OLEH :
1. Roby Crismoniansyah, S.Pd
2. Wiwin Candra, S.Pd
Puji dan Syukur kepada Allah SWT. atas segala berkat dan kesempatan yangmasih Dia
sediakan bagi kelompok kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok kami, yakni
makalah mengenai “perekembangan kurikulum pendidikan islam di pesantren, madrasah, dan
sekolah dari masa kemasa (sebelum kemrdekaan dan pasca kemerdekaan)” Pada kesempatan ini,
kami mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekansatu kelompok yang telah memberikan partisipasi
dan waktu serta perhatiannyaselama dalam penulisan makalah ini.
Dan juga kepada setiap orang yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, karena atas
bantuannya selama proses penulisan hingga makalah ini dapatdiselesaikan dengan baik.Mudah-
mudahan tulisan ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan hasilPendidikan dan meningkatkan
Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
Curup, November 2020
Penulis
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kurikulum merupakan suatu alat yang dipakai untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
dengan memperhatikan tahap perkembangan murid dan kesesuaiannya dengan lingkungan,
kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian,
sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Sesuai dengan ketentuan tersebut,
perlu ditambahkan bahwa pendidikan nasional berakar pada kebudayaan nasional dan pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kurikulum membutuhkan landasan kuat agar dapat dikembangkan oleh sekolah. Namun,
pada kenyataaannya kurikulum dibuat sesuai standar kompetensi dan standar nasional yang dibuat
dan ditetapkan oleh pemerintah. Secara ideal, pengembangan kurikulum dilakukan oleh sekolah atau
lembaga pendidikan tersebut yang lebih mengerti dan paham kurikulum seperti kondisi yang
dibutuhkan. Pengalaman selama setengah abad negeri ini mengelola sendiri sistem pendidikan
menunjukkan bahwa setiap kali muncul pembahasan yang mengarah kepada upaya perbaikan sistem
pendidikan nasional, selalu yang menjadi titik berat perhatian adalah pembenahan kurikulum.
Berbagai pertanyaan akhirnya bermunculan. Mulai mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah
benar kurikulum memang memiliki dasar dan landasan kuat yang memang disiapkan agar murid,
pendidik, orang tua dan komponen pendidikan lainnya sesuai dengan tujuan pendidikan dan standar
pendidikan? Apa yang mendasari itu semua? Benarkah kurikulum itu dibuat untuk memperbaiki
kurikulum lama dengan kurikulum baru, yang sering disebut dengan evaluasi kurikulum? Di mana
sistem evaluasi digunakan untuk menentukan tingkat pencapaian keberhasilan murid dalam bentuk
hasil khusus?1
Lembaga pendidikan yang memainkan peran di Indonesia, jika dilihat dari struktur internal
pendidikan Islam serta praktekpraktek pendidikan yang dilaksanakan, ada empat kategori. 2 Pertama
adalah pendidikan pondok pesantren,3 yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara
tradisional, bertolak dari pengajaran secara al-Qur’an dan hadits dan merancang segenap kegiatan
1
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum (Jakarta: Grafindo, 1986), 37.
2
Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), 58.
pendidikannya. Kedua adalah pendidikan madrasah, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan di
lembaga-lembaga model Barat yang menggunakan metode pengajaran klasikal dan berusaha
menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para murid.
Ketiga adalah pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang
dilaksanakan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-
lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat
adalah pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai
suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Sedangkan pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia yang banyak mencetak tokoh-tokoh terkenal dalam dunia pendidikan Islam, akhir-
akhir ini menarik untuk dicermati kembali.
Ketiga adalah pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang
dilaksanakan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-
lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat
adalah pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai
suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Sedangkan pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia yang banyak mencetak tokoh-tokoh terkenal dalam dunia pendidikan Islam, akhir-
akhir ini menarik untuk dicermati kembali.4
3
Selain istilah pesantren (Jawa, Sunda dan Madura), ditemukan juga istilah lain dengan makna yang sama, yaitu
dayah dan rangkang di Aceh dan surau di Minangkabau. Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaruan (Jakarta:
LP3ES, 1995), 2.
4
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, 59.
BAB II
Pembahasan
akhiran -an (pesantrian), yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri
sendiri berasal kata sastri, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang artinya melek
santri, kitab-kitab klasik dan masjid.8 Dari keempat elemen tersebut, kyai menjadi tokoh
sentral dalam seluruh dinamika pesantren, mulai dari imam shalat, memimpin doa, men-
jadi guru, tempat meminta barokah, sumber kebijakan pesantren dan lain sebagainya.
Selanjutnya, santri merupakan siswa yang menimba ilmu di pesantren dan hidup
bersama atau tinggal ber- sama dengan rumah kyai atau satu komplek dengan rumah
kyai. Adapun kitab kuning di pesantren merujuk pada kajian kitab klasik karya ulama
abad pertengahan, ketika Islam mengalami kemun- duran. Pada umumnya, kitab klasik
tersebut membahas ‘aqidah, fiqih, tasawuf, manthiq, nahwu, sharaf dan lain sebagainya.
Tidak ada kitab yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan secara umum.
Kitab ini dipelajari santri di bawah bimbingan langsung kyai melalui sistem
wetonan dan bandongan, tetapi tidak ditentukan batasan waktunya secara jelas dan
pasti. Elemen terakhir, masjid merupakan tempat ibadah bersama, tetapi juga sering
digunakan sebagai tempat santri belajar termasuk praktik-praktik thariqat di dalamnya.
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pen- didikan Islam
tradisional mengingat para siswanya tinggal ber- sama-sama dan belajar di bawah
bimbingan seorang kiyai. Terdapat tiga alasan utama pesantren harus menyediakan asrama
bagi santri- nya, yaitu (1) popularitas seorang kyai dan kedalaman penge- tahuannya
tentang Islam, menarik santri-santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai
tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, untuk itu santri harus menetap, (2)
hampir semua pesantren berada di desa-desa yang tidak tersedia perumahan atau
akomodasi yang cukup untuk menampung santri-santri, dengan demikian perlu adanya
asrama khusus para santri, (3) ada timbal balik antara santri dan kyai, mengingat para
santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan para kyai
menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.
Di samping alasan-alasan di atas, kedudukan pondok sebagai salah satu unsur
pokok pesantren sangat besar sekali manfaatnya, di antaranya adalah santri dapat
dikondisikan dalam suasana belajar sepanjang hari. Kehidupan berasrama para santri juga
sangat men- dukung bagi pembentukan kepribadian. Di dalam asrama me- mungkinkan
untuk mempraktekkan materi-materi yang telah di- pelajari. Nilai-nilai agama yang secara
8
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren ( Jakarta: LP3S, 1987), 43.
normatif dipelajari di kelas, dapat dilatihkan untuk disosialisasikan dalam kehidupan
sehari- hari. Dengan begitu, dimungkinkan mereka tidak hanya menjadi having, tetapi
being.
9
http://stiebanten.blogspot.com/2011/06/kurikulum-pendidikan-pondok- pesantren.html, 2 Nopember 2013.
intelektual, bahasa, emosi, kebutuhan dan ke- inginan individu. Keempat adalah dasar
sosiologis. Dasar ini mem- berikan gambaran bahwa kurikulum pendidikan memegang
peran penting dalam penyampaian dan pengembangan kebudayaan, proses sosialisasi
individu dan rekonstruksi masyarakat. Kelima adalah dasar organisatoris. Dasar ini
mengenai bentuk penyajian bahan pelajaran yaitu organisasi kurikulum.
Fungsi kurikulum bagi sekolah yaitu sebagai alat untuk men- capai tujuan
lembaga pendidikan yang diinginkan dan sebagai pedoman dalam mengatur segala
kegiatan sehari-hari di sekolah. Fungsi kurikulum bagi murid sebagai suatu organisasi
belajar tersusun yang diharapkan mereka memperoleh pengalaman baru yang dapat
dikembangkan di kemudian hari. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah maupun guru
adalah sebagai pedoman kerja. Sedangkan fungsi kurikulum bagi orang tua siswa yaitu
agar orang tua dapat turut serta membantu pihak sekolah dalam me- majukan anak-
anaknya.10
Kurikulum PAI di madrasah bertujuan untuk mengantarkan peserta didik menjadi
manusia unggul dalam beriman dan ber- takwa, berakhlak mulia, berkepribadian,
menganalisa ilmu penge- tahuan dan teknologi serta mampu mengaktualisasikan diri
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.11 Komponen- komponen yang
terkait dalam kurikulum dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) kelompok komponen-
komponen dasar, yaitu konsep dasar filosofis dalam mengembangkan kurikulum PAI
yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tujuan PAI tersebut, (2) kelompok
komponen-komponen pelaksana, yaitu mencakup materi pendidikan, sistem pendidikan,
proses pelaksanaan dan pemanfaatan lingkungan, (3) kelompok-kelompok pelaksana
dan pendukung kurikulum, yaitu komponen pendidik, peserta didik dan konseling, (4)
kelompok usaha-usaha pengembangan yang ditujukan dengan adannya evaluasi dan
inovasi kurikulum, adanya perencanaan jangka pendek, menengah dan jangka panjang,
ter- jalinnya kerja sama dengan lembaga-lembaga lain untuk pengem- bangan
kurikulum tersebut. 12
Muhaimin dkk, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam
13
19
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Bandung: Bumi Aksara, 2001), 32. Lihat Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran,
252. Lihat Muhammad Zaini, Pengembangan Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi, 111.
20
Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, 153. Lihat Muhaimin dkk, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 28.
21
bid, 68.
22
bid, 57. Lihat Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, 20. Lihat Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum Konsep
Implementasi Evaluasi dan Inovasi, 23.
23
baik dan tepat. Keempat adalah landasan sosio-budaya. Nilai sosial- budaya dalam
masyarakat bersumber dari hasil karya akal budi manusia, sehingga dalam menerima,
menyebarluaskan dan me- lestarikannya, manusia menggunakan akalnya. Setiap
masyarakat memiliki adat istiadat, aturan-aturan dan cita-cita yang ingin di- capai dan
dikembangkan. Dengan adanya kurikulum di madrasah, diharapkan pendidikan dapat
memperhatikan dan merespon hal- hal tersebut.24 Kelima adalah landasan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan merupakan suatu usaha penyiapan peserta
didik untuk menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan pesat dan terus
berkembang. Dengan bekal ilmu penge- tahuan dan teknologi, setelah siswa lulus,
dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran
umum masuk dalam pe- lajaran madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun
sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimna halnya dengan buku-buku pengetahuan
umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Pada waktu selanjutnya, lahir madrasah-
madrasah yang mengikuti sistem penjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah yang
modern, seperti SD/MI, MTs/SMP, MA/SMA. Kurikulum madrasah dan sekolah-sekolah
agama masih mem- pertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, meskipun dengan
presentase sangat jauh berbeda.27 Pada waktu pemerintah, ter- utama Kementerian
Agama, mulai mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan
madrasah, merasa perlu menentukan kriteria pada madrasah. Kriteria yang ditetap- kan
oleh Menteri Agama untuk madrasah yang berbeda dalam wewenangnya adalah harus
memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam
24
25
Ibid. Lihat Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, 22-23.
26
Rahmat Raharjo, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum (Yogyakarta: Baituna Publishing, 2012), 43.
27
Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam ( Jakarta: Prenada Media, 2005), 170.
seminggu.28
Selain pelajaran agama dan bahasa Arab, juga diajarkan ilmu penge- tahuan
umum yang bisa menjadi bekal pada masyarakat nantinya.
Sistem pendidikan dan pengajaran Islam, terutama pesantren, masih bersifat
tradisional. Meskipun demikian, diakui bahwa tidak diragukan lagi peran pesantren
dalam mencerdaskan bangsa.29 Pesantren satu-satunya lembaga yang pertama lahir
dalam agama Islam di Indonesia. Di sini umat Islam di Indonesia dapat menik- mati
pendidikan, di samping juga pesantren sangat berjasa dalam menumbuhkan semangat
patriotisme dan nasionalisme, yang pada gilirannya dapat tercapai kemerdekaan yang
sudah sekian lama dicita-citakan. Antara pendidikan pesantren dan kolonial memang sangat
berbeda, baik dari segi sistem maupun materi yangdiberikan.30
Berdasar sistem, sebagai studi kasus, terlihat sekali pendidikan kolonial lebih
modern, baik dari segi klasikal yang diterapkan maupun fasilitas yang lebih
memungkinkan dalam proses pem- belajaran yang sudah ditentukan dalam
kurikulumnya. Dengan kondisi yang seperti ini, maka tidak akan melahirkan jenjang pe-
misah yang cukup dalam dan tampak sekali dalam aktivitas sosial dan intelektual,
golongan tersebut bergaul, berpakaan, berbicara, berpikir dan masih banyak lainnya.
Kondisi tersebut melatarbelakangi kelahiran madrasah yang baik mengenai
sistem atau materi mengenai sistem lama di pesan- tren.31 Sistem pendidikan pondok
pesantren ini masih sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih
intensif dan dalam waktu lebih lama. Di pondok pesantren, murid-murid besar dan kecil
duduk melingkar (halaqah) mengelilingi kyai. Mereka menerima pelajaran yang sama.
Tidak ada dirancangkan sebuah kurikulum tertentu berdasarkan umur, lama belajar atau
tingkat pengetahuan.32
Sitem pendidikan Islam mengalami perubahan sejalan dengan perubahan jaman
dan pergeseran kekuasaan Indonesia. Sejalan dengan itu, pemerintahan mulai
mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur yang mulai
menarik kaum
muslimin untuk memasukinya. Oleh karena itu, sistem pendidikan di masjid dipandang
sudah tidak memadai lagi dan perlu ada perbaharuan dan penyempurnaan.
28
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 171.
29
Ruslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia ( Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983), 20.
30
Ibid, 213.
31
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 165.
32
Ibid, 213.
Kondisi bahwa adanya kaum muslimin yang membawa pikiran baru Islam ke
Indonesia dan dalam usaha untuk mengejar keting- galan, di bidang pendidikan dan
pengajaran agama Islam di In- donesia mengalami perubahan. Dalam hal ini bahwa
keterangan di atas memiliki tujuan agar anak-anak dapat membaca al-Qur’an dan
mengetahui pokok-pokok ajaran Islam yang perlu dilaksana- kan setiap harinya.
Demikian sistem pondok pesantren yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah
yang ternyata me- miliki peran penting dalam mempertahankan eksistensi umat Islam dari
serangan dan penindasan fisik mental dari kaum penjajahan beberapa abad lamanya.
Pondok pesantren mendasari tumbuhnya madrasah, sehingga sampai saat ini madrasah
mampu menyetara- kan kurikulumnya dengan pendidikan yang umum dan memiliki
kelulusan yang sama dengan sekolah dasar.
Di sisi lain, penerbitan SKB 3 Menteri pada 24 Maret 1975 ber- tujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. SKB ini berusaha
mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan
nasional. Kebijakan SKB ini menjadikan madrasah setara dan sederajat dengan sekolah
umum lainya. Dalam rangka memenuhi tuntutan SKB ini, perlu diadakan pembinaan dan
pembaharuan kurikulum secara menyeluruh. Untuk itu telah diadakan berbagai usaha,
penyu- sunan metode mengajar, standarisasi buku-buku madrasah dan alat-alat
pelajaran.
Usaha tersebut tidak hanya merupakan tugas dan wewenang Kementerian Agama
saja, melainkan tugas pemerintah secara keseluruan bersama masyarakat.33 Penerbitan
SKB dilatarbelakangi bahwa siswa madrasah sebagaimana tiap-tiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan layak bagi
kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah, yang menghendaki
melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi.
Menurut SKB tersebut, yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga
pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar,
yang diberikan sekurang- kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Sementara
itu madrasah mencakup tiga tingkatan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan SD,
Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP dan Madrasah Aliyah setingkat SMA.
Langkah-langkah pokok dalam pengembangan kurikulum madrasah meliputi
empat langkah, yaitu (1) perumusan tujuan- tujuan institusional, (2) penentuan struktur
program kurikulum, (2) penyusunan garis-garis besar program pengajaran, masing-
masing dari setiap bidang studi, perumusan tujuan-tujuan instruksional dan
33
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 181.
identifikasi pokok-pokok bahan yang dijadikan program pengajaran, (4) penyusunan dan
penggunaan satuan pelajaran, program penilaian, program bimbingan dan penyu- luhan,
program administrasi serta supervisi.34
Langkah-langkah tersebut di atas telah mendasari sifat-sifat dalam rangka
pengembangan dan pembaharuan pendidikan yang selaras dan sesuai dengan sistem
pendidikan nasional. Masalah- masalah pokok yang dihadapi dalam pengembangan dan
pem- binaan kurikulum madrasah secara nasional agar madrasah dapat menjalankan
SKB dan mencapai cita-cita agama Islam dalam pem- bentukan insan yang
berkepribadian muslim, yang antara lain perlu diperhatikan adalah tentang ragam
bidang studi yang akan disampaikan di dalam suatu madrasah.
Dalam penyusunan kurikulum madrasah berdasarkan SKB tersebut, digunakan
dua macam cara atau strategi, yaitu strategi umum dan strategi khusus. Pada strategi
umum, gagasan pokok ini dijadikan dasar dalam pengembangan dan pembaharuan
kurikulum, yaitu lulusan harus menjadi seorang muslim warga negara yang baik,
sanggup menyesuaikan diri di dalam masya- rakat, bertanggungjawab, memiliki
keterampilan, kemampuan, pengetahuan umum agar anak didik mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat. Hal ini merupakan salah satu yang dapat menunjuk- kan ciri khas
antara warga negara yang memperoleh pendidikan di madrasah. Gagasan pokok
tersebut membawa akibat adanya klasifikasi aspek-aspek pada pendidikan di madrasah,
yaitu aspek- aspek pendidikan dasar atau umum yang dimaksudkan untuk membina
sebagai muslim warga negara yang baik, sesuai dengan pedoman dan pengamalan
Pancasila, serta agar memiliki kecakapan, keterampilan, pengetahuan dan kemampuan
sesuai dengan tingkat pendidikanya. Kedua adalah aspek-aspek pendidikan khusus yang
dimaksudkan agar siswa sebagai muslim warga negara yang baik, bertakwa kepada
Allah Swt dan mengamalkan ajaran agamanya secara teguh agar tercapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Pada strategi khusus, kondisi ini didasari pikiran bahwa sebagai konsekuensi dari
pembinaan sistem pendidikan nasional dan pelaksanaan SKB serta tuntunan kualifikasi
dari lulusan madrasah dalam rangka peningkatan mutu, diperlukan pembinaan sarana
dan perlengkapan, termasuk di antaranya struktur kurikulum dan tenaga pengajar sebagai
personel pelaksanaannya. Kurikulum madrasah perlu diorientasikan kepada kepentingan
pembinaan dan pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
34
Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 137-139.
sikap dan nilai-nilai yang kese- luruhanya tampak dalam bentuk perubahan tingkah laku
anak didik. Dengan demikian madrasah perlu menyediakan rangkaian pengalaman belajar.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah cara agar pengetahuan yang diberikan di
madrasah mampu men- capai maksud SKB tanpa mengurangi mutu pendidikan agama,
yang akan menjadikan anak didik sebagi muslim warga negara yang baik, sehat jasmani
dan rohani serta tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
35
Ibid, 183.
menyebabkan Departemen Agama tidak perlu menyusun sendiri kurikulum mata
pelajaran umum untuk madrasah, tetapi dapat menggunakan kurikulum dan materi
pelajaran umum yang sudah diberlakukan di sekolah umum.
Namun, tampaknya, tidak semua madrasah dapat meng- adaptasikan dirinya
dengan SKB tersebut. Masih ada sebagian madrasah yang tetap mempertahankan pola
lama, sebagian agama murni, yaitu semata-mata memberikan pendidikan dan pengajaran
agama. Masyarakat tampaknya masih cenderung tetap memper- tahankan adanya
madrasah-madrasah diniyah tersebut, dengan maksud untuk memberikan kesempatan
pada murid-murid di sekolah-sekolah umum yang ingin memperdalam ilmu agama.
Umumnya madrasah-madrasah diniyah ini masih tetap diper- tahankan dalam
lingkungan pondok pesantren atau masjid. Madrasah diniyah yang dimaksud terdiri
dari tiga jenjang, yaitu Madrasah Diniyah Awaliyah, Madrasah Diniyah Wustha dan
Madrasah Diniyah Ulya.
Di sisi lain, dalam UU Nomer 2 Tahun 1989 ataupun UU Nomer 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara yang diper-
gunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembe- lajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan.36 Pada jenjang SMA, kurikulum PAI memiliki kedudukan strategis
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, sejajar dengan mata pelajaran lainnya.
Sejalan dengan tujuan ini, maka semua mata pelajaran yang diajar- kan kepada peserta
didik di sekolah harus mengandung muatan pendidikan akhlak yang harus diperhatikan
oleh setiap guru.37
Muatan pendidikan akhlak yang harus diperhatikan setiap guru dalam
pembelajaran merupakan wujud pengembangan potensi beragama peserta didik
sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang pada hakikatnya telah dimiliki oleh setipa
peserta didik yang disebut dengan fitrah. Tugas guru PAI dalam mengembangkan
kurikulum adalah mengembangkan fitrah agar menjadi kemam- puan aktual dan
mengarahkannya untuk kebaikan, sehingga peserta didik mampu mencapai
kesempurnaan dengan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti sesungguhnya.38
Dengan demi- kian tugas guru PAI dalam pembelajaran adalah meningkatkan keimanan,
pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik terhadap ajaran agam Islam agar
menjadi manausia beriman dan bertakwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
36
Rahmat Raharjo, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Sleman: Magnum, 2010), 65.
37
Ibid, 67.
38
Ibid, 69.
Berdasarkan aspek taksonomi, pengembangan kurikulum PAI yang ingin dicapai
dapat diformulasikan secara komprehensif yang meliputi aspek normatif, kognitif, afektif
dan psikomotorik yang integratif dan tidak dapat dipisahkan aspek per aspek, sehingga
dapat melahirkan muslim paripurna, yaitu muslim yang saleh secara pribadi dan saleh
secara sosial. Tujuan lainnya adalah menjadikan peserta didik yang memiliki akhlaqul
karimah dengan jiwa demo- kratis, toleran dan pluralis dalam kehidupan sehari-hari.
39
"Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas,” Jakarta, 2003, 67.
40
Ibid, 68.
sarana yangmendidik, pembiayaan pendidikan yang sesuai prinsip pemerataan dan
berkeadilan, penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata, pelaksanaan wajib
belajar sembilan tahun, pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan, pemberdayaan
peran masyarakat, pusat pembudayaan dan pem- bangunan masyarakat, pelaksanaan
pengawasan dalam sistem pendidikan nasional serta evaluasi, akreditasi dan sertifikasi
pen- didikan yang memberdayakan.41
Fikih, di tingkat MTs, adalah mata pelajaran yang memahami tentang pokok-
pokok hukum Islam dan tata cara pelaksanaannya untuk diaplikasikan dalam kehidupan
sehingga menjadi muslim yang selalu taat menjalankan syariat Islam secara kaffah
(sempurna). SKI adalah mata pelajaran yang menelaah tentang asal-usul, per-
kembangan, peranan peradaban Islam dan para tokoh yang ber- prestasi dalam sejarah
Islam di masa lampau, mulai dari perkem- bangan masyarakat Islam pada masa Nabi
Muhammad Saw dan Khulafa’ al-Rasyidin, Bani ummayah, Bani Abbasiyah, Bani
Ayyubiyah sampai perkembangan Islam di Indonesia.
Pada tingkat MA, al-Qur’an Hadits adalah salah satu mata pelajaran PAI yang
merupakan peningkatan dari al-Qur’an Hadits yang telah dipelajari oleh peserta didik di
MTs/SMP.Akidah-Akhlak adalah salah satu mata pelajaran PAI yang merupakan pening-
katan dari akidah dan akhlak yang telah dipelajari oleh peserta didik di MTs/SMP. Fikih
adalah mata pelajaran PAI yang merupakan peningkatan dari fikih yang telah dipelajari
oleh peserta didik di MTs/SMP. SKI merupakan mata pelajaran yang menelaah tentang
asal-usul, perkembangan, peranan kebudayaan dan peradaban Islam di masa lampau,
mulai dari dakwah Nabi Muhammad Saw pada periode Mekkah dan Madinah,
kepemimpinan umat setelah Nabi Saw wafat, sampai perkembangan Islam periode
klasik (650- 1250 M), abad pertengahan (1250–1800 M) dan masa modern (1800-
sekarang) serta perkembangan Islam di ndonesia dan di dunia.
Dalam tataran di lapangan, menurut Hasbi Ashi-Shidiqi, aspek kajian PAI meliputi,
(1) tarbiyah jismiyah, yaitu segala rupa pen- didikan yang wujudnya menyuburkan dan
menyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya dapat merintangi kesukaran yang
dihadapi dalam pengalamannya, (2) tarbiyah ‘aqliyah, yaitu sebagai- mana rupa pendidikan
dan pelajaran yang akibatnya mencerdas- kan akal dan menajamkan akal, (3) tarbiyah
adabiyah, yaitu segala rupa praktek maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan
budi dan meningkatkan perangai.43
42
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 45.
43
Sebagaimana dikutip Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Bandung: Rosda Karya, 2005), 138.
Berikut ini adalah tabel perkembangan kurikulum PAI di sekolah umum sejak masa
kemerdekaan.44
a) Model Dikotomi
Model ini memandang aspek kehidupan dengan sangat se- derhana dan kata
kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang
berlawanan, yaitu pen- didikan agama dan pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis
tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang ke- hidupan dunia dan akhirat,
kehidupan jasmani dan rohani, se- hingga kehidupan agama Islam hanya diletakkan pada
aspek ke- hidupan akhirat saja.46 Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut
sebagai seksi kerohanian. Dengan demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan
pendidikan non-agama, pendidikan keislaman dan seterusnya.
Menurut Azyumardi Azra, pemahaman semacam ini muncul ketika umat Islam di
Indonesia mengalami penjajahan yang sangat panjang, sehingga umat Islam mengalami
keterbelakangan dan disintregrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perben-
turan umat Islam dengan pola pendidikan dan kemajuan Barat memunculkan kaum
intelektual baru yang disebut dengan cende- kiawan sekuler. Kaum intelektual ini
memperoleh pendidikan versi Barat, sehingga dalam proses pendidikan mereka menjadi ter-
alienasi atau terasing dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Bahkan, dalam beberapa hal,
terjadi kesenjangan (gap) antara kaum intelek-tual baru yang sekuler dengan intelektual
lama yang berupa kaum ulama. Pada konteks ini, ulama’ dipersepsikan sebagai kaum
sarungan yang hanya mengerti persoalan keagamaan dan buta persoalan keduniaan.
Pandangan dikotomis ini memiliki implikasi terhadap pengem- bangan PAI yang lebih
berorientasi kepada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting.
Sehingga menekankan pada pendalaman ’ulum al-diniyah, yang merupakan jalan pintas
untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains atau ilmu umum dianggap terpisah
dengan agama. Demikian pula pende- katan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan
yang normatif, doktriner dan absolut.
b) Model Mekanisme
Model mekanisme ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan
pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan,
yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya. Hal ini sebagaimana sebuah
fungsi yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen- elemen, yang masing-masing
46
Sebagaimana dikutip Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, 59-61.
melaksanakan fungsinya sendiri- sendiri dan antara satu dengan lainnya bisa saling
berkonsultasi.47
Secara sederhana dapat dipahami bahwa aspek-aspek atau nilai-nilai itu sendiri
terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi dan lain
sebagainya. Dengan demi- kian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau
nilai kehidupan dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai-nilai agama
dengan nilai-nilai lainnya bersifat lateral sekuensial, yang berarti di antara masing-masing
mata pelajaran tersebut memiliki relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi.
Model ini dapat dikembangkan pada sekolah umum sebagai upaya pembentukan
kepribadian religius. Dalam implikasinya di lapangan sangat tergantung pada kemauan,
kemampuan atau political will dari para pemimpin sekolah, terutama dalam mem- bangun
hubungan kerja sama dengan mata pelajaran lainnya. Model ini dapat diaplikasikan melalui
pengintregasian imtak dengan mata materi pelajaran lainnya, yaitu dengan upaya
mengintregasikan konsep atau ajaran agama ke dalam materi yang sedang dipelajari oleh
peserta didik atau diajarkan oleh guru. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu (1)
pengintregasian secara filosofis, yaitu jika tujuan fungsional mata pelajaran umum sama
saja dengan tujuan fungsional mata pelajaran agama, (2) pengintregasian di- lakukan jika
konsep agama saling mendukung dengan konsep pengetahuan umum.48
Meminjam istilah dalam ilmu biologi, bahwa organisme dapat diartikan sebagai
susunan yang bersistem dari berbagai jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks
pendidikan Islam, model organisme bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan
merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen bersama dan bekerja sama
secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu perwujudan hidup yang religius atau dijiwai
oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam.49
Pandangan semacam itu menggarisbawahi tentang urgensi kerangka pemikiran yang
dibangun dari fundamental doctrines value yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an
dan hadits sebagai sumber pokok.Ajaran dan nilai didudukkan sebagai sumber konsul- tasi
yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya di- dudukkan sebagai nilai-nilai
insani yang memiliki hubungan- hubungan vertical linier dengan nilai-nilai agama. Melalui
upaya- upaya seperti itu, maka sistem pendidikan Islam diharapkan mampu mengintregasikan
nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik serta mampu melahirkan manusia-
manusia yang me- nguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki
47
Ibid, 54.
48
Ibid, 43-44.
49
Ibid, 67
kematangan profesional dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
Melalui upaya tersebut peserta didik dibawa ke pengenalan terhadap nilai-nilai agama
secara kognitif, penghayatan niali-nilai agama secara efektif dan akhirnya penghayatan nilai-
nilai agama secara nyata. Menurut istilah pedagogic, kenyataan ini disebut dari gnosis sampai
ke praksis. Untuk sampai ke praksis, ada peristiwa batin yang amat penting dan harus
terjadi pada diri peserta didik, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk
mengamalkan nilai-nilai agama. Peristiwa ini disebut conatio dan langkah untuk
membimbing peserta didik membulatkan tekad ini disebut dengan konatif.50
Bab III
50
Ibid, 313.
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas, disimpulkan bahwa sejak sekitar abad XVIII Masehi,
pesantren di Indonesia mengalami berbagai perubahan, baik peningkatan kuantitas maupun
kualitas. Per- kembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut di- klasifikasikan
menjadi empat, yaitu pesantren yang menyeleng- garakan pendidikan formal dengan
menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang
juga memiliki sekolah umum, pesantren yang hanya meng- ajarkan ilmu-ilmu pengetahuan
agama dalam bentuk madrasah diniyah, pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat
pengajian. Terakhir adalah pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam
bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum, meski tidak menerapkan
kurikulum nasional.
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencabut pesantren dari
akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi lembaga pendidikan yang
melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai- nilai islam
(Islamic values), lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial, lembaga keagamaan
yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Dalam konteks pesantren modern, elemen pesantren lainnya adalah materi pelajaran,
kurikulum dan manajemen pesantren, di samping ada pergeseran peran terhadap keempat
elemen di atas. Materi pelajaran atau kurikulum di pesantren modern tidak hanya kitab kuning,
tetapi juga “kitab putih” atau “kitab merah” yang berisi ilmu pengetahuan umum. Manajemen
pesantren modern menggunakan manajemen modern yang menerapkan sistem pembagian
kerja secara fungsional dan profesional.
Di satu sisi, aspek PAI di madrasah terdiri dari al-Qur’an-hadits, keimanan atau aqidah,
akhlak, fiqih (hukum Islam) dan aspek tarikh (sejarah). Prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum PAI di madrasah meliputi prinsip peningkatan keimanan dan ke- takwaan, budi
pekerti luhur dan nilai-nilai budaya, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan
kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan, keseimbangan antara etika, logika,
estetika dan kinestetika, penguatan integritas nasional, penge- tahuan dan teknologi informasi,
pengembangan keterampilan hidup, pilar pendidikan, kontinyuitas (berkesinambungan), belajar
sepanjang hayat. Sedangkan landasan kurikulum PAI di madrasah antara lain landasan agama,
filsafat, psikologi belajar, sosio-budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Modernisasi kurikulum PAI di madrasah dimulai dari kurikulum PAI di madrasah pada awal
pertumbuhan, kurikulum PAI di madrasah masa SKB 3 menteri, kurikulum PAI di madrasah
pasca UU Nomer 2 Tahun 1989 dan UU Nomer 20 Tahun 2003.
Kurikulum PAI di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek al-Qur’an hadits,
keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih (hukum Islam) dan aspek Tarikh (sejarah). Dalam sejarah
pendidikan di Indonesia, aspek-aspek pendidikan Islam telah mengalami berbagai perubahan dan
perbaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan (policy) yang pernah diberlakukan dari satu
pemerintah ke pemerintahan lain. Demikian juga, pendidikan Islam mendapat efek dari per-
ubahan kebijakan tersebut. Sehingga dalam kurikulum seperti yang telah dikemukakan di atas,
mengalami perubahan, baik itu dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.
Sehingga dapat dilihat corak model pengembangan kurikulum PAI yang pernah berkembang,
seperti model dikotomi, model mekanisme dan model organisme atau sistematik.*
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Ruslan. Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Antar Kota,
1983.
Arifin, Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Assegaf, Abdurrahman. Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005.
Dakir. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Dhofier, Zamakhsari.
Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3S, 1987.
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam. Kebijakan Departemen Agama dalam
Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Pendais Departemen Agama,
2008.
Dualay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Prenada
Media Group, 2004.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara, 2001.
_______. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
Hamami, Tasman. “Pemikiran Pendidikan Islam,” dalam Ringkasan Desertasi Program
Pascasarjana UIN Yogyakarta. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
http://stiebanten.blogspot.com/2011/06/kurikulum-pendidikan- pondok-pesantren.html, 2
Nopember 2013.
http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip- pengembangan kurikulum-
tingkat-satuan-pendidikan, 20 Januari 2015.
Majid, Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi.
Bandung: Rosda Karya, 2005.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islamdi Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
_ . Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
_ _ _. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan
Madrasah. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Mulyasa. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009.
Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars, 1988. Rachim. Modernisasi Sistem
Pendidikan Pesantren. www.wordpress.com, 8 April 2015.
Raharjo, Dawam (ed). Pesantren dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES, 1995. Raharjo, Rahmat.
Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Yogyakarta: Baituna Publishing, 2012.