1
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah mengadakan Rapat
Koordinasi Nasional yang dilaksanakan pada tanggal 26-28 November 2020 di
Bali yang membahas amplifikasi kebijakan, program serta langkah rekativasi dan
ekonomi kreatif dan pemulihan pariwisata yang berdampak akibat adanya
pandemi COVID-19. Dalam kesempatan tersebut Menteri Kesehatan RI Dr.
Terawan Agus Putranto menekankan kepada seluruh pihak dalam sektor
pariwisata agar tetap mengutamakan serta menerapkan protokol kesehatan. Hal
tersebut berkaitan pada Keputusan Menteri Kesehatan nomor
HK.01.07/MENKES/382/2020 mengenai Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di
Tempat Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian COVID-19.
Berdasarkan data dari BPS Provinsi Bali melaporkan, bahwa jumlah kedatangan
wisatawan mancanegara yang datang ke pulau Bali tepatnya pada bulan Maret
2020 sebanyak 156.876 kunjungan. Jumlah kunjungan selama bulan Maret 2020
tersebut turun sebanyak 56,89% dibandingkan dengan jumlah kedatangan
wisatawan selama bulan Februari 2020 yang tercatat sebanyak 363.937 kunjungan.
Penurunan jumlah kedatangan wisatawan pada sektor pariwisata diyakini
berdampak domino terhadap lapangan usaha lainnya yang juga mengalami
penurunan. Tekanan terhadap ekonomi Bali pada triwulan I (Januari-Maret) 2020
digambarkan paling keras dan paling dalam, dibandingkan selama empat tahun
terakhir sejak 2017. Dengan banyaknya penurunan kunjungan wisatawan ke Bali
pada masa pandemi COVID-19 mendorong penulis dalam membuat aplikasi D-
WAVE (Dewata Health Travel) sebagai solusi guna mengoptimalkan
kenyamanan dan keamanan wisatawan yang berkunjung ke Bali pada masa
pandemi COVID-19 serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Bali yang
“anjlok”. Dimana aplikasi D-WAVE (Dewata Health Travel) ini memberikan
pelayanan berupa beberapa paket perjalanan wisata yang ada di Bali, dimana
masing-masing paket terdapat destinasi wisata yang berbeda. Wisatawan dapat
memilih paket destinasi dan kegiatan yang mereka inginkan dengan harga yang
berbeda. Wisatawan yang melakukan perjalanan wisata serta tour guide harus
menerapkan protokol kesehatan dan memperhatikan wisata kunjungan tersebut
steril dari virus COVID-19.
Menilik Lebih Dalam Health Tourism di Daerah Bali
Health Tourism merupakan perjalanan pariwisata kesehatan untuk
pemeliharaan atau pemulihan kesehatan pada hakikatnya dilakukan oleh orang
sehat, tidak menderita suatu penyakit, atau orang yang baru sembuh dari penyakit.
Health Tourism ini lebih bersifat rehabilitatif dan preventif atau pencegahan.
Menurut “Discover Medical Tourism” (2000), health tourism lebih banyak
dihubungkan dengan konsep sebuah resort yang dirancang dimana bertujuan
untuk mencari ketenangan, relaksasi serta peningkatan kebugaran tubuh. Tren
Health tourism belakangan ini semakin meningkat baik pada tingkat regional dan
global yang memberikan pelayanan medical service, medical surgical clinic,
medical wellness centers and spa, leisure and recreation spa. Layanan ini
tersebar hampir merata di beberapa kawasan seperti Amerika, Eropa, Australia
serta Asia dan Selandia Baru.
Menurut Rogayah (2007), hampir di seluruh wilayah Indonesia dapat
ditemukan pariwisata kesehatan yang dapat dikembangkan, hal tersebut dapat
terjadi karena mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan
sumber daya alam yang melimpah baik di lima pulau terbesar di Indonesia
maupun di beribu pulau kecil salah satunya Bali. Pariwisata kesehatan digunakan
sebagai perjalanan berwisata untuk mencari perbaikan kesehatan tubuh dan
kesejahteraan melalui kegiatan spiritual dan fisik. Salah satu tujuan spesifiknya
adalah memperbaiki kesehatan diri dengan melihat keindahan alam ataupun
merileksasi diri. Contoh program pariwisata kesehatan yang ada di Bali yaitu
Ayurverdic Programme, program tersebut menggunakan ilmu pengobatan berasal
dari India yang sudah berusia ratusan tahun untuk badan dan pikiran. Treatment
Ayurverdic Programme sendiri dapat dilakukan melalui ayuverda dengan
rekomendasi dokter. Biasanya terapi yang dilakukan dalam program ini seperti
detox, spesial diet dan meditasi. Selain itu, cepatnya perkembangan spa dan
wellness di Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir khususnya di
Bali, industri ini menghasilkan pendapatan yang tinggi.
Studi dari Dinas Pariwisata Bali (2012), mencatat ada sekitar 454.047
wisatawan mancanegara (15,7%) melakukan perjalanan pariwisata yang
berhubungan dengan kesehatan dan pembugaran. Jika dilihat dari angka
banyaknya kunjungan wisatawan tersebut maka Indonesia sejatinya memiliki
potensi pendapatan dari sektor health tourism. Di sisi lain, Indonesia perlu
memanfaatkan potensi dari health tourism, ditambah lagi saat pandemi COVID-
19 ini dapat dijadikan kesempatan emas untuk mempromosikan potensi health
tourism yang ada di Indonesia khususnya di Bali. Di Bali jumlah spa telah
berkembang melebihi 160% pada tahun 2003. Tingginya perkembangan tersebut
memberikan peluang bagi bisnis health tourism di Bali, bisnis health tourism ini
merupakan kesempatan nyata untuk mengambil keuntungan serta meningkatkan
kembali prospek pertumbuhan ekonomi yang telah “anjlok” di masa pandemi. Hal
ini akan menjadi peluang besar bagi Bali sebagai destinasi health tourism di masa
pandemi COVID-19 saat ini.
Dengan menjalankan program health tourism ada beberapa hal yang harus
menjadi pertimbangan dalam memilih health tourism, yaitu standar yang dipakai
dalam memberikan pelayanan kesehatannya, bagaimana kualitas dan reputasi
tempat tujuan selama ini, keahlian dan spesialisasi serta pekerja pendukung,
berapa biaya transportasi dan akomodasi tempat yang akan dikunjungi, fasilitas
seperti apa yang akan di berikan kepada wisatawan di sana, berapa jauh jarak
tempat tinggal dengan lokasi tujuan, dan apakah ada masalah hukum dalam
tindakan yang akan dilakukan nantinya. Selain ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam memilih health tourism, ada beberapa kesalahan yang
sering terjadi oleh wisatawan dalam melakukan perjalanan health tourism, yaitu
berpergian sendiri, adanya hambatan bahasa, memiliki harapan atau ekspektasi
yang terlalu tinggi terhadap tempat tujuan, tidak membaca secara baik kontrak
atau inform consent, tidak mempertimbangkan semua biaya yang akan
dikeluarkan, dan tidak melakukan research yang cukup sebelum berangkat.
iii
LAMPIRAN