Anda di halaman 1dari 22

MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB IV : Tax Planning PPh Pasal 22, Pasal 23/26, dan PPH Final

Oleh:
I Gusti Bagus Satya Bramasiwi
1833122114
F3

Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi


Universitas Warmadewa
Denpasar
2021
1. Pendahuluan
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk
memungut pajak adalahdengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan
pemungutan dan pemotongan atas pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai
dengan kewajiban pajak untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak,
dan selanjutnya menyetorkan dan melaporkannya kekantor pajak setiap bulan
berdasarkan ketentuan perpajakan.

Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan
cara ini, pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa
upaya dan biaya besar. Berbeda dengan self assessment, yang memberi
kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan kewajiban perpajaknnya sendiri.

Dalam praktiknya, masih saja kita temukan banyak wajib pajak yang tidak
memiliki informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau
dipungut. Sehingga ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan
tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh, maka konsekuensi yang
harus dihadapinya adalah, wajib pajak tersebut akan dikenai tagihan atas pajak
yang tidak/kurang dipungut/dipotong, ditambahdengan sanksi administrasi.

2. Pajak Penghasilan Pasal 22

Tax Management Pemotongan dan Pemungutan

PPh Pasal 22 impor ini menyangkut pemungutan pajak di sekotr impor,


yang berhubungandengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan
barang dari luar daerahpabean. Dalam hal impor, tariff PPh Pasal 22 bervariasi,
dimana kalau mempunyai API tarifnya 2,5% dari nilai impor dan kalau tidak
mempunyai API tarifnya 7,5% dari nilai impor.

Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning, sehingga dalam
melakukanimpor, tax planner sering merekomendasikan impor dengan API.
Akibatnya banyak orangyang memfasilitasi penggunaan (peminjaman) API,
dengan menggunakan API pengusaha yang seharusnya menggunakan tarif
pajak 7,5% menjadi 2,5%. Hal ini dapat menghemat cash flow perusahaan selama
masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal22 ini akan menjadi kredit pajak
dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPhbadan (bila perusahaan
dapat profit).

Dalam dunia shipping (laut dan udara), ada istilah “hadling fee”, yakni
jumlah feeyang harus dibayar berdasarkan perjanjian handling fee antara importir
yang mempunyaiAPI dengan pemilik barang atas jasa yang diberikan. Atas
pengenaan handling fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini dapat dipakai
oleh orang atau perusahaan yang tidak mempunyai API dengan “meminjam”
bendera perusahaan yang punya API untukmengeluarkan barang impornya
dengan kompensasi pemberian “hadling fee”. Bilabenefitnya (5%) lebih
besar dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% -2%), maka si
pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22sebesar
3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga dapat menghemat cash flow
untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya
akanmenyebabkan lebih bayar.

Tetapi perusahaan yang meminjamkan benderanya juga harus berhati-hati,


karenamasalah transaksi peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan
masalah pajak, jugadapat menimbulkan masalah hukum dalam kasus di mana
transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal negatif atau melanggar hukum. Bila
hal ini terjadi, maka pihak yang harusbertanggung jawab adalah pihak perusahaan
yang meminjamkan benderanya itu. Berbeda dengan pajak, masalah pajak dalam
suatu aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah ada objek pajak atau tidak dan
apakah kewajiban perpajakannya telah dilaksanakan secara benar sesuai
ketentuan perpajakan, serta syarat formal dan material pembukuannya terpenuhi
dalam arti semua transaksi harus mempunyai bukti pendukung yang sah danvalid
serta dapat dibuktikan legalitas transaksinya.

Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa


hal, sepertitidak melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk
akal (reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai
(kontrak, invoice dan sebagainya). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi koreksi
fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut,solusinya adalah dengan membuat
kontrak yang jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan kewajiban
perpajakan masing-masing pihak.

Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22


yang tidakbersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak
dikreditkan dalamSPT Tahunan PPh.

Pengecualian-pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22

Ada juga pengecualian-pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan


oleh tax planner.Yang dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22,
adalah (a) Impor barangdan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangantidak terutang Pajak Penghasilan; (b) Impor barang
yang dibebaskan dari pungutan BeaMasuk dan atau Pajak Pertambahan
Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam PeraturanKementrian Keuangan No.
08/PMK.03/2008 .

Contoh kasus: Suatu perusahaan, katakanlah PT A (BUMN), yang


mempunyaifasilitas bebas impor barang (impor dan atau penyerahan barang
kena pajak tertentubersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN) dan
juga dibebaskan dari pungutanBea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai. PT
A mempunyai rekanan kontraktor yaituPT B (kontraktor). Sebenarnya PT B ini
juga mempunyai API tapi dia tidak memanfaatkanAPI nya sendiri, tapi menyuruh
PT A menggunakan API-nya. Jadi segala sesuatu yangmelaksanakan impor
seolah-olah PT A, padahal dalam pelaksanaannya di lapangan yangmengeksekusi
PT B. Hal ini dilakukan karena API dari PT B yang digunakan
untukmengeluarkan barang impor, akan terkena Bea Masuk, PPN Impor, dan PPh
Pasal 22 impor, karena PT B tidak memiliki fasilitas impor barang strategis yang
dibebaskan daripengenaan PPN. Jadi disini PT B dapat menghemat cash flow nya.
Seandainya kontrakperjanjian antara PT A dengan PT B mensyaratkan PT B
mengimpor barang dan harusmelakukan pembayaran di muka atas biaya-biaya
impor (dengan asumsi bebas imporduties: bea masuk, PPN impor, dan PPh Pasal
22 impor), maka bagi PT B (kontraktor) tekanan beban cash flow-nya sudah agak
ringan.
Dalam hal ini tax planner atau tax manager PT B masih harus bekerja
sama dengan tax manager PT A mengajukan permohonan tertulis kepada Dirjen
Pajak untuk mendapat surat keputusan bahwa barang yang diimpor tersebut
didefinisikan sebagai barang strategis yang mendapat pembebasan bea masuk,
PPN impor dan PPh Pasal 22 impor, karena pengajuan surat permohonan tersebut
harus dibuat secara formal atas nama PT A, bukanatas nama PT B.

Pengajuan SKB PPh Pasal 22

Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak


dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau
pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihaklain kepada Direktur Jenderal Pajak karena:

a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan


tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian
fiscal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal
sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan
penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak
Penghasilan yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan
permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi
kriteria, dan tax planneryang baik akan selalu memanfaatkan momentum kapan
permohonan SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar
pajak penghasilan. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3
kelompok, yaitu:

a) PPh Pasal 22 Impor


Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah:
1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):
 Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh
importir, dikenai tarifpajak sebesar 0,5% dari nilai
impor.
 Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir
yang memiliki API tetapdikenai 2,5% dari nilai impor.
2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor.
3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final

 Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas
imbalannya semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22
impor.
 WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang
bersangkutan.
 Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidka
digunakan untukkegiatan yang tidak dikenakan PPh fibal, maka PPh
Pasal 22 yang terutang akan ditagih beserta dengan sanksi bunganya.
b) PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan
keAPBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5 %
dari harga beli yang dipungut pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan
oleh Ditjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau
BUMN/D yang dananya berasal dari APBN/D.

PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual
dan harus disetor oleh pemungut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib
Pajak yang dipungut (penjual).

c) PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain


Rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha lain akan diperlihatkan
dalam Tabel dibawah ini:
d) PPh Pasal atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat
Mewah
Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk
PPNdan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Barang yang tergolong sangat
mewah sebagaimana dimaksud adalah:
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20 miliar.
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10 miliar.
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga peralihannya
lebih dari Rp10 miliar dan luar bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp 10 miliar dan atau luas bangunan lebih dari
400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10
orang berupasedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose
vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya denga harga jual lebih dari Rp 5
miliar dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc
3. Pajak Penghasilan Pasal 23
Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh
Pasal 23, dimana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan
adanya pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga,
sedangkan pihak memberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong
pajaknya karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian.
Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan
transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak,
makaperusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban untuk
membayar PPh Pasal 23 (with holding tax) yang terutang ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2%sebulan dari pokok pajak.
Solusinya:
1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp 72 juta
 Di groos up ± 100/90 x Rp 72 juta = Rp 80 juta
 Pajak yang harus dibayarkan ±Rp 80 juta – Rp 72 juta = Rp 8
juta
 Rp 8 juta ini boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh
final dan dividen. Apabila Perusahaan pemilik proyek
membayar sendiri PPh Pasal 23, Tanpa di gross up ± 10% x Rp
72 juta = Rp 7,2 juta
 Pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Agar biaya sewa bangunan dapat dibiayakan, termasuk pajaknya
(deductible), maka kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu, termasuk
mengubah invoice, faktur pajak,dan dokumen lain yang mengakomidir
pemotongan pajak PPh Pasal 23 atas transaksi pembayaran sewa bangunan
tersebut, agar terdapat kesesuaian antara penerima danpemberi jasa. Jadi
kontrak perjanjian harus direvisi dengan mencantumkan nilai sewa bangunan
setelah di groos up sebesar Rp 80 juta, dan setelah itu pemilik gedung
memotong PPh Pasal 4 (2) final 10% x Rp 80 juta = Rp 8 juta, dan
menyetorkannya ke kas Negara atau bank persepsi.

Pengenaan Pajak Atas Deviden

UU PPh No. 10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima


oleh Perseroan dalam negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak
termasuk objek pajak PPh Badan dengan syarat bahwa (1) deviden berasal
dari laba yang ditahan dan (2) Kepemilikan saham Perseroan yang
menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% dari nilai saham
yang disetor dari badan yang membayar deviden (operating company).
Akibatnya banyak para pemegang saham orang pribadi membuat PT yang tidak
mempunyai kegiatan apa-apa, sehingga operating company yang membayar
deviden ke PT tanpa dikenai pajak. Mereka mengubah portofolio investasi
menjadi investasi atas nama perusahaan dengan kepemilikan saham minimal 25%
dari jumlah modal yan disetor agar deviden yang mereka terima tidak kena
pemotongan PPh Pasal 23.

Akhirnya Pemerintah merivisi pasal 4 ayat 3 (f), dengan menambahkan,


Perseroan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham sebagaimana
disebut di dalam UUPPh No. 17 Tahun 2000. Terakhir, dalam UU PPh No. 36
Tahun 2008 yang mulai berlaku awal 2009, dijelaskan bahwa, untuk syarat
memiliki usaha aktif bagi WP yang menerima inter-corporate dividend, dihapus.
Dengan demikian tax planning mesti diubah kembali.

Apabila kepemilikan saham kurang 25%, merger merupakan cara untuk


mencukupi kekurangan dana yang harus di investasikan ke operating company.
Perubahan Tarif PPh Pasal 23

UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan Tarif PPh Pasal
23 yang semula15% menjadi:

1. 15% dari peredaran bruto atas deviden, bunga, royalty, hadiah,


penghargaan, bonus, dansejenisnya.
2. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.
Pengajuan SKB PPh Pasal 23

Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan
yang sama berlaku juga pada PPh Pasal 23. Tax planner yang baik akan selalu
memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut
agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.

PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang


diperoleh wajib pajak dalam negeri dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong PPh Pasal 23/26

1. Badan Pemerintah.
2. Subjek pajak badan dalam negeri.
3. Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunuk DJP, yaitu:
 Akuntan, arsitek, dokter, PPAT (kecuali camat), pengacara,
konsultan yangmelakukan pekerjaan bebas.
 Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang
menyelenggarakan pembukuan.
Subjek Pajak PPh Pasal 23/26

1. Wajib Pajak Dalam Negeri.


2. Bentuk Usaha Tetap.
3. Wajib pajak luar negeri.
Objek Pajak PPh Pasal 23/26

Adalah penghasilan yang berasal dari:

1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.


2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan.
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi
selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23

a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi:


1. Deviden; kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/D,
koperasi, dengan syarat kepemilikan saham minimal 25%
(kecuali koperasi) dan deviden tersebut diambil dari laba ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
3. Royalty.
4. Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal
21.
b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan meneteri keuangan.
c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final.
d. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
PPh Pasal 21.
Penggunaan Metode Groos Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 26/21/23
Yang Ditanggung Oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja (Pasal 4 huruf d
PP. Nomor 138 Tahun 2000)

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam


menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak wajib pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi
penghasilan, kecuali:

a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat


(1) UU PPh tetapi tidak termasuk deviden.
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam
penghitungan dasar untuk pemotongan pajak.
Pajak penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh
Pasal 26 dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja,
dengan perlakuan perpajakan sebagai berikut:

 Dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan,


sesuai dengan ketentuan perpajakan, pajak tersebut diperlakukan
sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja
dan bukan penghasilan pegawai yang menerimanya.
 Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal26 ayat (1) kecuali deviden yang
ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan
sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (groos
up) pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26tersebut.
Contoh:

PT ABC membayar bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp


100.000.000 yang sesuai dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung
oleh badan tersebut. Tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.

Dasar Pengenaan PPh Paasl 26 = x Rp 100.000.000 = Rp 125.000.000

PPh Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp 125.000.000 = Rp 25.000.000

Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC
adalah Rp125.000.000 (= Rp 100.000.000 + Rp 25.000.000).
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPh Pasal 23

Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya


disajikan terperinci pertransaksi) dengan pos-pos yang terdapat di buku-buku
pengeluaran /pembelian /penjualanyang memiliki hubungan dalam pembukuan
dan atau laporan jenis pajak yang lain (baiks ebagian maupun keseluruhan).

Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan


PPh Pasal 23 yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan
terbitnya SKP Kurang. Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan
karena:

a. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 23


yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi
kerja.
b. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok
atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
c. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger
pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 23.
Contoh:

Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23:

 Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, berdasarkan penjumlahan


transaksi dari keseluruhan objek PPh Pasal 23 Rp 400.000.000
 Jumlah PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Rp
200.000.000Kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 23 Rp 200.000.000
Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar
atausetor PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan
lebih lanjutoleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-
transaksi apa saja yangdimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah disetujui.
Wajib pajak akan dikenakan bunga @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan
apabila ada kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar/setor.
4. Pajak Penghasilan Pasal 26
PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23, bedanya, PPh Pasal 26 untuk
dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri. Kalau PPh 26 ini rate nya 20%, ada
tax treatya. Kalau tax treatynilai efektifnya 10%, tapi bisa juga 5% dan bisa juga
0%.

Pasal 26 ayat (1)

Imbalan sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, dan Kegiatan

1. Bila ada Tax Treatya.


a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu):
tidak ada BUT, maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak
atas penghasilan yang diterima olehWPLN. Syarat: agar
pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai tax treaty, WPLN harus
dapat menunjukkan atau memberikan Certificate of Residence
Tax Payer (CRT) atau Certificate of Domicile (COD) dari
Competent Authority di Negara bersangkutan.
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu): ada
BUT, maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan
yang diterima oelh WPLN bersangkutan, yang berupa: Corporate
Tax (tarif PPh Pasal 17) atau Branch Profit Tax (tarif PPh Pasal
26).
2. Bila Tidak Ada Tax Treatya.
a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu):
tidak ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak: basis bruto dan
tarif tunggal 20%.
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu):
ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak: basis neto dan tarif
tunggal 20%.
c.
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh


wajib pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pengenaan
PPh Pasal 26 tersebut adalah:

1. Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas
penghasilan WPLN yang berupa:
a. Bunga, deviden, royalty, sewa dan imbalan lain sehubungan
dengan penggunaan harta.
b. Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu BUT,
kecuali ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
1) Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan
kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam
bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau
pesertapendiri.
2) Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus secara
aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte
pendiriannya, paling lama 1 tahun sejak perusahaan
tersebut didirikan.
3) Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau
paling lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima
atau diperolehnya penghasilan tersebut.
4) Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali
paling singkat dalam jangka waktu 2 tahun sesudah
perusahaan tersebut telah berproduksi komersial.
(Lihat PMK No. 257/PMK.03/2008)
2. Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto
dan bersifat final atas penghasilan WPLN berupa:
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia (20% x 25%
x harga jual).
b. Premi asuransi yang dibayarkan ke luar negeri:
1) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan
asuransi di luar negeri oleh tertanggung (20% x
50% jumlah premi).
2) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN
oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di
Indonesia (20% x 10% x jumlah premi).
3) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan
asuransi LN, oleh perusahaan reasuransi yang
berkedudukan di Indonesia (20% x 5% x jumlah premi).
Penggunaan Metode Groos Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 dan PPh
Pasal 26 yang Ditanggung oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja

(Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 tahun 2000)

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam


menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi
penghasilan, kecuali:

a) Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat


(1) UU PPh tetapi termasuk deviden.
b) Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam
penghitungan dasar untuk pemotongan pajak.
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPh Pasal 26

Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 26, jumlah penghasilan


bruto dalam SPTMasa PPh pasal 26 dicocokan (pencocokannya disajikan
terperinci per transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan
PPh Pasal 26.

Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan


PPh Pasal 26 yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan
terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan
karena:
1) Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 26 yang
belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2) Jumlah PPh Pasal 26 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau
lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
3) Jumlah PPh Pasal 26 yang dibukukan di buku besar atau ledger
pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 26.

5. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) Final


Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tariff 0,1%. Final ini
secara prinsip selalu meringankan. Bunga obligasi dan Surat Utang Negara
dikenai PPh Finaltetapi tarif pajak bunganya tetap sebesar 15% bagi Wajib Pajak
Dalam Negeri dan BUT,dan tarif 15% diberlakukan bagi bunga/diskonto obligasi
dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.

Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pasal 4 Ayat (2)

Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak
secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang
Negara. Berbeda dengan Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan, sehingga pasar obligasi Reksadana bergairah;
bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak
secara gradual dikenai PPh Pasal 4 (2) Final sebagaiberikut:

 0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.


 5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
 15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Tax planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan
tariff fbunga di atas, dengan segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana
dibanding dengan obligasi yang dipasarkan di bursa efek.

Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2)

 Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah.


 Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan
penghasilan lainnya(dianggap selesai/rampung)
 Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh
pihak lain tidakdapat dikreditkan
 Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang
dikenai PPh final tidak dapat dikurangkan.
Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2):

a. Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau


dilaporkan perdagangannya di bursa efek.
b. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham yang diperdagangkan di
bursa efek.
c. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI.
d. Penghasilan berupa hadiah atas undian.
e. Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan.
f. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
g. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.
h. Deviden yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam
negeri.
i. Bunga dan atau diskonto obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN).
j. Bunga Simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota
Koperasi Orang Pribadi.
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) pada SPT Tahunan PPh
Badandengan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final)

Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 4 Ayat (2), jumlah


penghasilan bruto dalam SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) dicocokan
(pencocokannya disajikan terperinci pertransaksi) dengan pos pengeluaran yang
menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2).

Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan


PPh Pasal 4ayat 2 (Final) yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga
menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal
ini disebabkan karena:

1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 4 ayat 2 (Final)


yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang disetorkan ke kas Negara tidak
cocok atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang dibukukan di buku
besar atau ledger pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final).
6. PPh Pasal 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus
(NPK) atau deem profit, yang meliputi:

1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8% dari
peredaran bruto dan bersifat tidak final.
2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2%
dari peredaran bruto bersifat final.
3. PPh Final Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri, tarif
pajaknya 2,64% dari peredaran bruto bersifat final.
4. PPh Final atas Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang di Indonesia, tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor
bruto bersifat final.
5. Penghasilan neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha pengeboran
minyak dan gas bumi, tarifnya 15% dari peredaran bruto, bersifat tidak
final.

7. Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final


Beberapa hal kruasial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh
Final:
1. Masalah Pembuatan Kontrak
Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal
23/26/Final, hal pokok yang harus diperhatikan adalah masalah
pembuatan kontrak. Kontrak bisa dikatakan sebagai cikalbakal
terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait.
Jika kontrak tidak ada, dapat digantikan oleh SPK (Surat
Perintah Kerja), atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu
kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus
mencakup kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban
perpajakan masing-masing pihak.Jika di dalam kontrak jelas
disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka PPhPasal 23/26
hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk
jasa konstruksi dan jasa catering (termasuk nilai materialnya).
Sebaliknya, jika di dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai
jasa dan nilai material, maka PPh Pasal 23 dikenakan atas
keseluruhan nilai kontrak.
2. Konflik Dalam Withholding Tax
Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan
kewajiban untuk memungut withholding tax, maka penting bagi
perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya inisebaik-baiknya.
Konflik dalam withholding tax akan terjadi jika penerima
penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya atau adanya
perbedaan penafsiran mengenai jenispajak dan besarnya tarif pajak
yang akan dipotong.
Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan
pelaporan ada pada pemberi penghasilan maka konflik dapat
diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa.
Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya,
maka perusahaan dapat melakukan salah satu dari dua cara berikut
ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung)
atau melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan
PPh). Jika perusahaan membayarkan sendiri pajak yang terutang
maka pajak tersebut tidak boleh dikurangkan. Sementara itu jika
perusahaan melakukangross up maka pajak yang terutang boleh
dibiayakan, kecuali deviden dan PPh Final.Gross up sebaiknya
dimulai dari kontrak perjanjian, invoice, FP, dan dokumen lain
yangterkait agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi
jasa.
3. Rekonsiliasi Objek Withholding Tax Dengan Laporan Keuangan
Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai
pemotong atau pemungut (withholder) perlu mendapat perhatian
serius dari perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengendalian perpajakan (tax control) untuk memastikan
bahwa seluruh objek withholding tax sudah dilakukan pemotongan
atau pemungutannya.
Caranya adalah dengan rekonsiliasi atau ekualisasi antara
SPT Masa dengan objekPPh yang terdapat dalam laporan keuangan
komersial.
Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya
merupakan objek withholding tax dapat langsung diperbandingkan.
Akan tetapi atas akun-akun yang di dalamnya hanya terdapat
sebagian saja yang merupakan objek withholding tax, maka
perlu dilakukan pemisahan antara yang objek dan yang bukan
objek withholding tax. Bila diperlukan dapat dibuat buku
pembantu untuk mencatat rincian objek withholding taxdikaitkan
dengan buku besarnya, mulai dari nama akun, tanggal
transaksi, nomor journal voucher, jenis transaksi, jumlah objek,
masa perolehan, dan nomor serta tanggal bukti pemotongan PPh
yang dibuat.
4. Klausul Kontrak Dengan WPLN
Di samping harus mengatur klausul perpajakn secara jelas
dan rinci, khusus kontrak dengan pihak Wajib Pajak Luar Negeri
harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:
 Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan
mengetahui apakah perlu melihat pada ketentuan tax
treaty atau tidak.
 Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di Negara
treaty partner, perlu diperhatikan agar WPLN
memberikan CRT (certificate of residence) kepada
perusahaan sebelum dilakukan pembayaran atau
penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam
kontrak dengan WPLN tersebut.

8. Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 25 Orang Pribadi


Sesuai Per-Menkeu No. 255/PMK.03/2008, besarnya angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (wajib
pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang
mempunyai tempat usaha tersebar dibeberapa tempat, ditetapkan sebesar 0,75%
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
tersebut. Sedangkan untuk wajib pajak masuk bursa danwajib pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tariff umum
atas laba-rugi fiscal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan
dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan
Pasal 23serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak
yang lalu, dibagi 12.

Anda mungkin juga menyukai