Anda di halaman 1dari 15

PENGANGKUTAN LAUT DALAM KEGIATAN BISNIS

HUKUM BISNIS

Disusun Oleh :

Nama: Bayu Aga Wardana

NPM : 1705160246

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


BAB I

Latar Belakang

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 1800 pulau. Pulau-pulau itu
dipisahkan oleh laut dan selat, sehingga untuk menghubungkan antara pulau satu dengan yang lainnya
dibutuhkan sarana tranportasi yang memadai. Kapal laut merupakan sarana yang penting di dalam
aktifitas hubungan antara masyarakat dari pulau yang satu dengan pulau yang lainnya, hal ini juga
menyebabkan bahwa bangsa indonesia mendapat julukan sebagai bangsa pelaut, karena mereka telah
terbiasa mengarungi lautan di wilayah Nusantara. Bukti-bukti yang menunjukan bahwa bangsa Indonesia
telah memanfaatkan kapal-kapal sebagai sarana penting dalam transportasi laut, seperti yang tergambar
pada relief-relief Candi Borobudur dalam bentuk perahu bercadik yang telah mampu berlayar sampai ke
Pulau Madagaskar (Afrika). Juga pembuatan perahu Pinisi yang dilakuan oleh bangsa Makassar di
Sulawesi Selatan.

Teknologi pembuatan kapal di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat setelah
mendapat pengaruh asing. Dari para pelaut asing itulah bangsa Indonesia memperoleh tambahan
pengetahuan teknologi navigasi dan pelayaran, sehingga akhirnya Indonesia memiliki industri kapal yang
modern.

Industri perkapalan berawal dari sebuah bengkel tempat mereparasi kapal. Kemudian bengkel itu
berkembang menjadi industri yang merancang dan membangun kapal sebagai sarana transportasi laut, dan
dioperasikan oleh PT. Pelayaran laut Nasional Indonesia (PT. PELNI). Industri kapal Indonesia dimotori
oleh PT. PAL Indonesia. Perusahaan ini merupakan sebuah BUMN. Pendiri perusahaan kapal ini telah
dirintis sejak tahun 1823, yaitu pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Ide pendirian bengkel reparasi
kapal laut ini dimunculkan oleh Gubernur General Hindia belanda V.D. Capellen. Nama perusahan itu
adalah NV. Nederlandsch Indische Industrie.

Pada tahun 1849, sarana perbaikan dan pemeliharaan kapal mulai terwujud di daerah Ujung,
Surabaya. namun pada tahun 193 pemerintah Hindia Belanda mengganti nama menjadi Marine
Establishment (ME). ME berfungsi sebagai sebuah pabrik pemeliharaan dan perbaikan kapal. Pada masa
pendudukan jepang, ME tidak berubah fungsi dan tetap menjadi bengkel reparasi dan perbaikan kapal-
kapal angkatan laut tentara Jepang dibawah pengawasan Kaigun. Tetapi pada masa perang kemerdekaan,
ME kembali dikuasai Belanda dan baru diserahkan pada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Sejak
saat itu nama perusahaan kapal laut tersebut diubah menjadi Penataran Angkatan Laut (PAL).

Pada athun 1978, status PT. PAL diubah menjadi perusahaan umum (Perum) PAL. 3 tahun kemudian,
yaitu pada tahun 1981 bentuk badan usaha Perum PAL diubah menjadi perseroan dengan pimpinan Prof.
Dr. Ing. B.J. Habibie (saat itu menjabat sebagai MENRISTEK). PT. PAL memproduksi berbagai jenis
kapal, mulai dari kapal ikan, kapal niaga, kapal perang, tugboat, tanker, kapal penumpang dan kapal riset.
Kapal riset buatan PT. PAL adalah kapal Baruna Jaya VIII milik LIPI.
Sementara itu upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang trasportasi laut antara
lain merehabilitasi dan meningkatkan kapasitas infrastruktur yang ada, seperti pengadaan kapal Feri dan
kapal pengangkut barang, perbaikan pelabuhan-pelabuhan laut, terminal peti kemas dan dermaga-
dermaga. hal itu bertujuan untuk lebih memperlancar lalu lintas antar pulau, meningkatkan perdagangan
domestik dan internasional Indonesia.

Perkembangan transportasi laut pada dewasa ini tidak terlepas dari kemajuan teknologi tersebut telah
membuat bangsa Indonesia dapat memproduksi kapal angkut penumpang yaitu Palindo jaya 500. kapal
tersebut diluncurkan pertama kali pada bulan Agustus 1995. Kapal tersebut dibuat untuk menunjang
sarana trasportasi laut yang lebih cepat dan aman. Dengan demikian, kegiatan trasportasi laut akan
berdampak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
BAB II
Hukum Yang Mengatur Angkutan Laut Di Indonesia

1. Pengaturan angkutan laut


Dasar Hukum Pengaturan Pengangkutan Laut di Indonesia
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang : pasal 307 s/d pasal 747
c. UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan UU lain yang terkait
d. Peraturan Internasional

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi dasar hukum karena Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dapat digunakan sebagai landasan untuk menghindari kekosongan hukum dalam bidang hukum
Pengangkutan. Yaitu apabila di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak ada dan / atau belum
diatur, maka kita bisa menemukannya di dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum,
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Prof. Soekardono kemudian membagi Hukum Laut menjadi 2 (dua) yaitu Hukum Laut Keperdataan dan
Hukum Laut Publik. Hukum laut bersifat keperdataan atau privat, karena hukum laut mengatur hubungan
antara orang-perorangan. Dengan kata lain orang adalah subjek hukum. Yang dimaksud dengan orang di
sini adalah pengirim dan penumpang dengan perusahaan pengangkutan.

Sifat dasar dari perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran (jasa dan pemborongan), timbal
balik (para pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan dan berhak memperoleh prestasi) dan
konsensual (perjanjian pengangkutan sah terjadinya kesepakatan).

Adapun perjanjian pengangkutan laut itu sendiri terbagi atas:

1) Perjanjian Carter Menurut Waktu (Time Charter)

Pasal 453 (2) KUHD, Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk:
a. Waktu tertentu
b. Menyediakan sebuah kapal tertentu
c. Kapalnya untuk pelayaran di laut bagi Bevrachter
d. Pembayaran harga yang dihitung berdasarkan waktu

Kewajiban pengangkut
a. Pasal 453 (2) Menyediakan sebuah kapal tertentu menurut waktu tertentu
b. Pasal 470 jes 459 (4), 308 (3) KUHD
c. Kesanggupan atas Kapal meliputi mesin dan perlengkapan (terpelihara/ lengkap) dan ABK
(cukup dan cakap)
d. Pasal 460 (1) KUHD menyebutkan bahwa kewajiban pencarter untuk memelihara, melengkapi
dan menganakbuahi.

2) Perjanjian Carter Menurut Perjalanan (Voyage Charter)


Pasal 453 (3) KUHD “Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk :
a. Menyediakan sebuah kapal tertentu
b. Seluruhnya atau sebagian dari kapal
c. Untuk pengangkutan orang/barang melalui lautan
d. Pembayaran harga berdasarkan jumlah perjalanan

Kewajiban Pengangkut
a. Menyediakan kapal tertentu atau beberapa ruanagan dalam kapal tersebut
b. Pasal 453 (2) KUHD
c. Pasal 459 (4): terpelihara dengan baik, diperlengkapi, sanggup untuk pemakaian
d. Pasal 470 (1): Pengangkut tidak bebas untuk mempersyaratkan, bahwa ia tidak bertanggung
jawab atau bertanggung jawab tidak lebih daripada sampai jumlah yang terbatas untuk kerugian
yang disebabkan karena kurang cakupnya usaha untuk pemeliharaan, perlengkapan atau
pemberian awak untuk alat pengangkutnya, atau untuk kecocokannya bagi pengangkutan yang
diperjanjikan, maupun karena perlakuan yang keliru atau penjagaan yang kurang cukup terhadap
barang itu. Persyaratan yang bermaksud demikian adalah batal.

3) Perjanjian Pengangkutan Barang Potongan


a. Pasal 520g KUHD: Pengangkutan barang berdasarkan perjanjian selain daripada perjanjian
carter kapal
b. Kapalnya tidak perlu tertentu seperti perjanjian carter

Kewajiban Pengangkut

a. Pasal 468 (1) KUHD: Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk menjaga
keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya.
b. Pasal 470 (1)
i. Mengusahakan kesanggupan kapalnya untuk dipakai sesuai perjanjian
ii. Harus benar dalam memperlakukan muatan, dan melakukan penjagaan terhadap barang yang
diangkutnya
c. Yang diutamakan adalah barang/muatan/cargonya sebagai objek perjanjian

Tuntutan Ganti Rugi

a. Jangka Waktu pengajuan


Diajukan dalam waktu satu tahun sejak barang diserahkan, atau sejak hari barang tersebut
seharusnya diserahkan (pasal 487 KUHD)
b. Hak previlige: kedudukan si penerima barang didahulukan atas upah pengangkutan, tapi setelah
piutang2 yang diistimewakan dalam pasal 316 KUHD ia meminta sita atas pengangkutan
terlebih dahulu dalam jangka waktu satu tahun.
c. Tuntutan diajukan kepada ketua pengadilan negeri setempat, dimana terjadinya penyerahan
barang dari pengangkut kepada penerima barang

2. Ciri-ciri Kapal Laut Indonesia

Kapal berbendera Indonesia adalah kapal yang memiliki kebangsaan Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Indonesia sebagai negara berdaulat dan anggota masyarakat internasional, berkewajiban untuk
memelihara tata tertib pelayaran internasional antara lain dengan memberikan identitas bagi kapal-
kapalnya dan meregistrasikannya dengan cermat. Identitas kapal Indonesia secara fisik diperlihatkan
dengan mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan kapal dan bukti kebangsaan kapal
dituangkan dalam surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia.

Dalam memenuhi kewajiban sebagai negara bendera untuk menetapkan peraturan nasional mengenai
pendaftaran dan pemberian kebangsaan kapal serta melaksanakan yurisdiksi dan pengawasan terhadap
kapal-kapal yang mengibarkan bendera kebangasaaannya, Indonesia telah memiliki undang-undang dan
berbagai peraturan pelaksanaannya dibidang administratif, teknis dan sosial, yang terbaru adalah Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU.17/2008).

Pasal 117 ayat (2) mengatur bahwa setiap kapal sesuai dengan daerah pelayaranya harus memenuhi
pesyaratan kelaiklautan kapal yang salah satu unsurnya adalah status hukum kapal.

Menurut Pasal 154 status hukum kapal dapat ditentukan setelah melalui proses :

1. Pengukuran kapal

2. Pendaftaran kapal, dan

3. Penetapan kebangsaan kapal

Dari ketentuan Pasal 154 dapat kita simpulkan bahwa pengibaran bendera kebangsaan juga menunjukan
status hukum kapal.

Karena dari bendera tersebut dapat ditelusuri kebangsaan kapal, hukum yang berlaku diatas kapal dan
pemilik kapal.

3. Pendaftaran Kapal

a. Dasar Hukum
 Pasal 314 KUHD
 Peraturan Pendaftaran kapal Stbl. 1933 No.48
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002 tentang Perkapalan
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.26 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan
Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan /Penggantian Bendera Kapal.
 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982) yang diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

Pendaftaran kapal pada dasarnya adalah pendaftaran hak milik atas kapal. Hak milik merupakan bagian
dari hukum benda dalam kerangka hukum perdata. Karena itu dasar hukum utama dari pendaftaran kapal
adalah Pasal 314 KUHD yang merupakan “lex spesialis” dari KUH Perdata dan Stbl 1933 No. 48 sebagai
peraturan pelaksanaannya. Karena pendaftaran kapal merupakan bagian dari status hukum kapal dalam
kerangka kelaiklautan kapal, maka UU No.17/2008 dan PP. 51/2002 juga mengatur tentang pendaftaran
kapal, tetapi hanya terbatas kepada pesyaratan dan tata cara pendaftaran kapal atau aspek hukum
publiknya saja.

2. Ruang Lingkup

Pendaftaran kapal meliputi :

a. Pendaftaran hak milik,


b. Pembebanan hipotek
c. Pencatatan hak kebendaan lainnya atas kapal.

Pembebanan hipotek dan hak kebendaan lainnya atas sebuah kapal baru dapat dilakukan bila hak milik
atas kapal dimaksud telah didaftarkan.

3. Tujuan

a. Mewujudkan hubungan yang sungguh-sungguh antara kapal dengan Indonesia sebagai negara
bendera, agar dapat memperoleh surat tanda kebangsaan kapal sebagai legalitas mengibarkan
bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan kapal.
b. Memberikan identitas yang jelas (fisik dan pemilik) kepada kapal sehingga dapat dibedakan satu
sama lain.
c. Mencatat dan mengikuti terus menerus beban-beban, hak-hak tanggungan dan sebagainya yang
melekat pada kapal yang bersangkutan.
d. Mencatat dan mengikuti terus menerus setiap perubahan yang terjadi atas kapal yang
bersangkutan, baik nama, mesin maupun badan kapal.
e. Dapat dijadikan jaminan hutang (hipotek).

Secara umum dapat dikatakan bahwa pendaftaran kapal dimaksudkan agar kapal yang bersangkutan
selalu dapat diidentifikasikan sepanjang umur operasinya, karena itu setiap perubahan atas nama,
pemilikan, ukuran dan spesifikasinya, tanda-tanda lain dari kapal harus secara jujur dilaporkan kepada
pejabat pendaftaran kapal ditempat kapal didaftarkan.

4. Aspek Hukum

a. Hukum Perdata
 Pendaftaran kapal pada dasarnya adalah pendaftaran hak milik atas kapal.
 Kapal yang telah didaftarkan dapat dijadikan jaminan atas hutang dengan cara pembebanan
hipotek atas kapal.
 Kapal yang telah didaftar dapat dibebani hak kebendaan lainnya.

b. Hukum Publik
 Kapal yang telah didaftarkan dapat memperoleh Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia.
 Kapal yang telah memperoleh Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia wajib memenuhi
persyaratan kelaiklautan kapal baik nasional maupun internasional sesuai ukuran dan daerah
pelayaran.
4. Jenis-jenis Angkutan Laut

Berdasarkan pasal 7 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, jenis angkutan laut terdiri atas : Angkutan
Laut Dalam Negeri, Angkutan Laut Luar Negeri, Angkutan Laut Khusus, dan Angkutan Laut Pelayaran
Rakyat.

 Angkutan Laut Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di wilayah perairan
Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional atau dalam arti dilakukan
dengan menggunakan batas-batas kedaulatan dalam negara.

Pelayaran dalam negeri yang meliputi:

a. Pelayaran Nusantara, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan
Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh satu dan lain sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Radius pelayarannya > 200 mil laut
b. Pelayaran Lokal, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan
Indonesia yang ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar
negeri dengan mempergunakan kapal-kapal yang berukuran 500 m3 isi kotor ke bawah atau sama
dengan 175 BRT ke bawah. Radius pelayarannya < 200 mil laut atau sama dengan 200 mil laut.
c. Pelayaran Rakyat, yaitu pelayaran Nusantara dengan menggunakan perahu-perahu layar.

 Angkutan Laut Luar Negeri adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan atau terminal khus us yang
terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke
pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri yang
diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut atau dalam artian dilakukan dengan pengangkutan di
lautan bebas yang menghubungkan satu negara dengan negara lain.

Pelayaran luar negeri, yang meliputi:

a. Pelayaran Samudera Dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhan- pelabuhan negara tetangga yang tidak
melebihi jarak 3.000 mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia, tanpa memandang jurusan;
b. Pelayaran Samudera, yaitu pelayaran ke- dan dari luar negeri yang bukan merupakan pelayaran
samudera dekat.

 Angkutan Laut Khusus adalah kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam
menunjang usaha pokoknya.

 Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai
karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar,
kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.

 Konosemen / Bill of Loading. Bill of Lading (B/L) dalam KUHD masih menggunakan sebugtan
konosemen yaitu terjemahan dari WvK Cognossement, dimana pengertiannya terdapat dalam:
a. Hamburg Rules :
“Bill of lading means a document which evidences a contract of carriage by sea and the taking
over or loading of the goods againts surrender document. A provision in the document that the
goods are to be delivered to the order of a named person, or, to order, or to bearer, constitutes
such an undertaking”.
b. Pasal 506 ayat (1) KUHD:
“Konosemen ialah sepucuk surat yang ditanggali ddimana pengangkut menyatakan, bahwa ia
telah menerima barang-barang tertentu untuk diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan
disana menyerahkan kepada orang yang ditunjuk, beserta dengan klausula-klausula apa
penyerahan terjadi.”

Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa konosemen atau B/L berfungsi sebagai:

a. Surat tanda terima barang dari pengangkut untuk pengirim/penerima


b. Surat bukti perjanjian pengangkutan.
c. Surat bukti pemilikan barang
d. Surat berharga

B/L yang dapat diperdagangkan ditandai dengan tulisan “Original dan yang tidak dapat diperdagangkan
dengan tanda “Not Negotiable”. B/L yang tergolong atas pengganti apabila diperalihkan harus
menggunakan cara endosemen dan penyerahan suratnya (pasal 508 KUHD).

Ketentuan mengenai B/L dapat dilihat dalam pasal 506 KUHD dan seterusnya (506, 507,509, 510, 513,
514, 515, 516, 517 & 517A ), pasal III ayat 3 Hague Rules dan pasal 14 ayat 1 Hamburg Rules.

5. Macam-macam B/L:

a. Berdasarkan cara penerbitannya:


 Rekta B/L, yaitu B/L yang cara peralihannya dengan Cessie
 Order B/L, yaitu B/L yang cara peralihannya dengan endorsement, terdiri dari order of
shipper B/L atau order blanko atau konosemen blanko.

b. Berdasarkan nilai yang terkandung di dalamnya:


 Clean B/L
 Dirty B/L

c. Berdasarkan pelabuhan tujuan :


 Direct/straight B/L
 Optional B/L
 Through B/L

6. Carter / Penyewaan Kapal

a. Pengertian Umum Chater Kapal


Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Charter Kapal adalah merupakan kegiatan sewa
menyewa ruang kapal. Didalam dunia pelayaran, Charter Kapal dapat kita ketahui ada tiga jenis
system Charter kapal yaitu :
 Time Charter adalah system penyewaan kapal antara pemilik kapal ( Ship’s Owner) dengan
Penyewa (Charterer) yang di dasarkan pada jangka waktu (lamanya penyewaan) yang di setujui
bersama oleh kedua belah pihak.
- Persyaratan umum :
 Pemilik kapal, menerima sejumlah uang sewa ( charterer hire rate) dari pihak penyewa
( Charterer) selanjutnya menyerahkan kapal dimaksud kepada penyewa untuk
dipergunakan mengangkut sejumlah barang muatan.
 Waktu penyewaan( Lamanyan sewa menyewa) telah di tentukan ( satu,tiga,enam bulan
atau satu tahun)
 Ditentukan pula biaya-biaya apa saja yang menjadi beban pihak pemilik kapal dan
penyewa kapal.
 Semua beban yang terkait dengan kapal ( gaji ABK,perawatan kapal, perbekalan dan
lain-lainnya) menjadi beban tanggungan pihak pemilik kapal ( ship’s owner) tetapi biaya-
biaya pelabuhan sandar,DSB dimana kapal yang di sewa itu singgah/ meninggalkan
pelabuhan, bahan bakar minyak,air minum dan biaya-biaya lain terkait dengan
kepentingan penyewa, maka semua beban biaya tersebut, menjadi tanggung jawab pihak
penyewa ( Charterer)

 Voyage Charterer adalah suatu system penyewa kapal antara pemilik dan penyewa kapal atas
dasar satu atau beberapa trayek angkutan./perjalanan kapal, dimana untuk trayek dimaksud,
pemilik kapal akan menyerahkan seluruh atau sebagian ‘Ruang Muatan’ ( Cargo Space
Available), Kepada penyewa Setelah yang bersangkutan membayar tariff sewa per voyage
( Trayek perjalanan/ pengangkutan)
- Ketentuan umum:
 Pemilik kapal akan menanggung semua biaya-biaya kapal baik saat kapal berada di
pelabuhan, dalam proses pengangkutan, semua biaya-biaya kebutuhan kapal termaksuk
bahan bakar dan air minum.
 Penyewa hanya berkewajiban mambayar uang sewa muatan sesuai tariff yang telah di
sepakati bersama untuk satu trayek angkutan ( Voyage Hire Rate)

 Bareboat Charter adalah suatu system sewa menyewa kapal, dimana pihak pemilik kapal,
menyerah kapal dalam keadaan kosong, tanpa ABK tetapi lengkap dengan segel sarana/peralatan
dan perlengkapan kapal untuk berlayar secara aman, setelah menerima uang sewa( Hire Rate) dari
pihak penyewa ( Charterer). Hal-Hal yang di tulis dalam Perjanjian Charter ( Charter Party/ Surat
perjanjian laut)
-Dalam melakukan sewa menyewa kapal (chartere kapal) adapun hal-hal yang di tulis dalam
melakukan perjanjian antara lain:
 Nama pencharter / alamat
 Nama alamat perusahaan pemilik kapal
 System pengangkutan (Fiost)
 Waktu kedatangan kapal
 Nama pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan
 Tarif sewa
 Term pembayaran
 Jumlah barang yang di angkut
 Tanggal muat dan sangsi
 Sistem bongkar muat
 Kewajiban pihak penyewa
 Ketentuan mengenai jangka waktu
 Ketentuan mengenai General Average
 Ketentuan Force Majeure
 Penyelesaian perselisihan
 Seluk beluk kapal melipiti :
 Nama kapal
 Tahun pembuatan kapal
 Status kapal ( milik,keganan/charter)
 BenderaGRT/NRT
 DWT ( Dead weight ton)
 Kapasitas muat
 Lain-lain atau ketentuan khusus

7. Sifat Usaha Pelayaran

Pembagian jenis usaha pelayaran menurut sifat yang ada di perusahaan memiliki 2 bentuk usaha
pelayaran yakni :

a. Pelayaran Tetap
Ialah pelayaran yng dijalankan secara tetap dan teratur, baik dalam hal keberangkatan maupun
kedatangan kapal di pelabuhan, dalam hal ini trayek dan tarif angkutan serta dalam hal syarat
syarat perjanjian pengangkutan
b. Pelayaran tidak tetap
Merupakan peleyaran bebas yang tidak terikat, dengan kesatuan kesatuan formal apapun. Kapal
dalam melakukan pelayaran kemana sja dan membawa muatan ap saja sepanjang tidak dilarang
oleh kesatuan Negara

8. Tanggung jawab Pengangkut

Pasal 468 KUHD menyebutkan bahwa tanggung jawab si pengangkut antara lain:

a. (ayat 1) “Persetujuan pengangkutan mewajibkan si pengangkut untuk menjaga akan keselamatan


barang yang harus diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang
tersebut.”
b. (ayat 2) “Si pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang
tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada
barang itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tadi
disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya,
atau cacat daripada barang tersebut, atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya.”
c. (ayat 3) “Ia bertanggung jawab untuk perbuatan dari segala mereka, yang dipekerjakannya, dan
untuk segala benda ya ng dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan tersebut.”
d. Pengirim barang
 Pemegang kuasa
 Komisioner
 Penyimpan barang
 Penyelenggara usaha

Selain ekspeditur dalam pengangkutan laut dikenal pula pihak-pihak yang terkait lainnya, yaitu sebagai
berikut:

a. Pengatur muatan
b. Per-Veem-An/Ekspedisi Muatan Laut

Menurut pasal 1 PP no 2 tahun 1969 yang dimaksudkan dengan Per-Veem-An ialah:

“Usaha yang ditujukan kpd penampungan dan penumpukan barang-barang yang dilakukan dg
mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, dimana dikerjakan dan disiapkan untuk diserahkan
kepada perusahaan pelayaran untuk dikapalkan, yang meliputi: antara lain kegiatan ekspidisi muatan,
pengepakan, pengepakan kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuhan, penendaan dan lain-lain pekerjaan
yang bersifat teknis ekonomis yang diperlukan perdagangan dan pelayaran.”

9. Nahkoda

Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan
mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Kewenangan dan Hak Nahkoda

a. Setelah tiba di suatu pelabuhan, nahkoda dapat menyuruh pegawai yang berwenang untuk
membuat keterangan kapal mengenai kejadian dalam perjalanan.
b. Bila sangat diperlukan, demi keselamatan kapal atau muatannya, nahkoda berwenang untuk
melemparkan ke laut atau memakai habis perlengkapan kapal dan bagian dari muatan.
c. Nahkoda dalam keadaan darurat selama perjalanan berwenang untuk mengambil dengan
membayar ganti rugi, bahan makanan yang ada pada para penumpang atau yang termasuk
muatan, untuk digunakan demi kepentingan semua orang yang ada di kapal.
d. Nahkoda mempunyai kekuasaan disipliner atas anak buah kapal. Untuk mempertahankan
kekuasaan ini ia dapat mengambil tindakan yang selayaknya diperlukan.
e. Nahkoda mempunyai kekuasaan di kapal atas semua penumpang. Mereka wajib menaati perintah
yang diberikan oleh nahkoda untuk kepentingan keamanan atau untuk mempertahankan
ketertiban dan disiplin.
BAB III
Contoh Kasus

Indonesia sebagai negara maritim kini tengah berduka karena serentetan kecelakaan kapal di perairan.
Setelah KM Sinar Bangun yang karam membawa ratusan orang di dalamnya di Danau Toba, berselang
dua pekan giliran KM Lestari Maju yang mengalami kecelakaan saat membawa penumpang berlayar ke
pulau Selayar, Sulawesi Selatan.

Pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan menilai kecelakaan dua kapal itu sebagai puncak gunung
es dari permasalahan di sistem angkutan air di Indonesia. Tigor menilai kasus-kasus tersebut buah dari
kelalaian pemerintah daerah dalam mengawasi dan mengelola transportasi di daerahnya. Ia bahkan
menyebut kejadian serupa banyak terjadi di daerah lain.

"Ada banyak kasus yang melibatkan pelayaran tradisional tapi tidak mendapat sorotan media karena
jauh," kata Tigor yang dihubungi lewat telepon, Rabu (4/7).

Kecelakaan-kecelakaan angkutan air belakangan ini menurut Tigor muncul karena anggapan tak ada
masalah. Akibatnya pelayanan transportasi itu seolah berjalan tanpa pengawasan. Padahal, sejumlah
masalah menumpuk sejak lama. Persoalan di ranah transportasi perairan itu bagaimanapun telah menjadi
sorotan publik di tingkat nasional, termasuk Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang mulai
mempertanyakan jargon Indonesia sebagai negara poros maritim.

Pemda Sebagai Pangkal Masalah

Minimnya pengawasan pemda dinilai jadi pangkal masalah. Tanpa pengawasan yang cukup, tak ada yang
memeriksa bahwa kapal yang melayani penumpang itu sudah tua, kapal tidak laik jalan, muatan melebihi
kapasitas. Belum lagi kapal-kapal tersebut kerap tak berkoordinasi dengan Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terkait kondisi cuaca. Dalam kasus KM Sinar Bangun, faktor cuaca
berperan penting selain faktor kelebihan muatan yang akhirnya menyebabkan kapal tenggelam. Itu
sebabnya Tigor mengusulkan pemerintah pusat meminta gubernur dan kepala-kepala daerah di bawahnya
mengawasi lebih ketat pelayaran yang ada di wilayahnya. Ia juga menyarankan Kementerian
Perhubungan segera memberi pelatihan nahkoda kapal tradisional yang selama ini bekerja secara
otodidak.

"Pemda-pemda harus diorganisir. Kalau bisa dalam minggu ini dipanggil karena ini sudah prioritas,"
tukas Tigor.

Pria yang dulu menjabat kepala dewan transportasi Jakarta itu menambahkan pemerintah tak perlu
memberi moratorium pelayaran tradisional. Alasannya, ada banyak warga yang mobilitasnya bergantung
pada kapal tradisional seperti mereka yang tinggal di Kalimantan.

Andil Penumpang

Pengamat Transportasi Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno berpendapat bahwa penumpang


kapal juga turut membuat banyak korban berjatuhan jika terjadi kecelakaan di laut. Hal itu karena
kebanyakan penumpang yang membawa kendaraan roda empat tidak meninggalkan kendaraan mereka
saat menyeberang dengan kapal. Seperti yang terjadi dalam kecelakaan KM Lestari Maju di perairan
Kepulauan Selayar. "Kabar terakhir kalau yang di Sulsel kelebihan muatan enggak, pelampung bisa
digunakan, sistemnya dudah bagus ya. Tetapi katanya karena banyak pengemudi tetap berada di dalam
mobil saat menyeberang," ujar Djoko ketika dihubungi CNNIndonesia.com pada Rabu (4/7).

Dugaan penumpang enggan keluar dari kendaraannya saat berada di kapal tak hanya terjadi di KM Lestari
Maju. Kecenderungan yang sama juga terjadi di kapal yang menyeberang di Merak-Bakaheuni. Karena
kurangnya pengawasan yang ketat dan fasilitas kapal yang kurang membuat penumpang enggan
meninggalkan mobil mereka.

"Nah ini kekeliruan, penumpang itu kan ada yang bawa mobil, ketika mobil masuk seharusnya
penumpangnya naik. Tapi kecenderungan yang masih terjadi di penyeberangan itu penumpang masih
menunggu di dalam mobil mungkin dengan mesinnya dinyalakan biar AC-nya nyaman karena kapalnya
nggak ada AC-nya," paparnya.

Seharusnya, hanya petugas saja yang diperbolehkan berada di dalam tempat pengangkutan mobil tersebut.
Sehingga, saat terjadi kecelakaan penumpang bisa menyelamatkan diri. Djoko melanjutkan bahwa
kecenderungan tersebut adalah salah satu wujud kendornya pengawasan di angkutan laut. Ditjen
Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan yang bertanggung jawab atas Angkutan Sungai, Danau, dan
Penyeberangan (ASDP) harusnya berani menegakkan standar pelayanan minimum yang sudah tertuang di
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 tahun 2015 mengenai tentang standar keselamatan transportasi
sungai, danau, dan penyeberangan.

"Itu bisa jadi belum dijalankan sepenuhnya. SPM itu meliputi SDM-nya meski saya kira SDM sudah.
Sarananya, mengenai lingkungan juga. Nah ini mungkin masih ada orang di dalam mobil (tidak
memenuhi standar lingkungan)," lanjutnya. Lebih jauh dia menilai, seharusnya Kantor Syahbandar dan
Otoritas Pelabuhan (KSOP) yang menjadi perpanjangan tangan Ditjen Perhubungan Laut, dan Balai
Pengelolaan Transportasi Darat (BPTD) yang mewakili Ditjen Perhubungan Darat di daerah meniru
ketatnya transportasi udara dan kereta api agar kecelakaan tak terus terulang.

"SPM sudah ada tingal bagaimana mengawasi di lapangan. Saya memberi contoh kita itu ketat di udara,
sekarang udara bagus kan, perkeretaapian juga. Itu karena mereka ketat, ternyata keselamatan meningkat.
Ya ditiru saja cara udara dan perkeretaapian," tandasnya. Selain ketat dalam mengikuti peraturan, Djoko
juga menekankan bahwa baik transportasi udara dan perkeretaapian rajin melakukan peninjauan kembali
atas SPM mereka. Tujuannya untuk memberikan pembaruan dan relevansi atas kondisi terbaru di
lapangan.
BAB IV
Kesimpulan

A. Kesimpulan

Hukum Laut dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Hukum Laut Keperdataan dan Hukum Laut Publik. Hukum laut
bersifat keperdataan atau privat, karena hukum laut mengatur hubungan antara orang-perorangan. Dengan
kata lain orang adalah subjek hukum. Yang dimaksud dengan orang di sini adalah pengirim dan
penumpang dengan perusahaan pengangkutan.

Sifat dasar dari perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran (jasa dan pemborongan), timbal
balik (para pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan dan berhak memperoleh prestasi) dan
konsensual (perjanjian pengangkutan sah terjadinya kesepakatan).

Dari kasus diatas, kurangnya pengawasan dari pemerintah dalam menjalankan hukum angkutan laut yang
menyebabkan banyaknya kecelakaan angkutan laut di Indonesia. Bahkan masih banyak kecelakaan laut
yang terjadi tetapi tidak mendapatkan sorotan dari media karena terlalu jauh.

B. Saran

Sebaiknya pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lebih memperhatikan tentang
transportasi laut, karena transportasi laut merupakan salah satu transportasi penting di Indonesia
dikarenakan Indonesia yang berbentuk kepulauan dan dikelilingi oleh perairan. Sehingga dapat
menimbulkan rasa aman bagi penumpang ataupun orang yang sering menggunakan jasa transportasi laut.

Anda mungkin juga menyukai