Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

TEORI-TEORI BELAJAR

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Silpa Nurrjanah NIM (1930210050)


Selly Ang
nggraini NIM (1930210132)

Dosen Pengampu:
MUHTAROM, M.Pd.I.

PROGRAM STUDI
S PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
D
FAKULT
LTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIIN RADEN FATAH PALEMBANG
2020
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori
Menurut Wheeler teori adalah suatu prinsip atau serangkaian prinsip yang menerangkan sejumlah
hubungan antara berbagai fakta dan meramalkan hasil-hasil baru berdasarkan fakta-fakta tersebut. Teori
adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan
sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan
maksud menjelaskan fenomena alamiah. Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan teori sebagai ide pemikiran
“pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa variabel- variabel
dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan.1
Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial. Teori adalah seperangkat konsep atau
konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan
cara memerinci hubungan sebab-akibat yang terjadi.
Adapun menurut beberapa ahli yaitu sebagai berikut :
1. Menurut pendapat Emory Cooper, mengatakan “Teori adalah suatu kumpulan konsep, definisi, proposisi,
dan variabel yang berkaitan satu sama lain secara sistematis dan telah digeneralisasi sehingga dapat
menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena (fakta-fakta) tertentu”.2
2. Menurut Siswoyo, bahwa “Teori adalah sebagai seperangkat konsep dan definisi yang saling berhubungan
yang mencerminkan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena dengan menerangkan hubungan
antar variabel, dengan tujuan untuk menerangkan dan meramalkan fenomena”.3
3. Menurut Hoy & Miskel, “Teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat
digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi”.4
Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial. Teori adalah seperangkat konsep atau konstruk,
defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan cara
memerinci hubungan sebab-akibat yang terjadi.
Dari bukunya Pak Erwan dan Dyah (2007) teori menurut definisinya adalah serangkaian konsep yang memiliki
hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena sosial tertentu. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa
teori merupakan salah satu hal yang paling fundamental yang harus dipahami seorang peneliti ketika ia
melakukan penelitian karena dari teori-teori yang ada peneliti dapat menemukan dan merumuskan
permasalahan sosial yang diamatinya secara sistematis untuk selanjutnya dikembangkan dalam bentuk
hipotesis-hipotesis penelitian.
Teori adalah seperangkat konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang memberikan, menjelaskan, dan
memprediksikan phenomena. Ada dua macam teori, yaitu teori intuitif dan teori ilmiah. Teori intutif adalah teori
yang dibangun berdasarkan pengalaman praktis. Sedangkan teori ilmiah (teori formal) adalah teori yang
dibangun berdasarkan hasil-hasil penelitian. Guru lebih sering menggunakan teori jenis yang pertama.
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan
sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan
menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Labovitz dan
Hagedorn mendefinisikan teori sebagai ide pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai
“menentukan” bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan.
Kata teori memiliki arti yang berbeda-beda pada bidang-bidang pengetahuan yang berbeda pula tergantung
pada metodologi dan konteks diskusi. Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu
dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Selain itu, berbeda dengan teorema pernyataan teori
umumnya hanya diterima secara “sementara” dan bukan merupakan pernyataan akhir yang konklusif. Hal ini
mengindikasikan bahwa teori berasal dari penarikan kesimpulan yang memiliki potensi kesalahan, berbeda
dengan penarikan kesimpulan pada pembuktian matematika. Sedangkan secara lebih spesifik di dalam ilmu
sosial, terdapat pula teori sosial. Neuman mendefiniskan teori sosial adalah sebagai sebuah sistem dari
keterkaitan abstraksi atau ide-ide yang meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia sosial.

1
M. Dalyono. Teori Belajar, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), hlm 27
2
Husein Umar. Metode Riset Ilmu Administrasi, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm 112
3
Mardalis. Metode Penelitian Kuantitatif. (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm 132
4
Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Cv Alfa Beta, 2010), hlm 89

1
Teori dalam ilmu pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami atau
fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode ilmiah. Teori juga
merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya.
Dalam istilah ilmiah, teori itu benar-benar sebuah hipotesis yang telah terbukti sesuai dengan fakta-fakta dan
yang memiliki kualitas prediktif. Dengan definisi tersebut, dan tanpa mendevaluasi keyakinan, tidak semua
keyakinan akan dianggap sebagai teori. Suatu teori harus dapat diuji kebenarannya, karena jika tidak, maka dia
bukanlah suatu teori.
Suatu Teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut
cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji
secara empiris. Teori merupakan hubungan dua variabel atau lebih, yang telah diuji kebenarannya. Variabel
merupakan karakteristik dari orang-orang, benda-benda atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang
berbeda, misalnya usia, jenis kelamin, dsb.
Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa teori (yang berasal dari kata: thea) selalu menggunakan bangunan
berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan), juga simbolis dalam menjelaskan suatu
fenomena.
Teori sebagai buah pikir manusia tentu tidak datang begitu saja, penemuan atas sebuah teori disandarkan pada
suatu hasil penelitian dan pengujian secara berulang-ulang hingga menghasilkan sebuah hipotesis dan beranak
menjadi sebuah teori.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai teori yang dikontraskan dengan praktik yang ada, atau teori
dengan fakta. Teori tidak selamanya selalu sama dengan fakta yang terjadi pada kenyataannya, atau das sollen
dengan das seinnya tidak sama, bertentangan, teori seolah menjadi entitas yang berbeda dengan faktanya.
Maka tidak heran jika kini banyak penelitian-penelitian hukum khususnya yang mencoba untuk menguji
kebenaran teori dengan fakta.
Dalam lapangan ilmu social yang sangat dinamis pengujian atas sebuah teori adalah keniscayaan. Teori-teori
yang sudah ada sebelumnya belum tentu dapat diterapkan kembali dalam perkembangan interaksi antar
manusia yang semakin komleks, dan untuk itu kemudian munculah teori-teori baru yang mementahkan teori-
teori lama. Dan disinilah pengunaan dan pemilihan teori dalam sebuah penelitian menjadi sangat penting
Secara umum istilah teori dalam ilmu sosial mengandung beberapa pengertian sebagai berikut:
Teori adalah abstraksi dari realitas.
Teori terdiri dari sekumpulan prinsip-prinsip dan definisi-definisi yang secara konseptual mengorganisasikan
aspek-aspek dunia empiris secara sistematis.
Teori terdiri dari teorema-teorema yakni generalisasi yang diterima/terbukti secara empiris.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori pada dasarnya merupakan
“konseptualisasi atau penjelasan logis dan empiris tentang suatu fenomena”.
Teori memiliki dua ciri umum:
Semua teori adalah “abstraksi” tentang suatu hal. Dengan demikian teori sifatnya terbatas.
Semua teori adalah konstruksi ciptaan individual manusia. Oleh sebab itu sifatnya relatif dalam arti tergantung
pada cara pandang si pencipta teori, sifat dan aspek hal yang diamati, serta kondisi-kondisi lain yang mengikat
seperti waktu, tempat dan lingkungan sekitarnya.
Teori adalah kerangka yang membantu kita menyelesaikan atau mengelompokkan berbagai perilaku-perilaku
kita dan menyatukannya menjadi hal yang bermakna.
Teori adalah system abstrak dari sebuah konsep dengan indikasi hubungan diantara konsep-konsep tersebut
yang dapat membantu kita memahami sebuah fenomena.5

B. Pengertian Belajar
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari
pengalaman atau praktek yang diperkuat. Belajar merupakan hasil dari interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilaku. Menurut teori ini
dalam belajar yang penting adalah bahwa bentuk input dan output dari stimulus dalam bentuk tanggapan.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkankan bahwa belajar adalah perubahan serta
peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diberbagai bidang yang terjadi akibat melakukan
interaksi terus-menerus dengan lingkungannya. Kata kunci dalam belajar adalah perubahan tingkah laku.

5
Ismayad Dwi Agustina. Pengertian Teori. https://ismayadwiagustina.wordpress.com/2012/11/26/pengertian-teori/ Diakses 22 Mei 2020

2
Belajar merupakan sesuatu yang berproses dan merupakan unsur yang fundamental dalam masing-masing
tingkatan pendidikan. Agar lebih memahami apa arti belajar, kita dapat merujuk pada pendapat beberapa ahli
berikut ini:
1. M. Sobry Sutikno
Menurut M. Sobry Sutikno, pengertian belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang
untuk mendapatkan suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya. Dalam hal ini, perubahan adalah sesuatu yang dilakukan secara sadar (disengaja)
dan bertujuan untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya.
2. Thursan Hakim
Menurut Thursan Hakim, definisi belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia yang
ditunjukkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan,
pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, ketrampilan, daya fikir, dan kemampuan lainnya.
3. Skinner
Menurut Skinner, pengertian belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang
berlaku secara progresif.
4. C. T. Morgan
Menurut C. T. Morgan, pengertian belajar adalah suatu perubahan yang relatif dalam menetapkan tingkah
laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang telah lalu.
5. Hilgard & Bower
Menurut Hilgard & Bower, pengertian belajar adalah perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu
situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi tersebut.6

C. Pengertian Teori Belajar


Para psikologi memunculkan istilah teori belajar setelah mereka mengalami kesulitan ketika akan
menjelaskan proses belajar secara menyeluruh. Berawal dari kesulitan tersebut munculah beberapa persepsi
berbeda dari para psikolog, sehingga menghasilkan dalil-dalil yang memiliki inti bahwasanya teori belajar
adalah alat bantu yang sistematis dalam proses belajar.7
Teori-teori belajar di kalangan psikolog bersifat eksperimental, dimana teori yang mereka kemukan hanyalah
berupa pendapat dari pengalaman mereka ketika dalam kegiatan belajar berlangsung. Dari interaksi tersebut,
para psikolog menyusun proporsisi yang mereka tekuni sehingga menghasilkan madzhab yang mereka
ciptakan itu bisa digunakan sebagai landasan pola pikir mereka. Teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip
umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta atau
penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
Teori belajar memiliki empat fungsi yaitu :
1. Menjadi kerangka kerja bagi pelaksanaan penelitian.
2. Memberikan pengorganisasian kerangka kerja bagi item informasi tertentu.
3. Mengungkapkan kompleksitas peristiwa-peristiwa sederhana secara jelas.
4. Mengorganisasi ulang pengalaman sebelumnya.
Dalam sejarah perkembangan teori belajar, setidaknya telah terjadi tiga kali pergantian paradigma.
Pertama, paradigma behaviorisme yang menekan kan proses belajar sebagai perubahan relatif permanen
pada perilaku yang dapat di amati dan timbul dari hasil pengalaman. Dengan demikian, penekanannya hanya
pada perilaku yang dapat di lihat, tanpa memperhatikan perubahan-perubahan atau proses-proses internal
apa pun yang terlibat di dalamnya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: teori Classical Conditioning dan
Ivan Pavlov, Connectionism dari Thorndike, teori Behaviorisme dari Waston, teori Sistem dari Carlk Hull,
teori Contiguity dari Edwin Guthrie, dan Operant Conditioning dari B.F. Skinner.
Kedua, paradigma kognitivisme yang berpendapat bahwa belajar tidak hanya ditunjukkan oleh perubahan
perilaku yang dapat di amati, akan tetapi belajar adalah perubahan struktur mental internal ini meliputi
pengetahuan, keyakinan, keterampilan, harapan, dan mekanisme lainnya. Dengan demikian, fokus paradigma
ini adalah pada potensi perilaku. Yang termasuk dalam paradigma ini adalah teori Gestalt, teori Puposive
Behaviorism dari Edward Tolman, dan Field Theory dari Kurt Lewin, Information Processing Theory, dan teori
Atribusi dari Weiner.

6
Harifa. Pembelajaran. (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm 12
7
Mahmud. Psikologi Pendidikan.(Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 72

3
Ketiga, paradigma kontruktivisme yang memandang belajar sebagai proses kontruksi pengetahuan oleh
individu berdasarkan pengalaman. Teori-teori dalam paradigma ini diantaranya adalah teori Cognitive
constructivist dari Jean Piaget dan teori Sociocultural Contructivist dari Vygotsky.8

D. Macam-macam Teori Belajar


1. Teori Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respon
pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif
atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan (Arya, 2010). Teori ini lalu berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik yang menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek
pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan
pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah
obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke
orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari
proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan
akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan
sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti
dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan behaviorisme merupakan kunci dalam
mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan
manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku
yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.
Ciri dari teori behaviorisme adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya
latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang
diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa
tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori behavioris. Pelajar
menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami materi dan material sering terisolasi
dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai
pendidikannya sendiri.

8
Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2013), hlm 103

4
a. Tokoh Teori Belajar Behaviorisme
Menurut Anonim (2010), ada beberapa tokoh teori belajar behaviorisme, antara lain: Pavlov, Thorndike,
Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut ini akan dibahas karya-karya para tokoh aliran
behaviorisme dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
b. Teori Belajar Behavioristik Menurut Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter
Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari
Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi
direktur departemen fisiologi pada institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai
fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun
1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikology behavioristik di Amerika. Karya
tulisnya adalah Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927).
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan
behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun
bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang
benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku
manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen
dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan
manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan
kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing
tersebut. Kin sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu,
baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan
berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan
maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan
yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk
timbulnys air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov
menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek
bersyarat yang timbul tidak disadari manusia. Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau
pembiasaan dapat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng
sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon
yang dikondisikan.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat
dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan
pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh
stimulus yang berasal dari luar dirinya.
c. Teori Belajar Behavioristik Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang
dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan
bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan
teori koneksionisme Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni: 1) hukum efek; 2) hukum
latihan, dan 3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal
tertentu dapat memperkuat respon.
d. Teori Belajar Behavioristik Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan
respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui

5
adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap
faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
e. Teori Belajar Behavioristik Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian
belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan
hidup. Oleh sebab itu, Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus
(stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
f. Teori Belajar Behavioristik Menurut Edwin Guthrie
Asas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai
suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler,
1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan
tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar
tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon
bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus
agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang
tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar
harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan
tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.
g. Teori Belajar Behavioristik Menurut Skinner
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya,
yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh
tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-
stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi
inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku
seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat
respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental
sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat
yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
h. Teori Belajar Behavioristik Menurut Bandura
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang
psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang
sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif
dari orang dewasa disekitarnya.
Menurut Bandura dalam eksperimennya terdapat faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi yaitu:
Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik.
Reprodukdi motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Selain itu juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip prinsip sebagai
berikut:
Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan
mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya.
Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai dan
perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.

6
Karena melibatkan atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura ini dianggap sebagai kerangka Teori
Behaviour Kognitif, yaitu teori belajar sosial yang membantu memahami terjadinya perilaku agresi dan
penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku
pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.9
Ada banyak teori belajar yang termasuk paradigma behaviorisme. Tiga diantaranya yang terkenal adalah
teori Connecteonism dari Thorndike, teori Classical Conditioning dari Pavlov, dan teori Operant
Conditioning dari Skinner.
1.) Teori Connectionism
Teori connectionism ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Menurut
Thorndike, seluruh kegiatan belajar adalah didasarkan pada jaringan asosiasi atau hubungan (bonds) yang
dibentuk antara stimulus dan respons. Karena itu, teori ini disebut juga S-R bond theory atau S-R
Psychology Of Learning. Asumsinya bahwa otak siswa dapat menyerap dan menyimpan jejak-jejak mental
aspek individual dari sebuah situasi. Bila aspek-aspek tersebut dirasakan, mereka mengaktifkan jejak- jejak
mental yang berhubungan. Jejak mental tersebut pada gilirannya berkaitan secara kolektif dengan respons-
respons khusus. Bila asosiasi tersebut terbentuk utuh, setiap waktu bila seseorang siswa dihadapkan pada
situasi maka ia pasti akan menunjukkan respons tertentu.
Selain itu, teori ini juga disebut trial and error learning. Hal ini karena hubungan yang terbentuk antara
stimulus dan respons tersebut timbul terutama melalui trial and error , yaitu suatu upaya mencoba berbagai
respons untuk mencapai stimulus meski berkali-kali mengalami kegagalan. Proses ini kemudian oleh
Thorndike juga disebut sebagai connectionisme, atau learning by selecting and connecting.
Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan berbagai jenis hewan percobaan, diantaranya kucing.
Pertama-tama kucing di letakkan di dalam sangkar berjeruji (yang disebut puzzle box) yang dilengkapi
dengan peralatan seperti tuas dan gerendel. Peralatan tersebut dipasang sedemikian rupa sehingga
memungkinkan kucing tersebut untuk dapat membuka sangkat dan dapat menjangkau makanan yang
terletak di depan sangkar, dengan suatu usaha. Mula-mula kucing mengeong, mencakar, melompat, dan
berlari-larian, namun berkali-kali usaha itu gagal. Kucing itu terus berusaha sehingga akhirnya berhasil,
pintu sangkar terbukadan kucing dapat mencapai makanan. Thorndike juga membuat rumusan hukum
belajar Tiga hukum belajar mayor yang dikemukakan oleh Thorndike adalah :
a.)Law of readiness (hukum kesiapan)
Belajar akan terjadi apabila ada kesiapan dari individu. Manakala organisme, baik hewan maupun
manusia, memiliki kesipaan untuk belajar, maka ia akan mengalami kepuasan, tetapi jika ia tidak siap
maka akan terjadi kekecewaan. Thorndike percaya bahwa kesiapan adalah kondisi yang penting, karena
kepuasan atau frustasi bergantung pada kondisi kesiapan individu. Kalau individu tidak siap, akan
mengalami kegagalan dalam belajar, dan kegagalan tersebut pada akhirny akan menyebabkan ia
menjadi frustasi. Oleh karena itu, sekolah tidak dapat memaksa siswa untuk belajar jika mereka tidak
siap, baik secara biologis maupun secara psikologis.
b.) Law of exercise (hukum latihan)
Yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk
semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan yang telah terbentuk
akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon yang dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut
akan semakin kuat. perilaku sebagai hasil belajar terbentuk karena adanya hubungan antara
stimulus dan respons. Hubungan tersebut diperkuat atau diperlemah oleh tingkat intensitas dan diurasi
pengulangan hubungan atau latihan. Jika tidak terjadi latihan selama beberapa waktu, hubungan akan
melemah. Dan sebalilknya. Implikasi dalam proses pembelajaran, guru perlu memberikan kesempatan
latihan sebanyak mungkin pada siswa, sehingga mencapai hasil yang diharapkan. Setelah tahun 1930,
Thorndike merevisi hukum ini. Latihan saja tidak cukup, latihan hanya membawa hasil bila diikuti atau
disertai oleh hadiah (reward) atau hukuman (punishment).
c.) Hukum akibat (law of effect)
Yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan
maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh
seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai
dan asosiasi akan diperkuat. jika sebuah respons menghasilkan efek yang menyenangkan, hubungan

9
Safnowandi. “Teori Behaviorisme”. https://safnowandi.wordpress.com/2012/11/03/teori-behaviorisme/ Diakses 22 Mei 2020

7
antara stimulus dan respond akan semakin kuat.dan sebaliknya implikasi dalam proses pembelajaran,
guru perlu memberikan hadiah bagi perilaku positif yang ditunjukan oleh siswa, sebaliknya pada perilaku
negatif perlu diberikan hukuman. Setelah tahun 1930, Thorndike juga merevisi hukum ini. Menurutnya,
dalam keadaan dimana aksi simetris mungkin dilakukan, hadiah lebih kuat pengaruh dari hukuman.10
2.) Teori Classical Conditioning
Teori classical conditioning berkembang berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov
(1849-1936).pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui bagaimana refleks bersyarat terbentuk dengan
adanya hubungan antara conditioning stimulus (CS), unconditioned stimulus ( UCS), dan cenditioned
stimulus (CR). Pertama- tama anjing dioperasi oleh salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung
yang dihubungkan dengan ppa kecil sehingga jika ir liurnya keluar dapat dilihat oleh peneliti. Sebelum
dilakukan eksperimen anjing selalu mengeluarkan air liurnya setiap kali melihat makanan, namun ketika
hanya mendengar bunyi bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging
(UCS). Setelah dilakukan eksperimen secara berulang-ulang, hasilnnya anjing mengeluarkan air liur
(CR) meski hanya mendengarkan bunyi bel saja (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS
dihadirkan berulang secara bersamaan. secara singkat eksperimen tersebut digambarkan sebagai berikut:
Sebelum eksperimen : pemberian makanan (UCS) air liur keluar (CR) Bunyi bel (CS)
air liur tidak keluar (CR)
Eksperimen : bunyl bel (UCS) + pemberian makanan
(CS) air liur keluar (CR)
Setelah eksperimen : bunyi bel (CS) air liur keluar (CR).
Masalah selanjutnya yang diteliti oleh pavlov ialah apakan refleks bersyarat telah terbentuk itu dapat
dihilangkan. Setelah melakukan serangkaian eksperimen, akhirnya ia berkesimpulan bahwa refleks
bersyarat yang telah terbentuk itundapat dihilangkan.
a.) Refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang karena stimulus yang mengganggu
(hilang untuk sementara), dan
b.) Refleks bersyarat itu dapat dihilangkan dengan proses peryaratan kembali (reconditioning).
Masalah lain yang diteliti oleh pavlov adalah tentang daya diskriminasi anjing, yaitu sejauh mana anjing
dapat melakukan perbedaan antara bermacam-macam stimulus. Untuk itu, pavlov juga melakukan
berbagai eksperimen, hanya bedanya kali ini ia menggunakan stimulus yang menggunakan lebih dari satu
stimulus bersyarat. Hasilnya menunjukan bahwa daya diskriminasi anjing itu maksimum hanya samapai
pada tiga jenis stimulus. Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu
hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang
dikuasai individu.
Dalam Kamus Psikologi disebutkan juga beberapa pengertian Behaviorisme:
1.) Pandangan beberapa ahli psikologi pada awal abad 20 yang menentang metode introspeksi;
dan menganjurkan agar psikologi dibatasi pada penelaahan perilaku yang terlihat (observable behavior)
untuk dijadikan dasar pertimbangan data ilmiah.
2.) Suatu aliran (dan sistem) psikologi yang dikembangkan oleh John B. Watson; suatu pandangan umum
yang menekankan peranan perilaku yang bias diamati (terbuka, overt behavior) serta memperkecil arti
dari proses-proses mental.
3.) Pandangan yang menyatakan bahwa perilaku manusia dan hewan bias dimengerti, bias diramalkan
dan dikontrol tanpa bantuan keterangan-keterangan yang menyangkut keadaan mentalnya. Suatu aliran
psikologi, yang menekankan agar psikologi dibatasi pada studi mengenai perilaku saja.11
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun
1913 yan berpendapat bahwa perilaku harus merupakan unsure subyek tunggal psokologi.
Behaviorisme merupakan aliran revolusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar sejarah yang
cukup dalam.
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksi (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan
laporan-laporan subjektif) dan juga Psokoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak

10
Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2013), hlm 110
11
Kartini Kartono dan Dali Gulo. Kamus Psikologi, (Bandung: Cv Pionir Jaya, 2000), hlm 45-46

8
tampak).12Teori belajar psiKologi behaviorisme dikemukakan oleh para psikolog behaviorisme. Mereka
berpendapat, bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan
(reinforcement”) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat
antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya.
Guru-guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku murid-murid merupakan
reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan bahwa segenap
tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan
mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tinkah laku tersebut.
Psikologi aliran behaviorisme mulai berkembang sejak lahirnya teori-teori tentang belajar.13 Tokoh-
tokohnya antara lain E.L. Thorndike, Ivan Petrovich Pavlov, B.F. Skinner, dan Bandura. Berdasarkan
pengalaman penelotian masing-masing, yang berbeda satu sama lain, mereka menciptakan teori belajar
yang berbeda, tetapi mempunyai kesamaan dalam prinsipnya, yaitu bahwa perubahan tingkah laku terjadi
karena (semata-mata) lingkungan.
Ciri- ciri aliran Behaviorisme:
(1) Mementingkan pengaruh lingkungan.
(2) Mementingkan bagian-bagian dari pada keseluruhan.
(3) Mementingkan reaksi psikomotor.
(4) Mementingkan sebab-sebab masa lampau.
(5) Mementingkan pembentukan kebiasaan.
(6) Mengutamakan mekanisme terjadinya hasil belajar.
(7) Mengutamakan “trial and error”.14
Dalam buku lain juga disebutkan bahwa ciri-ciri utama aliran Behaviorisme antara lain:
1) Aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari kesadarannya, melainkan hanya mengamati
perbuatan dan tingkah laku yang berdasarkan kenyataan. Pengalaman- pengalaman batin
dikesampingkan. Dan hanya perubahan dan gerak-gerik pada badan sajalah yang dipelajari. Maka sering
dikatakan bahwa Behaviorisme adalah psikologi tanpa jiwa.
2) Segala macam perbuatan dikembalikan kepada reflex Behaviorisme mencari unsure- unsur yang paling
sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan kesadarn, yang dinamakan reflex. Refleks adalah reaksi
yang tidak disadari terhadap suatu perangsang. Manusia dianggap suatu kompleks refleks atau suatu
mesin reaksi.
3) Behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua adalah sama.
Menurut Behaviorisme pendidikan adalah maha kuasa. Manusia hanya makhluk yang
berkemban karena kebiasaan-kebiasaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi refleks sekehendak
hatinya.15
Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia. Timbulnya aliran ini disebabkan rasa tidak
puas terhadapa teori psikologi daya dan teori mental state. Sebabnya ialah karena aliran-aliran terdahulu
hanya menekankan pada segi kesadaran saja.
Menurut aliran behaviorisme, bahwa:
a. The image and memories consist of activites engaged in by the organism. We wake certain
responses, we act and this activities are knnown as images.
b. Behaviorism in psikology is merely the name for that type of investigation and theory which assumes
that men’s educational, vocation and social activities can be completely described or explained as the
result of same (and other) forces used in the natural sciences.
Didalam behaviorisme masalah matter (zat) menempati kedudukan yang utama. Jadi, melalui kelakuan
segala sesuatu tentang jiwa dapat diterangkan. Dengan memberikan rangsangan (stimulus) maka siswa
akan merespons. Hubungan antara stimulus – respons ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan
otomatis pada belajar.
Akan tetapi, teori behaviorisme ini banyak dikritik karena memiliki bebrapa kelemahan dan sulit
diaplikasikan pada proses belajar manusia. Beberapa kritik yang sering dimunculkan adalah sebagai
berikut :

12
Muhammad.”Psikologi Aliran Behaviorisme” http://www.psikologi.or.id. Diakses 02 Maret 2020
13
M. Dalyono. Psikologi Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), hlm 30
14
Mustaqim. Ilmu Jiwa Pendidikan, Edisi Revisi. (Semarang : Cv Andalan Kita, 2010), hlm 56
15
Abu Muhammad dan M. Umar.Psikologi Umum, Edisi Revisi. (Semarang: Cv Andalan Kita, 1992), hlm 27-28

9
1. Teori ini sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, teori ini juga tidak mampu
menjelaskan penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respons.
2. Pandangan behavioristik ini juga kuran dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi dan berfikir
pembelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguuatan yang sama. Dapat kita ketahui bahwa
adanya stimulus dan respons yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh emosi
dan pikiran yang turut membentuk perilaku seseorang.
3. Teori behaviorisme juga cenderung mengarahkan pembelajaran untuk berfikir linier, konvergen, dan
tidak kreatif, dan tidak produktif, pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses
pembentukan atau shaping, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan
atau shaping. Meski banyak mengandung kelemahan, banyak teori daalam paradigma behavioristik
memiliki pengaruh yang besar terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan
pembelajaran hingga kini.
Beberapa implikasi teori-teori behaviorisme dalam pendidikan dan pembelajaran ialah sebagai berikut:
1. Tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai
aktivitas ”mimetic”, yang menuntuk pembelajaran untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipeljari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Pembelajaran mengikuti pembelajaran
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak berdasarkan pada buku teks/buku wajib
dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
2. Peran pendidik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-
bagian tersebut disusun secara hierarki, dari sederhana sampai yang kompleks.
3. Peran pembelajaran sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan pengutan dari
pendidik. Proses pembelajaran kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajaran untuk
berkreasi, berekperimentasi, dan mengenbangkan kemampuan sendiri. Akibatnya pembelajaran kurang
mampu untuk berkembang sesuai dengan potendi yang ada pada diri mereka . demikian juga ketaatan
pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pembelajaran ialah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di
luar diri pembelajaran.
4. Proses pembelajaran memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti tetap tidak berubah
pengetahuan telah tersusun dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pembelajar. Pembelajaran diharapkan sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinys, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
5. Proses belajar terjadi akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dapat menunjukan perubahan perilakunya. Proses yang terjadi antara stimulus dan
respon berupa reaksi atau tanggapan pembelajaran terhadap stimuus yang diberikan oleh guru
tersebut. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
6. Evaluasi hasil belajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang
bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evakuasi. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar, maksudnya bila pembelajarn menjawab secara benar maka itu sesuai dengan
keinginan guru. Teori ini menekankan evalusi pada kemampuan pembelajaran secara individual.16
Diantara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen tedapat tiga macam yang sangat
menonjol, yakni: connectionism, cllassical conditioning, dan operant conditioning.
a. Koneksionisme
Teori kenoksianisme (connectionism) adalah teori yang dikemukan dan dikembangkan oleh Edward
L.Thorndike (1874-1949). Teori ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui
fenomena blajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan
peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu. Tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel
tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh
makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.
16
Nyanyu Khodija.Psikologi Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm 63-75

10
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzel box (peti teka-teki) itu merupakan stimulasi
stimulus yang meransang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang
adadimuka ointu, secara kebetulzn kucing itu mampu menekan pengungkit serta kenukaklh pintu
sangkat berikut.
Dua hal pokok yang bisa kita ambil dari fenomena ini, pertama kucing yang lapar seadainya kucing itu
keluar sudah tentu tak akan berusaha untuk keluar. Hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti
rasa lapar) merupakan hal yang sangat
vital dalam belajar.
b. Pembiasaan Klasik
Teori pembiasaan klasik(classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang
dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur
penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjedinyaferleks tersebut.
Dalam eksperimennya, pavlov mrnggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan
antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan
unconditioned- response (URC). CS adalah ransangan yang mampu mendatangkan respons yang
dipelajari sedangkan respons dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti ransangan yang
menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Mula-mula pavlov menggunakan anjing sebagai bahn percobaan siikat sedemikian rupa dan pada
salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube).
Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenal eksperimen) secara alami anjing itu selalu
mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula
anjing itu menunjukan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama
dengan pemberian mekanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini
selesai, suara bel tadi (CS) didengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS), apa yang terjadi? Ternyata
anjing percobaab tai mengeluarkan air liur juga(CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS).
Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Berdasarkan eksperimen diatas, semakin jelas bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan
adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi pada prinsipnya hasil eksperimen simpuan yang
dapat kita tarik dari hasil eksperimenn pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) slalu disertai
dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan
respons atau perubahan yang kita hendaki yang dalam hal ini CR.
c. Pembiasaan Perilaku Respons
Teori pembiasan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia
paling muda dan masih sangat berpengaruh dikalangan para ahli psikologi belajar masa kini. “operant”
adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungn yang dekat.
Tidak seperti dalam respoondent conditioning (yang responnya didatangi oleh stimulus tertentu),
respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang
ditimbulkan oleh reinforce. Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainya
seperti dalam classical respondent conditioning.dalam eksperimen ini menggunakan seekor tikus yang
tadi mula-mula itu mengeksplorasikan peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-
benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted
behavior” (tingkah laku yang terpencar),yakni tingkah laku yang terpencar dari organisme tana
memperdulikan stimulus tertentu. Kemudian pada gilirannya, secara kebetulan salah satu emitted
behavior tersebut (seperti cakaran kaki depan atau sentuhan moncong) dapat menekankan
pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan kedalam wadahnya.
Butir-butir makana yang muncul itu merupakan reinforce bagi penekana pengungkit. Penekanan
pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan
rienforcement, yakni penguatan berupa butir- butir makanan yang muncul pada wadah makanan. Jelas
skali bahwa eksperimen skinner diatas mirip sekali dengan trial and error learning yang ditemukan oleh
thorndike selalu melibatkan satisfaction/ kepuasan, sedangkan menurut skinner fenomena tersebut
melibatkan reinforcement/penguatan.

11
Teori-teori belajar hasil eksperimen thorndike. Skinner, dan pavlov diatas prinsipal bersifat behavioristik
dalam arti lebihi menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori ini
juga bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset
psikologi behaviorisme, karakterristik belajar yang terdapat dalam teori-teori behavioritisme yang
terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan kita, sesungguhnya mengandung banyak
kelemahan. Diantara kelemahan-kelemahan teori tersebut adalah sebagai berikut:
a. Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental
yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya;
b. Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot,
padahal setiap siswa memiliki self-direction( kemampuan mengarahkan diri) dan self control
(pengendalian diri)yang bersifat kognitif dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak
menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati;
c. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diteima,
mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengan hewan.17

2. Teori Kognitivisme
Paham kognitivisme dianut oleh Gagne, yang menjelaskan bahwa hal yang patut ditumbuhkan dalam diri
manusia adalah latar kognitif manusia, sehingga bukan saja sikap yang perlu untuk ditumbuhkan pada anak
didik. Paham ini kemudian menggunakan skemata, bagan, diagram, dan media lainnya untuk memudahkan
pemahaman terhadap sesuatu ide-ide yang kompleks dan rumit. Dalam teori belajar kognitif, Jean Piaget
berpendapat bahwa proses belajar terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap asimilasi, tahap akomodasi, dan
tahap equilibrasi/penyeimbangan. Asimilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru
yang langsung diintegrasikan dan menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi
adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai suatu akibat adanya pengalaman atau adanya
informasi baru. Sedangkan penyeimbangan adalah penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belajar itu tidak hanya menerima informasi dan
pengalaman saja, tetapi juga terjadi penstrukturan kembali informasi dan pengalaman lamanya untuk
mengakomodasi informasi dan pengalam Belajar menurut teori belajar kognitivisme merupakan suatu proses
internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, informasi dan aspek kejiwaan lainnya dengan
kata lain belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat komplek. Proses belajar
terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikan dengan struktur kognitif
yang sudah dimiliki dan terbentuk didalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-
pengalaman sebelumnya. Berbeda dengan teori belajar behavioristik , teori belajar kognitif lebih
mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya . Para penganut teori ini mengatakan bahwa belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon saja tetapi belajar merupakan suatu
perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak,
dengan demikian teori belajar kognitif sering juga disebut model perceptual . Model belajar kognitif
mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi
yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Adapun teori dan tokoh yang termasuk dalam kelompok teori belajar kognitivisme antara lain:
1. Teori perkembangan kognitif (Cognitive Development Theory) Jean Piaget Menurut Piaget
perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik yaitu suatu proses yang didasarkan atas
mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan demikian semakin bertambah usia seseorang
makin kompleklah susunan syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu
berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan
menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur kognitifnya. Proses adaptasi
mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi yaitu apabila
individu menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi
sehingga cocok dengan struktur kognitif yang dipunyai sedangkan proses adaptasi yaitu suatu proses
apabila struktur kognitif yang sudah dimiliki yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima oleh
individu tersebut. Menurut Piaget proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi,
akomodasi, dan ekualibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian
17
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2013), hlm 102-108

12
informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki individu. Proses akomodasi merupakan proses
penyesuaian struktur kognitifke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekualibrasi adalah
penyesuaian berkesinambungan.
Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu lingkungan fisik, kematangan,
pengaruh sosial, dan proses pengendalian diri (equilibration). Tahap perkembangan kognitif menurut
Piaget terbagi dalam empat tahapan yaitu:
a. Periode Sensori motor (sejak lahir – 1,5 – 2 tahun) ciri pokok perkembangan pada tahap ini
berdasarkan tindakan dan dilakukan langkah demi langkah.
b. Periode Pra Operasional (umur 2-3 tahun sampai 7-8 tahun) ciri pokok perkembangan pada tahap ini
adalah pada penggunaan simbol atau bahasa tanda dan mulai berkembanganya konsep-konsep
intuitif.
c. Periode operasi yang nyata (umur 7-8 tahun sampai 12-14 tahun) ciri pokok perkembangan pada
tahapi ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak telah
memiliki kecakapan berpikir logis akan tetapi hanya dengan benda- benda yang bersifat kongkret.
d. Periode operasi formal (umur 11- 14 tahun sampai 18 tahun) ciri pokok perkembangan
pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir
kemungkinan.
2. Teori Conditioning Of Learning,
Robert M. Gagne Teori ini ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang faktorfaktor
yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya dimaksudkan untuk menemukan teori
pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-urutan
kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari hal-hal yang
lebih sulit atau lebih kompleks. Menurut Gagne belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang
diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior)
adalah hasil dari efek belajar yang komulatif. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses
tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat
kompleks. Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah mekanisme dimana seseorang menjadi
anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill, pengetahuan, attitude
(perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai
macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome. Kemampuan-kemampuan
tersebut diperoleh siswa dari Stimulus dan lingkungandan proses kognitif. Menurut Gagne belajar
dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Verbal Information (Informasi Verbal) Belajar informasi verbal merupakan kemampuan yang
dinyatakan , seperti membuat label, menyusun fakta-fakta, dan menjelaskan. Kemampuan/unjuk kerja
dari hasil belajar, seperti membuat pernyataan, penyusunan frase, atau melaporkan informasi.
b. Intellectual Skill (Skil Intelektual) Kemampuan skil intelektual adalah kemampuan siswa yang dapat
menunjukkan kompetensinya sebagai anggota masyarakat seperti; menganalisa berita-berita.
Membuat keseimbangan keuangan, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan konsep,
menggunakan rumus-rumus matematika. Dengan kata lain ia tahu “ Knowing how”
c. Attitude (perilaku) Attitude (perilaku) merupakan kemampuan yang mempengaruhi pilihan siswa
untuk melakukan suatu tindakan. Belajar melalui model ini diperoleh melalui pemodelan atau orang
yang ditokohkan, atau orang yang diidolakan. d. Cognitive strategy (strategi kognitif) Strategi kognitif
adalah kemampuan yang mengontrol manajemen belajar siswa mengingat dan berpikir. Cara yang
terbaik untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah dengan melatih siswa memecahkan
masalah, penelitian dan menerapkan teori-teori untuk memecahkan masalah ril dilapangan. Melalui
pendidikan formal diharapkan siswa menjadi self learner dan independent tinker.
3. Teori Jerome Bruner
Dasar ide Jerome Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperanan
secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu, Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya
"discovery learning", yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk
akhir. Prosedur ini berbeda dengan reception learning atau expository teaching, dimana guru
menerangkan semua informasi dan murid harus mempelajari semua bahan/ informasi . Banyak pendapat
yang mendukung discovery learning itu, di antaranya : John Dewey (1933) dengan "complete art of
reflective activity" atau terkenal dengan problem solving. Ide Bruner tersebut ditulis dalam bukunya

13
Process of Education. Di dalam buku itu ia melaporkan hasil dari suatu konferensi di antara para ahli
science, ahli sekolah/pengajaran dan pendidik tentang pengajaran science. Dalam hal ini ia
mengemukakan pendapatnya bahwa mata pelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam bentuk
intelektual, sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya
diberikan melalui cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat ke arah yang abstrak. Bruner
mendapatkan pertanyaan, "bagaimana kita dapat mengembangkan program pengajaran yang Iebih efektif
bagi anak yang muda?" Jawaban Bruner dengan mengkoordinasikan model penyajian bahan dengan cara
dimana anak dapat mempelajari bahan itu yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak. Tingkat-tingkat
kemajuan anak dari tingkat representasi sensory (enactive) ke representasi kongkrit (iconic), dan akhirnya
ke tingkat representasi yang abstrak (symbolic). Demikian juga dalam penyusunan kurikulum. Pernyataan
lain dalam Process of Education ialah tentang bagaimana mata pelajaran itu harus diajarkan. "Kurikulum
dari suatu mata pelajaran harus ditentukan oleh pengertian yang sangat fundamental bahwa hal itu dapat
dicapai berdasarkan prinsip-prinsip yang memberikan struktur bagian mata pelajaran itu". Maka di dalam
mengajar harus dapat diberikan kepada murid struktur dari mata pelajaran itu, murid harus mempelajari
prinsipprinsip itu sehingga terbentuklah suatu disiplin. Sekali murid mengetahui prinsip itu, ia menjadi
problem solver di dalam disiplin itu. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus rnemberikan kesempatan
kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau ahli
matematika. Biarkanlah murid-murid itu menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan
mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. The act of discovery
dari Bruner : 1) Adanya suatu kenaikan di dalam potensi intelektual. 2) Ganjaran intrinsik lebih ditekankan
daripada ekstrinsik. 3) Murid yang mempelajari bagairnana menemukan berarti murid itu menguasai
metode discovery learning. 4) murid lebih senang mengingat informasi. Implikasi teori belajar Bruner
dalam pembelajaran adalah dengan menyajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda
ajarkan. Misalnya, contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segi ernpat sedangkan bukan contoh
adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran. Contoh lain dengan membantu siswa
untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan pertanyaan kepada siswa
seperti berikut ini, "apakah nama bentuk ubin yang sergitiga digunakan untuk menutupi lantai rumah?"
Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan? Atau dengan memberikan satu pertanyaan dan
biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri. Misalnya, jelaskan dari bangun apa ubin tersebut?
4. Teori Belajar Bermakna
Teori-teori belajar yang., ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar asosiatif atau belajar
menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa. Belajar seharusnya merupakan asimiliasi
yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimiliasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan
yang telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif. Struktur kognitif merupakan struktur organisasional
yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsurunsur pengetahuan yang terpisali-pisah
ke dalam suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa
perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
Yang paling awal mengemukakan konsepsi ini adalah Ausubel. Advance organizers yang juga
dikembangkan oleh Ausubel merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitiI di dalam merancang
pembelajaran. Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru karena merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi
atau ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa yang dipelajari dan hubungannya dengan materi yang
telah ada dalam struktur kognitif siswa. jika ditata dengan baik. Advance organizers akan memudahkan
siswa mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang telah
dipelajarinya. Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang dikemukakan oleh Ausubel
tersebut, dikembangkan oleh para pakar teori kognitif suatu model yang lebih eksplisit yang disebut
dengan schemata. Sebagai struktur organisasional. schemata berfungsi untuk mengintegrasikan unsur-
unsur pengetahuan yang terpisahpisah, atau scbagai tempat untuk mengkaitkan pengetahuan baru. Atau
dapat dikatakan bahwa schemata memiliki fungsi ganda, yaitu : 1) Sebagai skema yang menggambarkan
atau merepresentasikan organisasi pengetahuan. Seseorang yang ahli dalam suatu bidang tertentu akan
dapat digambarkan dalam schemata yang dimilikinya. 2) Sebagai kerangka atau tempat untuk
mengkaitkan atau mencantolkan pengetahuan barn. Skemata memiliki fungsi asimilatif artinya skemata
mcngasimilasikan pengetahuan baru ke dalarn hirarkhi pengetahuan, yang secara progresif lebih rinci dan
spesifik dalam struktur kognitif seseorang. Oleh sebab itu diperlukan adanya upaya untuk mengorganisasi

14
isi atau materi pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan proses asimilasi
pengetahuan baru ke dalarn struktur kognitif orang yang belajar. Kegiatan pembelajaran berdasarkan teori
kognitif mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) Siswa bukan orang dewasa yang muda dalarn proses
berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu. 2) Anak usia
prasekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan balk, terutama jika menggunakan benda-
benada kongkrit. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan karena hanya dengan
mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi
dengan balk. 3) Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman
atau informasi Baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si belajar. 4) Pemahaman dan retensi akan
meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola ataulogika tertentu, dari sederhana ke
komplit. 5) Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi
Baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru
adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
6) Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi
keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir.
pengetahuan awal, dan sebagainya.
5. Kurt Lewin Kurt Lewin, mengembangkan suatu teori belajar Cognitive-Field dengan menaruh perhatian
kepada kepribadian dan pisikologi sosial. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari
perubahan dalam struktur kognitif'. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar
kekuatan bail: yang berasal dari individu seperti tujuan, kebutuhan tekanan kejiwaan maupun yang berasal
dari luar individu seperti tantangan dan permasalahan. Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935, 1936)
mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan" atau "field" atau "ruang kehidupan" —life
space. Kurt Lewin merumuskan perilaku sebagai B = f (P, E), dimana B,P, dan E berturut-turut adalah
behavior (perilaku), the person (individu), dan the environment (lingkungan). Untuk memahami konsep ini
perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter
individual (insting dan kebiasaan). bebas - lepas dari pengaruh situasi dimana individu melakukan
aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang
perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa
psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan
fungsi dari "ruang kehidupan" individu, dan lingkungan dipandang sebagaisebuah konstelasi yang saling
tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan" juga merupakan determinan bagi tindakan,
impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknai "ruang kehidupan'' sebagai seluruh peristiwa (masa
Iampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam situasi tertentu. Bagi Lewin,
pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks —lingkungan dimana
perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada
(field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan
konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur
tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat batu bata,
semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita
tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut berada. Contohnya
seorang anak berperilaku agresif karena dia berada di lingkungan yang agresif (berisi orang-orang yang
agresif pula). Ciri-ciri utama dari teori medan Lewin adalah : (1) tingkah laku adalah suatu fungsi dari
medan yang ada pada waktu tingkah laku itu terjadi ; (2) analisis mulai dengan situasi sebagai
keseluruhan dari mana bagian-bagian komponennya dipisahkan : dan (3) orang yang kongkrit dalam
situasi yang kongkrit dapat digambarkan secara matematis. Medan didefinisikan sebagai "keseluruhan
fakta-fakta yang bereksistensi yang dipandang, sebagai saling tergantung."
6. Teori Konstruktirisme Sosial Lev Vygolsky
Teori ini muncul karena keprihatinan terhadap perubahan kehidupan masyarakat yang marak dengan
problem sosial dan aliran pendidikan yang ada kurang dapat menjawab masalah-masalah sosial yang
terjadi. Pandangan yang dianggap lebih mampu menjawab persoaIan tersebut adalah pendekatan
konstruktivisme Vygotsky. Vygotsky berasumsi bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan
lingkungan sosial maupun fisik. la mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar
sosial budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara
menelusuri apa yang ada di balik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dan asal-usul tindakan

15
sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari oleh sejarah hidupnya. Anak-anak memperoleh berbagai
pengetahuan dan keterampilan rnelalui interaksi sosial sehari-hari. Mereka terlibat secara aktif dalam
interaksi sosial, ada kerjasama di antara anggota kelompok tersebut. Perolehan pengetahuan dan
perkembangan kognitif seseorang seining dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat
primer, sedangkan dimensi individualnya bersifat derivative. Namun tidak berarti individu bersifat pasif, is
hams aktif dalam perkembangan kognitifnya, dalam bentuk aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Jadi
perkembangan kognitif seseorang, disarnping ditentukan oleh dini sendiri, juga ditcntukan oleh lingkungan
sosial yang aktif pula. Dalam kegiatan pembelajaran anak memperoleh keseinpatan yang luas untuk
mengembangkan. potensinya melalui interaksi sosial, maka bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif,
kolaboratif, serta kontekstual sangat tepat diterapkan.
Kelebihan dan Kelemahan
a. Kelebihan teori belajar kognitif
1) Pembelajaran berdasarkan kemampuan struktur kognitif siswa sehingga kemampuan siswa tidak terlalu
dipaksakan. Hal demikian sebagai wujud penghargaan bahwa masing- masing siswa memiliki potensi
yang berbeda-beda sehingga pendekatan dalam belajarnya pun harus berbeda-beda.
2) Pembelajaran berpusat pada siswa (student cente) yang mengakibatkan dinamisasi kelas yang tinggi,
sehingga tidak menimbulkan pembelajaran yang membosankan.
b. Kelemahan teori belajar kognitif
1) Bentuk pendisiplinan yang tidak diambil dari proses stimulus-respon berakibat melemahnya disiplin.
2) Strategi pembelajaran yang aktif yang dilakukan oleh guru yang tidak mengenal managemen kelas baik
akan menimbulkan waktu yang sia-sia dalam proses pembelajaran di kelas.
Aspek-aspek Kegiatan Pembelajaran Aliran Kognitif-Kontruktivis Hakekat belajar menurut aliran ini sebagai
suatu aktivitas yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal.
Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan agar belajar lebih
bermakna bagi siswa. Adapun aspck-aspek dalam kegiatan pembelajaran yang berlandaskan aliran
kognitifkonstruktivisme adalah :
a. Belajar. Belajar merupakan usaha pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannva melalui
asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya. Belajar menurut aliran ini
adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk perilaku yang dapat diamati dan
dapat diukur.
b. Pembelajaran. Kegiatan pembelajaran menekankan pada proses daripada hasil. Pemberian makna
terhadap objeklmateri yang dipelajari atau pengalaman yang diperoleh oleh individu/peserta didik melalui
interaksi dengan jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas.
c. Evaluasi. Evaluasi proses dan basil belajar peserta didik terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran.
dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui tugas-tugas
pckerjaan. Bentukbentuk evaluasi bisa berbentuk tugastugas otentik atau berbagai penilaian alternatif
selain rnenggunakan paper and pencil test di akhir pembelajaran.
d. Peserta didik. Pembentukan pengetahuan hares dilakukan oleh peserta didik, maka is hares aktif
melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal yang
dipelajarinya.Siswa dipandang sudah inemiliki pengetahuan awal sebelum rnempelajari sesuatu.
e. Pendidik/guru. Guru tidak mendominasi pembelajaran, tetapi membantu proses pengkonstruksian
pengetahuan peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang dim ilikinya,
melainkan membantu peserta didik membentuk pengetahuannya sendiri. Peran kunci guru adalah
pengendalian, yang meliputi : (1) menumbuhkan kemandirian peserta didik dengan menyediakan
kesempatan untuk inengambil keputusan dan bertindak ; (2) menumbulikan kemampuan peserta didik
mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik ;
dan (3) menyediakan sistcm dukungan yang memberikan keinudahan belajar agar peserta didik
mempunyai peluang optimal untuk berlatih. Karakteristik pembelajaran yang dilakukan guru adalah : (1)
membebaskan peserta didik dari belenggu kurikulum ; (2) menempatkan peserta didik sebagai kekuatan
timbulnya interes ; (3) bersama peserta didik mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah komplit ;
(4) proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang komplit dan tidak mudah dikelola.
f. Lingkungan belajar. Lingkungan belajar merupakan kondisi yang memungkinkan terlaksananya kegiatan
pembelajaran. Aliran kognitifkonstruktivis rnenekankan bahwa kegiatan pembelajaran yang penting adalah

16
aktivitas peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Jadi lingkungan belajar dipilih yang
mendukung munculnya berbagai aktivitas belajar peserta didik.
Pengembangan kognitif Siswa Setelah bertahun-tahun mengobsevasi anak semua umur, Jeane Piaget
menyimpulkan bahwa pengembangan kognisi berlangsung dalam empat tingkat. Masing-masing tingkat
berkembang berdasarkan kemampuan tingkat sebelumnya dan masing-masing tingkat ditandai kemunculan
kemampuan baru yang direorganisir dalam pikiran anak. Fungsi kognitif mulai dari respon anak terhadap
fenomena konkrit: bayi mengetahui sesuatu melalui apa yang ia sentuh, rasa, atau lihat. Berdasarkan itu,
Piaget menyimpulkan bahwa perkembangan tergantung pada manipulasi anak terhadap, dan interaksinya
dengan, lingkungan yang memfasilitasi anak mengetahui sesuatu sebagai hasil perbuatannya pada
lingkungan. Dengan kata lain, pendekatan Piaget bertumpu pada kajian bagaimana anak berinteraksi dengan
lingkungan yang memicu pengembangan kemampuan dan struktur kognitif anak. Menurut Piaget, keempat
tingkat pengembangan kognitif anak dan adolesen adalah: (1) Sensorimotor stage (lahir-2 tahun), formasi
konsep objek yang gradual berkembang dari tingkah laku reflek ke tingkah laku bertujuan; anak sudah bisa
melihat hubungan sederhana antara objek sejenis; (2) Preoperational stage (2-7 tahun), kemampuan
memakai simbol sebagai representasi objek; anak mulai memahami konsep yang lebih kompleks melalui
pengalaman; (3) Concrete operations stage (7-11 tahun), peningkatan kemampuan berpikir logis dan mulai
memanipulasi data dalam pemecahan masalah asalkan ada keterlibatan objek yang konkrit atau sudah punya
pengalaman sebelumnya; anak belum bisa berpikir abstrak; dan (4) Formal operations stage (11 tahun-
dewasa), pengembangan operasi formal dan abstrak sudah bisa dilakukan anak yang ditandai kemampuan
berpikir abstrak dan simbolik; masalah dapat dipecahkan melalui eksperimentasi sistemnatik). Perlu
dijelaskan bahwa istilah ”operasioanal” yang dimaksud Piaget pada tingkat-tingkat pengembangan kognitif
ialah perbuatan atau aktifitas mental yang kita lakukan. Sedangkan istilah preoperasions mengacu pada
keadaan anak yang sudah mulai memakai simbol, tetapi belum mampu secara mental memanipulasinya
seperti yang disebutkan dalam konteks pre-operasions di atas. Piaget menyatakan bahwa manusia mewarisi
metode berfungsinya aspek intelektual yang memungkinkan kita merespon lingkungan kita dengan
membentuk struktur kognitif. Esensi teori Piaget adalah bagaimana anak-anak dan adolesen mengorganisir
pikiran dan tingkah laku serta bagaimana pikiran dan perangai itu berubah sementara tumbuh. Selanjutnya
Slavin menjelaskan bahwa pola tingkah laku atau pola pikir yang dipakai anak dan orang dewasa
menghadapi objek di dunia (disebut ”skemata”) berkisar dari yang sederhana (seperti bayi yang dapat
meraba suatu objek yang dekat dari tempatnya) sampai ke yang kompleks (seperti anak SMA mnyelesaikan
suatu masalah matematika yang rumit). Selain itu, skemata dapat pula dikategiorikan sebagai behavioral
(memegang benda, mengendara mobil) atau kognitif (pemecahan masalah, kategorisasi konsep-konsep).
Menurut Piaget, kita memakai skemata yang telah kita kembangkan dalam mengkaji berbagai fenomena yang
kita temui dalam lingkungan kita sehingga kita dapat mengetahui hakekat tiap fenomena tersebut. Anak baru
lahir berupaya untuk mencari dan merespon stimulus, yang lama kelamaan, mengembangkan kumpulan
tingkah laku dan kemampulan. Kumpulan ini mulanya mengandung tingkah laku sederhana dan reflek seperti
memegang, menyentuh atau mengulum (sucking) yang secara gradual menjadi lebih kompleks, terkoordinasi
dan bertujuan. Proses ini dikenal dengan ”adaptasi” melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
terminologi Piaget untuk mendeskripsikan cara manusia memahami lingkungannya; sedangkan akomodasi
mengacu perubahan struktur kognitif sebagai modifikasi atas respon.tertentu. Proses adaptasi merupakan inti
teori belajar Piaget. Siswa mengelaborasi materi atau informasi baru dan materi atau informasi yang telah
ada dalam struktur kognitifnya. Kemudian diikuti proses modifikasi agar materi baru itu serasi dengan materi
lama yang menghasilkan respon struktur kognitif siswa terhadap materi baru sampai materi baru dan lama
berasimilasi. Proses selanjutnya ialah proses equilibration yaitu keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Dalam memahami materi baru, selain mengasimilasi materi lama (schemata) dan materi baru,
struktur kognitif siswa juga melakukan akomodasi seperlunya sampai timbul keseimbangan (ekuiliberasi)
antara kedua materi itu yaitu keseimbangan antara pemahaman siswa terhadap materi lama dan pengalaman
baru dengan materi baru. Ini berarti asimilasai bukan sekadar mengambil informasi baru tetapi juga
menyaring atau memodifikasi informasi baru sampai serasi dengan informasi yang sudah diketahui. Asimilasi
dan akomodasi adalah suatu proses yang integral, bukan terpisah atau berdiri sendiri, karena keduanya
merupakan proses yang memungkinkan timbulnya adaptasi. Dalam istilah Piaget, siswa telah mulai
mengakomodasi karakteristik objek atau materi baru. Kesimpulkan, semua kegiatan manusia melibatkan
asimilasi dan akomodasi; akomodasi memerlukan asimilasi yang melibatkan perubahan pada skemata
berupa pengalaman baru. Hal ini disebabkan asimilasi saja tidak mampu menangani situasi dan masalah

17
baru dalam konteks struktur kognitif yang ada. Dari teori Piaget yang fokus pada perkembangan kognitif bayi,
beberapa implikasi teori itu berlaku juga pada pembelajaran dalam kelas. Khusus terkait pendidikan pra-
sekolah, implikasi teori Piaget ialah perlu menyediakan bermacam objek dengan berbagai ragam warna,
bentuk dan ukuran. Dengan bantuan objek tersebut, anak mengaktifkan indera dan badan mereka; dengan
menyentuh, memegang atau merangkak, mereka dapat mengenal lingkungan.

Impliksi Teori Kognitif terhadap Kurikulum dan Model Pembelajaran Implikasi berikut dikemukakan Elkind
yaitu perlu singkronisasi kurikulum dan tingkat kemampuan fisik, kognitif, kebutuhan sosial dan emosional
siswa. Implikasi tambahan terkait pernyataan Piaget betapa strategisnya interaksi antara individu dan
lingkungan sehingga kurikulum perlu fokus pada pengembangan interactive learning, baik melalui penyediaan
materi ajar yang merangsang siswa berinteraksi maupun pemecahan masalah yang relevan dengan
pengembangan kognitif, pemahaman dan keterampilan sesuai tingkat keampuan siswa. Kesimpulan, teori
Piaget memberikan arahan tentang krusialnya inisiatif diri setiap anak pada perkembangan koginitif mereka
sehingga diperlukan kurikulum yang memberikan kesempatan belajar yang relevan dengan belajar penemuan
melalui interaksi dengan lingkungan.
Model Pembelajaran:
a. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme didasarkan pada perspektif psikologis dan filosofis bahwa
individu membentuk atau mengkonstruksi banyak hal yang dipelajari dan dipahaminya. Satu prinsip
psikologi pendidikan penting ialah guru tidak memberikan pengetahuan kepada siswa; siswa yang harus
mengkonstruksi materi (informasi) menjadi pengetahuan dengan menjadikan informasi (konten kurikulum)
bermakna bagi dirinya. Strategi pertama untuk mencapai hal itu ialah pembelajaran proses (process
learning); siswa dibantu mengolah informasi menjadi pengetahuan bermakna. Hal ini sesuai dengan
esensi konstruktivisme yaitu pengembangan potensi (kemampuan) siswa mengkonstruksi informasi
menjadi pengetahuannya. Strategi kedua menurut model pembelajaran konstruktivis ialah generative
learning. Hal ini sesuai prinsip pokok konstruktivis yaitu semua pembelajaraan ”ditemukan”. Walau
pengetahuan itu diajarkan guru kepada siswa, siswa harus dibantu agar bisa melakukan kerja mental
terhadap informasi baru agar informasi itu menjadi kepunyaan siswa. Menurut Slavin, pembelajaran
generatif dilakukan melalui metode khusus sehingga siswa dapat mengolah dan megembangkan konten
menjadi informasi baru. Artinya, menurut Jonassen dan Wittrock, pembelajaran generatif adalah proses
pembelajarn yang memberikan kesempatan kepada siswa mengkonstruksi sendiri hubungan yang berarti
antara pengetahuan yang baru dipelajari siswa dan pengetahuan yang telah mereka kuasai. Misalnya,
siswa dilatih melakukan kegiatan generatif seperti membuat pertanyaan, meringkas dan melakukan
analogi tentang suatu materi yang telah dibaca atau pelajaran yang telah diikutinya sehingga kegiatan
generatif itu berkontribusi pada pembelajaran dan memori siswa. Dengan kata lain, straregi pembelajaran
generatif, menurut Kemp.et.al, memfasilitasi siswa untuk lebih mendalami dan lebih lama menguasai
materi yang sudah dipelajarinya. Ini berarti pembelajaran konstruktivisme terarah pada pemberian
kesempatan kepada siswa untuk menemukan, mengasimilasi dan mengaplikasi ide-ide sehingga siswa
memiliki strategi untuk mentransfomasi konten kurikulum menjadi pengetahuan.. Slavin memperjelas
konsep konstruktivisme itu dengan perumpamaan, ”[Teachers] can give students ladders that lead to
higher understanding, yet the students themselves must climb these ladders”. Siswa difasilitasi guru
menaiki anak tangga, mulai yang terendah (materi atau pengetahuan dari guru), ke anak tangga lebih
tinggi yaitu ketika siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan yang diterima itu menjadi pengetahuannya
sendiri. Konstruksionisme berakar dari Jane Piaget dan Lev Vigostky bahwa perubahan kognitif hanya
timbul jika konsep terdahulu sudah melalui proses disequilibration dengan informasi baru. Dalam proses
transformasi itu, siswa mencek keabsahan informasi baru dengan kaidah yang berlaku dan kemudian
merevisi informasi itu jika ternyata tidak valid lagi. Karena itu, siswa harus terlibat aktif mempelajari,
mendalami dan mentransformasi informasi agar informasi (konten/materi ajar) bisa dikonstruksi dan
digenerasi siswa menjadi pengetahuan (knowledge generation). Di samping itu, konstruktivisme
menekankan pembelajaran “atas-bawah” dari pada bawah-atas. Pembelajaran ”atas-bawah” berarti siswa
mulai dari pemecahan masalah yang kompleks dan kemudian mencoba menemukan sindiri, dengan
bantuan guru, keterampilan pokok yang tepat bagi pemecahan masalah. Pendekatan ini jelas berbeda
dengan pendekatan ”bawahatas” pada pembelajaran konvensional yang mengajarkan, misalnya,
keterampilan bilangan pecahan yang paling mudah diikuti keterampilan pemecahan masalah bilangan
yang makin kompleks. Dengan asumsi bahwa konsep atau masalah yang kompleks hampir tidak mungkin

18
dipelajari dan dipecahkan sendiri oleh siswa, strategi ketiga ialah cooperative learning. Para siswa bekerja
dalam beberapa grup kecil (2-4 siswa per kelompok) dan, dengan fasilitasi dan motivasi guru, mereka
mengeluarkan pendapat untuk menemukan cara efektif pemecahan suatu masalah. Strategi ini
mengandung pembelajaran sosial, sebab siswa mengemukakan dan mempertahankan argumentasi
masing-masing sebelum secara bersama menemukan cara efektif bagi pemecahan masalah atau sampai
pada kesimpulan berdasarkan konsep yang mereka pelajari bersama. Prinsip ini sesuai teori perubahan
kognitif Piaget dan Vygotsky. Pendekatan konstruktivisme, yang menekankan penemuan, ekperimentasi
dan pemecahan masalah, sudah berhasil diterapakan, pada mata pelajaran matematika, sains (Neale
et.al.,1990); membaca (Duffy&Roehler (1986); menulis; dan lainnya. Terlihat dari uraian di atas bahwa
belajar konstruktivis mengembangkan pembelajaran tradisional yang fokus pada transmisi pengetahuan
(knowledge transmissions) menjadi membantu siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan bahkan
dapat menggenerasi pengetahuan (knowledge generation) serta membantu siswa mengaplikasikan
pengetahuan (knowledge application) yang telah mereka pelajari dalam kehidupan nyata. Kesimpalan,
ada perbedaan besar antara materi ajar atau konten kurikulum dan pengetahuan. Yang terdahulu adalah
bahan ajar (informasi) dalam buku teks untuk diajarkan guru kepada siswa, sedangkan yang kemudian
adalah hasil siswa merekonstruksi materi itu menjadi pengetahuan. Implikasinya pada kurikulum, materi
yang gagal direkontruksi siswa menjai pengetahuan merupakan informasi bagi siswa, belum menjadi
pengetahuan atau pengalamannya.
b. Pembelajaran Penemuan Pendekatan penemuan (discovery approach) mulai berpengaruh sekitar tahun
1950an. Semenjak itu, banyak penelitian dan diskusi dilakukan tentang hakekat penemuan. Salah satu
oleh Jerome Bruner yang mengatakan jika kita akui premis tradisional tentang superioritas intektual
manusia sebagai Rahmat Tuhan yang luar biasa, kita harus menerima fakta bahwa pengetahuan paling
unik dan bermanfaat bagi manusia ialah pengetahuan yang ditemukan manusia itu sendiri. Menurut
Bruner, discovery pada hakekatnya, penyusunan kembali, transformasi atau rekonstruksi data atau
informasi sampai data atau informasi itu menjadi pengetahuan atau pemahaman sendiri. Jadi,
pembelajaran penemuan tidak fokus pada penemuan saja, tetapi yang penting ialah merubah sikap siswa
dari yang biasa menerima sajian materi oleh guru di kelas menjadi senang mencari dan berekplorasi
sendiru untuk menemukan sesuatu yang baru sehuingga yang membuahkan keyakinan dan kemampuan
diri siswa untuk belajar mandiri, di kelas atau di luar sekolah. Bruner mendesak pemakaian pembelajaran
penemuan di sekolah. Alasannya ialah pembelajaran penemuan fokus pada pemberdayaan semua
potensi siswa agar mereka belajar dari hasil kreaktivitas dan keterlibatan langsung mereka
mengeksplorasi berbagai konsep dan prinsip dalam tiap mata pelajaran. Dengan kata lain, pembelajaran
penemuan adalah pembelajaran yang diperoleh siswa sendiri, bukan hasil pengajaran guru. Strateginya
ialah siswa dimotivasi untuk menemukan saling hubungan antar semua elemen pengetahuan sesuai
kurikulum. Selain itu, pembelajaran penemuan merupakan proses induktif. Para siswa dibantu
memformulasi prinsip-prinsip, mengenal atau menetapkan generalisasi sebagai hasil pengalaman sendiri
atas materi pelajaran. Bandingkan dengan pembelajaran deduksi; siswa diberi konsep, prinsip,
generalisasi atau suatu formula dan ditunjukkan kepada siswa bagaimana menerapkan prinsip dan
generalisasi dalam berbagai situasi. Konstruksionisme berakar dari Jane Piaget dan Lev Vigostky bahwa
perubahan kognitif hanya timbul jika konsep terdahulu sudah melalui proses disequilibration dengan
informasi baru. Dalam proses transformasi itu, siswa mencek keabsahan informasi baru dengan kaidah
yang berlaku dan kemudian merevisi informasi itu jika ternyata tidak valid lagi. Karena itu, siswa harus
terlibat aktif mempelajari, mendalami dan mentransformasi informasi agar informasi (konten/materi ajar)
bisa dikonstruksi dan digenerasi siswa menjadi pengetahuan (knowledge generation). Di samping itu,
konstruktivisme menekankan pembelajaran “atas-bawah” dari pada bawah-atas. Pembelajaran ”atas-
bawah” berarti siswa mulai dari pemecahan masalah yang kompleks dan kemudian mencoba menemukan
sindiri, dengan bantuan guru, keterampilan pokok yang tepat bagi pemecahan masalah. Pendekatan ini
jelas berbeda dengan pendekatan ”bawahatas” pada pembelajaran konvensional yang mengajarkan,
misalnya, keterampilan bilangan pecahan yang paling mudah diikuti keterampilan pemecahan masalah
bilangan yang makin kompleks. Dengan asumsi bahwa konsep atau masalah yang kompleks hampir tidak
mungkin dipelajari dan dipecahkan sendiri oleh siswa, strategi ketiga ialah cooperative learning. Para
siswa bekerja dalam beberapa grup kecil (2-4 siswa per kelompok) dan, dengan fasilitasi dan motivasi
guru, mereka mengeluarkan pendapat untuk menemukan cara efektif pemecahan suatu masalah. Strategi
ini mengandung pembelajaran sosial, sebab siswa mengemukakan dan mempertahankan argumentasi

19
masing-masing sebelum secara bersama menemukan cara efektif bagi pemecahan masalah atau sampai
pada kesimpulan berdasarkan konsep yang mereka pelajari bersama. Prinsip ini sesuai teori perubahan
kognitif Piaget dan Vygotsky. Pendekatan konstruktivisme, yang menekankan penemuan, ekperimentasi
dan pemecahan masalah, sudah berhasil diterapakan, menurut Carpenter et.al.1939), pada mata
pelajaran matematika, sains (Neale et.al.,1990); membaca (Duffy&Roehler (1986); menulis
(Bereiter&Scardamalia,1987); dan lainnya. Terlihat dari uraian di atas bahwa belajar konstruktivis
mengembangkan pembelajaran tradisional yang fokus pada transmisi pengetahuan (knowledge
transmissions) menjadi membantu siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan bahkan dapat
menggenerasi pengetahuan (knowledge generation) serta membantu siswa mengaplikasikan
pengetahuan (knowledge application) yang telah mereka pelajari dalam kehidupan nyata. Kesimpalan,
ada perbedaan besar antara materi ajar atau konten kurikulum dan pengetahuan. Yang terdahulu adalah
bahan ajar (informasi) dalam buku teks untuk diajarkan guru kepada siswa, sedangkan yang kemudian
adalah hasil siswa merekonstruksi materi itu menjadi pengetahuan. Implikasinya pada kurikulum, materi
yang gagal direkontruksi siswa menjai pengetahuan merupakan informasi bagi siswa, belum menjadi
pengetahuan atau pengalamannya.
Ada beberapa manfaat model pembelajaran penemuan. Salah satu dikemukakan Berlyne, pembelajaran
penemuan merangsang keinginan tahu siswa sehingga memotivasi mereka terus bekerja menemukan
jawaban atas keinginan tahu itu. Selain itu, siswa belajar teknik pemecahan masalah secara mandiri serta
cara berpikir kiritis dan mandiri, sebab siswa harus melakukan analisis dan memanipulasi berbagai
informasi terkait. Paling kurang, menurut Bruner, ada tiga keuntungan bagi siswa dengan metode
penemuan: (1) membantu siswa melaksanakan hakekat sesungguhnya pembelajaran yaitu perolehan
informasi dan aplikasinya ke situasi baru dan ke pemecahan masalah; (2) melatih siswa agar tidak selalu
tergantung pada faktor eksternal, seperti persetujuan guru, hadiah orang tua atau penghindaran
kegagalan untuk menimbulkan motivasi intrinsik, sebab siswa yang berhasil melakukan suatu penemuan
memperoleh kepuasan atas hasil temuannya itu; dan (3) materi pelajaran melalui penemuan memiliki
retensi yang lebih lama dari pada materi yang diajarkan guru, sebab materi itu diorganisir berdasarkan
interest siswa itu sendiri sehingga lebih siap direproduksi jika diperlukan. Dapat disimpulkan,
pembelajaran penemuan adalah metode pembelajaran konstruksionisme, sebab siswa lebih memahami
makna pengetahuan, nilai dan sikap, ketika siswa menemukan sendiri pengetahuan tersebut,
dibandingkan pengetahuan yang diterimanya dari guru.
c. Pembelajaran Bermakna David Ausubel membedaan meaningful learning dan rote learning (pembelajaran
hafalan). Pembelajaran hafalan mengacu pada hafalan fakta atau asosiasi seperti daftar pengalian
bilangan, simbol kimia, rumus matematika, kosa kata bahasa asing dan lain-lain. Sebaliknya,
pembelajaran bermakna timbul ketika materi ajar terkait dengan pengetahuan, konsep atau informasi yang
telah dikuasai siswa. Tetapi, Ausubel tidal menganggap hafalan negatif, hanya pembelajaran hafalan
menjadi negatif karena sudah terlalu berlebihan.; siswa terpaksa menghafal materi tanpa mendalami
konsep terkandung dalam materi itu sehingga menjadi suatu yang tidak bermakna bagnya. Ausubel juga
membedakan reception dan discovery learning. Perbedaan ini penting mengingat hampir semua
pembelajaran siswa, di sekolah dan luar sekolah, termasuk reception learning yaitu hasil pelajaran yang
diajarkan guru. Ausubel mengingatkan ada dua tugas siswa yang berbeda terkait kedua jenis
pembelajaran itu. Pada reception learning, siswa mempelajari materi yang berpotensi menjadi bermakna
jika guru mengajarkan menjadi bermakna, sehingga siswa bisa menginternalisasi materi itu dengan baik.
Sedangkan pada discovery learning, siswa harus menemukan apa yang dipelajarinya dan kemudian
mengaturnya kembali untuk diintegraskan dalam struktur kognitif siswa yang telah ada, sehingga menjadi
bermakna. Salah satu cara ialah menjadikan materi baru berhubungan sistematis dengan konsep yang
relevan, yaitu materi baru dikembangkan, dimodifkasi, atau dielaborasi ke dalam memori siswa. Selain itu,
Ausubel adalah penyokong pengajaran ekpositori (didactic approach). Dia percaya melalui pengajaran
ekpositori, siswa dapat langsung mempelajari sampai pada tingkat abstraksi yang tinggi suatu mata
pelajaran. Dengan demikian, pembelajaran bermakna bisa diperoleh siswa tanpa mengalami sendiri
secara empiris semua langkah penemuan konsep seperti yang dilakukan siswa melalui pendekatan
penemuan. Berdasarkan itu, menurut Ausubel, tidak efisien jika siswa harus melakukan proses panjang
untuk memahami dan generalisasi tingkat tinggi melalui metode penemuan; apalagi, metode itu juga tidak
superior. Walaupun Ausubel pembela pengajaran ekspositori, dia percaya pembelajaran penemuan
bermanfaat untuk mentes kebermaknaan pembelajaran, sehingga siswa bisa membedakan apakah suatu

20
pembelajaran tergolong bermakna atau hafalan. Ausubel yang menamakan pembelajaran hasil metode
ekpositori reception learning berdasarkan fakta bahwa hampir semua pembelajaran dalam kelas berupa
pengetahuan yang diterima siswa dari guru. Telah disinggung di muka bahwa pengetahuan penerimaan
bisa diupayakan menjadi pembelajaran bermakna dengan jalan mengaitkan materi baru dan pengetahuan
yang telah dikuasai siswa. Sebaliknya, menurut Ausubel, pengetahuan penerimaan bisa menjadi hafalan
jika pengetahuan baru tidak terkait pengetahuan yang telah diketahui siswa, karena tidak ada kaitan
pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif siswa dan pengetahuan baru
d. Advanced Organizors Ausubel mengembangkan suatu cara, advance organizers (pemahaman awal),
untuk memberikan orientasi kepada siswa tentang materi yang akan dipelajari untuk membantu siswa
memahami informasi baru. Pemahaman awal sebagai pengajaran ekpositori berfungsi membantu siswa
mengetahui informasi umum tentang pokok yang akan dipelajari siswa selanjutnya. Misalnya, dalam
mengajarkan suatu novel, guru memberi ringkasan atau tema pokok novel itu sebagai advanced
organizer, sebelum siswa membaca sendiri novel tersebut Kemudian guru membimbing diskusi mengenai
berbagai konsep seperti kesetiaan, kemandirian, konflik dan lain-lain yang relevan dengan tema novel.
Sasarannya adalah membantu siswa menyiapkan struktur kognitifnya agar siap membentuk ikatan antara
pengetahuan lama dan baru. Dengan cara itu, siswa memperoleh pengetahuan bermakna sehingga
pengetahuan itu dapat lebih cepat dipelajari dan dikuasai siswa, sebab integrasi antara pengetahuan itu
dengan ide-ide yang telah dimiliki siswa dapat menjadikan pembelajarn menjadi bermakna,. Pemahaman
awal (prior learning) diperlukan dalam dua kondisi berikut: (1) jika siswa tidak memiliki informasi relevan
dengan apa yang akan mereka pelajari selanjutnya; (2) jika siswa sudah sedikit memiliki informasi releva,
tetapi besar kemungkinan siswa tidak memahami relevansinya dengan yang akan dipelajari selanjutnya.
Jika dikaitkan dengan pembelajaran bermakna oleh Ausubel, pemahaman awal merupakan stepping
stone (batu loncatan) untuk membentuk saling hubungan antara materi baru dan struktur kognitif
(pengetahuan awal) siswa. Dengan kata lain, makna bisa berasal langsung dari asosiasi yang terdapat
dalam berbagai ide, peristiwa atau objek. Artinya, suatu konsep baru akan bermakna jika ada kaitan
antara konsep itu dengan pengalaman lama siswa atau dengan sesuatu yang sedang mereka pelajari
sekarang. Menurut Ausubel, makna bukan suatu benda nyata atau konsep itu sendiri; tidak ada ide,
konsep atau objek yang memiliki makna bagi siswa kecuali kalau objek itu ada kaitannya dengan siswa itu
sendiri. Implikasi ialah guru perlu memberikan informasi awal sebagai advandce organizers sebelum tiap
pelajaran baru diberikan kepada siswa agar materi baru itu koheren dengan pengetahuan lama untuk
kemudian menjadi pembelajaran bermakna. Dari uraian di atas terlihat bahwa Ausubel menjagokan
pembelajaran deduktif, yaitu diajarkan terlebih dahulu ide umum yang diikuti ide spesifik. Hal ini
mengharuskan guru untuk membantu siswa memilah-milah suatu konsep ke dalam beberapa bagian kecil
terkait untuk kemudian diintegrasikan kembali dengan konten yang bersamaan dalam memori siswa.
Pembelajaran deduktif, menurut Shunks, cenderung mangkus pada siswa yang tua.18

3. Teori Kontruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu pendekatan terhadap belajar yang berkeyakinan bahwa orang secara aktif
membangun atau membuat pengetahuannya sendiri dan realitas ditentukan oleh pengalaman orang itu
sendiri pula. Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri
secara aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan pengalaman belajar yang
bermakna. Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin
belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya
tersebut dengan bantuan fasilitas orang lain. Manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi dan hal yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Konstruktivisme
(construktism) merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual, pengetahuan dibangun sedikit demi
sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Berdasarkan
pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan
itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah,
menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep

18
Ekawati, Jurnal. “Teori Belajar Menurut Aliran Psikologi Kognitif Serta Implikasinya Dalam Proses Belajar Dan Pembelajaran”.

21
serta kaidah yang siap dipraktikkan. Manusia harus mengkonstruksinya terlebih dahulu pengetahuan tersebut
dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Karena itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada
dirinya.
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivisme memandang subyek aktif menciptakan struktur-
struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek
menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui
struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan
disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri
terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Teori konstruktivisme yang terpenting adalah bahwa
dalam proses pembelajaran, siswa yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung
jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan
keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Belajar lebih
diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman
konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan
pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik
melainkan pada pebelajar.
a. Tujuan dilaksanakannya pembelajaran konstruktivisme yaitu:
1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi langsung kepada benda- benda konkrit
ataupun model artificial.
2) Memperhatikan konsepsi awal siswa guna menanamkan konsep yang benar.
3) Sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan mungkin salah.
b. Tujuan konstruktivisme yaitu:
1) Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri.
2) Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
3) Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik dalam tujuan
intruksional umum maupun tujuan intruksional khusus, diperlukan penggunaan metode yang tepat yang sesuai
dengan materi yang akan diajarkan. Dalam menyampaikan materi pelajaran, seorang guru harus
menggunakan metode yang tepat agar dapat meningkatkan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran.
Untuk itu seorang guru harus dapat memilih metode yang benar-benar sesuai dan mampu meningkatkan
motivasi serta pemahaman siswa dalam mengikuti pelajaran dan menerima pelajaran. Pembelajaran pada
hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan
perilaku kearah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik
faktor internal yang datang dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan.
c. Langkah-Langkah Konstruktivisme
Tahapan-tahapan dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:
1) Tahap pertama, peserta didik didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang
konsep yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan pertanyaan problematik tentang
fenomena yang sering dijumpai seharihari oleh peserta didik dan mengaitkannya dengan konsep yang
akan dibahas. Selanjutnya, peserta didik diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan
mengilustrasikan pemhamannya tentang konsep tersebut.
2) Tahap kedua, peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui
pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterprestasian data dalam suatu kegiatan yang telah
dirancang oleh guru. Secara keseluruhan dalam hidup ini akan terpenuhi rasa keingintahuan peserta
didik tentang fenomena dalam lingkungannya.
3) Tahap ketiga, peserta didik melakukan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasi
peserta didik, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya peserta didik membangun pemahaman
baru tentang konsep yang sedang dipelajari.
4) Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan peserta didik
dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun pemunculan
masalahmasalah yang berkatian dengan isu-isu dalam lingkungan peserta didik tersebut. Berdasarkan
uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa tahapantahapan dalam pembelajaran dengan pendekatan

22
konstruktivisme pada dasarnya merupakan upaya untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki siswa
sehingga proses pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Guru
juga memberikan arahan atau solusi yang tepat dalam proses pembelajaran yang dilakukan.
d. Keunggulan Pendekatan Konstruktivisme
Terdapat kekhususan pandangan tentang belajar dalam teori belajar konstruktivisme apabila
dibandingkan dengan teori belajar behaviorisme dan kognitivisme. Teori behaviorisme lebih
memperhatikan tingkah laku yang teramati, dan teori belajar kognitivisme lebih memperhatikan tingkah
laku belajar dalam memproses informasi atau pengetahuan yang sedang dipelajari peserta didik tanpa
mempertimbangkan pengetahuan atau informasi yang telah dikuasai sebelumnya. Menurut teori belajar
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepada peserta didik.
Artinya, bahwa peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan
kematangan kognitif yang dimilikinya, dengan kata lain peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol
kecil yang siap di isi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Pembelajaran
yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan peserta didik dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru, dengan kata lain peserta didik lebih
didorong untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara untuk mencapai
tujuan yang diinginkan oleh guru dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Kelangsungan proses
pembelajaran di sekolah ditentukan juga oleh banyaknya faktor yang mendukung dalam pencapaian
tujuan yang diharapkan. Metode adalah cara yang fungsinya adalah alat untuk mencapai tujuan, makin
baik metode makin baik pula pencapaian tujuan. Salah satu faktor yang menentukan adalah bagaimana
seorang guru mengadakan interaksi dalam proses pembelajaran di kelas, dengan menggunakan metode
yang tepat, akan membuat pemahaman siswa terhadap materi pengajaran secara baik dan optimal. Oleh
karena itu seorang guru dapat memiliki dan melaksanakan metode yang tepat dalam menyampaikan
materi pengajaran sehingga suasana kelas akan hidup dan menimbulkan motivasi belajar pada siswa.
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam teori pembelajaran konstruktivis
(constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan
sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama
dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan
dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala
sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja
Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori
Bruner.. Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses
ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ideide mereka sendiri, dan
mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan
catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut . Jadi menurut teori konstruktivis, tugas
guru (pendidik) adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri sendiri
tiap-tiap siswa terjadi secara optimal.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivisme, yaitu:
a. Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan.
b. Mengutamakan proses.
c. Menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social.
d. Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
Pembelajaran konstruktivistik adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan
dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya
pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk
berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif. Yang terpenting dalam teori konstruktivistik adalah bahwa dalam proses
pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan
masalah dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Penekanan

23
belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan karena kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu
mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Pembentukan pengetahuan menurut model konstruktivisme memandang subyek aktif menciptakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini,
subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun
melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan
disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri
terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Belajar lebih diarahkan pada experiental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan
pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sejawat, yang kemudian dikontemplasikan dan
dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak
terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Belajar seperti ini selain berkenaan dengan hasilnya
(outcome) juga memperhatikan prosesnya dalam konteks tertentu. Pengetahuan yang ditransformasikan
diciptakan dan dirumuskan kembali (created and recreated), bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Bentuknya
bisa objektif maupun subjektif, berorientasi pada penggunaan fungsi konvergen dan divergen otak manusia.
Pengetahuan dalam pengertian konstruktivisme tidak dibatasi pada pengetahuan yang logis dan tinggi.
Pengetahuan di sini juga dapat mengacu pada pembentukan gagasan, gambaran, pandangan akan sesuatu
atau gejala sederhana. Dalam konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang punya arti lain dengan
arti sehari-hari. Pengalaman tidak harus selalu pengalaman fisis seseorang seperti melihat, merasakan
dengan indranya, tetapi dapat pula pengalaman mental yaitu berinteraksi secara pikiran dengan suatu
obyek. Dalam konstruktivisme kita sendiri yang aktif dalam mengembangkan pengetahuan.19

19
M. Dalyono. Psikologi Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), hlm 37

24
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abu, dan M. Umar. 1992. Psikologi Umum, Edisi Revisi, Semarang : CV Andalan Kita.
Dalyono. 2001. Teori Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ekawati, Jurnal. “Teori Belajar Menurut Aliran Psikologi Kognitif Serta Implikasinya Dalam Proses Belajar Dan
Pembelajaran”
Harifa. 2001. Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Ismaya Dwi Agustina. “Pengertian Teori”
https://ismayadwiagustina.wordpress.com/2012/11/26/pengertian-teori/ Diakses 22 Mei 2020
Kartono, Kartini dan Dali Gulo. 2000. Kamus Psikologi. Bandung : CV. Pionir Jaya.
Khodija, nyanyi. 2016. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers.
Mardalus. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Bumi Aksara.
Mahmud. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Muhammad, “Psikologi Aliran Behaviorisme”
http://www.psikologi.or.id Diakses 02 Maret 2020
Mustaqim. 2016. Psikologi Pendidikan. Semarang : CV. Andalan Kita.
Safnowandi. “Teori Behaviorisme”
https://safnowandi.wordpress.com/2012/11/03/teori-behaviorisme/ Diakses 22 Mei 2020
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan, Kualitatif dan R dan D, Bandung: CV.Alfa Beta
Syah, Muhibbin. 2013. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja
Rosda karya
Umar. Husein.2014. Metode Riset Ilmu Administrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nama : Silpa Nurjanah
Kelas : Piaud 4 Angkatan 2019
NIM : 1930210050
UAS Psikologi Pendidikan
Jawaban

1. Dimana penyajian mata kuliah psikologi pendidikan ini berkaitan dengan ilmu yang mempelajari tentang perilaku
manusia didunia pendidikan yang meliputi studi sistematis tentang proses dan faktor-faktor yang berhubungan
dengan pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan. Perilaku yang
dimaksud terkait dengan perilaku pendidik/pun peserta didik. Jadi, pendidik dapat melihat melalui perilaku peserta
didik sangatlah dibutuhkannya psikologi pendidikan karena didunia pendidikan untuk mencapai pendidikan yang
maksimal dan efektif bukan hanya terkait pembahasan kurikulum saja, namun juga permasalahan psikologis
peserta didik dan model pengajaran pendidikanya juga harus tetap diperhatikan. Oleh karena itu, psikologi
pendidikan menjadi penting untuk dipelajari oleh setiap pendidik/calon pendidik. Kaitanya dengan prodi PIAUD
dimana nantinya akan terjun langsung bersama anak-anak dan juga akan menjadi pendidik maka sebagai
seorang pendidik haruslah mempelajari/harus tahu mengenai psikologi pendidikan ini. Psikologi pendidikan
memiliki peran yang sangat penting dalam penyelenggaraan PAUD, baik itu dilingkungan rumah maupun
lembaga-lembaga penyelenggaraan PAUD. Dengan psikologi pendidikan, kita dapat merencanakan dan
mengambil langkah-langkah yang tepat dalam penyelenggaraan pendidikan bagi AUD. Kita juga dapat
menentukan materi, metode, pendekatan, kurikulum, serta sistem penilaian yang tepat untuk peserta didik.
2. Karena, psikologi pendidikan ini dapat membantu memahami tentang perilaku peserta didik yang meliputi studi
sistematis tentang proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan yang tujuannya untuk
mengembangkan kualitas pendidikan. Oleh sebab itu, pendidik wajib memahami psikologi pendidikan. Jika
pendidik paham mengenai psikologi pendidikan bila peserta didik ada yang berbeda/ tidak dapat memahami
materi didalam kegiatan belajar mengajar maka pendidik dapat merencanakan dan mengambil langkah-langkah
yang tepat didalam penyelenggaraan pendidikan tersebut. Pendidik juga dapat menentukan materi, metose,
kurikulum, pendekatan, serta sistem penilaian yang tepat untuk peserta didik. Jika pendidik paham mengenai
psikologi pendidikan maka akan dapat mencapai pendidikan yang maksimal dan efektif. Maka dari itu, pendidik
wajib memahami psikologi pendidikan.
3. Penyebab kesulitan belajar kognitif ada 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pada faktor internal (dalam
diri) ini mencakup faktor psikologis yang berkaitan dengan fungsionalisasi tubuh misalnya ketahanan tubuh, faktor
psikologis berkaitan dengan emosionalisasi siswa, dan faktor intelektual berkaitan dengan kecerdasan siswa
seperti materi yang ditangkap, mengolah, menyimpan materi, dll. Sedangkan faktor eksternal (dari luar individu)
dikelompokkan menjadi 3 yaitu faktor keluarga yaitu bagaimana cara orang tua mendidik, pengertian orang tua
dll, faktor kependidikan meliputi mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa,dll, dan masyarakat meliputi
kegiatan siswa dalam masyarakat. Orang tua, guru, masyarakat secara sengaja atau tidak sengaja dapat
menyebabkan kesulitan bagi siswa, karenanya peran orang tua dan guru dalam membentengi para siswa dari
pengaruh negatif masyarakat sekitar, disamping itu peran dalam memotivasi para siswa untuk tetap belajar
menjadi sangat menentukan.
4. Disleksia adalah gangguan didalam proses belajar yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis, dan
mengeja. Seperti pada anak usia 8 tahun seharusnya sudah bisa membaca namun anak tersebut mengalami
keterlambatan seperti sulit untuk mengingat huruf, angka, warna, kesulitan membaca, berhitung, dan menulis.
Padahal harusnya anak seusianya sudah bisa melakukan hal tersebut.
5. Disgrafia adalah kesulitan dimana anak tidak bisa untuk menuliskan atau mengekspresikan pikirannya kedalam
tulisan karena tidak bisa menyusun kata dengan baik dengan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan)
untuk menulis. Padahal seharusnya diusianya itu anak sudah dapat menulis dan mengekspresikan pikirannya
kedalam bentuk tulisan.
6. Disfasia adalah gangguan perkembangan bahasa yang tidak sesuai dengan perkembangan anak berdasarkan
tahapan usianya disebabkan oleh gangguan pada pusat bicara anak diotak. Seperti ciri-cirinya yaitu anak diusia 1
tahun belum bisa mengucapkan kata spontan yang bermakna seperi mama dan papa. Kemudian kemampuan
bicara reseptif (menangkap pembicaraan orang lain) sudah baik tapi kemampuan bicara ekspretif
(menyampaikan sesuatu yang dimaksud) mengalami keterlambatan. Sedangkan diskalkulia adalah
hambatan/gangguan dalam menerima dan menyerap pelajaran serta usaha memperoleh
pengetahuan/keterampilan dalam pelajaran matematika. Kesulitan tersebut cenderung terkait dengan objek
matematika itu sendiri yang sifatnya abstrak, sehingga beberapa siswa sulit untuk memahaminya.
7. Pengelolaan kelas berbasis psikologi adalah kegiatan terencana dan sengaja dilakukan oleh guru, dosen
(pendidik) dengan tujuan menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal, sehingga diharapkan proses
belajar mengajar dapat berjalan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran.
8. Cara mendiagnosa kesulitan belajar pada anak, kita sebagai pendidik atau orang tua dapat melihat dari hasil
belajar anak misalkan pada semester 1 anak mendapatkan rata-rata nilai 85,00 sedangkan disemester 2 anak
mendapatkan nilai 70,00 dan mengalami penurunan, hasil yang dicapai tidak sesuai dengan apa yang ia lakukan,
lambat dalam melakukan tugas belajar, menunjukkan emosional yang tidak wajar, dan menunjukkan emosional
yang tidak wajar. Jika anak mengalami hal tersebut maka kita sebagai pendidik/orang tua dapat mendiagnosa
bahwa anak tersebut mengalami kesulitan belajar.
Teknik yang digunakan untuk mendiagnosa kesulitan belajar yaitu tes prasyarat (prasyarat pengetahuan,
prasyarat keterampilan), tes diagnosis, wawancara, pengamatan, dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai