Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

G1P0A05 HAMIL 35 MINGGU BELUM INPARTU DENGAN KPD 3 JAM


JANIN TUNGGAL HIDUP PRESENTASI KEPALA +ANEMIA BERAT

DISUSUN OLEH:
dr. Novianty Dwi Saputri

PEMBIMBING :
dr. Nurul Mubin, Sp.OG

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KAUR
2020
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Rekam Medis


1.1.1 Anamnesis
1. Identitas
Nama : Ny. NPS
Umur : 26 tahun
Alamat : Desa Padang Lebar
Suku : Kaur
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Guru
MRS : 30 September 2020 Pukul 21.30 WIB

2. Riwayat Perkawinan
Pernikahan pertama dan sudah berlangsung selama 1 tahun

3. Riwayat Reproduksi
Haid pertama umur : 16 tahun
Banyaknya : 3 kali ganti pembalut
Siklus : 28 hari
Lamanya : 7 hari
Teratur/tidak : Teratur
Dismenorea : (+)
HPHT : 25 Januari 2020
Tafsiran Persalinan : 2 November 2020

4. Riwayat kontrasepsi
Tidak ada

1
5. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
Hamil saat ini.

6. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat pendarahan : (+) pada usia kehamilan 3 bulan
Riwayat asma : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat penyakit jantung : (-)
Riwayat diabetes mellitus : (-)
Riwayat maag : (-)
Riwayat menjalani operasi : (-)

7. Riwayat Antenatal Care


1. Pemeriksaan ke bidan sebanyak 4 kali, saat usia kehamilan 2 bulan (1x), 5
bulan (1x) dan 7-8 bulan (2x).
2. Pemeriksaan USG 1x di Rumah Sakit Umum Daerah Kaur

8. Riwayat Gizi/Sosial Ekonomi


Makan 3x sehari dengan menu bervariasi, sosio ekonomi sedang.

9. Anamnesis Khusus
Keluhan utama:
Hamil belum cukap bulan dengan keluar air-air dari jalan lahir.

Riwayat perjalanan penyakit


± 4 jam SMRS os mengeluh keluar air-air, jernih, bau (-) dari kemaluan
banyaknya 2 kali ganti pembalut disertai perut mules yang menjalar ke pinggang,
hilang timbul makin lama makin kuat dan sering. Riwayat keluar darah lendir (-),
riwayat keputihan (+), riwayat post coital (-), riwayat diurut-urut (-), riwayat

2
minum obat atau jamu (-), riwayat demam (-), os mengaku hamil kurang bulan
dan gerakan anak masih dirasakan. Os lalu dibawa ke RSUD Kaur.

1.1.2 Pemeriksaan Fisik


a) Status Present
1. Keadaan umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 85 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
Tipe badan : atletikus
Berat badan : 53 kg
Tinggi badan : 158 cm
BMI : 22 (Normal)

2. Keadaan khusus
 Kepala
Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas.
Rambut : Warna hitam, tersebar merata
 Wajah
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada deformitas
 Mata
Konjungtiva : Anemis +/+
Sclera : Tidak ikterik
 Telinga
Bentuk : Normal, tidak terdapat deformitas
 Hidung
Bagian luar : Normal, tidak terdapat deformitas
Septum : Terletak di tengah dan simetris
 Mulut dan Tenggorokan

3
Bibir : Normal, tidak pucat, tidak sianosis
Mukosa mulut : Normal, tidak hiperemis
Tenggorokan : Nyeri menelan (-)
 Leher
Bendungan vena : Tidak terdapat bendungan vena
Kelenjar tiroid : Tidak membesar, mengikuti gerakan menelan, simetris
KGB : Tidak terdapat pembesaran, tidak ada massa
 Kulit
Warna : Kuning langsat
 Thoraks
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I & II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Paru
Inspeksi : Gerakan dada simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus simetris kanan=kiri normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+ normal, ronkhi -/-, wheezing -/-
 Ekstremitas
Inspeksi : Tidak tampak deformitas
Palpasi : Akral hangat pada keempat ekstremitas
Terdapat edema pretibia pada kedua ekstremitas inferior.

b) Status Obstetri
Pada pemeriksaan obstetri saat masuk rumah sakit tanggal 30 September
2020 pukul 19.00 WIB didapatkan:

4
Pemeriksaan luar:
Leopold I : Tinggi fundus uteri teraba ½ antara proccessus xyphoideus dan
pusat (29 cm), bagian teratas janin adalah bokong.
Leopold II : Letak janin memanjang, punggung janin berada disebelah kanan
ibu (sesuai dengan sumbu panjang ibu)
Leopold III : Bagian terbawah janin adalah kepala
Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk pintu atas panggul
U 5/5, His (-), DJJ 147 x/menit, TBJ: 2480 g.

Inspekulo:
Portio livide, OUE tertutup, fluor (-) fluxus (+) ketuban tak aktif, tes
lakmus (+) merah menjadi biru, E/L/P (-)

Pemeriksaan dalam (VT):


Portio lunak, posterior, eff 0%, Ø kucup, kepala, floating, ketuban dan
petunjuk belum dapat dinilai.

1.1.3 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (30 September 2020)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 5,7 12,0 – 16,0 gr/Dl
Hematokrit 20 40 – 54 %
Leukosit 13.600 4.000 – 10.000 mm3
Trombosit 460.000 150.000 – 400.000 sel/mm3
HIV Non
Reaktif
HbsAg Negatif

USG 2/10/2020 pukul 11.00 WIB)


 Tampak janin tunggal hidup presentasi kepala
 Fetal Biometry
BPD : 8,2 cm

5
HC : 30,12 cm
AC : 10,42 cm
FL : 6,92 cm
EFW : 2.481 gram
FHR : 143 x/menit
 Plasenta corpus anterior
 Ketuban cukup
Kesan : Hamil 35 minggu janin tunggal hidup presentasi kepala

Indeks Tokolitik
0 1 2 3 4
Kotraksi Tidak ada Ireguler Reguler
Ketuban pecah Tidak ada - Tinggi/tidak - Rendah/pecah
jelas
Perdarahan Tidak ada Spotting Perdarahan - -
Pembukaan Tidak ada 1 cm 2 cm 3 cm ≥ 4 cm
Total 5

1.1.4 Diagnosa kerja


G1P0A0 hamil 35 minggu dengan KPD 3 jam belum inpartu JTH Preskep
+ Anemia Berat

1.1.5 Terapi
Konservatif
Observasi tanda vital ibu, His, dan denyut jantung janin
Cek labor, darah lengkap, kimia darah, dan cross match
IVFD RL gtt xx/menit
Nifedipine tablet 4x10 mg
Injeksi Dexamethason 1x12 mg
Bed rest total
R/ konfirmasi dengan USG
Transfusi PRC 4x250 cc
Gambaran darah tepi

6
1.1.6 Prognosis
Ibu : dubia ad bonam
Janin : dubia ad bonam

1.1.7 Follow UP
Tanggal Follow Up
Kamis, S/ Hamil kurang bulan A/ G1P0A0 hamil 35 minggu
1/10/2020 dengan keluar air-air belum inpartu dengan KPD 1
07.00 WIB hari janin tunggal hidup
presentasi kepala + Anemia
O/ St. Present Berat
KU : sedang
Sens : compos mentis P/
TD : 120/80 mmHg  Observasi tanda vital ibu,
N : 88x/menit His, dan denyut jantung
RR : 20x/menit janin
T : 36,5oC  IVFD RL gtt xx/menit
 Nifedipine tablet 4x10 mg
St. Obstetri  Injeksi Dexamethason 1x12
Pemeriksaan luar: mg
FUT 4 jbpx (29  Bed rest total
cm), memanjang,
punggung kanan,
presentasi kepala, U 5/5,
His (-), DJJ 140 x/menit,
TBJ: 2480 gram.

Jum’at, S/ Hamil kurang bulan A/ G1P0A0 hamil 35 minggu


2/10/2020 dengan keluar air-air belum inpartu dengan KPD 2
07.00 WIB hari janin tunggal hidup

7
O/ St. Present presentasi kepala + Anemia
KU : sedang Berat
Sens : compos mentis
TD : 120/80 mmHg P/
N : 88x/menit  Observasi tanda vital ibu,
RR : 20x/menit His, dan denyut jantung
T : 36,5oC janin
 IVFD RL gtt xx/menit
St. Obstetri  Nifedipine tablet 4x10 mg
Pemeriksaan luar:  Transfusi PRC 1x250 cc
FUT 4 jari di  Bed rest total
bawah processus R/ konfirmasi USG
xiphoideus (29 cm), Pulang jika Hb≥8 gr/dl
memanjang, punggung
kanan, presentasi kepala,
U 5/5, His (-) , DJJ 135
x/menit, TBJ: 2480 gram.

USG
 Tampak janin
tunggal hidup
presentasi kepala
 Fetal Biometry
BPD : 8,6 cm
HC : 30,12 cm
AC : 10,482 cm
FL : 6,92 cm
EFW : 2.481 gram
FHR : 135x/menit
AFI : 7,36 cm
 Plasenta corpus

8
anterior
 Ketuban cukup
Kesan : Hamil 35
minggu janin tunggal
hidup presentasi
kepala

Laboratorium:
Leukosit: 9000 mm3/sel

Sabtu, S/ Hamil kurang bulan A/ G1P0A0 hamil 35 minggu


3/10/2020 dengan keluar air-air belum inpartu dengan KPD 3
07.00 WIB hari janin tunggal hidup
O/ St. Present presentasi kepala + Anemia
KU : sedang Berat
Sens : compos mentis
TD : 110/80 mmHg P/
N : 86x/menit  Observasi tanda vital ibu,
RR : 20x/menit His, dan denyut jantung
T : 36,5oC janin
 IVFD RL gtt xx/menit
St. Obstetri  Bed rest total
Pemeriksaan luar:  Nifedipine tablet 4x10 mg
FUT 4 jari di  Transfusi PRC 2x250cc
bawah processus R/ Pulang jika Hb≥8gr/dl
xiphoideus (29 cm),
memanjang, punggung
kanan, presentasi kepala,
U 5/5, His (-) , DJJ 145
x/menit, TBJ: 2480gram.

10:30 S/ Mau melahirkan keluar A/ G1P0A0 hamil 35 minggu

9
air-air dengan KPD 3 hari
inpartu kala I fase laten
O/ St. Present JTH preskep
KU: sedang
Sens: CM
TD : 110/90 mmHg P/ Observasi DJJ, TVI
Nadi : 88 x/menit IVFD RL gtt xx/menit
Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0C R/ Persalinan pervaginam

St.Obsetri
PL: FUT 4 jbpx (29 cm)
memanjang puka preskep
4/5 His (+) 2/10’/30” DJJ
135 x/menit, TBJ: 2480
gram.

VT: portio lunak,


posterior, eff 100%, Ѳ 2
cm, kepala, HI-II ketuban
(-), bau (-), jernih,
penunjuk sutura sagitalis
lintang

Indeks tokolitik: 10

18.30 S/ Mau melahirkan keluar A/ G1P0A0 hamil 35 minggu


air-air dengan KPD 3 hari inpartu
kala I fase aktif JTH preskep
O/
St. Present P/ Observasi DJJ, TVI

10
KU: sedang IVFD RL gtt xx/menit
Sens: CM
TD : 120/100 mmHg R/ Persalinan pervaginam
Nadi : 88 x/menit
Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0C

St.Obsetri
PL: FUT 4 jbpx (29cm)
memanjang puka preskep
3/5 His (+) 4/10’/45” DJJ
155x/menit, TBJ:
2480gram.
VT: portio lunak,
posterior, eff 100%, Ѳ 8
cm, kepala, HIII+ ,
ketuban (-) bau (-) jernih,
penunjuk UUK kanan
depan.

Pukul 19.30 WIB Ibu ingin mengedan kuat


VT: portio tidak teraba, ø
lengkap, kepala, penunjuk
UUK kanan depan

Pimpin persalinan
Pukul 19.50 WIB Lahir neonatus hidup jenis
kelamin perempuan BBL
2300 gram PB 46 cm A/S
6/7, PTAGA
Pukul 19.55 WIB Lahir plasenta lengkap, BP
400 gr, PTP 30 cm, Ѳ 18x19

11
cm2
dilakukan eksplorasi jalan
lahir
keadaan umum ibu post
partum baik
Minggu, S/ Habis melahirkan A/ P1A0 partus pervaginam +
4/10/2020 Anemia sedang
07.00 WIB O/
St. Present P/ Cek Hb
KU : sedang Cefadroxil tablet 500 mg 2x1
Sens : compos mentis Asam mefenamat tablet 500
TD : 110/80 mmHg mg 3x1
N : 82x/menit Neurodex tablet 1x1
RR : 20x/menit Transfusi PRC 1x250 cc
T : 36,5oC
Keadaan umum ibu baik, ibu
St. Obstetri boleh pulang setelah transfusi
Pemeriksaan luar: 1 kantong
PL: FUT 2 jbpst,
kontraksi baik,
perdarahan tak aktif,
lokia (+) rubra, vulva
vagina tenang.

Hb: 7,4 gr/dl

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketuban Pecah Dini


2.1.1 Definisi
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan.1 Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti
dengan vaginal pooling, tes nitrazin,
dan tes fern pada usia <37 minggu sebelum onset persalinan. KPD sangat
preterm adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai
kurang dari 34 minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu
antara 34 minggu sampai kurang 37 minggu. KPD pada Kehamilan Aterm
adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan tes fern (+) pada usia kehamilan ≥ 37 minggu.

2.1.2 Epidemiologi
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena
prevalensinya yang cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm
terjadi pada sekitar 6,46-15,6% kehamilan aterm dan PPROM terjadi pada terjadi
pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari kehamilan
kembar. PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3 dari semua kelahiran
prematur, yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun 1981. Kejadian KPD
preterm berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal
maupun perinatal. Sekitar 1/3 dari perempuan yang mengalami KPD preterm akan
mengalami infeksi yang berpotensi berat, bahkan fetus/ neonatus akan berada
pada risiko morbiditas dan mortalitas terkait KPD preterm yang lebih besar
dibanding ibunya, hingga 47,9% bayi mengalami kematian. Persalinan premature
dengan potensi masalah yang muncul, infeksi perinatal, dan kompresi tali pusat in
utero merupakan komplikasi yang umum terjadi. KPD preterm berhubungan
dengan sekitar 18-20% kematian perinatal di Amerika Serikat.1

13
2.1.3 Etiologi
Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi
ditemukan beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya
ketuban pecah dini, antara lain:
a. Infeksi genitalia
Meskipun chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri paling umum
yang ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh infeksi
serviks oleh organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm belum
jelas. Pada wanita yang mengalami infeksi ini banyak mengalami keputihan saat
hamil juga mengalami ketuban pecah dini kurang dari satu jam sebelum
persalinan dan mengakibatkan berat badan lahir rendah. Seorang wanita lebih
rentan mengalami keputihan pada saat hamil karena pada saat hamil terjadi
perubahan hormonal yang salah satu dampaknya adalah peningkatan jumlah
produksi cairan dan penurunan keasaman vagina serta terjadi pula perubahan
pada kondisi pencernaan. Keputihan dalam kehamilan sering dianggap sebagai
hal yang biasa dan sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan
yang melakukan pemeriksaan kehamilan. Meskipun tidak semua keputihan
disebabkan oleh infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan dapat berbahaya
karena dapat menyebabkan persalinan kurang bulan (prematuritas), ketuban
pecah sebelum waktunya atau bayi lahir dengan berat badan rendah (< 2500

gram).10
Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan keputihannya karena tidak
merasa terganggu padahal keputihanya dapat membahayakan kehamilannya,
sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala gatal yang sangat, cairan
berbau namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya. Dari berbagai macam
keputihan yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling sering adalah
kandidiosis vaginalis, vaginosis bakterial dan trikomoniasi. Dari NICHD
Maternal-fetal Medicine Units Network Preterm Prediction Study melaporkan
bahwa infeksi klamidia genitourinaria pada usia gestasi 24 minggu yang

14
dideteksi berkaitan dengan peningkatan kejadian ketuban pecah dini dan

kelahiran preterm spontan sebesar dua kali lipat setelah terinfeksi bakteri ini.10
Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk herpes
simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi paling
umum yang mengenai ibu hamil dan sering menjadi faktor penyebab pada
kelahiran preterm dan bayi berat badan rendah. Pecah ketuban sebelum
persalinan pada preterm dapat berhubungan dengan infeksi maternal. Sekitar
30% persalinan preterm disebabkan oleh infeksi dan mendapat komplikasi dari

infeksi tersebut. 8 Pada kehamilan akan terjadi peningkatan pengeluaran cairan


vagina dari pada biasanya yang disebabkan adanya perubahan hormonal, maupun
reaksi alergi terhadap zat tertentu seperti karet kondom, sabun, cairan pembersih
vagina dan bahan pakaian dalam. Keputihan pada kehamilan juga dapat
terjadi akibat adanya pertumbuhan berlebihan sel-sel jamur yang dapat
menimbulkan infeksi didaerah genital. Keputihan akibat infeksi yang terjadi pada
masa kehamilan akan meningkatkan resiko persalinan prematur dan ketuban

pecah dan janinnya juga mengalami infeksi.10 Persalinan preterm terjadi tanpa
diketahui penyebab yang jelas, infeksi diyakini merupakan salah satu penyebab
terjadinya ketuban pecah dini dan persalinan preterm.

b. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)


Didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan
kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan
dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian
besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi,
produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi

kehamilan atau laserasi obstetrik.10


Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis

dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester

15
ketiga kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan
keluhan perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan
ketika diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan
inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan
berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis
inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya
terjadi, yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa

disertai awitan persalinan dan pelahiran.10


Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada

usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul
pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks
berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya,
ibu berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau
kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks
(conization). Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada
trimester kedua atau pada awal trimester ketiga, konsultasi dengan dokter
mut lak diperlukan. Jika seorang wanita datang ketika sudah terjadi penipisan
serviks, pembukaan, tekanan panggul, atau perdarahan pervaginam yang
sebabnya tidak diketahui, maka ia perlu segera mendapat penatalaksanaan

medis.10

c. Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi
yang lebih dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi
penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini,
pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak janin
misalnya letak lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu

16
atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membrane

bagian bawah.10
Frekuensi koitus pada trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga kali

seminggu diyakini berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, hal ini berkaitan
dengan kondisi orgasme yang memicu kontraksi rahim, namun kontraksi ini
berbeda dengan kontraksi yang dirasakan menjelang persalinan. Selain itu,
paparan terhadaap hormon prostaglandin didalam semen (cairan sperma) juga
memicu kontraksi yang walaupun tidak berbahaya bagi kehamilan normal, tetapi

harus tetap diwaspadai jika memiliki resiko melahirkan premature.10 Pada


kehamilan tua untuk mengurangi resiko kelahiran preterm maupun ketuban
pecah adalah dengan mengurangi frekwensi hubungan seksual atau dalam
keadaan betul-betul diperlukan wanita tidak orgasme meski menyiksa. Tapi jika
tetap memilih koitus, keluarkanlah sperma diluar dan hindari penetrasi penis
yang terlalu dalam serta pilihlah posisi berhubungan yang aman agar tidak
menimbulkan penekanan pada perut ataupun dinding rahim. Mengurangi
frekwensi koitus yang sejalan dengan meminimalkan orgasme selain dapat
mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat pula mengurangi penekanan
pembuluh darah tali pusat yang membawa oksigen untuk janin, sebab
penekanan yang berkepanjangan oleh karena kontraksi pada pembuluh darah

dapat menyebabkan gawat janin akibat kurangnya supply oksigen ke janin.10

d. Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara.


Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai
titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah dini
berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan
fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain itu, hal
ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir triwulan kedua dan
awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan didukung oleh

faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal.8 Sedangkan multipara adalah

17
wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak
hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban
pecah dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau
dekat, diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini pada

kehamilan berikutnya.10
Meski bukan faktor tunggal penyebab ketuban pecah dini namun faktor

ini juga diyakini berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah dini. Yang
didukung satu dan lain hal pada wanita hamil tersebut, seperti keputihan,
stress (beban psikologis) saat hamil dan hal lain yang memperberat kondisi

ibu dan menyebabkan ketuban pecah dini.10

e. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya


Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami

ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara
singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane
sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm
terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini
pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya
wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko
mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami
ketuban pecah dini kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan

berikutnya.10

f. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi


uterus) misalnya polihidramnion dan gemeli.
Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran
preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban

pecah dini.8 Perubahan pada volume cairan amnion diketahui

18
berhubungan erat dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik
karakteristik janin maupun ibu dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan
amnion. Polihidramnion, akumulasi berlebihan cairan amnion (> 2 liter),
seringkali terjadi disertai gangguan kromosom, kelainan struktur seperti fistula
trakeosofageal, defek pembuluh saraf dan malformasi susunan sarap pusat
akibat penyalahgunaan zat dan diabetes pada ibu. AFI (amnion fluid indeks)
pada kehamilan cukup bulan secara normal memiliki rentang antara 5,0 cm
dan 23,0 cm10
Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes
mellitus, janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta
dan tali pusat dan penggunaan obat-obatan (misalnya propiltiourasil).
Kelainan kongenital yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek
tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan
kromosom (trisomy 21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi pada
polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali

pusat, persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada ibu. 10


Kehamilan kembar juga sangat penting diidentifikasi sejak dini. Sejumlah
komplikasi yang dihubungakan dengan kehamilan, persalinan dan pelahiran
serta masa nifas pada wanita yang mengandung lebih dari satu janin.
Kemungkinan yang mungkin timbul pada kehamilan kembar adalah anomali
janin, keguguran dini, lahir hidup, plasenta previa, persalinan dan pelahiran
preterm, diabetes kehamilan, preeklamsi, malpresentasi dan persalinan
dengan gangguan. Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya
mencakup posisinya tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus
adalah mungkin saja menentukan apakah janin merupakan kembar monozigot
atau dizigot. Selain itu, dapat juga ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau
dua amnion. Upaya membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko
kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk
mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau
kembali dengan cermat setiap kali melakukan kunjungan. Wanita dengan

19
kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini juga
preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan
produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu dan
keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan

preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah10

20
2.1.4 Patofisiologi
Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya
selaput ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya
regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi
komponen matriks ekstraseluler pada selaput ketuban.2

Gambar 1. Gambar skematik struktur selaput ketuban saat aterm.3

Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan


jumlah jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan
aktivitas kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh
matriks metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat
memecah komponen-komponen matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi
dalam selaput ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple
helix dari kolagen fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2
dan MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga
diproduksi penghambat metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase
(TIMP). TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2
menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang
sama dengan TIMP-1.3

21
Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh
karena aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih
tinggi. Saat mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu
didapatkan kadar MMP yang meningkat dan penurunan yang tajam dari TIMP
yang akan menyebabkan terjadinya degradasi matriks ektraseluler selaput
ketuban. Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi
patologis pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui meningkat pada
kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada preterm didapatkan
kadar protease yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar TIMP-1 yang
rendah.2

1. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa
mekanisme. Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus
aureus dan Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan
terjadinya degradasi membran dan akhirnya melemahkan selaput ketuban. Respon
terhadap infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP,
dan prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan tumor
nekrosis faktor α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas
MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion. Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga
merangsang produksi prostalglandin oleh selaput ketuban yang diduga
berhubungan dengan ketuban pecah dini preterm karena menyebabkan iritabilitas
uterus dan degradasi kolagen membran. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat
menghasilkan fosfolipase A2 yang melepaskan prekursor prostalglandin dari
membran fosfolipid. Respon imunologis terhadap infeksi juga menyebabkan
produksi prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan sitokin yang
diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim
siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi
prostalglandin. Sampai saat ini hubungan langsung antara produksi prostalglandin
dan ketuban pecah dini belum diketahui, namun prostaglandin terutama E2 dan
F2α telah dikenal sebagai mediator dalam persalinan mamalia dan prostaglandin

22
E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban dan
meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-33.

2. Peregangan Selaput Ketuban


Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di selaput
ketuban seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga
merangsang aktivitas MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari
sel amnion dan korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang
aktifitas kolegenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya
keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya
menyebabkan pecahnya selaput ketuban.2

3. Defisiensi vitamin C
Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya
gangguan pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini.
Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah
dini adalah asam askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix
dari kolagen. Zat tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan
ketuban pecah dini. Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang
rendah.2
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan
kolagen. Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai
elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.3

4. Faktor-faktor lain
Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan menyebabkan
pecahnya selaput ketuban lebih awal karena mendapat tekanan yang langsung dari
kavum uteri. Beberapa prosedur pemeriksaan, seperti amniosintesis dapat
meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah dini. Pada perokok, secara tidak
langsung dapat menyebabkan ketuban pecah dini terutama pada kehamilan
prematur. Kelainan letak dan kesempitan panggul lebih sering disertai dengan
KPD, namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Faktor-faktor lain,

23
seperti : hidramnion, gamelli, koitus, perdarahan antepartum, bakteriuria, pH
vagina di atas 4,5, stres psikologis, serta flora vagina abnormal akan
mempermudah terjadinya ketuban pecah dini.3
Berdasarkan sumber yang berbeda, penyebab ketuban pecah dini
mempunyai dimensi multifaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
 Serviks inkompeten.
 Ketegangan rahim yang berlebihan : kehamilan ganda, hidramnion.
 Kelainan letak janin dalam rahim : letak sungsang, letak lintang.
 Kemungkinan kesempitan panggul : perut gantung, bagian terendah belum
masuk pintu atas panggul, disproporsi sefalopelvik.
 Kelainan bawaan dari selaput ketuban.
 Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban
dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.5

Gambar 2. Mekanisme multifaktorial menyebabkan ketuban pecah dini10

24
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara :
1. Anamnesis
Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau
mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau
kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan lahir.
Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada infeksi.

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak
adanya nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi
yang diharapkan menurut hari pertama haid terakhir. Palpasi abdomen
memberikan perkiraan ukuran janin dan presentasi.4

3. Pemeriksaan dengan spekulum


Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD untuk mengambil sampel cairan
ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur dan
pemeriksaan bakteriologis.5
Tiga tanda penting yang berkaitan dengan ketuban pecah dini adalah :
1. Pooling : Kumpulan cairan amnion pada fornix posterior.
2. Nitrazine Test : Kertas nitrazin merah akan jadi biru.
3. Ferning : Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek glass dan
didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan gambaran seperti daun
pakis.4
Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa adanya
cairan amnion dalam vagina. Perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari
ostium uteri eksternum apakah ada bagian selaput ketuban yang sudah pecah.
Gunakan kertas lakmus. Bila menjadi biru (basa) adalah air ketuban, bila merah
adalah urin. Karena cairan alkali amnion mengubah pH asam normal vagina.
Kertas nitrazine menjadi biru bila terdapat cairan alkali amnion. Bila diagnosa
tidak pasti, adanya lanugo atau bentuk kristal daun pakis cairan amnion kering
(ferning) dapat membantu. Bila kehamilan belum cukup bulan penentuan rasio

25
lesitin-sfingomielin dan fosfatidilgliserol membantu dalam evaluasi kematangan
paru janin. Bila kecurigaan infeksi, apusan diambil dari kanalis servikalis untuk
pemeriksaan kultur serviks terhadap Streptokokus beta group B, Clamidia
trachomatis dan Neisseria gonorea.4

4. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan dilatasi
serviks. Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian presentasi janin
dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat. Periksa dalam harus dihindari
kecuali jika pasien jelas berada dalam masa persalinan atau telah ada keputusan
untuk melahirkan.7

5. Pemeriksaan penunjang
 Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus merah
menjadi biru.
 Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm3 kemungkinan
ada infeksi.
 USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak janin,
letak plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.
 Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin secara dini
atau memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi intrauterin atau
peningkatan suhu, denyut jantung janin akan meningkat.
 Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin dan
fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru janin.4

2.1.6 Penatalaksanaan
A. Konservatif2
 Rawat di rumah sakit.
 Berikan antibiotik
 Jika umur kehamilan < 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.

26
 Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi: beri
deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin.
Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik deksametason dan induksi sesudah 24 jam.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan
induksi.
 Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
 Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin.

1. Nifedipin sebagai tokolitik


Penggunaan nifedipin sebagai tokolitik dimulai pada tahun
1980, berdasarkan laporan Ulmsten dan kawan-kawan mengenai
pengalamannya menghentikan kontraksi preterm pada 10 pasien. Sejak saat
itu nifedipin digunakan sebagai tokolitik lini ke dua setelah magnesium
sulfat di Amerika Utara dan betamimetik di Eropa. Penggunaan nifedipin ini
dilaporkan memiliki efek samping maternal yang lebih dapat ditoleransi dan
efek samping janin yang lebih sedikit8.
Nifedipin bekerja dengan cara blokade channel kalsium voltage-
dependent pada sel miometrium, sehingga menyebabkan penurunan jumlah ion
kalsium intrasel. Obat ini juga menurunkan kalsium intraseluler dengan cara

menghambat transport kalsium trans-membran. Nifedipin berperan sebagai


antagonis kalsium dengan menghambat influks langsung kalsium ke miosit dan
melepaskan kalsium intraselular. Keseluruhan mekanisme selular ini berakibat
pada berkurangnya interaksi aktin miosin dan relaksasi sel myometrium8.
Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap

15 – 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan nifedipin oral 10


didukung secara kuat dengan bukti klinis dalam mengatasi persalinan preterm
secara akut. Bagaimanapun, dosis lebih dari 60 mg menimbulkan risiko 3 hingga

27
4 kali lipat terjadinya efek samping serius, yaitu hipotensi, sehingga harus
diberikan dengan hati-hati. Onset tokolitik nifedipin adalah 30-60 menit8.
Pada saat diberikan dalam dosis tokolitik, nifedipin memiliki efek
samping vasodilatasi umum, termasuk penurunan tekanan darah ringan dan
sedang, dengan peningkatan nadi sebagai mekanisme kompensasi. Pada beberapa
keadaan dapat terjadi hipotensi yang bermakna dengan takikardi sekunder,
terutama pada pasien yang memiliki preload rendah akibat dehidrasi8.
Diduga bahwa keenggannan ahli kebidanan dalam menggunakan nifedipin
sebagai tokolitik disebabkan oleh data penelitian awal pada hewan yang
menunjukkan calcium channel blockers menurunkan aliran darah uteroplasenta,
yang berakibat pada bradikardi janin dan depresi miokard hipoksik.
Bagaimanapun, hal ini tidak terjadi kecuali pada pemberian nifedipin dosis tinggi
yang mengakibatkan toksik. Pengamatan menggunakan Doppler tidak
menunjukkan perubahan aliran darah uteroplasenta pada manusia
setelah pemberian nifedipin8.

2. Kortikosteroid Untuk Pematangan Paru


Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan ≤ 34 minggu untuk
menurunkan risiko RDS dan mortalitas janin serta neonatal. Pemberian
kortikosteroid antenatal juga berhubungan dengan penurunan kebutuhan ventilasi
mekanik/CPAP, kebutuhan surfaktan dan perdarahan serebrovaskular, necrotizing
enterocolitis serta gangguan pekembangan neurologis. Pemberian kortikosteroid
tidak berhubungan dengan infeksi, sepsis puerpuralis dan hipertensi pada ibu.
Pemberian deksametason maupun betametason menurunkan bermakna kematian
janin dan neonatal, kematian neonatal, RDS dan perdarahan serebrovaskular.
Pemberian betametason memberikan penurunan RDS yang lebih besar
dibandingkan deksametason9.
Kortikosteroid yang diberikan pada ibu dengan risiko persalinan preterm
secara signifikan menurunkan insiden respiratory distress syndrome (RDS) pada
bayi baru lahir, utamanya jika persalinan terjadi dalam waktu 24 jam hingga 7 hari
setelah pemberian kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang

28
akan memberikan efek berupa peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan pada sel
pneumosit tipe II dan memperbaiki tingkat maturitas paru. Kortikosteroid bekerja
dengan menginduksi enzim lipogenik yang dibutuhkan dalam proses sintesis
fosfolipid surfaktan dan konversi fosfatidilkolin tidak tersaturasi menjadi
fosfatidilkolin tersaturasi, serta menstimulasi produksi antioksidan dan protein
surfaktan9.

3. Antibiotik
Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm. Dibuktikan
dengan 22 uji meliputi lebih dari 6000 wanita yang mengalami KPD preterm,
yang telah dilakukan meta-analisis (level of evidence Ia). Terdapat penurunan
signifikan dari korioamnionitis (RR 0,57;95% CI 0,37-0,86), jumlah bayi yang
lahir dalam 48 jam setelah KPD` (RR 0,71; 95% 0,58-0,87), jumlah bayi yang
lahir dalam 7 hari setelah KPD (RR 0,80; 95% ci 0,71-0,90), infeksi neonatal (RR
0,68;95% ci 0,53-0,87), dan jumlah bayi dengan USG otak yang abnormal
setelah keluar dari RS (RR 0,82; 95% CI 0,68-0,98). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa administrasi antibiotik mengurangi morbiditas maternal dan
neonatal dengan menunda kelahiran yang akan memberi cukup waktu untuk
profilaksis dengan kortikosteroid prenatal.1
Pemberian antibiotik pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan
infeksi neonatal dan memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang
dapat digunkan terlihat pada tebel 1.

29
Antibiotik
Untuk memperlama masa laten
AMPICILLIN
2 gram IV setiap 6 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam, dikali 4 dosis diikuti dengan

AMOXICILLIN
250 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari, jika alergi ringan dengan
penisilin, dapat digunakan: CEFAZOLIN

1 gram IV setiap 8 jam selama 48 jam dan


ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam diikuti dengan :

CEPHALEXIN
500 mg PO setiap 6 jam selama 5 hari dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama hari
Tabel 1. Antibiotik yang dapat digunakan pada Ketuban pecah dini1

B. Aktif2
 Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan seksio
sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50µg intravaginal tiap 6 jam
maksimal 4 kali.
 Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri jika :
a. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
b. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.

30
Gambar 3. Algoritma Management Ketuban Pecah Dini1

31
2.1.7 Komplikasi
A. Komplikasi bayi
1. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode
laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi di dalam 24
jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1
minggu.1

2. Infeksi
Bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi
korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini prematur,
infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum, insiden infeksi sekunder pada
ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.1

3. Hipoksia dan Asfiksia


Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali
pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya
gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin
semakin gawat.1

4. Sindroma deformitas janin


Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin,
serta hipoplasia pulmonal.1

B. Komplikasi Ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin.
Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis
yang berujung pada sepsis. Pada sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu
hamil dengan KPD mengalami endomyometritis purpural, 1,2% mengalami
sepsis, namun tidak ada yang meninggal dunia. Diketahui bahwa yang

32
mengalami sepsis pada penelitian ini mendapatkan terapi antibiotik spektrum
luas, dan sembuh tanpa sekuele. Sehingga angka mortalitas belum diketahui
secara pasti. 40,9% pasien yang melahirkan setelah mengalami KPD harus
dikuret untuk mengeluarkan sisa plasenta,, 4% perlu mendapatkan transfusi darah
karena kehilangan darah secara signifikan. Tidak ada kasus terlapor mengenai

2
kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu lama .

2.2 Anemia pada Kehamilan


Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu
peningkatan produksi eritropoietin. Namun, peningkatan volume plasma terjadi
dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit
sehingga terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb) akibat hemodilusi2.
Ekspansi volume plasma merupakan penyebab anemia fisiologik pada
kehamilan. Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit (Ht),
konsentrasi hemoglobin darah (Hb), dan hitung eritrosit, tetapi tidak menurunkan
jumlah absolut Hb atau eritrosit dalam sirkulasi. Mekanisme yang mendasari
perubahan ini belum jelas. Ada spekulasi bahwa anemia fisiologik dalam
kehamilan bertujuan menurunkan viskositas darah maternal sehingga
meningkatkan perfusi plasenta dan membantu penghantaran oksigen serta nutrisi
ke janin2.
Ekspansi volume plasma mulai pada minggu ke-6 kehamilan dan
mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat terus meningkat
sampai minggu ke-37. Pada titik puncaknya, volume plasma sekitar 40% lebih
tinggi pada ibu hamil dibandingkan perempuan yang tidak hamil. Penurunan
hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan hitung eritrosit biasanya tampak pada
minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan dan terus menerus sampai minggu ke-16
sampai ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai.
Suatu penelitian yang memperlihatkan perubahan konsentrasi Hb sesuai
dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada trimester pertama, konsentrasi Hb
tampak menurun, kecuali pada perempuan yang telah memiliki kadar Hb rendah

33
(<11,5 g/dl). Konsentrasi paling rendah didapatkan pada trimester kedua, yaitu
pada usia kehamilan sekitar 30 minggu. Pada trimester ketiga terjadi sedikit
peningkatan Hb, kecuali pada perempuan yang sudah memiliki kadar Hb tinggi
(>14 g/dl) pada pemeriksaan pertama2.
Anemia secara praktis didefinisikan sebagai kadar Ht, konsentrasi Hb,
atau hitung eritrosit dibawah atas “normal”. Namun, nilai normal yang akurat
untuk ibu hamil sulit dipastikan karena ketiga parameter laboratorium tersebut
bervariasi selama periode kehamilan. Umumnya ibu hamil dianggap anemia jika
kadar hemoglobin dibawah 11 g/dl atau hematokrit kurang dari 33%. Namun,
CDC membuat nilai batas khusus berdasarkan trimester kehamilan dan status
merokok. Dalam praktik rutin, konsentrasi Hb kurang dari 11 g/dl pada akhir
trimester pertama dan <10 g/dl pada trimester kedua dan ketiga diusulkan
menjadi batas bawah untuk mencari penyebab anemia dalam kehamilan. Nilai-
nilai ini kurang lebih sama nilai Hb terendah pada ibu-ibu hamil yang mendapat
suplementasi besi, yaitu 11 g/dl pada trimester pertama dan 10,5 g/dl pada
trimester kedua dan ketiga2.

Status kehamilan Hemoglobin (gr/dl) Hematokrit (%)


Tidak hamil 12,0 36
Hamil
 Trimester 1 11,0 33
 Trimester 2 10,5 32

 Trimester 3 11,0 33
Tabel 2. Nilai batas normal anemia pada perempuan2

Sebagian besar perempuan mengalami anemia selama kehamilan, baik di


negara maju maupun negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa 35-75 %
ibu hamil dinegara berkembang dan 18 % ibu hamil dinegara maju mengalami
anemia.
Hb (gr/dl)
Tidak anemia 11
Anemia ringan 9-10

34
Anemia sedang 7-8
Anemia berat <7
Tabel 3. Anemia berdasarkan Klasifikasi WHO

Penyebab tersering adalah defisiensi zat-zat nutrisi. Seringkali


defisiensinya bersifat multipel dengan manifestasi klinik yang disertai infeksi,
gizi buruk, atau kelainan herediter, seperti hemoglobinopati. Namun, penyebab
mendasar anemia nutrisional meliputi asuhan yang tidak cukup, absorbsi yang
tidak adekuat, bertambahnya zat gizi yang hilang, kebutuhan yang berlebihan,
dan kurangnya ultilisasi nutrisi hemopoietik. Sekitar 75% anemia dalam
kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi yang memperlihatkan gambaran
eritrosit mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi.2

Defisiensi Besi
Defisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi yang paling sering ditemukan
baik di negara maju maupun negara berkembang. Resikonya meningkat pada
kehamilan dan berkaitan dengan asupan bayi yang tidak adekuat dibandingkan
pertumbuhan janin yang cepat2.
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling
parah, yang ditandai dengan penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum
dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai Ht
yang menurun. Pada kehamilan, kehilangan zat besi terjadi akibat pengalihan besi
maternal ke janin untuk eritropoiesis, kehilangan darah pada saat persalinan, dan
laktasi yang jumlah keseluruhannya dapat mencapai 900 mg atau setara dengan 2
liter darah. Oleh karena sebagian besar perempuan mengawali kehamilan dengan
cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan tambahan ini berakibat pada anemia
defisiensi besi2.
Pencegahan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan suplementasi
besi dan asam folat. WHO menganjurkan untuk memberikan 60 mg besi selama 6
bulan untuk memenuhi kebutuhan fisiologi selama kehamilan. Namun banyak
literatur menganjurkan dosis 100 mg besi setiap hari selama 16 minggu atau lebih

35
pada kehamilan. Di wilayah-wilayah dengan prevalensi anemia yang tinggi,
dianjurkan untuk memberikan suplementasi sampai tiga bulan pertama2.
Hubungan antara konsentrasi Hb dan kehamilan masih merupakan lahan
kontroversi. Di negara-negara maju, misalnya tidak hanya anemia, tetapi juga
konsentrasi hemoglobin yang tinggi selama kehamilan telah dilaporkan
meningkatkan resiko komplikasi seperti kelahiran kecil untuk masa kehamilan
(KMK) atau small-for-gestational age (SGA), kelahiran prematur, dan mortalitas
perinatal. Kadar Hb yang tinggi terkait dengan infark plasenta sehingga
hemodilusi pada kehamilan dapat meningkatkan pertumbuhan janin dengan cara
mencegah trombosis dalam sirkulasi plasental. Oleh karena itu, jika peningkatan
kadar Hb mencerminkan kelebihan besi, maka suplementasi besi secara rutin
pada ibu hamil yang tidak anemik perlu ditinjau kembali.2
Pemberian suplementasi besi setiap hari pada ibu hamil sampai minggu
ke-28 kehamilan pada ibu hamil yang belum mendapat besi dan nonanemik (Hb<
11 g/dl dan feritin > 20 µg/l) menurunkan prevalensi anemia dan bayi berat lahir
rendah. Namun, pada ibu hamil dengan kadar Hb yang normal (≥13,2 g/dl)
mendapatkan peningkatan resiko defisiensi tembaga dan zinc. Selain ittu,
pemberian suplementasi besi elemental pada dosis 50 mg berkaitan dengan
proporsi bayi KMK dan hipertensi maternal yang lebih tinggi dibandingkan
kontrol.2

Sel Darah Merah Pekat (Packed Red Cell / PRC)


Sel darah merah pekat merupakan komponen yang terdiri dari eritrosit
yang telah dipekatkan dengan memisahkan komponen-komponen yang lain
sehingga mencapai hematokrit 65-70%, yang berarti menghilangnya 125-150 ml
plasma dari satu unitnya. PRC merupakan pilihan utama untuk anemia kronik
karena volumenya yang lebih kecil dibandingkan dengan whole blood. Setiap unit
PRC mempunyai volume kira-kira 128-240 mL, tergantung pada volume kadar
Hb donor dan proses 12 separasi komponen awal. Volume darah tersebut,
diperkirakan mengandung plasma 50 mL (20-150 mL) (Alimoenthe, 2011).
Packed Cells yang dibuat khusus di dalam kantong plastik pada saat segera setelah

36
donasi darah diputar secara khusus sehingga terpisah dari komponen-komponen
lainnya, jauh lebih baik dan lebih tahan lama disimpan. Sedangkan Packed Cells
yang dibuat dengan cara pengendapan darah didalam botol lalu bagian plasmanya
disedot keluar tidak menghasilkan komponen yang ideal karena sudah terbuka
resiko kontaminasi pada waktu penghisapan. Waktu penyimpanannya hanya
sampai 24 jam didalam alat pendingin darah (Depkes RI, 2008).
PRC digunakan pada anemia yang tidak disertai penurunan darah,
misalnya anemia dengn hemolitik, anemia hipoplastik kronik, leukimia akut,
leukimia kronik, thalasemia, dan perdarahan-perdarahan kronis yang ada tanda
“oxygen need” (rasa sesak, mata berkunang, palpitasi, pusing dan gelisah). PRC
diberikan sampai tanda oxygen need hilang, biasanya pada Hb 8-10 gr/dl.
Transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb < 7 gr/dl, terutama
pada anemia akut. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥ 10 gr/dl, kecuali bila
ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport
oksigen lebih tinggi. Jumlah PRC yang diperlukan untuk menaikkan hb dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Jumlah PRC = Hb x 3 x BB
Keterangan:
Hb = selisih Hb yang diinginkan dengan Hb sebelum transfusi
BB = berat badan

37
BAB III
PEMBAHASAN

1. Apakah diagnosis pasien ini sudah tepat?


Pasien Ny. NPS berusia 26 tahun datang dengan keluhan keluar air-air
dari jalan lahir. Diagnosis pada pasien ini adalah G1P0A0 hamil 35 minggu
menunjukkan bahwa pasien sedang hamil anak pertama. Usia kehamilan 35
diketahui dari pemeriksaan obstetri, USG, dan HPHT pasien tanggal 30
September 2020. Pasien mengaku gerakan janin masih dirasakan. Pada
pemeriksaan didapatkan denyut jantung janin 147 x/menit. Berdasarkan
anamnesis riwayat keluar darah dan lendir (-). Pada pemeriksaan luar dan
pemeriksaan dalam (VT dan inspekulo) tidak ditemukan tanda-tanda inpartu.
Berdasarkan anamnesis didapatkan informasi bahwa pasien mengeluhkan
keluar cairan yang banyak dengan warna jernih dan tidak berbau secara tiba-tiba
dari jalan lahir dan riwayat keputihan. Pada pemeriksaan spekulum didapatkan
fluxus (+) ketuban tak aktif dan didapatkan tes lakmus (+). Hal ini dapat
didiagnosis sebagai ketuban pecah dini.
Diagnosis Anemia Berat ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium yang
menunjukkan hasil 5,7 gr/dl. Hal ini sesuai dengan kriteria anemia WHO pada
Tabel 3. Penyebab anemia pada pasien adalah, anemia defisiensi besi yang
didapatkan dari hasil gambaran darah Tepi. Gambaran darah tepi menunjukkan
penurunan MCV dan MCHC, serta gambaran eritrosit mikrositik hipokromik.
Diagnosis masuk pasien yaitu G1P0A0 hamil 35 minggu belum inpartu
dengan KPD 3 jam JTH Preskep + Anemia Berat sudah tepat berdasarkan
penjelasan diatas.

2. Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?


Pada pasien ini dilakukan manajemen konservatif sesuai dengan algoritma
manajemen KPD. Dengan usia kehamilan 35 minggu, belum inpartu, dan hasil
leukosit 13.000 sehingga pada pasien diberikan terapi tokoliik, kortikosteroid, dan
antibiotik.

38
Pada pasien ini dilakukan observasi tanda vital, kontraksi,dan denyut
jantung janin, untuk mengetahui pemantauan kondisi ibu dan janin agar tetap
stabil. Cairan RL memiliki komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat
serupa dengan cairan ekstraseluler tubuh. Tujuan pemberian RL pada pasien untuk
memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan ke dalam tubuh.
Pada pasien ini diberikan Cefotaxime 2x1 gram secara intavena untuk
pencegahan infeksi lain yang mungkin terjadi. Pemberian antibiotik pada pasien
ketuban pecah dini dapat menekan infeksi neonatal dan memperpanjang periode
latensi. Cefotaxime diindikasikan untuk pengobatan dengan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri sensitif pada penyakit infeksi termasuk ginekologi.
Pemberian nifedipin tablet 10 mg/6 jam sebagi tokolitik untuk
menghentikan kontraksi preterm pada pasien. Nifedipin bekerja dengan cara
blokade channel kalsium voltage-dependent pada sel miometrium, sehingga
menyebabkan penurunan jumlah ion kalsium intrasel. Obat ini juga menurunkan
kalsium intraseluler dengan cara menghambat transport kalsium trans-membran.
Nifedipin berperan sebagai antagonis kalsium dengan menghambat influks
langsung kalsium ke miosit dan melepaskan kalsium intraselular. Keseluruhan
mekanisme selular ini berakibat pada berkurangnya interaksi aktin miosin dan
relaksasi sel myometrium.8
Pada pasien ini diberikan dexamethason 12 mg/24 jam selama 2 hari yang
bertujuan untuk pematangan paru janin. Kortikosteroid yang diberikan pada ibu
dengan risiko persalinan preterm secara signifikan menurunkan insiden
respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi baru lahir, utamanya jika
persalinan terjadi dalam waktu 24 jam hingga 7 hari setelah pemberian
kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan memberikan
efek berupa peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan pada sel pneumosit tipe II
dan memperbaiki tingkat maturitas paru. Kortikosteroid bekerja dengan
menginduksi enzim lipogenik yang dibutuhkan dalam proses sintesis fosfolipid
surfaktan dan konversi fosfatidilkolin tidak tersaturasi menjadi fosfatidilkolin
tersaturasi, serta menstimulasi produksi antioksidan dan protein surfaktan.

39
Pada pasien diberikan terapi transfusi PRC 4 x 250 cc karena didapatkan
kadar Hb pasien 5,7 gr/dl. Transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar
Hb < 7 gr/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb
≥ 10 gr/dl. Sel darah merah pekat (PRC) merupakan komponen yang terdiri dari
eritrosit yang telah dipekatkan dengan memisahkan komponen-komponen yang
lain sehingga mencapai hematokrit 65-70%, yang berarti menghilangnya 125-150
ml plasma dari satu unitnya. PRC merupakan pilihan utama untuk anemia kronik
karena volumenya yang lebih kecil dibandingkan dengan whole blood.
Pada pasien ini dilakukan prosedur terminasi kehamilan pada tanggal 3
Oktober 2020 karena telah menunjukkan tenda inpartu, yaitu penipisan dan
dilatasi servik, his yang adekuat, dan keluar darah lendir. Skor tokolitik juga
menunjukkan skor 10, sehingga tidak dapat diberikan tokolitik. Oleh karena itu
keputusan terminasi kehamilan dengan partus pervaginam pada pasien ini sudah
tepat dilakukan.

40
BAB V
KESIMPULAN

1. Diagnosis pada pasien yaitu G1P0A0 hamil 35 minggu belum inpartu dengan
KPD 3 jam janin tunggal hidup presentasi kepala + anemia berat sudah tepat

2. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat yaitu pemberian antibiotik,


tokolitik, kortikosteroid dan transfusi darah, dan terminasi pervaginam

41
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2016.


Pedoman Nasional Pelayanan. Kedokteran: Ketuban Pecah Dini. Jakarta:
POGI.
2. Prawirohardjo,S.2010. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
3. Gde Manuaba, I.B. Ketuban Pecah Dini (KPD). Ilmu Kebidanan, Penyakit
Kandungan & Keluarga Berencana. Jakarta: EGC; 2001. Hal: 229-232.
4. Bergehella V. Prevention of preterm burth. In: Berghella V. Obstetric
evidence based guidelines. Series in maternal fetal medicine. Informa
heathcare. Informa UK Ltd, 2007.
5. Myers VS. Premature rupture of membranes at or near term. In: Berghella
V. Obstetric evidence based guidelines. Series in maternal fetal medicine.
Informa heathcare. Informa UK Ltd, 2007.
6. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Premature Birth. In: Williams Obstetric. 23rd Ed. McGrawHill Medical,
New York, 2010.
7. Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds)
Pengantar Kuliah Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan.
Ketuban Pecah Dini. Cetakan Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2007. Pp
456-60.
8. Pryde PG, Besinger RE, Gianopoulos JG, Mittendorf R. Adverse and
Beneficial Effects of Tocolytic Therapy. Seminars in Perinatology.
2001;25:316-40.
9. Ayu, R.N.P., dan Sari, R.D.P., 2017. Peran Kortikosteroid dalam
Pematangan Paru Intrauterin. Majority, 6(3), pp. 142-147.
10. Nili F., Ansaari A.A.S. Neonatal Complications Of Premature
Rupture Of Membranes. Acta Medica Iranica. [Online] 2003. Vol 41.
No.3. Diambil dari http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/59.pdf.

42

Anda mungkin juga menyukai