Anda di halaman 1dari 5

Pada masa pemerintahan Belanda (sekitar tahun 1936), daerah Sintang

merupakan daerah lanschop  di bawah naungan


pemerintahan gouvernement. Daerah lanschop ini terbagi menjadi 4
(empat) onderafdeling  yang dipimpin oleh
seorang controleur  atau gesagkekber, yaitu:

1. Onderafdeling  Sintang berkedudukan di Sintang;


2. Onderafdeling  Melawi berkedudukan di Nanga Pinoh;
3. Onderafdeling Semitau berkedudukan di Semitau; dan
4. Onderafdeling Boven Kapuas berkedudukan di Putussibau.

Sedangkan daerah Kerajan Sintang yang didirikan oleh Demang Irawan


(Jubair I) dijadikan daerah swapraja Sintang dan kerajaan Tanah Pinoh
dijadikan neo  swapraja Tanah Pinoh. Pemerintahan lanschop ini berakhir
pada tahun 1942 dan kemudian tampuk pemerintahan diambil alih oleh
Jepang.

Pada masa pemerintahan Jepang, struktur pemerintahan yang berlaku tidak


mengalami perubahan, hanya sebutan wilayah kepala pemerintahan yang
disesuaikan dengan bahasa negara yang memerintah kala itu. Kepala Negara
disebut Kenkarikan (semacam bupati sekarang) sedangkan wakilnya disebut
dengan Bunkenkarikan dan di setiap kecamatan diangkat Gunco (Kepala
Daerah).

Setelah adanya pengakuan kedaulatan dari pihak Belanda kepada pihak


Indonesia, kekuasaan pemerintahan Belanda yang disebut Afdeling  Sintang
diganti dengan Kabupaten Sintang, Onderafdeling  diganti dengan
Kawedanan, Distric diganti dengan Kecamatan. Demikian pula halnya dengan
jabatan Residen dengan Bupati, kepala Distric  diganti dengan Camat dan
yang menjadi Bupati Sintang pada waktu itu adalah Raden Gondowirio.
Istana Al Mukaromah Kesultanan Kota Sintang

Lokasi awal Kerajaan Sintang diperkirakan terletak di Desa Tebelian Nanga


Sepauk yang terletak sekitar 50 Km dari Kota Sintang (saat ini). Bukti
sejarah berdirinya kerajaan ini dapat ditelusuri melalui sejumlah benda
peninggalan sejarah, antara lain ditemukan Batu Lingga yang begambar
Mahadewa dan arca Nandi (masyarakat menyebutnya dengan
batu kalbut atau batu babi) di Dusun Batu Belian Desa Tanjung Riah,
Kecamatan Sepauk. Tidak jauh dari lokasi batu lingga tersebut, terdapat
Makam Aji Melayu, tokoh yang diperkirakan merupakan nenek moyang raja-
raja atau sultan-sultan di Kesultanan Sintang.

Nama “Kerajaan Sintang” mulai dikenal setelah Abad ke XIII, Demong


Irawan (Jubair Irawan 1) memindahkan pusat kerajaan ke daerah bernama
“Senentang” yang terletak di pertemuan antara Sungai Kapuas dan Sungai
Melawi. Nama “Senentang” ini lambat laun dikenal dengan sebutan Sintang.
Luas wilayah Kerajaan Sintang pada masa pemerintahan Demong Irawan
mencakup Kecamatan Sepauk dan Kecamatan Tempunak.

Kerajaan Sintang mengalami perubahan menjadi kerajaan bernuansa Islam


sejak pemerintahan Sri Paduka Tuanku Sultan Nata Muhammad Syamsudin
Sa’adul Khairi Waddin. Beliau merupakan pemimpin pertama di Sintang yang
menggunakan gelar Sultan. Pada masa pemerintahannya terdapat beberapa
keputusan penting terkait dengan Kesultanan Sintang yang ditetapkan,
yaitu:

 Ditetapkan Sintang sebagai Kesultanan Islam;


 Pemimpin Kesultanan SIntang bergelar Sultan;
 Disusunnya Undang-Undang Kesultanan yang terdiri dari 32 pasal;
 Didirikannya masjid sebagai tempat ibadah; dan
 Dibangunnya istana kesultanan.

Pada bulan Juli 1822 dimasa pemerintahan Sultan Sri Paduka Tuanku
Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad Qomaruddin terjadi kontak/hubungan
resmi Kesultanan Sintang dengan bangsa Belanda. Kontak tersebut diawali
dengan datangnya rombongan asal Belanda yang pertama di bawah
pimpinan Mr. J.H. Tobias, seorang komisaris dari Kurt van Borneo. Untuk
melakukan perdagangan dengan kesultanan Sintang.

Pada bulan November tahun 1822 Sultan Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad
Qomaruddin meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian
dipegang oleh Sultan Sri Paduka Tuanku Pangeran Adipati Muhammad
Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan dari Belanda yang kedua di
bawah pimpinan Dj. van Dougen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat
tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad
Alkadrie sebagai juru bicara. Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah
kesepakatan dan kerjasama dagang yang tertuang dalam Voorloping
Contract  (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2
Desember 1822 M. Setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (tahun
1823, 1832, 1847, 1855). Melalui perjanjian-perjanjian tersebut, Belanda
mulai melakukan inventarisasi terhadap pemerintahan dalam negeri
Kesultanan Sintang.

Hingga masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Sintang tetap berdiri


sampai tahun 1966 berubah menjadi Daerah Tingkat II (Kabupaten Sintang
di Provinsi Kalimantan Barat). Sumbangan terbesar dari Kesultanan Sintang
bagi negara Indonesia adalah digunakannya Lambang Kesultanan SIntang
sebagai inspirasi terciptanya Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara
Republik Indonesia.

Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang menjalin hubungan dengan


Borneo di awal Abad ke-16. Belanda tiba dengan kapal East Indische
Coopagnie (VOC) sekitar tahun 1600. Mereka datang sebagai saudagar.
Mereka menjalin hubungan dengan Banjermasin (1609) dan Pontianak
(1778) tetapi hubungan ini tidak memberikan keuntungan banyak bagi
Belanda. Belanda tertarik kembali menjali hubungan dengan Borneo setelah
adanya masa peralihan pemerintahan Inggris (1811-1816). Pembajakan
merajalela di pulau tersebut, sehingga Belanda harus membangun kekuatan
untuk menghentikan gangguan terhadap kegiatan perdagangan mereka.
Alasan resmi yang digunakan Belanda pada saat itu ialah untuk
membebaskan orang Dayak dari penindasan.

Belanda pertama kali datang ke Sintang pada bulan Februari 1822. Sebuah
misi dengan komisaris J. Tobias, C. Hartmann dan E. Franciss menyusuri
Sungai Kapuas memasuki daerah-daerah pedalaman. Misi pertama ini
bertujuan untuk “menginspeksi” berbagai kerajaan di sepanjang Kapuas dan
untuk berkenalan dengan penguasa-penguasa setempat. Raja di Sintang,
speerti halnya Raja Sekadau dan Sanggau, tidak tertarik dengan misi
delegasi Belanda tersebut, sehingga menimbulkan ketidak senangan J.
Tobias. Kemudian J. Tobias mengutus D.J von den Dungen Grovonius ke
berbagai kerajaan di Kapuas untuk mengumpulkan sebanyak mungkin
informasi. Laporan perjalanan ini menjadi sumber kepustakaan yang sangat
penting tentang situasi di Sintang pada awal Abad ke-19. Selain mencari
indormasi, Grovonius juga mengadakan perjanjian dengan penguasa
setempat. Pada saat itu penguasa Sintang, Sultan Atjep Muhammad
Jamaluddin baru saja meninggal, sehingga perjanjian pertama dibuat antara
Gronovius dengan pemimpin anggota keluarga dari pihak kerajaan.
Perjanjian ini dibuat dalam suasana permusuhan dan intimidasi. Dengan
adanya penandatanganan perjanjian ini, Sintang mengakui bahwa Belanda
menjadi pemimpin mereka. Selanjutnya, berbagai konflik diatasi oleh
Residen Borneo Barat an mereka dilarang menjalin hubungan dengan
penguasa lain. Sebagai imbalannya, Sintang mendapat perlindungan dari
Belanda. Maksud perjanjian tersebut adalah untuk membangun kekuasaan
Belanda dan menciptakan situasi menguntungkan dalam bidang
perdagangan.

Walaupun demikian, Belanda tidak yakin dengan perjanjian tersebut. Pada


tahun 1823, Ketua Komisi C.L. Hartmann membentuk sebuah resimen
beranggotakan enpat puluh tentara dan mula membangun benteng. De
Sturler menjadi komandan pos ini. perjanjian 1822 juga diperbarui dan tanpa
batas waktu. Namun, Sintang belum memiliki pemimpin yang baru. Para
pemimpin keluarga kerajaan memilih Abang Sinkel sebagai raja baru tapi
Hartmann tidak mempercayai pangeran ini. Beliau mengatur bahwa Abang
Sinkel boleh menjadi raja di Sintang tetapi yang menjalankan kekuasaan
kerajaan adalah pamannya, yaitu Ade Djun. Ade Djun mendapat gelar
Pangeran Ratoe Kesoema Negara.

De Sturler mendapatkan kesulitan di Sintang. Benteng dalam keadaan


memprihatinkan, begitu juga dengan pasukan tentaranya. Dia tidak memiliki
kekuasaan untuk menghentikan tradisi pemenggalan kepala dan untuk
mengakhiri konflik antara Sintang dengan daerah-daerah di sekitarnya. Dia
meninggalkan benteng tanpa ijin tahun 1825. Akhirnya benteng diabaikan
begitu saja pada tahun 1827. Kemudian benteng tersebut dibakar pada
tahun 1830 oleh Pangeran Koening, saudara Pangeran Ratoe. Karena
Belanda harus menghadapi perang yang dinamakan Perang Jawa (1825-
1830) maka investasi di Borneo berakhir. Tidak ada uang maka tidak ada
penjajahan dan Sintang dibiarkan bebas selama 30 tahun.

Anda mungkin juga menyukai