Anda di halaman 1dari 208

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK

TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP,


LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN
POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH

LENNY STANSYE SYAFEI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pengaruh Beban Kerja Osmotik
Terhadap Kelangsungan Hidup, Lama Waktu Perkembangan Larva dan Potensi
Tumbuh Pascalarva Udang Galah”, adalah karya saya sendiri dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2006

Lenny Stansye Syafei


NRP. 995134
ABSTRAK

LENNY STANSYE SYAFEI. Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Kelang-


sungan Hidup, Lama Waktu Perkembangan Larva dan Potensi Tumbuh Pascalarva
Udang Galah. Dibimbing oleh RIDWAN AFFANDI, M. SRI SAENI, KARDIYO
PRAPTOKARDIYO dan BAMBANG KIRANADI.

Peningkatan produksi udang galah melalui budidaya perlu terus diupayakan,


sehubungan kecenderungan permintaan pasar yang meningkat. Kendala pada
percepatan peningkatan produksi adalah terbatasnya kualitas dan kuantitas benih.
Permasalahan terdapat pada efektivitas manajemen salinitas tanpa memperhitungkan
beban kerja osmotik larva di panti-panti pembenihan. Karenanya penelitian ini
bertujuan untuk memahami perilaku osmotik yang potensial berperan bagi
keberhasilan: kelangsungan hidup, perkembangan larva dan potensi tumbuh
pascalarva udang galah. Prinsip dasar yang menjadi landasan penentuan adalah
meminimalkan beban kerja osmotik melalui adaptasi dan efisiensi pemanfaatan
energi. Metode percobaan adalah kausal-komparatif-kondisional dengan disain
percobaan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan salinitas dan tiga
ulangan. Penelitian terdiri atas tiga percobaan, yaitu pengaruh beban kerja osmotik
terhadap (1) perkembangan larva, (2) laju konsumsi oksigen, dan (3) potensi tumbuh
pascalarva udang galah. Pengamatan dilakukan terhadap stadia kritis hasil percobaan
pendahuluan, yaitu pada stadia 6, 8 dan 11; serta pascalarva. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beban kerja osmotik berpengaruh nyata terhadap lama
perkembangan stadia, sintasan stadia larva dan potensi tumbuh pascalarva. Beban
kerja osmotik minimum terdapat pada: (a) tahap eksploratif perlakuan 3, yaitu
peningkatan salinitas 1 ppt perhari selama tujuh hari dari salinitas awal 6 ppt, (b)
pada tahap adaptasi perlakuan 3, yaitu salinitas media dipertahankan stabil 13 ppt.
Dampak lanjut terhadap potensi tumbuh pascalarva pada kondisi hiperosmotik lebih
tinggi dari hipoosmotik. Saran, perlu dibangun suatu konsepsi sebagai landasan paket
teknologi. Rekomendasi salinitas awal adalah 6 ppt, peningkatan 1 ppt perhari selama
tujuh hari, upayakan stabil pada salinitas 13 ppt, selanjutnya menurunkan salinitas
saaat cairan tubuh larva melewati kondisi isoosmotik.
ABSTRACT

LENNY STANSYE SYAFEI. Effect of osmotic load on survival, larval development


time, and growth potential of freshwater giant prawn post-larvae. Under the direction
of RIDWAN AFFANDI, SRI SAENI, KARDIYO PRAPTOKARDIYO and
BAMBANG KIRANADI

The production of freshwater giant prawn through rearing should be increased


continuously considering the ever-increasing market demand. Acceleration in
increasing production has been constrained by limitation of seed quality and quantity.
The problem has been in effectiveness of salinity management without taking into
consideration larval osmotic load in a hatchery. Hence, the research aimed at
understanding osmotic compartment that potentially plays an important role in
survival, larval development, and the potential growth of post-larva of freshwater giant
prawns. The basic principal used as determining base was minimizing osmotic load
through adaptation and efficiency of energy utilization. The experimental method was
causal comparative conditional; while the experimental design used was a complete
randomized design with four salinity treatments and three replications. The research
consisted of three experiments, covering effects of osmotic load on: (1) larval
development, (2) rate of oxygen consumption, and (3) growth potential of freshwater
giant prawn post-larvae. Observation was conducted on those critical stadium based on
preliminary experiment; comprising those of 6th, 8th, 11th and post-larva using the
design of complete random type with four treatments of salinity and three replications.
The result of the research reveals that osmotic load has significant influence on
development time, survival of larval stadium, and post-larval growth potential.
Minimum osmotic load of: (a) explorative stage occurred in the third treatment, there
was 1 ppt daily salinity increase within seven days from initial salinity of 6 ppt; and
(b) adaptive stage occurred at third treatment that is medium salinity was maintained
stable at 13 ppt. The successive impact on post-larval growth potential at hyper-
osmotic was higher than it was on hypo-osmotic condition. It is suggested that a
concept should be developed further such as base of particulary better technology
expected. The recommended initial salinity should be 6 ppt, increase in salinity should
be 1 ppt daily for the first seven days, it should be kept stable at 13 ppt, and finally
should be decreased when larval body solution exceed iso-osmotic condition.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
institut pertanian bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya
PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK
TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP,
LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN
POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH

LENNY STANSYE SYAFEI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Disertasi : Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Kelangsungan Hidup,
Lama Waktu Perkembangan Larva dan Potensi Tumbuh
Pascalarva Udang Galah
Nama : Lenny Stansye Syafei
NRP : 995134

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ridwan Affandi Prof. Dr. Ir. Muchammad Sri Saeni, MS
Ketua Anggota

Dr. Ir. Kardiyo Praptokardiyo Drs. Bambang Kiranadi, MSc. PhD


Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 27 April 2006 Tanggal Lulus: 24 Agustus 2006


PRAKATA

Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa penelitian yang terkendala oleh


berbagai faktor ini mampu dirampungkan; dan hal ini hanya mungkin terjadi berkat
rahmat dan karunia Tuhan YMK. Oleh karenanya, mengawali tulisan ini penulis
memanjatkan Puji dan Syukur atas seluruh perkenanNya.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang diwujudkan dalam bentuk suatu
disertasi. Gambaran substansi tulisan meliputi: latar belakang, identifikasi masalah,
kerangka pemikiran, perumusan konsepsi, tujuan dan manfaat penelitian; kerangka
teoritis yang merangkum pemikiran dasar dan pendalaman suatu teori melalui
penelusuran tinjauan pustaka; bahan dan metode sebagai penuntun pelaksanaan
penelitian; hasil dan pembahasan; serta kesimpulan.
Bilamana disertasi ini terlihat telah memenuhi kerangka umum
sebagaimana layaknya suatu disertasi; dapat penulis sampaikan bahwa hal itu
terwujud berkat bimbingan yang terarah dari Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Ridwan
Affandi, selaku Ketua; dengan anggota: Prof. Dr. Ir. Muchammad Sri Saeni, MS;
Dr. Ir. Kardiyo Praptokardiyo serta Drs. Bambang Kiranadi, MSc. PhD. Karena itu,
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus. Tetapi
bilamana masih terdapat kekurangan, pertanda penulis belum mampu menyerap
secara utuh bimbingan yang telah diberikan dan karenanya penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun.
Kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan,
mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, pengolahan data serta
perampungan penulisan penelitian ini, penulis menyampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih.
Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2006


Lenny Stansye Syafei
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 29 September 1952


sebagai anak terakhir dari enam orang anak pasangan M. Syafei Dg Mambani
(almarhum) dan Chatarina Johana Jonas (almarhumah). Pendidikan sarjana ditempuh
di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB, lulus pada tahun 1979.
Pada tahun 1987, penulis diterima sebagai mahasiswa program magister sain pada
Program Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada
tahun 1990. Beasiswa pendidikan magister sain diperoleh dari Departemen Pertanian
Republik Indonesia. Kesempatan untuk melanjutkan studi untuk program doktor pada
perguruan tinggi dan program studi yang sama diperoleh pada tahun 1999.
Penulis bekerja sebagai Tenaga Pengajar sejak tahun 1981 dan ditempatkan di
Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor; Jurusan Penyuluhan Perikanan. Selama
menjadi Tenaga Pengajar, penulis juga ditugaskan pada institusi pendidikan tersebut
sebagai Kepala Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat antara tahun 1985-
1987. Kemudian pada tahun 1989-1990, penulis ditugaskan sebagai Kepala Pusat
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Perikanan pada institusi pendidikan yang sama.
Selama mengikuti program S3, penulis penulis diberi tanggung jawab selaku
Pembantu Ketua I bidang Akademik pada Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian
Bogor, yaitu dari tahun 2000-2003. Kemudian pada tahun 2003-2005, penulis
ditugaskan sebagai Kepala Pusat Pengembangan Kewirausahaan, Badan
Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian; sekaligus pada saat yang sama
di bulan Mei 2005 sampai dengan akhir tahun 2005, penulis diberi kepercayaan
bertindak sebagai Kepala Pusat Pengembangan Penyuluhan Ad Interm, Badan
Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian. Sejak awal Januari 2006
menjadi pegawai Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai tenaga pengajar pada
Sekolah Tinggi Perikanan. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul “Pengaruh
beban kerja osmotik terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup larva udang
galah Macrobrachium rosenbergii de Man” pada jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia. Karya ilmiah tersebut merupakan salah satu bagian dari
rangkaian penelitian dalam rangka penyelesaian program S3 penulis.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. v

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vii

PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................. 1
Identifikasi Masalah ......................................................................... 3
Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 6
Kerangka Pemikiran ......................................................................... 6
Konsep Pemecahan Masalah ................................................ 6
Prinsip Dasar ........................................................................ 8
Faktor Penentu ..................................................................... 9
Perumusan Konsepsi ........................................................................ 9
Hipotesis............................................................................................. 9

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 10


Karateristik Media.............................................................................. 10
Kapasitas Regulasi Osmotik .............................................................. 14
Perkembangan Stadia ....................................................................... 19
Pertumbuhan Pascalarva .................................................................. 21

METODOLOGI ........................................................................................... 26
Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Perkembangan
Larva Tahap Awal dan Tahap Lanjut ............................................... 29
Tujuan Percobaan ................................................................. 29
Metode dan Disain Rancangan Percobaan ........................... 29
Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja ........................ 32
Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan ................. 34
Teknik Pengumpulan Data ................................................... 42
Analisis Data ........................................................................ 44
Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Laju Konsumsi
Oksigen Larva Udang Galah ............................................................ 45
Tujuan Percobaan ................................................................. 45
Metode dan Disain Rancangan Percobaan ........................... 45
Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja ........................ 48
Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan ................ 48
Teknik Pengumpulan Data ................................................... 51
Analisis Data ........................................................................ 51
Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Potensi Tumbuh
Pascalarva Udang Galah .................................................................. 53
Tujuan Percobaan ................................................................. 53
Metode dan Disain Rancangan Percobaan ........................... 53
Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja ........................ 54
Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan ............... 55
Teknik Pengumpulan Data ................................................... 57
Analisis Data ........................................................................ 58

HASIL PENELITIAN.................................................................................... 59
Kondisi Kualitas Air .......................................................................... 59
Kualitas Air pada Tahap Eksplorasi....................................... 59
Kualitas Air pada Tahap Adaptasi dan Perkembangan Akhir 62
Kemampuan Regulasi dan Beban Osmotik ....................................... 65
Perkembangan Larva.......................................................................... 70
Lama Waktu Perkembangan Stadia ....................................... 71
Lama Waktu Keberadaan Stadia............................................ 79
Produksi Kelimpahan Larva............................................................... 81
Sintasan dan Laju Kematian................................................... 81
Produksi Kelimpahan ............................................................. 82
Potensi Pertumbuhan.......................................................................... 83
Potensi Pertumbuhan Larva ................................................... 83
Tingkat Konsumsi Pakan Harian ................................ 83
Tingkat Konsumsi Oksigen......................................... 85
Potensi Tumbuh Larva ................................................ 87
Potensi Pertumbuhan Pascalarva ........................................... 90
Tingkat Konsumsi Pakan Harian ................................ 90
Tingkat Konsumsi Oksigen......................................... 91
Potensi Tumbuh Pascalarva ........................................ 92

PEMBAHASAN ............................................................................................ 97
Hubungan antara Lama Waktu Perkembangan Larva, Sintasan
dengan Beban Kerja Osmotik ............................................................ 97
Hubungan antara Potensi Pertumbuhan dengan Beban Kerja Osmotik
serta Dampak Lanjut terhadap Potensi Pertumbuhan Pascalarva ........ 103

SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 111

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 113

ii
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tahap Perkembangan Larva sampai Pascalarva Udang Galah......... 21


2. Komposisi Pakan Buatan untuk Mendukung Pertumbuhan
Pascalarva Macrobrachium rosenbergii …...................................... 25
3. Parameter Kualitas Air dan Metoda Peneraan yang Digunakan....... 36
4. Perkiraan Jumlah Air Laut dan Tawar Terpakai pada Percobaan.... 41
5. Jadual Pemberian Pakan Harian Berdasarkan Stadia Larva………. 42
6. Rataan dan Simpangan Baku Parameter Fisika-Kimia Air serta
Tolok Ukur setiap Perlakuan pada Sistem Produksi Tahap
Eksplorasi.......................................................................................... 59
7. Rataan dan Simpangan Baku Parameter Fisika-Kimia Air serta
Tolok Ukur pada Sistem Produksi Tahap Adaptasi dan Tahap
Perkembangan Akhir........................................................................ 63
8. Kemampuan Regulasi Osmotik (OH/OM) Larva Udang Galah
setiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan
Perkembangan Akhir........................................................................ 66
9. Beban Kerja Osmotik [1-(OH/OM)] Larva Udang Galah setiap
Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan
Akhir................................................................................................. 68
10. Deskripsi Tahapan Perkembangan Larva sampai dengan
Pascalarva Udang Galah selama Penelitian...................................... 71
11. Lama Waktu Perkembangan Stadia Larva Udang Galah setiap
Perlakuan.......................................................................................... 71
12. Lama Waktu Keberadaan Stadia Larva Udang Galah setiap
Perlakuan.......................................................................................... 79
13. Tampilan Kondisi Rekrutmen, Lost dan Sintasan Larva Udang
Galah pada Tahap Eksplorasi, Adaptasi dan Perkembangan Akhir
Setiap Perlakuan............................................................................... 82
14. Produksi Larva dan Pascalarva Udang Galah pada Akhir Sistem
Produksi Tahap Potensi Tumbuh PL ............................................... 82
15. Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian (Artemia salina) Larva
setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan
perkembangan akhir.......................................................................... 84
16. Konsumsi Energi Basal per Bobot Larva Udang Galah setiap
Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan
Akhir................................................................................................. 85
17. Konsumsi Energi Basal Larva Udang Galah (kalori /larva per hari)
setiap Perlakuan ............................................................................... 87
18. Potensi tumbuh larva udang galah (kalori /larva per hari) setiap
perlakuan........................................................................................... 87
19. Tampilan Aktual Bobot Larva Udang Galah setiap Perlakuan pada
Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir.................... 88
20. Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian (Daphnia sp.) Pascalarva
sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik saat
Pemeliharaan Larva.......................................................................... 91
21. Konsumsi Energi Basal Pascalarva Udang Galah sebagai Respon
dari Perlakuan Tekanan Osmotik saat Pemeliharaan Larva............. 92
22. Konsumsi Energi Basal Pascalarva Udang Galah (kalori /PL per
hari) sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik .................. 92
23. Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah (kalori /PL per hari)
sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik............................ 93
24. Tampilan Aktual Pertambahan Bobot Pascalarva Udang Galah
Setiap Perlakuan............................................................................... 93
25. Sintasan Pascalarva Udang Galah pada Akhir Percobaan Setiap
Perlakuan.......................................................................................... 95
26. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja pada Tahap Eksploratif…. 100
27. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja pada Tahap Adaptasi…… 101

28. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja pada Tahap Perkembangan


Akhir………………………………………………………………. 102
29. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi Tumbuh
pada Tahap Eksploratif……....……………………………………. 104
30. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi Tumbuh
pada Tahap Adaptasi………….……...………………..................... 106
31. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi Tumbuh
pada Tahap Perkembangan Akhir……………………….………… 107

32. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi


Tumbuh PL-1.................................................................................... 109

iv
33. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi
Tumbuh PL-7……………………………………………………… 109
34. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi
Tumbuh PL-14…………………………………………………...... 110

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Diagram Alir Pendekatan Masalah Pengaruh Beban Kerja Osmotik
pada Perkembangan Larva Udang Galah.............................................. 5
2. Diagram Alir Pendekatan Masalah Pengaruh Beban Kerja Osmotik
pada Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah.................................... 5
3. Siklus Hidup Udang Galah yang Berada pada Air Tawar dan Air
Payau (modifikasi dari Akson dan Sampaio, 2000)…………………. 10
4. Grafik Osmotik Krustase Tipikal Osmokonformer dan Osmoregulator
(Sumber: Anonimous, 1997).................................................................. 16
5. Ilustrasi Mekanisme Kerja Pompa Natrium-Kalium Organisme Air
Tawar (Sumber: Anonimous, 2003)……………………………….... 17
6. Perubahan Aktivitas Enzim Na+/K+-ATPase selama Periode
Metamorfosa Larva Macrobrachium rosenbergii Menjadi
Pascalarva (Huong et al, 2004) ........................................................... 19
7. Proses Perkembangan Telur Udang Galah sampai Fase Embrionik
(Sumber: Romanova, 2000)................................................................... 20
8. Grafik Pertumbuhan Pascalarva Macrobrachium rosenbergii pada
Berbagai Nilai pH Media (Sumber: Chen dan Chen, 2003)................ 23
9. Tampilan Perubahan Osmolalitas Hemolymph Macrobrachium
rosenbergii pada Beberapa Konsentrasi Kelarutan Oksigen Media
(Cheng et al., 2003)............................................................................. 24
10. Mekanisme Runut Kegiatan Penelitian pada Sistem Produksi dari
Tahap Perkembangan Larva sampai Tahap Potensi Tumbuh
Pascalarva.............................................................................................. 27
11. Pola Perlakuan Perubahan Salinitas Media pada Sistem Produksi
Tahap Perkembangan Larva dan Tahap Potensi Tumbuh Pascalarva... 28
12. Wadah Percobaan dalam Bentuk Akuarium berukuran (40x80x30)cm 31
13. Bagan Penempatan Satuan Percobaan yang Dilakukan secara Acak.... 31
14. Deskripsi Perkembangan Stadia Larva Udang Galah (Sumber: Uno
dan Soo, 1969) ...................................................................................... 37
15. Osmometer yang Digunakan Beserta Spesifikasinya............................ 39
16. Disain Instrumen Peneraan Respirasi Larva Udang Galah.................... 47
17. Visualisasi Instrumen Konsumsi Oksigen yang Digunakan.................. 47
18. Rincian Percobaan Pengukuran Respirasi Larva................................... 49
19. Tahapan Pengukuran Tekanan Osmotik Larva Udang Galah .............. 51
20. Visualisasi Tahapan Pengukuran Tekanan Osmotik Larva................... 51
21. Beban Kerja Osmotik Larva Udang Galah tiap Perlakuan pada
Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir……………... 69
22. Kondisi Keragaman Stadia Larva Udang Galah pada Tahap
Eksploratif…………………………………………………………… 72
23. Hubungan Lama Waktu Perkembangan Stadia dengan Beban
Osmotik pada Tahap Eksplorasi.......................................................... 75
24. Hubungan Lama Waktu Perkembangan Stadia dengan Beban
Osmotik Pada Tahap Adaptasi ............................................................ 76
25. Hubungan Lama Waktu Perkembangan Stadia dengan Beban
Osmotik Pada Tahap Perkembangan Akhir ........................................ 77
26. Pola Konsumsi Energi Pakan Harian Larva Udang Galah Setiap
Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan
Akhir………………………………………………………………... 84
27. Pola Energi Basal Udang Galah Setiap Perlakuan Pada Tahap
Eksploratif dan Tahap Adaptasi ……...................................... 86
28. Kurva Pertumbuhan Pascalarva sebagai Respon dari Perlakuan
Tekanan Osmotik saat Pemeliharaan Larva………………………… 94

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai Parameter Kualitas Air setiap Perlakuan selama 120


Penelitian.............................................................................................
2. Kemampuan Regulasi Osmotik (OH/OM) Larva Udang Galah
setiap Perlakuan selama Penelitian...................................................... 123
3. Hasil Analisis Keragaman Kemampuan Regulasi Osmotik Larva
setiap Perlakuan selama Penelitian.......................…............................ 124
4. Beban Kerja Osmotik [1-(OH/OM)] Larva Udang Galah setiap
Perlakuan selama Penelitian................................................................. 126
5. Hasil Analisis Keragaman Beban Kerja Osmotik Larva setiap
Perlakuan selama Penelitian................................................................. 127
6. Visualisasi Tahap Perkembangan Larva sampai Pascalarva Udang
Galah..................................................................................................... 129
7. Lama Waktu Perkembangan Stadia Larva sampai Pasca Larva
Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian................................. 130
8. Hasil Analisis Keragaman Lama Waktu Perkembangan Stadia Larva
sampai Pasca Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian 131
9. Lama Waktu Keberadaan Stadia Larva sampai Pasca Larva Udang
Galah setiap Perlakuan selama Penelitian............................................ 137
10. Hasil Analisis Keragaman Lama Waktu Keberadaan Stadia Larva
sampai Pasca Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama
Penelitian.............................................................................................. 139
11. Hasil Perhitungan Rekrutmen, Lost dan Sintasan Larva Udang Galah
setiap Perlakuan selama Penelitian ...................................................... 145
12. Hasil Analisis Keragaman Perhitungan Rekrutmen, Lost dan
Sintasan Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian...... 148
13. Hasil Pengukuran Produksi Larva dan Pascalarva Udang Galah pada
Akhir Sistem I dan II ……………………………..…………………. 150
14. Hasil Analisis Keragaman Produksi larva dan Pascalarva Udang
Galah pada Akhir Sistem I dan II ………………………………….. 151
15. Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian (Artemia salina) Larva
(kalori/larva/hari) setiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif,
Adaptasi dan Perkembangan Akhir ................................................... 154
16. Hasil Analisis Keragaman Tingkat Konsumsi Energi Pakan harian
(Artemia salina) Larva (Kalori/larva/hari) setiap Perlakuan pada
Tahap Eskploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir..................... 155
17. Konsumsi Oksigen Basal per Bobot Larva Udang Galah Setiap
Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan
Akhir (kalori O2/mg per bobot basah larva per jam) (a s/d g) ............ 157
18. Hasil Analisis Keragaman Pengukuran Konsumsi Oksigen Larva
Udang Galah Setiap Perlakuan Selama Penelitian (a s/d b) .............. 163
19. Potensi tumbuh larva udang galah setiap perlakuan (kalori /mg
bobot larva per hari) ........................................................................... 167
20. Hasil Analisis Keragaman Potensi Tumbuh Larva Udang Galah
Setiap Perlakuan .................................................................................. 168
21. Hasil pengukuran Bobot Stadia Larva antar Perlakuan Selama
Penelitian ........................................................................................... 170
22. Hasil Analisis Keragaman Bobot Stadia Larva antar Perlakuan
selama Penelitian ……………………………………..……………... 171
23. Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian (Daphnia sp.) Pascalarva
sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik saat Pemeliharaan
Larva……………………..................................................................... 173
24. Hasil Analisis Keragaman Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian
(Daphnia sp.) Pascalarva setiap Perlakuan selama Penelitian........... 174
25. Konsumsi Oksigen Basal Pascalarva Udang Galah sebagai Respon
dari Perlakuan Tekanan Osmotik saat Pemeliharaan Larva (mg/l per
mg bobot basah PL) (a s/d g) .............................................................. 176

26. Hasil Analisis Keragaman Pengukuran Konsumsi Energi Oksigen


Pascalarva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian ........... 183
27. Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah setiap Perlakuan
(kalori/mg bobot PL per hari) ............................................................ 187
28. Hasil Analisis Keragaman Potensi Tumbuh Pascalarva Udang
Galah setiap Perlakuan....................................................................... 188

viii
29. Hasil pengukuran Bobot (aktual) Pascalarva antar Perlakuan
selama Penelitian .............................................................................. 190
30. Hasil analisis keragaman bobot (aktual) pascalarva antar perlakuan
selama penelitian ...... ........................................................................ 191

ix
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Udang galah, Macrobrachium rosenbergii de Man adalah jenis udang


yang hidup di perairan tawar. Udang ini merupakan udang dengan ukuran terbesar
dalam famili Palaemonidae, dan bernilai ekonomis penting sehingga menarik
banyak kalangan untuk melakukan budidaya.
Sejauh ini budidaya udang galah mulai marak dilaksanakan di kalangan
pembudidaya, baik dalam skala kecil berkelompok maupun dalam skala
menengah. Aplikasi teknologi budidayanya yang terjangkau, sederhana dan tepat-
guna sejak dari sekuensi pembenihan sampai ke pembesaran, menjadikan
komoditas ini sebagai pilihan alternatif yang berdaya saing. Oleh karena itu,
melalui berbagai upaya dicoba untuk dikembangkan dalam skala besar; sehingga
pada beberapa tahun terakhir ini, udang galah mulai diperhitungkan sebagai
komoditas unggulan yang memberi harapan bagi masa depan perikanan budidaya.
Selaku komoditas unggulan penting, bagi pembangunan perekonomian Indonesia,
kekuatan utama berusaha di bidang ini adalah tergolong komoditas yang ditangani
rakyat banyak. Dengan demikian, upaya pengembangan budidaya udang galah
akan memberikan dampak yang besar dan positif bagi perekonomian rakyat.
Terlebih bila diingat bahwa budidaya udang galah dapat dilakukan dalam skala
kecil bahkan mikro.
Pantauan selama ini memperlihatkan permintaan pasar akan udang galah
ukuran konsumsi terus meningkat secara nyata, terutama di pulau Jawa, Sumatera
dan Kalimantan. Hal ini terlihat dari tingginya permintaan benih pada panti
pembenihan yang ada. Berbagai informasi dari kalangan pembudidaya udang
galah menyatakan bahwa peningkatan produksi, baik dari hasil budidaya maupun
dari hasil tangkap masih belum mampu memenuhi permintaan pasar akan udang
galah ukuran konsumsi. Data kuantitatif secara rinci dari BPS tidak diperoleh,
karena udang galah masih disatukan dalam kelompok udang. Gambaran
peningkatan produksi udang galah bukan hanya di Indonesia, di kawasan Asia
lainnya pun terjadi peningkatan produksi. Dalam dua dasawarsa terakhir,
produksi komoditas udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) meningkat
2

secara nyata, terutama di Asia, serta di Amerika Utara dan Amerika Selatan.
Tercatat selama 10 tahun terakhir (1992-2001) produksi dunia udang galah hasil
budidaya meningkat dari sekitar 40.000 mt (metriks ton) menjadi sekitar 215.000
mt atau meningkat sekitar lima kali (New, 2002; New, 2005).
Peningkatan produksi udang galah memang harus terus diupayakan
mengingat permintaan pasar terus meningkat. Upaya peningkatan melalui
penangkapan udang dalam jangka panjang tidak dapat diandalkan. Terdapat
kaidah umum bahwa pada batas tertentu hasil tangkapan yang terus ditingkatkan
akan menurunkan potensi reproduktif udang, karena keterbatasan stok udang
dewasa. Belum lagi hal tersebut ditambah adanya kerusakan lingkungan di habitat
alami udang galah karena kegiatan antropogenik. Jawaban dari persoalan ini
adalah peningkatan produksi melalui budidaya. Namun di pihak lain, selama ini
produksi usaha pembesaran udang galah masih rendah, akibat kendala terbatasnya
ketersediaan kualitas dan kuantitas benih. Upaya-upaya penyediaan benih telah
dilakukan dengan penyediaan panti-panti pembenihan.
Kegiatan panti pembenihan udang galah di Indonesia telah dimulai sejak
awal tahun 1970-an. Selama kurun waktu itu, telah banyak penguasaan teknologi
pembenihan udang galah diterapkan; dua di antaranya adalah ketersediaan induk
melalui pematangan gonad serta pengadaan pakan alami. Pada teknologi
perawatan larva, khususnya manajemen kualitas air dan pengaturan salinitas,
masih didasarkan atas pengalaman empirikal yang bersifat eksplorasi agar sesuai
dengan kondisi alami. Sebagaimana siklus hidup di alam, larva udang galah
memulai tahapan hidupnya di muara sungai saat menetas dari telur dengan kondisi
media berair payau. Secara bertahap, larva udang galah melewati seluruh tahapan
stadianya yang berjumlah sebelas stadia pada air payau dan saat pascalarva,
juvenil muda ini mulai beruaya ke arah hulu sungai untuk hidup, tumbuh dan
berkembang di perairan tawar. Dengan masih adanya fluktuasi penguasaan
teknologi pengelolaan pengaturan salinitas air, produksi larva masih labil.
Mendasari kondisi ini, terlihat bahwa pengaturan salinitas sebagai media
pemeliharaan larva yang sesuai dengan kemampuan perubahan osmotik larva
masih perlu dikaji. Berbagai penelitian telah dilakukan, antara lain oleh Zacharia
dan Kakati (2004) yang menunjukkan bahwa salinitas merupakan faktor
3

lingkungan yang mempengaruhi perkembangan larva, pertumbuhan dan


kelangsungan hidup udang galah. Penelitian yang dilakukan oleh Shinn-Pyng et
al. (2005) serta Al-Harbi dan Uddin (2004), menunjukkan bahwa terdapat
sejumlah penyebab tingginya mortalitas pada pembenihan udang galah, baik
karena senyawa kimia di perairan; penyakit mikrobal; maupun karena kemampuan
regulasi ionik terhadap perubahan salinitas media. Namun penelitian lebih
ditujukan pada ukuran juvenil dan pada ukuran dewasa (Wilder et al., 1998 dan
Huong et al., 2001). Sejauh ini meski kondisi perkembangan awal (early
development) sangat menentukan bagi perkembangan/pertumbuhan selanjutnya,
namun penelitian dan percobaan tentang bagaimana kondisi larva berkaitan
dengan salinitas belum dilakukan,
Sehubungan dengan masalah tersebut, maka dipertimbangkan perlu
dilakukan pengkajian pengaruh beban kerja osmotik terhadap kelangsungan
hidup, perkembangan dan pertumbuhan larva udang galah yang dipelihara pada
media dengan kondisi kualitas air yang layak serta dukungan pemberian pakan
yang memadai.

Identifikasi Masalah

Hasil kelimpahan dan potensi tumbuh pascalarva (PL) berdasarkan


aplikasi dari usaha pembenihan udang galah ternyata belum mencapai target yang
diharapkan. Kondisi PL yang belum mencapai target tersebut di atas, terjadi
berkenaan dengan lambatnya perkembangan larva yang diikuti oleh mortalitas dan
respirasi yang meningkat. Lama waktu perkembangan dan sintasan dari stadia
larva tersebut menjadi penentu tingkat keberhasilan perkembangan larva menjadi
PL.
Sumber penyebab dari rendahnya tingkat keberhasilan perkembangan
larva udang galah, yaitu pengaturan salinitas media sewaktu pemeliharaan larva
tidak serasi dengan kemampuan kerja regulasi osmotik larva. Larva hasil
penetasan terdiri dari induk matang gonad yang dipelihara pada media bersalinitas
5-6 ppt, segera dipindahkan pada media bersalinitas 11-12 ppt sebagai media
pemeliharaan larva mencapai PL. Pemindahan larva yang baru menetas dari
media bersalinitas 5-6 ppt menjadi 11-12 ppt tersebut merupakan perubahan
4

beban osmotik larva yang mendadak sehingga potensial menghambat proses


metamorfosis, berakibat lanjut pada kematian.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pengaturan salinitas media
pemeliharaan larva dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kerja
regulasi osmotik larva, melalui penerapan prinsip adaptasi. Selain pengatur
salinitas media tersebut, larva udang diberi pakan alami yang bermutu serta
kualitas air yang diupayakan mantap layak bagi kelangsungan hidup larva.
Diagram alir permasalahan perkembangan larva dapat dilihat pada Gambar 1 dan
diagram alir permasalahan potensi tumbuh pascalarva dapat dilihat pada Gambar
2. Berdasarkan kontinyuitas sistem dengan adanya perubahan salinitas media,
maka secara matematis fungsi produksi dari penerapan sistem teknologi
pembenihan udang galah adalah sebagai berikut:

Tahap perkembangan larva


Y1 = ƒ (X1, X2, X3)
Y2 = ƒ (X3.1, X3.2 ) / X1, X2
Proses Biologis: Y1.1(respirasi) = ƒ (X3.1)
Keterangan:
Y1 = lama waktu perkembangan stadia survival setiap stadia
Y2 = sintasan ditentukan Y1
X1 = stok larva udang
X2 = pakan alami
X3.1 = salinitas
X3.2 = kualitas air (vitalistik)

Pada tahap eksplorasi:


Y = ƒ (X3.1, X3.2) / X1, X2
X3.1 = (6,0) ⇒ (10,2); (11,6); (13,0); (14,4) per mil

Pada tahap adaptasi dan perkembangan akhir:


Y = ƒ (X3.1, X3.2) / X1, X2
X3.1 = (10,2); (11,6); (13,0); (14,4) per mil; salinitas statis

Tahap potensi tumbuh pascalarva


Y1 = ƒ (X1.1, X1.2, X2, X3)
Y1 = ƒ (X1.2, X2) / X1.1, X3
kX2 = ƒ (X1.2)
5

Keterangan:
Y1 = pertumbuhan (SGR)
X1.1 = kelimpahan stok pascalarva udang
X1.2 = bobot PL
X2 = pakan alami
X3 = kualitas air (vitalistik)
X3.1 = salinitas air
kX2 = konsumsi pakan harian
Rq = koefisien respirasi

Pada tahap potensi tumbuh PL


Y = ƒ (X3.1) / X1, X2.
X3.1 = (10,2); (11,6); (13,0); (14,4) permil ⇒ tawar

Gambar 1. Diagram alir pendekatan masalah pengaruh beban kerja osmotik pada
perkembangan larva udang galah

KUALITAS AIR
SALINITAS - - REPIRASI
PENURUNAN + PENURUNAN +
BOS TEPAT ? BOS TEPAT ? -
BOS + POTENSI
SINTASAN
TEPAT ? TUMBUH PL
PASCA LARVA

MANAJEMEN TK. KONSUMSI


PAKAN PAKAN
Keterangan:
PAKAN ALAMI
Daphnia sp. BOS = Beban Kerja Osmotik
PL = Pascalarva

Gambar 2. Diagram alir pendekatan masalah pengaruh beban kerja osmotik pada
potensi tumbuh pascalarva udang galah
6

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian pengaruh beban kerja osmotik terhadap perkembangan dan


pertumbuhan udang galah bertujuan untuk memahami perilaku osmotik yang
potensial berperan bagi keberhasilan kelangsungan hidup, perkembangan larva
dan potensi tumbuh pascalarva udang galah.
Manfaat pengkajian pengaruh beban kerja osmotik udang galah ini berupa
rekomendasi terhadap perbaikan paket teknologi yang dilakukan di panti
pembenihan udang galah, khususnya manajemen pengaturan salinitas media.
Untuk selanjutnya, konsep teknologi baru yang dihasilkan dapat dimasyarakatkan.
Diharapkan penelitian ini dapat berfungsi sebagai upaya pengembangan teknologi
baru dalam menerapkan dan menciptakan rekayasa kualitas lingkungan pada
bidang pembenihan udang galah.

Kerangka Pemikiran

Konsep Pemecahan Masalah

Keberhasilan perkembangan larva, tercermin dari lama waktu


perkembangan dan sintasan stadia larva udang galah. Hal ini juga ditentukan oleh
kelayakan kualitas air, beban osmotik larva serta energi dan materi bagi proses
metamorfosis dan pertumbuhan larva. Apabila beban kerja osmotik besar, maka
jumlah energi materi yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi
metabolisme, respirasi dan atau pertukaran ionik osmotik menjadi mengecil.
Sehubungan dengan kerangka pemecahan tersebut, maka diajukan suatu konsep
pemecahan masalah yaitu meminimalkan beban keja osmotik larva agar sebagian
besar energi dan materi dari pakan yang dicerna dan diabsorbsi dapat
dimanfaatkan bagi perkembangan dan pertumbuahan stadia larva.
Kelangsungan hidup yang rendah serta perkembangan dan pertumbuhan
larva udang galah yang lambat merupakan masalah pengaturan salinitas media
yang belum tepat. Sebagai organisme osmokonformer, maka larva udang galah
akan selalu berupaya berada pada media yang isoosmotik terhadap cairan tubuh.
Jawaban sementara terhadap proses fisologis ini adalah dengan kondisi
7

isoosmotik, maka kebutuhan energi yang digunakan dalam regulasi ionik relatif
rendah. Lebih lanjut diharapkan, akan tersedia lebih banyak energi untuk
perkembangan larva serta pertumbuhan pascalarva udang galah. Pada kondisi
hiperosmotik atau hipoosmotik, lama waktu terjadinya tekanan dapat
mengakibatkan rentannya kepekaan larva maupun juvenil terhadap perubahan
lingkungan. Untuk memahami antiseden-konsekuensi serta memecahkan masalah
pengaturan salinitas media sebagai penentu beban kerja osmotik larva udang
galah, perlu dilakukan pendekatan masalah terhadap sistem produksi akuakultur
dan kausal-komparatif-kondisional, sebagai berikut:

(1) Sistem produksi akuakultur. Berdasarkan pola pengaturan salinitas


media pada panti-panti pembenihan udang galah serta kesamaan
penggunaan input, maka pengkajian dilakukan terhadap dua sistem
produksi, yaitu:
- Sistem produksi larva tahap awal dan tahap lanjut
Penetasan telur dilakukan pada media 6 ppt. Pemeliharaan larva stadia
1 sampai dengan stadia 11, berada pada tiga tahapan. Tahap
eksplorasi, yaitu saat dilakukan perubahan salinitas media dari 6 ppt
menjadi 10,2; 11,6; 13; dan 14,4 ppt selama 7 hari. Tahap adaptasi dan
perkembangan akhir, yaitu media berada dalam keadaan statis pada
salinitas 10,2; 11,6; 13; dan 14,4 ppt. Pakan yang diberikan selama
percobaan ini adalah pakan alami Artemia sp.
- Sistem produksi pascalarva
Tampilan potensi tumbuh pascalarva sebagai dampak lanjut perubahan
salinitas media, dipantau melalui respon potensi tumbuh pada pola
penurunan salinitas masing-masing dari salinitas 10,2; 11,6; 13; dan
14,4 ppt, menjadi 0 ppt selama 7 hari. Pakan yang diberikan pada
percobaan ini adalah pakan alami Daphnia sp.

(2) Kausal-komparatif-kondisional. Pendekatan kondisional pada setiap


sistem produksi diupayakan layak dan memadai. Bilamana kualitas air
serta pakan selama percobaan diupayakan layak dan memadai (ceteris
paribus), maka output hanya ditentukan oleh pengaturan salinitas media.
8

Untuk pendekatan kausal-komparatif, dirancang suatu penelitian guna


membandingkan output sebagai konsekuensi adanya hubungan sebab-
akibat (kausal). Sumber penyebab ditetapkan salinitas media pada setiap
sistem produksi tersebut. Pengupayaan salinitas media bertingkat tersebut
dimaksudkan sebagai faktor penentu output. Salinitas media diarahkan
agar dapat menciptakan kondisi hiperosmotik, hipoosmotik dan
isoosmotik terhadap tekanan osmotik cairan tubuh udang. Berdasarkan
konsepsi tersebut di atas, maka pada pendekatan kausal-komparatif-
kondisional dievaluasi melalui dua pendekatan, yaitu: (1) kajian pengaruh
beban kerja osmotik pada kelangsungan hidup dan perkembangan larva
mulai dari larva awal sampai dengan larva tahap lanjut, dan (2) kajian
pengaruh beban kerja osmotik pada tampilan potensi tumbuh pascalarva
yang dihasilkan dari larva yang diadaptasi pada berbagai salinitas.

Prinsip Dasar

Prinsip dasar yang menjadi landasan penentuan dalam peramalan,


penerapan serta pengendalian sistem pembenihan udang galah ini dilihat dari
permasalahan yang ada dapat dikelompokkan pada dua hal, yaitu adaptasi dan
efisiensi pemanfaatan energi pakan.
Prinsip adaptasi dilakukan dengan meminimalisasi stres melalui cara
penyediaan media isoosmotik yang didukung dengan kualitas air yang layak. Dari
sini, diharapkan akan diperoleh kelangsungan hidup dan perkembangan larva
udang yang cukup tinggi. Penggunaan prinsip efisiensi pemanfaatan energi
pakan, dilakukan dengan menetapkan kesesuaian pakan/kebutuhan pakan.
Peramalan yang akan terjadi dengan prinsip ini adalah membatasi kehilangan
energi akibat kegiatan respirasi pada tingkat seluler. Dengan demikian maka yang
terjadi adalah:
jika isoosmotik ⇒ d regulasi ionik / dt < ∑ energi / dt
jika isoosmotik ⇒ dw/dt = (PR) – (T) – (E)
dengan demikian bila T dan E minimal, maka: dw/dt = (PR)
atau sebagian PR dapat dipergunakan menunjang pertumbuhan dw/dt
E dapat minimal, apabila BOS minimal atau mendekati konsisi isoosmotik
Keterangan: PR = Energi Pakan; T = Energi Respirasi; E = Energi Osmotik
9

Faktor Penentu

Kualitas larva, kualitas air, pengaturan salinitas, beban kerja osmotik,


pengelolaan pakan sesuai dengan perkembangan larva, serta sintesis kerangka
teori yang dikembangkan.

Perumusan Konsepsi

Meminimalkan beban kerja osmotik larva melalui penerapan prinsip


adaptasi dan efisiensi agar sebagian besar energi dan materi dipergunakan untuk
menunjang proses metamorfosis dan pertumbuhan.

Hipotesis

Apabila beban osmotik larva dapat diupayakan minimal, maka lama waktu
perkembangan larva dapat dipercepat, sehingga sintasan setiap stadia larva
meningkat dengan potensi tumbuh tidak menurun.
TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Media

Siklus hidup udang galah yang melalui media tawar dan payau,
menempatkan pengaturan proses fisiologis sebagai penentu utama kelangsungan
hidup dan pertumbuhannya (Gambar 3). Udang galah dalam pembahasan ini
termasuk Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Ordo Decapoda, Famili
Palaemonidae, Genus Macrobrachium dan species rosenbergii (de Man). Secara
alami, larva udang galah mengawali kehidupannya pada media air payau.
Karakteristik media payau yang optimal mendukung perkembangan stadia larva
udang galah sampai dengan pascalarva, menurut beberapa kajian adalah: suhu
berkisar antara 28-31oC; salinitas sekitar 6-16 ppt; pH antara 7,0-8,5; oksigen
terlarut 5-8 ppm; ammonia lebih kecil dari 0,1 ppm, serta konsentrasi nitrit dalam
air tidak lebih dari 0,1 ppm (Daniels et al., 2000; Correia et al., 2000;
Zimmermann, 2000; serta Phatarpekar et al., 2002)

Induk Betina
Mengerami Telur
(Bearing Egg)
Telur Menetas & Kopulasi &
11 stadia larva Fertilisasi

Pascalarva
(Juvenil)

PAYAU TAWAR

Gambar 3. Siklus hidup udang galah yang berada pada air tawar dan air payau
(modifikasi dari Akson dan Sampaio, 2000)

Sejauh ini diketahui bahwa keberhasilan suatu spesies untuk berkembang


pada suatu lingkungan perairan tertentu, sangat bergantung kepada kemampuan
adaptasi dari setiap tahap perkembangan spesies tersebut. Pada tahap
perkembangan larva udang galah, adaptasi sudah dimulai saat awal telur dierami
pada kaki renang induknya, yaitu pada salinitas tawar. Salinitas media berubah,
11

pada saat memasuki perairan payau, tepatnya pada saat telur menetas. Proses
adaptasi pada kondisi ini merupakan tahapan yang paling sensitif dan kompleks
dalam siklus hidup larva udang galah. Tingkat kompleksitas pengaturan salinitas
media semakin tinggi, bila pemeliharaan larva dilakukan pada unit pembenihan
dengan manajemen pakan alami, Artemia salina. Agar Artemia salina sebagai
pakan alami masih dapat bertahan hidup untuk beberapa saat, dibutuhkan kisaran
salinitas dan suhu tertentu. Menurut Ritar et al. (2002), kista Artemia salina dapat
ditetaskan dengan baik pada salinitas 33-35 ppt dengan suhu optimum 25-28 oC.
Karenanya diperlukan kombinasi terbaik antara salinitas dan suhu media yang
merupakan faktor abiotik penting dalam mendukung pertumbuhan larva udang
galah dan memaksimalkan kemampuannya untuk hidup dan berkembang secara
optimal.
Menurut Spivak (2000), kondisi optimal yang dibutuhkan untuk
mendukung pertumbuhan tiap spesies sangat spesifik dan juga berbeda pada setiap
tahap dari siklus hidupnya. Hal ini terlihat pada stadia nauplius dari Penaeus
merguensis yang memperlihatkan toleransi lebih rendah terhadap perubahan
salinitas dibanding pada stadia mysis (Zacharia dan Kakati, 2004; serta Kumlu et
al., 2000). Sementara hasil kajian Phatarpekar et al. (2002), memperlihatkan
bahwa larva udang galah stadia-1 berkembang dengan optimum pada salinitas 7
ppt dan suhu 30oC. Pada stadia-2 sampai stadia-4, berkembang dengan optimum
pada salinitas 12 ppt dan suhu 31oC. Kondisi salinitas sekitar 12 ppt tetap optimal
sampai dengan pascalarva, dengan suhu media menurun pada nilai 30oC.
Mengikuti saran Zimmermann (2000), kombinasi antara salinitas dengan suhu
untuk pemeliharaan larva udang galah dengan pakan Artemia salina, adalah:
salinitas 6 ppt saat penetasan telur dan suhu media selama pemeliharaan pada
kisaran 28-30oC, dengan salinitas lebih besar dari 10 ppt. Sedangkan Valenti dan
Daniels (2000) menyatakan bahwa untuk pemeliharaan larva udang galah pada
unit pembenihan dengan air payau buatan, diharapkan salinitas berkisar antara 12-
16 ppt dengan suhu di bawah 33oC. Hal ini terkait dengan kandungan garam yang
seharusnya ada dalam perbandingan memadai, sedangkan suhu di atas 33oC dapat
menekan kelangsungan hidup larva. Berdasarkan kajian yang ada, kisaran suhu
12

yang dapat digunakan pada pemeliharaan larva sejak penetasan telur adalah 28-
31oC dengan kisaran salinitas 6 ppt sampai16 ppt.
Perolehan nilai kelarutan oksigen saturasi secara teoritis dengan
menggunakan formula Knudsen, didapatkan nilai kelarutan oksigen antara 7,0
ppm sampai dengan 7,5 ppm; untuk media dengan suhu minimal 28 dan maksimal
31oC serta pada salinitas 16 ppt. Berdasarkan proses yang sama, terlihat
kecenderungan terjadinya penurunan kelarutan oksigen saturasi dengan naiknya
suhu dan salinitas media. Pengaruh perubahan suhu terhadap kelarutan oksigen
saturasi dalam air jauh lebih besar, dibanding pengaruh perubahan salinitas.
Melihat kondisi saturasi kelarutan oksigen pada suhu dan salinitas yang
disarankan, maka dapat dikatakan bahwa persyaratan media dengan kandungan
oksigen terlarut di atas 5 ppm akan terpenuhi. Berdasarkan hasil kajian
Phatarpekar et al. (2002), kandungan oksigen terlarut pada media pemeliharaan
larva udang galah disarankan berada pada kisaran nilai 6,5 ppm. Sementara Law
et al. (2002) menyatakan bahwa untuk pemeliharaan larva udang galah yang
optimal, maka kandungan oksigen terlarut dalam media sebaiknya lebih besar dari
5 ppm. Lebih lanjut, dikemukakan oleh Cheng et al. (2003), bahwa rendahnya
kandungan oksigen terlarut dapat menyebabkan kondisi hipoksia pada Krustase,
yang pada gilirannya akan mendorong mekanisme adaptasi spesifik, misalnya
penurunan laju metabolisme, modifikasi keseimbangan asam-basa dari hemolim,
terjadinya perubahan pada kemampuan mengikat hemosianin, osmolaritas
hemolim dan perubahan konsentrasi ion dalam tubuh. Karena itu, Cheng et al.
(2003) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimal berkisar
antara 4,75 ppm sampai 7,75 ppm. Menyimak kajian yang ada, maka dapat
dikemukakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut untuk mendukung optimalisasi
perkembangan larva udang galah berkisar antara 5 ppm sampai 8 ppm.
Perubahan pH yang drastis terhadap organisme yang hidup di perairan
payau, akan menyebabkan terganggunya perkembangan embrio, tingkat penetasan
telur dan perubahan struktur morfologi. Untuk udang galah, hal ini mulai
berpengaruh pada saat penetasan telur. Walaupun rata-rata pH air laut 8,3, tetapi
penetasan telur udang galah yang optimal berada pada media dengan pH 7,07
(Law et al., 2002, dan Boyd, 1998). Ketidak-sempurnaan organ tubuh larva udang
13

galah, akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan melakukan adaptasi


terhadap lingkungan. Menurut Chen dan Chen (2003), nilai pH mempengaruhi
jumlah pakan yang dikonsumsi oleh udang galah. Lebih lanjut disebutkan bahwa
nilai pH media terendah yang dapat ditoleransi oleh udang galah adalah 7,4. Di
pihak lain hasil kajian Cheng et al. (2003) menunjukkan bahwa terjadi penurunan
pH hemolim udang galah dari 7,4 menjadi 7,34, bilamana kandungan oksigen
terlarut pada media menurun dari 4,30 ppm menjadi 2,14 ppm. Dengan demikian
dari berbagai kajian yang ada, dapat dikatakan bahwa nilai pH yang optimal bagi
media pemeliharaan larva udang galah adalah berkisar antara 7,0-8,5.
Ammonia adalah produk ekskretori utama pada hewan akuatik. Keracunan
ammonia merupakan salah satu penyebab kematian pada masa pemeliharaan larva
yang menggunakan manajemen terkontrol. Ammonia sebagai penyebab stres
dalam perairan ini, terbagi atas dua bentuk yaitu dalam bentuk ion (NH4+) dan
bukan ion (NH3) yang hadir bersama dalam keseimbangan yang diatur oleh pH
(Chen dan Kou, 1992). NH3 bebas berdifusi memasuki membran sel berkaitan
dengan gradien tekanannya (Chen dan Lei, 1990; Chen dan Lee, 1997). Senyawa
amonia yang beracun, berada dalam bentuk ammonia bukan ion. Oleh karena itu
jika kadar ammonia dalam air meningkat, maka ekskresi ammonia menurun dan
kadar ammonia dalam darah serta jaringan lain meningkat. Kondisi ini
mengakibatkan suatu elevasi pH darah dan menimbulkan efek merugikan pada
stabilitas membran dan reaksi katalisasi enzim (Tomasso, 1994), yang
menyebabkan kematian. Berdasarkan fenomena ini, Cavalli et al. (2000)
menyarankan uji toksisitas ammonia sebagai kriteria evaluasi kualitas larva.
Ammonia dalam air antara lain dapat menekan laju pertumbuhan, konsumsi
oksigen (Chen dan Lin, 1992), kapasitas osmoregulasi (Young-Lai et al., 1991)
bahkan dapat menyebabkan kematian (Tomasso, 1994). Kandungan ammonia
bukan ion yang berada dalam media pemeliharaan larva udang galah harus
diusahakan lebih kecil dari 0,1 ppm (Boyd dan Zimmermann, 2000)
Senyawa nitrit merupakan salah satu jenis polutan yang sering ditemukan
pada sistem perairan budidaya. Sebagaimana diketahui, kehadiran nitrit dalam
media budidaya adalah hasil antara dari proses oksidasi ammonia dengan bantuan
bakteri nitrofikan, yaitu Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. Hasil kajian pakar
14

menyatakan bahwa kandungan nitrit yang tinggi dalam media budidaya udang
dapat menjadi pemicu stress, mempengaruhi metaemosianin, menyebabkan
hipoksia pada jaringan tubuh dan menganggu keseimbangan metabolisme (Chen
dan Kou, 1992; serta Wang et al., 2004). Disamping itu, Chen dan Lee (1997)
mengemukakan bahwa dosis letal (LC50 pada 96 jam) senyawa nitrit untuk
Macrobrachium rosenbergii sebesar 8,54 ppm. Berdasarkan beberapa kajian
pakar pada Penaeus monodon dinyatakan bahwa modus aksi dari senyawa nitrit
adalah dengan cara berdifusi ke dalam hemolim, sehingga mengakibatkan naiknya
tekanan oksigen; yang sekaligus mengindikasikan turunnya afinitas terhadap
oksigen. Lebih lanjut disebutkan, terjadi penurunan yang signifikan dari
oksihemosianin (oxyhemocyanin) dan meningkatkan deoksihemosianin Penaeus
monodon selama 6 jam terpapar dalam media dengan kandungan nitrit tinggi.
Dalam studi ini, reactive oxygen intermediate (ROIs) meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi nitrit (Chen dan Cheng, 1995; Cheng dan Chen, 1999;
Moullac dan Haffiner, 2000). Sebagaimana diketahui, ROIs dan aktivitas mikroba
mempengaruhi mekanisme kekebalan tubuh organisme perairan. Upaya proteksi
terhadap mekanisme ROIs dilakukan melalui enzim antioksidan dan pemakan
bangkai (scavenngers) (Winston dan di Giulio, 1991; serta Peters dan
Livingstone, 1996). Untuk meminimalkan keracunan yang diakibatkan oleh
keberadaan nitrit dalam media pemeliharaan larva udang galah, harus diupayakan
agar mengandung nitrit tidak lebih dari 0,1 ppm (Akson dan Sampaio, 2000; serta
Boyd dan Tucker,1998).

Kapasitas Regulasi Osmotik

Umumnya pada fase perkembangan dari larva ke pascalarva, terjadi


mortalitas tinggi. Penyebab tingginya tingkat mortalitas, diduga sebagai akibat
tidak dilewatinya secara optimal tahap penyesuaian di tingkat larva ke pascalarva;
terutama yang berhubungan dengan kemampuan respons fisiologis. Namun
demikian masalah keseimbangan osmotik terhadap perubahan media merupakan
hal utama yang herus diperhatikan. Adapun perubahan kondisi media yang terjadi
adalah
15

(1) Perubahan salinitas media mengganggu keseimbangan osmotik. Dalam


upaya mempertahankan keseimbangan osmotik dan regulasi ionik ini larva
udang galah membutuhkan sejumlah energi, di luar energi metabolisme
dasar. Bahasan beberapa hasil penelitian memperlihatkan adanya
hubungan yang linier antara osmolalitas hemolim dan osmolalitas media
(Chen dan Lin, 1995). Karenanya pengaturan regulasi ionik yang berada
sedikit di bawah titik isoosmotik dipandang menjawab permasalahan.
(2) Rentang fluktuasi pH air di perairan tawar yang lebar (6 satuan pH di pagi
hari dan 10 satuan pH di malam hari), jarang terjadi pada perairan payau
yang memiliki sistem penyangga. Kajian Chen dan Kou (1996),
menyatakan bahwa naiknya nilai pH, akan menurunkan ekskresi
ammonia-N dan hal ini mengindikasikan terjadi penurunan pertukaran
aktif kation NH4+ untuk Na+ pada nilai pH relatif tinggi. Karenanya perlu
diketahui ion mana dalam larutan hemolim yang memegang peranan
penting dalam proses ini.
(3) Perubahan suhu air dan kelarutan oksigen yang terjadi pada kolam
budidaya lebih berfluktuasi, dibanding media perawatan larva dalam unit-
unit pembenihan yang lebih terkontrol. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa konsumsi oksigen akan meningkat pada media dengan salinitas
(menjadi) rendah; dan kondisi ini diduga menekan pertumbuhan udang
(Chen dan Lai, 1993). Karenanya penetapan kondisi lingkungan optimal
dipandang dapat mendukung pertumbuhan udang.

Menyimak ruaya larva udang galah dari perairan payau ke perairan tawar,
dapat dikatakan bahwa mekanisme pengaturan tekanan osmotik internal dan
eksternal larva udang galah di alam, mengikuti tipikal organisme osmoregulator.
Di alam, jarang ditemukan larva stadia 1 sampai dengan stadia 8 pada perairan
tawar. Sebagaimana diketahui, fenomena pengaturan tekanan osmotik ini
mengelompokkan organisme dengan tipikal osmokonformer yang tidak mampu
mempertahankan tekanan osmotik internal dan tipikal osmoregulator yang
memperlihatkan kemampuan organisme berusaha mempertahankan tekanan
osmotik internalnya. Karenanya, strategi yang dilakukan oleh organisme
osmoregulator adalah melakukan ruaya pada media sesuai dengan tekanan
16

osmotik internalnya. Strategi ini diperlihatkan dengan sangat jelas pada ruaya
pertumbuhan larva udang galah. Anonimous (1997) menggambarkan tampilan
osmotik osmokonformer dan osmoregulator dari krustase dalam bentuk grafik,
seperti terlihat pada Gambar 4.

Keterangan: A = Kelompok hyperosmoregulator


B = Kelompok isoosmoregulator
C = Kelompok hypoosmoregulator

Gambar 4. Grafik osmotik krustase tipikal osmokonformer dan osmoregulator


(Sumber: Anonimous, 1997)

Sampai saat ini masalah yang belum diketahui dengan pasti/jelas adalah
bagaimana pengaturan tekanan osmotik larva udang galah saat berada pada media
terkontrol, seperti di panti-panti pembenihan. Upaya berupa strategi ruaya tidak
dapat dilakukan, karenanya efektivitas manajemen salinitas media, menjadi faktor
input yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva dan pascalarva yang
kuat dan sehat. Untuk mengetahui sejauh mana proses adaptasi larva pada setiap
stadia perkembangannya, diperlukan kejelasan mekanisme pengaturan kerja
osmotik pada organisme yang bersangkutan.
Kejelasan rangkaian kerja osmotik ini lebih jauh, dapat diuraikan sebagai
berikut: konsep osmoregulasi adalah suatu regulasi ionik pada tingkat molekuler.
Proses seluler ini terjadi pada lapisan jaringan kulit dan diikuti dengan kontrol
terhadap proses hormonal. Regulasi aliran molekul antara lingkungan dan cairan
17

hemolim pada krustase dapat terjadi pada permukaan sel epitel yang terdapat pada
insang, integumen, antena-gland dan saluran pencernaan. Bagi udang galah yang
tergolong organisme air tawar, proses regulasi ionik di tingkat sel diatur melalui
mekanisme pompa natrium-kalium. Udang galah, dalam ukuran induk maupun
larva yang berada pada media payau, akan melakukan pelepasan ion natrium
sebagai upaya mempertahankan konsentrasi ion pada hemolim yang hipoionik
terhadap konsentrasi ion pada media. Untuk pengaturan regulasi ini diperlukan
sejumlah energi sesuai dengan rentang beda konsentrasi ion pada media, seperti
terlihat dari mekanisme pompa natrium-kalium yang membutuhkan sejumlah
adenosin trifosfat (ATP) dan melepas adenosin difosfat (ADP) pada
mekanismenya (Gambar 5).

[Na+] Tinggi Pompa Na+/K+


[K+] Rendah

Luar sel

Lapisan lemak

Dalam sel
[K+] Tinggi
[Na+] Rendah

Gambar 5. Ilustrasi mekanisme kerja pompa natrium-kalium organisme air tawar


(Sumber: Anonimous, 2003)

Sebagaimana dijelaskan, dalam kerja osmotik ini mengedepankan kegiatan


regulasi ionik yang terjadi antar ion-ion yang terlarut dalam media dan ion yang
ada dalam cairan hemolim. Menurut kajian Duerr dan Ahearn (1996) transport ion
dalam regulasi media ke cairan hemolim krustase, meliputi beberapa kation, yaitu
ion natrium (Na+) dan ion kalsium (Ca2+); dan beberapa anion, yaitu: ion klorida
18

(Cl-) dan ion bikarbonat (HCO3-). Organisme seperti pascalarva udang galah, yang
melakukan ruaya pada salinitas yang lebih rendah, akan berupaya menahan
kehilangan ion Na+ dan Cl- dengan cara transport aktif mengambil Na+ dari media
melalui aktivitas Na+/K+-ATPase. Menurut Kamaruddin (1994) dan Morohashi
et al. (1991), aktivitas enzim Na+/K+-ATPase ditentukan oleh ketersediaan asam
lemak bebas (FFA). Selain itu, menurut Palacios et al. (2004), FFA ini
meningkatkan aktivitas Na+/K+-ATPase dalam upaya menekan stres salinitas.
Upaya menjaga pasokan FFA ini, berdasarkan kajian Pan et al. (1991),
ketersediaannya dapat dipenuhi oleh pakan alami Artemia salina yang sekaligus
berkontribusi sebagai exogenous enzim pencernaan untuk membantu sistem
pencernaan larva yang pada umumnya belum sempurna. Pemberian Artemia
salina yang baru ditetaskan dari kista dengan jumlah ad libitum sebagai pakan
alami untuk larva pada penelitian ini, dipandang mencukupi.
Kajian beberapa pakar menunjukkan bahwa pada umumnya dalam
pemeliharaan larva Macrobrachium rosenbergii, disarankan menggunakan
nauplii Artemia salina. sebagai pilihan pakan (Deru, 1990; Lavens et al., 2000;
dan van Stappen, 2004). Mengikuti saran yang dikemukakan oleh Baros dan
Valenti (2003), jumlah pemberian nauplii Artemia salina untuk larva
Macrobrachium rosenbergii stadia 1 sampai dengan stadia 4 adalah 40
nauplii/larva per hari. Bila dilakukan perhitungan konversi energi, seperti yang
dikemukakan oleh Lavens et al. (2000), maka nilai kalori dari 40 nauplii/larva per
hari adalah sebesar 5,17 kalori/larva per hari. Sebagai pembanding, energi pakan
berupa nauplii Artemia salina yang diberikan dalam penelitian ini berkisar antara
0,26-5,82 kalori/larva per hari, dipandang cukup memadai.
Untuk mengetahui aktivitas enzim Na+/K+-ATPase pada larva
Macrobrachium rosenbergii stadia 1 sampai dengan stadia 11 dan bahkan sampai
dengan pascalarva hari ke-lima atau PL-5, Huong et al. (2004a) dan Huong et al.
(2004b) melakukan penelitian tentang hal ini. Hasil yang diperoleh dari penetasan
telur pada salinitas 12 ppt dan pemeliharaan larva berada pada salinitas 12 ppt,
didapatkan pemahaman aktivitas Na+/K+-ATPase larva Macrobrachium
rosenbergii seperti terlihat pada Gambar 6. Secara rinci Huong et al. (2004a)
menjelaskan bahwa aktivitas Na+/K+-ATPase larva Macrobrachium rosenbergii
19

stadia 1 diawali sebesar 3,1 ± 0,1 μmol ADP/mg protein per jam, kemudian
meningkat secara nyata pada saat larva stadia 2 sebesar 4,4 ± 0,4 μmol ADP/mg
protein per jam. Antara stadia-2 dan seterusnya ke stadia-4 menunjukkan bahwa
aktivitas Na+/K+-ATPase larva menurun. Saat stadia larva mencapai 6 terlihat
perubahan yang sangat nyata dengan kenaikan sebesar 3,9 ± 0,1 μmol ADP/mg
protein per jam. Perubahan aktivitas Na+/K+-ATPase larva secara nyata
berikutnya terlihat pada stadia 10, yaitu sebesar 2,9 ± 0,1 μmol ADP/mg protein
per jam. Tingginya aktivitas enzim Na+/K+-ATPase pada larva stadia awal,
menurut kajian Wilder et al. (2000) disebabkan belum sempurnanya sistem
osmoregulasi larva.

Gambar 6. Perubahan aktivitas enzim Na+/K+-ATPase selama metamorfosa larva


Macrobrachium rosenbergii menjadi pascalarva (Huong et al, 2004)

Perkembangan stadia

Pada tahapan awal pembenihan udang galah, keberhasilan perkembangan


stadia larva serta pertumbuhan pascalarva udang galah sangat ditentukan oleh
kualitas telur. Ketergantungan perolehan telur yang berkualitas terletak pada
tingkat keberhasilan proses vitelogenesis. Vitelogenesis sendiri merupakan
tahapan pada proses reproduksi krustase dengan hasil akhir adalah akumulasi
oosit (oocyte) membentuk kuning telur dalam jumlah besar.
20

Pada proses internal dalam ovari akan terbentuk senyawa ‘protein spesifik
female’ yang berada dalam hemolim dan disebut vitellogenin. Selanjutnya, saat
vitelogenin memasuki oosit, senyawa protein ini disebut vitelin atau lipovitelin
yang merupakan bagian terbesar pendukung kuning telur dalam bentuk senyawa
lipo-glyco-carotenoprotein. Senyawa carotenoid ini memberi bias warna ‘jingga
terang’ pada kuning telur secara menyeluruh. Warna ini juga yang
mengindikasikan kesiapan kematangan telur atau sebagai tahap awal penentu
keberhasilan perolehan telur bermutu. Proses vitelogenesis yang memberi bias
warna jingga (penentu keberhasilan mutu telur) sampai fase embrionik telur udang
galah dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Proses perkembangan telur udang galah sampai fase embrionik


(Sumber: Romanova, 2000)

Larva udang galah mulai melepaskan diri dari telur, setelah 48 jam sejak
saat telur dilepaskan dari induk. Selama 25-35 hari masa pertumbuhannya, larva
udang galah melewati 11 tahap perkembangan sebelum mencapai bentuk
sempurna sebagai udang muda atau pascalarva. Tahap perkembangan larva udang
galah sampai pascalarva dapat diikuti pada Tabel 1.
21

Tabel 1. Tahap perkembangan larva sampai pascalarva udang galah


Stadia Umur (hari) Keterangan Pertumbuhan
I 1–2 Mata sesil dan belum bertangkai – telson masih polos
II 2–4 Mata sudah bertangkai – uropoda pada telson mulai tampak
III 4–7 Kaki jalan depan sudah mulai memanjang – pertumbuhan
eksopoda dan endopoda pada uropoda sudah mulai tampak
IV 7 – 12 Dua gerigi rostrum sudah mulai tampak – uropoda dan telson
sudah berkembang menyerupai kipas
V 12 – 16 Pertumbuhan eksopoda dan endopoda pada uropoda sudah
hampir sama panjang dengan telson
VI 16 – 18 Tunas pada pleopoda sudah mulai terlihat
VII 18 – 21 Pleopoda sudah mulai bercabang dua
VIII 21 – 25 Kaki jalan mulai terlihat lengkap – uropoda lebih
berkembang dan telson lebih menyempit – pleopoda pada
cabang luar mulai berambut
IX 25 – 28 Pleopoda lebih berkembang dengan pertambahan ruas dan
rambut
X 28 – 31 Pleopoda lebih berkembang – ada rambut di antara duri pada
gerigi rostrum
XI 31 – 35 Uropoda telah berkembang penuh – pleopoda berkembang
sempurna – gerigi rostrum telah berjumlah sembilan buah
Pasca- 35 – 41 Rostrum telah tumbuh dengan 11 gerigi atas dan 3-5 gerigi
larva bawah serta dua helai rambut
Sumber: Hasil olahan dari data Uno dan Soo (1969)

Pertumbuhan Pascalarva

Sebagaimana bentuk udang galah dewasa, maka pascalarva udang galah


sudah memiliki bentuk tubuh sebagai udang muda yang mempunyai eksoskeleton
cukup tebal serta rigid yang merupakan ciri khas kelas krustase. Kehadiran
eksoskeleton ini memberi tekanan tertentu pada optimalisasi proses pertumbuhan
udang, termasuk pascalarva udang galah. Secara umum, dapat dikatakan proses
tumbuh pada individu udang, diekspresikan melalui pertambahan panjang, volume
dan bobot yang dinamik dengan waktu. Khusus ekspresi volume dan bobot, untuk
organisme yang melakukan ganti kulit (molting) menjadi agak sulit, karena
berlangsung diskontinyu. Hanya proses pertambahan panjang yang dapat
berlangsung kontinyu.
Beberapa hasil kajian memperlihatkan bahwa pertumbuhan udang pada
kondisi hiperosmotik, seperti pada udang galah yang melakukan ruaya untuk
perkembangan dan pertumbuhan dari perairan tawar ke perairan payau;
22

berkorelasi langsung dan dipengaruhi oleh tingkat kemampuan adaptasi terhadap


salinitas media. Menurut Wang et al. (2003) kondisi salinitas media perairan
yang memberi tekanan hiperosmotik sedikit di atas isoosmotik hemolim tubuh
udang Macrobrachium nipponense, tercatat meningkatkan pertambahan bobot
tubuh secara nyata. Kondisi isoosmotik Macrobrachium nipponense sebesar 450
mOsm; sedangkan pada Macrobrachium rosenbergii, kondisi isoosmotik tercatat
lebih tinggi yaitu sekitar 485 mOsm. Menurut Sang dan Fotedar (2004), titik
isoosmotik pada masing-masing udang bergantung pada stadia larva dan ukuran
udang. Untuk mendukung pertumbuhan udang yang optimal dalam kondisi stres
hiperosmotik, asam amino bebas (free amino acid) dengan total asam amino
dalam ratio yang proporsional sehingga mempercepat pembentukan jaringan
tubuh (Bishop dan Burton, 1993; Okuma dan Abe, 1994). Dengan demikian,
dapat dikatakan sensitivitas Na+/K+-ATPase, khususnya dalam mekanisme
transport aktif senyawa-senyawa garam melalui sistem osmoregulasi; berpengaruh
langsung terhadap pertumbuhan udang (Wang et al., 2003; Huong dan Wilder,
2001)
Pengaruh faktor suhu terhadap pertumbuhan yang diperlihatkan dari
beberapa hasil kajian mengindikasikan bahwa pertumbuhan udang muda pada
tahap awal sangat ditentukan oleh suhu perairan media. Untuk pascalarva udang
windu, tercatat kecepatan tumbuh dalam ukuran panjang, dua kali lebih cepat pada
suhu 300C dibanding pada suhu 220C (Kumlu et al., 2000; Kumlu dan Jones,
1993; Chen, 1990; Parado-Estepa, 1998; Chavez Justo et al., 1991). Hubungan
antar suhu dan pertumbuhan ini juga dipengaruhi oleh seberapa besar prosentase
ganti kulit yang terjadi. Secara umum, semakin tinggi suhu; maka pertumbuhan
udang akan semakin cepat. Hal ini sejalan dengan kajian titik optimal kegiatan
ganti kulit yang juga terjadi pada suhu tinggi. Sehingga dapat dipastikan, pada
bulan-bulan tertentu laju pertumbuhan udang jauh lebih besar dibanding pada
bulan atau waktu lainnya, saat suhu media cenderung rendah. Frekuensi ganti
kulit pada pascalarva udang galah ternyata juga dipengaruhi oleh pH media
perairan. Hasil penelitian Chen dan Chen (2003) menunjukkan bahwa pascalarva
Macrobrachium rosenbergii melakukan ganti kulit rata-rata 3,56 kali per-individu
selama 56 hari pada pH 8,2; dan frekuensi ganti kulit terlihat menurun menjadi
23

2,82 kali per-individu dalam 56 hari pada pH 5,6. Peningkatan frekuensi ganti
kulit pascalarva udang galah, diikuti dengan kecepatan tumbuh yang
divisualisasikan melalui pertumbuhan bobot tubuh seperti terlihat pada Gambar 8.

Bobot (g)

Kisaran pH

Hari

Gambar 8. Grafik pertumbuhan pascalarva Macrobrachium rosenbergii pada


berbagai nilai pH media (Sumber: Chen dan Chen, 2003)

Kelarutan oksigen dalam air, termasuk salah satu parameter yang


mempengaruhi pertumbuhan krustase di perairan tawar; akibat besarnya
perbedaan konsentrasi kelarutan oksigen antara siang dan malam. Kondisi
hipoksia yang berlebih ini, akan mempengaruhi proses fisiologis udang, melalui
penekanan frekuensi ganti kulit dan memperlambat pertumbuhan, bahkan tidak
jarang menimbulkan kematian (Allan dan Magurire, 1991). Upaya adaptasi
dengan kondisi ini, dilakukan melalui reduksi kecepatan metabolisme, modifikasi
keseimbangan asam-basa hemolim, osmolalitas hemolim dan konsentrasi ion-ion
terlarut, seperti terlihat pada Gambar 9. (Morris dan Butler, 1996; Hill et al.,
1991; Cheng et al., 2003).
Hubungan pakan dan pertumbuhan pada udang, terlihat dari beberapa hasil
kajian yang menunjukkan bahwa penurunan jumlah pakan akan menurunkan laju
pertumbuhan. Sebagai pakan awal disarankan agar diberikan pakan alami.
Khusus pada pascalarva udang galah, salah satu jenis pakan alami yang sering
24

dimanfaatkan adalah Daphnia sp. yang juga berperan dalam rantai makanan pada
daerah pelagik perairan tropis. Daphnia sp. adalah krustase air tawar yang
dikenal dengan nama umum water fleas. Daphnia sp merupakan makanan utama
ikan atau udang muda, hal ini dikarenakan ukuran tubuh Daphnia sp. relatif cukup
kecil sesuai dengan bukaan mulut organisme muda, yaitu berkisar antara 0,2-3,0
mm (Schuman, 1998). Selain itu, Daphnia sp. berkemampuan memanfaatkan
mikroalga dan bakteri, dapat memberi kesempatan untuk mengontrol biomasa
fitoplankton, komposisi spesies serta mempengaruhi suksesi musiman
fitoplankton. Hal ini terjadi karena pada waktu yang sama, Daphnia sp
menyumbangkan nutrien serta karbon dioksida guna mendorong pertumbuhan
fitoplankton serta produksi bakteri (Schuman, 1998)

Waktu Aklimatisasi Oksigen (jam)

Gambar 9. Tampilan perubahan osmolalitas hemolim M. rosenbergii pada


beberapa konsentrasi kelarutan oksigen media (Cheng et al., 2003)

Kandungan nutrisi Daphnia sp. tergantung dari umur dan dari pakan yang
dimanfaatkannya. Sebagaimana diketahui pakan Daphnia sp. adalah bakteri,
fungi, mikroalga, detritus dan bahan organik terlarut. Menurut Ducazu (1998)
secara umum, kandungan protein Daphnia sp. sekitar 50%, Berbeda dengan
Artemia salina, kandungan lemak Daphnia sp. dewasa jauh lebih tinggi yakni 20-
27%; sedangkan Daphnia sp. muda mengandung lemak sekitar 4-6%. Beberapa
hasil penelitian bahkan menunjukkan bahwa kandungan protein Daphnia sp. yang
pernah ditemui tercatat sekitar 70%. Walaupun Daphnia sp. termasuk spesies air
25

tawar, tetapi dapat juga dimanfaatkan sebagai pakan bagi organisme laut; karena
mengandung asam emak esensial. Disamping itu, Daphnia sp. memiliki enzim
pencernaan yang cukup banyak, seperti: proteinase, peptidase, amilase, lipase dan
juga selulase; yang dapat berfungsi sebagai ekso-enzim dalam lambung larva ikan
atau larva udang (Shell, 1998). Alternatif pakan buatan yang disarankan oleh
Tacon (1993) guna mendukung pertumbuhan pascalarva terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi pakan buatan untuk mendukung pertumbuhan pascalarva


Macrobrachium rosenbergii
No Bahan Bobot (kg) Persen (%)
1 Ikan rucah 100,0 29,61
2 Tepung jagung 80,0 23,70
3 Pelet pakan ayam 50,0 14,81
4 Tepung kedelai 40,0 11,84
5 Bekatul 30,0 8,88
6 Tepung ikan 20,0 5,92
7 Pakan ternak 15,0 4,44
8 Di-Kalsium PO4 2,0 0,59
9 Vitamin & mineral 0,5 0,15
10 Oksitetrasiklin 0,2 0,06
TOTAL 337,7 100.00
Sumber: Tacon (1993)
26

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Pusat Percobaan


Limnologi LIPI Cibinong selama empat bulan (Mei-Agustus 2002). Penelitian
utama dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB), Lingkungan Budidaya FPIK-
IPB, Limnologi FPIK-IPB, Biologi Hewan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB,
Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB serta Hidrobiologi FPIK Universitas
Diponegoro (Agustus 2003- Januari 2004; Juni-Agustus 2004) selama kurang
lebih sembilan bulan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian “Pengaruh Beban Kerja Osmotik terhadap


Kelangsungan Hidup, Lama Waktu Perkembangan Larva dan Potensi Tumbuh
Pascalarva” ini meliputi:
(1) Perkembangan larva sampai dengan pascalarva
(2) Konsumsi oksigen pada perkembangan larva sampai pascalarva
(3) Potensi tumbuh pascalarva

Ruang lingkup penelitian didasari atas pemikiran bahwa dalam upaya


pengkajian kausal-komparatif-kondisional pada setiap sistem produksi diupayakan
agar tingkat salinitas media menciptakan kondisi hipertonik, hipotonik dan
isotonik terhadap osmotik cairan tubuh larva udang galah. Pengaruh lanjut dan
perbedaan kondisi osmotik tersebut dicerminkan dari: (1) Beban kerja osmotik,
(2) Efisiensi pemanfaatan pakan; dan (3) Tingkat konsumsi oksigen.
Pendekatan pengkajian di atas memberi arahan bahwa masalah
kelangsungan hidup, perkembangan larva serta potensi tumbuh pascalarva udang
galah dapat dievaluasi sebagai konsekuensi perbedaan beban kerja osmotik akibat
pengaturan salinitas media. Keterkaitan antara antiseden dan konsekuen tersebut
diperjelas ketergantungannya dengan pertukaran ion sebagai kinerja beban
osmotik larva udang galah. Dengan demikian konsumsi oksigen per waktu serta
27

efisiensi pemanfaatan pakan merupakan bentuk konsekuensi dari beban


pertukaran ion. Penelitian dilakukan untuk setiap sistem produksi pemeliharaan
larva sampai pascalarva. Hasil penelitian setiap sistem, dijadikan dasar bagi
perencanaan percobaan sistem selanjutnya. Hasil percobaan sistem produksi tahap
potensi tumbuh pascalarva merupakan bentuk keberhasilan proses adaptasi yang
dilakukan pada sistem produksi tahap perkembangan larva. Mekanisme runut
kegiatan penelitian dari sistem produksi pada setiap tahap dari perkembangan
larva sampai tahap potensi tumbuh pascalarva dapat dilihat pada Gambar 10.

START
TELUR SALINITAS:
PENURUNAN
MENETAS (10,2 - 11,6
SALINITAS
SALINITAS 13 - 14,8)
0 ppt
6 ppt ppt

1. NSR 1. BVR
2. DO/dt 2. SGR

NSR

d respirasi/dt d respirasi/dt

- - -
S + S/dt SAL ADAPT
+ + +

SALINITAS:
SALINITAS Sistem
(10,2 - 11,6
STATIS Adaptasi
13 - 14,8)
OPTIMAL salinitas
ppt

SELESAI

Gambar 10. Mekanisme runut kegiatan penelitian pada sistem produksi dari tahap
perkembangan larva sampai tahap potensi tumbuh pascalarva

Perlakuan pada penelitian dirancang untuk dapat membandingkan output


sebagai konsekuensi adanya hubungan sebab akibat (kausal). Sumber penyebab
ditetapkan adalah salinitas media. Kualitas air dan ketersediaan pakan alami
diupayakan memadai (kondisional). Salinitas media dirancang pada sistem
produksi tahap perkembangan larva dengan tiga tipe, yaitu: hiperosmotik,
hipoosmotik dan isoosmotik. Pada penetasan telur, salinitas media dirancang 6
28

ppt. Selama masa pemeliharaan larva, salinitas media diupayakan berada pada
kisaran salinitas dengan catatan salah satu diantara titik salinitas merupakan titik
isoomotik larva stadia tahap awal. Untuk memperoleh respon adaptasi yang sama,
maka dirancang kenaikan salinitas untuk media pemeliharaan larva adalah dengan
delta salinitas 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt. Diharapkan dengan rancangan
perubahan salintas tersebut, dalam kurun waktu 7 hari akan dicapai salinitas
media pemeliharaan larva: 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt. Setelah 7
hari, sistem produksi masuk ke dalam tahap adaptasi serta perkembangan akhir
yang statis. Setelah itu, pemantauan dilakukan terhadap potensi tumbuh
pascalarva pada salinitas media yang diturunkan dengan tingkat penurunan
salinitas/waktu yang sama sehingga menjadi tawar. Penurunan salinitas dilakukan
saat semua larva telah menjadi pascalarva. Gambaran pola perubahan salinitas
dalam penelitian seperti uraian di atas, dapat dilihat pada Gambar 11.

TAHAP TAHAP POTENSI


PERKEMBANGAN LARVA TUMBUH PL

EKSPLORASI ADAPTASI dan PERKEMBANGAN AKHIR

Stadia 1 PL
Salinitas (ppt)

14,4 Stadia 2 PL

Stadia 3 PL

13,0

11,6

10,2

6,0

0
Hari ke-7 PL-7 PL-14
Salinitas Naik Salinitas Statis Salinitas Turun Tawar

Gambar 11. Pola perlakuan perubahan salinitas media pada sistem produksi tahap
perkembangan larva dan tahap potensi tumbuh pascalarva

À Tahap Eksplorasi Larva, dalam penelitian ini disebut sebagai


percobaan larva tahap awal. Tahap ini dimulai hari pertama sampai
dengan hari ke-7. Pada akhir tahap eksplorasi, salinitas media telah
berada pada kondisi: 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt.
29

À Tahap Adaptasi dan Perkembangan Akhir Larva, dalam penelitian


ini disebut sebagai percobaan larva tahap lanjut. Pada tahap ini
dilakukan pemantauan perkembangan stadia larva yang berada pada
salinitas statis: 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt. Tahap ini
dimulai dari hari ke-8 sampai dengan semua larva telah menjadi
pascalarva.

À Tahap Potensi Tumbuh Pascalarva, dalam penelitian ini dipantau


kemampuan adaptasi pascalarva sebagai dampak lanjut dari perlakuan
berbagai tingkatan salinitas tahap sebelumnya. Tahap ini dimulai saat
salinitas media diturunkan menjadi salitas air tawar selama 7 hari.
Kemudian dilanjutkan dengan memantau potensi tumbuh pascalarva
pada media air tawar selama 7 hari berikutnya.

Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik terhadap Perkembangan Larva


Tahap Awal dan Tahap Lanjut

Tujuan Percobaan

Tujuan khusus percobaan perkembangan larva tahap awal dan tahap lanjut
adalah untuk menentukan salinitas optimal bagi perkembangan larva dengan
mortalitas terendah. Larva ditetaskan pada media dengan salinitas 6 ppt,
kemudian ditingkatkan dari 0,6 ppt/hr; 0,8 ppt/hr; 1,0 ppt/hr dan 1,2 ppt/hr,
sehingga masing-masing salinitas tersebut dalam waktu 7 hari mencapai salinitas:
10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt.

Metode dan Disain Rancangan Percobaan

Metode Percobaan. Metode percobaan yang dilakukan adalah kausal-


komparatif-kondisional. Sedangkan disain percobaan menggunakan disain
rancangan acak lengkap dengan empat perlakukan salinitas dan tiga ulangan.
Model rancangan percobaan mengacu pada model linier aditif dengan bentuk
persamaan sebagai berikut:

Yij = μ + τi + εij
30

Keterangan : i = perlakuan 1, 2, 3, dan 4


j = ulangan 1, 2, 3
Yij = pengamatan perlakuan ke i, ulangan ke j
μ = rataan umum
τi = pengaruh perlakuan ke i
εij = pengaruh acak pada perlakuan ke i ulangan ke j
Hipotesis yang ditegakkan adalah:

H0: τ1 = ... = τi (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon


yang diamati)
H1: paling sedikit ada satu i dimana τi ≠ 0

Penjelasan Perlakuan adalah:


- Perlakuan 1, salinitas media statis 10,2 ppt
- Perlakuan 2, salinitas media statis 11,6 ppt
- Perlakuan 3, salinitas media statis 13,0 ppt
- Perlakuan 4, salinitas media statis 14,4 ppt

Disain Perlakuan. Disain perlakuan mengikuti sistem produksi akuatik


yang dikembangkan, yaitu disain perlakuan pada sistem produksi tahap
perkembangan larva atau pada percobaan pengaruh beban kerja osmotik terhadap
perkembangan larva udang galah, baik pada tahap awal maupun pada tahap lanjut,
adalah sebagai berikut:

(a) Dua hari sebelum telur menetas, media dirancang berada pada
salinitas 6 ppt. Induk dengan telur siap tetas telah berada pada media
ini. Indikasi warna telur siap tetas: coklat keabu-abuan.
(b) Setelah seluruh telur menetas dalam waktu 12-24 jam, induk
dipisahkan dan larva dipindahkan ke dalam wadah percobaan dengan
mengatur kenaikan salinitas media. Pengaturan kenaikan salinitas
dirancang dalam kurun waktu tujuh hari. Pada akhir hari ke-7, media
pemeliharaan larva telah mengikuti model rancangan linier aditif,
acak lengkap; dengan empat perlakuan salinitas: 10,2 ppt; 11,6 ppt;
13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan tiga ulangan.
(c) Selama kurang lebih 23 hari, media dipertahankan berada pada
salinitas statis, sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan.
Pemeliharaan larva pada media dengan salinitas statis ini berakhir
pada saat semua larva telah menjadi pascalarva.
31

Satuan Percobaan. Pada percobaan ‘pengaruh beban kerja osmotik


terhadap perkembangan larva udang galah baik pada tahap awal maupun pada
tahap lanjut’, dipersiapkan empat perlakuan dengan tiga ulangan. Satuan
percobaan adalah wadah akuarium ukuran 40 cm x 80 cm x 30 cm; dengan
volume air 10 liter yang ditebari larva sejumlah 1.000 ekor. Kondisi wadah
percobaan dapat dilihat pada Gambar 12. Dengan demikian satuan percobaan
yang dilibatkan sebanyak 4 x 3 = 12 satuan percobaan. Penempatan perlakuan
dilakukan secara acak, sehingga bagan satuan percobaan dapat digambarkan
seperti pada Gambar 13.

Gambar 12. Wadah percobaan dalam bentuk akuarium berukuran (40x80x30) cm

Y1.1 Y2.1 Y1.2 Y1.3

Y2.2 Y4.1 Y3.1 Y4.2

Y2.3 Y3.2 Y4.3 Y3.3

Gambar 13. Bagan penempatan satuan percobaan yang dilakukan secara acak

Disain Waktu Evaluasi. Disain waktu evaluasi atau pengkajian yang


dirancang mengikuti sistem produksi akuatik yang dikembangkan, yaitu:
32

(a) Evaluasi tahap persiapan dilakukan pada H-7 terhadap kualitas stok
air tawar dan stok air laut dengan parameter yang telah ditetapkan.
Pada tahap ini juga dilakukan pengamatan tingkat kematangan telur
siap tetas.
(b) Evaluasi terhadap kualitas air media percobaan, terutama salinitas
dan osmolalitas media yang telah dibuat pada salinitas 6 ppt
dilakukan pada tahap penetasan telur, tepatnya pada awal
pelaksanaan percobaan. Dalam waktu 12-24 jam, biasanya seluruh
telur menetas, setelah itu dilakukan sampling larva dan larva-larva
tersebut dipindahkan ke wadah percobaan dengan kepadatan 100
ekor larva/liter atau sekitar 1.000 ekor larva setiap akuarium pada
volume media 10 liter. Pada tahap ini juga dilakukan evaluasi
terhadap osmolalitas cairan tubuh larva yang baru diperoleh dari
hasil tetasan telur dan pengamatan stadia larva percobaan.
(c) Evaluasi tahap perkembangan larva dilakukan dalam dua tahap,
yaitu evaluasi harian dan evaluasi mingguan. Evaluasi harian
dilakukan terhadap perkembangan stadia larva, jumlah larva yang
hidup, serta terhadap beberapa parameter kualitas air, yaitu: suhu,
salinitas dan pH. Sedangkan evaluasi mingguan dilakukan terhadap
kualitas air untuk seluruh parameter yang telah ditetapkan termasuk
osmolalitas media dan osmolalitas cairan tubuh larva udang galah.
(d) Evaluasi tahap akhir dilakukan setelah seluruh larva mencapai
pascalarva. Pada tahap ini dilakukan panen total dan dilakukan
pengamatan terhadap panjang dan bobot individu pascalarva, serta
jumlah total pascalarva yang hidup. Seluruh parameter kualitas air
termasuk osmolalitas media dan pascalarva juga dievaluasi.

Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja

Variabel yang Dipantau. Variabel yang dipantau pada percobaan ini


meliputi:
(a) Kualitas air media, yaitu salinitas, suhu, pH, oksigen,
karbondioksida, ammonia, nitrit, sulfida, dan BOD5. Keseluruhan
33

parameter dipantau mingguan, kecuali salinitas, suhu dan pH


dipantau harian.
(b) Kelimpahan total, yaitu jumlah larva yang hidup yang dipantau
secara harian dengan metode sampling dalam satuan volume;
sehingga kelimpahan total diperoleh dari ekstrapolasi data sampling
terhadap volume total media percobaan dalam akuarium yang
dipantau.
(c) Kelimpahan stadia: pengamatan harian perkembangan stadia larva.
(d) Tekanan osmotik cairan tubuh larva dipantau mingguan
(e) Tekanan osmotik media dipantau mingguan.

Variabel Kerja. Variabel kerja dalam percobaan ini meliputi:

(a) Lama waktu perkembangan larva diperoleh dengan menggunakan


rumus sebagai berikut:

Dt = ⎢
∑ N . t ⎤⎥ keterangan: N = Jumlah larva dengan stadia tertentu
t = waktu
⎢⎣ ∑ N ⎥⎦
(b) Laju mortalitas larva diperoleh dengan menggunakan rumus:
keteranga:n Nt = Jumlah larva pada waktu tertentu
Nt No = Jumlah larva pada waktu awal
= e − zt e = Bilangan natural
N0 z = Laju kematian
t = Waktu

(c) Kelangsungan hidup larva (S) diperoleh dengan menggunakan


rumus sebagai berikut:
keterangan:
⎛R − L⎞ R = Jumlah larva yang tertangkap
S = ⎜ ⎟ x 100 ;
⎝ R ⎠ L = Jumlah larva yang mati
⎛T ⎞ Tmax = Waktu maksimum
R = ⎜⎜ max ⎟x N Dt = Lama perkembangan stadia
Dt ⎟ max
⎝ ⎠ Nmax = Jumlah maks yang tertangkap pada Tmax

(d) Kemampuan regulasi osmotik (Bosm) diperoleh dengan


menggunakan nisbah dari osmolalitas cairan tubuh (OH) terhadap
osmolalitas media (OM) dengan ketentuan sebagai berikut:
Bosm = (OH/OM) = 1; berarti isoosmotik
B

Bosm = (OH/OM) > 1; berarti hiperosmotik


Bosm = (OH/OM) < 1; berarti hipoosmotik
B
34

(e) Kualitas air media diperoleh dengan membandingkan nilai yang


diperoleh terhadap rentang nilai yang disarankan guna mendukung
vitalistik media

Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan

Bahan. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi:


(a) Air tawar yang bersumber dari Mata Air Gunung Salak Bogor yang
diperjualbelikan oleh PAM Bogor melalui Primkopol Polwil Bogor
Unit Niaga “Putri Mas”. Stok air ini dipanaskan dengan heater dan
diberi aerasi; untuk siap digunakan.
(b) Air laut yang digunakan berasal dari stok air laut yang dipakai
sebagai media pembenihan pada subunit pembenihan udang galah
Balai Budidaya Air Tawar di Cisolok, Sukabumi. Stok air laut ini
terlebih dahulu diendapkan selama tiga hari, lalu disaring dengan
bahan plankton net. Setelah air laut disaring, kemudian dipanaskan
dengan heater dan diberi aerasi; untuk siap digunakan.
(c) Induk udang yang digunakan berasal dari muara Sungai Citarik,
Cisolok Sukabumi. Karakteristik induk udang yang digunakan
adalah: bobot induk minimal 40 gram (fekunditas lebih kurang
40.000 butir). Saat induk dibawa dari Cisolok Sukabumi ke Bogor,
kondisi tingkat kematangan telur ditentukan dengan perubahan
warna, yaitu berwarna jingga.
(d) Pereaksi kimia yang digunakan, khususnya untuk penetapan kualitas
air diperoleh dari Laboratorium Limnologi FPIK-IPB. Bahan-bahan
desinfektan untuk wadah transportasi induk dan akuarium adalah
formalin 0,5% dan garam dapur. Bahan desinfektan untuk induk
siap tetas akan menggunakan malachite green 0,1 ppm.
(e) Pakan alami yang digunakan selama percobaan adalah kista Artemia
salina dari Blue Marine dengan hatching rate 80%. Kista Artemia
salina ini ditetaskan dengan metode dekapsulasi langsung.
35

Alat. Peralatan yang digunakan pada percobaan ini meliputi:

(a) Wadah percobaan yang digunakan adalah akuarium dengan ukuran


40 cm x 80 cm x 30 cm sebanyak 24 buah. Akuarium untuk
percobaan utama sebanyak 12 buah; sedangkan untuk pengamatan
osmolalitas media maupun larva sebanyak 12 buah.
(b) Tandon penampung air tawar yang digunakan adalah bak-bak semen
volume 2 ton yang berada di Laboratorium Fisiologi Hewan Air
FPIK-IPB (indoor)
(c) Wadah penyimpanan air laut yang digunakan adalah drum plastik
bervolume 200 liter sebanyak lima buah yang berada di
Laboratorium Fisiologi Hewan Air FPIK-IPB.
(d) Blower yang digunakan sebagai sumber aerasi adalah blower dengan
kualifikasi: model LP-60 Resum Air-Pump, kapasitas/out put 70
liter/menit; tekanan 0,04 MPa.
(e) Aerator yang digunakan sebanyak jumlah satuan percobaan;
termasuk aerator untuk satu set wadah pengamatan dan tandon air
laut; sehingga jumlahnya mencapai 30 set aerator.
(f) Peralatan untuk pengukuran kualitas air, baik fisika maupun
parameter kimia, peralatan gelas dan botol sampel serta timbangan
digital Sartorius untuk peneraan bobot larva.
(g) Peralatan untuk mengetahui perkembangan stadia berupa mikroskop
binokuler, gelas objek dan penutupnya, serta pipet tetes.
(h) Peralatan untuk mengetahui bobot pascalarva dengan menggunakan
timbangan analitik digital dan kaca arloji. Sebelum ditimbang,
dilakukan penyedotan air pada tubuh pascalarva dengan pompa
vacuum yang menggunakan cawan dilengkapi kertas saring yang
ukurannya sama dengan ukuran cawan.

Metode Peneraan. Metode peneraan untuk kualitas air, kelimpahan


stadia, identifikasi stadia dan bobot pascalarva yang digunakan pada percobaan
“pengaruh beban kerja osmotik terhadap perkembangan larva udang galah baik
pada tahap awal maupun pada tahap lanjut” adalah sebagai berikut:
36

(a) Peneraan kualitas air harian, seperti suhu, salinitas dan pH; serta
mingguan seperti oksigen, BOD5, karbondioksida, ammonia, nitrit
dan sulfida, dilakukan setiap pagi hari pada pukul 06.00; pada Tabel
3 diuraikan metode pengukuran yang digunakan pada setiap
parameter.

Tabel 3. Parameter kualitas air dan metode peneraan yang digunakan

No Parameter Metode yang Digunakan

1. Sediaan Air Tawar


(Insidental)
- O2 - Volumetrik–Natrium tio sulfat Method
- Suhu - Termometer Air Raksa
- pH - pH meter
- Alkalinitas - Volumetrik – titrasi Phenol-Pthalein Method
- NH3-N - Volumetrik – titrasi Bromcrosol green Method
- NO2 - Volumetrik – titrasi Bromcrosol green Method
- BOD5 - Volumetrik– Natrium tio sulfat Method
- Sulfida - Volumetrik– Natrium tio sulfat Method
2. Sediaan Air Payau
(Insidental)
- O2 - Volumetrik–Natrium tio sulfat Method
- Suhu - Termometer Air Raksa
- pH - pH meter
- NH3-N - Volumetrik – titrasi Bromcrosol green Method
- NO2 - Volumetrik – titrasi Bromcrosol green Method
- BOD5 - Volumetrik– Natrium tio sulfat Method
- Sulfida - Volumetrik– Natrium tio sulfat Method
- Salinitas - Refraktometer
3. Media Percobaan
(Harian,Mingguan)
- O2 - Volumetrik–Natrium tio sulfat Method
- pH - pH meter
- Sulfida - Volumetrik– Natrium tio sulfat Method
- NH3-N - Volumetrik – titrasi Bromcrosol green Method
- NO2 - Volumetrik – titrasi Bromcrosol green Method
- BOD5 - Volumetrik– Natrium tio sulfat Method

(b) Peneraan kelimpahan stadia dilakukan pagi hari pada wadah


percobaan utama. Metode yang dilakukan adalah sampling pada tiga
posisi diagonal di setiap wadah akuarium; dengan mematikan aerasi
sebelumnya serta dilakukan pengadukan untuk memperoleh
homogenitas sampel. Alat sampling adalah botol BOD5 120 cc.
Volume sampling dan larva yang diperoleh dari identifikasi dengan
menggunakan mikroskop binokuler, dicatat. Kelimpahan dihitung
berdasarkan rumus:
37

⎛V ⎞
Nst i = ⎜⎜ 1 ⎟⎟ x N i ; i = 1, 2 ,....., 11 dan PL
⎝ V2 ⎠
Keterangan: V1 = Volume total media percobaan
V2 = Rataan volume contoh
Ni = Rataan jumlah stadia ke i

Gambar 14. Deskripsi perkembangan stadia larva udang galah


(Sumber: Uno dan Soo, 1969)

(c) Identifikasi stadia larva dilakukan pada larva hasil sampling pada
peneraan kelimpahan larva. Metode yang digunakan adalah
memperhatikan ornamen tubuh yang berbeda pada setiap stadia
berdasarkan skets gambar sesuai dengan rujukan 11 stadia dan
38

bentuk pascalarva yang dideskripsikan oleh Uno dan Soo (1969)


seperti terlihat pada Gambar 14. Pengamatan perbedaan morfologi
setiap stadia dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler.

(d) Peneraan bobot pascalarva dilakukan pada saat semua larva telah
menjadi pascalarva (ketetapan ini diperoleh berdasarkan hasil
sampling). Sampling pascalarva dilakukan dengan menggunakan
pipet skala bersumbat karet pejal pada tiga lokasi diagonal untuk
setiap wadah. Penyusutan air pada tubuh pascalarva dilakukan
dengan pompa vacuum yang menggunakan cawan dilengkapi kertas
saring seukuran cawan. Seluruh pascalarva dimasukkan ke dalam
kaca arloji yang telah diketahui bobotnya. Kaca arloji dan
pascalarva ditimbang kembali dengan menggunakan timbangan
analitik digital. Selisih bobot akhir dan blanko adalah bobot total
pascalarva. Rumus yang digunakan untuk menera bobot individu
pascalarva adalah:
⎛ 3


gi
WPL −ind = ⎜⎜ ⎟ ; gi = Bobot PL sampel ke-i

⎝ i =1 ni ⎠ ni = Jumlah PL sampel ke-i

(e) Peneraan jumlah total pascalarva dilakukan saat panen. Metode


yang digunakan adalah metode volumetrik bertingkat; dengan
peralatan kain hapa untuk menampung hasil panen, gelas piala 50 ml
dan sendok. Pascalarva dalam hapa ditera dengan hitungan gelas
piala (bila belum ditera, biarkan terendam agar pascalarva tidak
mati). Kemudian volume satu gelas pascalarva (V1), ditera terdiri
atas sejumlah volume sendok (V2) dan jumlah pascalarva dalam
sendok dihitung (nPL). Rumus yang digunakan untuk menera jumlah
total pascalarva hasil panen adalah: ⎛ V1 ⎞
N = ⎜ ⎟ x nPL
⎝V 2 ⎠
(f) Peneraan osmolalitas media dan cairan tubuh dilakukan dengan
mengambil sampel mingguan dari wadah percobaan yang
dipersiapkan sebagai pendamping. Untuk media air sebanyak 10 ml
setiap wadah; dan untuk larva sejumlah 500 ekor pada stadia awal;
39

selanjutnya berkurang sekitar 300 ekor larva pada stadia-6 atau


stadia-7 dan sekitar 200 ekor pada stadia-8; sedangkan untuk
pascalarva berada pada jumlah 50 ekor untuk perolehan cairan tubuh
dalam peneraan osmolalitas. Osmolalitas media dan cairan tubuh
ditera dengan menggunakan osmometer dengan spesifikasi seperti
terlihat pada Gambar 15.

Cryoscopic Osmometer
Model SOP OSMOMAT 030
Kisaran pengukuran 0-2000 mOsm/kg H2O
Volume sample 100 μl
Menggunakan metode eryometrik

Gambar 15. Osmometer yang digunakan beserta spesifikasinya

Pelaksanaan Percobaan. Percobaan, dirancang menjadi beberapa


kegiatan sebagai berikut:
(a) Persiapan wadah percobaan berupa akuarium, akuarium yang telah
disucihamakan (menggunakan kristal garam dapur, formalin 0,5%
serta natrium hipokhlorit 15 ppm) ditata di atas meja marmer di
Laboratorium Fisiologi Hewan Air FPIK IPB yang bagian bawahnya
sudah diberi alas lembaran karet untuk menghidari keretakan
akuarium. Pada satu meja dibagi menjadi dua bagian: wadah
percobaan set utama dan wadah percobaan set pendamping.
Setelah dilakukan pengacakan lokasi unit percobaan, seluruh dinding
dan bagian atas akuarium ditutup plastik hitam untuk
mempertahankan suhu. Persiapan media dilakukan mengikuti
perlakuan percobaan, yaitu pada saat awal disiapkan media
bersalinitas 6 ppt dengan cara mencampurkan air tawar dan air laut
yang telah dipersiapkan sebelumnya.
(b) Penetasan telur dilakukan pada wadah plastik, setiap induk dengan
telur siap tetas direndam pada media Malachite Green 0,1 ppm
selama 10 menit. Saat warna telur berubah coklat tua, induk
40

dimasukkan ke dalam media penetasan bersalinitas 6 ppt. Bobot


induk dengan telur sebelum dan sesudah menetas ditimbang untuk
memperoleh bobot telur. Diperkirakan dari seekor induk dengan
bobot minimal 40 gram (fekunditas ± 40.000 butir telur), diperoleh
larva sekitar 30.000 ekor (hatching rate ± 75%). Selama masa
pematangan telur hingga siap tetas, induk diberi pakan berupa irisan
kentang secara ad libitum; media air tawar tempat induk ditampung
diberi aerasi dan thermostat, serta untuk mempertahankan kualitas
air setiap pagi dilakukan penyiponan.
(c) Penebaran larva dilakukan saat telur telah menetas seluruhnya;
waktu yang dibutuhkan untuk penetasan sekitar 1-2 hari. Larva hasil
tetasan dalam ukuran stadia-1, dihitung dengan menggunakan
metode volumetrik bertingkat. Peralatan saring yang digunakan pada
metode volumetrik ini, memakai bahan kain saringan plankton net,
gelas piala 25 ml dan sendok makan. Larva dalam saringan kain
plankton net ditera dengan menggunakan gelas piala (bila belum
ditera, biarkan terendam agar larva tidak mati). Volume gelas piala
berisi larva (V1) dan volume sendok (V2). Jumlah larva dalam
sendok dihitung (nLarva). Rumus yang digunakan untuk menera
jumlah larva hasil tetasan adalah:
⎛ V1 ⎞
N = ⎜ ⎟ x nL arva
⎝V 2 ⎠
(d) Pengaturan salinitas sejak awal pemeliharaan sampai dengan akhir
percobaan mengikuti metode pengenceran air laut yang
menggunakan rumus pengenceran V1N1 = V2N2.. Perkiraan volume
air laut dan air tawar yang digunakan seperti terlihat pada Tabel 4.

(e) Pemberian pakan yang digunakan mengikuti pola pemberian pakan


yang disarankan oleh Uno dan Soo (1969) mengikuti perkembangan
stadia dan diupayakan ad libitum. Jenis pakan yang diberikan
adalah Artemia salina, dengan frekuensi 5 kali dalam sehari: pukul
07.00 (setelah sampling kualitas air dan perkembangan stadia),
41

pukul 10.00; pukul 13.00; pukul 16.00 dan pukul 19.00. Rincian
pola pemberian pakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5

Tabel 4. Prakiraan jumlah air laut dan tawar yang terpakai pada percobaan

Perlaku
an 10,2 11,6 13,0 14,4 Jumlah
Hari ppt ppt ppt ppt
ke: (liter) (liter) (liter) (liter) (liter)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)


1
AT: 1200- ⎛ 6 ⎞ ⎛ 6 ⎞ ⎛ 6 ⎞ ⎛ 6 ⎞ (6.86) x 3
20,58 ⎜ ⎟ x10 ltr ⎜ ⎟ x10 ltr ⎜ ⎟ x10 ltr ⎜ ⎟ x10 ltr
⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ = 20.58
=1179,42
= 1,71 = 1,71 = 1,71 = 1,71
2
AT:12 – ⎛ 0,6 ⎞ ⎛ 0,8 ⎞ ⎛ 1,0 ⎞ ⎛ 1,2 ⎞ (1,93) x 3
⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr
5,79 = 6,21 ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ = 5,79
= 0,15 = 0,21 = 0,26 = 0,31
3
AT:12 – ⎛ 0,6 ⎞ ⎛ 0,8 ⎞ ⎛ 1,0 ⎞ ⎛ 1,2 ⎞ (1,93) x 3
⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr
5,79 = 6,21 ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ = 5,79
= 0,15 = 0,21 = 0,26 = 0,31
4
AT:12 – ⎛ 0,6 ⎞ ⎛ 0,8 ⎞ ⎛ 1,0 ⎞ ⎛ 1,2 ⎞ (1,93) x 3
⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr
5,79 = 6,21 ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ = 5,79
= 0,15 = 0,21 = 0,26 = 0,31
5
⎛ 0,6 ⎞ ⎛ 0,8 ⎞ ⎛ 1,0 ⎞ ⎛ 1,2 ⎞
AT:12 – ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr (1,93) x 3
5,79 = 6,21 ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠
= 5,79
= 0,15 = 0,21 = 0,26 = 0,31
6
⎛ 0,6 ⎞ ⎛ 0,8 ⎞ ⎛ 1,0 ⎞ ⎛ 1,2 ⎞
AT:12 – ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr (1,93) x 3
⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠
5,79 = 6,21 = 5,79
= 0,15 = 0,21 = 0,26 = 0,31
7 ⎛ 0,6 ⎞ ⎛ 0,8 ⎞ ⎛ 1,0 ⎞ ⎛ 1,2 ⎞
AT:12 – ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr ⎜ ⎟ x9 ltr (1,93) x 3
⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠
5,79 = 6,21 = 5,79
= 0,15 = 0,21 = 0,26 = 0,31
8-30 ⎛ 10,2 ⎞ ⎛ 11,4 ⎞ ⎛ 13,0 ⎞ ⎛ 14,4 ⎞
AT:(12x23) ⎜ ⎟ x1 ltr ⎜ ⎟ x1 ltr ⎜ ⎟ x1 ltr ⎜ ⎟ x1 ltr (1,40)x3x23
⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠ ⎝ 35 ⎠
– 92,4 = = 0,37 = 0,41 = 92,4
= 0,29 = 0,33
183,6

JUMLAH AIR LAUT TERPAKAI : (2 set) x 151,92 liter = 302,88 liter


31-37 ⎡ ⎤ ⎡ ⎤ ⎡ ⎤ ⎡



⎢ 10,2 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ 13 ⎥ 14, 4
AT: 24,57 ⎢ ⎥ ⎢
11,6
⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ (1,17)x3x7
⎢ ⎛ 10, 2 ⎞ ⎥ ⎢ ⎛ ⎞⎥
13 ⎢ ⎛ 14, 4 ⎞⎥
⎢10,2 − ⎜⎝ 7 ⎟⎠ ⎥ ⎢ ⎛ 11,6 ⎞ ⎥ ⎢13 − ⎜ 7 ⎟ ⎥ ⎢14,4 − ⎜ 7 ⎟ ⎥ = 24,57
⎣ ⎦ ⎢11,6 − ⎜ 7 ⎟ ⎥ ⎣ ⎝ ⎠⎦ ⎣ ⎝ ⎠⎦
⎣ ⎝ ⎠⎦
= 1,17 = 1,17 = 1,17
= 1,17
38-45 1 1 1 1 (1) x 3 x 7
AT: 21 = 21
JUMLAH AIR TAWAR TERPAKAI : (2 set) x 1445,85 liter = 2891,7 liter

Catatan; - Bila salinitas stok 35 ppt


- Setiap hari air diganti 10 % (1 ltr), termasuk volume siphon
- Salinitas penggantian 1 ltr media tiap wadah, disesuaikan kondisi hari itu
42

Tabel 5. Jadwal pemberian pakan harian berdasarkan stadia larva

Hari setelah Stadia Nauplii Artemia*)


Penetasan (Uno & Soo) Ekor/larva perhari

0–1 1 -
2–3 2 5
4–6 3 10
7–9 4 15-20
10 – 13 5 20-30
14 – 16 6 30-45
17 – 19 7 45-60
20 – 23 8 60-80
24 – 27 9 80-100
28 – 30 10 120
31 11 150
*) Dosis dalam percobaan ini

(f) Pengelolaan media yang dimaksudkan dalam hal ini adalah: peng-
aturan aerasi, suhu dan pembuangan feces dan sisa pakan.
Pengaturan aerasi dilakukan dengan memasang klep pengatur aerasi
dengan proporsi: 30% angin keluar pada stadia-1 sampai dengan
stadia 3; 50% angin keluar pada stadia-6 sampai dengan stadia-9;
serta 100% pada stadia-10 sampai dengan stadia-1. Suhu
dipertahankan pada 28-300C dengan termostat. Untuk pembuangan
sisa pakan dan atau feces, dilakukan dengan menggunakan sifon,
pada bagian penampung diberi saringan bahan plankton net;
bilamana ada larva ikut tersiphon dikembalikan ke dalam wadah
semula.
(g) Pencegahan hama penyakit dilakukan terhadap seluruh wadah yang
digunakan dengan cara: mencuci peralatan menggunakan garam
dapur, lalu direndam dalam larutan formalin 0,5% selama 15 menit.
Untuk induk dilakukan perendaman dengan Malachite Green 0,1
ppm selama 10 menit.

Teknik Pengumpulan Data

Kualitas Air. Data parameter kualitas air yang dikumpulkan dalam


percobaan “pengaruh beban kerja osmotik terhadap perkembangan larva udang
galah baik pada tahap awal maupun pada tahap lanjut” adalah sebagai berikut:
43

(a) Parameter kualitas air yang dipantau harian, seperti: suhu, pH dan
salinitas, dikumpulkan secara bersamaan setiap pagi sebelum
sampling untuk perkembangan stadia. Data yang diperoleh dari
setiap satuan percobaan pada wadah set utama dengan ulangan
masing-masing dimasukkan dalam tabulasi data.
(b) Parameter kualitas air yang dipantau mingguan, seperti oksigen
terlarut, karbon dioksida, ammonia, nitrit, sulfida dan BOD5.
Pengukurannya dilakukan setiap periode minggu di pagi hari
bersamaan dengan pengambilan data harian dan kemudian
ditabulasikan.
(c) Hasil pantauan mingguan dan harian terhadap parameter kualitas air,
dilakukan perbandingan terhadap tolok ukur nilai parameter kualitas
air optimal vitalistik mendukung kehidupan larva sampai pascalarva

Kelimpahan Stadia. Pengumpulan data kelimpahan stadia dicatat


bersamaan dengan saat penetapan stadia larva hasil sampling. Jumlah masing-
masing stadia hasil sampling harian untuk setiap unit percobaan dengan ulangan
masing-masing pada wadah set utama, dihitung; kemudian dimasukkan dalam
tabulasi.

Tekanan Osmotik Cairan Tubuh. Pengumpulan data tekanan osmotik


cairan tubuh dilakukan setiap minggu; sampling dilakukan pada setiap unit
percobaan pada wadah set pendamping untuk pengamatan tekanan osmotik.
Volume sampel yang diperlukan sekitar 100 μl; atau kurang lebih 500 ekor pada
stadia awal; selanjutnya 300 ekor larva pada stadia-6; untuk stadia-8 dibutuhkan
kurang lebih 200 ekor, sedangkan untuk pascalarva dibutuhkan kurang lebih 50
ekor untuk perolehan cairan tubuh dalam peneraan osmolalitas.

Tekanan Osmotik Media. Pengumpulan data tekanan osmotik media


juga dilakukan setiap minggu; sampling dilakukan pada setiap unit percobaan
pada wadah set pendamping untuk pengamatan tekanan osmotik. Untuk ini
diambil sampel dengan volume kurang lebih 100 μl. Pada percobaan ini
diperoleh data sebanyak 12 satuan data; lalu dikompilasi dalam bentuk tabulasi.
44

Analisis Data

Uji Perbedaan. Pengujian homogenitas nilai-nilai yang diperoleh dari


setiap unit percobaan, dilakukan dengan pengolahan data awal dengan melihat
nilai koefisien keragaman (KK). Sebagian data dengan nilai KK tidak melewati
batas kewajaran; dilakukan transformasi. Setelah itu, dilanjutkan dengan
pengolahan analisis ragam yang menguji hipotesis H0: β = 0; sehingga terlihat
nyata atau tidak nyata pengaruhnya terhadap:
(a) Kemampuan regulasi osmotik (OH/OM) dan beban osmotik
(1-OH/OM)
(b) Lama waktu dan keberadaan perkembangan larva
(c) Kelangsungan hidup larva
(d) Jumlah pascalarva
(e) Bobot pascalarva

Selanjutnya pada perlakuan yang berbeda nyata dilakukan analisis


lanjutan untuk membandingkan nilai tengah perlakuan dengan uji perbandingan
berganda Duncan. Penggunaan uji Duncan ini dengan pendekatan bahwa
prosedur Duncan mempersiapkan segugus nilai pembanding yang nilainya
meningkat tergantung dari jarak peringkat dua buah perlakuan yang
dibandingkan. Nilai kritis Duncan dihitung dengan rumus:

Rp = rα ; p; dbgSy ; S y = KTG
r
(Mattjik & Sumertajaya,2000)

Uji Hubungan. Analisis uji hubungan dalam data percobaan di atas,


menggunakan analisis regresi. Persamaaan matematik yang menggambarkan
hubungan antara peubah bebas (independence variable) yang dalam percobaan ini
adalah tekanan osmotik (X) dengan peubah tak bebas (dependence variable) yang
dalam percobaan ini adalah kelangsungan hidup larva dan lama perkembangan
stadia (Y) adalah:
y = axibi e

Keterangan:
a = jumlah awal larva atau hari pertama ditemukan stadia ke-i
b = jumlah akhir larva atau hari terakhir ditemukan stadia ke-i
e = bilangan natural
45

Analisis Kovarian dilakukan terhadap laju mortalitas (Z). Untuk pengujian


model persamaan di atas digunakan analisis ragam yang menguji hipotesis H0: β=
0. Hipotesis nol diterima dengan pendekatan F-hitung [ Fα (1,n-2)] Keterandalan
model persamaan diukur dengan koefisien determinasi atau R2. Semakin besar R2
berarti model semakin mampu menerangkan perilaku peubah Y (kelangsungan
hidup larva dan lama perkembangan stadia). Kisaran nilai R2 mulai dari 0 sampai
1 dapat diperoleh dengan rumus:

JKG
R2 = 1−
JKT

Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik terhadap


Laju Konsumsi Oksigen Larva Udang Galah

Tujuan Percobaan

Tujuan khusus pada percobaan laju konsumsi oksigen dari larva sampai
dengan pascalarva adalah mengetahui hubungan antara konsumsi oksigen pada
waktu atau periode masih adanya beban osmotik. Nilai hasil pengukuran
konsumsi oksigen akan dijadikan dasar perhitungan jumlah energi yang
dimanfaatkan untuk keperluan metabolisme sehingga menjadi penentu bagi
pertumbuhan larva udang galah.

Metode dan Disain Rancangan Percobaan

Metode, Disain Perlakuan dan Satuan Percobaan. Percobaan konsumsi


oksigen dilakukan terhadap empat tahap perkembangan larva, yaitu pada stadia-1,
stadia-6, stadia-8 dan pascalarva. Disain perlakuan untuk masing-masing
percobaan serta pada masing-masing tahap perkembangan mengikuti disain
rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan salinitas dan tiga ulangan.
Satuan percobaan pada laju konsumsi oksigen adalah 500 ekor larva stadia-1,
sebanyak 300 ekor stadia-6, sebanyak 100 ekor stadia-8 dan 10 ekor pascalarva
yang masing-masing dimasukkan ke dalam botol plastik transparan volume 35 ml.
46

Disain Waktu Evaluasi. Disain waktu evaluasi pada percobaan


pengaruh beban kerja osmotik terhadap respirasi larva sampai pascalarva adalah
sebagai berikut :

(a) Evaluasi pertama dilakukan pada hari pertama, yaitu saat larva
berada dalam media bersalinitas 6 ppt, selama 7 hari ke depan
salinitas media akan berubah sesuai rancangan perlakuan pada sistem
produksi tahap eksplorasi
(b) Evaluasi kedua dilakukan pada hari ke-7 yaitu pada saat larva telah
berada pada media sesuai dengan rancangan perlakuan yang statis
pada sistem produksi tahap adaptasi.
(c) Evaluasi ketiga dilakukan pada hari pemeliharaan ke-14 atau pada
kondisi stadia-8, yaitu pada saat larva telah berada pada media
dengan salinitas statis.
(d) Evaluasi keempat dilakukan pada hari ke-21 masa pemeliharaan larva
atau saat larva mencapai stadia-11.
(e) Evaluasi kelima dilakuakan pada hari ke-28 atau tahap akhir setelah
semua larva menjadi pascalarva. Pada saat ini salinitas media mulai
diturunkan selama 7 hari ke arah kondisi air tawar.

Disain Instrumen. Disain instrumen pada percobaan pengaruh beban


kerja osmotik terhadap laju konsumsi oksigen dari larva sampai pascalarva adalah
sebagai berikut :
Disain instrumen untuk menera konsumsi oksigen, berupa satu set
peralatan meliputi empat botol yang terdiri atas botol A sebagai wadah
stok air yang dijenuhkan; botol B sebagai wadah larva uji; botol C sebagai
wadah media sisa hasil metabolisme yang akan ditera tingkat respirasinya
dan botol D sebagai wadah penampung air buangan. Disain instrumen
yang terdiri atas rangkaian botol A sampai D dapat dilihat pada Gambar
16; sedangkan visualisasi peralatan yang digunakan terlihat pada Gambar
17.
47

Aerator
Thermometer

Ø
DO-Meter

Kran-1

Stok Air Dijenuhkan


Klem Penyangga
A Kran-2

Larva

Elektroda
B

n
Kran-3

KETERANGAN:

A = Wadah Stok Air


B = Wadah Larva
C
C = Wadah Air Sisa Konsumsi O2
D = Wadah Air Bekas Penampungan Air

D
Gambar 16. Disain instrumen peneraan respirasi larva udang galah

Gambar 17. Visualisasi instrumen konsumsi oksigen yang digunakan


48

Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja

Variabel yang Dipantau. Variabel yang dipantau meliputi konsentrasi


pemakaian O2 dan konsentrasi CO2 yang dihasilkan pada proses respirasi
larva dalam waktu 1 jam berturut-turut, selama 48 jam (metabolisme basal
dan aktif). Demikian juga suhu media sebelum dan sesudah percobaan.

Variabel Kerja. Variabel kerja dalam percobaan ini adalah pengukuran


laju konsumsi oksigen atau respirasi. Respirasi adalah jumlah oksigen
yang digunakan untuk metabolisme (basal atau aktif) pada saat RQ ≠ 1
(respiratory quotient). Untuk itu perlu dipantau setiap jam berturut-turut
selama 48 jam pengamatan.

Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan

Bahan. Bahan yang digunakan meliputi:


(a) Air tawar berasal dari Mata Air Gunung Salak Bogor yang diperjual-
belikan oleh Primkopol Polwil Bogor Unit Niaga “Putri Mas”.
(b) Air Laut berasal dari Sub Unit Pembenihan Udang Galah Cisolok
(c) Larva dan pascalarva, hasil pembenihan langsung
(d) Pakan alami berupa Artemia salina

Alat. Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut:


(a) Peralatan pengukuran respirasi larva, berupa satu set alat yang
dirancang khusus, terdiri atas botol plastik yang dilengkapi aerasi,
termometer dan mikrooksigen meter
(b) Cryoscopic Osmometer, Model SOP OSMOMAT 030 di
Laboratorium Embriologi FKH-IPB, Dramaga dan Laboratorium
Hidrobiologi FPIK-UNDIP, Semarang.

Metode Pengukuran. Metode pengukuran yang digunakan adalah:


(a) Respirasi dengan metode selisih harga mutlak konsumsi oksigen
larva tiap jam selama 48 jam (metabolisme basal dan aktif)
menggunakan oxymeter digital yang dikoreksi dengan RQ ≠ 1
(b) Tekanan Osmotik dengan metode eryometrik
49

Pelaksanaan Percobaan.

(a) Respirasi. Sesuai dengan disain waktu evaluasi maka pelaksanaan


percobaan dilakukan pada empat tahap perkembangan larva sampai
dengan pascalarva, dengan cara menyiapkan empat set peralatan
pengukuran respirasi yang dirancang khusus untuk empat perlakuan.
Tahapan pelaksanaan seperti diuraikan berikut dan diagram
pelaksanaannya dapat dilihat pada Gambar 18.

Dipersiapkan Stok Media sesuai Perlakuan


dan Telah Dijenuhkan

Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4

Aerator
Thermometer Aerator
Thermometer Aerator
Aerator Thermometer
Thermometer
Ø
DO-Meter Ø
Ø
DO-Meter Ø
DO-Meter
DO-Meter

Kran-1
Kran-1
Kran-1
Stok Air Dijenuhkan Kran-1
Stok Air Dijenuhkan
KlemPenyangga Stok Air Dijenuhkan
A A KlemPenyangga Stok Air Dijenuhkan
KlemPenyangga
Kran-2
Kran-2 A KlemPenyangga A Kran-2
Larva Kran-2
Larva
Larva
Elektroda Larva
B
n

Elektroda
B Elektroda
n

Kran-3
Elektroda
B

n
Kran-3
B
n

Kran-3
KETERANGAN: Kran-3
KETERANGAN:
KETERANGAN:
KETERANGAN:
A = Wadah Stok Air
B = Wadah Larva
C A = Wadah Stok Air
C
C= Wadah Air Sisa Konsumsi O2 B = Wadah Larva A = Wadah Stok Air
C
A = Wadah Stok Air
B = Wadah Larva
C
D= Wadah Air Bekas Penampungan Air C= Wadah Air Sisa Konsumsi O2 B = Wadah Larva
Penampungan Air C= Wadah Air Sisa Konsumsi O2
D= Wadah Air Bekas C= Wadah Air Sisa Konsumsi O2 Penampungan Air
Penampungan Air D= Wadah Air Bekas
D= Wadah Air Bekas

D D
D D

Sisa Kandungan Oksigen yang Terpakai. Diukur Tiap Jam lalu


Dibuang; Pemantauan Dilakukan Selama 24 jam

Gambar 18. Rincian percobaan pengukuran respirasi larva

Tahap Pertama:

Melakukan penimbangan bobot larva atau pascalarva sesuai


perlakuan dengan sampling. Sebelum penimbangan dilakukan
penyusutan air pada tubuh sampel menggunakan pompa vacuum dan
cawan gooch serta kertas saring yang telah diketahui bobotnya,
sebagai blanko. Setelah itu bobot sampel ditimbang dengan neraca
analitik digital
50

Tahap Kedua:

(i) Melakukan penjenuhan oksigen media pada wadah stok air


(Botol A) untuk empat perlakuan. Setelah jenuh, maka suhu dan
kandungan oksigen ditera dengan menggunakan DO-meter digital
yang dilengkapi dengan pengukur suhu air; sekaligus dilakukan
pengukuran kandungan CO2 dengan metode volumetrik. Selama
pelaksanaan percobaan, stok air pada botol A diareasi terus menerus.

(ii) Kecepatan aliran air (debit air) diatur dengan kran 1, kran 2
dan kran 3; sehingga berada pada kecepatan yang sama. Setelah itu,
larva dimasukkan pada wadah/botol B. Jumlah larva pada stadia-1
sebanyak 500 ekor; untuk stadia-8 sebanyak 100 ekor; dan untuk
pascalarva sebanyak 10 ekor. Setelah kondisi kecepatan aliran sudah
stabil, maka percobaan untuk jam pertama dimulai. Demikian
seterusnya hingga 48 jam pengamatan.

(iii) Tepat setelah 1 jam, kandungan oksigen dan suhu media


dicatat dengan peralatan DO-meter digital yang terpasang pada
wadah atau botol C; kandungan CO2 juga diukur dengan metode
volumetrik. Air sisa hasil respirasi dialirkan ke botol D untuk
selanjutnya ditampung pada wadah terpisah sebagai total volume air
yang terpakai selama pengamatan. Pengamatan dilakukan setiap jam
selama 48 jam.

(b) Tekanan Osmotik; diukur pada empat tahap perkembangan hidup


stadia dengan menggunakan Cryoscopic Osmometer, Model SOP
OSMOMAT 030. Perlakuan persiapan untuk pengukuran tekanan
osmotik ini, dilakukan dengan menggerus larva; kemudian cairan
larva diperoleh dengan melakukan sentrifius. Setelah itu, dilakukan
pengukuran cairan tubuh larva menggunakan osmometer. Untuk
larva stadia-1, dibutuhkan minimal 500 ekor, sedangkan untuk larva
stadia-6 dibutuhkan sekitar 300 ekor, untuk larva stadia-8
dibutuhkan sekitar 200 ekor dan untuk pascalarva dibutuhkan sekitar
51

50 ekor. Tahapan keseluruhan kegiatan pengukuran dimaksud


terlihat pada Gambar 19 dan tervisualisasikan pada Gambar 20.

Centrifuge
Data
Data

Larva Digerus
OSMOMETER
Larva Stadia 3-4 (umur 7 hari)
dibutuhkan sekitar 300 ekor
Pengukuran Osmolalitas

Gambar 19. Tahapan pengukuran tekanan osmotik larva udang galah

Gambar 20. Visualisasi tahapan pengukuran tekanan osmotik larva

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada percobaan ini meliputi:

(a) Laju konsumsi oksigen: Pengumpulan data respirasi dilakukan


melalui empat tahap perkembangan stadia larva sampai pascalarva.
Data yang diambil dari setiap tahapan adalah nilai kandungan O2
yang dikonsumsi, yaitu selisih dari oksigen awal dan oksigen akhir
setiap jam selama 24 jam pengamatan. Demikian juga untuk
konsentrasi karbon dioksida sebagai hasil metabolisme.

(b) Tekanan osmotik: Pengumpulan data dari tekanan osmotik cairan


tubuh dilakukan pada empat tahap perkembangan stadia larva
sampai pascalarva

Analisis Data
Rencana analisis data dilakukan sesuai dengan disain waktu evaluasi.
Untuk setiap analisis akan dilakukan uji:
52

(a) Uji Perbedaan; dengan pengolahan analisis ragam dilakukan satu


arah; untuk menguji hipotesis H0: β = 0; Bilamana ternyata ada
respon yang diperlihatkan dari nilai konsumsi oksigen larva atau
pascalarva terhadap empat perlakuan yang dirancang; maka
dilakukan analisis lanjutan untuk membandingkan nilai tengah
perlakuan dengan uji perbandingan berganda Duncan. Perlakuan
media yang dirancang, dipandang mampu mengaktualisasi kondisi
hiperosmotik, hipoosmotik dan isoosmotik

(b) Uji Hubungan; menggunakan analisis regresi untuk menggambarkan


hubungan antara X sebagai peubah bebas (independence variable)
dengan Y sebagai peubah tidak bebas bebas (dependence variable);
dengan rincian sebagai berikut:

YKonsumsi Oksigen → ƒ [salinitas] pada 4 perlakuan yang mencerminkan


kondisi hiperosmotik, hipoosmotik
dan isoosmotik media.
Persamaan matematik yang menggambarkan hubungan antara kedua
peubah itu adalah:
Y3 = ax2b2
Keterangan:
Y3 = Konsumsi Oksigen
X2 = Beban Osmotik

Untuk pengujian model persamaan diatas digunakan analisis ragam yang


menguji hipotesis H0: β = 0. Hipotesis nol diterima dengan pendekatan F hitung
[Fα (1,n-2)]. Keterandalan model persamaan tersebut diukur dengan koefisien
determinasi atau R2. Semakin besar R2 berarti model semakin mampu
menerangkan perilaku peubah Y yang dalam percobaan ini tidak lain dari
kelangsungan hidup larva dan lama perkembangan stadia. Kisaran nilai R2 mulai
dari 0 sampai 1, yang dapat diperoleh dengan rumus:

JKG
R2 = 1−
JKT
53

Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Potensi Tumbuh


Pascalarva Udang Galah

Tujuan Percobaan

Tujuan khusus pada percobaan potensi tumbuh pascalarva udang galah


dari hasil berbagai adaptasi salinitas adalah untuk mengetahui potensi tumbuh
pascalarva udang galah sebagai konsenkuensi perkembangan larva yang
dipelihara pada berbagai tingkat salinitas. Berbagai tingkat salinitas ini adalah:
peningkatan salinitas media dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan
14,4 ppt. dalam waktu 7 hari. Kemudian tingkatan salinitas statis ini
dipertahankan sampai semua larva menjadi pascalarva dan selanjutnya dilakukan
pengamatan terhadap pengaruh lanjut beban osmotik terhadap potensi tumbuh
pascalarva.

Metode dan Disain Rancangan Percobaan

Metode, Disain Perlakuan dan Satuan Percobaan. Metode percobaan


yang dilakukan adalah eksperimental terkontrol dengan perlakuan; (1) Pascalarva
hasil adaptasi dari media dengan perlakuan salinitas 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt
dan 14,4 ppt; yang diturunkan langsung menjadi tawar selama 7 hari (adaptasi
awal); (2) Pertumbuhan pascalarva pada media yang terus menerus dipertahankan
pada posisi salinitas nol (pengembangan). Disain percobaan yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap dengan menggunakan pascalarva hasil adaptasi
dari salinitas 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt dan 14,4 ppt dan tiga ulangan;
keseluruhannya berada pada media air tawar.
Satuan percobaan pada percobaan ini dibagi dalam dua set. Set pertama
untuk pertumbuhan dan konsumsi harian pascalarva dan set kedua untuk
pengukuran respirasi khusus pascalarva. Satuan percobaan untuk pertumbuhan
dan konsumsi harian pascalarva adalah 40 ekor pascalarva yang ditebar ke dalam
wadah akuarium ukuran 40 cm x 80 cm x 30 cm; dengan volume air 10 liter.
Satuan percobaan untuk pengukuran respirasi khusus pascalarva adalah 3 x 30
ekor atau sejumlah 90 ekor pascalarva yang ditebar ke dalam wadah akuarium
ukuran 40 cm x 80 cm x 30 cm; dengan volume air 10 liter.
54

Disain Waktu Evaluasi. Disain waktu evaluasi untuk kedua kegiatan,


yaitu pertumbuhan serta respirasi dilakukan secara bersamaan sebagai berikut:

(a) Evaluasi tahap pertama dilakukan pada hari penebaran pascalarva,


yaitu terhadap kualitas media air tawar dengan parameter yang telah
ditetapkan. Pada tahap ini juga dilakukan pengamatan panjang dan
bobot pascalarva.
(b) Evaluasi tahap dua dilakukan pada hari ke-7, parameter yang diamati
disini meliputi kelangsungan hidup, sisa pakan, bobot, panjang dan
beberapa dari parameter kualitas air.
(c) Evaluasi tahap akhir, pada hari ke-14 pemeliharaan pascalarva.
Pada tahap ini dilakukan panen total dan pengamatan dilakukan
untuk sampling panjang dan bobot individu pascalarva muda, serta
jumlah total pascalarva yang hidup.

Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja

Variabel Yang Dipantau. Variabel yang dipantau dalam percobaan ini


untuk set pertumbuhan dan konsumsi harian meliputi:
(a) Kualitas air media, yaitu suhu, pH, oksigen, karbondioksida,
ammonia, nitrit, sulfida, dan BOD. Keseluruhan parameter dipantau
mingguan, kecuali suhu dan pH dipantau harian.
(b) Kelangsungan hidup, yaitu jumlah pascalarva yang hidup dipantau
harian dengan metode sampling dalam satuan volume; selanjutnya
dilakukan ekstrapolasi data sampling terhadap volume total media
percobaan dalam akuarium yang dipantau.
(c) Sisa pakan dipantau harian dengan menghitung sisa Daphnia sp.
(d) Bobot pascalarva dipantau saat O2 dan CO2 diiukur.

Variabel yang dipantau untuk set pengukuran respirasi meliputi:


(a) Kualitas air media, yaitu O2 dan CO2
(b) Jumlah O2 yang dimanfaatkan dan CO2 yang dihasilkan (RQ)
(c) Bobot individu diukur sebelum pengukuran respirasi
55

Variabel Kerja. Variabel kerja untuk Pertumbuhan dan Konsumsi Harian


Pascalarva dan untuk Pengukuran Respirasi Khusus Pascalarva dapat dirinci
sebagai berikut:
(a) Pertumbuhan dan Konsumsi Harian Pascalarva
(1) Kelangsungan hidup
(2) Pertumbuhan individu dari hasil pantauan mingguan
(3) Pertumbuhan biomassa = Kelangsungan hidup x Bobot dari
waktu ke waktu
(4) Biomassa akhir = Jumlah yang hidup x Rata-rata bobot
(5) Konsumsi pakan harian per individu sesuai dengan waktu
evaluasi; dengan rumus: Σ sisa pakan / Σ PL yang hidup;
Konsumsi pakan total per akuarium; kemudian
ditransformasikan ke energi (0,8 x pakan)
(b) Respirasi Khusus Pascalarva
(1) Respirasi harian individu adalah jumlah O2 harian yang dipakai
untuk pembakaran
(2) Respirasi total adalah jumlah O2 total yang dipakai untuk
pembakaran energi yang dicirikan RQ ≠1
(3) Potensi tumbuh individu: Σ pakan yang dikonsumsi / Σ Individu
(4) Potensi tumbuh biomassa:
Potensi tumbuh Aktual (ΔW/ΔT) dan Potensial (αP-T), atau
(αK-R). Δ Aktual/Δ Potensial = Δ W/K-R. Dengan demikian
dapat disajikan potensi tumbuh dalam rumus berikut:

dW/dt = αK-R
Keterangan: dW : bobot
K : konsumsi
α : koefisientransformasi energi
R : respirasi
Efisiensi (E), E1 = dW/ α K; sedangkan E2 = dW/ α K -R

Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan

Bahan. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi:


56

(a) Air tawar yang digunakan berasal dari Mata Air Gunung Salak
Bogor yang diperjual-belikan oleh PAM Bogor melalui Primkopol
Polwil Bogor Unit Niaga “Putri Mas”.
(b) Pascalarva hasil adaptasi dari percobaan I dan percobaan II
(c) Pakan alami berupa Daphnia sp.

Alat. Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah:

(a) Wadah percobaan yang digunakan adalah akuarium dengan ukuran


40 cm x 80 cm x 30 cm sebanyak 12 buah; masing-masing untuk
pengamatan pertumbuhan dan konsumsi harian; serta untuk
pengamatan respirasi
(b) Tandon atau penampung air tawar yang digunakan adalah bak-bak
semen volume 2 ton yang berada di Laboratorium Fisiologi Hewan
Air FPIK-IPB.
(c) Blower yang digunakan sebagai sumber aerasi adalah blower dengan
kualifikasi: model LP-60 Resum Air-Pump, kapasitas/out put 70
liter/menit; tekanan 0.04 MPa.
(d) Aerator yang digunakan sebanyak jumlah satuan percobaan; atau
sekitar 12 set aerator, masing-masing untuk pengamatan
pertumbuhan dan konsumsi harian; serta untuk pengamatan respirasi
(e) Peralatan gravimetri pengumpulan sisa pakan, berupa scope-net,
loupe dan peralatan gelas.
(f) Peralatan penimbangan bobot sampel pascalarva, yang terdiri atas:
pompa vacuum dengan cawan gooch dilengkapi kertas saring
seukuran cawan; kaca arloji dan timbangan analitik digital.

Metode Peneraan. Metode peneraan kualitas air, kelangsungan hidup


pascalarva, respirasi, sisa pakan harian dan bobot pascalarva yang digunakan,
meliputi:
(a) Konsumsi oksigen dilakukan dengan mengukur konsentrasi O2 yang
terpakai dibandingkan dengan konsentrasi CO2 yang dihasilkan.
Metode yang digunakan adalah pengukuran langsung dengan digital
oksimeter, serta volumetrik untuk CO2
57

(b) Konsumsi pakan harian dengan penghitungan pakan alami, Daphnia


sp. yang tersisa.
(c) Tingkat Kelangsungan Hidup dengan metode sampling, dilanjutkan
dengan penghitungan langsung.
(d) Bobot pascalarva dengan metode sampling, dilanjutkan
penimbangan dengan neraca analitik digital

Pelaksanaan Percobaan. Pelaksanaan percobaan ini meliputi


pertumbuhan dan konsumsi harian, serta konsumsi oksigen dengan urutan
pelaksanaan sebagai berikut:

(a) Pertumbuhan dan konsumsi harian: Percobaan dilakukan dalam


akuarium bervolume 10 liter air tawar dengan padat tebar PL
sebanyak 40 ekor setiap akuarium. Suhu air akan dipertahankan 28-
30OC; sedangkan pakan yang diberikan adalah Daphnia sp. ad
libitum.
(b) Konsumsi oksigen dilakukan pada tiga tahapan sesuai waktu
evaluasi, dengan cara menyiapkan wadah berserta media air tawar.
Media air diberi aerasi sehingga kandungan oksigen terlarut dalam
keadaan saturasi, pengukuran O2 dilakukan saat saturasi O2,
bersamaan dengan itu dilakukan juga pengukuran CO2. Setelah itu,
dimasukkan pascalarva dengan bobot yang telah diketahui.
Pengukuran konsentrasi O2 sisa dan CO2 yang dihasilkan dilakukan
setiap jam selama 5 jam. Penimbangan bobot pascalarva dilakukan
melalui penimbangan langsung dengan neraca analitik digital

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data meliputi pertumbuhan dan konsumsi harian,


serta konsumsi oksigen sebagai berikut:
(a) Pertumbuhan dan konsumsi harian: kelangsungan hidup pascalarva
diolah dari data harian yang terkumpul; sisa pakan tiap hari, bobot
yang dipantau mingguan; dan jumlah yang mati diamati harian.
(b) Konsumsi oksigen: dilakukan tiga tahapan sesuai dengan waktu
evaluasi. Data yang diambil dari setiap tahapan adalah nilai
58

kandungan O2 yang memiliki nilai RQ ≠ 1 berdasarkan nilai rataan


gerak tiap tiga jam sekali selama 24 jam pengamatan. Data ini akan
dianalisis signifikansi antar perlakuan, serta perolehan gambaran
hubungan yang terjadi.

Analisis Data
Rencana analisis dilakukan tiga kali sesuai waktu evaluasi dan pada
masing-masing waktu evaluasi dilakukan uji berikut:
(a) Uji Perbedaan; dengan pengolahan analisis ragam yang akan menguji
hipotesis H0: β = 0; sehingga terlihat pengaruhnya terhadap:
(1) Pertumbuhan dan konsumsi harian
(2) Respirasi khusus pascalarva
Jika terdapat respon dari perlakuan yang dirancang; maka dilakukan
analisis lanjutan untuk membandingkan nilai tengah perlakuan
dengan uji perbandingan berganda Duncan.
(b) Uji Hubungan; menggunakan analisis regresi. Persamaaan matematik
yang menggambarkan hubungan antara peubah bebas (independence
variable) yang dalam percobaan ini adalah perlakuan hasil adaptasi
terhadap berbagai salinitas (X) dengan peubah tak bebas (dependence
variable) yang dalam percobaan ini adalah potensi tumbuh
pascalarva (Y) adalah:

Yˆi = a + bX i ; keterangan a penduga bagi α , dan b penduga bagi β

Untuk pengujian model persamaan di atas digunakan analisis ragam


yang akan menguji hipotesis H0: β = 0. Hipotesis nol diterima dengan
pendekatan F-hitung [ Fα (1,n-2)] Keterandalan model persamaan
tersebut diukur dengan koefisien determinasi atau R2. Semakin
besar R2 berarti model semakin mampu menerangkan perilaku
peubah Y yakni potensi tumbuh pascalarva. Kisaran nilai R2 mulai
dari 0 sampai 1 diperoleh dengan rumus:

JKG
R2 = 1−
JKT
HASIL PENELITIAN

Kondisi Kualitas Air

Kualitas Air pada Tahap Eksplorasi

Salinitas yang digunakan sebagai perlakuan didasarkan pada penelitian


pendahuluan yang menghasilkan petunjuk batas kisaran optimal bagi
a
pertumbuhan larva. Sejalan dengan saran D’Abramo dan Brunson (1996 ) yang
menjelaskan bahwa larva dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas 9–19 ppt.
Hasil rataan dan simpangan baku nilai keseluruhan parameter kualitas air
percobaan sistem produksi akuatik tahap eksplorasi atau tahap awal setiap
perlakuan disajikan pada Tabel 6; sedangkan rincian data selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 6. Rataan dan simpangan baku parameter fisika-kimia air serta tolok ukur
setiap perlakuan pada sistem produksi tahap eksplorasi

Para Satuan Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Kisaran


meter Kelayakan

Suhu oC 29,0 + 0,5 29,3 + 0,7 29,3 + 0,4 29,7 + 0,5 22-32
DO ppm 7,19 + 0,16 6,91 + 0,33 6,77 + 0,42 6,73 + 0,36 >5
BOD5 ppm 1,53 + 0,71 1,59 + 1,29 1,15 + 1,15 2,10 + 0,95 -
pH - 7,56+ 0,20 7,59 + 0,28 7,59 + 0,23 7,60 + 0,23 7,2 – 8,4
CO2 ppm 2,00 + 0,00 2,00 + 0,00 2,00 + 0,00 2,00 + 0,00 < 10
NH3-N ppm 0,098 + 0,002 0,097 + 0,001 0,096 + 0,005 0,094+ 0,001 0,1
NO2-N ppm 0,018 + 0,000 0,012 + 0,000 0,007 + 0,000 0,014 + 0,000 0,1
H2S ppm <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 nol

Parameter kualitas air yang merupakan faktor pengendali yakni suhu,


selama penelitian suhu media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-
turut adalah 29,00C; 29,30C; 29,30C dan 29,70C. Rentang nilai suhu media
pemeliharaan berkisar antara 29-300C. Menurut kajian Mohanta (2000) dan
Spotts (2001), udang galah dapat hidup pada suhu antara 22-320C, dengan suhu
optimal 26-300C. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan suhu
media pemeliharan selama penelitian mendukung pertumbuhan yang optimal.
Hasil pantauan memperlihatkan kecenderungan terjadinya peningkatan suhu
60

dengan naiknya salinitas perlakuan. Suhu juga merupakan parameter fisik air
yang sejauh ini diketahui berpengaruh langsung terhadap seluruh tingkat proses
biologis organisme dan potensial mempengaruhi laju perkembangan larva.
Kandungan oksigen terlarut merupakan faktor pembatas dalam mendukung
optimalisasi kehidupan organisme perairan. Selama penelitian, kandungan
oksigen terlarut media mulai dari nperlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4
berturut-turut adalah 7,19 ppm; 6,91 ppm; 6,77 ppm dan 6,73 ppm. Rentang
kandungan oksigen terlarut pada media pemeliharaan berkisar antara 6,73-7,19
ppm. Khusus pada stadia larva, dari berbagai hasil penelitian diperoleh gambaran
bahwa kandungan oksigen terlarut di atas 5 ppm cukup memadai untuk
mendukung kehidupan larva udang galah (Law et al., 2002). Batas bawah
kandungan oksigen terlarut yang membahayakan bagi udang galah adalah di
bawah 5 ppm. Di bawah nilai ini udang mampu hidup pada kondisi oksigen
rendah, namun hanya dalam waktu yang singkat. Dengan demikian dapat
dikatakan kandungan oksigen terlarut selama penelitian dipandang mampu
mendukung pertumbuhan optimal, dengan kecenderungan penurunan kandungan
oksigen terlarut seiring dengan naiknya salinitas perlakuan.
Nilai pH berlaku sebagai indikator adanya kelarutan bahan toksik pada
media pemeliharaan. Selama penelitian, nilai pH media perlakuan 1 sampai
dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah: 7,56; 7,59; 7,59; dan 7,60. Rentang
nilai pH pada media pemeliharaan berkisar antara 7,56-7,60 satuan pH. Nilai ini
masih merupakan nilai ideal bagi pertumbuhan larva udang galah karena masuk
dalam kisaran pH optimal bagi udang galah seperti yang disarankan oleh beberapa
pakar, baik oleh Spotts (2001) yaitu antara 7,2-8,4; maupun oleh Chen dan Chen
(2003) yaitu pada kisaran 7,0-8,5. Berdasarkan beberapa kajian dinyatakan
bahwa kesimbangan asam-basa udang air tawar akan terganggu bila nilai pH
media pemeliharaan terlampau rendah (Chen dan Lee, 1997). Selama penelitian
terlihat adanya kenaikan pH seiring dengan naiknya salinitas perlakuan.
BOD5 yang sangat rendah pada penelitian ini mengisyaratkan bahwa tidak
ada masalah pembusukan ataupun perombakan bahan organik. Selama penelitian,
nilai BOD5 media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah
1,53 ppm; 1,59 ppm; 1,15 ppm dan 2,10 ppm. Rentang nilai BOD5 pada media
61

pemeliharaan berkisar antara 1,15-2,10 ppm dan memperlihatkan adanya


kecenderungan naiknya nilai BOD5 berkaitan dengan naiknya salinitas perlakuan
yang diikuti dengan menurunnya oksigen terlarut; kecuali pada perlakuan 3. Pada
perlakuan 3, nilai BOD5 lebih rendah dibanding perlakuan 2 dan perlakuan 4.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa pada nilai oksigen yang rendah, kemampuan
badan air untuk melakukan perombakan atau dekomposisi bahan organik menjadi
rendah. Sehingga pada kondisi seperti itu, nilai BOD5 dipastikan meningkat.
Walaupun kondisi media pemeliharaan belum tercemar, tapi rataan bahan organik
ini berpotensi menjadi sumber gas-gas toksik.
Kandungan karbondioksida (CO2) bebas dalam air merupakan fungsi dari
aktivitas biologis organisme, khususnya respirasi dan proses dekomposisi yang
berada dalam perairan tersebut. Nilai CO2 bebas yang terpantau selama penelitian
pada media mulai perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4, berada pada nilai yang
sama yaitu 2,0 ppm. Menurut Boyd (1998), nilai CO2 bebas di bawah 10 ppm,
masih berada pada kisaran yang tidak membahayakan bagi kehidupan organisme
dalam sistem akuatik. Kandungan CO2 bebas yang terlalu tinggi pada media
pemeliharaan akan memberi efek yang memabukkan pada organisme akuatik;
namun efek ini dapat dikurangi dengan adanya kelarutan oksigen dalam
konsentrasi yang memadai.
Senyawa ammonia yang terdapat pada suatu perairan adalah produk akhir
dari proses metabolisme organisme di perairan tersebut, yang umumnya hadir baik
dalam bentuk ion NH4+ maupun dalam bentuk NH3-N yang lebih toksik.
Toksisitas senyawa NH3-N ini mampu menekan pertumbuhan, meningkatkan
frekuensi ganti kulit (Chen dan Kou, 1992), serta tercatat mempengaruhi kapasitas
osmoregulasi pada Homarus americanus (Young-Lai et al., 1991) bahkan tidak
jarang menimbulkan kematian (Wang et al. 2004). Selama penelitian, konsentrasi
NH3-N media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah: 0,098
ppm; 0,097 ppm; 0,096 ppm dan 0,094 ppm; dengan kecenderungan semakin
menurun dengan naiknya nilai pH media. Pada kondisi seperti ini, Tomasso
(1994) dan Cavalli et al. (2000) menyatakan, bila konsentrasi ammonia pada
media meningkat; maka ekskresi ammonia menurun dan akan mendorong
peningkatan konsentrasi ammonia dalam darah ataupun jaringan udang. Keadaan
62

ini akan mengganggu keseimbangan pH darah serta stabilitas enzim, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan kematian. Meskipun demikian, rentang
konsentrasi NH3-N pada media pemeliharaan berada pada kisaran nilai 0,094-
0,098 ppm; menurut kajian D’Abramo dan Brunson (1996b) rentang nilai ini
masih berada di bawah ambang batas yang membahayakan, yaitu 0,1 ppm.
Senyawa nitrit (NO2-) dalam perairan terbentuk dari ammonia dan
kehadirannya terakumulasi dalam sistem akuatik akibat ketidakseimbangan proses
bakteri nitrifikasi, yaitu Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. Selama penelitian,
konsentrasi NO2- dalam media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-
turut adalah 0,018 ppm; 0,012 ppm; 0,007 ppm dan 0,014 ppm. Rentang
konsentrasi NO2- pada media pemeliharaan berkisar antara 0,007-0,018 ppm;
namun demikian kisaran nilai tersebut masih berada di bawah 0,1 ppm; yaitu batas
ambang yang membahayakan (Akson dan Sampaio, 2000). Konsentrasi nitrit yang
tinggi dalam media pemeliharaan larva udang berpotensi memicu stres dan dosis
letal (LC50-96 jam) NO2- bagi Macrobrachium rosenbergii adalah 8,54 ppm.
(Chen dan Lin, 1992; serta Chen dan Lin, 1995)
Kehadiran senyawa asam sulfida (H2S) dalam suatu perairan, lebih
disebabkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik dalam kondisi
anaerob. Dengan demikian, indikasi kehadiran H2S adalah akibat langsung dari
menurunnya kelarutan oksigen pada media tersebut. Berdasarkan hasil kajian
beberapa pakar, memperlihatkan bahwa dalam jumlah 0,013 ppm, senyawa H2S
sudah bersifat racun bagi kehidupan larva ikan (Boyd, 1998). Selama penelitian,
konsentrasi H2S media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 adalah sama, yaitu
≤ 0,001 ppm; nilai ini memperlihatkan bahwa media penelitian dapat mendukung
kehidupan yang ada di dalamnya.

Kualitas Air pada Tahap Adaptasi dan Perkembangan Akhir

Pada percobaan larva tahap lanjut atau tahap adapatasi serta perkembangan
akhir, kondisi salinitas media dipertahankan stabil sesuai perlakuan sampai
dengan akhir percobaan; yaitu tepat ketika semua larva telah menjadi pascalarva.
Hasil pantauan rataan dan simpangan baku nilai setiap parameter kualitas air,
63

berada dalam rentang kisaran yang layak guna mendukung perkembangan larva
udang galah (Tabel 7).

Tabel 7. Rataan dan simpangan baku parameter fisika-kimia air serta tolok ukur
pada sistem produksi tahap adaptasi dan tahap perkembangan akhir

Para Satuan Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Kisaran


meter Kelayakan

Suhu oC 29,1 + 0,5 29,0 + 0,5 29,0 + 0,5 29,3 + 0,5 22-32
DO ppm 7,00 + 0,19 7,00 + 0,21 6,95 + 0,12 6,95 + 0,35 >5
BOD5 ppm 2,42 + 1,23 2,52 + 0,61 3,07 + 1,24 2,45 + 1,06 -
pH - 7,58 + 0,10 7,58 + 0,18 7,56 + 0,16 7,55 + 0,18 7,2 – 8,4
CO2 ppm 5,66 + 5,03 5,99 + 5,10 5,16 + 3,90 5,33 + 4,42 < 10
NH3-N ppm 0,074 + 0,003 0,071 + 0,003 0,072 + 0,002 0,072 + 0,002 0,1
NO2-N ppm 0,050 + 0,003 0,044 + 0,003 0,052 + 0,003 0,050 + 0,002 0,1
H2S ppm <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 nil

Suhu media pemeliharaan larva pada sistem produksi tahap adaptasi dan
perkembangan akhir, tercatat pada perlakuan 1 sampai perlakuan 4 berturut-turut
adalah 29,10C; 29,00C; 29,00C dan 29,30C. Kecenderungan suhu media naik
seiring dengan naiknya salinitas perlakuan, kecuali pada perlakuan 2 dan 3;
berada pada suhu yang sama. Menurut kajian Chavez Justo et al. (1991) nilai
parameter suhu media terbaik mendukung pemeliharaan larva udang galah adalah
28°C; sedangkan New (1995), serta Ismael dan Moreira (1997) memberi kisaran
suhu media untuk optimalisasi pemeliharaan larva udang galah adalah 29-31°C.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini rentang
suhu media pemeliharan berada dalam kondisi layak untuk kehidupan larva.
Akan tetapi fluktuasi suhu media, potensial mempengaruhi lama waktu
perkembangan larva; seperti yang dilaporkan Jackson dan Burford (2003) yang
menyatakan bahwa suhu media secara substansial mempengaruhi pertumbuhan
larva Penaeus semisulcatus. Dikatakan lebih lanjut, bahwa larva P. semisulcatus
berkembang lebih cepat pada suhu yang relatif lebih tinggi. Pantauan nilai
kandungan oksigen terlarut dalam air media pemeliharaan larva pada tahap
adaptasi dan perkembangan akhir, tercatat pada rentang nilai antara 6,95-7,00
ppm, dengan kecenderungan konsentrasi oksigen semakin menurun dengan
semakin naiknya salinitas media perlakuan. Data yang terpantau juga
64

memperlihatkan adanya pengelompokan dengan nilai oksigen yang sama yaitu


perlakuan 1 dan perlakuan 2 sebesar 7,00 ppm; serta perlakuan 3 dan perlakuan 4
sebesar 6,95 ppm. Kondisi konsentrasi oksigen terlarut seperti yang terdeteksi
pada media pemeliharaan di atas, berdasarkan pernyataan Law et al. (2002),
kandungan oksigen terlarut selama penelitian berlangsung dipandang masih
berada pada kisaran yang mampu mendukung kehidupan larva udang galah.
Rataan nilai pH media pemeliharaan sistem produksi tahap adaptasi dan
perkembangan akhir dari perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut
adalah: 7,58; 7,58; 7,56; dan 7,55 satuan pH. Nilai pH cenderung menurun
dengan naiknya salinitas media; kecuali pada perlakuan 1 dan perlakuan 2 yang
tercatat mempunyai nilai pH sama, yaitu 7,58. Kisaran nilai pH media
pemeliharaan seperti di atas, termasuk dalam kisaran yang layak untuk
mendukung kehidupan larva (New, 1995; Spotts, 2001; serta Chen dan Chen,
2003). Walaupun demikian, fluktuasi perubahan pH media pemeliharaan udang
galah dapat memicu produksi senyawa toksik seperti ammonia pada kondisi pH
tinggi dan senyawa toksik sulfida pada pH rendah yang akan mempengaruhi
siklus hidup udang galah (Law et al., 2002). Pantauan konsentrasi CO2 bebas
dalam media pemeliharaan tahap adaptasi dan perkembangan akhir yang tertinggi
adalah pada perlakuan 2, sebesar 5,99 ppm, diikuti dengan perlakuan 1, perlakuan
4 dan perlakuan 2; berturut-turut dengan nilai sebesar 5,66 ppm; 5,33 ppm; dan
5,16 ppm. Konsentrasi CO2 bebas seperti di atas, menurut Boyd (1998) masuk
dalam kategori layak untuk mendukung kehidupan organisme air. Indikasi
meningkatnya konsentrasi CO2 bebas pada perlakuan 2, lebih merupakan dampak
lanjutan dari peningkatan aktivitas metabolisme larva pada perlakuan tersebut.
Nilai BOD5 pada media pemeliharaan tahap adaptasi dan perkembangan
akhir untuk setiap perlakuan terlihat relatif meningkat dengan meningkatnya
salinitas perlakuan; kecuali pada perlakuan 4 yang menurun. Nilai BOD5 yang
tertinggi terdapat pada perlakuan 3, yaitu 3,07 ppm dan yang terendah pada
perlakuan 1, yaitu 2,42 ppm. Nilai BOD5 yang relatif kecil di atas
mengindikasikan tidak tercemarnya media pemeliharaan; walaupun demikian
kehadiran BOD5 berpotensi sebagai sumber gas-gas toksik. Kelompok senyawa
toksik lainnya yaitu NH3-N, NO2-, dan H2S yang terpantau pada media
65

pemeliharaan tahap adaptasi dan perkembangan akhir, berfluktuasi dengan pola


yang beragam. Untuk kandungan H2S dalam air, ternyata mempunyai nilai yang
sama yaitu; ≤ 0,001. Hal ini berarti kegiatan dekomposisi bahan organik terjadi
dalam kondisi aerob. Khusus nilai kandungan senyawa NO2-, terlihat fluktuasi
dengan pola yang beragam. Tercatat nilai NO2-, untuk masing-masing perlakuan
berurutan dari yang tertinggi 0,052 ppm pada perlakuan 3, dan yang terkecil pada
perlakuan 2 dengan kandungan NO2- 0,044 ppm. Perlakuan 1 dan perlakuan 4
mencatat kandungan NO2- yang sama, yaitu 0,050 ppm. Kondisi ini
memperlihatkan adanya potensi larva dapat terkena dampak toksik NO2- pada
perlakuan 3. Secara runut kandungan NH3-N dari yang tertinggi adalah perlakuan
1 yaitu 0,074 ppm, perlakuan 3 dan perlakuan 4 dengan nilai yang sama yaitu
0,072 ppm, serta perlakuan 2 yaitu 0,071 ppm. Berdasarkan hasil kajian
D’Abramo dan Brunson (1996b); Akson dan Sampaio (2000), kondisi di atas,
yaitu konsentrasi NH3-N, NO2-, dan H2S masih berada dalam toleransi yang layak
untuk mendukung perkembangan larva udang galah. Beberapa pakar menyatakan
bahwa daya toksik NH3-N berpengaruh terhadap sintasan (Chen dan Lei, 1990);
mengganggu pertumbuhan dan ganti kulit (Chen dan Kou, 1992); serta beberapa
aspek fisiologis lainnya (Chen et al., 1994)

Kemampuan Regulasi dan Beban Kerja Osmotik

Kemampuan regulasi osmotik larva udang galah tercermin dari nisbah


osmolalitas cairan tubuh (OH) terhadap osmolalitas media (OM) atau OH/OM;
sehingga nilai (1-OH/OM) merupakan beban kerja osmotik larva yang dihadapi
larva dalam perkembangan menjadi pascalarva. Hasil analisis keragaman
kemampuan regulasi osmotik dan beban osmotik disajikan pada Tabel 8 dan Tabel
9; sedangkan rincian data masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, 4 dan
Lampiran 5.
Secara menyeluruh, penampilan kemampuan regulasi osmotik mulai
sistem produksi perkembangan larva tahap awal dan tahap lanjut, dapat dibedakan
tiga tahap perkembangan kemampuan, yaitu:
66

1. Tahap eksploratif, yaitu tahap penentuan salinitas media isoosmotik bagi


kehidupan larva. Pada tahap eksploratif salinitas media awal sebesar 6 ppt,
ditingkatkan setiap hari sebesar 0,6; 0,8; 1,0; dan 1,2 selama 7 hari.
2. Tahap adaptasi, yaitu tahap perkembangan kemampuan regulasi osmotik
pada tingkat salinitas yang tetap
3. Tahap perkembangan akhir mencapai pascalarva setelah melalui kondisi
isoosmotik.

Pada tahap eksploratif, perbedaan peningkatan salinitas per hari berturut-


turut 0,6; 0,8; 1,0; dan 1,2 ppt selama 7 hari, diharapkan mampu menciptakan
salinitas media yang mendekati isoosmotik bagi perkembangan larva. Sedangkan
pada tahap adaptasi, tingkat salinitas yang tercapai dipertahankan tetap, agar larva
dapat berkembang dengan mantap.

Tabel 8. Kemampuan regulasi osmotik (OH/OM) larva udang galah setiap


perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir

Stadia OH/OM Analisis


(Tahap) Statistik
1 2 3 4

1 2,31 2,31 2,31 2,31 ns


6 (eksp) 0,44 (C) 0,33 (D) 0,76 (A) 0,65 (B) *
8 (adpt) 0,72 (B) 0,77 (A) 0,80 (A) 0,60 (C) *
11 (perk) 0,97 (D) 1,25 (C) 1,30 (A) 1,28 (B) *
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon
larva terhadap perlakuan adalah sama.

Tabel 8 memperlihatkan kemampuan regulasi osmotik larva pada tahap


eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir. Pada tahap eksploratif,
kemampuan regulasi osmotik terendah terdapat pada perlakuan 2 (0,33), dan
tertinggi pada perlakuan 3 (0,76). Kemampuan kerja regulasi osmotik perlakuan
1 dan 4 berada diantara perlakuan 2 dan 3 dengan tingkat urutan kemampuan
kerja regulasi osmotik dari yang terendah, yaitu perlakuan 2, 1, 4, dan 3.
Peningkatan salinitas antara perlakuan 1 ke 2 dan atau perlakuan 3 ke 4, ternyata
tidak efektif meningkatkan kemampuan kerja regulasi osmotik larva. Sedangkan
perubahan salinitas pada perlakuan 2 menjadi 3, sangat efektif meningkatkan
kemampuan kerja regulasi osmotik larva dan dapat dinyatakan bahwa larva cukup
67

responsif meningkatkan kemampuan regulasi osmotik dari 0,33 menjadi 0,76.


Tercatat kemampuan kerja regulasi osmotik larva terendah adalah sebesar 0,33
yang terjadi pada perlakuan 2, dan tertinggi sebesar 0,76 pada perlakuan 3. Pada
tahap eksploratif tersebut, upaya peningkatan salinitas untuk menciptakan media
salinitas yang isoosmotik tidak tercapai, meskipun kemampuan regulasi osmotik
larva pada perlakuan 3 telah mencapai 0,76 dari nilai 1.
Pada tahap adaptasi, kemampuan kerja regulasi osmotik larva meningkat
dari perlakuan 1 ke perlakuan 2 dan mencapai maksimal pada perlakuan 3, yaitu
sebesar 0,80. Namun selanjutnya pada perlakuan 4, kemampuan kerja regulasi
osmotik larva menurun menjadi 0,60 (Tabel 8). Peningkatan kemampuan kerja
regulasi osmotik sejalan dengan peningkatan perkembangan stadia 7 dan stadia 8.
Sebelum memasuki tahap perkembangan akhir, terdapat tahap peralihan, yaitu
pada stadia 9 dan 10. Tahap adaptasi ini merupakan masa perkembangan larva
stadia 7, 8, 9 dan 10.
Pada tahap perkembangan akhir, kemampuan kerja regulasi osmotik larva
dari setiap perlakuan meningkat. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva
perlakuan 1 mendekati tingkat isoosmotik, yaitu 0,97. Kemampuan kerja regulasi
osmotik larva perlakuan 2, 3, dan 4 melampaui tingkat isoosmotik dan tertinggi
dicapai oleh perlakuan 3 yakni 1,3. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva
pada tahap adaptasi sampai dengan tahap perkembangan akhir merupakan tahap
perkembangan 9 dan 10 menjelang kondisi isoosmotik mencapai pascalarva.
Secara menyeluruh, dari uraian kemampuan kerja regulasi osmotik larva di
atas dapat dinyatakan bahwa :
1. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva dari tidak mantap pada tahap
eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi
10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt;
1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari, dan berakhir mantap pada tahap
adaptasi atau pada kondisi salinitas statis. Selanjutnya meningkat
melampaui kondisi isoosmotik menjadi hiperosmotik pada tahap
perkembangan akhir
68

2. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva tertinggi pada tahap eksploratif


dan atau tahap adaptasi terdapat pada perlakuan 3 yang mendekati kondisi
isoosmotik.
3. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva terendah pada tahap eksploratif,
adaptasi dan tahap perkembangan akhir terdapat pada pelakuan 2.

Beban kerja osmotik larva merupakan perbedaan antara kemampuan kerja


regulasi osmotik pada waktu isoosmotik dengan kemampuan kerja regulasi
osmotik saat tertentu [1-(OH/OM)]. Besarnya beban kerja osmotik larva udang
galah pada setiap perlakuan dikemukakan pada Tabel 9.

Tabel 9. Beban kerja osmotik [1-(OH/OM)] larva udang galah setiap perlakuan
pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir

Stadia Beban kerja Osmotik Analisis


(Tahap) 1 2 3 4 Statistik

1 - 1,31 -1,31 - 1,31 - 1,31 ns


6 (ekspl) 0,56 (B) 0,67 (A) 0,24 (D) 0,35 (C) *
8 (adpts) 0,28 (B) 0,23 (C) 0,20 (C) 0,40 (A) *
11 (perkb) 0,03 (D) - 0,25 (C) - 0,30 (A) - 0,28 (B) *
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon
larva terhadap perlakuan adalah sama.

Tabel 9 memperlihatkan bahwa beban kerja osmotik larva pada tahap


eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir. Pada tahap eksploratif, beban kerja
osmotik larva yang terendah terdapat pada perlakuan 3, dan tertinggi pada
perlakuan 2. Perubahan peningkatan salinitas pada perlakuan 1 menjadi 2; serta
perlakuan 3 menjadi 4, ternyata meningkatkan beban kerja osmotik larva.
Perubahan peningkatan salinitas yang menurunkan beban kerja osmotik larva,
hanya terdapat pada perlakuan 2 menjadi 3. Kondisi ini memberi gambaran
bahwa peningkatan salinitas 1 ppt per hari selama 7 hari setelah telur menetas
menjadi larva, berada pada batas toleransi larva stadia 1 sampai dengan stadia 4,
5, dan 6. Sedangkan urutan tingkat beban kerja osmotik larva dari yang terendah
ke tertinggi, berturut-turut perlakuan 3, 4, 1 dan 2.
Pada tahap adaptasi, peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke perlakuan 2,
dan menjadi perlakuan 3; ternyata menurunkan beban osmotik larva secara
69

bertahap. Tetapi peningkatan salinitas perlakuan 3 menjadi perlakuan 4, malah


meningkatkan beban osmotik yang bahkan melampaui beban osmotik yang
bekerja di awal tahap adaptasi. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
peningkatan salinitas yang dapat ditoleransi oleh larva stadia 7 dan 8, berada di
atas perlakuan 2 dan di bawah perlakuan 4. Sedangkan stadia 9 dan 10, termasuk
ke dalam tahap peralihan antara tahap adaptasi menuju tahap perkembangan akhir.

Gambar 21. Beban kerja osmotik larva udang galah tiap perlakuan pada tahap
eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir

Pada tahap perkembangan akhir, beban kerja osmotik setiap perlakuan


terlihat menurun, bahkan di bawah garis isoosmotik. Beban kerja osmotik larva
terendah terdapat pada perlakuan 1, yakni 0,03 dalam kondisi hipoosmotik (lihat
Gambar 21). Peningkatan salinitas perlakuan 1 menjadi 2 memberikan penurunan
beban osmotik terbesar, dari +0,03 menjadi -0,25. Sedangkan peningkatan
salinitas perlakuan 2 menjadi 3 dan seterusnya menjadi 4; memperlihatkan
besaran peningkatan beban osmotik larva relatif sama antara -0,25 sampai -0,30.
Hal ini menunjukkan bahwa pada peningkatan salinitas di atas perlakuan 2 dan
seterusnya, larva stadia 11 tidak memberikan respon terhadap peningkatan beban.
Secara umum, kondisi beban kerja osmotik larva stadia 11 yang negatif,
mengindikasikan bahwa larva bekerja mempertahankan konsentrasi hemolim
agar tidak keluar ke media.

Secara menyeluruh dari uraian beban osmotik larva tersebut di atas dapat
dinyatakan bahwa :
1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6
ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6
70

ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt setiap hari, selama 7 hari pada tahap
eksploratif ini terlihat bahwa beban kerja osmotik larva terendah terdapat
pada perlakuan 3 dan tertinggi pada perlakuan 2. Urutan tingkat beban
kerja osmotik larva berturut-turut perlakuan 3, 4, 1 dan 2. Peningkatan
salinitas setiap hari antara 0,8 ke 1,0 cukup efektif menurunkan beban
kerja osmotik larva. Beban kerja osmotik larva dari perlakuan 1 sampai 4
masih dalam tingkat pencarian keseimbangan antara kemampuan larva
dengan perubahan salinitas media.
2. Pada tahap adaptasi atau pada kondisi media dengan salinitas statis 10,2
ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; ternyata beban kerja osmotik larva
menurun beraturan mulai dari perlakuan 1 ke 2 dan mencapai terendah
pada perlakuan 3 namun selanjutnya meningkat pada perlakuan 4. Adapun
urutan tingkat beban kerja osmotik larva berturut-turut perlakuan 3, 2, 1,
dan perlakuan 4.
3. Pada tahap perkembangan akhir atau pada kondisi media dengan salinitas
statis, beban kerja osmotik larva terendah pada perlakuan 1 pada kondisi
hipoosmotik. Beban kerja osmotik larva perlakuan 2, 3 dan 4 menurun
menjadi negatif (hiperosmotik) dan mencapai nilai terendah pada
perlakuan 3.

Perkembangan Larva

Secara alami, telur udang galah mulai menetas menjadi larva pada media
payau, setelah 48 jam saat telur dilepaskan dari induk. Selama 24-498 jam masa
pertumbuhannya, larva udang galah melewati 11 tahap perkembangan stadia
sebelum mencapai bentuk sempurna sebagai pascalarva atau udang muda.
Deskripsi tahapan perkembangan larva udang galah mencapai pascalarva hasil
pengamatan selama penelitian dapat diikuti pada Tabel 10 dan visualisasinya pada
Lampiran 6.
71

Lama Waktu Perkembangan Stadia

Lama waktu perkembangan stadia larva dari tahap eksploratif sampai


dengan tahap perkembangan akhir (stadia 1 sampai dengan stadia 11), dapat
dilihat pada Tabel 11. Rincian data diperlihatkan pada Lampiran 7 dan hasil
analisis dapat dilihat pada Lampiran 8.

Tabel 10. Deskripsi tahapan perkembangan larva sampai dengan pascalarva

Stadia Umur Keterangan Pertumbuhan


I 24-37 jam Mata sessile dan belum bertangkai
II 38-72 jam Mata sudah bertangkai
III 73-118 jam Eksopoda dan endopoda mulai mengembang
IV 119-168 jam Dua gerigi rostrum sudah mulai tampak
V 169-204 jam Panjang eksopoda dan endopoda hampir sama panjang dengan telson
VI 205-243 jam Tunas pada pleopoda sudah mulai terlihat
VII 254-269 jam Pleopoda sudah mulai bercabang dua
VIII 270-321 jam Kaki jalan mulai lengkap, pleopoda pada cabang luar mulai berambut
IX 320-420 jam Pleopoda lebih berkembang dengan pertambahan ruas dan rambut
X 421-437 jam Pleopoda lebih berkembang, ada rambut di antara duri pada gerigi rostrum
XI 438-498 jam Gerigi rostrum telah berjumlah 9 buah
Pascalarva > 498 jam Rostrum telah tumbuh sempurna dengan 11 gerigi

Tabel 11. Lama waktu perkembangan stadia larva udang galah setiap perlakuan

Lama Waktu Perkembangan Stadia Larva (jam)


Stadia 1 2 3 4

Nilai Delta Nilai Delta Nilai Delta Nilai Delta

1 24 (A) - 24 (A) - 24 (A) - 24 (A) -


2 38 (A) 14 42 (A) 18 42 (A) 18 50 (A) 26
3 73 (B) 35 74 (B) 32 79 (A) 37 85 (A) 35
4 121 (B) 48 138 (A) 64 119 (B) 40 143 (A) 58
5 175 (B) 54 143 (C) 5 169 (B) 50 197 (A) 54
6 238 (A) 63 243 (A) 70 205 (B) 36 239 (A) 42
7 260 (B) 22 280 (A) 37 254 (B) 49 275 (A) 36
8 299 (C) 39 313 (B) 33 270 (D) 16 329 (A) 54
9 321 (B) 22 316 (B) 3 320 (B) 50 353 (A) 24
10 426 (B) 105 422 (B) 100 421 (B) 101 441 (A) 88
11 438 (C) 12 498 (A) 76 478 (B) 57 453 (C) 13
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon
larva terhadap perlakuan adalah sama.
72

Pada akhir percobaan larva tahap awal atau masuk dalam tahap eksploratif,
kondisi pencapaian stadia pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 22.
Keragaman tertinggi stadia larva terdapat pada perlakuan 3; yang terdiri atas
stadia 4, 5, 6, 7, dan 8. Tiga perlakuan lainnya mempunyai keragaman dengan
tiga kelompok stadia. Perlakuan 2 dan 4 memiliki kelompok stadia 4, 5, dan 6;
sedangkan perlakuan 1 memiliki tiga kelompok keragaman stadia, yaitu stadia 5,
6, dan 7. Pada semua perlakuan terdapat stadia 6 dengan persentase yang
berbeda, yakni 20% (perlakuan 1), 10% (perlakuan 2), 25% (perlakuan 3), dan
30% (perlakuan 4).

Gambar 22. Kondisi keragaman stadia larva udang galah pada tahap eksploratif

Tahap eksploratif merupakan masa perkembangan larva stadia 1 menjadi


stadia 6. Pada tahap ini, lama waktu perkembangan larva stadia 1 dan stadia 2
tidak berbeda nyata. Perkembangan stadia 1 untuk empat perlakuan, ternyata
membutuhkan waktu yang sama, yaitu 24 jam. Lama waktu perkembangan stadia
2 untuk empat perlakuan, tidak berbeda nyata dan berkisar antara 38 sampai 50
jam; dengan perlakuan 1 memberikan respon waktu perubahan stadia tercepat,
sedangkan perubahan stadia terlama terjadi pada perlakuan 4. Lama waktu
73

perkembangan stadia mulai terlihat berbeda pada stadia 3 sampai stadia 6. Pada
tahap eskploratif ini, lama waktu perkembangan stadia belum memperlihatkan
suatu pola kecenderungan (trend) dan terlihat belum cukup mantap. Hal ini
tercermin dari lama waktu perkembangan stadia 4 dan stadia 6. Lama waktu
perkembangan stadia 4 antara perlakuan 1 dan 3 tidak berbeda; demikian juga
antara perlakuan 2 dan 4. Tetapi lama waktu perkembangan stadia 4 pada
perlakuan 1 dan 3, lebih cepat daripada perlakuan 2 dan 4. Pada tampilan lama
waktu perkembangan stadia 6 untuk perlakuan 1, 2 dan 4 ternyata tidak berbeda
dan ternyata lebih lambat dari perlakuan 3.
Pada tahap adaptasi, lama waktu perkembangan stadia terlihat mantap
beraturan, kecuali pada stadia 8. Lama waktu perkembangan stadia 7, 9 dan 10
antara perlakuan 1, 2 dan 3 tidak berbeda serta lebih cepat daripada perlakuan 4.
Terlihat juga kecenderungan peningkatan lama waktu perkembangan stadia 8
dengan perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan. Hal ini mengindikasikan
bahwa larva sedang berada pada tahapan transisi yang beradaptasi menjadi
mantap. Selain itu, perlakuan yang tercepat mencapai stadia 8 adalah perlakuan 3,
dengan lama waktu perkembangan stadia 270 jam. Sedangkan perlakuan yang
terlama mencapai stadia 8 adalah perlakuan 4, dengan lama waktu perkembangan
stadia 329 jam. Dilihat dari perbedaan waktu antar stadia, perlakuan 3
membutuhkan 16 jam waktu perkembangan dari stadia 7 ke stadia 8. Sedangkan
perlakuan 4 membutuhkan 54 jam waktu perkembangan dari stadia 7 ke stadia 8
atau sekitar tiga kali lebih lama dari waktu yang dibutuhkan oleh perlakuan 3.
Pada tahap adaptasi pada sistem II, lama waktu perkembangan larva mulai mantap
beraturan pada stadia 9 dan 10. Lama waktu perkembangan larva stadia 8 tidak
mantap, hal ini mencerminkan bahwa pada stadia-8 merupakan masa transisi
selama masa adaptasi untuk menjadi mantap, terutama yang terjadi pada
perlakuan 1, 2 dan 3. Pada tahap ini, lama waktu perkembangan larva stadia 9
dan 10 antara perlakuan 1, 2 dan 3 tidak berbeda serta lebih cepat daripada
perlakuan 4. Perbedaan waktu antar stadia terlama terdapat pada stadia 10,
masing-masing perlakuan membutuhkan lama waktu perkembangan stadia 9 ke
stadia 10 berkisar antara 87-105 jam. Waktu perkembangan antar stadia 9 ke
stadia 10 yang terlama terdapat pada perlakuan 1, yaitu 105 jam. Sedangkan
74

waktu perkembangan antar stadia 9 ke stadia 10 yang tercepat terdapat pada


perlakuan 4, yaitu 87 jam. Besarnya lama waktu yang dibutuhkan dari stadia 9 ke
stadia 10 dibanding dari stadia 8 ke stadia 9; berhubungan dengan perubahan
morfologis yang terjadi yaitu mulainya pertumbuhan rambut pada gerigi rostrum.
Tercatat pada stadia 10, gerigi rostrum sudah mencapai 6-8 buah; sedangkan pada
stadia 9 hanya sekitar 4 buah tanpa pertumbuhan rambut.
Pada tahap perkembangan akhir lama waktu perkembangan larva stadia 11
pada perlakuan 1 dan 4 tidak berbeda, dan lebih cepat daripada lama waktu
perkembangan larva stadia 11 pada perlakuan 2 dan 3. Lama waktu
perkembangan larva stadia 11 antar perlakuan 4, 3 dan 2 cenderung melambat;
dan yang paling lambat adalah perlakuan 2 yakni 498 jam, diikuti oleh perlakuan
3 (478 jam) dan perlakuan 4 (453 jam). Perlakuan 2 pada awalnya
memperlihatkan waktu perkembangan yang cepat, tetapi kemudian
memperlihatkan perkembangan waktu terlama. Perlambatan pada perlakuan 2, 3
dan 4 ini berkaitan dengan kondisi hiperosmotik yang mengakibatkan beban kerja
osmotik larva menjadi negatif (Tabel 9).

Secara menyeluruh dari uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa:


1. Lama waktu perkembangan larva stadia 1 sampai 6 pada tahap eksploratif
atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt;
11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan
1,2 ppt selama 7 hari; mengindikasikan belum mantap. Lama waktu
perkembangan larva stadia 6 pada perlakuan 1, 2 dan 4 tidak berbeda dan
lebih lambat daripada perlakuan 3
2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt;
dan 14,4 ppt; lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 antar
perlakuan 1, 2 dan 3 tidak berbeda dan lebih cepat daripada perlakuan 4.
3. Pada tahap perkembangan akhir, lama waktu perkembangan larva stadia 11
perlakuan 1 menjadi lebih cepat daripada tiga perlakuan lainnya yang
dalam kondisi hiperosmotik. Lama waktu perkembangan larva stadia 11
setelah melampaui kondisi isoosmotik menjadi lebih lambat dibandingkan
lama waktu perkembangan stadia pada tahap adaptasi.
75

Keterkaitan hubungan antara lama waktu perkembangan stadia dengan


beban kerja osmotik antar perlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata.
Lama waktu perkembangan stadia antar perlakuan yang berbeda nyata, secara
tidak langsung mencerminkan pengaruh dari beban kerja osmotik. Meskipun
beban kerja osmotik larva berpengaruh terhadap lama waktu perkembangan
stadia, namun hubungan antara lama waktu perkembangan stadia dengan beban
kerja osmotik larva, secara menyeluruh belum dapat terpola.
Pada tahap eksploratif, larva stadia 6 pada berbagai beban osmotik
memperlihatkan hubungan yang linier dengan persamaan:

Ystadia 6 = 70,437 X + 199,2; ( R2 = 0,609)

Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar beban osmotik, maka semakin
lama waktu yang dibutuhkan larva udang galah untuk berubah stadia. Dilihat dari
pola yang ada tampak bahwa lama waktu perkembangan larva stadia 4 dan 8
adalah sama, walaupun data pada Tabel 11 memperlihatkan bahwa antar
perlakuan dan/atau beban osmotik mempunyai perberbedaan yang nyata (Gambar
23.). Urutan beban kerja osmotik larva dari terendah ke tertinggi pada tahap
eksplorasi ini ialah perlakuan 3, 4, 1, dan 2 yaitu 0,24; 0,35; 0,56; dan 0,67

Keterangan:
Y1 = perlakuan 1
Y2 = perlakuan 2
Y3 = perlakuan 3
Y4 = perlakuan 4

Gambar 23. Hubungan lama waktu perkembangan stadia dengan beban osmotik
pada tahap eksploratif

Hubungan lama waktu perkembangan larva stadia 4 dan 5 dengan beban


kerja osmotik larva tidak berpola; sedangkan pada stadia 6, peningkatan beban
osmotik dari perlakuan 1 menjadi 2; dan perlakuan 3 menjadi 4; memperlambat
76

perkembangan stadia larva. Akan tetapi peningkatan beban osmotik larva dari
perlakuan 2 ke 3, malah mempercepat perkembangan stadia larva. Pola yang
sama diperlihatkan oleh respon larva stadia 4 terhadap peningkatan beban
osmotik. Peningkatan beban kerja osmotik larva antara perlakuan 4 ke 1 dan 2
atau antara 0,35 ke 0,56 sampai ke 0,67 tidak menghasilkan lama waktu
perkembangan larva stadia 6 berbeda. Beban kerja osmotik larva di atas 0,35
mengakibatkan lama waktu perkembangan larva menjadi lambat dibandingkan
pada perlakuan 3 yang mempunyai beban kerja osmotik larva terendah yakni 0,24.
Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa pada beban kerja osmotik larva
terendah (perlakuan 3 = 0,24) lebih mempercepat lama waktu perkembangan larva
daripada beban kerja osmotik larva diatas 0,35. sampai dengan 0,67. Beban kerja
osmotik larva antara 0,35-0,67 ternyata tidak mengakibatkan lama waktu
perkembangan larva stadia 6 berbeda.

Keterangan:
Y1 = perlakuan 1
Y2 = perlakuan 2
Y3 = perlakuan 3
Y4 = perlakuan 4

Gambar 24. Hubungan lama waktu perkembangan stadia dengan beban kerja
osmotik pada tahap adaptasi

Pada tahap adaptasi, urutan beban kerja osmotik larva dari terendah ke
tertinggi ialah perlakuan 3, 2, 1, dan 4 yaitu 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 (Gambar
24). Pada tahap adaptasi, stadia 8 pada berbagai beban osmotik, menunjukkan
hubungan yang kuadratik pada perkembangan stadia 8; sedangkan hubungan linier
pada perkembangan stadia 9 dan 10; persamaannya adalah

Ystadia 8 = -1055,9 X2 + 869,35 X + 148,96; ( R2 = 0,6683)


Ystadia 9 = 181,95 X + 277,01;( R2 = 0,8747)
Ystadia 10= 103,76 X + 398,71;( R2 = 0,975)
77

Kondisi pada tahap adaptasi ini mengindikasikan bahwa lama waktu


perkembangan stadia 8 pada awalnya terpengaruh oleh besarnya beban osmotik;
tetapi pada tahapan tertentu peningkatan beban osmotik malah mempercepat
waktu perkembangan stadia larva udang galah. Untuk persamaan kuadratik
dengan angka minus, menjelaskan bahwa larva udang galah stadia 8 sudah berada
pada kondisi hiperosmotik terhadap media. Sedangkan lama waktu
perkembangan stadia 9 dan 10 menjelaskan bahwa semakin besar beban osmotik,
semakin lambat waktu perkembangan stadia yang terjadi. Urutan tingkat beban
kerja osmotik larva terendah ke tertinggi adalah dari perlakuan 3, 2, 1 dan
tertinggi perlakuan 4. Sedangkan urutan beban kerja osmotik larva yaitu 0,20;
0,23; 0,28; dan 0,40 (stadia 8). Lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10
antara perlakuan 3, 2, dan 1 tidak berbeda dan ternyata lebih cepat daripada
perlakuan 4 dengan beban kerja osmotik larva 0,40. Pada tahap adaptasi, lama
waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 pada beban kerja osmotik larva antara
0,20 dan 0,28 tidak berbeda nyata. Beban kerja osmotik larva di atas 0,40
menghambat lama waktu perkembangan larva.

Keterangan:
Keterangan:
Y1==perlakuan
Y1 perlakuan1 1
Y2==perlakuan
Y2 perlakuan2 2
Y3==perlakuan
Y3 perlakuan3 3
Y4==perlakuan
Y4 perlakuan4 4

Gambar 25. Hubungan lama waktu perkembangan stadia dengan beban osmotik
pada tahap perkembangan akhir.

Pada tahap perkembangan akhir, hubungan yang terjadi antara lama waktu
perkembangan stadia dengan beban kerja osmotik larva stadia 11 memperlihatkan
hubungan yang kuadratik (Gambar 25), seperti pada persamaan berikut:

Ystadia 11 = -1916,8 X2 + 599,82 X + 467,87; ( R2 = 0,6371)


78

Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi perkembangan larva mencapai


stadia 11, maka peningkatan beban osmotik pada awal perkembangan melambat
sampai dengan waktu tertentu berubah menjadi lebih cepat. Secara umum larva
berada pada kondisi hiperosmotik terhadap media. Beban kerja osmotik terendah
pada kondisi hipoosmotik terdapat pada perlakuan 1 yaitu 0,03. Pada kondisi
lanjut perlakuan 2, 3 dan 4 bereaksi menjadi hiperosmotik, dengan beban kerja
osmotik larva negatif dengan kecenderungan menurun mencapai terendah (0,30)
pada perlakuan 3. Lama waktu perkembangan stadia pada perlakuan 1 dengan
beban kerja 0,03; ternyata tidak berbeda nyata dengan beban kerja osmotik larva–
0,28 pada perlakuan 4. Penurunan beban kerja osmotik larva antara - 0,25 ke -
0,30 berpengaruh nyata terhadap lama waktu perkembangan stadia (perlakuan 2,
3 dan 4). Pada kondisi hipoosmotik, penurunan beban kerja osmotik larva mampu
mempercepat lama waktu perkembangan larva. Sebaliknya pada kondisi
hiperosmotik, penurunan beban kerja osmotik larva menghambat lama waktu
perkembangan larva stadia 11.

Secara menyeluruh dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa:


1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6
ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6
ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari, lama waktu perkembangan
larva stadia 6 dipengaruhi oleh beban kerja osmotik. Pada beban kerja
osmotik larva 0,24 mempercepat lama waktu perkembangan larva. Lama
waktu perkembangan larva stadia 6 pada beban kerja osmotik larva 0,35 –
0,67 ternyata tidak berbeda.
2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt;
dan 14,4 ppt; lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 pada beban
kerja osmotik larva antara 0,23 dan 0,28 tidak berbeda nyata. Lama waktu
perkembangan larva stadia 9 dan 10 pada beban kerja osmotik larva 0,40
(perlakuan 4) berbeda nyata dengan tiga perlakuan lainnya dengan beban
kerja osmotik larva 0,20; 0,23; dan 0,28
3. Pada tahap perkembangan akhir, lama waktu perkembangan larva stadia 11
dengan beban kerja osmotik larva 0,02 (hipoosmotik) tidak berbeda nyata
dengan beban kerja osmotik larva -0,25 (hiperosmotik).
79

Lama Waktu Keberadaan Stadia

Lama waktu keberadaan stadia adalah lamanya waktu suatu kelompok


stadia (stadia ke-i) tertentu terlihat, dicatat sejak satu individu larva ke i muncul
sampai individu larva ke-i terakhir berubah menjadi individu larva stadia ke-i+1.
Lama keberadaan stadia pada akhir percobaan sistem I, dapat dilihat pada Tabel
12; rincian data lama keberadaan stadia dan hasil analisis dapat dilihat pada
Lampiran 9 dan 10.

Tabel 12. Lama waktu keberadaan stadia larva udang galah setiap perlakuan

Lama Waktu Keberadaan Stadia larva (jam)


Stadia
1 2 3 4
1 24 (A) 24 (A) 32 (A) 24 (A)
2 48 (B) 40 (B) 56 (B) 88 (A)
3 72 (B) 72 (B) 96 (A) 96 (A)
4 72 (C) 96 (B) 120 (A) 96 (B)
5 160 (A) 88 (C) 144 (A) 120 (B)
6 224 (B) 208 (B) 236 (A) 192 (C)
7 216 (B) 192 (C) 240 (A) 192 (C)
8 192 (B) 120 (C) 216 (A) 192 (B)
9 192 (A) 80 (C) 160 (B) 168 (B)
10 192 (A) 120 (D) 144 (C) 168 (B)
11 232 (A) 144 (C) 168 (B) 208 (A)

Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu


menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama.

Kondisi lama keberadaan stadia pada tahap eksploratif, seperti pada Tabel
12 memperlihatkan bahwa lama waktu keberadaan stadia larva yang tersingkat
terjadi pada stadia 1 untuk empat perlakuan dengan waktu sekitar 24-32 jam.
Sedangkan waktu keberadaan stadia larva yang terlama terjadi pada stadia 6 untuk
empat perlakuan dengan waktu sekitar 192-236 jam. Hasil analisis
mengemukakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan
terhadap kondisi lama waktu keberadaan pada stadia 1. Rentang waktu
keberadaan stadia 2 terlama, terdapat pada perlakuan 4. Setelah larva mencapai
stadia 3 sampai dengan stadia 6, nampaknya perlakuan 3 menahan kecepatan
pindah stadia. Hal ini terlihat dari hasil analisis data pada Tabel 12 yang
80

memperlihatkan rataan lama waktu keberadaan stadia yang dibutuhkan selalu


lebih besar. Pada stadia 6, ternyata perlakuan 4 mampu mempersingkat lama
waktu keberadaan stadia. Tercatat lama waktu keberadaan tersingkat pada stadia
6, terdapat pada perlakuan 4 (192 jam).
Pada tahap adaptasi, secara menyeluruh lama waktu keberadaan stadia
larva mulai menurun dibanding stadia sebelumnya (lihat Tabel 12). Pada tahap
ini, stadia 7 dan stadia 8 untuk semua perlakuan memberikan pola lama waktu
keberadaan stadia yang sama; kecuali pada stadia 8 perlakuan 4 terlihat waktu
keberadaan stadia menjadi lebih lama. Pada stadia 9 dan stadia 10, terlihat bahwa
perlakuan 1 memperlambat waktu keberadaan stadia, dibanding tiga perlakuan
lainnya. Bahkan tercatat perlakuan 2 mendorong kecepatan waktu keberadaan
stadia 9 (80 jam) untuk pindah ke stadia 10 (120 jam). Lama waktu keberadaan
stadia tersingkat pada stadia 10, terdapat pada perlakuan 2. Perlakuan 3, semula
menahan kecepatan pindah dari stadia 7 ke stadia 8; ternyata semakin singkat
pada saat mencapai stadia 10 (144 jam)
Lama waktu keberadaan larva udang galah pada tahap perkembangan
akhir, memperlihatkan bahwa lama waktu keberadaan larva stadia 11 tercepat
terjadi pada perlakuan 2 dan terlambat pada perlakuan 1. Data Tabel 12
menjelaskan bahwa perlakuan 4 memperlambat waktu keberadaan dari stadia 10
(168 jam) menjadi stadia 11 (208 jam).

Secara menyeluruh dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa:


1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6
ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6
ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari; lama waktu keberadaan
stadia dipengaruhi oleh beban kerja osmotik. Setelah larva mencapai stadia
3 sampai dengan stadia 6, terlihat bahwa perlakuan 3 menahan kecepatan
pindah stadia.
2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt;
dan 14,4 ppt; lama waktu keberadaan stadia 7 dan stadia 8 untuk semua
perlakuan memberikan pola lama waktu keberadaan stadia yang sama;
kecuali pada stadia 8 perlakuan 4. Lama waktu keberadaan stadia
tersingkat pada stadia 10 dan stadia 11, terjadi pada perlakuan 2.
81

3. Pada tahap perkembangan akhir, lama waktu perkembangan larva pada


stadia 11 ternyata menjadi lambat pada perlakuan 4.

Produksi Kelimpahan Larva

Sintasan dan Laju Kematian

Sintasan stadia larva yang dimaksud dalam hal ini adalah presentasi
individu yang hidup terhadap jumlah awal rekrut. Olahan data dimaksud dengan
pendekatan Rekrutmen, lost dan sintasan pada tahap eksploratif, adaptasi dan
perkembangan akhir dapat dilihat pada Tabel 13. Data selengkapnya tentang
sintasan larva per stadia yang diamati hari demi hari ditunjukkan pada Lampiran
11 dan analisis keragamannya pada Lampiran 12. Nilai sintasan diperoleh dengan
pendekatan rumus:
⎛R−L⎞ ⎛T ⎞
S = ⎜ ⎟ x 100 % ; R = ⎜ max Dt ⎟ x N max
⎝ R ⎠ ⎝ ⎠
L = Jumlah larva yang mati (lost )
Pada tahap eksploratif, sintasan larva stadia 6 memperlihatkan perbedaan
yang nyata antar perlakuan. Selain itu, terlihat bahwa dengan naiknya salinitas
perlakuan 1 ke 2 ternyata mendukung sintasan; akan tetapi kenaikan salinitas
perlakuan 3 ke 4, malah menekan sintasan.. Sintasan larva stadia 6 terbesar pada
perlakuan 2 yaitu 89,9%; selanjutnya menurun berturut-turut pada perlakuan 3, 4,
dan 1.
Pada tahap adaptasi, semua perlakuan memperlihatkan perbedaan yang
nyata. Kondisi peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2 dan selanjutnya ke
perlakuan 3 ternyata mendukung sintasan; kecuali peningkatan salinitas perlakuan
3 ke 4 menekan sintasan. Nilai sintasan larva stadia 8 terbesar adalah pada
perlakuan 3 yaitu 89,9%; selanjutnya berturut-turut pada perlakuan 2, 4, dan 1.
Perbedaan yang nyata antar perlakuan juga terlihat pada tahap perkembangan
akhir. Nilai sintasan terkecil terdapat pada perlakuan 2, yaitu 89,9%. Khusus pada
peningkatan salinitas perlakuan 3 ke 4, ternyata memberikan nilai sintasan yang
sama (100%).
82

Tabel 13. Tampilan kondisi rekrutmen, lost dan sintasan larva udang galah pada
tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir setiap perlakuan

Rekrutmen, Lost dan Sintasan (%) Larva


Stadia pada Perlakuan Analisis
(Tahap) Statistik
1 2 3 4
R 5 10 9 8
6
L 1 1 1 1
(eklp)
S 85,7 (C) 89,9 (A) 88,9 (A) 87,5 (B) *
R 4 7 10 6
8
L 1 1 1 1
(adp)
S 74,8 (D) 85,9 (B) 89,9 (A) 83,3 (C) *

11 R 4 10 5 3
(perk) L 0 1 0 0
S 100 (A) 89,9 (B) 100 (A) 100 (A) *
Keterangan: R = rekrutmen; L = lost; S = sintasan
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva
terhadap perlakuan adalah sama.

Produksi Kelimpahan

Produksi kelimpahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah jumlah total
seluruh individu hasil pemeliharaan larva sampai menjadi pascalarva atau dikenal
dengan PL-1, yang terdapat di dalam satu kelompok perlakuan.

Tabel 14. Produksi kelimpahan larva dan pascalarva udang galah pada akhir
sistem produksi tahap potensi tumbuh PL

Produksi Kelimpahan Larva dan Pascalarva


Stadia/PL pada Perlakuan (ekor): Analisis
(Tahap) statistik
I II III IV

6 (eksp) 378 (D) 498 (C) 627 (B) 708 (A) *


8 (adpt) 378 (D) 419 (C) 468 (B) 708 (A) *
11 (perk) 300 (D) 370 (C) 390 (B) 570 (A) *
PL-1 300 (D) 370 (C) 390 (B) 567 (A) *
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva
terhadap perlakuan adalah sama.

Produksi tertinggi PL-1 dicapai pada perlakuan 4, yaitu sebanyak 567


ekor. Selanjutnya produksi tertinggi berikutnya secara berturut-turut adalah
perlakuan 3, 2, dan 1. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 dan
analisis keragamannya dapat dilihat pada Lampiran 14.
83

Potensi Pertumbuhan

Potensi Pertumbuhan Larva

Potensi pertumbuhan larva, termasuk di dalamnya perkembangan stadia


larva; sangat tergantung dari efisiensi penggunaan energi, yaitu ratio antara
energi untuk tumbuh dan untuk metabolisme. Strategi penggunaan energi selama
masa perkembangan larva, khususnya pada tahap awal perkembangan stadia; akan
berakibat langsung pada kapasitas osmoregulasi larva; yang pada akhirnya
berdampak pada konsumsi pakan dan efisiensinya akan memberi pengaruh yang
sangat besar pada proses metabolisme pertumbuhan. Oleh karena itu, untuk
memprediksi potensi pertumbuhan larva, perlu ditelusuri aliran energi pakan yang
dikonsumsi dengan energi metabolisme yang terpakai.

Tingkat konsumsi pakan harian

Tingkat konsumsi pakan harian adalah jumlah pakan yang dikonsumsi,


dalam hal ini pakan alami Artemia salina, dihitung dari jumlah individu yang
diberikan dikurangi jumlah individu Artemia salina yang masih tersisa pada setiap
pemberian pakan dan dikonversikan dalam bentuk energi. Tingkat konsumsi
energi pakan harian pada stadia 6, 8, dan 11 dikemukakan pada Tabel 15, dari
semua perlakuan tersebut berbeda nyata. Rincian data dan hasil analisis dapat
dilihat pada Lampiran 15 dan 16. Data Tabel 15 memperlihatkan bahwa energi
yang dikonsumsi larva pada tahap eksploratif (stadia 6), terkecil pada perlakuan 2
(4,53 kalori/larva per hari). Pada tahap ini, energi yang dikonsumsi larva pada
perlakuan 1 dan 3 ternyata sama, yaitu 5,17 kalori/larva per hari; kemudian
meningkat ke perlakuan 4 (5,82 kalori/larva per hari).
Pada tahap adaptasi, kecepatan peningkatan jumlah konsumsi energi pakan
harian stadia 8 perlakuan 3 lebih besar dibanding tiga perlakuan lainnya, yang
cenderung menurun bertahap; dengan urutan dari yang terkecil ke besar adalah 2,
1, 4, dan 3. Pola yang sama ditemukan pula pada tahap perkembangan akhir,
seperti terlihat pada kecepatan peningkatan jumlah konsumsi energi pakan harian
stadia 11; dengan jumlah konsumsi energi pakan harian terbesar adalah pada
84

perlakuan 3 (19,36 kalori/larva per hari) dan terkecil pada perlakuan 2 (12,93
kalori/larva per hari).

Tabel 15. Tingkat konsumsi energi pakan harian (Artemia salina) larva setiap
perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir

Konsumsi Energi Pakan Harian pada Perlakuan:


Stadia (kalori/larva per hari) Analisis
(Tahap) Statistik
1 2 3 4
6 (ekspl) 5,17 (B) 4,53 (C) 5,17 (B) 5,82 (A) *
8 (adapt) 7,76 (C) 6,47 (D) 10,34 (A) 9,05 (B) *
11 (perkb) 15,52 (C) 12,93 (D) 19,36 (A) 18,10 (B) *
Keterangan: Bobot Artemia salina = 2,42μg/indv
Energi Artemia salina = 541 x 10-3 Joule/indv (Lavens et al., 2000)
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu
menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama

Konsumsi energi pakan harian sejak tahap eksploratif sampai ke tahap


perkembangan akhir pada setiap perlakuan, makin membesar dengan
berkembangnya stadia. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan untuk
metabolisme pertumbuhan cenderung bertambah dengan meningkatnya
perkembangan stadia. Visualisasi kondisi tersebut di atas ditunjukkan pada
Gambar 26 yang memperlihatkan pola konsumsi energi harian larva yang sama
antara stadia 8 dan stadia 11 atau pada tahap adaptasi dan perkembangan akhir.

Gambar 26. Pola konsumsi energi pakan harian larva udang galah setiap
perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir

Tercatat dengan peningkatan salinitas perlakuan 2 menjadi 3, konsumsi


energi pakan harian meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan
85

salinitas pada perlakuan 3 membutuhkan energi lebih besar untuk mendukung


proses metabolisme larva. Sedangkan peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2
serta dari perlakuan 3 ke 4, malah menurunkan tingkat konsumsi energi pakan
harian. Pola konsumsi energi pakan harian larva stadia 6 adalah mendatar,
dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan salinitas pada tahap
eksploratif tidak signifikan mempengaruhi jumlah pakan atau energi yang
dibutuhkan

Tingkat konsumsi oksigen

Tingkat konsumsi oksigen adalah jumlah oksigen yang digunakan dalam


proses oksidasi untuk memperoleh energi. Pengukuran oksigen yang dilakukan
adalah dengan sistem tertutup selama 48 jam pada beberapa stadia larva dan
pascalarva yang berpengaruh nyata terhadap perubahan salinitas hasil dari
penelitian pendahuluan. Hasil pengukuran oksigen larva ini yang dikonversi
dalam bentuk energi/bobot per satuan waktu, dan disebut sebagai energi basal
dapat dilihat pada Tabel 16 dan rinciannya serta hasil analisis keragaman dapat
dilihat pada Lampiran 17 dan 18.

Tabel 16. Energi basal per bobot larva udang galah setiap perlakuan pada tahap
eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir

Energi basal pada Perlakuan:


Stadia (kalori /mg bobot basah larva per jam) Analisis
(Tahap) Statistik
1 2 3 4
6 (ekspl) 0,62 (B) 0,62 (A) 0,59 (D) 0,59 (C) *
8 (adpts) 0,48 (B) 0,47 (C) 0,46 (C) 0,54 (A) *
11 (perkb) 0,23 (D) 0,25 (C) 0,37 (A) 0,28 (B) *
Keterangan: Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu
menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama
Konversi O2 terhadap energi pada metabolisme, 1 ml O2 = 20,04 Joule
(Somanatth et al, 2000).1 kalori = 4,184 Joule

Pada tahap eksploratif, larva udang galah stadia 6 memperlihatkan bahwa


tingkat energi basal larva udang galah antar perlakuan berbeda nyata. Pola energi
basal larva stadia 6, yaitu pada tahap eksploratif, terlihat berada dalam dua
kelompok. Energi basal larva udang galah pada kelompok perlakuan 1 dan 2
86

lebih besar dibanding perlakuan 3 dan 4; serta terlihat energi terendah pada
perlakuan 3 (Gambar 27). Pada tahap adaptasi, peningkatan salinitas dari
perlakuan 1 ke 2 dan ke 3, memperlihatkan bahwa energi basal menurun; kecuali
pada perlakuan 4 peningkatan salinitas menyebabkan energi basal meningkat.
Pada tahap adaptasi, energi basal terendah terjadi pada perlakuan 3 (0,46
kalori/mg bobot basah larva per jam). Hal ini, dapat dimengerti, karena pada
tahap adaptasi larva sudah memiliki kelengkapan sistem pengaturan regulasi
osmotik yang sudah makin sempurna dibanding tahap sebelumnya.

0.7 0.55
. Stadia 8
Kalori / m g bobot bas ah

Kalori / m g bobot basah


0.68
Tahap Eksploratif 0.53 Tahap Adaptasi
larva perhari

larva per hari


0.66 Stadia 6
0.51
0.64
0.49
0.62
0.6 0.47

0.58 0.45
1 2 3 4 1 2 3 4
Perlakuan Perlakuan

Gambar 27. Pola energi basal udang galah setiap perlakuan pada tahap
eksploratif dan tahap adaptasi

Pada tahap perkembangan akhir, terlihat bahwa peningkatan salinitas dari


perlakuan 1 ke 2 dan seterusnya ke perlakuan 3, meningkatkan energi basal per
satuan waktu. Tetapi peningkatan salinitas dari perlakuan 3 ke 4, ternyata malah
menurunkan energi basal per satuan waktu. Gambar 27, memperlihatkan bahwa
energi basal terendah pada pemeliharaan larva terlihat pada perlakuan 3, kecuali
pada tahap perkembangan akhir yang terjadi pada perlakuan 4. Energi basal
tertinggi larva stadia 6 terjadi pada perlakuan 2; sedangkan pada stadia 8 terjadi
pada perlakuan 4; dan pada stadia 11 terjadi pada perlakuan 3. Gambar 27 juga
mengindikasikan bahwa terdapat batas respon adaptasi penggunaan energi pada
perlakuan 2 dan 4.
87

Potensi tumbuh larva

Potensi tumbuh larva dalam hal ini menggunakan pendekatan dW/dt =


(PR) – (T) – (E), (dW=bobot atau energi; PR=pakan; T=respirasi; E = Osmotik).
Untuk memudahkan perhitungan potensi tumbuh larva, maka data Tabel 16
ditampilkan dalam satuan larva per hari seperti pada Tabel 17. Secara menyeluruh
tampilan potensi tumbuh larva tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan
akhir terlihat pada Tabel 18. Rincian data dan analisis keragamannya dapat dilihat
pada Lampiran 19 dan 20. Sebagai pembanding, kondisi pertambahan bobot
aktual disajikan pada Tabel 18; sedangkan data pertambahan bobot selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 21 dan analisis keragamanya pada Lampiran 22.

Tabel 17. Energi basal larva udang galah (kalori /larva per hari) setiap
perlakuan

Energi basal pada Perlakuan:


Stadia (kalori / larva per hari) Analisis
(Tahap) Statistik
1 2 3 4
6 (ekspl) 0,063 (C) 0,056 (D) 0,082 (A) 0,072 (B) *
8 (adpts) 0,125 (B) 0,145 (A) 0,146 (A) 0,124 (B) *
11 (perkb) 0,187 (C) 0,192 (B) 0,181 (D) 0,201 (A) *
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon
larva terhadap perlakuan adalah sama

Tabel 18. Potensi tumbuh larva udang galah (kalori /larva per hari)
setiap perlakuan

Potensi Tumbuh pada Perlakuan:


Stadia (kalori /larva per hari) Analisis
(Tahap) Statistik
1 2 3 4

6 (ekspl) 5,11 (B) 4,47 (C) 5,09 (B) 5,75 (A) *


8 (adpt) 7,63 (C) 6,32 (D) 10,19 (A) 8,93 (B) *
11 (perkb) 15,33 (C) 12,74 (D) 19,18 (A) 17,90 (B) *
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon
larva terhadap perlakuan adalah sama

Pada tahap eksploratif, peningkatan salinitas perlakuan 1 ke 2 pada stadia


6, ternyata menekan potensi tumbuh larva; serta menekan tampilan aktual
pertambahan bobot larva. Tetapi peningkatan salinitas perlakuan 2 ke 3 dan ke 4,
88

malah mendorong kenaikan potensi tumbuh larva. Hal ini berbeda dengan
tampilan aktual pertambahan bobot larva, yang terlihat menurun pada
peningkatan salinitas perlakuan 3 ke 4. Hasil yang diperoleh ternyata
memperlihatkan bahwa peningkatan potensi tumbuh tertinggi terdapat pada
perlakuan 4 (5,75 kalori /mg bobot larva per hari); akan tetapi tampilan aktual
pertambahan bobot larva tertinggi terdapat pada perlakuan 3 (5,76 mg/larva).
Untuk peningkatan potensi tumbuh dan tampilan aktual bobot larva terkecil,
keduanya terdapat pada perlakuan 2 (4,47 kalori /mg bobot larva; dan 3,75
mg/larva).

Tabel 19. Tampilan aktual bobot larva udang galah setiap perlakuan pada tahap
eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir

Bobot Larva rata-rata/ekor pada Perlakuan


Stadia (mg) Analisis
(Tahap) Statistik
1 2 3 4

6 (eklp) 4,24 (C) 3,75 (D) 5,76 (A) 5,02 (B) *

8 (adp) 10,8 (C) 12,95 (B) 13,22 (A) 9,57 (D) *

11 (perk) 34,36 (A) 32,07 (B) 20,27 (D) 30,27 (C) *


Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon
larva terhadap perlakuan adalah sama

Pada tahap adaptasi, potensi tumbuh larva stadia 8 antar perlakuan


berbeda nyata. Peningkatan salinitas dari perlakuan 2 ke 3 ternyata mendorong
potensi tumbuh dari 6,32 menjadi 10,19 kalori/mg bobot larva per hari. Tetapi
peningkatan salinitas perlakuan 1 ke 2, serta dari perlakuan 3 ke 4, malah
menurunkan potensi tumbuh. Untuk tampilan aktual pertambahan bobot larva,
memperlihatkan bahwa peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2 dan
selanjutnya ke 3 mampu mendorong pertambahan bobot larva. Hanya pada
peningkatan salinitas dari perlakuan 3 ke 4 yang menekan pertambahan bobot
aktual larva. Potensi tumbuh tertinggi, serta tampilan aktual pertambahan bobot
tertinggi pada tahap adaptasi; keduanya terdapat pada perlakuan 3, sebesar 10,19
kalori/mg bobot larva per hari dan sebesar 13,22 mg/larva.
Peningkatan potensi tumbuh dan tampilan aktual pertambahan bobot
terlihat naik bertahap dari tahap eksploratif ke tahap adaptasi dan tertinggi pada
89

tahap perkembangan akhir. Pada tahap perkembangan akhir, potensi tumbuh dan
tampilan aktual pertambahan bobot larva stadia 11 antar perlakuan berbeda nyata.
Peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2, serta peningkatan salinitas perlakuan
3 ke 4 ternyata menekan potensi tumbuh; tetapi peningkatan salinitas perlakuan 2
ke 3 ternyata mampu mendorong potensi tumbuh dari 12,74 kalori/mg bobot larva
per hari menjadi 19,18 kalori/mg bobot larva per hari. Kondisi ini berbeda pada
tampilan aktual pertambahan bobot larva; tekanan pertambahan bobot larva
terjadi pada peningkatan salinitas perlakuan 1 ke 2 dan selanjutnya ke 3.
Peningkatan pertambahan bobot larva hanya terjadi pada peningkatan salinitas
perlakuan 3 ke 4; yaitu dari 20,27 mg/larva menjadi 30,27 mg/larva.

Secara menyeluruh, dari uraian pertumbuhan larva di atas dapat


dinyatakan bahwa:
1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media yang dinaikkan
dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta
0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari; tingkat konsumsi pakan
harian dan metabolisme pertumbuhan dipengaruhi oleh peningkatan
salinitas perlakuan. Hal ini berdampak lanjut pada energi yang tersisa
sebagai potensi tumbuh, yang memperlihatkan adanya batas respon pada
peningkatan salinitas perlakuan 1 dan 3. Tercatat potensi tumbuh terkecil
stadia 6 terdapat pada perlakuan 2 adalah 4,47 kalori/mg bobot larva per
hari
2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt;
dan 14,4 ppt; tingkat konsumsi pakan harian dan metabolisme
pertumbuhan dipengaruhi oleh peningkatan salinitas perlakuan. Energi
yang tersisa sebagai potensi tumbuh pada stadia 8 terlihat meningkat dari
perlakuan 2 ke 3; tetapi peningkatan salinitas menekan potensi tumbuh
dari perlakuan 1 ke 2; dan dari perlakuan 3 ke 4. Tercatat potensi tumbuh
terkecil stadia 8 terdapat pada perlakuan 2 yakni 6,32 kalori/mg bobot
larva per hari
3. Pada tahap perkembangan akhir, pola tingkat konsumsi pakan harian dan
metabolisme pertumbuhan dan potensi tumbuh, berada pada pola yang
sama dengan tahap adaptasi.
90

Potensi Pertumbuhan Pascalarva

Potensi pertumbuhan pascalarva, sangat dipengaruhi oleh kualitas PL-1


yang tersedia. Secara umum, terdapat korelasi positif antara tingkat sintasan larva
pada masa perkembangan larva dengan kualitas pertumbuhan pascalarva
berikutnya. Dalam dua minggu pertama dari tahap kehidupannya, pascalarva
mulai mengadopsi kebiasaan makan sebagai organisme pemakan dasar. Masa-
masa ini merupakan periode kritis, sehingga mortalitas sering tinggi. Selain itu,
keberhasilan pertumbuhan pada periode ini sangat bergantung kepada tingkat
efisiensi penggunaan materi baik yang endogenous maupun materi exogenous.
Umumnya pada kelas krustase, penyerapan makanan lebih diutamakan bagi
peruntukkan pertumbuhan.

Tingkat konsumsi pakan harian

Tingkat konsumsi pakan harian adalah jumlah pakan yang dikonsumsi,


dalam hal ini pakan alami Daphnia sp., dihitung dari jumlah individu yang
diberikan dikurangi jumlah individu Daphnia sp. yang masih tersisa pada setiap
pemberian pakan dan diakumulasikan dalam waktu 1 hari. Jumlah sisa individu
Daphnia sp per hari, dikonversikan dalam bentuk bobot melalui pengolahan
dengan pendekatan rumus hubungan panjang-bobot Daphnia sp. hasil kajian Shell
(1998), sebagai berikut:

Bobot kering (μg) = [2,081x10-6 ] x panjang (μm)2,3037

Berdasarkan konversi bobot di atas, diperoleh tingkat konsumsi pakan


harian pada pascalarva. Selanjutnya perolehan nilai energi Daphnia sp.
dilakukan dengan mengkonversi bobot dan mengacu kepada anjuran Hirsch dan
Negus (2000), yaitu 2.413 joule/g basah atau sekitar 576,72 kalori/g basah.
Dengan demikian tingkat konsumsi energi pakan harian pascalarva dalam bentuk
Daphnia sp. dapat dilihat pada Tabel 19 dan rincian data serta hasil analisis
keragamannya pada Lampiran 23 dan 24.
Pakan harian dalam bentuk Daphnia sp. diberikan saat pascalarva
memasuki media pemeliharaan air tawar. Pada media air tawar ini, konsumsi
91

energi pakan harian pascalarva hari ke-1 atau PL-1 sampai dengan PL-14 terlihat
berbeda antara perlakuan 1 dengan tiga perlakuan lainnya. Hal ini terjadi karena
adanya respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva. Secara
menyeluruh konsumsi energi pakan harian PL-1, PL-7 dan PL-14 untuk empat
perlakuan yang merupakan respon dari perlakuan tekanan osmotik saat
pemeliharaan larva; ternyata berbeda. Peningkatan konsumsi energi PL-1 ke PL-
7, hampir dua kali lebih besar; sedangkan pada peningkatan konsumsi energi PL-7
ke PL-14; hanya perlakuan 1 yang meningkat 100% lebih besar dibanding tiga
perlakuan lainnya. Sedangkan konsumsi energi pakan pasca larva terendah,
terdapat pada perlakuan 1.

Tabel 20. Tingkat konsumsi energi pakan harian (Daphnia sp.) pascalarva
sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva

Konsumsi Energi Pakan Pascalarva pada


Hari ke Perlakuan: (kalori/pascalarva per hari) Analisis
Statistik
1 2 3 4
1 8,37 (B) 20,22 (A) 20,42 (A) 20,82 (A) *
7 19,41 (B) 40,41 (A) 41,54 (A) 41,29 (A) *
14 38,96 (B) 40,51 (A) 40,90 (A) 41,32 (A) *
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva
terhadap perlakuan adalah sama

Tingkat konsumsi oksigen

Tingkat konsumsi oksigen adalah jumlah oksigen dalam proses oksidasi


untuk memperoleh energi. Hasil pengukuran oksigen basal untuk mendukung
pertumbuhan pascalarva udang galah yang dikonversi dalam bentuk energi per
satuan waktu yang disebut energi basal dapat dilihat pada Tabel 20 dan rincian
data serta analisis keragamannya dapat dilihat pada Lampiran 25c dan 26.
Pascalarva udang galah hari pertama (PL-1) memperlihatkan bahwa
tingkat energi basal pascalarva sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik
saat pemeliharaan larva, pada perlakuan 1 dan 2 ternyata tidak berbeda. Energi
basal PL-1 pada perlakuan 3 berbeda dengan tiga perlakuan lainnya; demikian
juga perlakuan 4 berbeda dengan tiga perlakuan lainnya. Pascalarva udang galah
hari ketujuh (PL-7) memperlihatkan tingkat energi basal pascalarva sebagai
92

respon dari perlakuan tekanan osmotik, berbeda antar perlakuan. Energi lebih
banyak terpakai pada perlakuan 4 (0,039 kalori /mg bobot basah PL per jam),
disusul perlakuan 2, 3 dan 4.

Tabel 21. Energi basal pascalarva udang galah sebagai respon dari perlakuan
tekanan osmotik saat pemeliharaan pascalarva

Energi basal pada Perlakuan:


Pasca (kalori /mg bobot basah PL per jam) Analisis
larva Statistik
1 2 3 4
PL-1 0,199 (A) 0,200 (A) 0,164 (C) 0,181 (B) *
PL-7 0,014 (D) 0,038 (B) 0,015 (C) 0,039 (A) *
PL-14 0,007 (C) 0,001 (D) 0,007 (B) 0,058 (A) *
Keterangan: Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu
menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama
Konversi O2 terhadap energi pada metabolisme, 1 ml O2 = 20,04 Joule
(Somanatth et al, 2000). 1 calori = 4,184 Joule

Potensi tumbuh pascalarva

Potensi tumbuh pascalarva adalah gambaran proses katabolik dan anabolik


yang terus berlangsung dan saling mempengaruhi. Hal ini juga berarti, potensi
tumbuh merupakan ekspresi sesaat dari akumulasi respon akibat proses yang
terjadi sebelumnya. Untuk memudahkan perhitungan potensi tumbuh pascalarva,
maka data Tabel 21 ditampilkan dalam satuan pascalarva per hari seperti pada
Tabel 22. Potensi tumbuh didekati dengan menggunakan pendekatan dW/dt = αK-
R; yang dinyatakan dalam satuan kalori/ PL per hari dan dikemukakan pada
Tabel 23.

Tabel 22. Energi basal pascalarva udang galah (kalori /PL per hari) sebagai respon
dari perlakuan tekanan osmotik

Energi basal pada Perlakuan:


Pasca (kalori /PL per hari) Analisis
larva Statistik
1 2 3 4
PL-1 0,215 (A) 0,208 (A) 0,151 (C) 0,172 (B) *
PL-7 0,040 (D) 0,082 (B) 0,044 (C) 0,086 (A) *
PL-14 0,034 (C) 0,008 (D) 0,036 (B) 0,208 (A) *
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama
93

Untuk respon tumbuh yang diekspresikan sebagai bobot aktual pascalarva


dapat disimak pada Tabel 24. Pertumbuhan pascalarva dinyatakan dalam bobot
individu pascalarva dalam satuan berat (mg). Data selengkapnya tentang potensi
tumbuh dapat dilihat pada Lampiran 27 dan analisis keragaman pada Lampiran
28; sedangkan rincian data pertambahan bobot aktual dan analisis keragaman,
dapat dilihat pada Lampiran 29 dan 30

Tabel 23. Potensi tumbuh pascalarva udang galah (kalori /PL per hari) sebagai
respon dari perlakuan tekanan osmotik

Potensi Tumbuh Pascalarva pada Perlakuan:


Pasca (kalori / PL per hari) Analisis
larva Statistik
1 2 3 4

PL-1 8,15 (B) 20,02 (A) 20,27 (A) 20,65 (A) *

PL-7 19,37 (B) 40,32 (A) 41,49 (A) 41,21 (A) *


PL-14 38,92 (B) 40,50 (A) 40,86 (A) 41,11 (A) *

Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama

Tabel 24. Tampilan aktual pertambahan bobot pascalarva udang galah setiap
perlakuan

Bobot Pascalarva rata-rata/ekor pada Perlakuan


Pasca (mg): Analisis
larva Statistik
1 2 3 4

PL-1 45,00 (A) 43,35 (B) 39,29 (D) 39,51 (C) *


PL-7 121,60 (A) 90,77 (C) 119,07 (B) 90,40 (D) *
PL-14 215,44 (B) 268,75 (A) 214,88 (C) 150,32 (D) *
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama

Peningkatan salinitas sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat


pemeliharaan larva dari perlakuan 1 ke perlakuan 2, 3 dan 4 mendorong potensi
tumbuh dan tampilan aktual pertambahan bobot pascalarva pada PL-1 sampai
dengan PL-14. Secara umum potensi tumbuh dan tampilan aktual pertambahan
bobot antar perlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata. Kondisi potensi
tumbuh pascalarva PL-1, PL-7 dan PL-14, memperlihatkan pola pengelompokkan
yang berbeda antara perlakuan 1 terhadap tiga perlakuan lainnya yang berada
dalam satu kelompok (perlakuan 2, 3, dan 4). Data yang ada memperlihatkan
94

bahwa potensi tumbuh PL-1, PL-7 dan PL-14 perlakuan 1 lebih kecil dari potensi
tumbuh pada kelompok perlakuan 2, 3 dan 4. Tercatat potensi tumbuh terendah
dari PL-1 adalah 8,15 kalori/mg bobot PL per hari; sedangkan yang terendah pada
PL-7 adalah 19,37 kalori/mg bobot PL per hari, dan terendah pada PL-14 adalah
38,92 kalori/mg bobot PL per hari.

2500.00 Pertum buhan PL 2500.00


Pertum buhan PL
Perlakuan 1
2000.00 Perlakuan 2
2000.00

bobot (ug)
bobot (ug)

y = 112.79x + 206.83 y = 130.48x + 86.111


1500.00 R2 = 0.9464 1500.00
R2 = 0.9925
1000.00 1000.00

500.00 500.00

0.00 0.00
0 5 10 15 0 5 10 15
hari hari

2500.00 Pertum buhan PL


2500.00 Pertum buhan PL
Perlakuan 3
Perlakuan 4
bobot (ug)

2000.00 2000.00
bobot (ug)

1500.00 y = 77.857x + 271.33 1500.00 y = 49.762x + 86.333


R2 = 0.7959
1000.00 R2 = 0.9661
1000.00

500.00 500.00

0.00 0.00
0 5 10 15 0 5 10 15
hari hari

Persamaan pertumbuhan pascalarva diatas adalah:


Perlakuan 1 : Y = 112 , 79 X + 206 ,83 ( r 2 = 0 , 9464 )
Perlakuan 2 : Y = 130 , 48 X + 86 ,111 ( r 2 = 0 , 9925 )
Perlakuan 3 : Y = 77 ,857 X + 271 , 33 ( r 2 = 0 , 7959 )
Perlakuan 4 : Y = 49 , 762 X + 86 , 333 ( r 2 = 0 , 9661 )

Gambar 28. Kurva pertumbuhan pascalarva sebagai respon dari perlakuan


tekanan osmotik saat pemeliharaan larva

Hubungan antara perkembangan ukuran tubuh pascalarva yang dinamik


dengan waktu; pada umumnya digambarkan dalam suatu persamaan pertumbuhan
sebagai berikut: Y = aX + b; dengan Y bobot pascalarva, X lama waktu
pemeliharaan; serta a adalah sudut arah, dan b intercept. Pada Gambar 28
diperlihatkan kurva pertumbuhan pascalarva udang galah selama 14 hari
pemeliharaan sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan
larva.
95

Persamaan pertumbuhan pascalarva yang diperoleh, memberi gambaran


bahwa hubungan antara pertambahan bobot pascalarva sangat dinamik dengan
waktu. Perlakuan 2 memperlihatkan keeratan hubungan yang terkuat (99,25%)
dibanding tiga perlakuan lainnya; dengan nilai sudut arah terbesar (a = 130,48)
dapat diduga kecepatan tumbuh pascalarva perlakuan 2 sebagai respon dari
perlakuan tekanan osmotik pada saat pemeliharaan larva; akan lebih cepat
dibanding tiga perlakuan lainnya. Hal ini didukung dengan analisis kovarian yang
menyatakan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan; dengan urutan
kecepatan tumbuh tercepat adalah pada perlakuan 2, 1, 3 dan 4.

Tabel 25. Sintasan pascalarva udang galah pada akhir percobaan setiap perlakuan

Sintasan Pascalarva pada Perlakuan:


Pasca (ekor, %)
larva
1 2 3 4

PL-1 (tebar) 40 40 40 40
PL-14 24 (60%) 30 (75%) 40 (100%) 35 (87,5%)

Pada tampilan aktual bobot PL, setiap perlakuan memperlihatkan pola


urutan yang berbeda. Peningkatan salinitas perlakuan 1 ke 2 dan selanjutnya ke 3
sebagai respon dari regulasi osmotik saat pemeliharaan larva, ternyata menekan
tampilan aktual pertambahan bobot PL-1; kecuali dampak respon regulasi osmotik
saat pemeliharaan larva dari perlakuan 3 ke 4, ternyata mampu mendorong
tampilan aktual pertambahan bobot PL-1. Tampilan aktual pertambahan bobot
PL-7 terlihat meningkat sejalan dengan perubahan dampak respon regulasi
osmotik saat pemeliharaan larva dari perlakuan 2 ke 3; sedangkan dari perlakuan
1 ke 2, serta perlakuan 3 ke 4, ternyata menekan tampilan aktual pertambahan
bobot PL-7. Pada tampilan aktual pertambahan bobot PL-14, perubahan dampak
respon regulasi osmotik saat pemeliharaan larva dari perlakuan 2 ke 3 dan
selanjutnya ke 4, ternyata menekan tampilan aktual pertambahan bobot PL-14.
Peningkatan aktual pertambahan bobot PL-14 hanya terjadi pada perlakuan 1 ke 2.
Tercatat aktual pertambahan bobot yang terkecil dari PL-1 adalah pada perlakuan
3, yaitu 29,29 mg; PL-7 yang terkecil pada perlakuan 4, yaitu 90,40 mg; dan PL-
14 terkecil pada perlakuan 4 yaitu 150,32 mg.
96

Sintasan pada pada akhir sistem III, yaitu pada PL-14 merupakan hasil
akumulasi respon akibat proses yang terjadi pada sistem I dan II. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 25. Persentase sintasan terbesar terdapat pada
perlakuan 3 sebesar 40 ekor (100%), dengan urutan terbesar berikutnya adalah
perlakuan 4, 2 dan 1.

Secara menyeluruh, dari uraian pertumbuhan dan sintasan pascalarva


diatas dapat dinyatakan bahwa:
1. Perilaku berbagai respon hasil perlakuan tekanan osmotik saat
pemeliharaan larva yang potensial berperan bagi keberhasilan potensi
pertumbuhan pascalarva udang galah yang dikaitkan dengan pertambahan
bobot aktual serta gambaran hubungan perkembangan bobot dan waktu
adalah pada perlakuan 2, yaitu sebesar 40,50 kalori/mg bobot PL per hari;
atau bobot aktual sebesar 268,75 mg.
2. Perilaku berbagai respon hasil perlakuan tekanan osmotik saat
pemeliharaan larva yang potensial berperan bagi keberhasilan
kelangsungan hidup pascalarva, terjadi pada perlakuan 3, yaitu sebesar
100%
PEMBAHASAN

Hubungan antara Lama Waktu Perkembangan Larva, Sintasan


dengan Beban Kerja Osmotik

Beban kerja osmotik pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan


akhir ternyata tidak linier dengan tingkat penambahan salinitas perhari selama 7
hari dan atau tingkat salinitas yang dipertahankan mantap sampai akhir percobaan.
Beban kerja osmotik larva mengalami perubahan secara dinamik sejalan dengan
perkembangan stadia larva udang galah. Pada tahap eksploratif, beban kerja
osmotik terendah terjadi pada perlakuan 3 (T3) dan tertinggi pada perlakuan 2
(T2), sedangkan beban kerja osmotik dari perlakuan 1 (T1) dan perlakuan 4 (T4)
berada diantaranya; sehingga urutan beban kerja osmotik larva adalah 0,24; 0,35;
0,56; dan 0,67 dari T3, T4, T1 dan T2. Pada tahap adaptasi, beban kerja osmotik
menurun dari T1 ke T3 dan terendah pada T3. Beban kerja osmotik larva
selanjutnya meningkat pada T4. Adapun urutan beban kerja osmotik larva adalah
menjadi 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 dari T3, T2, T1 dan T4. Pada tahap
perkembangan akhir, beban kerja osmotik larva T1 dalam keadaan hipoosmotik.
Sedangkan beban kerja osmotik larva T2, T3 dan T4 berada dalam keadaan
hiperosmotik dengan urutan 0,03; -0,25; -0,28; dan -0,30.
Kemampuan kerja osmotik larva menentukan besaran beban kerja
osmotik dari stadia larva yang terus berkembang dan dari osmotik media yang
secara gradual meningkat. Pada tahap eksploratif, T3 mendorong pencapaian
stadia larva sampai stadia 6 ke atas yang memiliki kemampuan kerja osmotik
lebih tinggi daripada stadia 3, 4 dan 5, sehingga beban kerja osmotik larva T3
diperoleh nilai terendah. Sementara itu, T1, T2 dan T3 masih pada stadia 3, 4,
dan 5. Pada T4, larva lebih cepat mencapai batas toleransi kemampuan kerja
osmotik stadia 6, sehingga perkembangan stadia terhambat pada larva stadia 4, 5,
dan 6 serta tidak mencapai stadia 7 dan 8. Dari perbedaan kemampuan kerja
osmotik stadia 6 ke atas dan stadia 3 dan 4 tersebut, maka urutan beban kerja
osmotik larva menjadi T3, T4, T1 dan T2. Pada tahap adaptasi, kemampuan kerja
osmotik larva pada T2 dan T1 meningkat. Beban kerja osmotik larva menurun
dari T1 ke T2 dan terendah pada T3, selanjutnya meningkat pada T4, sementara
98

kemampuan kerja osmotik larva T3 dan T4 relatif tetap. Adapun urutan beban
kerja osmotik menjadi 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 pada T3, T2, T1 dan T4. Pada
tahap perkembangan akhir, kemampuan kerja osmotik larva dari stadia akhir yang
berkembang pada T2, T3 dan T4 meningkat pesat menjadi hiperosmotik.
Sementara pada T1 meskipun meningkat, namun masih berada di bawah
isoosmotik. Dari uraian tersebut, kemampuan kerja osmotik larva pada T3 sejak
tahap eksploratif meningkat berlanjut pada tahap adaptasi sampai tahap
perkembangan akhir menjadi kelompok hiperosmotik. Pada T1 dan T2,
kemampuan kerja osmotik larva pada tahap eksploratif tertekan, baru mulai
meningkat pada tahap adaptasi dan selanjutnya terus meningkat sampai pada
tahap perkembangan akhir. Pada tahap ini, kemampuan kerja osmotik larva T2
menjadi hiperosmotik, sedangkan T1 tetap pada hipoosmotik.
Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa peningkatan salinitas perlakuan
lebih kecil dari perlakuan 3 dan atau lebih besar dari perlakuan 3, ternyata
menghambat perkembangan stadia 3, 4, dan 5; dengan demikian beban kerja
osmotik larva tetap tinggi. Tingginya aktivitas pompa natrium sebagai cerminan
kerja osmotik larva udang galah stadia awal yang cukup intens ini, menurut
Huong et al. (2004) merupakan akibat belum sempurnanya pembentukan insang
larva. Kajian Felder et al. (1986) dalam Huong et al, (2004) menyatakan bahwa
hasil studi morfologi larva dengan mikroskop elektron, ditemukan adanya lapisan
tissue yang berfungsi sebagai mediasi kegiatan transport ion yang serupa antara
larva Callianassa jamaicense dan larva M. rosenbergii untuk menunjang kegiatan
osmoregulasi. Kondisi perlakuan 3; tercatat memiliki beban kerja osmotik
cenderung meningkat. Kondisi optimal pada salinitas 13 ppt yang diperoleh, juga
didukung oleh kajian Cavalli et al. (2000) juga memberikan pernyataan bahwa
larva udang galah dari stadia 1 sampai dengan stadia 11, mampu hidup dan
berkembang pada salinitas 12-14 ppt
Pada Tahap Eksploratif, urutan beban kerja osmotik larva yaitu 0,24;
0,35; 0,56; dan 0,67 dari T3, T4, T1 dan T2 (Tabel 26). Peningkatan beban kerja
osmotik larva dari 0,24 menjadi 0,35 ternyata menghambat lama waktu
perkembangan stadia larva. Sementara larva dengan beban kerja osmotik 0,35
hingga 0,67 tidak berbeda nyata. Tercatat lama waktu perkembangan stadia larva
99

T3 lebih cepat dari T4, T1 dan T2, yaitu 205 jam daripada T4 dan T2 yaitu 239
jam menjadi 243 jam. Pada tahap eksploratif ini, peningkatan beban kerja
osmotik larva dari 0,24 sampai 0,56 ternyata menekan persentase sintasan.
Selanjutnya pada peningkatan beban kerja osmotik larva yang lebih besar, yaitu
0,67 pada T2 ternyata mendorong kembali peningkatan persentase sintasan. Hasil
kelimpahan larva pada tahap eksploratif ini antara beban kerja osmotik 0,24 pada
T3 dan 0,25 pada T4 meningkat dari 627 ekor larva menjadi 708 ekor larva stadia
6. Selanjutnya peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,35 menjadi 0,67
menurunkan hasil kelimpahan menjadi 498 ekor larva stadia 6. Peningkatan
beban kerja osmotik larva ternyata menekan pertumbuhan larva dari yang terbesar
pada T3, yaitu 5,76 mg menurun menjadi 3,75 mg pada T2.
Kondisi di atas juga merujuk pada hasil kajian Imsland et al. (2003) yang
mengatakan bahwa upaya meminimalkan aktivitas enzim Na+/K+-ATPase akan
menekan kebutuhan energi, sehingga akan tersisa energi yang lebih besar bagi
organisme air yang melakukan regulasi kerja osmotik internal terhadap kebutuhan
perkembangan dan proses metabolisme lainnya. Dari sisi yang lain, kecepatan
perkembangan stadia ini, perlu didukung dengan adanya ketersediaan energi yang
memadai. Bila materi yang diperlukan tidak mencukupi untuk mendukung
kecepatan perkembangan srtuktur larva, maka larva akan mati. Fenomena ini
terlihat dari sintasan larva stadia 6 perlakuan 1 (10,2 ppt) dengan beban osmotik
pada urutan kedua tertinggi serta kecepatan lama perkembangan stadia pada
urutan kedua tercepat dibanding tiga perlakuan lainnya, tercatat memiliki sintasan
terendah dengan nilai sebesar 85,7%. Menurut kajian Wilder et al. (1998),
kemampuan larva M. rosenbergii mempertahankan tekanan osmotik tubuh pada
larva tahap awal, belum berkembang sempurna. Lebih lanjut disebutkan bahwa
kelompok Macrobrachium sp. mengembangkan kemampuan regulasi osmotik
dalam pendekatan hiperosmoregulasi pada media dengan beban osmotik setara 0,6
(1-OH/OM). Disamping itu dijelaskan bahwa perubahan regulasi osmotik M.
rosenbergii, paralel dengan fluktuasi konsentrasi ion natrium haemolymph.
Regulasi ion Natrium, Khlorida dan Magnesium pada haemolymph M.
rosenbergii, menurut Freire et al. (2003) dilakukan pada organ effector, seperti
antena-gland, insang pada bagian phyllobranchiate (McNamara dan Lima, 1997)
100

dan integumen. Itulah sebabnya, individu larva udang galah cenderung


memberikan respon berbeda, walaupun pada kondisi osmotik media dengan
peningkatan salinitas perlakuan yang naik gradual, seiring dengan perkembangan
struktur di setiap tahapan stadia larva.
Uraian pada tahap eksploratif menyatakan bahwa pada beban kerja
osmotik terendah, maka lama waktu perkembangan stadia larva dipercepat T3,
sehingga sintasan meningkat, sedangkan kelimpahan tertinggi diperoleh pada T4.
Pada tahap eksplorasi hubungan antara lama waktu perkembangan larva stadia 6
dengan beban kerja osmotik larva berpola linier. Peningkatan beban kerja
osmotik larva, menghambat lama waktu perkembangan larva stadia 6.

Tabel 26. Kompilasi nilai rataan variabel kerja pada tahap eksploratif

Perlakuan (beban osmotik)


No Parameter 3 4 1 2
(0,24) (0,35) (0,56) (0,67)
1 Beban Osmotik [1-(OH/OM)] 0,24 (D) 0,35 (C) 0,56 (B) 0,67 (A)
2 Lama Waktu Perkembangan (jam) 205 (B) 239 (A) 238 (A) 243 (A)
3 Lama Keberadaan (jam) 236 (A) 192 (C) 224 (B) 208 (B)
4 Sintasan Stadia Larva (%) 89 (A) 88 (B) 86 (C) 90 (A)
5 Kelimpahan (ekor larva) 627 (B) 708 (A) 378 (D) 498 (C)
6 Bobot (mg) 5,76 (A) 5,02 (B) 4,24 (C) 3,75 (D)
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva
terhadap perlakuan adalah sama

Pada Tahap Adaptasi, urutan beban kerja osmotik larva adalah 0,20; 0,23;
0,28; dan 0,40 pada T3, T2, T1, dan T4 (Tabel 27). Peningkatan beban kerja
osmotik larva dari 0,20 menjadi 0,28 ternyata menghambat lama waktu
perkembangan stadia larva T3 dan T1, yaitu 270 jam menjadi 299 jam. Kecuali
lama waktu perkembangan stadia larva T2, yaitu 313 jam. Pada tahap adaptasi
ini, peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,20 sampai 0,40 ternyata
menekan persentase sintasan dari 90% (T3) menurun terus sampai menjadi 83%
(T4). Hasil kelimpahan larva pada tahap adaptasi ini pada peningkatan beban
kerja osmotik dari 0,20 menjadi 0,28, menurunkan kelimpahan dari 468 ekor larva
stadia 8 menurun menjadi 378 ekor larva stadia 8. Selanjutnya pada peningkatan
beban kerja osmotik 0,40 (T4), hasil kelimpahan meningkat menjadi 708 ekor
larva stadia 8. Peningkatan beban kerja osmotik larva ternyata menekan
pertumbuhan larva dari yang terbesar T3, yaitu 13,22 mg terus menurun menjadi
101

9,57 mg pada T4. Hal ini sejalan dengan pernyataan Freire et al. (2003), bahwa
larva M. rosenbergii akan melakukan kerja regulasi hiperosmotik untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya pada batas toleransi salinitas media
tertentu; oleh karena itu larva udang galah memperlihatkan toleransi tinggi pada
salinitas perlakuan 2 (10,6 ppt) yang relatif lebih tawar dibanding berada pada
salinitas perlakuan 4 (14,4 ppt).
Uraian pada tahap adaptasi menyatakan bahwa beban kerja osmotik
terendah yang terdapat pada T3 sebesar 0,20 ternyata mampu memperpercepat
lama waktu perkembangan stadia larva 270 jam, sehingga kelimpahannya
meningkat meskipun sama dengan tahap eksplorasi. Kelimpahan tertinggi terjadi
pada T4. Pada tahap adaptasi hubungan antara lama waktu perkembangan larva
stadia 8 dengan beban kerja osmotik larva berpola kuadratik negatif, sedangkan
lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 dengan beban kerja osmotik larva
berpola linier.

Tabel 27. Kompilasi nilai rataan variabel kerja pada tahap adaptasi

Perlakuan
No Parameter 3 2 1 4
(0,20) (0,23) (0,28) (0,40)
1 Beban Osmotik [1-(OH/OM)] 0,20 (C) 0,23 (C) 0,28 (B) 0,40 (A)
2 Lama Waktu Perkembangan (jam) 270 (D) 313 (B) 299 (C) 329 (A)
3 Lama Keberadaan (jam) 216 (A) 120 (C) 192 (B) 192 (B)
4 Sintasan Stadia Larva (%) 90 (A) 86 (B) 75 (B) 83 (C)
5 Kelimpahan (ekor larva) 468 (B) 419 (C) 378 (D) 708 (A)
6 Bobot (mg) 13,22 (A) 12,95 (B) 10,8 (C) 9,57 (D)
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva
terhadap perlakuan adalah sama

Pada Tahap Perkembangan Akhir, terdapat dua kondisi beban kerja


osmotik larva, yaitu hipoosmotik larva pada T1 dan beban kerja osmotik larva,
yaitu hiperosmotik larva pada T2, T3, dan T4 dengan urutan -0,25; -0,28; dan -
0,30 (Tabel 28). Peningkatan beban kerja osmotik larva pada kondisi
hipoosmotik untuk melihat respon lama waktu perkembangan stadia, ternyata
tidak berbeda nyata dengan kondisi hiperosmotik pada T4. Pola hubungan antara
peningkatan beban kerja osmotik larva dengan lama waktu perkembangan larva
stadia pada kondisi hiperosmotik, adalah kuadratik negatif. Peningkatan beban
kerja osmotik larva pada kondisi hiperosmotik dari T2 (-0,25) ke atas ternyata
102

meningkatkan prosentase sintasan; demikian juga pada kondisi hipoosmotik.


Hasil kelimpahan larva pada kondisi hiperosmotik berpola kuadratik positif
dengan titik puncak pada titik T4, dan ternyata kelimpahan pada kondisi
hiperosmotik masih lebih baik daripada kondisi hipoosmotik. Peningkatan beban
kerja osmotik larva pada tahap perkembangan akhir ternyata menekan
pertumbuhan, yang terkecil pada T3, yaitu 20,27 mg. Kondisi media yang berbeda
salinitas antara perlakuan 3 dan perlakuan 4, juga menggambarkan adanya
perbedaan konsentrasi ion Natrium dan Khlorida pada media. Penyerapan dan
regulasi ion Natrium dan Khlorida pada perkembangan kemampuan osmoregulasi
larva, berhubungan erat dengan aktivasi enzim Na+/K+-ATPase. Menurut
Charmantier et al. (1998), pada larva tahap awal, tingginya aktivitas enzim
Na+/K+-ATPase merupakan salah satu hal terpenting untuk mendukung
perkembangan stadia larva selanjutnya. Berdasarkan hal ini, perlu dikembangkan
optimalisasi kemampuan osmoregulasi larva; sehingga saat memasuki perairan
tawar, pertumbuhan dapat berlangsung normal (Furrie, 2004).

Tabel 28. Kompilasi nilai rataan variabel kerja pada tahap perkembangan akhir

Perlakuan (beban osmotik)


No Parameter 1 2 4 3
(0,03) (-0,25) (-0,28) (-0,30)
1 Beban Osmotik [1-(OH/OM)] 0,03 (D) - 0,25 (C) - 0,28 (B) -0,30 (A)
2 Lama Waktu Perkembangan (jam) 438 (C) 498 (A) 453 (C) 478 (B)
3 Lama Keberadaan (jam) 232 (A) 144 (C) 208 (A) 168 (B)
4 Sintasan Stadia Larva (%) 100 (A) 90 (B) 100 (A) 100 (A)
5 Kelimpahan (ekor larva) 300 (D) 370 (C) 570 (A) 390 (B)
6 Bobot (mg) 34,36 (A) 32,07 (B) 30,27 (C) 20,27 (D)
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama

Uraian pada tahap adaptasi menyatakan bahwa beban kerja osmotik


terendah pada tahap hipoosmotik ternyata mampu mempercepat lama waktu
perkembangan stadia, walaupun dengan hasil kelimpahan yang kurang baik.
Beban kerja osmotik larva terendah pada kondisi hiperosmotik T2 ternyata
memperlambat lama waktu perkembangan stadia, sehingga persentase sintasan
dan hasil kelimpahan menjadi lebih rendah dibanding dengan T4. Hubungan
lama waktu perkembangan stadia 11 dengan beban kerja osmotik berpola
kuadratik positif. Menurut Abdu et al. (1998), penghambatan percepatan
103

perkembangan stadia larva M. rosenbergii, dapat juga diakibatkan terdapatnya


juvenile hormone atau metil farnesoat yang berfungsi sebagai ‘permanent molting
block’.
Secara keseluruhan dari tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan
akhir, beban kerja osmotik terkecil pada tahap eksploratif dan adaptasi terdapat
pada T3; walaupun kondisi salinitas media T3 pada tahap eksploratif berbeda
dengan kondisi salinitas media T3 pada tahap adaptasi. Pada tahap eksploratif,
salinitas media percobaan ditingkatkan setiap hari; sedangkan salinitas media T3
pada tahap adaptasi berada dalam kondisi statis, tanpa perubahan. Perbedaan
kondisi media perlakuan T3 pada tahap eksploratif dan adaptasi, ternyata memberi
hasil lama waktu perkembangan stadia larva lebih cepat dengan sintasan dan hasil
kelimpahan lebih baik dibanding dengan perlakuan lainnya.

Hubungan antara Potensi Pertumbuhan dengan Beban Kerja Osmotik serta


Dampak Lanjut terhadap Potensi Pertumbuhan Pascalarva

Potensi Pertumbuhan Larva pada tahap eksploratif dan adaptasi T3 jauh


lebih baik dibanding potensi tumbuh tiga perlakuan lainnya. Gambaran potensi
tumbuh pada tahap eksploratif selain T3, mengindikasikan bahwa terjadi
penekanan potensi tumbuh pada T1, T2 dan T4 dengan meningkatnya beban kerja
osmotik. Sebaliknya pada tahap adaptasi selain T3, peningkatan beban kerja
osmotik T2, T1 dan T4 sejalan dengan meningkatnya potensi tumbuh. Walaupun
demikian, kondisi hasil pertumbuhan aktual baik pada tahap eksploratif maupun
pada tahap adaptasi, memperlihatkan bahwa terjadi penekanan pada hasil
pertumbuhan aktual dengan naiknya beban kerja osmotik. Potensi pertumbuhan
larva pada tahap perkembangan akhir memberikan dua pola, yaitu pada kondisi
hipoosmotik dan hiperosmotik. Tampilan potensi tumbuh pada kondisi
hipoosmotik T1, yaitu 15,33 kalori/ larva per hari lebih rendah dibanding kondisi
hiperosmotik T3 dan T4, yaitu sebesar 17,90 menjadi 19,18 kalori/larva per hari.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa potensi tumbuh didasarkan dari pendekatan jumlah
energi yang tersisa dari hasil ingesti yang dinamik dengan waktu (dW/dt = αK-R);
setelah digunakan untuk metabolisme standar. Metabolisme R termasuk energi
metabolisme, selain untuk respirasi juga untuk transfer ion. Menurut Lignot et al.
104

(1999), metabolisme yang dimaksud tercakup dalam faktor-faktor seperti tingkat


efektivitas larva dalam melakukan regulasi osmotik, kapasitas regulasi ion-ion
natrium dan khlorida serta regulasi glycemia haemolymph.
Pada Tahap Eksploratif, potensi tumbuh larva sebagai respon terhadap
peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,24 menjadi 0,35 (dari T3 ke T4),
ternyata meningkat dari 5,09 menjadi 5,75 kalori/larva per hari (Tabel 29).
Selanjutnya peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,35 menjadi 0,67;
ternyata menekan potensi tumbuh sehingga terjadi penurunan dari 5,11 menjadi
4,47 kalori/larva per hari. Peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,24
menjadi 0,67 ternyata meningkatkan konsumsi energi basal dari T3 ke T2.
Sehubungan dengan tingkat konsumsi pakan yang cukup memadai, maka dapat
dikatakan bahwa potensi tumbuh meningkat.

Tabel 29. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh pada
tahap eksploratif

Perlakuan (beban osmotik)


No Parameter 3 4 1 2
(0,24) (0,35) (0,56) (0,67)

1 Potensi Tumbuh 5,09 (B) 5,75 (A) 5,11 (B) 4,47 (C)
(kalori /larva per hari)
2 Tingkat Konsumsi Pakan Harian 5,17 (B) 5,82 (A) 5,17 (B) 4,53 (C)
(kalori/larva per hari)
3 Konsumsi Energi Basal 0,59 (D) 0,59 (C) 0,62 (B) 0,62 (A)
(kalori /mg bobot basah larva per jam)
4 Bobot (mg) 5,76 (A) 5,02 (B) 4,24 (C) 3,75 (D)

Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa pada larva tahap awal,


aktivitas pompa natrium dalam upaya menekan stres beban osmotik mempunyai
batas toleransi. Menurut Luvizotto-Santos at al. (2003), dibutuhkan sejumlah
energi untuk mengaktifkan mekanisme regulasi osmotik dan ionik hemolim
krustase sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan osmolalitas media. Lebih
lanjut hasil kajian Huong et al. (2004) terhadap aktivitas enzim Na+/K+-ATPase
pada larva M. rosenbergii menjelaskan bahwa selama perkembangan stadia 1
sampai stadia 6, puncak aktivitas enzim Na+/K+-ATPase terdapat pada stadia 2
(4,4 ± 0,4 μmol ADP/mg protein per jam). Aktivitas enzim ini menurun pada
stadia 3 dan seterusnya stadia 4, kemudian naik lagi pada stadia 5 dan selanjutnya
105

pada stadia 6 (3,9 ± 0,1 μmol ADP/mg protein per jam). Kondisi ini
menunjukkan bahwa walaupun secara umum aktivitas pompa natrium menurun
dengan meningkatnya stadia larva M. rosenbergii; ternyata ada indikasi bahwa
larva melakukan kerja regulasi osmotik tidak hanya untuk mengatasi tekanan
eksternal, tetapi simultan dengan itu mengatasi tekanan internal.
Gambaran rendahnya potensi tumbuh pada beban kerja osmotik di atas
0,35 menunjukkan bahwa larva stadia awal termasuk kelompok
“hipoosmoregulator terbatas” seperti yang diulas oleh Willmer et al. (2000). Di
luar kapasitas atau kemampuan kerja osmotik krustase tersebut, budget energi
tidak hanya dipergunakan sebagai deposit energi untuk tumbuh (G); tetapi juga
untuk menunjang aktivitas enzim Na+/K+-ATPase yang diindikasikan sebagai
persentasi kehilangan pada exuviae (E), serta kehilangan energi pada aktivitas
metabolisme lainnya, seperti feces (F), ekskresi (U) dan respirasi (R) (Zhu et al.,
2004). Dari uraian beberapa pakar tersebut terlihat bahwa pemberian pakan saja
tidak cukup sebagai dasar mendukung pertumbuhan, tetapi efektivitasnya harus
memperhatikan masalah beban kerja osmotik. Hal yang sama juga ditekankan
oleh Kumlu et al. (2000) dan Ponce-Palafor et al. (1997).
Pada Tahap Adaptasi, potensi tumbuh larva berpola seperti keberadaan
tingkat konsumsi pakan. Potensi tumbuh larva T3 ke T2 menurun dari 10,19
menjadi 6,32 kalori /mg bobot larva per hari dengan naiknya beban kerja osmotik.
Selanjutnya potensi tumbuh T2 ke T4 meningkat (Tabel 30). Selain itu, ternyata
tingkat konsumsi pakan dari T3 ke T2 menurun dari 34 menjadi 6,47 kalori/larva
per hari dengan naiknya beban kerja osmotik larva. Secara umum, potensi tumbuh
larva T1 dan T4 masih berada di bawah potensi tumbuh larva T3. Peningkatan
beban kerja osmotik larva dari 0,20 ke 40 ternyata meningkatkan konsumsi energi
basal dari 0,46 menjadi 0,54 kalori/mg bobot basah larva per jam.
Respon larva terhadap osmolalitas media pada tahap adaptasi ini terlihat
mulai berubah. Sebelumnya kemampuan kerja osmotik larva lebih mampu
beradaptasi dengan kondisi media T3 kemudian T4, pada tahap adaptasi ini
kemampuan kerja osmotik larva lebih mampu beradaptasi dengan media T3
kemudian T2. Pada tahap adaptasi ini, kemampuan kerja osmotik larva pada
perlakuan T1 dan T2 meningkat, karena stadia larva telah mencapai stadia 7, 8, 9
106

dan 10; sehingga beban kerja osmotik T1 menurun dari 0,56 menjadi 0,28; dan T2
menurun dari 0,67 menjadi 0,23 (Tabel 29 dan 30). Perubahan T1 dan T2 terjadi
karena kemampuan kerja osmotik meningkat sejalan dengan peningkatan stadia
dari di bawah stadia 6 menjadi di atas 6. Perubahan kemampuan kerja osmotik
tersebut telah dinyatakan oleh Cheng et al. (2003) yang mengemukakan bahwa
kemampuan regulasi osmotik M. rosenbergii meningkat dengan meningkatnya
stadia; sampai mendekati isoosmotik. Menurut Willmer et al. (2000),
kemampuan kerja osmotik tersebut terjadi karena M. rosenbergii menggunakan
mekanisme regulasi selluler dengan melakukan sintesa asam amino sebagai “intra
selluler efektor” pada media air payau. Hal ini dilakukan saat aktivitas enzim
Na+/K+-ATPase pada insang menurun, seperti diilustrasikan oleh Huong et al.
(2004) yang menyatakan adanya penurunan aktivitas enzim Na+/K+-ATPase
dengan meningkatnya stadia larva.

Tabel 30. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh pada
tahap adaptasi

Perlakuan (beban osmotik)


No Parameter 3 2 1 4
(0,20) (0,23) (0,28) (0,40)
1 Potensi Tumbuh 10,19 (A) 6,32 (D) 7,63 (C) 8,93 (B)
(kalori /larva per hari)
2 Tingkat Konsumsi Pakan Harian 10,34 (A) 6,47 (D) 7,76 (C) 9,05 (B)
(kalori/larva per hari)
3 Konsumsi Energi Basal 0,46 (C) 0,47 (C) 0,48 (B) 0,54 (A)
(kalori /mg bobot basah larva per jam)
4 Bobot (mg) 13,22 (A) 12,95 (B) 10,8 (C) 9,57 (D)

Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama

Pada Tahap Perkembangan Akhir, potensi tumbuh larva pada kondisi


hiperosmotik T2 meningkat sejalan dengan peningkatan beban kerja osmotik,
yaitu dari 12,74 menjadi 19,18 kalori/mg bobot larva per hari (Tabel 31).
Peningkatan potensi tumbuh ini didukung dengan tingkat konsumsi pakan harian
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan energi konsumsi energi basal.
Peningkatan beban kerja osmotik larva dari kondisi hipoosmotik ke arah kondisi
hiperosmotik, meningkatkan konsumsi energi basal dari 0,23 menjadi 0,37
kalori/mg bobot basah larva per jam.
107

Kondisi regulasi osmotik larva pada tahap perkembangan akhir ini berada
pada dua kelompok, yaitu T1 dengan regulasi hipoosmotik dan T2, T4, dan T3
dengan regulasi hiperosmotik. Secara umum larva stadia 11 pada tahap
perkembangan akhir ini sudah mulai menyerupai udang muda atau pascsalarva,
dengan perbedaan hanya pada jumlah rostrum 7 dan 11 buah gigi rostrum. Kajian
beberapa pakar menunjukkan, pascalarva M. rosenbergii cenderung melakukan
regulasi hiperosmotik pada media payau (Chen et al., 2003; Funge-Smith et al.,
1995; Lignot et al., 2000). Kerja osmotik yang berbeda pada kedua kondisi ini
dijelaskan oleh Feire et al. (2003) serta McNamara dan Torres (1999) bahwa pada
kondisi hipoosmotik T1, budget energi digunakan untuk menahan agar tidak
banyak garam yang masuk ke dalam tubuh dengan menggunakan mekanisme
transport aktif Na+. Menurut Luvizotto-Santos et al. (2003), krustase C.
granulata menangani stres yang terjadi selama kondisi hipoosmotik dengan
dukungan sumber energi yang berasal dari lemak. Demikian juga hasil kajian
yang dilakukan oleh Roustaian et al. (2001) yang mengemukakan bahwa sumber
energi utama untuk pertumbuhan larva M. rosenbergii berasal dari lemak. Oleh
karena itu, pemberian pakan alami Artemia salina secara ad libitum dengan
kandungan lemak dan asam amino yang memadai, dipandang mampu mendorong
potensi tumbuh larva dalam kondisi hipoosmotik. Potensi tumbuh T1 lebih tinggi
dari T2

Tabel 31. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh pada tahap
perkembangan akhir

Perlakuan (beban osmotik)


No Parameter 1 2 4 3
(0,03) (-0,25) (-0,28) (-0,30)
1 Potensi Tumbuh 15,33 (C) 12,74 (D) 17,90 (B) 19,18 (A)
(kalori /larva per hari)
2 Tingkat Konsumsi Pakan Harian 15,52 (C) 12,93 (D) 18,10 (B) 19,36 (A)
(kalori/larva per hari)
3 Konsumsi Energi Basal 0,23 (D) 0,25 (C) 0,28 (B) 0,37 (A)
(kalori /mg bobot basah larva per jam)
4 Bobot (mg) 34,36 (A) 32,07 (B) 30,27 (C) 20,27 (D)

Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama

Pada kondisi hiperosmotik, M. rosenbergii melakukan lebih dari satu


mekanisme regulasi osmotik dalam upaya mempertahankan konsentrasi garam
108

dalam tubuh melalui hiperegulasi konsentrasi Mg+2 dengan cara absorpsi kembali
pada renal gland, meningkatkan efisiensi proses pengambilan ion-ion tertentu, hal
tersebut dilakukan simultan dengan proses mereduksi permeabilitas insang dan
integumen (Freire et al., 2003). Adanya kerja osmotik yang lebih besar,
mengakibatkan budget energi untuk mendukung potensi tumbuh menjadi
berkurang. Hal ini terlihat dari menurunnya potensi tumbuh T2 dibanding T1,
yaitu dari 15,33 menjadi 12,74 kalori /mg bobot larva per hari. Dari hasil telaah
data dan analisis hubungan diperoleh suatu kerangka keterkaitan hubungan
sebagai berikut:
1. Pada tahap eksploratif dan adaptasi, beban kerja osmotik terendah
dapat meningkatkan potensi tumbuh. Peningkatan beban kerja
osmotik pada tahap ekploratif, menekan potensi tumbuh, sedangkan
pada tahap adaptasi malah meningkatkan potensi tumbuh
2. Pada tahap perkembangan akhir kondisi hiperosmotik, peningkatan
beban osmotik mendorong potensi tumbuh lebih baik dari kondisi
hipoosmotik T1.
3. Potensi tumbuh larva T3 pada tahap eksploratif, adaptasi dan
perkembangan akhir, lebih baik dibanding perlakuan lainnya.

Potensi Pertumbuhan Pascalarva pada tampilan pascalarva hari ke-1,


hari ke-7 dan hari ke-14 atau PL-1, PL-7 dan PL-14, memperlihatkan pola yang
sama. Potensi tumbuh T1 secara menyeluruh lebih rendah dan berbeda dengan
tiga perlakuan lainnya. Beban kerja osmotik sebagai dampak lanjut perlakuan
saat masih dalam bentuk larva, berturut-turut adalah T1, T2, T4 dan T3; yang
merupakan refeksi dari beban kerja osmotik pada tahap perkembangan akhir.
Potensi Pertumbuhan PL-1 sebagai dampak lanjut dari perlakuan beban
kerja hiperosmotik, ternyata tidak berbeda nyata dan lebih baik dari kondisi
hipoosmotik T1, yaitu 8,15 menjadi 20,27 kalori/mg bobot larva per hari (Tabel
32). Pada tahap akhir PL-1 ini, tingkat konsumsi energi basal dari T1 dan T2 ke
T3, adalah 0,164 kalori/mg bobot basah larva per jam. Sementara itu, tingkat
konsumsi energi pakan harian (Daphnia sp.), sejalan dengan peningkatan beban
kerja osmotik pascalarva. Menurut Chen et al. (2003), konsumsi oksigen
menurun pada kondisi media mendekati titik isoosmotik. Selanjutnya, dikatakan
109

hal ini terjadi akibat kerja osmotik yang diperlukan untuk mempertahankan
tekanan osmotik cairan tubuh udang.

Tabel 32. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh PL-1

Perlakuan
No Parameter 1 2 4 3
(0,03) (-0,25) (-0,28) (-0,30)
1 Potensi Tumbuh 8,15 (B) 20,02 (A) 20,65 (A) 20,27 (A)
(kalori /larva per hari)
2 Tingkat Konsumsi Pakan Harian 8,37 (B) 20,22 (A) 20,22 (B) 20,42 (A)
(kalori/larva per hari)
3 Konsumsi Energi Basal 0,199 (A) 0,200 (A) 0,181 (B) 0,164 (C)
(kalori /mg bobot basah larva per jam)
4 Bobot (mg) 45,00 (A) 43,35 (B) 39,51 (C) 39,29 (D)
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama

Potensi Pertumbuhan PL-7 sebagai dampak lanjut dari perlakuan beban


kerja hiperosmotik, ternyata tidak berbeda dan lebih baik dari potensi tumbuh
kondisi pascalarva hipoosmotik T1, yaitu yaitu 19,37 menjadi 41,49 kalori/mg
bobot larva per hari (Tabel 33). Pada tahap akhir PL-7 tingkat konsumsi energi
basal meningkat dari T1, yaitu 0,014 selanjutnya menurun 0,015 kalori/mg bobot
basah larva per jam pada T3. Sementara itu, tingkat konsumsi pakan harian lebih
tinggi pada kondisi hiperosmotik daripada kondisi hipoosmotik

Tabel 33. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh PL-7

Perlakuan
No Parameter 1 2 4 3
(0,03) (-0,25) (-0,28) (-0,30)
1 Potensi Tumbuh 19,37 (B) 40,32 (A) 41,21 (A) 41,49 (A)
(kalori /larva per hari)
2 Tingkat Konsumsi Pakan Harian 19,41 (B) 40,41 (A) 41,29 (B) 41,54 (A)
(kalori/larva per hari)
3 Konsumsi Energi Basal 0,014 (D) 0,038 (B) 0,039 (A) 0,015 (C)
(kalori /mg bobot basah larva per jam)
4 Bobot (mg) 121,6 (A) 90,77 (C) 90,40 (D) 119,07 (B)
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama

Potensi Pertumbuhan PL-14 sebagai dampak lanjut dari perlakuan beban


kerja hiperosmotik, ternyata tidak berbeda dan lebih baik dari potensi tumbuh
kondisi pascalarva hipoosmotik T1, yaitu 38,92 menjadi 41,86 kalori/mg bobot
larva per hari (Tabel 34). Pada kondisi hiperosmotik tingkat konsumsi energi
110

basal berpola kuadratik positif meningkat pada puncak T4 dan kemudian lebih
rendah pada T2 dan T3. Sementara itu, tingkat konsumsi pakan harian lebih
tinggi pada kondisi hiperosmotik daripada kondisi hipoosmotik.

Tabel 34. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh PL-14

Perlakuan
No Parameter 1 2 4 3
(0,03) (-0,25) (-0,28) (-0,30)
1 Potensi Tumbuh 38,92 (B) 40,50 (A) 41,11 (A) 41,86 (A)
(kalori /larva per hari)
2 Tingkat Konsumsi Pakan Harian 38,96 (B) 40,51 (A) 41,32 (A) 40,90 (A)
(kalori/larva per hari)
3 Konsumsi Energi Basal 0,007 (C) 0,001 (D) 0,058 (A) 0,007 (B)
(kalori /mg bobot basah larva per jam)
4 Bobot (mg) 215,44 (B) 286,75 (A) 150,32 (D) 214,88 (C)
Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL
terhadap perlakuan adalah sama

Hasil telaah data dan analisis hubungan memperoleh suatu kerangka


keterkaitan hubungan sebagai berikut: potensi tumbuh PL-1, PL-7 dan PL-14 dari
dampak lanjut kondisi hiperosmotik lebih baik dari dampak lanjut kondisi
hipoosmotik.
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Beban osmotik berpengaruh nyata terhadap lama waktu perkembangan,


sintasan stadia larva dan potensi tumbuh pascalarva udang galah dengan karakteristik
sebagai berikut:

1. Pada tahap eksplorasi dan adaptasi peningkatan beban kerja


osmotik menghambat lama waktu perkembangan dan
menurunkan sintasan stadia larva.

a. Beban kerja osmotik minimal pada tahap eksploratif terjadi


pada perlakuan 3, yaitu peningkatan salinitas 1 ppt perhari
selama 7 hari dari salinitas awal sebesar 6 ppt
b. Beban kerja osmotik minimal pada tahap adaptasi terjadi
pada perlakuan 3, yaitu salinitas media dipertahankan stabil
pada 13 ppt
c. Pengaruh salinitas media 13 ppt berdampak lanjut untuk
mempercepat lama waktu perkembangan dan
meningkatkan sintasan pada perkembangan akhir stadia
larva

2. Peningkatan beban kerja osmotik pada tahap eksploratif dan


adaptasi semula menekan pertumbuhan. Namun selanjutnya
menunjang potensi tumbuh pascalarva dari larva yang dipelihara
pada kondisi hiperosmotik lebih tinggi daripada hipoosmotik.

Dari simpulan tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa apabila


pengaturan salinitas media pada tahap awal pemeliharaan larva (adaptasi dan
eksploratif) dapat menciptakan beban kerja osmotik larva minimal, maka lama waktu
perkembangan larva dipercepat, sehingga sintasan stadia pascalarva meningkat; serta
berdampak lanjut positif pada tahap perkembangan akhir.
112

Saran

Berdasarkan simpulan di atas, perlu dibangun suatu konsepsi sebagai landasan


paket teknologi di bidang rekayasa kualitas lingkungan, khususnya salinitas pada
bidang pembenihan udang galah.
Dalam usaha pembenihan udang galah, pengaturan salinitas media harus
diupayakan mampu menciptakan beban osmotik larva yang minimal sejalan dengan
kemampuan kerja osmotik larva. Berhubung peningkatan beban osmotik larva
mengakibatkan lama waktu perkembangan larva terhambat serta menekan sintasan
stadia larva, maka disarankan:

1. Pada awal pemeliharaan larva udang galah, pengaturan


salinitas media dari 6 ppt ditingkatkan setiap hari 1 ppt selama
7 hari sehingga mencapai 13 ppt untuk menciptakan beban
kerja osmotik minimal

2. Salinitas media pemeliharaan larva udang galah selanjutnya,


diupayakan mantap stabil pada 13 ppt sampai menjelang
kondisi hiperosmotik pada stadia 11

3. Sebelum memasuki kondisi hiperosmotik pada stadia 11


tersebut, salinitas media diturunkan secara bertahap sebesar 1
ppt per hari menjadi tawar sampai tercapai pascalarva.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa rekomendasi salinitas media


untuk pemeliharaan larva udang galah adalah 13,0 ppt hingga harus mencapai dan
selanjutnya menurunkan salinitas tersebut pada saat cairan tubuh larva melewati
kondisi isoosmotik terhadap media atau pada stadia 10 menjelang stadia 11.
DAFTAR PUSTAKA

Abdu U, Takac P, Laufer H, Sagi A. 1998. Effect of Methyl Farnesoate on Late


Larval Development and Metamorphosis in the Prawn Macrobrachium
rosenbergii (Decapoda Palaemonidae): A Juvenoid-like Effect? Biol. Bull.
195: 112- 119
Akson DE, Sampaio CMS. 2000. Nursery systems and management. In New MB dan
Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture: the farming of Macrobrachium
rosenbergii, pp 112-125. Oxford, England, Blackwell Science.
Allan GL, Magurire GB. 1991. Lethal levels of low dissolved oxygen and effects of
short-term oxygen stress on subsequent growth of juvenile Penaeus monodon.
Aquaculture 94: 27– 37
Al-Harbi AH, Uddin MN. 2004. Quantitative and qualitative study of the bacterial
flora of farmed freshwater prawn (Macrobrachium rosenbergii) larvae. J.
Appl. Ichthyol. 20: 461-465
Anonimous. 1997. Spotlight on: osmoregulation and ion transport in crab gills.
Biology Department at Lafayette College. http://www.lafayette.edu/~hollidac/
crabgillspot. html. [Juni 2002]
Anonimous. 2003. Na+/K+ (sodium/potassium) pump, cell biology 308. University
of Illinois.
Barros HP, Valenti WC. 2003. Ingestion rates of Artemia nauplii for different larval
stages of Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 217: 223-233
Bishop JS, Burton RS. 1993. Amino acid synthesis during hyperosonotic stress in
Penaeus aztecus postlarvae. Comp. Biochem. Physiol. 106A: 49-56
Boyd CE. 1998. Water quality in ponds for aquaculture. Auburn University,
Alabama. Birmingham Publishing Co.
Boyd CE, Tucker CS. 1998. Aquaculture water quality management. Boston, USA.
Kluwer Academic Publishers.
Boyd C, Zimmermann S. 2000. Grow-out systems-water quality and soil
management. In New MB dan Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture:
the farming of Macrobrachium rosenbergii, pp 221-238. Oxford, England,
Blackwell Science.
Cavalli RO, Berghe E Van den, Lavens P, Thuy NTTT, Wille M, Sorgeloos P. 2000.
Ammonia toxicity as criterion for the evaluation of larval quality in the prawn
Macrobrachium rosenbergii. Comp. Biochem. Physiol. Part C. 125: 333-343
Chavez JV, Aida K, Hanyu I. 1991. Effects of photoperiod and temperature on
moulting, reproduction and growth of the freshwater prawn Macrobrachium
rosenbergii. Bull. Jap. Sot. Sci. Fish. 57: 209-217.
114

Chen LC. 1990. Aquaculture in Taiwan. Fishing News Books, 273 pp.
Chen SM, Chen JC. 2003. Effects of pH on survival, growth, molting and feeding of
giant freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 191: 209-
245
Chen JC, Cheng SY. 1995. Hemolymph oxygen content, oxyhemocyanin, protein
levels and ammonia excretion in the shrimp Penaeus monodon exposed to
ambient nitrit. J. Comp. Physiol. B 164: 530-535
Chen JC, Cheng SY, Chen CT. 1994. Changes of oxyhemocyanin, protein and free
aminoacid levels in the hemolymph of Penaeus japonicus exposed to ambient
ammonia. Comp. Biochem. Physiol. 109A, 339-347.
Chen JC, Kou CT. 1996. Nitrogeneous excretions in Macrobrachium rosenbergii at
different pH levels, Aquaculture 144: 155-164
Chen JC, Kou YZ. 1992. Effects of ammonia on growth and molting of Penaeus
japonicus juveniles. Aquaculture 104: 249-260.
Chen JC, Lei SC. 1990. Toxicity of ammonia and nitrite to Penaeus monodon
juveniles. J. World Aquacult. Soc. 21, 300–306.
Chen JC, Lai JN. 1993. Osmotic Concentration and Tissue Water of Penaeus
chinensis Juveniles Reared at Different Salinity and Temperature Levels,
Aquaculture 134: 173 – 181
Chen JC, Lee Y. 1997. Effects of nitrite on mortality, ion regulation and acid-base
balance of Macrobrachium rosenbergii at different external chloride
concentrations. Aquat. Toxicol 39: 291-305
Chen JC, Lin CY. 1995. Responses of oxygen consumtion, ammonia-N excretion and
urea-N of Penaeus chinensis exposed to ambient ammonia at different salinity
and pH levels, Aquaculture 136: 243-255
Chen JC, Lin JN. 1992. Oxygen consumption and ammonia-N excretion of Penaeus
chinensis juveniles exposed to ambient ammonia at differrent salinity levels.
Comp. Biochem. Physiol 102C: 287-291
Cheng W, Liu CH, Cheng CH, Chen JC. 2003. Osmolality and ion balance in giant
river prawn Macrobrachium rosenbergii subjected to changes in salinity: role
of sex. Aquaculture Research 34: 555-560
Cheng SY, Chen JC. 1999. Hemocyanin oxygen affinity, and the fractionation of
oxyhemocyanin and deoxyhemocyanin for Penaeus monodon exposed to
elevated nitrite. Aquat. Toxicol. 45: 35-46
Cheng W, Liu CH, Ming KC. 2003. Effects of dissolved oxygen on hemolymph
parameters of freshwater giant prawn, Macrobrachium rosenbergii (de Man).
Aquaculture 220: 843-856
Correia ES, Suwannatous S, New MB. 2000. Flow-through hatchery systems and
management. In New MB and Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture:
115

the farming of Macrobrachium rosenbergii, pp 52-68. Oxford, England,


Blackwell Science
D’Abramo LR, Brunson MW. 1996a. Biology and life history of freshwater prawns.
Southern Region Aquaculture Center Publication No. 483.
D’Abramo LR, Brunson, MW. 1996b. Production of freshwater prawns. Southern
Regional Aquaculture Center Publication No. 484.
Daniels WH, Cavalli RO, Smullen RP. 2000. Broodstock management. In New MB
and Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture: the farming of
Macrobrachium rosenbergii, pp 41-51. Oxford, England, Blackwell Science
Deru J. 1990. Studies on the development and nutrition of the caridean prawn
Macrobrachium rosenbergii (de Man) (Crustacea: Decapoda). Doctoral
Thesis. University College of North Wales, Menai Bridge, Gwynedd, UK, 306
pp
Ducazu L. 1998. Daphnia links. http://www.daphnia.com/daphnia.html [Juni 2002]
Duerr JM, Ahearn GA. 1996. Characterization of a basolateral electroneatral Na+/H+
antiporter in atlantic lobster (Homarus americanus) hepatopancreatic
epithelial vesicles., J.Exp. Biol. 199: 643-651
Freire CA, Cavassin F, Rodrigues EN, Torres AH, McNamara JC. 2003. Adaptive
patterns of osmotic and ionic regulation, and the invasion of fresh water by
the palaemonid shrimps. Comp. Biochem.Physiol Part A 136 (2003) 771–778
Funge-Smith SJ, Taylor AC, Whitley J, Brown JH. 1995. Osmotic and ionic
regulation in the giant Malaysian fresh water prawn, Macrobrachium
rosenbergii (de Man), with special reference to strontium and bromine.
Compr. Bio. Physiol. 110A: 357-365.
Furriel RPM, Masui DC, Mcnamara JC, Leone FA. 2004. Modulation of gill
Na+,K+-ATPase activity by ammonium ions: putative coupling of nitrogen
excretion and ion uptake in the freshwater shrimp Macrobrachium olfersii. J.
Exp. Zool. 301a: 63–74
Hill AD, Taylor AC, Strang RHC. 1991. Physiological and metabolic responses of
the shore crab Carcinus maenas (L.) during environmental anoxia and
subsequent recovery. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 150: 31-50
Hirsch J, Negus M. 2000. Fall stocking of rainbow trout in bad Medicine lake: A
bioenergetics assement of impacts on s the Daphnia pulex population.
Minesota Departemen of Natural Resources, Special Publication 155, [Juli
2000].
Huong DTT, Wilder MN. 2001. Studies on osmoregulation in giant freshwater
prawn. www.ctu.edu.vn/institutes/ farming/jircas.[Juni 2002]
Huong DTT, Yang W-Y, Okuno A, Wilder MN. 2001. Changes in free amino acids
in hemolymph of giant freshwater prawn, Macrobrachium rosenbergii
116

exposed to varying salinities: relationship to osmoregulation ability. Comp.


Biochem. Physiol. Part A 128: 317-326
Huong DTT, Hang BTB, Bui TV, Wilder MN. 2004(a). Study on Na/K-ATPase
activity and rearing of giant freshwater prawn larvae (Macrobrachium
rosenbergii) under low salinity. Published of Can Tho University, Viet Nam,
12 pp.
Huong DTT, Jayasankar V, Jasmani S, Saido-Sakanaka H, Wigginton AJ, Wilder
MN. 2004(b). Na/K-ATPase activity during larval development in the giant
freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii and the effects of salinity on
survival rates. Short Paper. Fisheries Science:70: 518–520
Imsland AK, Gunnarsson S, Foss A, Stefansson SO. 2003. Gill Na+, K+-ATPase
activity, plasma chloride and osmolality in juvenile turbot (Scophthalmus
maximus) reared at different temperatures and salinities. Aquaculture 218:
671–683
Ismael D, Morreira, G.S. 1997. Effect of salinity on respiratory rate and development
of early larval stages of Macrobrachium acanthurus (Wiegman, 1836)
(Decapoda, Palaemonidae). Comp. Biochem. Physiol. 118 A (3): 871 – 876
Jackson CJ, and Burford MA. 2003. The effects of temperature and salinity on
growth and survival of larval shrimp Penaeus semisulcatus (decapoda:
penaeidea). Journal of Crustacean Biology, 23(4): 819–826
Kamaruddin MS, Jones DA, le Vay L, Abidin AZ. 1994. Ontogenetic change in
digestive enzyme activity during larval development of Macrobrachium
rosenbergii. Aquaculture 123: 323-333
Kumlu M., Eroldogan OT, Aktas M. 2000. Effects of temperature and salinity on
larval growth, survival and development of Penaeus semisulcatus.
Aquaculture 188: 167-173
Kumlu M, Jones DA. 1993. Optimum rearing conditions for Penaeus Indicus larvae,
Eur. Aquacult. Soc. Spec. Publ. No. 19, 142 pp.
Law AT, Wong YH, Abol-Munafi AB. 2002. Effect of hydrogen ion on
Macrobrachium rosenbergii (de Man) egg hatchability in brackish water.
Aquaculture 214: 247-251
Lavens P, Thongrod S, Sorgeloos P. 2000. Larval prawn feeds and the dietary
importance of Artemia. In: New MB, Valenti WC (Eds.), Freshwater Prawn
Culture. Blackwell, Oxford, pp. 91-111.
Lignot JH, Spanings-Pierrot C, Charmantier G. 2000. Osmoregulatory capacity as
tool in monitoring the physiological condition and the effect of stress in
crustaceans. Aquaculture 191: 209-245.
Luvizotto-Santos R, Lee JT, Branco ZP, Bianchini A, Neryn LEM. 2003. Lipids as
Energy Source During Salinity Acclimation in the Euryhaline Crab
117

Chasmagnathus granulate Dana, 1851 (Crustacea-Grapsidae). J. Exp Zool


295A: 200–205
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan
minitab Jilid I. IPB Press, Bogor. 326 hal.
McNamara JC, Lima AG. 1997. The route of ion and water movements across the gill
epithelium of the freshwater shrimp Macrobrachium olfersii (Decapoda,
Palaemonidae): evidence from ultrastructural changes induced by acclimation
to saline media. Biol. Bull. 192: 21–331.
McNamara JC, Torres AH. 1999. Ultracytochemical location of Na+/K+-atpase
activity and effect of high salinity acclimation in gill and renal epithelia of the
freshwater shrimp Macrobrachium olfersii (Crustacea, Decapoda). J. Exp.
Zool. 284: 617-628
Mohanta KN. 2000. Development of giant freshwater prawn broodstock. Naga 23
(3): 18-20.
Morohashi M, Tsuchiya K, Mita T, Kawamura M. 1991. Identification of (Na, K)
ATPase inhibitor in brine shrimp, Artemia salina, as long-chain fatty acids.
Comp. Biochem. Physiol. 161B: 69-72.
Morris S, Butler SL. 1996. Hemolymph respiratory gas, acid– base, and ion status of
the amphibious purple shore crab Leptograpsus variegatus (Fabricius) during
immersion and environmental hypoxia. J. Crustac. Biol. 16: 253-266.
Moullac GL, Haffiner P. 2000. Environmental factors affecting immune responses in
crustacea. Aquaculture 191: 121-131.
New MB. 1995. Status of freshwater prawn farming: a review. Aquac. Res. 26, 1– 54.
New MB. 2002. Farming freshwater prawns. A manual for the culture of the giant
river prawn (Macrobrachium rosenbergii). FAO Fish. Tech. Pap. 428: 212 p.
New MB. 2005. Freshwater prawn farming: global status, recent research and a
glance at the future. Aquaculture Research 36: 210-230
Okuma E, Abe H. 1994. Total D-amino and other free amino acids increase in muscle
of crayfish during seawater acclimation. Comp. Biochem. Physiol. 109A: 191-
197.
Palacios E, Bonilla A, Luna D, Racotta IS. 2004. Survival, Na+/K+-ATPase and lipid
responses to salinity challenge in fed and starved white pacific shrimp
(Litopenaeus vannamei) postlarvae. Aquaculture 234 (2004) 497-511
Pan BS, Lan CC, Hung TY. 1991. Changes in composition and proteolytic enzyme
activities of Artemia during early development. Comp. Biochem. Physiol.,
100A: 725-730
Parado-Estepa FD. 1998. Survival of Penaeus monodon postlarvae and juveniles at
different salinity and temperature levels. Isr. J. Aquacult. 504: 174–183.
118

Peters LD, Livingstone DR. 1996. Antioxidant enzyme activities in embriologic and
early larval stages of turbot. J Fish Biol. 49: 986-997.
Phatarpekar PV, Kenkre VD, Sreepada RA, Desai UM, Achuthankutty CT. 2002.
Bacterial flora associated with larval rearing of the giant freshwater prawn,
Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 203: 279-291
Ponce-Palafor J, Martinez-Palacios CA, Ross LG. 1997. The effects of salinity and
temperature on the growth and survival rates of juvenile white shrimp,
Penaeus vannamei, Boone, 1931. Aquaculture 157: 107–115.
Ritar AJ, Thomas CW, Beech A. 2002. Feeding Artemia and shellfish to phyllosoma
larvae of southern rock lobster (Jasus edwardsii). Aquaculture 212: 179-190
Romanova Z. 2000. Macrobrachium rosenbergii de Man. Institute of biology of the
southern seas, National Academy of Sciences of Ukraine 2, Nakhimov av.,
Sevastopol, 99011, Crimea, Ukraine.
Roustaian P, Kamaruddin MS, Omar HB, Saad CR, Ahmad MH. 2001.
Biochemical changes in freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii during
larval development. J. World Aqua. Soc. 32: 53-59.
Sang MH, Fotedar R. 2004. Growth, survival, hemolymph osmolality and
organosomatic indices of the western king prawn (Penaeus latisulcatus
Kishinouye, 1896) reared at different salinities. Aquaculture 234:601–614
Schuman K. 1998. Daphnia FAQ – Prototype. KS@lily.com [Juni 2002]
Sell AF. 1998. Adaptation to oxygen deficiency: Contrasting patterns of haemoglobin
synthesis in two coexisting Daphnia species. Comp. Biochem. Physiol. Part
A 120: 119–125
Shinn-Pyng Y, Sung TG, Chang CC, Cheng W, Kuo CM. 2005. Effect of an
organophosphorus insecticide, trichlorfon, on hematological parameters of
Macrobrachium rosenbergii (de Man). Aquaculture 243: 383-392.
Somanath B, Palavesam A, Lazarus S, Ayyappan M. 2000. Influence of nutrient
sources on specific dynamic action of pearl spot, Etroplus suratensis (Bloch).
Naga 23 (2): 15-17
Spivak ED. 2000. Effect of salinity on embryos of two southwestern atlantic estuarine
grapsid crab species cultured in vitro. J. Crust. Biol. 20 (4), 647-656
Spotts D. 2001. Introducing Macrobrachium rosenbergii. www.miami-
aquaculture.com. [Juni 2002]
Tacon AGJ. 1993. Feed ingredients for crustaceans: natural foods and processed
feedstufs. FAO Fisheries Circular No. 856. Rome
Tomasso JR, 1994. Toxicity of nitrogenous wastes to aquaculture animals. Rev. Fish.
Sci. 2: 291–314.
119

Uno Y, Soo KC. 1969. Larval development of Macrobrachium rosenbergii in the


laboratory. J. Tokyo Univ. Fish 55 (2): 179-190.
Valenti CW, Daniels W. 2000. Recirculation hatchery systems and management. In
New MB and Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture: the farming of
Macrobrachium rosenbergii, pp 69-90. Oxford, England, Blackwell Science.
van Stappen G. 2004. Lipovitelin from Artemia salina, biochemical analysis.
Laboratory of Artemia Reference Center University of Gent, Belgium. 75 pp
Wang WN, AL Wang, YJ Zhang, ZH Li, JX Wang, RY Sun. 2004. Effects of nitrite
on lehal and immune response of Macrobrachium nipponense. Aquaculture
232: 679-686.
Wang AL, Wang WN, Wang Y, Shang LX, Liu Y, Sun RY. 2003. Effect of dietary
vitamin C supplementation on the oxygen consumption, ammonia-N
excretion and Na+/K+ ATPase of Macrobrachium nipponense exposed to
ambient ammonia. Aquaculture 220: 833–841
Wilder MN, Ikuta K, Atmomarsono M, Hatta T, Komuro K. 1998. Changes in
osmotic and ionic concentrations in the hemolymph of Macrobrachium
rosenbergii exposed to varying salinities. Comp. Biochem. Physiol. - Part A,
119 (4): 941-950.
Willmer P, Stone G, Johnston I. 2000. Environmental physiology of animals.
Blackwell Science Ltd., Edinburgh. 644 pp
Winston GW, di Giulio RT. 1991. Prooxidant and antioxidant mechanisms in aquatic
organism. Aquat. Toxicol. 24: 143-152.
Young-Lai WW, Charmantier-Daures M, Charmantier G. 1991. Effect of ammonia
on survival and osmoregulation in different life stages of the lobster Homarus
americanus. Mar. Biol. 110: 293-300.
Zacharia S, Kakati VS, 2004. Optimal salinity and temperature for early
developmental stages of Penaeus merguiensis de Man. Aquaculture 232: 373-
382
Zimmermann S. 2000. Grow-out systems-polyculture and integrated culture. In New
MB dan Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture: the farming of
Macrobrachium rosenbergii, pp 187-202. Oxford, England, Blackwell
Science.
Zhu C, Dong S, Wang F, Huang G. 2004. Effects of Na/K ratio in seawater on
growth and energy budget of juvenile Litopenaeus vannamei. Aquaculture
234: 485–496
121

Lampiran 1. Nilai parameter kualitas air setiap perlakuan selama penelitian

Sistem 1
Minggu kesatu
Perlakuan Ulangan pH CO2 DO BOD5 NH3-N NO2 - N H2S

1 7,45 2,00 6,68 1,03 0,099 0,018 <0,001


I 2 7,44 2,00 7,09 1,22 0,098 0,018 <0,001
3 7,38 2,00 7,44 0,81 0,098 0,018 <0,001
1 7,37 2,00 6,68 0,61 0,097 0,012 <0,001
II 2 7,40 2,00 6,89 0,61 0,095 0,012 <0,001
3 7,40 2,00 6,48 0,81 0,095 0,012 <0,001
1 7,38 2,00 6,23 0,41 0,093 0,007 <0,001
III 2 7,47 2,00 7,09 0,41 0,096 0,007 <0,001
3 7,44 2,00 6,08 0,21 0,098 0,007 <0,001
1 7,44 2,00 6,68 2,03 0,092 0,014 <0,001
IV 2 7,44 2,00 6,89 0,81 0,091 0,014 <0,001
3 7,42 2,00 7,09 1,42 0,092 0,014 <0,001

Minggu kedua
Perlakuan Ulangan pH CO2 DO BOD5 NH3-N NO2 - N H2S

1 7,46 2,00 7,29 1,62 0,109 0,018 <0,001


I 2 7,84 2,00 7,09 2,23 0,095 0,018 <0,001
3 7,80 2,00 7,04 2,23 0,096 0,018 <0,001
1 7,85 2,00 7,84 2,23 0,096 0,012 <0,001
II 2 7,73 2,00 7,24 2,03 0,096 0,012 <0,001
3 7,75 2,00 6,83 3,24 0,097 0,012 <0,001
1 7,74 2,00 7,04 2,03 0,097 0,007 <0,001
III 2 7,76 2,00 7,09 2,23 0,097 0,007 <0,001
3 7,76 2,00 7,09 1,62 0,098 0,007 <0,001
1 7,77 2,00 6,89 2,63 0,095 0,014 <0,001
IV 2 7,76 2,00 7,60 2,23 0,094 0,014 <0,001
3 7,76 2,00 6,44 3,44 0,093 0,014 <0,001
122

Lanjutan Lampiran 1
Sistem 2
Minggu ketiga
Perlakuan Ulangan pH CO2 DO BOD5 NH3-N NO2 - N H2S

1 7,54 2,00 7,65 1,60 0.075 0.050 <0,001


I 2 7,58 2,00 7,04 0,60 0,075 0,045 <0,001
3 7,56 2,00 6,84 0,40 0,070 0,060 <0,001
1 7,67 2,00 7,65 1,60 0.070 0.040 <0,001
II 2 7,58 2,00 7,45 2,21 0,070 0,045 <0,001
3 7,53 2,00 7,65 1,60 0,070 0,040 <0,001
1 7,45 2,00 7,04 2,21 0.070 0.060 <0,001
III 2 7,47 2,00 7,04 2,21 0,075 0,055 <0,001
3 7,48 2,00 6,84 2,41 0,070 0,050 <0,001

1 7,52 2,00 7,04 1,00 0.072 0.050 <0,001


IV 2 7,60 2,00 7,04 0,60 0,070 0,045 <0,001
3 7,55 2,00 7,25 1,60 0,075 0,055 <0,001

Minggu keempat
Perlakuan Ulangan pH CO2 DO BOD5 NH3-N NO2 - N H2S

1 7,54 9,99 6,84 3,42 0.070 0.050 <0,001


I 2 7,58 15,98 5,64 3,23 0,080 0,045 <0,001
3 7,56 11,99 7,25 4,21 0,080 0,045 <0,001
1 7,67 7,99 6,64 1,81 0.070 0.045 <0,001
II 2 7,58 21,97 6,84 2,22 0,070 0,045 <0,001
3 7,53 7,99 6,64 3,43 0,070 0,050 <0,001
1 7,45 9,99 6,44 5,25 0.075 0.040 <0,001
III 2 7,47 9,99 6,64 4,61 0,075 0,040 <0,001
3 7,48 9,99 6,04 4,24 0,075 0,045 <0,001
1 7,52 11,99 6,04 3,63 0.075 0.045 <0,001
IV 2 7,60 9,99 5,84 1,20 0,070 0,045 <0,001
3 7,55 11,99 6,84 2,22 0,070 0,060 <0,001
123

Lanjutan Lampiran 1

Minggu kelima
Perlakuan Ulangan pH CO2 DO BOD5 NH3-N NO2 - N H2S

1 7,48 5,99 7,04 3,22 0.075 0.060 <0,001


I 2 7,52 5,99 7,45 3,22 0,070 0,035 <0,001
3 7,35 5,99 6,44 3,02 0,070 0,040 <0,001
1 7,38 5,99 6,84 3,62 0.075 0.040 <0,001
II 2 7,35 5,99 7,45 3,22 0,070 0,045 <0,001
3 7,28 9,99 7,25 3,02 0,075 0,040 <0,001
1 7,38 7,99 7,04 3,22 0.070 0.050 <0,001
III 2 7,38 5,99 7,25 3,62 0,070 0,055 <0,001
3 7,34 5,99 7,25 3,22 0,075 0,060 <0,001
1 7,32 5,99 6,84 3,82 0.070 0.045 <0,001
IV 2 7,29 5,99 6,24 3,42 0,070 0,050 <0,001
3 7,37 5,99 7,44 3,62 0,070 0,050 <0,001
124

Lampiran 2. Kemampuan regulasi osmotik (OH/OM) larva udang galah setiap


perlakuan selama penelitian

Perlakuan
Stadia Ulangan I II III IV
Stadia -1 1 2,31 2,31 2,31 2,31
2 2,31 2,31 2,31 2,31
3 2,31 2,31 2,31 2,31
rata-rata 2,31 2,31 2,31 2,31

Stadia -6 1 0,45 0,34 0,76 0,68


2 0,43 0,30 0,78 0,68
3 0,45 0,36 0,77 0,64
rata-rata 0,44 0,33 0,77 0,67

Stadia -8 1 0,73 0,77 0,80 0,63


2 0,70 0,78 0,81 0,56
3 0,72 0,76 0,79 0,62
rata-rata 0,72 0,77 0,80 0,60

Stadia-11 1 0,96 1,24 1,29 1,29


2 0,97 1,27 1,32 1,27
3 0,98 1,24 1,30 1,27
rata-rata 0,97 1,25 1,30 1,28
125

Lampiran 3. Hasil analisis keragaman kemampuan regulasi osmotik larva setiap


perlakuan selama penelitian

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6
Sumber derj
Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman bebas
Perlakuan 0,361 3 0,120 283,033 0,000

Galat 0,003 8 0,000

Total 0,364 11

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
Nilai alpha = 0,05
Perlakuan N
1 2 3 4
2 3 0,3333
1 3 0,4433
4 3 0,6667
3 3 0,7700
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8
Sumber derj
Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman bebas
Perlakuan 0,067 3 0,022 48,208 0,000
Galat 0,004 8 0,000
Total 0,071 11

Uji lanjut Duncan


Stadia 8
Nilai alpha = 0,05
Perlakuan N
1 2 3
4 3 0,6033
1 3 0,7167
2 3 0,7700
3 3 0,8000
Sig. 1,000 1,000 0,127
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
126

Lanjutan Lampiran 3

TABEL SIDIK RAGAM


stadia 11
derj
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Sig.
bebas
Perlakuan 0,216 3 0,072 375,420 0,000
Galat 0,002 8 0,000
Total 0,217 11

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
Nilai alpha = 0,05
Perlakuan N
1 2 3 4
1 3 0,9700
2 3 1,2500
4 3 1,2767
3 3 1,3033
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
130

Lampiran 6. Visualisasi tahap perkembangan larva sampai pascalarva udang galah


Lampiran 7. Lama waktu perkembangan stadia larva antar perlakuan selama penelitian

Perlakuan 1
Ulangan Stadia Larva (S)
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11
Development 1 24.00 41.14 74.29 120.00 162.78 232.94 243.79 298.91 326.40 416.73 449.00
Time 2 24.00 33.60 70.91 120.00 184.00 234.00 268.80 297.60 316.36 428.80 424.94
3 24.00 39.00 74.67 123.69 178.56 248.57 267.43 303.43 322.67 432.00 440.00
Rata-rata 24.00 37.91 73.29 121.23 175.11 238.50 260.01 299.98 321.81 425.84 437.98

Perlakuan 2
Ulangan Stadia Larva (S)
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11
Development 1 24.00 33.60 76.80 133.09 128.73 246.86 297.00 316.00 312.00 424.00 497.68
Time 2 24.00 48.00 68.57 138.46 129.23 242.53 258.00 304.00 326.40 422.67 496.94
3 24.00 44.00 76.57 141.82 140.57 240.00 285.60 320.00 312.00 420.00 498.86
Rata-rata 24.00 41.87 73.98 137.79 132.84 243.13 280.20 313.33 316.80 422.22 497.83

Perlakuan 3
Ulangan Stadia Larva (S)
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11
Development 1 24.00 40.00 78.46 114.00 171.60 191.25 259.20 278.00 314.67 420.71 477.71
Time 2 24.00 36.00 76.17 118.74 162.00 206.77 240.00 264.00 321.00 419.08 477.82
3 26.67 52.00 83.00 124.80 173.33 218.53 262.40 268.80 325.33 422.67 480.00
Rata-rata 24.89 42.67 79.21 119.18 168.98 205.52 253.87 270.27 320.33 420.82 478.51

Perlakuan 4
Ulangan Stadia Larva (S)
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11
Development 1 24.00 51.00 84.86 142.29 206.40 228.00 312.00 330.00 354.67 451.20 441.00
Time 2 24.00 61.71 88.36 145.60 192.00 270.67 310.00 331.64 352.80 448.80 436.80
3 24.00 37.71 82.40 140.31 194.40 219.20 312.00 326.00 352.00 454.00 451.76
Rata-rata 24.00 50.14 85.21 142.73 197.60 239.29 311.33 329.21 353.16 451.33 443.19

131
132

Lampiran 8. Analisis keragaman lama waktu perkembangan stadia larva sampai


pascalarva udang galah setiap perlakuan selama penelitian

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 1
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 1,77777778 3 0,59259259 1,00 0,4411*

Galat 1,77777778 8 0,59259259

Total 6,51851852 11
* tidak berbeda nyata

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 2
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 234,5798639 3 78,1932880 1,10 0,4036*

Galat 568,4908844 8 71,0613605

Total 803,0707483 11
* tidak berbeda nyata

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 3
Kuadrat
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas F Sig.
Tengah
Perlakuan 275,2422122 3 91,7474041 7,76 0,0094**

Galat 275,2422122 8 11,8230021

Total 369,8262292 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 3
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2

1 3 73,287
2 3 73,981
3 3 79,212
4 3 85,207
Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
133

lanjutan Lampiran 8

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 4
Sumber derj
Keragaman Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Sig.
bebas
Perlakuan 1249,641149 3 416,547050 27,59 0,0001**

Galat 120,762471 8 15,095309

Total 1370,403621 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 4
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2

3 3 119,179
1 3 21,231
2 3 137,790
4 3 142,731
Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 5
Sumber derj
Keragaman Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Sig.
bebas
Perlakuan 6486,374467 3 2162,124822 32,87 <0,0001**

Galat 526,191450 8 65,773931

Total 7012,565917 11
** berbeda nyata
134

lanjutan Lampiran 8

Uji lanjut Duncan


Stadia 5
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
2 3 132,843
3 3 168,978
1 3 175,114
4 3 197,600
Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6
Kuadrat
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas F Sig.
Tengah
Perlakuan 2760,285094 3 920,095031 3,56 0,0670**

Galat 2066,562119 8 258,320265

Total 4826,847214 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2

3 3 205,52
1 3 238,50
4 3 239,29
2 3 243,13
Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
135

lanjutan Lampiran 8

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 7
Kuadrat
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas F Sig.
Tengah
Perlakuan 6033,846673 3 2011,282224 10,76 0,0035**

Galat 1495,858062 8 186,982258

Total 7529,704735 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 7

Nilai alpha = 0.05


Perlakuan N
1 2

3 3 253,87
1 3 260,01
2 3 280,20
4 3 311,33
Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8
Kuadrat
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas F Sig.
Tengah
Perlakuan 5622,878217 3 1874,292739 54,44 <0,0001**

Galat 275,412650 8 34,426581

Total 5898,290866 11
**berbeda nyata
136

lanjutan Lampiran 8

Uji lanjut Duncan


Stadia 8
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
3 3 270,267
1 3 299,979
2 3 313,333
4 3 329,212
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 9
Kuadrat
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas F Sig.
Tengah
Perlakuan 2565,996459 3 855,332153 27,26 0,0001**

Galat 251,005595 8 31,375699

Total 2817,002054 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 9
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2

2 3 316,800
3 3 320,333
1 3 321,810
4 3 353,156
Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
137

Lanjutan Lampiran 8

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 10

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 1851,647154 3 617,215718 31,24 <0,0001**

Galat 158,053425 8 19,756678

Total 2009,700579 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 10
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2

3 3 420,816
2 3 422,222
1 3 425,842
4 3 451,333
Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 11

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 7393,338630 3 2464,446210 46,95 <0,0001**

Galat 419,883627 8 52,485453

Total 7813,222257 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
1 3 437,980
4 3 443,188
3 3 478,511
2 3 497,828
Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
138

Lampiran 9. Lama waktu keberadaan stadia larva sampai pasca larva udang galah
setiap perlakuan selama penelitian

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
1 24 24 24 24
S-1 2 24 24 24 24
3 24 24 48 24
rata-rata 24 24 32 24

1 48 48 48 96
S-2 2 48 24 48 96
3 48 48 72 72
rata-rata 48 40 56 88

1 72 72 96 96
S-3 2 72 72 96 96
3 72 72 96 96
rata-rata 72 72 96 96

1 72 96 120 96
S-4 2 72 96 120 96
3 72 96 120 96
rata-rata 72 96 120 96

1 168 96 144 120


S-5 2 168 96 144 120
3 144 72 144 120
rata-rata 160 88 144 180

1 216 216 264 192


S-6 2 216 216 264 192
3 240 192 240 192
rata-rata 224 208 256 192
139

Lanjutan Lampiran 9

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
1 216 192 240 192
S-7 2 216 192 240 192
3 216 192 240 192
rata-rata 216 192 240 192

1 192 120 216 192


S-8 2 192 120 216 192
3 192 120 216 192
rata-rata 192 120 216 192

1 192 72 168 168


S-9 2 192 96 168 168
3 192 72 144 168
rata-rata 192 80 160 168

1 192 120 144 168


S-10 2 192 120 144 168
3 192 120 144 168
rata-rata 192 120 144 168

1 240 144 168 168


S-11 2 192 144 168 192
3 264 144 168 264
rata-rata 232 144 168 208
140

Lampiran 10. Hasil analisis keragaman lama waktu keberadaan stadia larva sampai
pasca larva udang galah setiap perlakuan selama penelitian

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 1
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 144,00 3 48,000 1,00 0,4411*

Galat 384,000 8 48,000

Total 528,0000 11
* tidak berbeda nyata

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 2
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 3984,000 3 1328,000 9,22 0,0056**

Galat 1152,000 8 144,000

Total 5136,000 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 2
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2

2 3 40,000
1 3 48,000
3 3 56,000
4 3 88,000
Sig. 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 3

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 1728,000 3 576,000 Infinity <0,0001**

Galat 0,000 8 0,000

Total 1728,000 11
**berbeda nyata
141

lanjutan Lampiran 10
Uji lanjut Duncan
Stadia 3
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2

2 3 72,000
1 3 72,000
4 3 96,000
3 3 96,000
Sig. 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 4
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 3456,000 3 1152,000 Infinity <0,0001**

Galat 0,000 8 0,000

Total 3456,000 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 4
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
1 3 72,000
4 3 96,000
2 3 96,000
3 3 120,000
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 5
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 8832,000 3 2944,000 30,67 <0,0001**

Galat 768,000 8 96,000

Total 9600,000 11
** berbeda nyata
142

lanjutan Lampiran 10
Uji lanjut Duncan
Stadia 5
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
2 3 88,000
4 3 120,000
3 3 144,000
1 3 160,000
Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 6720,000 3 2240,000 15,56 0.0011**

Galat 1152,000 8 144,000

Total 7872,000 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
4 3 192,000
2 3 208,000
1 3 224,000
3 3 256,000
Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 7

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 4752,000 3 1584,000 Infinity <0,0001**

Galat 0,000 8 0,000

Total 4752,000 11
**berbeda nyata
143

lanjutan Lampiran 10

Uji lanjut Duncan


Stadia 7
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
4 3 192,000
2 3 192,000
1 3 216,000
3 3 240,000
Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 15552,000 3 5184,000 Infinity <0,0001**

Galat 0,000 8 0,000

Total 15552,000 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 8
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
2 3 120,0
1 3 192,0
4 3 192,0
3 3 216,0
Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
144

lanjutan Lampiran 10

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 9

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 21264,000 3 7088,000 73,83 <0,0001**

Galat 768,000 8 96,000

Total 22032,000 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 9
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
2 3 80,000
3 3 160,000
4 3 168,000
1 3 192,000
Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 10

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 8640,000 3 2880,000 Infinity <0,0001**

Galat 0,000 8 0,000


8640,000
Total 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 10
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
2 3 120,0
3 3 144,0
4 3 168,0
1 3 192,0
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
145

lanjutan Lampiran 10

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 11

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 14016,000 3 4672,000 4,87 0,0327**

Galat 7680,000 8 960,000

Total 21696,000 11
**berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
2 3 144,000
3 3 168,000
4 3 208,000
1 3 232,000
Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
146

Lampiran 11. Hasil perhitungan rekrutmen, lost dan sintasan larva udang galah
setiap perlakuan selama penelitian

Perlakuan 1

Tmax L^ DT
Stadia Nmax R L S (%)
(jam) (jam) (jam)
1 8 24 24 24 6.745 1 85.1742
2 5 48 48 41.14286 6.295 1 84.11438
3 9 72 72 74.28571 8.723077 1 88.53616
4 4 120 72 120 8.06 1 87.59305
5 5 144 168 162.7826 4.89 1 79.5501
6 3 168 216 232.9412 6.995 1 85.70407
7 5 192 216 243.7895 7.5 0 100
8 3 264 192 298.9091 3.974 0 100
9 2 312 192 326.4 6.816 0 100
10 2 384 192 416.7273 4.842932 1 79.35135
11 4 432 240 449 3.848552 0 100

Perlakuan 2

Tmax L^ DT
Stadia Nmax R L S (%)
(jam) (jam) (jam)
1 8 24 24 24 9.965 1 89.96488
2 3 24 48 33.6 9 1 88.88889
3 8 72 72 76.8 8.5 1 88.23529
4 4 120 96 133.0909 9.8 1 89.79592
5 5 120 96 128.7273 8.01 1 87.51561
6 3 216 216 246.8571 9.9 1 89.89899
7 2 264 192 297 6.35 1 84.25197
8 2 336 120 316 7.138 0 100
9 1 336 72 312 8.4 1 88.09524
10 5 384 120 424 7.06345 0 100
11 5 504 144 497.6842 9.98 0 100
147

Lanjutan Lampiran 11

Perlakuan 3

Tmax L^ DT
Stadia Nmax R L S (%)
(jam) (jam) (jam)
1 8 24 24 24 9.9 1 89.89899
2 2 48 48 40 8.8 0 100
3 8 48 96 78.46154 8.262 0 100
4 3 96 120 114 9.999 1 89.999
5 5 144 144 171.6 7.848993 1 87.25951
6 4 192 264 191.25 9 1 88.88889
7 2 216 240 259.2 7.89 2 74.65146
8 2 264 216 278 9.999 0 100
9 2 384 168 314.6667 5.986 1 83.29435
10 5 408 144 420.7059 9.999 0 100
11 5 504 168 477.7143 5.27512 0 100

Perlakuan 4

Tmax L^ DT
Stadia Nmax R L S (%)
(jam) (jam) (jam)
1 6 24 24 24 9 0 100
2 3 24 96 51 9 0 100
3 8 72 96 84.85714 9 0 100
4 7 144 96 142.2857 10 1 90
5 5 192 120 206.4 10 1 90
6 4 216 192 228 8 1 87.5
7 2 288 192 312 6 0 100
8 3 312 192 330 6 0 100
9 3 336 168 354.6667 5 1 80
10 3 504 168 451.2 4 0 100
11 4 456 168 441 3 0 100
148

Lanjutan Lampiran 11

Sintasan larva udang galah setiap perlakuan selama penelitian

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
Stadia 6 1 85,60 90,00 89,10 87,80
2 86,00 91,00 88,86 87,60
3 85,50 88,70 88,71 87,10
rata-rata 85,70 89,90 88,89 87,50

Stadia 8 1 75,21 86,00 90,10 84,00


2 74,40 85,16 91,00 82,80
3 74,90 86,80 88,90 83,20
rata-rata 74,84 85,99 90,00 83,33

Stadia 11 1 100,00 89,19 100,00 100,00


2 100,00 90,27 100,00 100,00
3 100,00 90,48 100,00 100,00
rata-rata 100,00 89,98 100,00 100,00
149

Lampiran 12. Hasil analisis keragaman perhitungan rekrutmen, lost dan sintasan
larva udang galah setiap perlakuan selama penelitian

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 29,821 3 9,940 25,338 0,000**

Galat 3,138 8 0,392

Total 32,959 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
N Nilai alpha = 0.05
Perlakuan 1 2 3
1 85,70000 85,70000
4 87,50000
3 88,88900
2 89,90000
Sig. 1,000 1,000 0,083 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 370,487 3 123,496 212,356 0,000**

Galat 4,652 8 0,582

Total 375,139 11

** berbeda nyata
150

Lanjutan Lampiran 12
Uji lanjut Duncan
Stadia 8
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
1 3 74,83667
4 3 83,33333
2 3 85,98667
3 3 89,99900
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 11

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 225,901 3 75,300 628,681 0,000**

Galat 0,958 8 0,120

Total 226,859 11

** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2

2 3 89,98000
1 3 100,00000
3 3 100,00000
4 3 100,00000
Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
151

Lampiran 13. Hasil pengukuran produksi kelimpahan larva dan pascalarva udang
galah pada akhir sistem I dan II

Stadia/PL Ulangan Perlakuan


I II III IV
Stadia 6 1 375 496 630 710
2 380 500 628 706
3 370 498 623 708
rata-rata 375 498 627 708

Stadia 8 1 376 422 470 710


2 380 416 466 712
3 378 419 468 702
rata-rata 378 419 468 708

Stadia 11 1 320 380 400 580


2 290 360 380 600
3 290 370 390 530
rata-rata 300 370 390 570

PL-1 1 320 380 400 561


2 300 360 410 560
3 280 370 360 580
rata-rata 300 370 390 567
152

Lampiran 14. Hasil analisis keragaman produksi kelimpahan larva dan pascalarva
udang galah pada akhir sistem I dan II

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 192618,000 3 64206,000 5583,130 0,000**

Galat 92,000 8 11,500

Total 192710,000 11

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
1 3 375,000
2 3 498,000
3 3 627,000
4 3 708,000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 196652,250 3 65550,750 5826,733 0,000**

Galat 90,000 8 11,250

Total 196742,250 11
153

Lanjutan Lampiran 14
Uji lanjut Duncan
Stadia 8
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
1 3 378,000
2 3 419,000
3 3 468,000
4 3 708,000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 11

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 119025,000 3 39675,000 88,167 0,000**

Galat 3600,000 8 450,000

Total 122625,000 11

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
1 3 300,000
2 3 370,000
3 3 390,000
4 3 570,000
Sig. 1,000 0,282 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
154

Lanjutan Lampiran 14

TABEL SIDIK RAGAM


PL-1

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 116120,250 3 38706,750 116,674 0,000**

Galat 2654,000 8 331,750

Total 118774,250 11

Uji lanjut Duncan


PL-1
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
1 3 300,000
2 3 370,000
3 3 390,000
4 3 567,000
Sig. 1,000 0,216 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
155

Lampiran 15. Tingkat konsumsi energi pakan harian (Artemia salina) larva
(kalori/larva/hari)setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi
dan perkembangan akhir

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
Stadia -6 1 5,1721 4,5630 5,2148 6,0377
2 5,1614 4,5095 5,1721 6,0056
3 5,1828 4,5042 5,1293 5,4125
rata-rata 5,1721 4,5256 5,1721 5,8186

Stadia -8 1 7,7688 6,3582 10,3335 8,5489


2 7,7047 6,4651 10,2801 9,4572
3 7,8009 6,5720 10,4190 9,1473
rata-rata 7,7581 6,4651 10,3442 9,0511

Stadia-11 1 8,5489 12,8900 19,3600 18,1040


2 9,4572 12,9400 19,3580 18,1020
3 9,1473 12,9500 19,3600 18,1000
rata-rata 9,0511 12,9267 19,3593 18,1020
156

Lampiran 16. Hasil analisis keragaman tingkat konsumsi energi pakan harian
(Artemia salina) larva (kalori/larva/hari)setiap perlakuan pada tahap
eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 2,508 3 0,836 26,341 0,000**

Galat 0,254 8 0,032

Total 2,762 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
N Nilai alpha = 0.05
Perlakuan 1 2 3
2 3 4,525567
3 3 5,172067
1 3 5,172100
4 3 5,818600
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 25,079 3 8,360 144,179 0,000**

Galat 0,464 8 0,058

Total 25,543 11

** berbeda nyata
157

Lanjutan Lampiran 16
Uji lanjut Duncan
Stadia 8
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
2 3 6,465100
1 3 7,758133
4 3 9,051133
3 3 10,344200
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 11

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 73,431 3 24,477 91788,203 0,000**

Galat 0,002 8 0,000

Total 73,433 11

** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
N Nilai alpha =0.05
Perlakuan
1 2 3 4
2 3 12,926667

1 3 15,516000

4 3 18,102000

3 3 19,359333

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
158

Lampiran 17a. Konsumsi energi rutin per bobot larva udang galah setiap perlakuan
pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir
(kalori O2/mg bobot basah larva per jam)
(konversi O2 terhadap energi pada metabolisme, 1 ml O2 = 20,04 Joule
(Somanatth et al, 2000)/ 1 calori = 4,184 Joule)

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
1 0.6206 0.6262 0.5942 0.5974
S-6 2 0.6184 0.6225 0.5923 0.5985
3 0.6194 0.6221 0.5963 0.5966
rata-rata 0.6195 0.6236 0.5943 0.5975

1 0.4831 0.4682 0.4619 0.5328


S-8 2 0.4835 0.4676 0.4610 0.5461
3 0.4813 0.4676 0.4610 0.5350
rata-rata 0.4826 0.4678 0.4613 0.5380

1 0.2272 0.2492 0.3722 0.2761


S-11 2 0.2235 0.2485 0.3736 0.2759
3 0.2277 0.2492 0.3722 0.2763
rata-rata 0.2261 0.2490 0.3727 0.2761

Lampiran 17b. Konsumsi energi rutin per bobot larva udang galah setiap perlakuan
pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir
(kalori O2/larva per jam)

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
1 0.0629 0.0565 0.0820 0.0721
S-6 2 0.0629 0.0568 0.0816 0.0721
3 0.0633 0.0552 0.0830 0.0717
rata-rata 0.0630 0.0562 0.0822 0.0720

1 0.1250 0.1449 0.1460 0.1220


S-8 2 0.1252 0.1457 0.1465 0.1257
3 0.1258 0.1457 0.1465 0.1230
rata-rata 0.1253 0.1454 0.1463 0.1236

1 0.1875 0.1920 0.1810 0.2000


S-11 2 0.1840 0.1910 0.1820 0.2006
3 0.1880 0.1920 0.1810 0.2012
rata-rata 0.1865 0.1917 0.1813 0.2006
159

Lampiran 17c. Konsumsi oksigen Basal larva udang galah setiap perlakuan pada
tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir (mg/l per mg bobot
basah larva)

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
Stadia-6 1 0,178 0,186 0,179 0,184
2 0,180 0,184 0,176 0,188
3 0,176 0,184 0,176 0,187
rata-rata 0,178 0,185 0,177 0,186

Stadia-8 1 0,144 0,141 0,140 0,158


2 0,146 0,136 0,138 0,162
3 0,142 0,136 0,138 0,159
rata-rata 0,144 0,138 0,139 0,160

Stadia-11 1 0,067 0,075 0,110 0,079


2 0,068 0,074 0,112 0,086
3 0,066 0,074 0,112 0,082
rata-rata 0,067 0,074 0,111 0,082
160

Lampiran 17d. Konsumsi oksigen dengan pakan larva udang galah setiap perlakuan
pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir (mg/l per
mg bobot basah larva)

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
Stadia-6 1 0,296 0,302 0,289 0,309
2 0,289 0,302 0,289 0,307
3 0,292 0,303 0,291 0,306
rata-rata 0,292 0,303 0,290 0,307

Stadia-8 1 0,215 0,211 0,209 0,236


2 0,218 0,203 0,206 0,242
3 0,212 0,203 0,206 0,238
rata-rata 0,215 0,206 0,207 0,239

Stadia-11 1 0,081 0,090 0,131 0,094


2 0,081 0,089 0,134 0,103
3 0,079 0,088 0,134 0,098
rata-rata 0,080 0,089 0,133 0,098
161

Lampiran 17e Hasil penghitungan CO2 basal larva udang galah

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
Stadia-6 1 0,155 0,144 0,157 0,165
2 0,156 0,148 0,154 0,168
3 0,152 0,142 0,159 0,164
rata-rata 0,154 0.145 0,157 0,166

Stadia-8 1 0,114 0,106 0,118 0,136


2 0,116 0,104 0,122 0,128
3 0,118 0,107 0,120 0,132
rata-rata 0,116 0,106 0,120 0,132

Stadia-11 1 0,049 0,052 0,090 0,066


2 0,059 0,060 0,094 0,062
3 0,055 0,056 0,095 0,072
rata-rata 0,054 0,056 0,093 0,067
162

Lampiran 17f. Hasil penghitungan CO2 dengan pakan larva udang galah

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
Stadia-6 1 0,247 0,260 0,236 0,260
2 0,242 0,266 0,239 0,266
3 0,252 0,259 0,240 0,262
rata-rata 0,247 0,262 0,238 0,263

Stadia-8 1 0,174 0,176 0,160 0,194


2 0,170 0,164 0,165 0,188
3 0,171 0,178 0,158 0,196
rata-rata 0,172 0,173 0,161 0,193

Stadia-11 1 0,060 0,071 0,100 0,077


2 0,062 0,073 0,096 0,080
3 0,059 0,066 0,106 0,070
rata-rata 0],060 0,070 0,101 0,076
163

Lampiran 17g. Hasil penghitungan RQ larva udang galah

Basal

Stadia Perlakuan
I II III IV
Stadia 6 0,86 0,79 0,89 0,89

Stadia 8 0,83 0,78 0,87 0,83

Stadia 11 0,81 0,75 0,83 0,81

dengan pakan

Stadia Perlakuan
I II III IV
Stadia 6 0,84 0,87 0,82 0,85

Stadia 8 0,80 0,84 0,78 0,81

Stadia 11 0,74 0,79 0,76 0,77


164

Lampiran 18a. Hasil analisis keragaman pengukuran konsumsi oksigen larva udang
galah setiap perlakuan selama penelitian (kalori O2/mg bobot basah
larva per jam)

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 0,002 3 0,001 239,107 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,002 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
3 3 0,594267
1 3 0,597500
2 3 0,619467
4 3 0,623600
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 0,011 3 0,004 277,262 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,011 11
** berbeda nyata
165

Lanjutan Lampiran 18a


Uji lanjut Duncan
Stadia 8
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
2 3 0,461300
3 3 0,467800
1 3 0,482633
4 3 0,537967
Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 11
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 0,037 3 0,012 8145,927 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,037 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
1 3 0,226133
2 3 0,248967
4 3 0,276100
3 3 0,372667
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
166

Lampiran 18b. Hasil analisis keragaman pengukuran konsumsi oksigen larva udang
galah setiap perlakuan selama penelitian (kalori O2/larva per jam)

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 0,001 3 0,000 1130.676 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,001 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
2 3 0,056167
1 3 0,063033
4 3 0,071967
3 3 0,082200
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 0,001 3 0,000 446,471 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,001 11
** berbeda nyata
167

Lanjutan Lampiran 18b


Uji lanjut Duncan
Stadia 8

Nilai alpha = 0.05


Perlakuan N
1 2

4 3 0,123567
1 3 0,125333
2 3 0,145433
3 3 0,146333
Sig. 0,066 0,310

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 11
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 0,001 3 0,000 140,217 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,001 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
3 3 0,181333
1 3 0,186500
2 3 0,191667
4 3 0,200600
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
168

Lampiran 19. Potensi tumbuh larva udang galah setiap perlakuan


(kalori /mg bobot larva per hari)

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
1 5,1092 4,5065 5,1328 5,9655
S-6 2 5,0985 4,4528 5,0905 5,9335
3 5,1194 4,4490 5,0463 5,3408
rata-rata 5,1090 4,4694 5,0899 5,7466

1 7,6438 6,2133 10,1875 8,4269


S-8 2 7,5795 6,3194 10,1336 9,3315
3 7,6751 6,4263 10,2725 9,0243
rata-rata 7,6328 6,3197 10,1979 8,9276

1 15,3305 12,6980 19,1790 17,9040


S-11 2 15,3260 12,7490 19,1760 17,9014
3 15,3320 12,7580 19,1790 17,8988
rata-rata 15,3295 12,7350 19,1780 17,9014
169

Lampiran 20. Hasil analisis keragaman potensi tumbuh larva udang galah setiap
perlakuan

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 2,448 3 0,816 25,741 0,000**

Galat 0,254 8 0,032

Total 2,701 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
2 3 4,469433
3 3 5,089867
1 3 5,109033
4 3 5,746600
Sig. 1,000 0,898 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 25,077 3 8,359 145,236 0,000**

Galat 0,460 8 0,058

Total 25,537 11
** berbeda nyata
170

Lanjutan Lampiran 20
Uji lanjut Duncan
Stadia 8
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
2 3 6,319667
1 3 7,632800
4 3 8,927567
3 3 10,197867
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 11
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 73,493 3 24,498 91879,774 0,000**

Galat 0,002 8 0,000

Total 73,495 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
2 3 12,7350
1 3 15,3295
4 3 17,9014
3 3 19,1780
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
171

Lampiran 21. Hasil pengukuran bobot stadia larva antar perlakuan selama
penelitian

Stadia Ulangan Perlakuan


I II III IV
Stadia 6 1 4,220 3,760 5,750 5,030
2 4240 3,800 5,740 5,020
3 4,260 3,700 5,800 5,010
rata-rata 4,240 3,753 5,763 5,020

Stadia 8 1 10,780 12,900 13,172 9,540


2 10,790 12,980 13,240 9,590
3 10,890 12,980 13,240 9,580
rata-rata 10,820 12,953 13,217 9,570

Stadia 11 1 34,380 32,100 20,260 30,180


2 34,300 32,020 20,300 30,300
3 34,400 32,100 20,260 30,340
rata-rata 34,360 32,073 20,273 30,273
172

Lampiran 22. Hasil analisis keragaman bobot stadia larva antar perlakuan selama
penelitian

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 6

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 7,022 3 2,341 2302,347 0,000**

Galat 0,008 8 0,001

Total 7,030 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 6
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
2 3 3,75333
1 3 4,24000
4 3 5,02000
3 3 5,76333
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 8

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 27,510 3 9,170 4542,664 0,000**

Galat 0,016 8 0,002

Total 27,527 11

** berbeda nyata
173

Lanjutan Lampiran 22
Uji lanjut Duncan
Stadia 8
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
4 3 9,57000
1 3 10,82000
2 3 12,95333
3 3 13,21733
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


Stadia 11

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 347,133 3 115,711 37326,118 0,000**

Galat 0,025 8 0,003

Total 347,158 11

** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


Stadia 11
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
3 3 20,27333
4 3 30,27333
2 3 32,07333
1 3 34,36000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
174

Lampiran 23. Tingkat konsumsi energi pakan harian (Daphnia sp.) pascalarva
sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan
larva

PL Ulangan Perlakuan
I II III IV
PL-1 1 7,6009 18,3689 22,1694 21,7169
2 10,0079 20,5570 21,8622 21,4568
3 7,4891 21,7471 17,2288 19,2992
rata-rata 8,3660 20,2243 20,4201 20,8243

PL-7 1 19,1751 38,3213 43,7656 41,6500


2 20,3958 41,8051 41,5939 40,7758
3 18,6670 41,0872 39,2714 41,4488
rata-rata 19,4126 40,4045 41,5436 41,2915

PL-14 1 38,9547 40,4939 40,8930 41,2103


2 39,9048 40,4844 40,4711 41,3870
3 38,0046 40,5509 41,3281 41,3490
rata-rata 38,9547 40,5097 40,8974 41,3154
175

Lampiran 24. Hasil analisis keragaman tingkat konsumsi energi pakan harian
(Daphnia sp.) pascalarva setiap perlakuan selama penelitian

TABEL SIDIK RAGAM


PL 1
Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman
Perlakuan 331,272 3 110,424 30,706 0,000**

Galat 28,769 8 3,596

Total 360,041 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL 1
N Nilai alpha =0,05
Perlakuan
1 2
1 3 8,365967
2 3 20,224333
3 3 20,420133
4 3 20,824300
Sig. 1,000 0,720
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL 7
Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 1058,456 3 352,819 149,591 0,000**

Galat 18,868 8 2,359

Total 1077,325 11
** berbeda nyata
176

Lanjutan Lampiran 24

Uji lanjut Duncan


PL 7
Nilai alpha = 0,05
Perlakuan N
1 2
1 3 19,412633
2 3 40,404533
4 3 41,291533
3 3 41,543633
Sig. 1,000 0,409
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL 14
Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 9,555 3 3,185 11,621 0,003**

Galat 2,193 8 0,274

Total 11,747 11

** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL 14
Nilai alpha = .05
N
Perlakuan
1 2
1 3 38,954700
2 3 40,509733
3 3 40,897400
4 3 41,315433
Sig. 1,000 0,108
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
177

Lampiran 25a. Konsumsi oksigen Basal pascalarva udang galah sebagai respon dari
perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva (mg/l per mg
bobot basah PL)

PL Ulangan Perlakuan
I II III IV
PL-1 1 0,056 0,054 0,059 0,052
2 0,056 0,044 0,064 0,056
3 0,064 0,049 0,057 0,054
rata-rata 0,059 0,049 0,060 0,054

PL-7 1 0,0038 0,0100 0,0060 0,0110


2 0,0043 0,0120 0,0046 0,0140
3 0,0038 0,0110 0,0044 0,0119
rata-rata 0,0040 0,0110 0,0050 0,0123

PL-14 1 0,00020 0,000036 0,00021 0,00172


2 0,00019 0,000038 0,00022 0,00170
3 0,00021 0,000036 0,00020 0,00173
rata-rata 0,00020 0,000037 0,00021 0,00172
178

Lampiran 25b. Konsumsi oksigen dengan pakan pascalarva udang galah sebagai
respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva (mg/l
per mg bobot basah PL)

PL Ulangan Perlakuan
I II III IV
PL-1 1 0,071 0,071 0,091 0,067
2 0,071 0,058 0,098 0,072
3 0,076 0,066 0,088 0,070
rata-rata 0,072 0,065 0,092 0,070

PL-7 1 0,0058 0,0157 0,0111 0,0170


2 0,0065 0,0189 0,0085 0,0217
3 0,0054 0,0177 0,0081 0,0184
rata-rata 0,0059 0,0175 0,0092 0,0190

PL-14 1 0,0007 0,0001 0,0009 0,0059


2 0,0006 0,0001 0,0009 0,0059
3 0,0007 0,0001 0,0008 0,0060
rata-rata 0,0007 0,0001 0,0009 0,0059
179

Lampiran 25c. Konsumsi energi Basal pascalarva udang galah sebagai respon dari
perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva (kalori 02/mg
bobot basah PL per jam)
(konversi O2 terhadap energi pada metabolisme, 1 ml O2 = 20,04 Joule
(Somanatth et al, 2000)/ 1 calori = 4,184 Joule)

PL Ulangan Perlakuan
I II III IV
PL-1 1 0,1989 0,2108 0,1639 0,1808
2 0,1989 0,1899 0,1674 0,1814
3 0,2001 0,2004 0,1612 0,1812
rata-rata 0,1993 0,2004 0,1642 0,1811

PL-7 1 0,0136 0,0370 0,0156 0,0396


2 0,0137 0,0385 0,0154 0,0400
3 0,0136 0,0372 0,0153 0,0396
rata-rata 0,0136 0,0376 0,0154 0,0397

PL-14 1 0,0066 0,0012 0,0070 0,0577


2 0,0065 0,0012 0,0072 0,0573
3 0,0067 0,0012 0,0069 0,0579
rata-rata 0,0066 0,0012 0,0070 0,0576
180

Lampiran 25d. Konsumsi energi Basal pascalarva udang galah sebagai respon dari
perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva (kalori 02/ PL
per hari)
(konversi O2 terhadap energi pada metabolisme, 1 ml O2 = 20,04 Joule
(Somanatth et al, 2000)/ 1 calori = 4,184 Joule)

PL Ulangan Perlakuan
I II III IV
PL-1 1 0.2148 0.2192 0.1505 0.1715
2 0.2100 0.1977 0.1539 0.1719
3 0.2209 0.2084 0.1483 0.1718
rata-rata 0.2152 0.2084 0.1509 0.1717

PL-7 1 0.0396 0.0805 0.0446 0.0860


2 0.0400 0.0840 0.0440 0.0868
3 0.0396 0.0810 0.0438 0.0859
rata-rata 0.0397 0.0818 0.0441 0.0862

PL-14 1 0.0340 0.0075 0.0360 0.2080


2 0.0336 0.0080 0.0370 0.2068
3 0.0346 0.0078 0.0358 0.2090
rata-rata 0.0341 0.0078 0.0363 0.2079
181

Lampiran 25e. Hasil penghitungan CO2 basal pascalarva udang galah

PL Ulangan Perlakuan
I II III IV
PL-1 1 0,040 0,042 0,052 0,036
2 0,050 0044 0,051 0,044
3 0,044 0,050 0,058 0,046
rata-rata 0,045 0,045 0,054 0,042

PL-7 1 0,0025 0,0120 0,0050 0,0094


2 0,0034 0,0084 0,0046 0,0086
3 0,0032 0,0096 0,0038 0,0107
rata-rata 0,0030 0,0100 0,0045 0,0096

PL-14 1 0,00014 0,00004 0,00018 0,00130


2 0,00018 0,00002 0,00024 0,00134
3 0,00010 0,00003 0,00016 0,00128
rata-rata 0,00014 0,00003 0,00019 0,00131
182

Lampiran 25f. Hasil penghitungan CO2 dengan pakan pascalarva udang galah

PL Ulangan Perlakuan
I II III IV
PL-1 1 0,060 0,056 0,067 0,060
2 0,059 0,057 0,072 0,059
3 0,064 0,052 0,066 0,055
rata-rata 0,061 0,055 0,068 0,058

PL-7 1 0,004 0,018 0,008 0,015


2 0,007 0,017 0,006 0,014
3 0,005 0,011 0,007 0,020
rata-rata 0,005 0,015 0,007 0,016

PL-14 1 0,00053 0,00012 0,00061 0,00439


2 0,00048 0,00010 0,00062 0,00450
3 0,00056 0,00011 0,00064 0,00454
rata-rata 0,00052 0,00011 0,00062 0,00448
183

Lampiran 25g. Hasil penghitungan RQ pascalarva udang galah

Basal

PL Perlakuan
I II III IV
PL 1 0,78 0,93 0,92 0,80

PL 7 0,75 0,91 0,90 0,78

PL 14 0,71 0,90 0,89 0,76

dengan pakan

PL Perlakuan
I II III IV
PL 1 0,843 0,858 0,754 0,843

PL 7 0,80 084 0,74 0,82

PL 14 0,79 0,83 0,71 0,76


184

Lampiran 26a. Hasil analisis keragaman pengukuran konsumsi energi oksigen


pascalarva udang galah setiap perlakuan selama penelitian (kalori
/mg bobot basah PL per jam)

TABEL SIDIK RAGAM


PL 1
Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman
Perlakuan 0,003 3 0,001 29,586 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,003 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL 1
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
3 3 0,164167
4 3 0,181133
1 3 0,199300
2 3 0,200367
Sig. 1,000 1,000 0,817

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL 7
Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 0,002 3 0,001 3151,108 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,002 11
** berbeda nyata
185

Lanjutan Lampiran 26a

Uji lanjut Duncan


PL 7
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
1 3 0,013633
3 3 0,015433
2 3 0,037567
4 3 0,039733
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL 14
Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 0,006 3 0,002 66417,298 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,006 11

** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL 14
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
2 3 0,001200
1 3 0,006600
3 3 0,007033
4 3 0,057633
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
186

Lampiran 26b. Hasil analisis keragaman pengukuran konsumsi energi oksigen


pascalarva udang galah setiap perlakuan selama penelitian (kalori /PL
per hari)

TABEL SIDIK RAGAM


PL 1
Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman
Perlakuan 0,008 3 0,003 72,800 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,009 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL 1
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3
3 3 0,150900
4 3 0,171733
2 3 0,208433
1 3 0,215233
Sig. 1,000 1,000 0,216

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL 7
Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 0,005 3 0,002 1768,194 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,005 11
** berbeda nyata
187

Lanjutan Lampiran 26b

Uji lanjut Duncan


PL 7
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
1 3 0,039733
3 3 0,044133
2 3 0,081833
4 3 0,086233
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL 14
Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 0,076 3 0,025 52113,827 0,000**

Galat 0,000 8 0,000

Total 0,076 11

** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL 14
NIlai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
2 3 0,007767
1 3 0,034067
3 3 0,036267
4 3 0,207933
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
188

Lampiran 27. Potensi tumbuh pascalarva udang galah setiap perlakuan


(kalori /mg bobot PL per hari)

PL Ulangan Perlakuan
I II III IV
1 7,3862 18,1497 22,0189 21,5454
PL-1 2 9,7979 20,3594 21,7084 21,2849
3 7,2683 21,5387 17,0805 19,1274
rata-rata 8,1508 20,0159 20,2692 20,6526

1 19,1355 38,2408 43,7210 41,5640


PL-7 2 20,3558 41,7211 41,5499 40,6890
3 18,6274 41,0062 39,2276 41,3629
rata-rata 19,3729 40,3227 41,4995 41,2053

1 38,9207 40,4864 40,8570 41,0023


PL-14 2 39,8712 40,4764 40,4341 41,1802
3 37,9700 40,5431 41,2923 41,1400
rata-rata 38,9207 40,5020 40,8611 41,1075
189

Lampiran 28. Hasil analisis keragaman potensi tumbuh pascalarva udang galah
setiap perlakuan

TABEL SIDIK RAGAM


PL-1
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 333,412 3 111,137 30,850 0,000**

Galat 28,820 8 3,602

Total 362,232 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL-1
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2
1 3 8,150800
2 3 20,015933
3 3 20,269267
4 3 20,652567
Sig. 1,000 0,704

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL-7
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 1055,538 3 351,846 149,290 0,000**

Galat 18,854 8 2,357

Total 1074,393 11
** berbeda nyata
190

Lanjutan Lampiran 28
Uji lanjut Duncan
PL-7
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2
1 3 19,372900
2 3 40,322700
4 3 41,205300
3 3 41,499500
Sig. 1,000 0,394

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL-14
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Perlakuan 8,704 3 2,901 10,571 0,004

Galat 2,196 8 0,274

Total 10,899 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL 14
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2
1 3 38,920633
2 3 40,501967
3 3 40,861133
4 3 41,107500
Sig. 1,000 0,212

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
191

Lampiran 29. Hasil pengukuran bobot (aktual) pascalarva antar perlakuan selama
penelitian

PL Ulangan Perlakuan
I II III IV
PL-1 1 45,00 43,33 38,26 39,53
2 44,00 43,37 38,30 39,49
3 46,00 43,34 38,32 39,52
rata-rata 45,00 43,35 38,29 39,51

PL-7 1 121,50 90,65 119,08 90,40


2 121,80 90,85 119,10 90,43
3 121,50 90,80 119,04 90,38
rata-rata 121,60 90,77 119,07 90,40

PL-14 1 215,50 268,65 214,90 150,30


2 215,23 268,90 214,92 150,29
3 215,60 268,70 214,82 150,36
rata-rata 215,44 268,75 214,88 150,32
192

Lampiran 30. Hasil analisis keragaman bobot (aktual) pascalarva antar perlakuan
selama penelitian

TABEL SIDIK RAGAM


PL-1

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 89,652 3 29,884 119,321 0,000**

Galat 2,004 8 0,250

Total 91,655 11
** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL-1
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
1 3 38,29333
3 3 39,51333
4 3 43,34667
2 3 45,00000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL-7

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 2665,259 3 888,420 83813,179 0,000**

Galat 0,085 8 0,011

Total 2665,344 11

** berbeda nyata
193

Lanjutan Lampiran 30
Uji lanjut Duncan
PL-7
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
4 3 90,40333
2 3 90,76667
3 3 119,07333
1 3 121,60000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

TABEL SIDIK RAGAM


PL- 14

Sumber
Jumlah Kuadrat derj bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman

Perlakuan 21135,192 3 7045,064 482814,211 0,000**

Galat 0,117 8 0,015

Total 21135,309 11

** berbeda nyata

Uji lanjut Duncan


PL-14
Nilai alpha = 0.05
Perlakuan N
1 2 3 4
4 3 150,31667
3 3 214,88000
1 3 215,44333
2 3 268,75000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Anda mungkin juga menyukai