk II
meliputi pelaksanaan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, pelaksanaan
sampling, serta pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan dan sampling.

Universitas Indonesia
41

3.4.4.1 Pemeriksaan Sarana Produksi dan Distribusi


Pemeriksaan/inspeksi sarana produksi dan distribusi obat
tradisional,/kosmetik/suplemen makanan dilakukan dalam rangka :
1. Inspeksi/pemeriksaan rutin
Inspeksi ini dilakukan untuk menilai pemenuhan ketentuan pokok di sarana
produksi dan distribusi obat tradisional/kosmetik/ suplemen makanan secara
berkesinambungan. Sasaran dalam inpeksi/pemeriksaan rutin adalah seluruh
sarana produksi dan distribusi obat tradisional/kosmetik/ suplemen makanan
yang berada di catchment area Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan masing-masing.
2. Inspeksi/pemeriksaan dalam rangka tindak lanjut hasil pemeriksaan
sebelumnya
Inspeksi ini dilakukan untuk mengetahui perbaikan atas temuan pemeriksaan
sebelumnya.
3. Inspeksi/pemeriksaan dalam rangka investigasi dan penanganan kasus
Inspeksi ini dilakukan dalam rangka melakukan penelusuran dan penanganan
kasus tertentu berdasarkan laporan dari ULPK/LIK.
Berikut ini adalah prosedur pemeriksaan sarana produksi dan distribusi
obat tradisional/kosmetika/ suplemen makanan :
1. Perencanaan inspeksi/pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat
tradisional, kosmetika, dan suplemen makanan.
a. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika melakukan pengumpulan data hasil
inspeksi/pemeriksaan sarana produksi/distribusi.
b. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika melakukan analisis resiko terhadap
data hasil pemeriksaan sarana produksi/distribusi yang telah
dikumpulkan.
c. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika menyusun usulan rencana
inspeksi/pemeriksaan sarana produksi/distribusi.

Universitas Indonesia
42

d. Direktorat Penilaian/ULPK/LIK sewaktu-wktu dapat mengirimkan


permintaan inspeksi/pemeriksaan sarana produksi/distribusi kepada Sub
Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub
Direktorat Inspeksi Kosmetika
2. Persiapan inspeksi/pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat
tradisional, kosmetik, dan produk komplemen.
a. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika menetapkan tim inspeksi/pemeriksa
sarana produksi/distribusi dengan menggunakan surat tugas.
b. Tim inspeksi/pemeriksa sarana produksi/distribusi menyiapkan dokumen
dan peralatan terkait inspeksi/pemeriksaan sarana produksi/distribusi.
c. Tim inspeksi/pemeriksa sarana produksi/distribusi melaksanakan rapat
persiapan inspeksi/pemeriksaan sarana produksi/distribusi untuk
menyusun agenda inspeksi dan rencana pelaksanaan inspeksi.
3. Pelaksanaan inspeksi/pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat
tradisional, kosmetik, dan produk komplemen.
a. Tim inspeksi/pemeriksa sarana produksi/distribusi melakukan opening
meeting bersama dengan pihak sarana produksi/distribusi.
b. Tim inspeksi/pemeriksa sarana produksi/distribusi melaksanakan
pemeriksaan yang meliputi site visit dan review produk/dokumen
c. Tim inspeksi/pemeriksa sarana produksi/distribusi menyusun Berita
Acara Pemeriksaan (BAP).
d. Tim inspeksi/pemeriksa sarana produksi/distribusi melakukan closing
meeting bersama dengan sarana produksi/distribusi.
4. Pelaporan hasil inspeksi/pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat dan
makanan
a. Tim inspeksi menyusun laporan inspeksi/pemeriksaan sarana
produksi/distribusi dan usulan surat tindak lanjut.
b. Untuk pemeriksaan sarana distribusi dan pelayanan, proses berhenti
hingga diterbitkan surat tindak lanjut.
c. Tim inspeksi/pemeriksa sarana produksi/distribusi menyerahkan BAP,
daftar hadir dan laporan hasil inspeksi/pemeriksaan kepada Sub
Universitas Indonesia
43

Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub


Direktorat Inspeksi Kosmetika.
5. iMonitoring dan Evaluasi hasil Inspeksi sarana produksi dan distribusi obat
tradisional, kosmetik, dan produk komplemen.
Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub
Direktorat Inspeksi Kosmetika merekapitulasi dan melakukan tindak lanjut
terhadap hasil pemeriksaan. Bila diperlukan, dapat dilakukan pengiriman surat
jawaban kepada ULPK/LIK/Penilaian.

3.4.4.2 Sampling Produk


Selain pemeriksaan terhadap sarana produksi atau sarana distribusi,
dilakukan pula sampling produk yang terdapat pada sarana-sarana tersebut.
Berikut ini adalah prosedur tentang sampling obat tradisional, kosmetik, dan
suplemen makanan :
1. Penyusunan pedoman sampling obat tradisional/kosmetik/suplemen
makanan.
a. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika menganalisis data hasil sampling dan
pengujian, serta pemantauan pelaksanaan sampling dari tahun
sebelumnya
b. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika melakukan evaluasi dan koreksi data
hasil sampling dan pengujian, serta pemantauan pelaksanaan sampling
bersama Pusat Penyidik Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) dan
Direktorat lain di kedeputian II Bidang Pengawas Obat Tradisional,
Kosmetik, dan Produk Komplemen.
c. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika memfinalisasikan pedoman/juklis
sampling untuk diteruskan ke seluruh BB/Balai Pengawas Obat dan
Makanan setelah diserahkan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.

Universitas Indonesia
44

d. Balai menyusun jadwal sampling bulanan berdasarkan Pedoman/juklis


sampling yang telah disahkan Kepala Pengawas Obat dan Makanan dan
pila perlu berdasarkan laporan ULPK/LIK
2. Pelaksanaan sampling obat tradisional/kosmetik/suplemen makanan.
a. Kepala Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan menugaskan
petugas sampling untuk melakukan sampling dengan menggunakan surat
tugas
b. Petugas sampling melakukan pengambilan sampel sesuai pedoman
sampling yang telah ditetapkan
c. Petugs sampling mencatat data sampel dan membuat berita acara
pengambilan sampel
3. Penyerahan sampel ke bidang pengujian
Petugas sampling mengirim sampel ke bidang pengujian untuk dilakukan
pengujian.
4. Pelaporan dan Evaluasi Pelaksanaan Sampling
a. Bidang pengujian mengirim hasil pengujian ke pengirim sampel.
b. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika menerima laporan hasil sampling
bulanan, triwulanan dari Kepala Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan
5. Monitoring dan Evaluasi Tindak Lanjut Hasil Pengujian
a. Untuk hasil uji memenuhi syarat (MS), Sub Direktorat Inspeksi Obat
Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub Direktorat Inspeksi
Kosmetika melakukan pendataan dan pengkajian terhadap hasil sampling
dan pengujian
b. Untuk hasil uji tidak memenuhi syarat (TMS), Sub Direktorat Inspeksi
Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub Direktorat Inspeksi
Kosmetika melakukan analisis terhadap spesifikasi produk dan
menunggu hasil uji absah/konfirmasi tanggapan Pusat Penyidikan Obat
dan Makanan Nasional (PPOMN).
c. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika mengusulkan tindak lanjut.
Universitas Indonesia
45

3.4.4.3 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan dan Sampling Produk


Berikut ini diuraikan berbagai jenis tindak lanjut yang dilakuakn
berdasarkan hasil pemeriksaan dan sampling produk :
1.iiiTindak lanjut hasil pemeriksaan sarana produksi obat
tradisional/kosmetik/suplemen makanan.
a. Tim pemeriksa yang dibentuk oleh Sub Direktorat Inspeksi Obat
Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub Direktorat Inspeksi
Kosmetika serta Balai melakukan pemeriksaan di sarana produksi obat
tradisional, kosmetik dan suplemen makanan sesuai Prosedur Pemeriksaan
Sarana Produksi dan Distribusi Obat dan Makanan.
b. Tim Pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan sarana produksi kepada Sub
Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub
Direktorat Inspeksi Kosmetika.
c. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika mengevaluasi dan mengklasifikasi
hasil temuan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Sarana Produksi :
1) Critical
2) Major
3) Minor
d. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika menerbitkan surat peringatan dan
permintaan pembuatan Corrective Action Preventive Action (CAPA)
kepada industri serta memberikan usulan tindak lanjut kepada Deputi II
Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen.
e. Deputi II mengeluarkan surat peringatan keras, recall dan pencabutan izin
edar obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan yang izin edarnya
dikeluarkan oleh Deputi II kepada industri dengan tembusan Balai
setempat dan/atau mengusulkan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan :
1) Pembekuan sementara serifikat CPOTB/CPKB.
2) Penghentian sementara kegiatan.
3) Pencabutan sertifikat CPOTB/CPKB.
Universitas Indonesia
46

4) Rekomendasi pencabutan izin industri.


5) Pembatalan izin edar untuk obat tradisional, kosmetik dan suplemen
makanan yang izin edarnya dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
f. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan mengeluarkan surat :
1) Rekomendasi pencabutan izin industri.
2) Penghentian sementara kegiatan.
3) Pembekuan sementara serifikat CPOTB/CPKB.
4) Pencabutan sertifikat CPOTB/CPKB.
g. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai melakukan monitoring
tindak lanjut pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen
makanan.

2. Tindak lanjut hasil pemeriksaan sarana distribusi obat tradisional, kosmetik


dan suplemen makanan.
a. Tim pemeriksa yang dibentuk oleh Sub Direktorat Inspeksi Obat
Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub Direktorat Inspeksi
Kosmetika dan Balai Pengawas Obat dan Makanan melakukan
pemeriksaan di sarana distribusi obat tradisional, kosmetik dan suplemen
makanan.
b. Tim Pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan sarana distribusi kepada
Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai Pengawas Obat dan
Makanan.
c. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai Pengawas Obat dan
Makanan mengevaluasi dan mengklarifikasi hasil temuan berdasarkan
Laporan Hasil Pemeriksaan Sarana Distribusi :
1) Administrasi
2) Obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan TIE.

Universitas Indonesia
47

3) Obat tradisional dan suplemen makanan mengandung Bahan Kimia


Obat.
4) Obat tradisional dan suplemen makanan tidak memenuhi syarat
farmasetis.
5) Kosmetika mengandung bahan dilarang.
6) Kosmetika mengandung cemaran mikroba patogen, mikroba non-
patogen dan bahan dengan kadar melebihi batas yang dipersyaratkan.
7) Obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan tidak memenuhi
ketentuan (TMK) Penandaan dan/atau Iklan Obat tradisional,
kosmetik dan suplemen makanan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
d. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai Pengawas Obat dan
Makanan menerbitkan surat peringatan dan memberikan usulan tindak
lanjut kepada Deputi II Bidang Pengawasan Obat dan Makanan sesuai
dengan klasifikasi hasil temuan.
e. Deputi II mengeluarkan surat peringatan keras, recall pencabutan izin
edarnya dikeluarkan oleh Deputi II kepada industri dengan tembusan
balai setempat dan/atau mengusulkan kepada Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan :
1) Penghentian sementara kegiatan distribusi.
2) Rekomendasi pencabutan izin usaha/importasi.
f. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan mengeluarkan surat :
1) Penghentian sementara kegiatan distribusi
2) Rekomendasi pencabutan izin usaha/importasi.
g. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai Pengawas Obat dan
Makanan melakukan monitoring tindak lanjut pengawasan obat
tradisional, kosmetik dan suplemen makanan.

Universitas Indonesia
48

3. iTindak lanjut hasil pengujian obat tradisional, kosmetik dan suplemen


makanan tanpa izin edar (TIE).
a. Tim pemeriksa melakukan pengamanan terhadap temuan obat
tradisional, kosmetik dan suplemen makanan tanpa izin edar.
b. Tim pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan sarana kepada Sub
Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub
Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai Pengawas Obat dan Makanan.
c. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai Pengawas Obat dan
Makanan mengevaluasi Laporan Hasil Pemeriksaan dan mengusulkan
tindak lanjut terhadap temuan obat tradisional, kosmetik dan suplemen
makanan tanpa izin edar dengan tembusan surat tindak lanjut kepada
Balai setempat berupa :
1) Peringatan keras.
2) Surat edaran.
3) Perintah pemeriksaan sarana.
d. Deputi II Bidang Pengawasan Obat dan Makanan menerbitkan
peringatan keras dan surat edaran.
e. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan/atau Balai melaksanakan tindak
lanjut terhadap temuan obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan
tanpa izin edar
f. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika mengusulkan tindak lanjut terhadap
sarana kepada Deputi II.
g. Deputi II melaksanakan tindak lanjut berupa :
1) Surat peringatan.
2) Penghentian sementara kegiatan (PSK)
3) Mengusulkan pencabutan izin produksi kosmetik kepada Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
h. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai melakukan monitoring
Universitas Indonesia
49

tindak lanjut pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen


makanan.

4. Tindak lanjut pengawasan obat tradisional dan suplemen makanan


i

mengandung bahan kimia obat dan/atau tidak memenuhi syarat farmasetis


serta kosmetika mengandung bahan dilarang dan/atau mengandung cemaran
mikroba patogen dan non-patogen dan bahan dengan kadar melebihi batas
yang dipersyaratkan.
a. Tim pemeriksa mengambil sampel sesuai prosedur dan melakukan
pengamanan terhadap temuan :
1) Obat tradisional dan suplemen makanan mengandung bahan kimia
obat.
2) Obat tradisional dan suplemen makanan tidak memenuhi syarat
farmasetis.
3) Kosmetika mengandung bahan dilarang.
4) Kosmetika mengandung bahan dilarang dan/atau mengandung
cemaran mikroba patogen dan non-patogen dan bahan dengan kadar
melebihi batas yang dipersyaratkan
b. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai Pengawas Obat dan
Makanan mengirimkan sampel ke Laboratorium PPOMN dan/atau Balai
uji bila hasil uji tidak memenuhi syarat
c. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai menerima dan melakukan
evaluasi hasil pengujian dan hasil verifikasi dari PPOMN.
d. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika menerbitkan surat peringatan dan
mengusulkan tindak lanjut kepada Deputi II Bidang Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen berupa :
1) Peringatan keras
2) Pembatalan izin edar
3) Surat edaran
Universitas Indonesia
50

4) Perintah pemeriksaan sarana produksi


e. Deputi II menerbitkan surat tindak lanjut sesuai usulan dari Direktorat
Inspeksi dan Sertifikasi mengusulkan tindak lanjut kepada Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan berupa :
1) Public warning.
2) Rekomedasi penghentian sementara kegiatan.
3) Rekomendasi pencabutan izin produksi.
f. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan melaksanakan tindak lanjut
berupa :
1) Public warning.
2) Rekomedasi penghentian sementara kegiatan.
3) Rekomendasi pencabutan izin produksi.
g. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika atau Balai melaksanakan tindak
lanjut sesuai klasifikasi temuan.
h. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika melaporkan hasil pelaksanaan tindak
lanjut kepada Deputi.
i. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika melakukan monitoring tindak lanjut
pengawasan obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan.

5. Tindak lanjut hasil pengawasan penandaan/label obat tradisional, kosmetik dan


suplemen makanan.
a. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika dan Balai melakukan pengawasan
iklan dan penandaan Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Makanan
Balai sesuai prosedur.
b. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika serta Balai mengevaluasi dan
mengklasifikasi temuan obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan
tidak memenuhi ketentuan (TMK) Penandaan dan/atau iklan obat
Universitas Indonesia
51

tradisional, kosmetik dan suplemen makanan tidak memenuhi syarat


(TMS).
c. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika menerbitkan surat peringatan dan
mengusulkan tindak lanjut kepada Deputi bila ditemukan produk tanpa
izin edar (TIE) dan mengandung bahan berbahaya/bahan kimia obat.
d. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika melaporkan hail pelaksanaan tidak
lanjut kepada Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik,
dan Produk Komplemen jika hasil pengawasan klan dan penandaan/label
ditemukan obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan tanpa izin
edar (TIE).
e. Deputi II menerbitkan tindak lanjut sesuai dengan yang diusulkan oleh Sub
Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau Sub
Direktorat Inspeksi Kosmetika.
f. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika serta Balai Setempat melakukan
monitoring tindak lanjut pengawasan iklan dan penandaan obat tradisional,
kosmetik dan suplemen makanan.

6. Tindak lanjut terhadap laporan balai


a. Balai Pengawas Obat dan Makanan secara rutin mengirimkan laporan
bulanan kepada Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen
Makanan atau Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika berupa :
1) Laporan bulanan hasil pemeriksaan sarana produksi.
2) Laporan bulanan hasil pemeriksaan sarana distribusi.
3) Laporan bulanan hasil pengujian.
4) Laporan bulanan hasil pengawasan iklan.
5) Laporan bulanan hasil pengawasan penandaan.
b. Sub Direktorat Inspeksi Obat Tradisional dan Suplemen Makanan atau
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika mengevaluasi laporan, memberikan

Universitas Indonesia
52

feedback kepada Balai dan melakukan tindak lanjut sesuai dengan


klasifikasi temuan obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan.

3.5 Sub Direktorat Inspeksi Produk II


Sub Direktorat Inspeksi Produk II melakukan inspeksi untuk kosmetik.
Keputusan Kepala Badan POM RI No. 02001/SK/BPOM mengatur tugas, fungsi
dan struktur organisasi Sub Direktorat Inspeksi Produk II.
3.5.1 Tugas Sub Direktorat Inspeksi Produk II
Sub Direktorat Inspeksi Produk II memiliki tugas melaksanakan
penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar,
kriteria dan prosedur, evaluasi serta pelaksanaan inspeksi sarana produksi dan
distribusi Produk II.

3.5.2 Fungsi Sub Direktorat Inspeksi Produk II


Dalam menjalankan tugasnya, Sub Direktorat Inspeksi Produk II
menjalankan fungsi :
1. Penyusunan rencana dan program inspeksi Produk II.
2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi sarana
produksi dan distribusi kosmetik.
3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan
penandaan dan promosi kosmetik.
4. Evaluasi dan penyusunan laporan inspeksi Produk II.

3.5.3 Struktur Organisasi Sub Direktorat Inspeksi Produk II


Sub Direktorat Inspeksi Produk I terdiri atas 2 seksi, yaitu Seksi Inspeksi
Kosmetik dan Seksi Pengawasan Penandaan dan promosi Kosmetik.
3.5.3.1 Seksi Inspeksi Produk Kosmetik
Seksi Inspeksi Kosmetik mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan
kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman,

Universitas Indonesia
53

standar, kriteria, dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan
inspeksi sarana produksi dan sarana distribusi kosmetik.

3.5.3.2 Seksi Pengawasan Penandaan dan Promosi Kosmetik


Seksi Pengawasan Penandaan dan Promosi Kosmetik mempunyai tugas
menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan
program, penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, evaluasi dan
penyusunan laporan, serta melakukan pengawasan penandaan dan promosi
kosmetik.

3.5.4 Business Process Sub Direktorat Inspeksi Produk II


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, business process pada Sub
Direktorat Inspeksi Produk II serupa dengan Sub Direktorat Inspeksi Produk I.
Sub Direktorat Inspeksi Produk II berfokus pada kosmetika.

Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Sub Direktorat Sertifikasi


Sub Direktorat Sertifikasi melakukan sertifikasi untuk obat tradisional,
kosmetika, dan suplemen makanan. Sub Direktorat Sertifikasi terdiri atas 3 seksi,
yaitu Seksi Sertifikasi Obat Tradisional, Seksi Sertifikasi Kosmetik dan Suplemen
Makanan serta Seksi Tata Operasional. Berbeda dengan kedua seksi lainnya,
Seksi Tata Operasional tidak melakukan fungsi pengawasan terhadap obat
tradisional, kosmetik, dan suplemen makanan. Seksi Tata Operasional mempunyai
tugas melaksanakan tata operasional di lingkungan Direktorat Inspeksi dan
Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen.
Ruang lingkup kerja Sub. Direktorat Sertifikasi, Direktorat Inspeksi dan
Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk komplemen terdiri dari
pemberian persetujuan denah bangunan yang juga merupakan persyaratan
mendapatkan izin produksi, pemberian rekomendasi izin produksi, sertifikasi
sarana produksi (CPKB/CPOTB) dan persetujuan fasilitas bersama serta
penerbitan Surat Keterangan Impor (SKI) dan Surat Keterangan Ekspor (SKE).

4.1.1 Persetujuan denah bangunan.


Setiap industri obat tradisional, kosmetik, dan suplemen makanan wajib
memiliki izin produksi (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175 tahun 2010
tentang Izin Produksi Kosmetika dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 006
tahun 2012 tentang Industri Usaha Obat Tradisional). Dalam proses penerbitan
izin produksi, pemohon harus melampirkan denah bangunan industri yang harus
disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui Sub Direktorat
Sertifikasi. Selain memberikan persetujuan denah bangunan, Sub Direktorat
Sertifikasi juga memberikan layanan konsultasi terkait denah bangunan industri
kosmetik dan obat tradisional.

54 Universitas Indonesia
55

4.1.2 Rekomendasi izin produksi


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap industri obat
tradisional, kosmetik, dan suplemen makanan wajib memiliki izin produksi
(Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175 tahun 2010 tentang Izin Produksi
Kosmetika dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 006 tahun 2012 tentang
Industri Usaha Obat Tradisional). Dalam proses penerbitan izin produksi, Badan
Pengawas Obat dan Makanan berperan dalam memberikan rekomendasi izin
produksi kepada Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Rekomendasi tersebebut diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan sarana produksi
oleh Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan yang ada di seluruh
Indonesia.

4.1.3 Sertifikasi sarana (CPOTB/CPKB) dan Persetujuan Fasilitas Bersama


Tidak semua industri kosmetika atau obat tradisional wajib memiliki
sertifikat CPKB/CPOTB. Sampai saat ini, sertifikasi CPKB/CPOTB hanya
bersifat sukarela, namun prinsip CPKB/CPOTB tetap wajib diterapkan pada
sarana produksi. Akan tetapi, sertifikat CPKB/CPOTB menjadi sebuah keharusan
bagi Industri Obat Tradisional (IOT) serta industri kosmetika yang melakukan
kontrak produksi kepada industri kosmetika lain. Selain mengurus sertifikasi
sarana produksi (CPKB/CPOTB), Sub Direktorat Sertfikasi juga melakukan
persetujuan fasilitas bersama. Fasilitas bersama adalah fasilitas produksi industri
obat tradisional/kosmetik yang digunakan untuk memproduksi sediaan diluar obat
tradisional/kosmetik.

4.1.4 Penerbitan Surat Keterangan Impor (SKI) dan Surat Keterangan


iiEkspor (SKE)
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.
HK.03.1.23.04.11.03724 tahun 2011, No. HK.00.05.42.2996 tahun 2008 , dan
No. HK.00.05.1.42.0115 tahun 2009 mengatur tentang pengawasan pemasukan
kosmetika, bahan obat tradisional, dan obat tradisional ke Indonesia. Bentuk
pengawasan terhadap barang-barang impor tersebut ialah melalui penerbitan Surat
Keterangan Impor (SKI). Setiap pemasukan (shipment) barang ke wilayah

Universitas Indonesia
56

Indonesia harus disertai dengan Surat Keterangan Impor (SKI). Saat ini,
pengajuan permohonan SKI dilakukan secara elektronik melalui website Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Surat Keterangan Impor (SKI) dalam bentuk
softcopy dapat dikeluarkan dan diintegrasikan kepada bea cukai oleh Sub
Direktorat Sertifikasi dalam jangka waktu kurang dari 1 hari melalui portal
Indonesian Single Windows (INSW). Sedangkan bentuk hardcopy dari Surat
Keterangan Impor (SKI) dapat diberikan kepada pemohon dalam jangka waktu 1
hari. Alur permohonan Surat Keterangan Impor (SKI) diberikan pada Lampiran
4.
Untuk mendukung kegiatan ekspor produk kosmetika, obat tradisional,
dan suplemen makanan Indonesia ke luar negeri, Sub Direktorat Sertifikasi juga
memfasilitasi penerbitan Surat Keterangan Ekspor (SKE). Surat keterangan ini
dapat berupa Certificate of Pharmaceutical Product (CoPP), Certificate of Health
(CoH)/To Whom It May Concern (TW), Certificate of Free Sale (CFS), Safety
Data Sheet (SDS), atau Product Description. Pembuatan surat ini bersifat
opsional, tergantung kebijakan dari negeri tujuan ekspor. Alur permohonan Surat
Keterangan Ekspor (SKE) diberikan pada Lampiran 5.

4.2 Sub Direktorat Inspeksi Produk I dan II


Sub Direktorat Inspeksi Produk I melakukan inspeksi untuk produk obat
tradisional dan suplemen makanan sedangkan Sub Direktorat Inspeksi Produk II
melakukan inspeksi untuk produk kosmetik . Kedua Sub Direktorat ini masing-
masing terdiri dari 2 seksi, yaitu yaitu Seksi Inspeksi Produk I/II serta Seksi
Pengawasan Penandaan dan Promosi Produk I/II.
Pada dasarnya, hal yang membedakan pekerjaan kedua Sub Direktorat ini
adalah target produk yang diawasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa Sub Direktorat Inspeksi Produk I melakukan inspeksi untuk produk obat
tradisional dan suplemen makanan sedangkan Sub Direktorat Inspeksi Produk II
melakukan inspeksi untuk produk kosmetik. Selain itu, kegiatan yang dilakukan
oleh kedua Sub Direktorat ini dapat dikatakan serupa. Kegiatan pengawasan yang
dilakukan oleh kedua Sub Direktorat ini pada dasarnya terdiri dari kegiatan

Universitas Indonesia
57

pengawasan sarana produksi dan sarana distribusi termasuk produkobat


tradisional/kosmetik/suplemen makanan yang ada di dalamnya.
Pengawasan sarana dilakukan terhadap industri, importir, dan usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan industri yang
telah memiliki izin produksi. Selain itu, juga dilakukan pengawasan sarana
distribusi yang meliputi distributor, agen, klinik kecantikan/salon/spa,
swalayan/apotek/toko obat/toko kosmetik, stokis Multi Level Marketing (MLM),
dan pengecer. Pengawasan yang dilakukan terhadap produk obat
tradisional/kosmetika/suplemen makanan yang beredar meliputi pemeriksaan ijin
edar, keamanan/manfaat/mutu, penandaan dan klaim serta promosi. Alur
pemeriksaan industri, sarana importir dan sarana usaha/perorangan/badan usaha
yang melakukan kontrak produksi, sarana distribusi, pengawasan iklan dan
promosi masing-masing diberikan pada Lampiran 5, 6, 7, dan 8.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Badan
Pengawas Obat dan Makanan Jl. Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat pada
periode 4-26 Februari 2013, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI)
sebagai institusi pemerintah yang resmi mengawasi obat dan makanan di
Indonesia. Badan POM ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non
Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan
dikoordinasi oleh Menteri Kesehatan.
2. Untuk meningkatkan perlindungan kepada masyarakat dari akibat
pelanggaran-pelangaran hukum di bidang obat tradisional, kosmetika, dan
produk komplemen, maka Badan POM RI membentuk Direktorat Inspeksi
dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk Komplemen
dibawah naungan Deputi II (Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik,
dan Produk Komplemen).
3. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk
Komplemen terdiri dari 3 sub direktorat, yaitu Sub Direktorat Sertifikasi, Sub
Direktorat Inspeksi Produk I, dan Sub Direktorat Inspeksi Produk II.
4. Sub Direktorat Sertifikasi melakukan sertifikasi terhadap obat tradisional,
kosmetika, dan suplemen makanan, Sub Direktorat Inspeksi Produk I
melakukan pengawasan terhadap obat tradisional dan suplemen makanan,
sedangkan Sub Direktorat Produk II melakukan pengawasan terhadap
kosmetika.
5. Ruang lingkup kerja Sub Direktorat Sertifikasi terdiri dari pemberian
persetujuan denah bangunan yang juga merupakan persyaratan mendapatkan
izin produksi, pemberian rekomendasi izin produksi, sertifikasi sarana
produksi (CPKB/CPOTB) dan persetujuan fasilitas bersama serta penerbitan
Surat Keterangan Impor (SKI) dan Surat Keterangan Ekspor (SKE).

58 Universitas Indonesia
59

6. Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Sub Direktorat Inspeksi Produk I


dan II pada dasarnya terdiri dari kegiatan pengawasan sarana produksi dan
sarana distribusi termasuk produk obat tradisional/kosmetik/suplemen
makanan yang ada di dalamnya.
7. Pengawasan sarana dilakukan terhadap industri, importir, dan usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan industri
yang telah memiliki izin produksi.
8. Selain itu, juga dilakukan pengawasan sarana distribusi yang meliputi
distributor, agen, klinik kecantikan/salon/spa, swalayan/apotek/toko obat/toko
kosmetik, stokis Multi Level Marketing (MLM), dan pengecer. Pengawasan
yang dilakukan terhadapiprodukiobatitradisional/kosmetika/suplemen
makanan yang beredar meliputi pemeriksaan ijin edar,
keamanan/manfaat/mutu, penandaan dan klaim serta promosi.

5.2 Saran
Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan Pengawas
Obat dan Makanan khususnya di Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat
Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen didominasi oleh penelusuran
literatur (Undang-undang/Peraturan Kepala Badan POM) dan penyusunan laporan
saja. Diharapkan peserta PKPA dapat lebih diiukut sertakan dalam kegiatan dalam
unit-unit kerja yang ada pada direktorat yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
peserta PKPA dapat lebih mudah memahami kegiatan yang dilakukan oleh
masing-masing unit kerja tersebut. Selama pelaksanaan PKPA, peserta hanya
dilibatkan dalam unit kerja penerbitan Surat Keterangan Impor (SKI) dan Surat
Keterangan Ekspor (SKE) yang berada di bawah Sub Direktorat Sertifikasi,
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
Komplemen.
Mengingat pekerjaan yang dilakukan pada Direktorat Inspeksi dan
Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk Komplemen sangat banyak
sekali, diharapkan dapat dilakukan penambahan sumber daya manusia. Oleh
karena peserta PKPA hanya diikutsertakan dalam kegiatan pada unit kerja
penerbitan SKI dan SKE, adapun saran yang dapat diberikan kepada Sub
Universitas Indonesia
60

Direktorat Sertifikasi adalah agar dapat lebih menertibkan alur pelayanan yang
diberikan. Berdasarkan hasil pengamatan di loket, para pemohon Surat
Keterangan Impor (SKI) dan/atau Surat Keterangan Ekspor (SKE) terlihat kurang
tertib dalam mengantri dan tidak mempedulikan nomor antrian yang sudah
diberikan di awal. Hal ini menyebabkan suasana loket menjadi sedikit kacau.
Diharapkan dapat diterapkan suatu sistem antrian yang dapat menaggulangi
permasalahan tersebut, misalnya dengan membuat alur antrian yang dibatasi
dengan rantai atau sejenis sekat lainnya.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2010). Pelaksanaan


Program dan Kegiatan Reformasi Birokrasi Badan POM RI. Diunduh dari
http://www.pom.go.id/index.php/home/reformasi_birokrasi/next1itanggal 13
Februari 2013 Pk. 09.00 WIB.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2011). Dokumen Quality Management


System (QMS) Level 2 Standard Opertional Procedures. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2001).


Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
No. 02001/SK/BPOM tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2008).


Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No.
HK.00.05.42.2996 tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan Obat
Tradisional. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2009).


Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No.
HK.00.05.1.42.0115 tahun 2009 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan
Baku Obat Tradisional. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2010).


Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
No. 04.01.21.11.10.10509 tahun 2010 tentang Penetapan Visi dan Misi
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011).


Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
No. HK.04.1.28.11.11.09219 tahun 2011 tentang Penerapan Sistem
Manajemen Mutu (Quality Management System) Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011).


Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
No. HK. 06.02.2.23.2.11.00903 tahun 2011 tentang Operasionalisasi
Pengembangan Sistem Manajemen Mutu (Quality Management System)
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta.

61 Universitas Indonesia
62

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011).


Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No.
HK.03.1.23.04.11.03724 tahun 2011 tentang Pengawasan Pemasukan
Kosmetika. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011).


Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.
03.1.23.12.11.10052 tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan
Peredaran Kosmetika. Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No. 1175 tahun 2010 tentang Izin Produksi Kosmetika.
Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No. 006 tahun 2012 tentang Industri Usaha Obat
Tradisional. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (2001). Keputusan Presiden Republik Indonesia No.


103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Jakarta.

Universitas Indonesia
63

Lampiran 1. Struktur Organisasi Badan POM RI

[sumber: Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
02001/SK/BPOM, telah diolah kembali]

Universitas Indonesia
64

Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat


Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen Badan POM RI

DIREKTUR INSPEKSI SERTIFIKASI


OT, KOSMETIK DAN PK
Drs. Sukiman Said Umar, Apt

KA. SUB DIREKTORAT KA. SUB DIREKTORAT


KA. SUB DIREKTORAT INSPEKSI PRODUK II SERTIFIKASI
IINSPEKSI PRODUK I Dra.Tita Nursjafrida, M.KM, Apt Dra. Kristiana Haryati, Apt
Dra. Mauizzati Purba, M.Kes

KA. SEKSI SERTIFIKASI


OBAT TRADISIONAL
KA. SEKSI PENGAWASAN Dra. Nelvya Roza, Apt
PENANDAAN PRODUK II
KA. SEKSI INSPEKSI
PRODUK I Rita Kholihah, S.Si., Apt.
Widha Diana Sari,S.Si, Apt
3 STAFF
2 STAFF
4 STAFF

KA. SEKSI SERTIFIKASI


KOSMETIK DAN SM
Better Ridder,S.Si,M.Bus, Apt
KA. SEKSI PENGAWASAN
PENANDAAN DAN PROMOSI
PRODUK I KA. SEKSI INSPEKSI
Imelda Ester Riana, S.T, M.KM PRODUK II
Titik Nuryani, S.Si, Apt 5 STAFF

3 STAFF 5 STAFF

KA. SEKSI TATA


OPERASIONAL
Anita Kembaren, S.Si, Apt

6 STAFF

Keterangan : Produk I = Obat Tradisional dan Suplemen Makanan


I iProduk II = Kosmetik

[sumber: Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
02001/SK/BPOM, telah diolah kembali]
Universitas Indonesia
65

Lampiran 3. Alur Permohonan Surat Keterangan Impor (SKI)

Keterangan : NSW : National Single Window

[sumber: Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No. HK.03.1.23.04.11.03724
tahun 2011, telah diolah kembali]
Universitas Indonesia
66

Lampiran 4. Alur Permohonan Surat Keterangan Ekspor (SKE)

Keterangan:
CFS : Certificate Of Free
Sale
CoPP : Certificate of
Pharmaceutical Product
TW : To Whom It May
Concern
HC : Health Certificate

[sumber: Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No. HK.03.1.23.04.11.03724
tahun 2011, telah diolah kembali]

Universitas Indonesia
67

Lampiran 5. Alur Pemeriksaan Industri

Pemeriksaan
Industri

- Pemeriksaan dokumen/catatan lain yang diduga memuat


keterangan mengenai produk dan kegiatan sarana
- Pemeriksaan penerapan CPKB/CPOTB
- Pemeriksaan penandaan & klaim
- Pengambilan contoh atau sampling berdasarkan analisis resiko
dan prioritas sampling untuk dilakukan pengujian laboratorium
- Pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan produk yang TMS

produk

Keterangan : MK : Memenuhi Ketentuan; TMK : Tidak Memenuhi Ketentuan


MS : Memenuhi Syarat; TMS : Tidak Memenuhi Syarat

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK. 03.1.23.12.11.10052
tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika, telah diolah kembali]

Universitas Indonesia
68

Lampiran 6. Alur Pemeriksaan Sarana Importir dan Sarana Usaha/


iPerorangan/Badan Usaha yang Melakukan Kontrak Produksi

- Pemeriksaan dokumen/catatan lain yang diduga memuat keterangan


mengenai produk dan kegiatan sarana
- Pemeriksaan sarana penyimpanan produk
- Pemeriksaan penandaan & klaim
- Pengambilan contoh atau sampling berdasarkan analisis resiko dan
prioritas sampling untuk dilakukan pengujian laboratorium
- Pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan produk yang TMS

produk

Keterangan : MK : Memenuhi Ketentuan; TMK : Tidak Memenuhi Ketentuan


MS : Memenuhi Syarat; TMS : Tidak Memenuhi Syarat

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK. 03.1.23.12.11.10052
tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika, telah diolah kembali]

Universitas Indonesia
69

Lampiran 7. Alur Pemeriksaan Sarana Distribusi

- Pemeriksaan dokumen/catatan lain yang diduga


memuat keterangan mengenai produk dan kegiatan
sarana
- Pemeriksaan sarana penyimpanan produk
- Pemeriksaan penandaan & klaim
- Pengambilan contoh atau sampling berdasarkan
analisis resiko dan prioritas sampling untuk
dilakukan pengujian laboratorium

produk

Keterangan : MK : Memenuhi Ketentuan; TMK : Tidak Memenuhi Ketentuan


MS : Memenuhi Syarat; TMS : Tidak Memenuhi Syarat

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK. 03.1.23.12.11.10052
tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika, telah diolah kembali]

Universitas Indonesia
70

Lampiran 8. Alur Pengawasan Iklan dan Promosi

Pemantauan materi dan promosi


Evaluasi materi iklan dan promosi

Keterangan : MK : Memenuhi Ketentuan; TMK : Tidak Memenuhi Ketentuan

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK. 03.1.23.12.11.10052
tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika, telah diolah kembali]

Universitas Indonesia
iii

UNIVERSITAS INDONESIA

KAJIAN STRATEGI PEMBERANTASAN KOSMETIKA


YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

YISKA NATHASA SITUMORANG, S.Farm.


1206313892

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JUNI 2013
ii

UNIVERSITAS INDONESIA

KAJIAN STRATEGI PEMBERANTASAN KOSMETIKA YANG


TIDAK MEMENUHI SYARAT

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

YISKA NATHASA SITUMORANG, S.Farm.


1206313892

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JUNI 2013

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... iv

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1


1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................ 3
1.3 Sistematika Penulisan ............................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 5


2.1 Kosmetika ................................................................................... 5
2.2 Izin Produksi Kosmetika ............................................................. 5
2.3 Notifikasi Kosmetika .................................................................. 7
2.4 Persyaratan Teknis Kosmetika.................................................... 9
2.5 Pengawasan Kosmetika .............................................................. 11

BAB 3 KAJIAN DAN PEMBAHASAN .................................................... 15


3.1 Kajian Pengawasan Sarana Produksi .......................................... 15
3.2 Kajian Pengawasan Sarana Distribusi ........................................ 16
3.3 Kajian Pengawasan Penandaan dan Promosi Kosmetika ........... 17
3.4 Kajian terhadap Sanksi Pelanggaran........................................... 19

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 23

LAMPIRAN .................................................................................................... 25

iii Universitas
Indoenesia
iv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Permohonan Untuk Mendapatkan Izin Produksi


Kosmetika .................................................................................... 25
Lampiran 2. Alur Permohonan Untuk Mendapatkan Notifikasi
Kosmetika .................................................................................... i 26
Lampiran 3. Alur Pemeriksaan Prduk dan Klaim Kosmetika......................... 27
Lampiran 4. Alur Pmeriksaan Industri Kosmetika ......................................... 28
Lampiran 5. Alur Pemeriksaan Sarana Importir dan Sarana Usaha
Perorangan/Badan Usaha yang Melakukan Kontrak
Produksi ....................................................................................... 29
Lampiran 6. Alur Pemeriksaan Sarana Distribusi .............................................. 30
Lampiran 7. Alur Pengawasan Penandaan dan Promosi Kosmetika ................. 31

iv Universitas
Indoenesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Keputusan Presiden No. 103 tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang diberikan tugas untuk melakukan
pengawasan terhadap obat dan makanan. Dalam menjalankan tugasnya untuk
melindungi masyarakat dari obat dan makanan yang tidak memenuhi syarat,
Badan Pengawas Obat dan Makanan menerapkan sistem pengawasan full
spectrum yang meliputi pengawasan pre-market sampai post-market.
Sistem pengawasan ini terdiri dari 3 lapis pengawasan yang melibatkan
pelaku usaha, masyarakat, dan pemerintah. Sistem pengawasan oleh pemerintah
dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui pengaturan dan
standardisasi, penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan
beredar di Indonesia, inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium
produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung oleh
penegakan hukum. Terkait pengawasan terhadap obat tradisional, kosmetika, dan
produk komplemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan membentuk Deputi II
Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen.
Pada masa sekarang ini, penggunaan kosmetika sudah merupakan suatu
kebutuhan bagi masyarakat. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi, beragam kosmetika muncul di pasaran. Penerapan Harmonisasi
ASEAN pada tahun 2011 juga turut serta mendukung sistem perdagangan bebas
kosmetika di Indoenesia. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1176 tahun 2010 tentang Notifikasi Kosmetika, untuk dapat beredar
di Indonesia, produk kosmetika hanya perlu melalui proses notifikasi atau
pemberitahuan yang diberikan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Produsen/pelaku usaha diberikan tanggung jawab penuh terhadap produk
kosmetika yang diproduksinya. Dengan demikian, bentuk pengawasan post-
market terhadap kosmetika dilakukan secara lebih ketat. Pengawasan ini
1 Universitas Indonesia
3

dilakukan untuk menjamin bahwa produk kosmetika yang telah ternotifikasi dan
beredar di masyarakat benar-benar memenuhi persyaratan keamanan, kemanfatan,
mutu, penandaan, dan klaim. Oleh karena itu, untuk melindungi masyarakat
terhadap hal-hal yang dapat merugikan kesehatan, maka perlu dilakukan
pengawasan untuk mencegah produksi dan peredaran kosmetika yang tidak
memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, mutu, penandaan, dan klaim
tersebut.
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetika, dan
Produk Komplemen yang berada di bawah Deputi II Bidang Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen mempunyai Sub Direktorat
Inspeksi Produk II yang memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan,
perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
evaluasi serta pelaksanaan inspeksi sarana produksi dan distribusi kosmetika.
Berdasarkan Laporan Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan RI Semester
I Tahun 2012, terkait tugas dan fungsi Sub Direktorat Inspeksi Produk Kosmetika
disebutkan bahwa dari total 8.670 produk kosmetika yang sudah dinotifikasi, telah
dilakukan inspeksi terhadap 62 sarana produksi dan 2300 sarana distribusi
kosmetika. Menurut hasil inspeksi terhadap sarana produksi kosmetika, ditemukan
47 (75,81%) sarana produksi kosmetika yang tidak memenuhi ketentuan. Sarana
produksi kosmetika tersebut melakukan pelanggaran karena melakukan produksi
terhadap kosmetika yang tidak memiliki izin edar, belum menerapkan Cara
Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB), tidak melaksanakan administrasi dan
dokumentasi produk yang baik, serta memproduksi produk kosmetika yang
mengandung bahan berbahaya dan tidak memenuhi persyaratan penandaan.
Sedangkan berdasarkan hasil inspeksi terhadap sarana distribusi kosmetika,
ditemukan 718 (31,22%) sarana distribusi kosmetika yang tidak memenuhi
ketentuan. Sarana distribusi kosmetika tersebut melakukan pelanggaran karena
melakukan distribusi produk kosmetika yang tidak memiliki izin edar (termasuk
produk kosmetika palsu), mengandung bahan dilarang, dan tidak memenuhi
persyaratan penandaan.
Menurut data tersebut, dapat disimpulkan bahwa masih banyak sarana
produksi dan distribusi kosmetika yang tidak memenuhi ketentuan. Hal ini juga
Universitas Indonesia
3

mengindikasikan bahwa masih banyak produk kosmetika yang tidak memenuhi


syarat keamanan, kemanfaatan, mutu, penandaan serta klaim beredar Indonesia.
Oleh karena itu, melalui makalah ini, penulis selaku masyarakat yang juga
merupakan bagian dari sistem pengawasan tiga lapis yang dilakukan Badan
Pengawas Obat dan Makanan, melakukan kajian terhadap strategi pemberantasan
produk kosmetika tidak memenuhi syarat. Diharapkan melalui kajian ini, penulis
dapat memberikan masukan demi peningkatan pengawasan untuk melindungi
masyarakat dari produk kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,
kemanfaatan, mutu, penandaan, dan klaim.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Melakukan kajian terhadap strategi pemberantasan produk kosmetika tidak
memenuhi syarat yang dilakukan oleh Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika,
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetika dan Produk
Komplemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2. Memberikan saran dan masukan demi peningkatan pengawasan untuk
melindungi masyarakat dari produk kosmetika yang tidak memenuhi
persyaratan keamanan, kemanfaatan, mutu, penandaan, dan klaim.

1.3 Sistematika Penulisan


Berikut ini adalah sistematika penulisan makalah ini :
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Sistematika Penulisan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kosmetika
2.2 Ijin Produksi Kosmetika
2.3 Notifikasi Kosmetika
2.4 Persyaratan Teknis Kosmetika
2.5 Pengawasan Kosmetika
Universitas Indonesia
4

BAB 3 KAJIAN DAN PEMBAHASAN


3.1 Kajian Pengawasan Sarana Produksi
3.2 Kajian Pengawasan Sarana Distribusi
3.3 Kajian Penandaan dan Promosi Kosmetika
3.4 Kajian terhadap Sanksi Pelanggaran
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kosmetika
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1175 tahun
2010 tentang Izin Produksi Kosmetika, disebutkan bahwa Kosmetika adalah
bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh
manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi
dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 1745 tahun
2003tentang Kosmetika juga menyebutkan bahwa Kosmetika lisensi adalah
kosmetika yang diproduksi di wilayah Indonesia atas dasar penunjukan atau
persetujuan tertulis dari pabrik induk di negara asalnya. Kosmetika kontrak adalah
kosmetika yang produksinya dilimpahkan kepada produsen lain berdasarkan
kontrak. Kosmetika impor adalah kosmetika produksi pabrik kosmetika luar
negeri yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia.

2.2 Izin Produksi Kosmetika


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1175 tahun
2010 tentang Izin Produksi Kosmetik, pembuatan kosmetika hanya dapat
dilakukan oleh industri kosmetika yang memiliki izin produksi. Izin produksi
tersebut diberikan oleh Menteri Kesehatan melalui Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang juga melibatkan Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Izin produksi tersebut berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang selama memenuhi ketentuan yang berlaku. Alur permohonan untuk
mendapatkan izin produksi kosmetika dapat dilihat pada Lampiran 1.

5 Universitas Indonesia
6

Izin produksi kosmetika diberikan sesuai bentuk dan jenis sediaan


kosmetika yang akan dibuat. Izin produksi tersebut dibedakan atas 2 (dua)
golongan, yaitu :
1. Golongan A yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang dapat
membuat
semua bentuk dan jenis sediaan kosmetika.
2. Golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang dapat
membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu dengan menggunakan
teknologi sederhana.
Terdapat perbedaan persyaratan untuk mendapatkan izin produksi
kosmetika golongan A dan B. Izin produksi industri kosmetika golongan A
diberikan dengan persyaratan sebagai berikut :
1. Memiliki apoteker sebagai penanggung jawab.
2. Memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat.
3. Memiliki fasilitas laboratorium.
4. Wajib menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB).
Sedangkan izin produksi industri kosmetika golongan B diberikan dengan
persyaratan sebagai berikut :
1. Memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung
jawab.
2. Memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang
akan dibuat berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan No. HK.03.1.23.12.11.10689 tahun 2011 tentang Bentuk dan Jenis
Sediaan Tertentu yang Dapat Diproduksi oleh Industri Kosmetik yang
Memiliki Izin Produksi Golongan B.
3. Mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB.
Setiap perubahan yang meliputi perubahan golongan/nama industri,
penambahan bentuk dan jenis sediaan, perubahan alamat/ lokasi, perubahan nama
direktur/pengurus/ penanggung jawab dilokasi yang sama, harus dilakukan
perubahan izin produksi. Izin produksi dicabut, dalam hal :
1. Atas permohonan sendiri.

Universitas Indonesia
7

2. Izin usaha industri atau tanda daftar industri habis masa berlakunya dan tidak
diperpanjang.
3. Izin produksi habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang.
4. Tidak berproduksi dalam jangka waktu 2 (dua) tahun berturut turut.
5. Tidak memenuhi standar dan persyaratan untuk memproduksi kosmetika.

2.3 Notifikasi Kosmetika


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1176 tahun
2010 tentang Notifikasi Kosmetika, setiap kosmetika hanya dapat diedarkan
setelah mendapat izin edar dari Menteri Kesehatan berupa notifikasi melalui
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Namun, hal ini dikecualikan bagi kosmetika
yang digunakan untuk penelitian dan sampel kosmetika untuk pameran dalam
jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan. Alur permohonan untuk mendapatkan
notifikasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pemohon notifikasi dapat terdiri atas:
1. Industri kosmetika yang berada di wilayah Indonesia yang telah memiliki izin
produksi.
2. Importir kosmetika yang mempunyai Angka Pengenal Impor (API) dan surat
penunjukkan keagenan dari produsen negara asal.
3. Usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan
industri kosmetika yang telah memiliki izin produksi.
Secara khusus untuk produk kosmetika impor, Peraturan Kepala Badan
Pengawasan Obat dan Makanan No. HK.03.1.23.04.11.03724 tahun 2011 tentang
Pengawasan Pemasukan Kosmetika juga mengatur bahwa selain ijin edar berupa
notifikasi, produk kosmetik yang masuk ke Indonesia harus dilengkapi dengan
Surat Keterangan Impor (SKI) yang diberikan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Surat keterangan ini hanya berlaku untuk setiap kali pemasukan
(shipment).
Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha perorangan/badan
usaha yang melakukan kontrak produksi harus memiliki Dokumen Informasi
Produk (DIP) sebelum kosmetika dinotifikasi. Industri kosmetika, importir
kosmetika, atau usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi
Universitas Indonesia
8

tersebut wajib menyimpan DIP dan menunjukkan DIP bila sewaktu-waktu


diperiksa/diaudit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Notifikasi kosmetika berlaku untuk jangka waktu 3 tahun. Notifikasi
perubahan harus dilakukan apabila selama jangka waktu tersebut dilakukan
perubahan atas :
1. Nama industri/importir/badan usaha yang melakukan notifikasi tanpa
perubahan hak untuk mengedarkan atau status kepemilikan.
2. Alamat industri/importir/badan usaha yang melakukan notifikasi dengan tidak
terjadi perubahan lokasi pabrik.
3. Nama pimpinan industri/importir/badan usaha yang melakukan notifikasi;
4. Ukuran dan jenis kemasan.
Apabila terjadi perubahan selain seperti yang disebutkan di atas,
industri/importir/badan usaha harus memperbaharui notifikasi. Notifikasi
kosmetika yang telah habis jangka waktu berlakunya harus diperbaharui.
Permohonan pembaharuan notifikasi untuk kosmetika yang telah habis masa
berlakunya, diajukan paling lama 1 bulan sebelum habis masa berlaku notifikasi
sesuai dengan tata cara membuat notifikasi baru.
Notifikasi menjadi batal atau dapat dibatalkan, apabila :
1. Izin produksi kosmetika, izin usaha industri, atau tanda daftar industri sudah
tidak berlaku, atau Angka Pengenal Importir (API) sudah tidak berlaku.
2. Berdasarkan evaluasi, kosmetika yang telah beredar tidak memenuhi
persyaratan teknis kosmetika.
3. Atas permintaan pemohon notifikasi.
4. Perjanjian kerjasama antara pemohon dengan perusahaan pemberi
lisensi/industri
penerima kontrak produksi, atau surat penunjukkan keagenan dari produsen
negara asal sudah berakhir dan tidak diperbaharui.
5. Kosmetika yang telah beredar tidak sesuai dengan data dan/atau dokumen yang
disampaikan pada saat permohonan notifikasi.
6. Pemohon notifikasi tidak memproduksi, atau mengimpor dan mengedarkan
kosmetika maksimal 6 bulan setelah notifikasi disetujui.

Universitas Indonesia
9

Sistem notifikasi kosmetika membuat industri kosmetika, importir


kosmetika, atau usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi
lebih bertanggung jawab terhadap kosmetika yang diedarkan. Apabila terjadi
kerugian atau kejadian yang tidak diinginkan akibat penggunaan kosmetika, maka
industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha perorangan/ badan usaha yang
melakukan kontrak produksi mempunyai tanggungjawab untuk menangani
keluhan dan/atau menarik kosmetika yang bersangkutan dari peredaran. Industri
kosmetika, importir kosmetika, atau usaha perorangan/badan usaha yang
melakukan kontrak produksi bertanggungjawab terhadap kosmetika yang tidak
lagi diproduksi atau diimpor yang masih ada di peredaran.

2.4 Persyaratan Teknis Kosmetika


Kosmetika yang beredar harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi
meliputi persyaratan keamanan, kemanfaatan, mutu, penandaan, dan klaim.
Persyaratan ini secara detail dijelaskan dalam dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan No. HK.03.1.23.12.10.12459 tahun 2010 tentang
Persyaratan Teknis Kosmetika dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan No. HK.03.1.23.08.11.07517 tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis
Bahan Kosmetika.
2.4.1 Persyaratan Keamanan
Setiap kosmetika harus diproduksi menggunakan bahan kosmetika yang
aman dan diperbolehkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk
digunakan dalam kosmetika. Bahan kosmetika adalah bahan atau campuran bahan
yang berasal dari alam dan/atau sintetik yang merupakan komponen kosmetika
termasuk bahan pewarna, bahan pengawet dan bahan tabir surya. Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.03.1.23.08.11.07517 tahun
2011 mengatur secara detail tentang bahan yang diperbolehkan digunakan dalam
produksi kosmetika.
Peraturan tersebut tersebut memberikan 5 lampiran persyaratan teknis
bahan kosmetika yang terdiri dari :
1. Lampiran I yang berisi 110 bahan kosmetika yang diperbolehkan digunakan
dalam kosmetika dengan pembatasan dan persyaratan penggunaan.
Universitas Indonesia
10

2. Lampiran II yang berisi 156 bahan pewarna yang diperbolehkan digunakan


dalam kosmetika dengan pembatasan dan persyaratan penggunaan.
3. Lampiran III yang berisi 55 bahan pengawet yang diperbolehkan digunakan
dalam kosmetika dengan pembatasan dan persyaratan penggunaan serta
peringatan.
4. Lampiran IV yang berisi 28 bahan tabir surya yang diperbolehkan digunakan
dalam kosmetika dengan pembatasan dan persyaratan penggunaan serta
peringatan.
5. Lampiran V yang berisi 1.370 bahan yang dilarang digunakan dalam
pembuatan kosmetika.
Selain harus memenuhi persyaratan teknis bahan kosmetika, menurut
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.
HK.03.1.23.07.11.6662 tahun 2011 tentang Persyaratan Batas Cemaran Mikroba
dan Logam Berat dalam Kosmetika, kosmetika yang beredar harus memenuhi
syarat batas cemaran mikroba yang meliputi Angka Lempeng Total, Angka
Kapang dan Khamir, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, dan
Candida albicans serta batas cemaran logam berat yang meliputi merkuri, timbal,
dan arsen.

2.4.2 Persyaratan Mutu


Kosmetika harus memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan persyaratan
mutu sebagaimana tercantum dalam Kodeks Kosmetika Indonesia atau standar
lain yang diakui.

2.4.3 Persyaratan Manfaat yang selaras dengan Penandaan dan Klaim.


2.4.3.1 Persyaratan Penandaan
Penandaan adalah keterangan lengkap mengenai kosmetika meliputi
aspek keamanan dan manfaat, serta informasi lain yang dianggap perlu yang
dicantumkan pada etiket, brosur, atau bentuk lain yang disertakan pada kosmetika.
Penandaan harus berisi keterangan mengenai kosmetika secara lengkap, obyektif,
dan tidak menyesatkan.

Universitas Indonesia
11

Penandaan pada kosmetika harus mudah dibaca, sedemikian rupa sehingga


tidak mudah lepas atau terpisah dari kemasannya dan tidak mudah luntur atau
rusak. Penandaan harus menggunakan bahasa Indonesia yang sedikitnya berisi
informasi nama kosmetika, komposisi, nama dan negara produsen , nama pemberi
lisensi untuk kosmetika yang dibuat berdasarkan lisensi atau nama industri yang
melakukan pengemasan primer untuk kosmetika yang dikemas dalam kemasan
primer oleh industri yang terpisah dari industri pembuat. Selain itu, juga perlu
diberikan keterangan kegunaan, cara penggunaan (kecuali untuk kosmetika yang
sudah jelas kegunaan dan cara penggunaannya), nomor bets, tanggal kadaluwarsa,
ukuran isi/berat bersih serta peringatan dan keterangan lain yang dipersyaratkan.

2.4.3.2 Persyaratan Klaim


Klaim kosmetika adalah pernyataan pada penandaan berupa informasi
mengenai manfaat, keamanan dan/atau pernyataan lain. Klaim dapat dicantumkan
berdasarkan bahan yang digunakan, hasil pengujian sesuai dengan protokol uji
yang dapat diterima secara ilmiah dan/atau data pendukung lain seperti namun
tidak terbatas pada jurnal ilmiah, sertifikat halal, surat keterangan asal. Klaim
kosmetika tidak boleh berisi pernyataan seolah-olah sebagai obat. Pedoman proses
identifikasi produk dan klaim kosmetika diberikan pada Lampiran 3.

2.5 Pengawasan Kosmetika


2.5.1 Peranan Sub Direktorat Inspeksi Kosmetik
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.
03.1.23.12.11.10052 tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran
Kosmetika, kosmetika yang beredar wajib memenuhi persyaratan keamanan,
kemanfaatan, mutu, penandaan, klaim dan wajib dinotifikasi. Sub Direktorat
Inspeksi Produk II yang memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan,
perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
evaluasi serta pelaksanaan inspeksi sarana produksi dan distribusi kosmetika. Sub
Direktorat Inspeksi Produk II memiliki 2 seksi, yaitu Seksi Inspeksi Kosmetika
dan Seksi Pengawasan Penandaan dan Promosi Kosmetika.

Universitas Indonesia
12

Inspeksi/pemeriksaan dilakukan terhadap sarana produksi dan sarana


distribusi serta produk kosmetik yang ada di dalamnya (pelaksanaan sampling
produk). Inspeksi/pemeriksaan tersebut dilakukan oleh seluruh Balai Besar/Balai
Pengawas Obat dan Makanan yang tersebar di 31 provinsi di Indonesia sedangkan
Sub Direktorat Inspeksi Produk II berperan dalam hal memberikan advokasi dan
supervisi. Akan tetapi, untuk kasus-kasus tertentu, Sub Direktorat Inspeksi
Produk II juga dapat turut turun ke lapangan untuk memberikan bantuan.
Pemeriksaan (inspeksi) dilakukan oleh petugas secara rutin dan khusus.
Pemeriksaan rutin dilakukan untuk mengetahui pemenuhan standar/persyaratan
sedangkan pemeriksaan khusus dilakukan untuk menindaklanjuti hasil
pengawasan danatau informai adanya indikasi pelanggaran.
Pengawasan sarana dilakukan terhadap industri kosmetika, importir
kosmetika, usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi
dengan industri yang telah memiliki izin produksi. Selain itu, juga dilakukan
pengawasan sarana distribusi yang meliputi distributor, agen, klinik
kecantikan/salon/spa, swalayan/apotek/toko obat/toko kosmetik, stokis Multi
Level Marketing (MLM), dan pengecer juga terhadap penjualan kosmetika
melalui media elektronik. Pengawasan yang dilakukan terhadap produk kosmetika
yang beredar meliputi pemeriksaan izin edar kosmetika, keamanan, kemanfaatan,
mutu, penandaan, klaim serta promosi/iklan kosmetika.

2.5.2 Pengawasan Sarana Produksi


Pemeriksaan terhadap industri kosmetika meliputi antara lain :
1. Pemeriksaan dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan
mengenai kosmetika dan legalitas sarana.
2. Pemeriksaan penerapan CPKB.
Pemeriksaan legalitas sarana, industri kosmetika dengan izin produksi
golongan A harus menerapkan seluruh aspek CPKB sedangkan industri
kosmetika dengan izin produksi golongan B sekurang-kurangnya menerapkan
aspek higiene, sanitasi dan dokumentasi.
3. Pemeriksaan penandaan dan klaim kosmetika

Universitas Indonesia
13

4. Pengambilan contoh atau sampling berdasarkan analisis risiko dan prioritas


sampling untuk dilakukan pengujian laboratorium.
5. Pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan kosmetika yang tidak
memenuhi persyaratan.
Alur pemeriksaan terhadap industri kosmetik diberikan pada Lampiran 4.
Pemeriksaan sarana importir kosmetika dan sarana usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan industri
kosmetika yang telah memiliki izin produksi, anatara lain meliputi :
1. Pemeriksaan dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan
mengenai kosmetika dan legalitas sarana.
2. Pemeriksaan sarana penyimpanan kosmetika.
3. Pemeriksaan penandaan dan klaim kosmetika
4. Pengambilan contoh atau sampling berdasarkan analisis risiko dan prioritas
sampling untuk dilakukan pengujian laboratorium.
5. Pemeriksaan cara penanganan keluhan terhadap kosmetika.
6. Pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan kosmetika yang tidak mmenuhi
persyaratan.
Alur pemeriksaan terhadap importir kosmetika dan sarana usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan industri
kosmetika yang telah memiliki izin produksi diberikan pada Lampiran 5.

2.5.3 Pengawasan Sarana Distribusi


Pemeriksaan sarana distribusi antara lain meliputi :
1. Pemeriksaan dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan
mengenai kosmetika dan legalitas sarana.
2. Pemeriksaan sarana penyimpanan kosmetika.
3. Pemeriksaan penandaan dan klaim kosmetika.
4. Pengambilan contoh atau sampling berdasarkan analisis risiko dan prioritas
sampling untuk dilakukan pengujian laboratorium.
Alur pemeriksaan terhadap sarana distribusi kosmetika diberikan pada Lampiran 6

Universitas Indonesia
14

2.5.4 Pengawasan Penandaan dan Promosi Kosmetika


Pengawasan iklan dan promosi kosmetika dilakukan saat iklan atau
promosi kosmetika tersebut telah beredar melalui media cetak atau media
elektronik. Pengawasan iklan dan promosi kosmetika antara lain meliputi :
1. Pemantauan materi iklan dan promosi.
2. Evaluasi materi iklan dan promosi.
Alur pengawasan penandaan dan promosi kosmetika diberikan pada Lampiran 7.

2.5.5 Sanksi terhadap Pelanggaran


Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah
dijelaskan diatas, sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi administratif dan
sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan sebagai tindak lanjut terhadap
pelanggaran yang ditemukan pada saat inspeksi disesuaikan berdasarkan analisis
resiko. Terhadap produk kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan dapat
dilakukan pengamanan, penarikan, bahkan pemusnahan. Sedangkan terhadap
sarana, dapat diberikan sanksi administratif yang dimulai dari pemberian
peringatan I, peringatan II, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan,
pembatalan notifikasi bahkan sampai penarikan izin produksi. Apabila hasil
pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya tindak pidana
di bidang kosmetika, segera dilakukan penyidikan oleh Penyidik Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan tindak
pidana di bidang kosmetika, dapat diberikan sanksi pidana.
Menurut Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tahun
2009, setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi termasuk kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu,
dan manfaaat dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda
maskimal Rp. 1.000.000.000,00 sedangkan setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi termasuk kosmetika yang tidak
memiliki izin edar dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun dan
denda maksimal Rp. 1.500.000.000,00.

Universitas Indonesia
BAB 3
KAJIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Kajian Pengawasan Sarana Produksi


Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
No. HK.03.1.23.08.11.07517 tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika
mengatur secara detail tentang persyaratan bahan kosmetika yang diijinkan dalam
proses produksi. Namun, pada kenyataannya masih ditemukan adanya sarana
produksi yang memproduksi kosmetika yang menggunakan bahan-bahan terlarang
atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku Hal ini mungkin disebabkan
karena pengawasan terhadap bahan kosmetika yang penggunaannya dibatasi atau
bahkan dilarang tersebut dinilai belum kuat. Alangkah lebih baik jika dilakukan
pengawasan lebih ketat terhadap distribusi dan penggunaan bahan-bahan
kosmetika yang jumlahnya dibatasi atau dilarang tersebut tersebut.
Sampai saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan baru memiliki
Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya yang berada di bawah
Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.
Direktorat ini pasti secara khusus mengawasi distribusi dan penggunaan bahan
berbahaya yang digunakan pada makanan. Namun, ada kemungkinan bahwa
bahan-bahan yang digunakan pada makanan juga digunakan pada kosmetik,
misalnya bahan-bahan seperti rhodamin. Untuk meningkatkan pengawasan
terhadap distribusi dan penggunaan bahan kosmetika yang penggunaannya
dibatasi atau bahkan dilarang, dapat dilakukan kerjasama dengan Direktorat
Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya. Atau, jika dinilai perlu, Deputi II
Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk Komplemen dapat
membuat Direktorat atau Sub Direktorat atau mungkin Seksi yang bertugas
melakukan pengawasan terhadap distribusi dan penggunaan bahan-bahan yang
dibatasi atau dilarang penggunaannya dalam kosmetika. Sub Direktorat maupun
seksi tersebut dalam melaksanakan tugasnya bekerjasama dengan Deputi III,
Kementerian Perdagangan serta Kementrian Perindustrian. Tentu hal ini juga
harus didukung dengan regulasi yang kuat dan memiliki tingkat yudisial yang

15 Universitas Indonesia
16

lebih tinggi terkait penggunaan bahan-bahan kimia dalam berbagai produk


kesehatan termasuk kosmetika.

3.2 Kajian Pengawasan Sarana Distribusi


Pemeriksaan sarana distribusi kosmetika dilakukan terhadap sarana
distribusi tersebut sekaligus terhadap produk kosmetika yang ada di dalamnya.
Proses sampling produk merupakan salah satu bentuk pemeriksaan yang
dilakukan terhadap sarana distribusi. Ketersebaran produk kosmetik di seluruh
pelosok tanah air menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan sampling. Tidak
semua sarana distribusiIyangIdiperiksa memiliki jumlah produk kosmetik yang
memenuhi syarat jumlah sampel yang akan diuji. Selain itu, dalam melakukan
pengambilan sampel produk kosmetika, petugas pemeriksa dari Balai Besar/Balai
/Badan Pengawas Obat dan Makanan harus membeli produk kosmetika tersebut
untuk di uji. Hal ini juga menjadi suatu kendala karena sebagian besar produk
kosmetika adalah produk yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi,
sehingga anggaran yang diperlukan dalam proses pemeriksaan terbilang cukup
tinggi.
Lebih dari itu, menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan No. HK.03.1.23.08.11.07517 tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis
Bahan Kosmetika, disebutkan bahwa terdapat sekitar 1.500 jenis bahan-bahan
yang dibatasi atau dilarang penggunaannya pada kosmetika. Selama ini Badan
Pengawas Obat dan Makanan telah memiliki metode analisis yang dapat
digunakan untuk mendeteksi keberadaan atau menentukan kadar dari bahan-
bahan yang berdasarkan analisis resiko memiliki prevalensi yang cukup tinggi
untuk disalahgunakan seperti merkuri, hidrokinon, asam retinoat, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, memang belum semua bahan-bahan yang dibatasi atau
dilarang penggunaannya dalam kosmetika tersebut telah ditetapkan metode
analisisnya. Bisa jadi, meskipun sudah ditetapkan metode analisisnya, tidak semua
Balai Pengawas Obat dan Makanan di seluruh Indonesia mampu melakukan
analisis bahan-bahan tersebut. Hal ini membuat tidak semua sampel produk
kosmetika yang diperoleh dapat ditindak lanjuti dengan pengujian laboratorium
yang secara akurat dapat mendeteksi keberadaan atau kadar bahan-bahan yang
17

dibatasi atau dilarang tersebut. Mungkin hal-hal ini juga merupakan kendala
dalam proses pemeriksaan/inspeksi produk kosmetika pada sarana produksi.
Terkait masalah anggaran pelaksanaan sampling produk kosmetika, selama
ini telah dilakukan metode subsidi silang anggaran sampling. Terhadap anggaran
yang ada, dilakukan alokasi dana berdasarkan analisis resiko untuk produk
kosmetikaIyangInilai ekonomisnya tinggi sampai produk kosmetika yang nilai
ekonomisnya rendah. Namun, seiring dengan sistem perdagangan bebas
kosmerika yang telah berlaku di Indonesia, mulai marak bermunculan kosmetika-
kosmetika impor yang memiliki nilai ekonomis relatif tinggi. Dengan demikian,
dapat dilakukan pengajuan anggaran sampling yang selalu disesuaikan dengan
perkembangan tersebut. Dengan demikian, bentuk pengawasan melalui sampling
produk kosmetika yang benilai ekonomi rendah sampai tinggi dapat dilakukan
dengan maksimal.
Sehubungan dengan begitu banyaknya bahan-bahan yang dibatasi atau
dilarang penggunaannya pada kosmetika, Badan Pengawas Obat dan Makanan
khususnya melalui Pusat Riset Obat dan Makanan yang bekerjasama dengan Pusat
Pengujian Obat dan Makanan Nasional dapat terus mengembangkan berbagai
metode analisis yang dapat digunakan untuk menguji bahan-bahan yang dibatasi
atau dilarang penggunaannya dalam kosmetika. Selain itu, juga harus selalu
dilakukan pelatihan-pelatihan kepada petugas yang berada di seluruh Balai
Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia terkait pengujian
laboratorium yang sangat mendukung pelaksanaan sampling.

3.3 Kajian Penandaan dan Promosi Kosmetika


Terkait penandaan produk kosmetika, Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan No. tahun 2010 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika tidak
mengharuskan produsen kosmetika mencantumkan nomor/kode notifikasi pada
penandaan produk kosmetika. Diharapkan pencantuman nomor/kode notifikasi
tersebut dapat dijadikan suatu keharusan penandaan sehingga masyarakat dapat
ikut serta melakukan pengawasan dengan cara mengecek legalitas produk
kosmetik tersebut. Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui website
http://www.pom.go.id memberikan sarana untuk mengecek nomor/kode registrasi
Universitas Indonesia
18

produk termasuk kosmetika. Hal ini tentu menjadi kurang efektif jika
pencantuman nomor/kode notifikasi kosmetika tidak dijadikan sebuah kewajiban
pada penandaan produk kosmetik.
Selama ini, pengawasan promosi dan iklan kosmetika hanya dilakukan
setelah promosi dan iklan kosmetika tersebut beredar di media cetak ataupun
media elektronik. Sebaiknya pengawasan juga dilakukan sebelum promosi dan
iklan kosmetika tersebut beredar di media cetak ataupun media elektronik.
Menurut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia No. 3
tahun 2009, sebelum diedarkan/ditayangkan, setiap siaran termasuk iklan harus
mendapatkan izin penyiaran. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik
Indonesia No. 32 tahun 2002 disebutkan bahwa setiap materi iklan yang akan
disiarkan, termasuk iklan yang mempromosikan kosmetik harus memenuhi syarat
yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia.. Alangkah lebih baik jika
Badan Pengawas Obat dan Makanan dapat turut serta berkerja sama dengan
Komisi Penyiaran Indonesia dalam memberikan rekomendasi izin penyiaran iklan,
khususnya iklan kosmetik sebelum iklan kosmetik tersebut disiarkan lewat media
radio atau televisi.
Terkait pengawasan iklan kosmetika yang beredar baik di media cetak dan
elektronik, selama ini acuan yang digunakan adalah Keputusan Menteri Kesehatan
No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional,
Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan
Minuman. Seiring dengan perkembangan zaman, diharapkan dapat dilakukan
revisi atau penyesuaian pedoman yang digunakan dalam pengawasan iklan .
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.
03.1.23.12.11.10052 tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran
Kosmetika disebutkan bahwa pengawasan kosmetika juga dilakukan terhadap
sarana penjualan kosmetika melalui media elektronik. Namun, di dalam peraturan
tersebut tidak diberikan keterangan mengenai tata cara pemeriksaan sarana
penjualan kosmetika melalui media elektonik. Mengingat maraknya penjualan
kosmetika secara on-line, diharapkan Sub Direktorat Inspeksi Kosmetik dapat
membuat pedoman khusus dalam melakukan inspeksi/pemeriksaan terhadap
sarana penjualan kosmetika melalui media elektronik.
Universitas Indonesia
19

3.4 Kajian terhadap Sanksi Pelanggaran


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setiap pelanggaran yang
dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dapat diberikan
sanksi berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Sampai saat ini, sanksi
administratif yang paling berat hanya berupa pembatalan notifikasi produk
kosmetika atau pencabutan izin produksi. Jika ada pelanggaran pidana di bidang
kosmetika, sanksi pidana yang diberikan pada akhirnya juga dinilai terlalu ringan.
Menurut Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tahun 2009,
setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi termasuk kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu,
dan manfaaat dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda
maskimal Rp. 1.000.000.000,00 sedangkan setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi termasuk kosmetika yang tidak
memiliki izin edar dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun dan
denda maksimal Rp. 1.500.000.000,00.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, terlihat bahwa sanksi
pidana yang diberikan bagi pelanggaran pidana di bidang kosmetika termasuk
berat. Namun, dalam pelaksanaannya, sulit sekali menemukan pelaku tindak
pidana di bidang kosmetika yang akhirnya mendapat sanksi pidana berat seperti
yang diatur dalam undang-undang. Menurut Laporan Kinerja Pengawasan Obat
dan Makanan Semester I Tahun 2012, telah ditemukan 47 (75,81%) sarana
produksi dan 718 (31,22%) sarana distribusi kosmetika yang tidak memenuhi
ketentuan. Akan tetapi, dari seluruh kasus tersebut, hanya diberikan tindak lanjut
berupa pembinaan, peringatan, pengamanan, dan pemusnahan produk namun
tidak ada tindak lanjut pada sanksi pidana karena tidak ditemukan cukup bukti.
Jika dikaji secara keseluruhan terhadap pemeriksaan obat dan makanan
pada periode yang sama, telah ditemukan 229 kasus pelanggaran di bidang obat
dan makanan. Dari total kasus tersebut, 48 kasus ditindaklanjuti dengan pro
justisia dan 181 kasus lainnya ditindaklanjuti dengan sanksi administratif. Akan
tetapi, dari 48 kasus pro justisia tersebut, belum ada kasus yang mendapat putusan
pengadilan. Proses persidangan yang lama tersebut pun pada akhirnya hanya
memberikan sanksi pidana yang ringan dan kurang memberikan efek jera bagi
Universitas Indonesia
20

para pelaku pelanggaran tersebut. Sulistyawaty, 2012 menyebutkan bahwa


selama lima tahun terakhir ini, dari total 219 kasus di bidang obat dan makanan
yang diajukan ke pengadilan, sanksi putusan pengadilan yang paling tinggi adalah
hukuman penjara 2 tahun 1 bulan. Seharusnya pelaksanaan proses penegakan
hukum lebih ditingkatkan lagi, proses persidangan yang melibatkan hakim dan
jaksa penuntut umum harus dilakukan secara bersih dan adil agar para pelaku
pelanggaran tersebut benar-benar mendapatkan ganjaran yang setimpal atas
perbuatannya yang telah merugikan kesehatan masyarakat.

Universitas Indonesia
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan terhadap strategi pemberantasan


kosmetika yang tidak memenuhi syarat, berikut ini adalah kesimpulan serta saran
yang dapat diberikan kepada Sub Direktorat Inspeksi Kosmetika :
1. Pada sarana produksi masih ditemukan penggunaan bahan-bahan kosmetika
yang dilarang atau melebihi batas. Hal ini mungkin dapat diatasi dengan
memperketat jalur distibusi dan penggunaan bahan-bahan tersebut pada
kosmetika. Perlu dibuat regulasi yang jelas dan dengan tingkat yudisial lebih
tinggi untuk mengatur distribusi dan penggunaan bahan-bahan tersebut pada
kosmetika.
2. Terkait pemeriksaan kosmetika di sarana distribusi:
a. Mengingat bahwa kosmetika merupakan salah satu sediaan farmasi
dengan nilai ekonomis yang relatif tinggi, maka dapat diajukan
peningkatan anggaran sampling agar bentuk pengawasan melalui
sampling produk kosmetika dapat dilakukan dengan maksimal.
b. Terkait besarnya jumlah bahan-bahan yang dibatasi atau dilarang
penggunaannya pada kosmetika, Badan/Balai Pengawas Obat dan
Makanan belum menetapkan metode analisis yang dapat menguji
keberadaan atau kadar dari semua bahan-bahan tersebut. Jika ada,
mungkin tidak semua Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan di
seluruh tanah air dapat melakukan analisis tersebut. Oleh karena itu,
Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui Pusat Riset Obat dan
Makanan serta Pusat Penelitian Obat dan Makanan perlu terus
mengembangkan berbagai metode analisis yang dapat digunakan secara
akurat untuk menguji keberadaan atau kadar bahan-bahan tersebut. Selain
itu, juga harus selalu dilakukan pelatihan-pelatihan kepada seluruh Balai
Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia terkait pengujian
laboratorium.
21 Universitas
Indonesia
3. Terkait pengawasan penandaan dan promosi kosmetika :
a. Dalam hal penandaan, diharapkan pencantuman nomor/kode notifikasi
kosmetika dapat dijadikan suatu keharusan dalam penandaan produk
kosmetika. Dengan demikian, masyarakat dapat secara aktif melindungi
dirinya sendiri dengan secara mandiri mengecek nomor/kode notifikasi
tersebut pada website Badan Pengawas Obat dan Makanan.
b. Dalam hal periklanan produk kosmetika, selama ini evaluasi hanya
dilakukan setelah iklan tersebut beredar di masyarakat. Sebaiknya
sebelum beredar baik di media cetak atau media elektronik, segala bentuk
promosi dan iklan tersebut telah memlalui evaluasi yang juga melibatkan
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Diharapkan pula dilakukan revisi
atau penyesuaian pedoman periklanan yang dijadikan acuan dalam
pengawasan.
c. Mengingat maraknya penjualan kosmetika secara on-line, diharapkan
Sub Direktorat Inspeksi Kosmetik dapat membuat pedoman khusus
dalam melakukan inspeksi/pemeriksaan terhadap sarana penjualan
kosmetika melalui media elektronik.
4. Terkait sanksi terhadap pelanggaran yang di lakukan di bidang kosmetika,
Baik sanksi administratif ataupun sanksi pidana yang pada akhirnya diberikan
kurang memberikan efek jera bagi para pelaku pelanggaran tersebut.
Seharusnya pelaksanaan penegakkan hukum lebih ditingkatkan lagi, proses
persidangan harus dilakukan secara bersih dan adil agar para pelaku
pelanggaran tersebut benar-benar mendapatkan ganjaran yang setimpal atas
perbuatannya yang telah merugikan kesehatan masyarakat.

21 Universitas
Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Report to the
Nation : Laporan Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan RI Semester I
Tahun 2012. Diunduh dari http://www.pom.go.id/ppid/rar/Report_smt2.pdf
pada 15 Februari 2013 Pk. 15.00 WIB.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2001).
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
No. 02001/SK/BPOM tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Jakarta.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2003).
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 1745 tahun
2003 tentang Kosmetik. Jakarta.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2010).
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.
HK.03.1.23.12.10.12459 tahun 2010 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika.
Jakarta.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2010).
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.
HK.03.1.23.12.10.11983 tahun 2010 tentang Kriteria dan Tata Cara
Notifikasi Kosmetika. Jakarta.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2010).
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun
HK.03.1.23.12.10.12123 tahun 2010 tentang Pedoman Dokumen Informasi
Produk.iJakarta. iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011).
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.
03.1.23.12.11.10052 tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan
Peredaran Kosmetika. Jakarta.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011).
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.
HK.03.1.23.08.11.07517 tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Bahan
Kosmetika. Jakarta.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011).
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
No. HK.03.1.23.07.11.6662 tahun 2011tahun 2010 tentang Persyaratan
Cemaran Kosmetika. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011).


Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.
HK.03.1.23.12.11.10689 tahun 2011tentang Bentuk dan Jenis Sediaan
Tertentu yang Dapat Diproduksi oleh Industri Kosmetik yang Memiliki Izin
Produksi Golongan B. Jakarta.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011).
Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No.

23Universitas Indonesia
24

HK.03.1.23.04.11.03724 tahun 2011 tentang Pengawasan Pemasukan


Kosmetika. Jakarta.
Presiden Republik Indonesia. (2001). Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Jakarta.
Presiden Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1175 tahun 2010 tentang Izin Produksi Kosmetika. Jakarta.
Presiden Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1176 tahun 2010 tentang Notifikasi Kosmetika. Jakarta
Sulistyawaty, R. 2012. Kosmetika Berbahaya Masih Beredar. Diunduh dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/27/21063898/Kosmetika.Ber-
bahaya.Masih.Beredar pada tanggal 21 Februari 2013 Pk. 13.34 WIB.

Universitas Indonesia
25

Lampiran 1. Alur Permohonan


ermohonan Untuk Mendapatkan Izin Produksi
roduksi Kosmetika

Keterangan : HK = Hari Kerja

[sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1175 tahun 2010 tentang Izin
Produksi Kosmetika, telah diolah kembali]

Universitas Indonesia
26

Lampiran 2. Alur Permohonan Untuk Mendapatkan Notifikasi Kosmetika

Keterangan : SPB : Surat Perintah Bayar

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.03.1.23.12.10.11983
tahun 2010 tentang Kriteria dan Tata Cara Notifikasi Kosmetika, telah diolah kembali]

Universitas Indonesia
27

Lampiran 3. Alur Pemeriksaan Produk dan Klaim Kosmetika

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.03.1.23.12.10.12459
tahun 2010 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika]

Universitas Indonesia
28

Lampiran 4. Alur Pemeriksaan Industri Kosmetika

- Pemeriksaan dokumen/catatan lain yang diduga memuat


keterangan mengenai produk dan kegiatan sarana
- Pemeriksaan penerapan CPKB/CPOTB
- Pemeriksaan penandaan & klaim
- Pengambilan contoh atau sampling berdasarkan analisis resiko
dan prioritas sampling untuk dilakukan pengujian laboratorium
- Pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan produk yang TMS

Keterangan : MK : Memenuhi Ketentuan; TMK : Tidak Memenuhi Ketentuan


MS : Memenuhi Syarat; TMS : Tidak Memenuhi Syarat

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK. 03.1.23.12.11.10052
tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika]

Universitas Indonesia
29

Lampiran 5. Alur Pemeriksaan Sarana Importir dan Sarana


Usaha/Perorangan/Badan Usaha yang Melakukan Kontrak Produksi Kosmetika

- Pemeriksaan dokumen/catatan lain yang diduga memuat keterangan


mengenai produk dan kegiatan sarana
- Pemeriksaan sarana penyimpanan produk
- Pemeriksaan penandaan & klaim
- Pengambilan contoh atau sampling berdasarkan analisis resiko dan
prioritas sampling untuk dilakukan pengujian laboratorium
- Pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan produk yang TMS

Keterangan : MK : Memenuhi Ketentuan; TMK : Tidak Memenuhi Ketentuan


MS : Memenuhi Syarat; TMS : Tidak Memenuhi Syarat

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK. 03.1.23.12.11.10052
tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika]

Universitas Indonesia
30

Lampiran 6. Alur Pemeriksaan Sarana Distribusi Kosmetika

- Pemeriksaan dokumen/catatan lain yang diduga


memuat keterangan mengenai produk dan kegiatan
sarana
- Pemeriksaan sarana penyimpanan produk
- Pemeriksaan penandaan & klaim
- Pengambilan contoh atau sampling berdasarkan
analisis resiko dan prioritas sampling untuk
dilakukan pengujian laboratorium

Keterangan : MK : Memenuhi Ketentuan; TMK : Tidak Memenuhi Ketentuan


MS : Memenuhi Syarat; TMS : Tidak Memenuhi Syarat

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK. 03.1.23.12.11.10052
tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika]

Universitas Indonesia
31

Lampiran 7. Alur Pengawasan Iklan dan Promosi Kosmetika

Pemantauan materi dan promosi


Evaluasi materi iklan dan promosi

Keterangan : MK : Memenuhi Ketentuan; TMK : Tidak Memenuhi Ketentuan


MS : Memenuhi Syarat; TMS : Tidak Memenuhi Syarat

[sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK. 03.1.23.12.11.10052
tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika]

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai