Anda di halaman 1dari 11

A.

DEFINISI

Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak, yang
menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosional, social maupun vokasional
[ CITATION Jen12 \l 1033 ].
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(Masjoer, A. 2011).
Trauma Capitis berat merupakan cidera kepala yang mengakibatkan
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam
(Haddad, 2012 dalam [ CITATION Har12 \l 1033 ]).

B. ETIOLOGI

Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat
benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang
terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi 6 intrakranial, hipoksia,
hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi
akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan
otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey,
2012).

C. MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.

1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005).


a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

1|UNIVERSITAS FALETEHAN
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu
atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
bahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.

D. PATOFISIOLOGI

Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat


ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi
terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti
trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul.
Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang secara
relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak
langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu


cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu

2|UNIVERSITAS FALETEHAN
fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa
kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada
waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma
saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam
tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik sebagai a`kibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera
kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena
mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat
menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi
(Soetomo, 2002).

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan
syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam
mobilitas (Brain, 2009).

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN PENUNJANG


 CT Scan (dengan atau tanpa kontras ) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Cat : untuk me ngetahui
adanya infark/ iskemia, jangan dilakukan pada 24-72 jam setelah injury.
 MRI : digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
 Cerebral angiografi : menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak menjadi udema, perdarahan dan trauma.
 Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

3|UNIVERSITAS FALETEHAN
 X ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan /edema), fragmen tulang.
 BAER : mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
 PET : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
 CSF : lumbal punkis dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
 ABGs : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan TIK
 Kadar elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan TIK
 Screen toxicologi : untuk mendeteksi pengaruh obat, sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah


sebagai berikut:

1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.

Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala juga dapat dilakukan dengan cara :

1. Obliteri sisterna : Pada semua pasien dengan cedera kepala / leher, lakukan foto
tulang belakang servikal kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa
seluruh tulang servikal c1-c7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang berat, lakukan prosedur berikut
: pasang infuse dengan larutan normal salin (nacl 0,9 %)/ larutan ringer rl dan
larutan ini tidak menambah edema cerebri.

4|UNIVERSITAS FALETEHAN
3. Lakukan CT Scan, pasien dengan cedera kepala ringan, sedang dan berat harus
dievaluasi adanya:Hematoma epidural, Darah dalam subraknoid dan infra
ventrikel, Kontusio dan perdarahan jaringan otak, Edema serebri,

4. Elevasi kepala 30o


5. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandotorik intermitten dengan
kecepatan 16-20 kali /menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg
6. Berikan manitol 20 % 19/kg intravena dalam 20-30 menit
7. Pasang kateter foley
8. Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi operasi

G. TERAPI FARMAKOLOGIS
1. Bedah
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.
b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan pada
laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera
dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah
infeksi lanjut pada meningen dan otak.
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi
hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang. 14 d. Sedatif dan obat-obat narkotik
dikontraindikasikan, karena dapat memperburuk penurunan kesadaran
(Ginsberg, 2007).

H. PENGKAJIAN KHUSUS
1. Identitas : identitas adalah tanda pengenal bagi klien, identitas dibagi menjadi 2
yaitu identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi yaitu identitas yang  
melekat pada pribadi pasien ( termasuk ciri-cirinya) misalnya Nama,Tanggal

5|UNIVERSITAS FALETEHAN
Lahir/Umur,Jenis Kelamin,Alamat, Status Perkawinan dan lain-lain
termasuk.Sedangkan identitas sosial meliputi identitas yang menjelaskan tentang
sosial,ekonomi dan budaya pasien misalnya, agama,
pendidikan,pekerjaan,identitas orang tua,identitas penanggung jawab
pembayaran dan lain-lain.
2. Pengkajian Primer (Primary Survey)
a. Airway (Jalan napas) dengan control cervical
- Kaji ada tidaknya sumbatan jalan napas
Sumbatan jalan napas total :
 Pasien sadar : memegang leher, gelisah, sianosis
 Pasien tidak sadar : tidak terdengar suara napas, mendengkur
Sumbatan jalan napas parsial :
 Tampak kesulitan bernapas
 Retraksi supra sterna
 Masih terdengar suara sursling, snoring, atau stridor
- Distress pernapasan
- Kemungkinan fraktur cervical
b. Breathing ( Pernapasan)
- Kaji frekuensi napas
- Suara napas
- Adanya udara keluar dari jalan napas
Cara pengkajian : look (lihat pergerakan dada, kedalaman, simetris atau
tidak), listen (suara napas dengan atau tanpa stetoskop), feel (rasakan
hembusan napas, atau dengan perkusi dan palpasi)
c. Circulation (Sirkulasi)
- ada tidaknya denyut nadi karotis
- Ada tidaknya tanda-tanda syok
- Ada tidaknya perdarahan eksternal
d. Disability (Tingkat Kesadaran)
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :

6|UNIVERSITAS FALETEHAN
- Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
- Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
- Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
- Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
- Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
- Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
a. Exposure ( control pada kasus trauma, dengan membuka pakaian pasien
tetapi cegah hipotermi)
[ CITATION HIP14 \l 1033 ].
3. Pengkajian Sekunder (Secondary Survey)
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan
setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-
tanda syok telah mulai membaik.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalanI pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat.
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)

7|UNIVERSITAS FALETEHAN
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)

I. PATOFLOW

Kecelakaan

Trauma capitis/cedera kepala

Jaringan otak, contusio

Vasodilatasi vaskuler Perubahan Autoregulasi

Alira darah meningkat Kejang

Terjadi akumulai darah Penurunan Kesadaran

TIK Meningkat Gangguan Neurologis

Penekanan vaskuler serebral Dispneu

Suplai o2 dan glukosa menurun Pola nafas tidak efektif

Terjadi metabolisme anaerob, hipoksia serebral

Iskemia Akumulasi Cairan

Perfusi serebral tidak efektif Bersihan jalan nafas tidak efektif

8|UNIVERSITAS FALETEHAN
J. ANALISA DATA

Data Etiologi Masalah


Kondisi Klinis : Kecelakaan Perfusi serebral tidak efektif
- Cedera Kepala Trauma capitis/cedera kepala
Jaringan otak, contusio
Vasodilatasi vaskuler Perubahan
Autoregulasi
Alira darah meningkat
Terjadi akumulai darah
TIK Meningkat
Penekanan vaskuler serebral
Suplai o2 dan glukosa menurun
Terjadi metabolisme anaerob, hipoksia
serebral
Iskemia

Perfusi serebral tidak efektif


Tanda Mayor dan Minor : Kecelakaan Pola nafas tidak efektif
- Pengunaan otot bantu Trauma capitis/cedera kepala
pernafasan Jaringan otak, contusio
- Dispnea Vasodilatasi vaskuler Perubahan
- Bradipneu Autoregulasi
- Takipneu Alira darah meningkat
- Pernafasan cuping hidung Terjadi akumulai darah
TIK Meningkat

9|UNIVERSITAS FALETEHAN
Gangguan Neurologis
Dispneu
Pola nafas tidak efektif
Tanda Mayor dan Minor : Kecelakaan Bersihan jalan nafas tidak efektif
- Batuk tidak efektif Trauma capitis/cedera kepala
- Sputum berlebih Jaringan otak, contusio
- Mengi, wheezing, ronchi Vasodilatasi vaskuler Perubahan
- Dispnea Autoregulasi
- Gelisah Kejang
- Pola Nafas berubah Penurunan kesadaran
Akumulasi cairan
Bersihan jalan nafas tidak efektif

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perfusi serebral tidak efektid b.d gangguan aliran darah ke otak (Iskemia)
2. Pola napas tidak efektif b.d Gangguan neurologis (Trauma Kepala)
3. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d gangguan neuromuscular, ketidakmampuan
mengelurkan secret

10 | U N I V E R S I T A S F A L E T E H A N
M. REFERENSI

Akbar. 2008. Distribusi Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat RS Cipto


Mangunkusumo. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Andriani, R., Wibowo, S., Rusdi, I. 2009. Lekositosis sebagai prediktor outcome pada
penderita cedera kepala. Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Barmawi, A. 2007. Laporan Tahunan Instalasi Gawat Darurat RSUP dr. Sardjito,
Yogyakarta.
Brown, L.M., Call, M.S., Knudson, M.M., Cohen, M.J., Holcomb, J.B., Wade, C.E., et
al. 2011. A normal platelet count may not be enough : the impact of
admission platelet count on mortality and transfusion in severely injured
trauma patients. J Trauma 71(2 Suppl 3):S337-42
Haddad, S.H., & Arabi, Y.M. 2012. Critical care management of severe traumatic brain
injury in adults. Scand J Trauma Resusc Emerg Med 20(12):1-15.

11 | U N I V E R S I T A S F A L E T E H A N

Anda mungkin juga menyukai