Kerjaan Sintang
Kerjaan Sintang
Pada bulan Juli 1822 dimasa pemerintahan Sultan Sri Paduka Tuanku
Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad Qomaruddin terjadi kontak/hubungan
resmi Kesultanan Sintang dengan bangsa Belanda. Kontak tersebut diawali
dengan datangnya rombongan asal Belanda yang pertama di bawah
pimpinan Mr. J.H. Tobias, seorang komisaris dari Kurt van Borneo. Untuk
melakukan perdagangan dengan kesultanan Sintang.
Pada bulan November tahun 1822 Sultan Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad
Qomaruddin meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian
dipegang oleh Sultan Sri Paduka Tuanku Pangeran Adipati Muhammad
Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan dari Belanda yang kedua di
bawah pimpinan Dj. van Dougen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat
tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad
Alkadrie sebagai juru bicara. Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah
kesepakatan dan kerjasama dagang yang tertuang dalam Voorloping
Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2
Desember 1822 M. Setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (tahun
1823, 1832, 1847, 1855). Melalui perjanjian-perjanjian tersebut, Belanda
mulai melakukan inventarisasi terhadap pemerintahan dalam negeri
Kesultanan Sintang.
Belanda pertama kali datang ke Sintang pada bulan Februari 1822. Sebuah
misi dengan komisaris J. Tobias, C. Hartmann dan E. Franciss menyusuri
Sungai Kapuas memasuki daerah-daerah pedalaman. Misi pertama ini
bertujuan untuk “menginspeksi” berbagai kerajaan di sepanjang Kapuas dan
untuk berkenalan dengan penguasa-penguasa setempat. Raja di Sintang,
speerti halnya Raja Sekadau dan Sanggau, tidak tertarik dengan misi
delegasi Belanda tersebut, sehingga menimbulkan ketidak senangan J.
Tobias. Kemudian J. Tobias mengutus D.J von den Dungen Grovonius ke
berbagai kerajaan di Kapuas untuk mengumpulkan sebanyak mungkin
informasi. Laporan perjalanan ini menjadi sumber kepustakaan yang sangat
penting tentang situasi di Sintang pada awal Abad ke-19. Selain mencari
indormasi, Grovonius juga mengadakan perjanjian dengan penguasa
setempat. Pada saat itu penguasa Sintang, Sultan Atjep Muhammad
Jamaluddin baru saja meninggal, sehingga perjanjian pertama dibuat antara
Gronovius dengan pemimpin anggota keluarga dari pihak kerajaan.
Perjanjian ini dibuat dalam suasana permusuhan dan intimidasi. Dengan
adanya penandatanganan perjanjian ini, Sintang mengakui bahwa Belanda
menjadi pemimpin mereka. Selanjutnya, berbagai konflik diatasi oleh
Residen Borneo Barat an mereka dilarang menjalin hubungan dengan
penguasa lain. Sebagai imbalannya, Sintang mendapat perlindungan dari
Belanda. Maksud perjanjian tersebut adalah untuk membangun kekuasaan
Belanda dan menciptakan situasi menguntungkan dalam bidang
perdagangan.