Anda di halaman 1dari 5

Nama : Hasna Amila Mahmudah

NIM : B0418027

Kelas/Matkul : A/Historiografi Indonesia

Ringkasan Artikel

Dekolonialisasi Historiografi Indonesia Kesadaran Deskontruktif

oleh Prof. Dr. Warto, M.Hum.

Diawal pembukaan artikel oleh Prof Warto dijelaskan ciri-ciri khas dari
masing-masing gelombang penulisan sejarah Indonesia untuk menggambarkan bahwa
pembagian fase/gelombang itu masih menunjukkan tumpang tindih di antaranya, sehingga
seringkali menimbulkan semacam gugatan terhadap sejarah yang telah diterima
kebenarannya (accepted history). Banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang telah diakui oleh
masyarakat akademik dan 4 masyarakat lainnya, serta diterima negara sebagai fakta keras
yang dijadikan hari-hari besar nasional dan diperingati setiap tahun, mulai dipertanyakan atau
digugat kembali. Timbullah kontroversi sejarah, bukan dalam tataran teori/metodologis tetapi
dalam suasana kronikel dan kewajaran sejarah. Kebenaran sejarah dapat digugat kembali
karena ditemukannya sumber baru yang lebih sahih/valid dan berubahnya kewajaran sejarah
(fairness). Sedangkan, secara sederhana perkembangan historiografi Indonesia dapat dibagi
menjadi tiga fase, yaitu historiografi tradisional (penulisan hikayat, babad, tambo, dll.),
historiografi kolonial, dan historiografi nasional. Pembagian ini sebenarnya hanya mengikuti
pembabakan waktu secara linier – prakolonial, masa kolonial, pascakolonial -- tetapi
melupakan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan historiografi.
Fase pertama penulisan sejarah Indonesia disebut fase historiografi tradisional. Pada
masa pertama penulisan sejarah, Raja digambarkan sebagai poros makrokosmos, yang
menjadi penguasa dunia dan sekaligus pemimpin tertinggi agama (dewaraja-kultus). Oleh
karena itu, untuk meligitimasi kekuasaannya, raja atau kerajaan harus memiliki
wahyu/pulung keraton. Kesaktian raja direpresentasikan melalui lambang-lambang kerajaan,
pusaka, gelar, dan orang-orang tertentu yang berada di sekitar raja. Babad sebagai sejarah
tradisional, misalnya, lebih banyak menceritakan kejadian-kejadian di sekitar atau tentang
raja yang sedang berkuasa, maka sifatnya kraton-sentris dan feodalistik. Peran masyarakat
biasa, kawula, tidak diceritakan di dalam babad karena mereka berada di luar lingkaran
istana. Legitimasi raja juga dibangun melalui genealogi yang disusun berdasarkan cara
berfikir oposisi biner: sejarah pangiwa dan panengen. Dalam konteks masyarakat tradisi,
makna dan fungsi sejarah lebih berarti daripada peristiwa-peristiwa di hari lampau yang
diungkapkan itu. Bukan kebenaran historis yang menjadi tujuan utama, melainkan pedoman
dan peneguhan nilai yang ingin didadapatkan. Historiografi adalah ekspresi kultural dan
pantulan dari keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang menghasilkannya.
Historiografi yang dihasilkan para pujangga (literati), yang dipelihara oleh penguasa,
diharapkan dapat berfungsi untuk meneguhkan dinasti atau memperkuat legitimasi, serta
mempertahankan dasar nilai yang menjadi sandaran ideologis dari kekuasaan. Oleh karena
itu, terdapat beragam tradisi kesejarahan dalam berbagai kelompok kesatuan kultural.
Historiografi tradisional memantulkan pandangan dunia dari masyarakat yang
menghasilkannya. Karena itu genre historiografi tradisional dapat dijadikan referensi dalam
usaha memahami realitas di sekitar atau dapat menjadi kerangka dalam memberi interpretasi
terhadap situasi. Maka di samping sebagai sumber sejarah yang dapat membantu memberi
kepastian tentang fakta-fakta sejarah, historiografi tradisional dapat pula digunakan sebagai
alat untuk memahami berbagai pola perilaku kesejarahan dari suatu masyarakat. Seringkali
historiografi tradisional tidak berbeda jauh dengan sejarah spekulatif, yang menekankan pada
makna dan tujuan sejarah, baik yang mempunyai kecenderungan eskatologis maupun yang
siklus.
Sehubungan dengan hal ini, penulis sejarah/pujangga keraton yang menulis Babad,
misalnya, selain bercerita masa lalu, juga membuat prediksi masa depan. Babad Jaka Tingkir
(karya PB VI, berkuasa pada 1823-1830) seperti yang dikaji Florida (2003) merupakan
pembacaan kembali secara profetis atas suatu masa silam. Berbeda dengan Babad Tanah Jawi
6 yang sifatnya istana-sentris, Babad Jaka Tingkir mengisahkan masa silam dan sekaligus
menerawang ke depan membeberkan panggung kesejarahan dalam mengantisipasi gerak
sejarah ke masa yang akan datang. Babad ini tak memuat kisah Joko Tingkir justru untuk
memberi pandangan tandingan tentang sejarah dan kuasa. Tokoh-tokoh seperti Brawijaya,
Jaka Prabangkara, para Wali, Sultan Demak, Seh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, semuanya
tampil silih berganti bukan untuk membangun alur tunggal penuturan, tapi untuk membangun
jalinan yang terdiri dari banyak pusat dan peristiwa. Dengan demikian tak ada satu tokoh,
wangsa atau persitiwa yang dominan yang menjadi acuan pengisahan sehingga menjadi
penafsir tinggal kebenaran dalam tindakan yang akan muncul di atas panggung sejarah.
tulisan Carey (2014) yang mengupas Babad Diponegoro (ditulis P. Diponegoro pada 1831-
1832 dalam pengasingannya di Manado). Babad ini bukan hanya bercerita masa lalu tanah
Jawa yaitu mulai dari jatuhnya Majapahit (sekitar 1510-an) hingga perjanjian Giyanti (1755),
tetapi juga menceritakan sepak terjang Pangeran sendiri sejak lahir (1785) hingga
pengasingannya di Manado. Di bagian kedua ini Diponegoro merumuskan (meramalkan)
masa depan Jawa berdasarkan peristiwa-peristiwa masa lampau, tetapi bukan dalam
pengertian progresi. Dari kedua contoh babad tersebut dapat ditafsirkan bahwa jenis
historiografi tradisional sebenarnya cukup beragam dan masing-masing mempunyai ciri-ciri
yang tidak sama.
Fase berikutnya dari penulisan sejarah Indonesia ialah masa kolonial. Konteks zaman
kolonial melahirkan narasi-narasi sejarah Indonesia yang relatif berbeda dengan narasi
sejarah yang dihasilkan di masa-masa sebelumnya. Historiografi kolonial adalah merupakan
produk penulisan sejarah Indonesia selama di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan
merupakan antitesis sejarah tradisional yang telah berkembang sebelumnya. Karya-karya
sejarah umumnya dihasilkan oleh para penulis/sejarawan Belanda, yang memiliki visi Eropa-
sentris dan/atau Neerlando-sentris. Sejarah Indonesia dipandang sebagai bagian dari sejarah
Eropa atau sejarah Belanda. Eropa dianggap sebagai pusat dan Indonesia sebagai pinggiran.
Hubungan pusatpinggiran berada dalam relasi asimetris dan hegemonik. Historiografi
kolonial banyak dipengaruhi tradisi penulisan sejarah di Eropa abad ke-19 di bawah tokohnya
Leopold von Ranke, yang dianggap sebagai “bapak” historiografi modern”. Historiografi ala
Rankean inilah yang menekankan pada sejarah naratif mulai mendapatkan kritik dari
kelompok Annales School yang lahir di Perancis pada tahun 20-an abad ke-20 dan
menerapkan bahwa sejarah berada dibawah kekuasaan politik. Selain itu, Historiografi
kolonial juga mengandung unsur Islam-phobia. Hal ini berkaitan dengan pengalaman masa
lalu bangsa Eropa pada umumnya dan Belanda khususnya selama di Indonesia. Misalnya,
Belanda mempunyai pengalaman buruk ketika terlibat dalam Perang Jawa yang berkobar
selama lima tahun (1825-30) di bawah P. Diponegoro. Perang itu, secara simbolik dikobarkan
di bawah panji Islam sehingga mendapatkan dukungan luas baik kalangan elit kerajaan,
tokoh-tokoh agama, maupun massa rakyat
Karya-karya penulis Eropa seperti History of Sumatra (1810) oleh William Marsden
(1810), atau History of Java oleh Thomas Stanford Raffles (1817) merupakan contoh klasik
tentang usaha sejarawan kolonial merekonstruksi sejarah Indonesia untuk
mendokumentasikan kekayaan budaya Nusantara dan sekaligus untuk mendukung
kekuasaannya di Indonesia. Adapula Karya de Jonge & van Deventer (1862- 1895) dan
Stapel (1938-1940) menjadi contoh klasik jenis penulisan sejarah Indonesia yang berspektif
kolonial. Karya Stapel yang lima jilid itu, dua jilid berkisah tentang kerajaan-kerajaan lama di
Jawa yang bercorak Hindu/Budha dan Islam. Situasi berubah secara tiba-tiba setelah
kedatangan Belanda. Jilid tiga dan seterusnya menjadikan Belanda sebagai aktor utama yang
menentukan jalannya sejarah Indonesia, sedangkan penduduk pribumi tidak diperhitungkan.
Fase penulisan historiografi selanjutnya adalah fase setelah Indonesia merdeka atau
biasa disebut fase Indonesia modern, tuntutan untuk menulis sejarah Indonesia dari perspektif
orang Indonesia sendiri semakin kuat. Nilai-nilai revolusi seperti anti kolonial, anti feodal,
kebebasan, demokrasi, dan persamaan hak mempengaruhi wacana penulisan sejarah nasional
Indonesia. Di samping itu, dikembangkannya penulisan sejarah Indonesia secara akademik
semakin nyaring disuarakan. Di samping nilai-nilai nasionalisme yang ditonjolkan, penulisan
sejarah nasional hendak diwujudkan dengan prinsip ”supaya dilaksanakan secara sintesis”
menurut istilah Yamin atau multiple-approach menurut Soedjatmoko (Soedjatmoko et al,
1995), dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, ditekankan pentingnya dimensi
kebenaran atau kepastian historis dalam pengerjaan sejarah. Pemikiran ini merupakan antitesa
terhadap kecenderungan dekolonisasi sejarah yang bercorak oral, bukan perspektif, dan
terhadap kuatnya dimensi kewajaran historis, bukan dimensi kebenaran, dalam penulisan
sejarah. Sejak itulah, periode 14 penulisan sejarah yang bertolak dari dimensi kebenaran dan
dilandasi oleh studi sejarah kritis, serta kesadaran metodologis akan pentingnya pendekatan
multidimensonal mulai dikembangkan. Pada fase pertama perkembangan historiografi
Indonesia modern, usaha merintis penyusunan sejarah dengan perspektif Indonesia-sentris
dimulai. Namun, usaha untuk menyusun sejarah (nasional) Indonesia, yang menggabungkan
aspek filosofis sejarah nasional dan aspek akademik sejarah ilmiah masih belum terlaksana.
Fase kedua ditandai berkembangnya secara kritis dengan pendekatan multidimensional.
Adalah Sartono Kartodirdjo, Guru Besar Sejarah dari UGM, yang pertama kali
mempopulerkan sejarah kritis yang sebelumnya telah dikembangkan kelompok Annales
dengan istilah sejarah struktural. Pendekatan ilmiah ini muncul sebagai kritik terhadap
pendekatan narativisme yang berkembang pada abad ke-19 di bawah Leopold von Ranke,
yang dianggap terlalu menonjolkan peran aktor/tokoh besar. Mazhab struktural menekankan
bahwa seorang tokoh besar tidak lahir dan berkembang dalam ruang hampa, melainkan ia
hadir dalam konteks struktur sosial tertentu. Mazhab struktural memaparkan bahwa struktur
sosial dapat terbentuk karena pengaruh kondisi fisik/geografis.
Bersamaan dengan berkembangnya semangat post-modernisme sebagai cara berfikir,
dekolonisasi sejarah Indonesia yang dibarengi oleh kesadaran dekonstruksif menjadi
alternatif penulisan sejarah baru. Dekolonisasi sejarah juga sebagai antitesis terhadap corak
penulisan sejarah yang berkembang sebelumnya yaitu historiografi kolonial yang bercorak
Eropa-sentris dan/atau Neerlando-sentris. Dekolonisasi sejarah mengusung gagasan tentang
pentingnya menempatkan sejarah dalam konteksnya (historizing history), dengan
menekankan sudut pandang orang dalam (history from within) sebagai tanggapan terhadap
karya-karya sejarah konvensional yang bias kolonial, yang menempatkan kekuasaan
Belanda/kolonial sebagai kekuatan sentral dan menyeluruh di balik pengembangan kehidupan
modern Pemerintah kolonial berusaha menolak kehadiran keislaman dan kejelataan dalam
situssitus yang paling mendapatkan privelige bagi pengungkapan budaya yang mereka
bayangkan itu. Keraton dianggap sebagai suri tauladan budaya tinggi Jawa murni yang paling
otoritatif, situs budaya yang paling sejati. Para cendekiawan Jawa memalingkan perhatiannya
dari naskah-naskah keislaman ke kakawin-kakawin Jawa Kuna. Citra ‘kebudayaan Jawa asli’
dikonstruksikan melalui kebijakan kolonial yaitu melalui penggalian karya sastra pra-Islam
seraya melupakan atau meminggirkan karya-karya Islam dan massa rakyat. Kedua,
penggambaran bahwa Kompeni/VOC di Jawa pada abad ke-18 menjadi determinant factor
dalam menentukan jalannya sejarah Jawa. Kompeni digambarkan menjadi kekuatan sentral
yang mempunyai sumberdaya melimpah untuk dapat menundukkan raja-raja Mataram dan
dalam menyelesaikan setiap konflik intern Mataram. Dalam beberapa buku pelajaran di
sekolah selalu disajikan gambaran yang sifatnya tunggal, umum, dan anakronistik tentang
keberadaan Kompeni di Indonesia pada abad ke-18, yaitu sebagai faktor penentu jalannya
perubahan sosial ekonomi masyarakat Jawa. Ketiga, penggambaran tokoh secara berlebihan.
Dalam buku-buku sejarah resmi, Diponegoro digambarkan secara berlebihan dengan
melekatkan nilai-nilai tertentu yang melampaui dirinya sebagai manusia biasa yang telah
membuat sejarah. Hal ini tentu berbeda dengan penggambaran yang didasarkan pada kajian
akademik, bahwa Diponegoro adalah manusia biasa yang pada waktu itu (konteks zamannya)
melakukan perlawanan terhadap kekuatan asing yang dianggap menindas, tetapi belum
mempunyai ambisi politik untuk kemerdekaan Indonesia. Keempat, masa Tanam Paksa selalu
dinarasikan sebagai periode yang menyengsarakan bagi rakyat Indonesia. Penderitaan hebat
yang ditanggung penduduk pribumi akibat dari kebijakan Tanam Paksa digeneralisasi secara
serampangan tanpa didukung fakta yang akurat. Cara pandang ini dikembangkan terus oleh
kelompok liberal yang ingin memperluas usahanya di daerah jajahan tanpa campur tangan
pemerintah kolonial. Gambaran negatif bahwa penduduk pribumi adalah terbelakang, bodoh,
malas, kurang kreatif, dan enggan berubah adalah gambaran keliru yang terus dikembangkan
untuk mempertahankan status quo. Kelima, pengkategorian pergerakan nasional ke dalam
kelompok nasionalis, agama, komunis juga gagal menangkap realitas sejarah. Trikotomi
pembagian orientasi ideologis organisasi pergerakan ini serampangan kalau tidak boleh
dikatakan menyesatkan karena tidak selalu menggambarkan fakta sejarah yang ada. Keenam,
dalam kajian Indonesia modern, kategori dan klasifikasi masyarakat Jawa seperti dilakukan
Belanda abad ke-19 ditegaskan kembali melalui studi antropologi. Studi Clifford Geertz
tentang Religi Jawa (1984), misalnya, membedakan orang Jawa ke dalam tiga varian
subbudaya yaitu Abangan, Santri, Priyayi. Model trikotomi dalam melihat realitas sosial
budaya masyarakat Jawa ini hingga sekarang masih menjadi kerangka acuan ahli-ahli ilmu
sosial pada umumnya dan sejarah khususnya, meskipun kritik yang diajukan sudah cukup
banyak. Pengklasifikasian yang dibuat Geertz melalui model sterotipe sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan model klasifikasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda abad ke-
19. Bedanya, kajian Geertz dilakukan secara akademik dan untuk mencari kebenaran ilmiah,
sementara kajian pemerintah kolonial terhadap budaya Jawa sebagai bagian dari politik
kolonial untuk 25 menopang kekuasaannya. Keenam, klasifikasi masyarakat jajahan ke dalam
Eropa, Timur Asing, dan Inlander secara inheren merefleksikan adanya pengkastaan dalam
masyarakat, yang menempatkan golongan yang satu lebih unggul daripada golongan lainnya.
Ketujuh, periodisasi sejarah Indonesia. Sejarah Indonesia secara tidak langsung mengikuti
periodisasi sejarah Barat yang dibagi ke dalam zaman kuna/klasik, zaman abad tengah,
zaman pencerahan, dan zaman modern.
Narasi sejarah Indonesia yang disusun pemerintah kolonial Belanda tentang
penaklukan dan modernisasi tampaknya sudah usang, karena gagal menangkap dinamika
sosial ekonomi secara lebih nyata. Adanya narasi yang cenderung menyederhanakan dan
menggeneralisasi setiap peristiwa sejarah mendorong lahirnya narasi-narasi sejarah alternatif,
baik pada tingkat lokal maupun nasional, yang digerakkan oleh golongan yang merasa
terpinggirkan dalam proses terbentuknya negara nasional. Namun, dalam kenyataannya, para
sejarawan pascakolonial masih cenderung menggunakan tipologi-tipologi warisan yang
dibentuk oleh narasi besar dan paradigma politik yang dominan yaitu nasionalisme dan
modernisasi. Dekolonisasi yang ingin memastikan terjadinya perubahan mendasar pada
pendekatan-pendekatan kolonial terhadap sejarah Eropasentrisme gagal diwujudkan.
Dekolonisasi sejarah Indonesia membuka peluang untuk meninjau kembali historiografi
kolonial dalam penulisan sejarah Indonesia yang secara akademis dan politis sulit diterima.
Secara akademis, historiografi kolonial menciptakan klasifikasi-klasifikasi dan kategori-
kategori sosial berdasarkan prasangka dan asumsi-asumsi yang keliru. Kategori sosial yang
diciptakan cenderung menegasikan kenyataan yang sesungguhnya sehingga seringkali
anakronistik dan bias kepentingan Negara. Secara politis, penulisan sejarah ditujukan untuk
kepentingan politik/ Negara. Sejarah dijadikan alat peneguh bagi kekuasaannya agar
memperoleh dukungan luas. Dalam konteks post-modernisme, kajian sejarah mau tidak mau
harus ditinjau ulang kaitannya dengan perspektif yang digunakan. Pergeseran perspektif ini
akan berpengaruh terhadap teori dan metodologi sejarah yang hendak dipakai dalam
penelitian sejarah. Dokumen yang selama ini dipandang satu-satunya sumber utama
penelitian sejarah, sekarang dianggap tidak memadai lagi.
Bersamaan dengan berkembangnya semangat post-modernisme sebagai cara berfikir dewasa
ini, dekolonisasi sejarah Indonesia yang dibarengi oleh kesadaran dekonstruksif menjadi
alternatif penulisan sejarah baru. Dekolonisasi sejarah juga sebagai antitesis terhadap corak
penulisan sejarah yang berkembang sebelumnya yaitu historiografi kolonial yang bercorak
Eropa-sentris dan/atau Neerlando-sentris. Dekolonisasi sejarah mengusung gagasan tentang
pentingnya menempatkan sejarah dalam konteksnya (historizing history), dengan
menekankan sudut pandang orang dalam (history from within) sebagai tanggapan terhadap
karya-karya sejarah konvensional yang bias kolonial, yang menempatkan kekuasaan
Belanda/kolonial sebagai kekuatan sentral dan menyeluruh di balik pengembangan kehidupan
modern. Di samping itu, dekolonisasi sejarah Indonesia yang dimaksudkan bukan hanya
membicarakan karya-karya sejarah Indonesia yang terbit di masa kolonial Belanda dan yang
ditulis oleh para sarjana Belanda atau sarjana asing lainnya, melainkan juga meninjau
kembali arah dan kecenderungankecenderungan yang masih nampak dalam penulisan sejarah
Indonesia modern yang menggunakan perspektif dan genre penulisan sejarah kolonial.

Dampak adanya dominasi penulisan sejarah yang dikendalikan oleh golongan elit tertentu
atau penguasa tertentu dan Negara ataupun ilmuwan Barat cenderung meninggalkan atau
meminggirkan sejarah masyarakat tradisi/lokal yang telah hidup ratusan tahun yang lalu di
wilayah Nusantara. Masyarakat lokal yang hidup dalam tradisi lisan tidak banyak menyimpan
masa lalunya dalam bentuk tulisan, sehingga para peneliti sejarah modern kesulitan
menemukan fakta-fakta sejarah di tingkat lokal. Sumber lisan dalam bentuk folklore dan
lainnya dianggap bukan sumber sejarah karena lebih banyak memuat mitos dan legenda
daripada memuat fakta sejarah yang masuk akal. Akibatnya, semua kekayaan tradisi lisan
dipandang tidak berguna 29 dalam penelitian sejarah dan pada gilirannya pemilik tradisi itu
juga dianggap tidak mempunyai sejarah yang otonom. Dekolonisasi sejarah Indonesia
membuka peluang untuk meninjau kembali historiografi kolonial dalam penulisan sejarah
Indonesia yang secara akademis dan politis sulit diterima.

Anda mungkin juga menyukai