Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PEREKEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM DI PESANTREN, MADRASAH,


DAN SEKOLAH DARI MASA KEMASA
(SEBELUM KEMRDEKAAN DAN PASCA KEMERDEKAAN)

OLEH :
1. Roby Crismoniansyah, S.Pd
2. Wiwin Candra, S.Pd

Dosen Pengampu : Dr. Sutarto, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) CURUP
2020
DAFTAR PUSTAKA

Puji dan Syukur kepada Allah SWT. atas segala berkat dan kesempatan yangmasih Dia
sediakan bagi kelompok kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok kami, yakni
makalah mengenai “perekembangan kurikulum pendidikan islam di pesantren, madrasah, dan
sekolah dari masa kemasa (sebelum kemrdekaan dan pasca kemerdekaan)” Pada kesempatan ini,
kami mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekansatu kelompok yang telah memberikan partisipasi
dan waktu serta perhatiannyaselama dalam penulisan makalah ini.

Dan juga kepada setiap orang yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, karena atas
bantuannya selama proses penulisan hingga makalah ini dapatdiselesaikan dengan baik.Mudah-
mudahan tulisan ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan hasilPendidikan dan meningkatkan
Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

Curup,  November 2020

Penulis
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan pengertian kurikulum


mengalami perubahan. Namun demikian, salah satu hal permanen yang disepakati bahwa Istilah
kurikulum berasal dari bahasa Yunani. Pada periode awal, istilah kurikulum populer dalam bidang
olah raga, yaitu curere, yang berarti jarak terjauh yang harus ditempuh dalam olah raga lari, mulai
start hingga finish. Dalam konteks pendidikan, kurikulum diartikan sebagai circle of instruction,
yaitu suatu lingkaran pengajaran dengan guru dan murid terlibat di dalamnya.

Kurikulum merupakan suatu alat yang dipakai untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
dengan memperhatikan tahap perkembangan murid dan kesesuaiannya dengan lingkungan,
kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian,
sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Sesuai dengan ketentuan tersebut,
perlu ditambahkan bahwa pendidikan nasional berakar pada kebudayaan nasional dan pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kurikulum membutuhkan landasan kuat agar dapat dikembangkan oleh sekolah. Namun,
pada kenyataaannya kurikulum dibuat sesuai standar kompetensi dan standar nasional yang dibuat
dan ditetapkan oleh pemerintah. Secara ideal, pengembangan kurikulum dilakukan oleh sekolah atau
lembaga pendidikan tersebut yang lebih mengerti dan paham kurikulum seperti kondisi yang
dibutuhkan. Pengalaman selama setengah abad negeri ini mengelola sendiri sistem pendidikan
menunjukkan bahwa setiap kali muncul pembahasan yang mengarah kepada upaya perbaikan sistem
pendidikan nasional, selalu yang menjadi titik berat perhatian adalah pembenahan kurikulum.

Berbagai pertanyaan akhirnya bermunculan. Mulai mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah
benar kurikulum memang memiliki dasar dan landasan kuat yang memang disiapkan agar murid,
pendidik, orang tua dan komponen pendidikan lainnya sesuai dengan tujuan pendidikan dan standar
pendidikan? Apa yang mendasari itu semua? Benarkah kurikulum itu dibuat untuk memperbaiki
kurikulum lama dengan kurikulum baru, yang sering disebut dengan evaluasi kurikulum? Di mana
sistem evaluasi digunakan untuk menentukan tingkat pencapaian keberhasilan murid dalam bentuk
hasil khusus?1

Lembaga pendidikan yang memainkan peran di Indonesia, jika dilihat dari struktur internal
pendidikan Islam serta praktekpraktek pendidikan yang dilaksanakan, ada empat kategori. 2 Pertama
adalah pendidikan pondok pesantren,3 yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara
tradisional, bertolak dari pengajaran secara al-Qur’an dan hadits dan merancang segenap kegiatan
1
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum (Jakarta: Grafindo, 1986), 37.
2
Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), 58.
pendidikannya. Kedua adalah pendidikan madrasah, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan di
lembaga-lembaga model Barat yang menggunakan metode pengajaran klasikal dan berusaha
menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para murid.

Ketiga adalah pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang
dilaksanakan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-
lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat
adalah pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai
suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Sedangkan pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia yang banyak mencetak tokoh-tokoh terkenal dalam dunia pendidikan Islam, akhir-
akhir ini menarik untuk dicermati kembali.

Ketiga adalah pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang
dilaksanakan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-
lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat
adalah pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai
suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Sedangkan pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia yang banyak mencetak tokoh-tokoh terkenal dalam dunia pendidikan Islam, akhir-
akhir ini menarik untuk dicermati kembali.4

3
Selain istilah pesantren (Jawa, Sunda dan Madura), ditemukan juga istilah lain dengan makna yang sama, yaitu
dayah dan rangkang di Aceh dan surau di Minangkabau. Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaruan (Jakarta:
LP3ES, 1995), 2.
4
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, 59.
BAB II

Pembahasan

A. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama di Pesantren


1. Pengertian Sistem Pendidikan di Pesantren
Menurut Muzayyin Arifin, sistem didefinisikan sebagai suatu perangkat atau
mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling berhubungan dan
saling memperkuat untuk mencapai tujuan tertentu. 5 Secara umum, sistem dapat berarti suatu
cara untuk mencapai tujuan tertentu yang dalam penggunaannya tergantung kepada berbagai
faktor yang erat hubungannya dengan pencapaian tujuan tersebut.
Sistem pendidikan di pesantren artinya sarana yang berupa perangkat organisasi
yang diciptakan untuk mencapai tujuan pen-didikan di pondok pesantren. Karena
pesantren merupakan sub-sistem pendidikan yang ada di Indonesia, maka tujuan
pendidikan di pesantren secara umum juga mengacu kepada tujuan pen- didikan nasional.
Istilah pesantren, secara bahasa, berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan

akhiran -an (pesantrian), yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri
sendiri berasal kata sastri, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang artinya melek

huruf.76Menurut Zamakhsari Dhofier, sebagaimana dikutip Haidar Putra Dualay, ada


lima unsur pesantren, yaitu pondok, santri, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik dan
kiai.7
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren.
Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab, yaitu funduq, yang
berarti hotel, asrama, rumah dan tempat tinggal sederhana.

2. Dinamika Pesantren Hingga Sekarang


Dalam perspektif sejarah, pesantren telah mengalami perjalanan sejarah yang
panjang, sejak sekitar abad XVIII Masehi. Pada era 1970-an, pesantren mengalami
perubahan sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal, yaitu peningkatan secara
kuantitas terhadap jumlah pesantren dan menyangkut penyelenggaraan pen- didikan.
Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi
empat, yaitu (a) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan
kuri- kulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun juga
5
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 245.
6
Rachim, Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren, www.wordpress.com, 8 April 2015.
7
Haidar Putra Dualay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Prenada Media Group,
2004), 31.
memiliki sekolah umum, (b) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan agama dalam bentuk madrasah diniyah, (c) pesantren yang hanya sekedar
menjadi tempat pengajian, (d) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum,
meski tidak menerapkan kuri- kulum nasional, karena menggunakan kurikulum sendiri.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang
tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisi secara turun temurun, tanpa ada
perubahan dan improvi- sasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pe-
santren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan memperoleh hasil lebih baik
dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya
berdasarkan pemikiran terhadap kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencabut pesantren
dari akar kultur nya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai
lembaga pendidikan yang me- lakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh
fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values), lembaga keagamaan yang melakukan
kontrol sosial (social control) dan lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial
(social engineering).Dalam konteks pesantren modern, elemen pesantren lainnya adalah
materi pelajaran, kurikulum dan manajemen pesantren, di samping ada pergeseran peran
terhadap keempat elemen di atas. Pergeseran peran yang dimaksud seperti kyai dalam
pesantren modern tidak lagi menjadi tokoh sentral yang sangat otoriter, tetapi lebih
demokratis dan pembagian kerja secara profesional. Materi pelajaran atau kurikulum di
pesantren modern tidak hanya kitab kuning, tetapi juga “kitab putih” atau “kitab merah”
yang berisi ilmu pengetahuan umum. Manajemen pesantren modern meng- gunakan
manajemen modern yang menerapkan sistem pembagian kerja secara fungsional dan
profesional. Oleh karena itu, jika me- rujuk pada pendapat Zamakhsari Dhofier, maka
tidak ada lagi pe- santren yang masih murni. Hal ini dikarenakan sudah hampir tidak
dijumpai lagi pesantren yang hanya memiliki satu bangunan, kyai dan santri tinggal
bersama. Pesantren-pesantren sekarang telah memisahkan, meskipun masih dalam satu
kompleks antara asrama, masjid, rumah kyai dan aula tempat mempelajari kitab kuning.
Perkembangan pesantren mutakhir menunjukkan adanya gejala urbanisasi
pesantren, khususnya di kota-kota besar. Banyak asrama bahkan kos-kosan mahasiswa
yang dikemas menjadi semi pesantren. Artinya, asrama tersebut tidak sekedar tempat
tinggal bagi pelajar atau mahasiswa, namun juga banyak kegiatan ke- rohanian, seperti
ritual Yasinan setiap malam Jumat, taushiyah oleh tokoh agama, belajar kelompok antar
penghuni asrama dan lain sebagainya. Pola lain dari gejala urbanisasi pesantren adalah
munculnya pesantren mahasiswa. Kegiatan utama di pesantren ini hanya berlangsung
pada malam dan pagi hari, sedangkan di siang tidak ada kegiatan karena santri menuntut
ilmu di per- guruan tinggi.

3. Sistem Pendidikan di Pesantren


Zamakhsari Dhofier mengidentifikasi elemen-elemen pesantren terdiri dari kyai,

santri, kitab-kitab klasik dan masjid.8 Dari keempat elemen tersebut, kyai menjadi tokoh
sentral dalam seluruh dinamika pesantren, mulai dari imam shalat, memimpin doa, men-
jadi guru, tempat meminta barokah, sumber kebijakan pesantren dan lain sebagainya.
Selanjutnya, santri merupakan siswa yang menimba ilmu di pesantren dan hidup
bersama atau tinggal ber- sama dengan rumah kyai atau satu komplek dengan rumah
kyai. Adapun kitab kuning di pesantren merujuk pada kajian kitab klasik karya ulama
abad pertengahan, ketika Islam mengalami kemun- duran. Pada umumnya, kitab klasik
tersebut membahas ‘aqidah, fiqih, tasawuf, manthiq, nahwu, sharaf dan lain sebagainya.
Tidak ada kitab yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan secara umum.

Kitab ini dipelajari santri di bawah bimbingan langsung kyai melalui sistem
wetonan dan bandongan, tetapi tidak ditentukan batasan waktunya secara jelas dan
pasti. Elemen terakhir, masjid merupakan tempat ibadah bersama, tetapi juga sering
digunakan sebagai tempat santri belajar termasuk praktik-praktik thariqat di dalamnya.
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pen- didikan Islam
tradisional mengingat para siswanya tinggal ber- sama-sama dan belajar di bawah
bimbingan seorang kiyai. Terdapat tiga alasan utama pesantren harus menyediakan asrama
bagi santri- nya, yaitu (1) popularitas seorang kyai dan kedalaman penge- tahuannya
tentang Islam, menarik santri-santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai
tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, untuk itu santri harus menetap, (2)
hampir semua pesantren berada di desa-desa yang tidak tersedia perumahan atau
akomodasi yang cukup untuk menampung santri-santri, dengan demikian perlu adanya
asrama khusus para santri, (3) ada timbal balik antara santri dan kyai, mengingat para
santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan para kyai
menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.
Di samping alasan-alasan di atas, kedudukan pondok sebagai salah satu unsur
pokok pesantren sangat besar sekali manfaatnya, di antaranya adalah santri dapat
dikondisikan dalam suasana belajar sepanjang hari. Kehidupan berasrama para santri juga
sangat men- dukung bagi pembentukan kepribadian. Di dalam asrama me- mungkinkan
untuk mempraktekkan materi-materi yang telah di- pelajari. Nilai-nilai agama yang secara

8
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren ( Jakarta: LP3S, 1987), 43.
normatif dipelajari di kelas, dapat dilatihkan untuk disosialisasikan dalam kehidupan
sehari- hari. Dengan begitu, dimungkinkan mereka tidak hanya menjadi having, tetapi
being.

4. Pengembangan Kurikulum di Pesantren


Kurikulum pendidikan pesantren adalah bahan-bahan pendidi- kan agama Islam di
pesantren berupa kegiatan pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan
sistematis diberikan kepada santri untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam.
Kurikulum pendidikan pesantren merupakan alat untuk mencapai tujuan PAI. Sedangkan
lingkup materi pendidikan pesantren adalah al-Qur’an dan hadits, keimanan akhlak, fiqh
atau ibadah dan sejarah. Dengan kata lain, cakupan pendidikan pesantren ada keserasian
keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah Swt. diri sendiri sesama
manusia makhluk lain maupun lingkungannya.
Untuk mencapai tujuan pendidikan pesantren tersebut, perlu adanya rekonstruksi
kurikulum agar lebih riil. Rumusan tujuan pen- didikan pesantren yang ada selama ini
masih bersifat general dan kurang match dengan realitas masyarakat yang terus
mengalami transformasi. Rekonstruksi di sini dimaksudkan untukmeningkatkan daya
relevansi rumusan tujuan pendidikan pesantren dengan per- soalan riil yang dihadapi
masyarakat dalam hidup kesehariannya.
Prinsip pengembangan kurikulum pendidikan pesantren secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) prinsip umum, yang meliputi prinsip relevansi,
prinsip fleksibilitas, prinsip kon- tinyuitas, prinsip praktis dan prinsip efektifitas, (2)
prinsip efisiensi.
Sedangkan prinsip khusus dalam pengembangan kurikulum di pesantren mencakup
prinsip yang terkait dengan tujuan pen- didikan pesantren dan pemilihan isi pendidikan
pesantren, juga yang berkenaan dengan metode, strategi proses pembelajaran dan alat
evaluasi dan penilaian pendidikan pesantren. Secara praktis, Mastuhu memberikan
konsep tentang model dan paradigma pen- didikan pesantren yang diharapkan menjadi
orientasi dan landasan dalam kurikulum lembaga pendidikan pesantren, yaitu (1) dasar
pendidikan-pendidikan pesantren harus mendasarkan pada teosentris dengan
menjadikan antroposentris sebagai bagian esensial dari konsep teosentris, (2) tujuan
pendidikan kerja mem- bangun kehidupan duniawiyah melalui pendidikan sebagai per-
wujudan mengabdi kepada-Nya. Pembangunan kehidupan dunia- wiyah bukan menjadi
tujuan final, tetapi merupakan kewajiban yang diimani dan terkait kuat dengan
kehidupan ukhrawiyah, tujuan final adalah kehidupan ukhrawi dengan ridha Allah Swt,
(3) konsep manusia pendidikan Islam memandang manusia me- miliki fitrah yang harus
dikembangkan, (4) nilai pendidikan pe- santren berorientasi pada iptek sebagai
kebenaran relatif dan imtaq sebagai kebenaran mutlak.Pengembangan kurikulum
pendidikan pesantren secara terus menerus menyangkut seluruh komponen merupakan
sesuatu mutlak untuk dilakukan agar tidak kehilangan relevansi dengan kebutuhan riil
yang dihadapi komunitas pendidikan Islam yang kecenderungan terus mengalami proses
dinamika transformatif. Pendidikan pesantren dibangun atas dasar pemikiran Islami
yang bertolak dari pandangan hidup dan pandangan tentang manusia serta diarahkan
kepada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah- kaidah Islam.
Kurikulum yang demikian biasa mengacu pada sembilan prinsip utama. Kesembilan
prinsip itu adalah (1) sistem dan pengem- bangan kurikulum hendaknya memperhatikan
fitrah manusia agar tetap berada dalam kesucian dan tidak menyimpang, (2) kurikulum
hendaknya mengacu kepada pencapain tujuan akhir pendidikan Islam sambil
memperhatikan tujuan-tujuan di bawahnya, (3) kurikulum perlu disusun secara bertahap
mengikuti periodesasi per- kembangan peserta didik, (4) kurikulum hendaknya
memperhati- kan kepentingan nyata masyarakat, seperti kesehatan, keamanan, administrasi
dan pendidikan, (5) kurikulum hendaknya ter- struktur dan terorganisasi secara
integral, (6) kurikulum hendak- nya realistis, sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan
berbagai kemudahan yang dimiliki tiap negara sebagai pelaksana, (7) metode pendidikan
yang merupakan salah satu komponen kurikulum ini hendaknya bersifat fleksibel, (8)
kurikulum hendaknya efektif untuk mencapai tingkah laku dan emosi yang positif, (9)
kurikulum hendaknya memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik, baik fisik,
emosional ataupun intelektualnya serta berbagai masalah yang dihadapi dalam tiap tingkat
perkembangan, seperti pertum- buhan bahasa, kamatangan sosial dan kesiapan
religiusitas.9

B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah


1. Hakikat Kurikulum PAI di Madrasah
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang diguna- kan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran dalam mencapai tujuan pendidikan tertentu. As-Syaibani menetap- kan lima
dasar pokok kurikulum pendidikan. Pertama adalah dasar religious. Dasar ini ditetapkan
berdasarkan nilai-nilai Ilahi yang terdapat pada al-Qur’an dan hadits yang merupakan
nilai yang kebenarannya mutlak dan universal. Kedua adalah dasar falsafah. Dasar ini
memberikan arah dan tujuan pendidikan, sehingga susunan kurikulum mengandung suatu
kebenaran. Ketiga adalah dasar psikologis. Dasar ini mempertimbangkan tahapan psikis
murid yang berkaitan dengan perkembangan jasmani, ke- matangan, bakat,

9
http://stiebanten.blogspot.com/2011/06/kurikulum-pendidikan-pondok- pesantren.html, 2 Nopember 2013.
intelektual, bahasa, emosi, kebutuhan dan ke- inginan individu. Keempat adalah dasar
sosiologis. Dasar ini mem- berikan gambaran bahwa kurikulum pendidikan memegang
peran penting dalam penyampaian dan pengembangan kebudayaan, proses sosialisasi
individu dan rekonstruksi masyarakat. Kelima adalah dasar organisatoris. Dasar ini
mengenai bentuk penyajian bahan pelajaran yaitu organisasi kurikulum.
Fungsi kurikulum bagi sekolah yaitu sebagai alat untuk men- capai tujuan
lembaga pendidikan yang diinginkan dan sebagai pedoman dalam mengatur segala
kegiatan sehari-hari di sekolah. Fungsi kurikulum bagi murid sebagai suatu organisasi
belajar tersusun yang diharapkan mereka memperoleh pengalaman baru yang dapat
dikembangkan di kemudian hari. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah maupun guru
adalah sebagai pedoman kerja. Sedangkan fungsi kurikulum bagi orang tua siswa yaitu
agar orang tua dapat turut serta membantu pihak sekolah dalam me- majukan anak-
anaknya.10
Kurikulum PAI di madrasah bertujuan untuk mengantarkan peserta didik menjadi
manusia unggul dalam beriman dan ber- takwa, berakhlak mulia, berkepribadian,
menganalisa ilmu penge- tahuan dan teknologi serta mampu mengaktualisasikan diri
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.11 Komponen- komponen yang
terkait dalam kurikulum dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) kelompok komponen-
komponen dasar, yaitu konsep dasar filosofis dalam mengembangkan kurikulum PAI
yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tujuan PAI tersebut, (2) kelompok
komponen-komponen pelaksana, yaitu mencakup materi pendidikan, sistem pendidikan,
proses pelaksanaan dan pemanfaatan lingkungan, (3) kelompok-kelompok pelaksana
dan pendukung kurikulum, yaitu komponen pendidik, peserta didik dan konseling, (4)
kelompok usaha-usaha pengembangan yang ditujukan dengan adannya evaluasi dan
inovasi kurikulum, adanya perencanaan jangka pendek, menengah dan jangka panjang,
ter- jalinnya kerja sama dengan lembaga-lembaga lain untuk pengem- bangan
kurikulum tersebut. 12

2. Prinsip Pengembangan Kurikulum PAI di Madrasah


Pengembangan kurikulum PAI di madrasah berdasarkan pada sepuluh prinsip.
Pertama adalah prinsip peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti luhur dan
nilai-nilai budaya. Kedua adalah prinsip keyakinan dan nilai-nilai yang dianut
10
Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi (Yogyakarta: Teras,
2009), 8. Lihat juga Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum ( Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 21.
11
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam, Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu
Madrasah di Indonesia. (Jakarta: Ditjen Pendais Departemen Agama, 2008), 3.
12
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan
Tinggi ( Jakarta: Raja Grafindo, 2005), 11-12.
masyarakat berpengaruh pada sikap dan arti kehidupannnya. Keimanan dan ketakwaan,
budi pekerti luhur dan nilai-nilai budaya perlu digali, dipahami dan diamalkan oleh
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. 13 Ketiga adalah prinsip berpusat pada potensi,
perkem- bangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Hal ini dimaksudkan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis dan tanggung jawab.14 Keempat adalah prinsip
keseimbangan antara etika, logika, estetika dan kinestetika. Kurikulum hendaknya
menaruh perhatian terhadap siswa agar mampu menjaga keseimbangan dalam proses dan
pengalaman belajar yang meliputi etika, logoka, estetika dan kinestetika, sehingga siswa
akan menjadi seseorang yang ter- hormat, cerdas, rasional dan unggul.15 Kelima adalah
prinsip pe- nguatan integritas nasional. Prinsip ini dimaksudkan untuk me- nanamkan
kesadaran bahwa Indonesia adalah negara majemuk, tetapi keanekaragaman itu tidak
boleh membuat perpecahan, karena meskipun berbeda tetapi tetap satu jua, sebagaimana
semboyan Bhineka Tunggal Ika. Keenam adalah prinsip prinsip pengetahuan dan
teknologi informasi. Kurikulum dikembangkan atas dasar ke- sadaran bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi terus berkembang, sehingga kurikulum mendorong siswa
untuk mampu mengikuti dan memanfaatkan secara tepat ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut agar siswa memiliki kemampuan untuk berpikir dan belajar dengan
baik.16 Ketujuh adalah prinsip pengembangan keterampilan hidup. Prinsip ini
mengembangkan empat keterampilan yang harus di miliki oleh setiap peserta didik
yang sesuai dengan kebutuhan di lingkungan sekitarnya, yaitu keterampilan diri
(personal skill), ke- terampilan berpikir rasional (thinking skills), keterampilan akademik
(academic skills) dan keterampilan vokasional (vocational skills). Dengan keterampilan
tersebut, setelah siwa tersebut lulus sekolah, dapat mempertahankan hidupnya sesuai
dengan pilihan masing- masing individu.17 Kedelapan adalah prinsippilar pendidikan,
yang dijadikan prinsip pengembangan kurikulum di madrasah, yaitu learning to know,
learning to do, learning to be dan learning to live together.18 Kesembilan adalah prinsip

Muhaimin dkk, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam
13

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 61.


14
Muhaimin dkk, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan
Madrasah (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 21-22. Lihat Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009), 151-152.
15
Muhaimin dkk, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam, 61.
Lihat Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi, 112. Lihat Syaiful
Sagala, Konsep dan MaknaPembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2010), 116.
16
Ibid. Lihat Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, 152. Lihat juga Muhaimin dkk, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 22.
17
Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum, 117. Lihat Muhaimin dkk, Pengem- bangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di
Perguruan Tinggi Agama Islam, 62.
18
http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip-pengembangan kurikulum-tingkat-satuan-pendidikan, 20 Januari 2015.
kontinyuitas atau berkesinambungan. Kurikulum harus disusun secara
berkesinambungan, artinya bagian-bagian, aspek-aspek, materi dan bahan kajian disusun
secara berurutan. Oleh karena itu, pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus
memperhatikan kesinambungan antar kelas, antar jenjang pendidikan, antara jenjang
pendidikan dengan jenis pekerjaan.19Kesepuluh adalah prinsip belajar sepanjang hayat
atau long life education. Kurikulum di madrasah diarahkan kepada pengembangan,
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Kurikulum mencerminkan keterkaitan unsur-unsur pendidikan formal, in-formal dan
non- formal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu
berkembang.20

3. Landasan Pengembangan Kurikulum PAI di Madrasah


landsaan pengembangan kurikulum PAI di madrasah pada hakikatnya adalah
faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pengembang
kurikulum ketika hendak mengembangkan atau merencanakan suatu kurikulum lembaga
pendidikan.21Pertama adalah landasan agama. Dalam mengem bangkan kurikulum,
sebaiknya berlandaskan pada Pancasila ter- utama sila pertama. Di Indonesia
menyatakan bahwa kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing individu. Dalam kehidupan, di-
kembangkan sikap saling menghormati dan bekerjasama antara pemeluk-pemeluk
agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat terbina
kehidupan yang rukun dan damai.22 Kedua adalah landasan filsafat. Filsafat pendidikan
dipengaruhi oleh dua hal pokok, yaitu cita-cita masyarakat dan kebutuhan peserta didik
yang hidup di masyarakat. Filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan (love of wisdom).
Agar seseorang dapat berbuat bijak, maka harus berpengetahuan, sedangkan
pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir secara sistematis, logis dan men-
dalam. Filsafat dipandang sebagai induk segala ilmu karena filsafat mencakup
keseluruhan pengetahuan manusia, yaitu meliputi metafisika, epistimologi, aksiologi,
etika, estetika dan logika.23 Ketiga adalah landasan psikologi belajar. Kurikulum belajar
menyajikan beberapa teori belajar yang masing-masing menelaah proses mental dan
intelektual perbuatan belajar. Kurikulum yang dikembangkan sebaiknya selaras dengan
proses belajar yang di- lakukan oleh siswa sehingga proses belajarnya terarah dengan

19
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Bandung: Bumi Aksara, 2001), 32. Lihat Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran,
252. Lihat Muhammad Zaini, Pengembangan Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi, 111.
20
Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, 153. Lihat Muhaimin dkk, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 28.
21
bid, 68.
22
bid, 57. Lihat Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, 20. Lihat Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum Konsep
Implementasi Evaluasi dan Inovasi, 23.
23
baik dan tepat. Keempat adalah landasan sosio-budaya. Nilai sosial- budaya dalam
masyarakat bersumber dari hasil karya akal budi manusia, sehingga dalam menerima,
menyebarluaskan dan me- lestarikannya, manusia menggunakan akalnya. Setiap
masyarakat memiliki adat istiadat, aturan-aturan dan cita-cita yang ingin di- capai dan
dikembangkan. Dengan adanya kurikulum di madrasah, diharapkan pendidikan dapat
memperhatikan dan merespon hal- hal tersebut.24 Kelima adalah landasan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan merupakan suatu usaha penyiapan peserta
didik untuk menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan pesat dan terus
berkembang. Dengan bekal ilmu penge- tahuan dan teknologi, setelah siswa lulus,

diharapkan dapat me- nyesuaikan diri di lingkungannya dengan baik.25

4. Perkembangan dan Modernisasi Kurikulum PAI di Madrasah Sebagaimana


ketentuan dalam PP Nomer 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP), pengembangan
kurikulum yang dilakukan oleh sekolah atau madrasah dituntut mengacu pada SNP
guna menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. SNP terdiri atas standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pem- biayaan dan penilaian, yang pengembangan itu semua terintegrasi dengan
pendidikan karakter.26
Melalui ketentuan di atas, madrasah mengalami pembaharuan yang berkembang di

dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran
umum masuk dalam pe- lajaran madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun
sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimna halnya dengan buku-buku pengetahuan
umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Pada waktu selanjutnya, lahir madrasah-
madrasah yang mengikuti sistem penjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah yang
modern, seperti SD/MI, MTs/SMP, MA/SMA. Kurikulum madrasah dan sekolah-sekolah
agama masih mem- pertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, meskipun dengan
presentase sangat jauh berbeda.27 Pada waktu pemerintah, ter- utama Kementerian
Agama, mulai mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan
madrasah, merasa perlu menentukan kriteria pada madrasah. Kriteria yang ditetap- kan
oleh Menteri Agama untuk madrasah yang berbeda dalam wewenangnya adalah harus
memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam

24

25
Ibid. Lihat Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, 22-23.
26
Rahmat Raharjo, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum (Yogyakarta: Baituna Publishing, 2012), 43.
27
Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam ( Jakarta: Prenada Media, 2005), 170.
seminggu.28

Selain pelajaran agama dan bahasa Arab, juga diajarkan ilmu penge- tahuan
umum yang bisa menjadi bekal pada masyarakat nantinya.
Sistem pendidikan dan pengajaran Islam, terutama pesantren, masih bersifat
tradisional. Meskipun demikian, diakui bahwa tidak diragukan lagi peran pesantren
dalam mencerdaskan bangsa.29 Pesantren satu-satunya lembaga yang pertama lahir
dalam agama Islam di Indonesia. Di sini umat Islam di Indonesia dapat menik- mati
pendidikan, di samping juga pesantren sangat berjasa dalam menumbuhkan semangat
patriotisme dan nasionalisme, yang pada gilirannya dapat tercapai kemerdekaan yang
sudah sekian lama dicita-citakan. Antara pendidikan pesantren dan kolonial memang sangat
berbeda, baik dari segi sistem maupun materi yangdiberikan.30

Berdasar sistem, sebagai studi kasus, terlihat sekali pendidikan kolonial lebih
modern, baik dari segi klasikal yang diterapkan maupun fasilitas yang lebih
memungkinkan dalam proses pem- belajaran yang sudah ditentukan dalam
kurikulumnya. Dengan kondisi yang seperti ini, maka tidak akan melahirkan jenjang pe-
misah yang cukup dalam dan tampak sekali dalam aktivitas sosial dan intelektual,
golongan tersebut bergaul, berpakaan, berbicara, berpikir dan masih banyak lainnya.
Kondisi tersebut melatarbelakangi kelahiran madrasah yang baik mengenai
sistem atau materi mengenai sistem lama di pesan- tren.31 Sistem pendidikan pondok
pesantren ini masih sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih
intensif dan dalam waktu lebih lama. Di pondok pesantren, murid-murid besar dan kecil
duduk melingkar (halaqah) mengelilingi kyai. Mereka menerima pelajaran yang sama.
Tidak ada dirancangkan sebuah kurikulum tertentu berdasarkan umur, lama belajar atau
tingkat pengetahuan.32
Sitem pendidikan Islam mengalami perubahan sejalan dengan perubahan jaman
dan pergeseran kekuasaan Indonesia. Sejalan dengan itu, pemerintahan mulai
mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur yang mulai
menarik kaum
muslimin untuk memasukinya. Oleh karena itu, sistem pendidikan di masjid dipandang
sudah tidak memadai lagi dan perlu ada perbaharuan dan penyempurnaan.

28
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 171.

29
Ruslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia ( Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983), 20.
30
Ibid, 213.
31
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 165.
32
Ibid, 213.
Kondisi bahwa adanya kaum muslimin yang membawa pikiran baru Islam ke
Indonesia dan dalam usaha untuk mengejar keting- galan, di bidang pendidikan dan
pengajaran agama Islam di In- donesia mengalami perubahan. Dalam hal ini bahwa
keterangan di atas memiliki tujuan agar anak-anak dapat membaca al-Qur’an dan
mengetahui pokok-pokok ajaran Islam yang perlu dilaksana- kan setiap harinya.
Demikian sistem pondok pesantren yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah
yang ternyata me- miliki peran penting dalam mempertahankan eksistensi umat Islam dari
serangan dan penindasan fisik mental dari kaum penjajahan beberapa abad lamanya.
Pondok pesantren mendasari tumbuhnya madrasah, sehingga sampai saat ini madrasah
mampu menyetara- kan kurikulumnya dengan pendidikan yang umum dan memiliki
kelulusan yang sama dengan sekolah dasar.

Di sisi lain, penerbitan SKB 3 Menteri pada 24 Maret 1975 ber- tujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. SKB ini berusaha
mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan
nasional. Kebijakan SKB ini menjadikan madrasah setara dan sederajat dengan sekolah
umum lainya. Dalam rangka memenuhi tuntutan SKB ini, perlu diadakan pembinaan dan
pembaharuan kurikulum secara menyeluruh. Untuk itu telah diadakan berbagai usaha,
penyu- sunan metode mengajar, standarisasi buku-buku madrasah dan alat-alat
pelajaran.

Usaha tersebut tidak hanya merupakan tugas dan wewenang Kementerian Agama
saja, melainkan tugas pemerintah secara keseluruan bersama masyarakat.33 Penerbitan
SKB dilatarbelakangi bahwa siswa madrasah sebagaimana tiap-tiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan layak bagi
kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah, yang menghendaki
melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi.
Menurut SKB tersebut, yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga
pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar,
yang diberikan sekurang- kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Sementara
itu madrasah mencakup tiga tingkatan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan SD,
Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP dan Madrasah Aliyah setingkat SMA.
Langkah-langkah pokok dalam pengembangan kurikulum madrasah meliputi
empat langkah, yaitu (1) perumusan tujuan- tujuan institusional, (2) penentuan struktur
program kurikulum, (2) penyusunan garis-garis besar program pengajaran, masing-
masing dari setiap bidang studi, perumusan tujuan-tujuan instruksional dan

33
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 181.
identifikasi pokok-pokok bahan yang dijadikan program pengajaran, (4) penyusunan dan
penggunaan satuan pelajaran, program penilaian, program bimbingan dan penyu- luhan,
program administrasi serta supervisi.34
Langkah-langkah tersebut di atas telah mendasari sifat-sifat dalam rangka
pengembangan dan pembaharuan pendidikan yang selaras dan sesuai dengan sistem
pendidikan nasional. Masalah- masalah pokok yang dihadapi dalam pengembangan dan
pem- binaan kurikulum madrasah secara nasional agar madrasah dapat menjalankan
SKB dan mencapai cita-cita agama Islam dalam pem- bentukan insan yang
berkepribadian muslim, yang antara lain perlu diperhatikan adalah tentang ragam
bidang studi yang akan disampaikan di dalam suatu madrasah.
Dalam penyusunan kurikulum madrasah berdasarkan SKB tersebut, digunakan
dua macam cara atau strategi, yaitu strategi umum dan strategi khusus. Pada strategi
umum, gagasan pokok ini dijadikan dasar dalam pengembangan dan pembaharuan
kurikulum, yaitu lulusan harus menjadi seorang muslim warga negara yang baik,
sanggup menyesuaikan diri di dalam masya- rakat, bertanggungjawab, memiliki
keterampilan, kemampuan, pengetahuan umum agar anak didik mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat. Hal ini merupakan salah satu yang dapat menunjuk- kan ciri khas
antara warga negara yang memperoleh pendidikan di madrasah. Gagasan pokok
tersebut membawa akibat adanya klasifikasi aspek-aspek pada pendidikan di madrasah,
yaitu aspek- aspek pendidikan dasar atau umum yang dimaksudkan untuk membina
sebagai muslim warga negara yang baik, sesuai dengan pedoman dan pengamalan
Pancasila, serta agar memiliki kecakapan, keterampilan, pengetahuan dan kemampuan
sesuai dengan tingkat pendidikanya. Kedua adalah aspek-aspek pendidikan khusus yang
dimaksudkan agar siswa sebagai muslim warga negara yang baik, bertakwa kepada
Allah Swt dan mengamalkan ajaran agamanya secara teguh agar tercapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Pada strategi khusus, kondisi ini didasari pikiran bahwa sebagai konsekuensi dari
pembinaan sistem pendidikan nasional dan pelaksanaan SKB serta tuntunan kualifikasi
dari lulusan madrasah dalam rangka peningkatan mutu, diperlukan pembinaan sarana
dan perlengkapan, termasuk di antaranya struktur kurikulum dan tenaga pengajar sebagai
personel pelaksanaannya. Kurikulum madrasah perlu diorientasikan kepada kepentingan
pembinaan dan pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.

Kegiatan belajar yang dikehendaki sekarang bukan sekedar menekankan


pencapaian kemampuan teoritis, melainkan penge- tahuan, kecerdasan, keterampilan,

34
Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 137-139.
sikap dan nilai-nilai yang kese- luruhanya tampak dalam bentuk perubahan tingkah laku
anak didik. Dengan demikian madrasah perlu menyediakan rangkaian pengalaman belajar.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah cara agar pengetahuan yang diberikan di
madrasah mampu men- capai maksud SKB tanpa mengurangi mutu pendidikan agama,
yang akan menjadikan anak didik sebagi muslim warga negara yang baik, sehat jasmani
dan rohani serta tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Realisasi SKB ini mendorong Departemen Agama pada tahun 1976


mengeluarkan kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah, baik
untuk MI, MTs maupun MA. Kurikulum yang dikeluarkan tersebut juga dilengkapi
dengan pedoman dan aturan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada ma-
drasah, sesuai dengan aturan yang berlaku pada sekolah-sekolahan umum. Termasuk juga
deskripsi berbagai kegiatan dan metode penyampaian program untuk setiap bidang
studi, baik untuk bidang studi agama maupun bidang studi pengetahuan umum.
Pemberlakuan kurikulum standar yang menjadi acuan ini berarti telah terjadi
keseragaman madrasah dalam bidang studi agama, baik kualitas maupun kuantitasnya,
kemudian adanya pengakuan persamaan yang sepenuhnya antara madrasah dengan
sekolah-sekolah umum yang sederajat, sheingga madrasah akan mampu berperan
sebagai lembaga pendidikan yang memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
mampu berpacu dengan sekolah-sekolah umum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
nasional. Fakta ini terjadi karena di dalam SKB juga menetapkan bahwa ijasah madrasah
dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijasah sekolah umum yang setingkat. Lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah
dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.

Pengelolaan madrasah dan pembinaan pendidikan agama menurut SKB ini


dilakukan oleh Menteri Agama, sedangkan pem- binaan dan pengawasan mata pelajaran
umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-
sama Mentri Agama dan Menteri Dalam Negeri.35 Penerbitan SKB tersebut bukan
berarti beban yang dipikul madrasah akan ber- tambah ringan, akan tetapi justeru
sebaliknya menjadi semakin berat. Di satu pihak madrasah dituntut mampu memperbaiki
mutu pendidikan umum sehingga setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah umum,
di lain pihak madrasah harus tetap menjaga agar mutu pendidikan agama tetap baik,
sebagai ciri khususnya. Kondisi ini mengharuskan diadakannya peninjauan kembali
terhadap kurikulum yang berlaku, materi pelajaran, sistem evaluasi dan peningkatan mutu
pengajaran melalui penataran. Secara kuantitatif alokasi waktu nominal yang disediakan
pada sekolahan umum sejalan dan sejiwa dengan isi dari SKB. Sehingga fakta ini

35
Ibid, 183.
menyebabkan Departemen Agama tidak perlu menyusun sendiri kurikulum mata
pelajaran umum untuk madrasah, tetapi dapat menggunakan kurikulum dan materi
pelajaran umum yang sudah diberlakukan di sekolah umum.
Namun, tampaknya, tidak semua madrasah dapat meng- adaptasikan dirinya
dengan SKB tersebut. Masih ada sebagian madrasah yang tetap mempertahankan pola
lama, sebagian agama murni, yaitu semata-mata memberikan pendidikan dan pengajaran
agama. Masyarakat tampaknya masih cenderung tetap memper- tahankan adanya
madrasah-madrasah diniyah tersebut, dengan maksud untuk memberikan kesempatan
pada murid-murid di sekolah-sekolah umum yang ingin memperdalam ilmu agama.
Umumnya madrasah-madrasah diniyah ini masih tetap diper- tahankan dalam
lingkungan pondok pesantren atau masjid. Madrasah diniyah yang dimaksud terdiri
dari tiga jenjang, yaitu Madrasah Diniyah Awaliyah, Madrasah Diniyah Wustha dan
Madrasah Diniyah Ulya.

Di sisi lain, dalam UU Nomer 2 Tahun 1989 ataupun UU Nomer 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara yang diper-
gunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembe- lajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan.36 Pada jenjang SMA, kurikulum PAI memiliki kedudukan strategis
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, sejajar dengan mata pelajaran lainnya.
Sejalan dengan tujuan ini, maka semua mata pelajaran yang diajar- kan kepada peserta
didik di sekolah harus mengandung muatan pendidikan akhlak yang harus diperhatikan
oleh setiap guru.37
Muatan pendidikan akhlak yang harus diperhatikan setiap guru dalam
pembelajaran merupakan wujud pengembangan potensi beragama peserta didik
sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang pada hakikatnya telah dimiliki oleh setipa
peserta didik yang disebut dengan fitrah. Tugas guru PAI dalam mengembangkan
kurikulum adalah mengembangkan fitrah agar menjadi kemam- puan aktual dan
mengarahkannya untuk kebaikan, sehingga peserta didik mampu mencapai
kesempurnaan dengan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti sesungguhnya.38
Dengan demi- kian tugas guru PAI dalam pembelajaran adalah meningkatkan keimanan,
pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik terhadap ajaran agam Islam agar
menjadi manausia beriman dan bertakwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
36
Rahmat Raharjo, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Sleman: Magnum, 2010), 65.
37
Ibid, 67.
38
Ibid, 69.
Berdasarkan aspek taksonomi, pengembangan kurikulum PAI yang ingin dicapai
dapat diformulasikan secara komprehensif yang meliputi aspek normatif, kognitif, afektif
dan psikomotorik yang integratif dan tidak dapat dipisahkan aspek per aspek, sehingga
dapat melahirkan muslim paripurna, yaitu muslim yang saleh secara pribadi dan saleh
secara sosial. Tujuan lainnya adalah menjadikan peserta didik yang memiliki akhlaqul
karimah dengan jiwa demo- kratis, toleran dan pluralis dalam kehidupan sehari-hari.

Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut di- terapkannya


demokrasi, disentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asai manusia, dalam
kehidupan berbangsa dan ber- negara.39 Dengan adanya hal seperti itu maka muncul
pembaha- ruan sistem pendidikan nasional yang dilakukan untuk memper- baharui visi
terwujudnya sistem pendidikan sebagai penata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan jaman yang selalu
berubah. Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional memiliki misi (1)
mengupayakan perluasan dan peme- rataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, (2) membantu dan memfasilitasi pe-
ngembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam
rangka mewujudkan masyarakat belajar, (3) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas
proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral, (4)
meningkatkan profesionalitas dan akuntabel lembaga pen- didikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keteram- pilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan
standar nasional dan global, (5) memberdayakan peran serta masyarakat dalam menye-
lenggarakan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks negara republik
Indonesia.
Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pen- didikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermatabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembang- kan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kretif, mandiri dan menjadi negara yang
demokratis dan bertang- gungjawab.40 Dengan berlatar belakang demikian, maka
strategi pembangunan pendidikan nasional dalam UU Nomer 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas ini meliputi pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia, pengembangan
dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, proses pembelajaran yang mendidik
dan dialogis, peningkatan profesionalitas pendidik dan tenaga kepen- didikan, penyediaan

39
"Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas,” Jakarta, 2003, 67.

40
Ibid, 68.
sarana yangmendidik, pembiayaan pendidikan yang sesuai prinsip pemerataan dan
berkeadilan, penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata, pelaksanaan wajib
belajar sembilan tahun, pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan, pemberdayaan
peran masyarakat, pusat pembudayaan dan pem- bangunan masyarakat, pelaksanaan
pengawasan dalam sistem pendidikan nasional serta evaluasi, akreditasi dan sertifikasi
pen- didikan yang memberdayakan.41

Dalam UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi


mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencer- daskan kehidupan bangsa, sehingga salah satu
bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik di madrasah adalah pendidikan
agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME serta berakhlak mulia. Bidang studi PAI di
madrasah terdiri atas empat, yaitu al-Qur’an-hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh dan Sejarah
Kebudayaan Islam (Tarikh).
Di tingkat MI, al-Qur’an-hadits adalah mata pelajaran PAI yang menekankan
kepada kemampuan membaca dan menulis al- Qur’an dan hadits dengan benar serta
hapalan terhadap surat- surat pendek dalam al-Qur’an, pengenalan arti atau makna
secara sederhana dari surat-surat pendek tersebut dan hadits-hadits tentang akhlak
terpuji untuk diamalkan dalam kehidupan sehari hari melalui keteladanan dan
pembiasaan. Akidah-Akhlak adalah mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang rukun
iman yang dikaitkan dengan pengenalan dan penghayatan terhadap asma’ al-husna serta
penciptaan suasana keteladanan dan pembiasaan dalam mengamalkan akhlak terpuji dan
adab Islami melalui pem- berian contoh-contoh perilaku dan cara mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Fiqih di MI merupakan mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang hukum
ibadah, terutama menyangkut pengenalan dan pemahaman tentang cara-cara
pelaksanaan rukun Islam dan pem- biasaannya dalam kehidupan sehari-hari, serta fiqh
muamalah yang menyangkut pengenalan dan pemahaman sederhana me- ngenai
ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram, khitan, qurban serta
tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam. Sedangkan Sejarah Kebudayaan
Islam (SKI) adalah mata pelajaran PAI yang mengkaji tentang asal-usul, per-
kembangan, peranan kebudayaan atau peradaban Islam dan para tokoh yang berprestasi
dalam sejarah Islam di masa lampau, mulai dari sejarah masyarakat Arab pra-Islam,
sejarah kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad Saw sampai masa Khulafa’ al-
Rasyidin.
41
UU Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Redaksi Sinargrafika, 2009), 37.
Pada tingkat MTs, al-Qur’an-hadits merupakan kelanjutan dan kesinambungan
dengan mata pelajaran al-Qur’an-hadits pada jenjang MI dan MA, terutama pada
penekanan kemampuan mem- baca al-Qur’an-hadits, pemahaman surat-surat pendek
dan me- ngaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akidah-Akhlak adalah mata pelajaran
PAI yang merupakan peningkatan dari akidah dan akhlak yang telah dipelajari peserta
didik di MI. Peningkatan ter- sebut dilakukan dengan cara mempelajari tentang rukun
iman mulai dari iman kepada Allah Swt, para malaikat-Nya, kitab-kitab- Nya, rasul-
rasul-Nya, hari akhir sampai iman kepada Qadha’ dan Qadar yang dibuktikan dengan
dalil-dalil naqli dan aqli serta pe- mahaman dan penghayatan terhadap asma’ al-husna
dengan tanda-tanda perilaku seseorang dalam realitas kehidupan individu dan sosial serta
pengamalan akhlak terpuji dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-
hari.

Fikih, di tingkat MTs, adalah mata pelajaran yang memahami tentang pokok-
pokok hukum Islam dan tata cara pelaksanaannya untuk diaplikasikan dalam kehidupan
sehingga menjadi muslim yang selalu taat menjalankan syariat Islam secara kaffah
(sempurna). SKI adalah mata pelajaran yang menelaah tentang asal-usul, per-
kembangan, peranan peradaban Islam dan para tokoh yang ber- prestasi dalam sejarah
Islam di masa lampau, mulai dari perkem- bangan masyarakat Islam pada masa Nabi
Muhammad Saw dan Khulafa’ al-Rasyidin, Bani ummayah, Bani Abbasiyah, Bani
Ayyubiyah sampai perkembangan Islam di Indonesia.
Pada tingkat MA, al-Qur’an Hadits adalah salah satu mata pelajaran PAI yang
merupakan peningkatan dari al-Qur’an Hadits yang telah dipelajari oleh peserta didik di
MTs/SMP.Akidah-Akhlak adalah salah satu mata pelajaran PAI yang merupakan pening-
katan dari akidah dan akhlak yang telah dipelajari oleh peserta didik di MTs/SMP. Fikih
adalah mata pelajaran PAI yang merupakan peningkatan dari fikih yang telah dipelajari
oleh peserta didik di MTs/SMP. SKI merupakan mata pelajaran yang menelaah tentang
asal-usul, perkembangan, peranan kebudayaan dan peradaban Islam di masa lampau,
mulai dari dakwah Nabi Muhammad Saw pada periode Mekkah dan Madinah,
kepemimpinan umat setelah Nabi Saw wafat, sampai perkembangan Islam periode
klasik (650- 1250 M), abad pertengahan (1250–1800 M) dan masa modern (1800-
sekarang) serta perkembangan Islam di ndonesia dan di dunia.

C. Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah Umum

1. Konsep Kurikulum PAI di Sekolah Umum


UU Sisdiknas menyatakan bahwa kurikulum adalah sepe- rangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyeleng- garaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Dalam definisi ini, kurikulum merupakan salah satu kom- ponen pokok aktivitas
pendidikan dan merupakan penjabaran idealisme, cita-cita, tuntutan masyarakat atau
kebutuhan tertentu. Dari kurikulum ini akan diketahui arah pendidikan, alternatif
pendidikan, fungsi pendidikan dan hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas
pendidikan.
Kurikulum PAI di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek Al-Qur’an-
Hadits, keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih dan aspek tarikh (sejarah Islam). Meskipun
masing-masing aspek di atas dalam prakteknya saling mengaitkan atau terkait serta
saling mengisi dan melengkapi, tetapi jika dilihat secara teoritis, masing- masing
memiliki karakteristik tersendiri.42
Aspek al-Qur’an-Hadits menekankan kepada kemampuan baca tulis yang baik
dan benar, memahami makna secara tekstual serta mengamalkan kandungannya dalam
kehidupan sehari-hari. Aspek Aqidah menekankan kepada kemampuan memahami dan
mempertahankan keyakinan atau keimanan yang benar serta menghayati dan
mengamalkan nilai-nilai asma’ul husna. Aspek Akhlak menekankan kepada
pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam
kehidupan sehari- hari. Aspek Fiqih menekankan pada kemampuan cara melak- sanakan
ibadah dan muamalah yang benar dan baik. Sedangkan aspek Tarikh menekankan pada
mengambil ‘ibrah (hikmah) dari peristiwa-peristiwa bersejarah dalam masyarakat
Islam, mene- ladani tokoh-tokoh berprestasi dan mengaitkannya dengan feno- mena-
fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan lain- lain untuk mengembangkan
kebudayaan dan peradaban Islam.

Dalam tataran di lapangan, menurut Hasbi Ashi-Shidiqi, aspek kajian PAI meliputi,
(1) tarbiyah jismiyah, yaitu segala rupa pen- didikan yang wujudnya menyuburkan dan
menyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya dapat merintangi kesukaran yang
dihadapi dalam pengalamannya, (2) tarbiyah ‘aqliyah, yaitu sebagai- mana rupa pendidikan
dan pelajaran yang akibatnya mencerdas- kan akal dan menajamkan akal, (3) tarbiyah
adabiyah, yaitu segala rupa praktek maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan
budi dan meningkatkan perangai.43

42
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 45.
43
Sebagaimana dikutip Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Bandung: Rosda Karya, 2005), 138.
Berikut ini adalah tabel perkembangan kurikulum PAI di sekolah umum sejak masa
kemerdekaan.44

Kurikulum selalu dinamis, dipengaruhi oleh perubahan- perubahan dalam faktor-


faktor yang mendasari. Jika suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi negara
merdeka, maka kurikulum akan mengalami perubahan menyeluruh.45 Hal ini juga, jika ada
pergantian pemerintahan atau politik, maka akan ada perubahan kebijakan terhadap
tatanan pemerintahan, termasuk di dalamnya kebijakan pendidikan, terutama dalam hal
kurikulum.

1. Model Pembelajaran PAI di Sekolah Umum


Aspek-aspek pendidikan dalam sejarah Indonesia telah mengalami berbagai
perubahan dan perbaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan (policy) yang pernah
diberlakukan dari satu peme- rintah ke pemerintahan selanjutnya. Demikian juga
pendidikan Islam mendapat efek dari perubahan kebijakan tersebut. Sehingga dalam
kurikulum seperti yang telah dikemukakan di depan, meng- alami berbagai perubahan baik
44
Tasman Hamami, “Pemikiran Pendidikan Islam,“ dalam Ringkasan Desertasi Pro- gram Pascasarjana UIN Yogyakarta (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2006), 13.
45
Abdurrahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), 135. Lihat juga S. Nasution, Asas-asas Kurikulum
(Bandung: Jemmars, 1988), 218.
itu dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Berdasarkan berbagai fakta
tersebut, dapat dilihat corak model pengembangan kurikulum PAI yang pernah
berkembang seperti berikut:

a) Model Dikotomi

Model ini memandang aspek kehidupan dengan sangat se- derhana dan kata
kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang
berlawanan, yaitu pen- didikan agama dan pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis
tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang ke- hidupan dunia dan akhirat,
kehidupan jasmani dan rohani, se- hingga kehidupan agama Islam hanya diletakkan pada
aspek ke- hidupan akhirat saja.46 Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut
sebagai seksi kerohanian. Dengan demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan
pendidikan non-agama, pendidikan keislaman dan seterusnya.

Menurut Azyumardi Azra, pemahaman semacam ini muncul ketika umat Islam di
Indonesia mengalami penjajahan yang sangat panjang, sehingga umat Islam mengalami
keterbelakangan dan disintregrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perben-
turan umat Islam dengan pola pendidikan dan kemajuan Barat memunculkan kaum
intelektual baru yang disebut dengan cende- kiawan sekuler. Kaum intelektual ini
memperoleh pendidikan versi Barat, sehingga dalam proses pendidikan mereka menjadi ter-
alienasi atau terasing dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Bahkan, dalam beberapa hal,
terjadi kesenjangan (gap) antara kaum intelek-tual baru yang sekuler dengan intelektual
lama yang berupa kaum ulama. Pada konteks ini, ulama’ dipersepsikan sebagai kaum
sarungan yang hanya mengerti persoalan keagamaan dan buta persoalan keduniaan.
Pandangan dikotomis ini memiliki implikasi terhadap pengem- bangan PAI yang lebih
berorientasi kepada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting.
Sehingga menekankan pada pendalaman ’ulum al-diniyah, yang merupakan jalan pintas
untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains atau ilmu umum dianggap terpisah
dengan agama. Demikian pula pende- katan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan
yang normatif, doktriner dan absolut.

b) Model Mekanisme

Model mekanisme ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan
pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan,
yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya. Hal ini sebagaimana sebuah
fungsi yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen- elemen, yang masing-masing

46
Sebagaimana dikutip Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, 59-61.
melaksanakan fungsinya sendiri- sendiri dan antara satu dengan lainnya bisa saling
berkonsultasi.47

Secara sederhana dapat dipahami bahwa aspek-aspek atau nilai-nilai itu sendiri
terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi dan lain
sebagainya. Dengan demi- kian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau
nilai kehidupan dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai-nilai agama
dengan nilai-nilai lainnya bersifat lateral sekuensial, yang berarti di antara masing-masing
mata pelajaran tersebut memiliki relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi.
Model ini dapat dikembangkan pada sekolah umum sebagai upaya pembentukan
kepribadian religius. Dalam implikasinya di lapangan sangat tergantung pada kemauan,
kemampuan atau political will dari para pemimpin sekolah, terutama dalam mem- bangun
hubungan kerja sama dengan mata pelajaran lainnya. Model ini dapat diaplikasikan melalui
pengintregasian imtak dengan mata materi pelajaran lainnya, yaitu dengan upaya
mengintregasikan konsep atau ajaran agama ke dalam materi yang sedang dipelajari oleh
peserta didik atau diajarkan oleh guru. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu (1)
pengintregasian secara filosofis, yaitu jika tujuan fungsional mata pelajaran umum sama
saja dengan tujuan fungsional mata pelajaran agama, (2) pengintregasian di- lakukan jika
konsep agama saling mendukung dengan konsep pengetahuan umum.48

c) Model Organisme atau Sistematik

Meminjam istilah dalam ilmu biologi, bahwa organisme dapat diartikan sebagai
susunan yang bersistem dari berbagai jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks
pendidikan Islam, model organisme bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan
merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen bersama dan bekerja sama
secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu perwujudan hidup yang religius atau dijiwai
oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam.49
Pandangan semacam itu menggarisbawahi tentang urgensi kerangka pemikiran yang
dibangun dari fundamental doctrines value yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an
dan hadits sebagai sumber pokok.Ajaran dan nilai didudukkan sebagai sumber konsul- tasi
yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya di- dudukkan sebagai nilai-nilai
insani yang memiliki hubungan- hubungan vertical linier dengan nilai-nilai agama. Melalui
upaya- upaya seperti itu, maka sistem pendidikan Islam diharapkan mampu mengintregasikan
nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik serta mampu melahirkan manusia-
manusia yang me- nguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki

47
Ibid, 54.
48
Ibid, 43-44.
49
Ibid, 67
kematangan profesional dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
Melalui upaya tersebut peserta didik dibawa ke pengenalan terhadap nilai-nilai agama
secara kognitif, penghayatan niali-nilai agama secara efektif dan akhirnya penghayatan nilai-
nilai agama secara nyata. Menurut istilah pedagogic, kenyataan ini disebut dari gnosis sampai
ke praksis. Untuk sampai ke praksis, ada peristiwa batin yang amat penting dan harus
terjadi pada diri peserta didik, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk
mengamalkan nilai-nilai agama. Peristiwa ini disebut conatio dan langkah untuk
membimbing peserta didik membulatkan tekad ini disebut dengan konatif.50

Bab III

50
Ibid, 313.
Penutup

A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas, disimpulkan bahwa sejak sekitar abad XVIII Masehi,
pesantren di Indonesia mengalami berbagai perubahan, baik peningkatan kuantitas maupun
kualitas. Per- kembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut di- klasifikasikan
menjadi empat, yaitu pesantren yang menyeleng- garakan pendidikan formal dengan
menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang
juga memiliki sekolah umum, pesantren yang hanya meng- ajarkan ilmu-ilmu pengetahuan
agama dalam bentuk madrasah diniyah, pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat
pengajian. Terakhir adalah pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam
bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum, meski tidak menerapkan
kurikulum nasional.

Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencabut pesantren dari
akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi lembaga pendidikan yang
melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai- nilai islam
(Islamic values), lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial, lembaga keagamaan
yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Dalam konteks pesantren modern, elemen pesantren lainnya adalah materi pelajaran,
kurikulum dan manajemen pesantren, di samping ada pergeseran peran terhadap keempat
elemen di atas. Materi pelajaran atau kurikulum di pesantren modern tidak hanya kitab kuning,
tetapi juga “kitab putih” atau “kitab merah” yang berisi ilmu pengetahuan umum. Manajemen
pesantren modern menggunakan manajemen modern yang menerapkan sistem pembagian
kerja secara fungsional dan profesional.
Di satu sisi, aspek PAI di madrasah terdiri dari al-Qur’an-hadits, keimanan atau aqidah,
akhlak, fiqih (hukum Islam) dan aspek tarikh (sejarah). Prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum PAI di madrasah meliputi prinsip peningkatan keimanan dan ke- takwaan, budi
pekerti luhur dan nilai-nilai budaya, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan
kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan, keseimbangan antara etika, logika,
estetika dan kinestetika, penguatan integritas nasional, penge- tahuan dan teknologi informasi,
pengembangan keterampilan hidup, pilar pendidikan, kontinyuitas (berkesinambungan), belajar
sepanjang hayat. Sedangkan landasan kurikulum PAI di madrasah antara lain landasan agama,
filsafat, psikologi belajar, sosio-budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Modernisasi kurikulum PAI di madrasah dimulai dari kurikulum PAI di madrasah pada awal
pertumbuhan, kurikulum PAI di madrasah masa SKB 3 menteri, kurikulum PAI di madrasah
pasca UU Nomer 2 Tahun 1989 dan UU Nomer 20 Tahun 2003.

Kurikulum PAI di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek al-Qur’an hadits,
keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih (hukum Islam) dan aspek Tarikh (sejarah). Dalam sejarah
pendidikan di Indonesia, aspek-aspek pendidikan Islam telah mengalami berbagai perubahan dan
perbaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan (policy) yang pernah diberlakukan dari satu
pemerintah ke pemerintahan lain. Demikian juga, pendidikan Islam mendapat efek dari per-
ubahan kebijakan tersebut. Sehingga dalam kurikulum seperti yang telah dikemukakan di atas,
mengalami perubahan, baik itu dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.
Sehingga dapat dilihat corak model pengembangan kurikulum PAI yang pernah berkembang,
seperti model dikotomi, model mekanisme dan model organisme atau sistematik.*

DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Ruslan. Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Antar Kota,
1983.
Arifin, Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Assegaf, Abdurrahman. Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005.
Dakir. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Dhofier, Zamakhsari.
Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3S, 1987.
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam. Kebijakan Departemen Agama dalam
Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Pendais Departemen Agama,
2008.
Dualay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Prenada
Media Group, 2004.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara, 2001.
_______. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
Hamami, Tasman. “Pemikiran Pendidikan Islam,” dalam Ringkasan Desertasi Program
Pascasarjana UIN Yogyakarta. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
http://stiebanten.blogspot.com/2011/06/kurikulum-pendidikan- pondok-pesantren.html, 2
Nopember 2013.
http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip- pengembangan kurikulum-
tingkat-satuan-pendidikan, 20 Januari 2015.
Majid, Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi.
Bandung: Rosda Karya, 2005.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islamdi Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
_ . Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
_ _ _. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan
Madrasah. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Mulyasa. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009.
Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars, 1988. Rachim. Modernisasi Sistem
Pendidikan Pesantren. www.wordpress.com, 8 April 2015.

Raharjo, Dawam (ed). Pesantren dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES, 1995. Raharjo, Rahmat.
Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Yogyakarta: Baituna Publishing, 2012.

. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Sleman: Magnum, 2010.


Sagala, Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2010.
Subandijah. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Grafindo, 1986.
Suwito dan Fauzan. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2005.
UU Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Redaksi Sinargrafika, 2009.
Yasmadi. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Zaini, Muhammad. Pengembangan Kurikulum Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi.
Yogyakarta: Teras, 2009.

Anda mungkin juga menyukai