Anda di halaman 1dari 21

GIZI BURUK KMS DI BAWAH GARIS MERAH

DI DESA KALIJIRAK UPT PUSKESMAS TASIKMADU

Oleh :

dr. Chandra Ristiadi

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS TASIKMADU

KABUPATEN KARANGANYAR

2018
LEMBAR PENGESAHAN

GIZI BURUK KMS DI BAWAH GARIS MERAH

DI DESA KALIJIRAK UPT PUSKESMAS TASIKMADU

Disusun oleh :

dr. Chandra Ristiadi

Telah disetujui dan disahkan oleh :

Dokter Pendamping Kepala Puskesmas Tasikmadu

dr. Okce Krisnawati dr. Ibnu Ridhwan

NIP. 19791005 200604 2 012 NIP. 1970125 200312 1 003


BAB I

LATAR BELAKANG

Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Oleh
karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang
rawan terhadap kekurangan gizi.1
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya
di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini.
Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk dan
kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya adalah
balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk
merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan
zaman. Dengan alasan tersebut, masalah ini selalu menjadi program penanganan khusus oleh
pemerintah.2
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum menggembirakan.
Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia defisiensi
besi, gangguan akibat kurang Yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan
desa di seluruh tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain adalah
tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota
keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga dalam meilih, mengolah, dan membagi makanan di
tingkat rumah tangga, ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan
aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas.3
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang
terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara
menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima
indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang
pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi
(indikator kelima).4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur
(BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI, 2011), sedangkan
menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus,
kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4
2. Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia telah
berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U
<-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992
dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya pemerintahan tara lain melalui
Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan
gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil
menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan 6,3 %
tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali menjadi 8% dan pada tahun
2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan
gejala klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan
penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta
penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada balita
disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria
dan 32 % penyebab lain.5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini dapat
dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4% pada tahun
2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak
gizi buruk masih relatif besar.
3. Klasifikasi Gizi Buruk
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang
berbeda-beda.
3.1 Marasmus
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup karena diet
yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka yang hubungan
orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic atau malformasi congenital. Gangguan
berat setiap system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.6
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul
diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit
(kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan
pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan
banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala
pada marasmus adalah : 4
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya,
tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
3.2 Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya
mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya
terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua
punggung kaki sampai seluruh tubuh.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan kimia,
gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup bernilai biologis
baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare kronik,
kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan
gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik .6
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan masukan
kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang berlebihan atau
kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin dan
mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi yang
paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama berada di daerah industri belum
bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau
iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamuna,
kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.
Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan konstan.
Pada anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati
membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi
awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam organ dalam
sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan
fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil pada awal stadium penyakit tetapi
biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit
tampak pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari.
Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut
sering jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam,
dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada warna rambut (hipokromotrichia) .6
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual, muntah, dan
diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi kadang-kadang mungkin ada
kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati sering ada. Stupor,
koma dan meninggal dapat menyertai.6
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit
kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal
pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas
3.3 Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60%
dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan
kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.4
4. Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung. Menurut Depkes RI (1997)
dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi pada balita adalah
penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan kebutuhan anak, sedangkan
faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor sepertitingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu
tentang kesehatan, ketersediaan pangan ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas
pelayanan. Selain itu, pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di bawah ini
dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita, yaitu:
a. Tingkat Pendapatan Keluarga.
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk konsumsi
balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikan
kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang
berlawanan hampir universal.
Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam hal
memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.
b. Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga
kenyataan yaitu:
 Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
 Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal.
 Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu yang
baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,maka ia akan semakin
memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi.
Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang penilaian status
gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi tentang masalah yang berkaitan
dengan gangguan status gizi balita.
c. Tingkatan Pendidikan Ibu.
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat
pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan,
kebersihan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan
gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada factor social
ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan
tempat tinggal.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan
memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bias dijadikan landasan untuk
membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan
diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan
bias mengambil tindakan secepatnya.
Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk menghadapi
berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit waktu diare,
atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih
tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk
menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu
penjelasannya.
d. Akses Pelayanan Kesehatan.
Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service)dan pelayanan
kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses kesehatan masyarakat adalah
merupakan subsistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif
(pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Meskipun
demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak melakukan pelayanan kuratif
(pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan danstatus gizi
pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak kecil,
sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan yang paling sering melayani
masyarakat, membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui program-program
pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap dan dekat dengan
masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat kesehatan. Dengan akses kesehatan
masyarakat yang optimal kebutuhan kesehatan dan pengetahuan gizi masyarakat akan terpenuhi.

4. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan pemeriksaan
laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi
protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan
vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu
jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang
dibandingkan dengan anak yang sehat.2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri.
Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
 BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)
 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor : BB/TB >
-3SD atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit
terutama pada kedua bahu lengan pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa
adanya edema.7
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis
terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lender)
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi dan/atau syok,
serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan
setelah kedaruratan tertangani)
 Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit
 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Kontak dengan campak atau tuberculosis paru
 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
 Batuk kronik
 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
 Berat badan lahir
 Riwayat tumbuh kembang
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)
 Diketahui atau tersangka infeksi HIV .7

Pemeriksaan Fisik
 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki. Tentukan
status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB
 Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk
 Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran menurun
 Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)
 Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung
 Sangat pucat
 Pembesaran hati dan ikterus
 Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites
 Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)
 Ulkus pada mulut
 Fokus infeksi : THT, paru, kulit
 Lesi kulit pada kwashiorkor
 Tampilan tinja
 Tanda dan gejala infeksi HIV

5. Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk


Berikut disertakan alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk
Bagan 1. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN

Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada hari Rabu, 10 Desember 2018 dengan kegiatan
melakukan kunjungan pada posyandu balita dengan suspek gizi buruk KMS di bawah garis
merah. Berikut data pasien tersebut :
1. Nama Pasien : An. R
2. Usia : 2 tahun 8 bulan
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Alamat : Kalijirak, Tasikmadu
5. Agama : Islam

ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kartu Menuju Sehat pasien menunjukkan berada di bawah garis merah
2. Riwayat Penyakit
a. Penyakit Sekarang
Pasien seorang anak perempuan berusia 2tahun 8 bulan, dengan grafik gizi di KMS
berada di bawah garis merah. Nenek pasien mengeluhkan bahwa pertumbuhan
badan pasien tidak seperti anak lainnnya, lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak
yang lain. Menurut nenek pasien, pasien memang sulit untuk makan. Pasien
biasanya makan hanya beberapa sendok nasi, dengan sedikit sayur atau lauk. Kadang
juga diberi makanan lain seperti, roti, dan susu, tetapi pasien hanya mau sedikit.
Pasien juga sulit disuruh untuk makan buah. Biasanya hanya mau makan beberapa
potong buah tertentu seperti pisang, dan tidak setiap hari pasien mengkonsumsi buah.
Selain itu pemeberian makanan dari posyandu juga jarang di makannya. Menurut
nenek pasien, perkembangan aktivitas pasien tidak terlambat, dan tidak jauh berbeda
dari anak seusianya. Pasien pada usianya saat ini masih suka bermain ke luar
bersama anak-anak tetangga, bermain sepeda, dan tidur dirasa cukup.
Lingkungan rumah pasien juga cukup baik. Orang tua pasien bekerja dari pagi
sampai sore, sehinnga pasien lebih sering sama neneknya.
Dalam perkambangan KMS pasien, nenek pasien merasa bahwa berat badan pasien
masih kurang dan tidak pernah berada di atas garis merah, walaupun perkembangan
pasien tampak baik dan pasien juga jarang sakiyt-sakitan.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat batuk lama disangkal. Riwayat asma ataupun sesak disangkal. Riwayat
kejang disangkal.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa sebelumnya : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat Sosial Ekonomi
• Saat ini pasien tinggal bersama ayah, ibu, 1 orang kakak dan neneknya.
• kedua orangtua pasien bekerja sebagai buruh di pabrik dengan jam kerja sore..
• Pola asuh ibu : paSien diberi ASI hanya sampai satu bulan dikarenakan ibu
pasien sibuk kerja, saat ini pasien lebih sering sama neneknya
e. Riwayat Kebiasaan
• Pasien di ketahui suka bermain dengan kakaknya dan saudara-saudaranya di
rumah..
• Pasien sulit makan seringkali makanan tidak pernah habis
• Makanan sehari-hari pasien yaitu nasi, lauk dan kuah sayur.
• Pasien lebih suka memakan makanan ringan seperti biskuit dan chiki.
f. Riwayat Kehamilan
• Pasien merupakan anak kedua dari kehamilan ketiga. Pada kehamilan kedua, ibu
pasien mengalami abortus spontan saat usia kehamilan 2 bulan.
• Ibu pasien tidak mendapat asupan nutrisi yang cukup, karena saat ia makan selalu
merasa mual dan muntah sehingga ibu pasien jarang makan.
g. Riwayat Persalinan
• pasien dilahirkan secara secara normal dibantu oleh bidan taksiran umur
kehamilan pada saat itu adalah 37 – 38 minggu.Berat badan lahir adalah 2400
gram, dengan panjang badan 46 cm, lingkar kepala 32 cm, dan langsung
menangis. Tidak ada riwayat sesak, maupun badan yang nampak biru ataupun
kuning
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : tampak sehat
b. Kesadaran : kompos mentis
c. Tanda Vital
N : 141 x/menit
 RR : 42 x/menit
 Temp : 36.5 c
d. Status Gizi
. Status Gizi
BB : 7,7 kg
PB : 78 cm
LK : 43 cm
Z-score (Grafik WHO)
 BB/TB = <-3 SD = sangat kurus
 BB/U = < -3 SD = gizi buruk
 TB/U = -2 – (-3) SD = perawakan pendek
 LK/U = 1 – 2 SD

e. Kepala : konjungtiva anemis (-)


Sklera ikterik (-)
f. THT : respon terhadap suara (+)
g. Leher : pembesaran KGB(-)
h. Thorak (dada)
a. Paru-paru
 Inspeksi : bentuk dan gerakan pernafasan simetris kiri/kanan,
pernafasan intercostal (-) perubahan warna kulit (-), pembengkakan (-)
 Palpasi : gerakan respirasi sama kiri/kanan
 Perkusi : batas paru normal, suara sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi: suara paru vesikuler, nafas cepat
b. Jantung
 Inspeksi : Dalam batas normal
 Palpasi : (Dbn), nyeri tekan (-)
 Perkusi : batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : wheazing(-) rhonki(-)
i. Abdomen
a. Inspeksi : bentuk perut datar, jaringan parut (-), striae dan
spidernaevi (-), umbilikus normal, pembesaran organ/massa (-).
b. Auskultasi : peristaltik/bising usus normal.
c. Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), tahanan (-).
d. Perkusi : pekak hati dan limpa, undulasi (-), shifting dullnes (-)
Anggota gerak : dalam batas normal
KMS BALITA
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan pengukuran berat badan menurut usia, berat badan pasien hanya 7,7 kg
dalam usia nya yang sudah menginjak 2 tahun 4 bulan, pada grafik berat badan menurut
umur, pasien berada di daerah <-3SD, di mana pasien dapat dikatakan termasuk dalam gizi
buruk. Selanjutnya dilakukan pengukuran tinggi badan pasien, didapatkan pasien setinggi 78
cm, dan pada grafik tinggi badan menurut umur, pasien berada di antara -2SD hingga -3SD,
dan dapat dikatakan pasien masih memiliki tinggi badan yang pendek, walaupun mendekati
normal. Pengukuran berat badan pasien menurut tinggi badan menunjukkan pasien berada
pada skala <-3SD, dan pasien termasuk pada golongan sangat kurus. Pada pengukuran
lingkar lengan, didapatkan lingkar lengan pasien 12 cm, di mana pada grafik juga berada di
bawah skala -1SD hingga -2SD.
Pasien tampak kurus dan dalam penilaian status gizi berat badan menurut tinggi badan,
didapatkan berada dalam daerah <-3SD. Tidak ditemukan adanya edema, dan nafsu makan
pasien masih kurang. Pasien termasuk dalam gizi buruk, tanpa komplikasi yang berat,
sehingga untuk tata laksana pasien saat ini cukup dengan penberian makanan tambahan
untuk pemulihan dan edukasi kepada keluarga pasien mengenai pemberian nutrisi pada anak
yang disertai pengawasan status gizi pasien dengan rawat jalan. Pasien tidak memerlukan
rawat inap karena belum terdapat komplikasi lebih lanjut.
Keadaan keluarga dan hubungan dalam keluarga mempengaruhi terjadinya gizi buruk,
seperti pola konsumsi, pola asuh dan bahan makanan yang tersedia yang kurang memenuhi
kebutuhan gizi, akan mempengaruhi kesediaan makanan untuk anak terutama pemberian
makanan tambahan. Hubungan keluarga dalam hal ini adalah hubungan genetic merupakan
salah satu faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari seorang
anak. Keadaan keluarga dari segi sosial ekonomi merupakan bagian yang juga
mempengaruhi untuk terjadinya gangguan nutrisi seperti gizi buruk, karena mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan gizi. Selain itu, berdasarkan anamnesis yang dilakukan terhadap
nenek pasien, pasien lebih sering d asuh oleh neneknya dikarenakan orangtua pasien bekerja
sampai sore.
Gizi buruk merupakan keadaan kurang gizi pada tingkatan yang sudah berat, yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari. Secara
langsung keadaan gizi dipengaruhi oleh ketidak cukupan asupan makanan dan penyakit
infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung karena kurangnya ketersediaan pangan pada
tingkat rumah tangga, pola asuh yang tidak memadai serta masih rendahnya akses pada
kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat. Lebih lanjut masalah gizi
disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah dan minimnya kesempatan kerja.
Penyebab lain timbulnya masalah gizi buruk, disamping kemiskinan dan kurangnya
ketersediaan pangan, juga karena kurang baiknya sanitasi dan pengetahuan tentang gizi,
serta tidak tercukupinya menu seimbang pada konsumsi. Kebiasaan makan keluarga dan
susunan hidangannya merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga yang disebut
gaya hidup. Hingga saat ini, selain kasus gizi buruk yang masih ditemukan dan kasus gizi
buruk lama yang sudah dilakukan penanganan, penting untuk tetap diperhatikan agar
kemungkinan kondisi status gizi tidak kembali memburuk.
Keadaan ekonomi keluarga berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada
golongan keluarga menengah ke bawah. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan
menengah kebawah menggunakan sebagian besar pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
makan. Apabila pendapatan meningkat berarti memperbesar peluang untuk membeli bahan
pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Pendapatan rendah pada keluarga gizi
buruk tentu mengalami kesulitan dalam mengatur keuangan rumah tangga dalam pemenuhan
gizi balita. Pendapatan yang kurang, sebenarnya dapat ditutupi jika keluarga tersebut mampu
mengelola sumber daya yang terbatas, antara lain dengan kemampuan memilih bahan
makanan yang murah tetapi bergizi dan distribusi makanan yang merata dalam keluarga
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, dan dilihat dari KMS balita yang dimiliki
pasien, didapatkan bahwa status gizi pasien terus-menerus berada di bawah garis merah pada
KMS. Pasien apabila dilihat dari pengukuran berat badan menurut umur, termasuk pada
klasifikasi gizi buruk, yang kemudian perlu dilakukan pemeriksaan selanjutnya berdasarkan
pengukuran berat badan menurut tinggi badan. Pada pengukuran status gizi berdasarkan
berat badan menurut tinggi badan, didapatkan pula bahya pasien berada pada <-3SD, di
mana menunjukkan bahwa pasien termasuk pada golongan sangat kurus.
B. SARAN
Perlu pemberian makanan tambahan bagi pasien, untuk menunjang perbaikan gizi pasien,
dan pengawasan lebih lanjut dari tenaga kesehatan terutama puskesmas agar dapat
menunjang perkembangan nutrisi pasien. Keluarga juga perlu diedukasi untuk memberikan
makan yang cukup kepada pasien, walaupun sedikit-sedikit tetapi sering diberi makanan
yang cukup gizi, meliputi nasi, sayur, lauk-pauk, buah, dan susu.
Kader dan bidan desa perlu lebih memperhatikan balita dengan status KMS di bawah
garis merah, dan melakukan pengukuran berat badan menurut tinggi badan apabila
menemukan kasus-kasus balita dengan KMS di bawah garis merah.
Perlu penyuluhan lebih lanjut juga kepada kader dan bidan mengenai kasus balita dengan
Gizi kurang dan Gizi buruk, terutama pada waktu penyuluhan kader dan pada kelas balita.
Sebaiknya kader juga diberitahu mengenai tindakan selanjutnya yang sebaiknya dilakukan
apabila menemui kasus curiga gizi buruk. Makanan tambahan yang disediakan, terutama
pada kelas balita juga sebaiknya bervariasi dan mengandung nutrisi yang baik bagi balita
yang membutuhkan.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

!. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang


Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak.
2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor
3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta : Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
5. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta : EGC.
7. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta : Tim
Adaptasi Indonesia-WHO Indonesia.
8. Astya Palupi, dkk. 2009. Status Gizi dan Hubungannya dengan Kejadian Diare pada
Anak Diare Akut di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dalam Jurnal Gizi
Klinik Indonesia Volume 6, No.1 (hal 1-7).
9. Syaiful, muthowif. 2009. Hubungan Antara Kejadian Diare dengan Status Gizi Anak
Balita di Kelurahan Bekonang Kecamatan mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Surakarta.
10. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta : Pengurus
Pusat IDAI.
11. Ngurah Suwarba dkk. Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan
Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta dalam Sari Pediatri
Volume 10. No.4. Denpasar : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Udayana.
12. Zuhriyah H. 2009. Faktor Risiko Disfasia Perkembangan pada Anak. Semarang :
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro.
13. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai