Anda di halaman 1dari 11

No.

11 Defferential Diagnosis (Tinea Kruris)


a. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, serta kuku yang disebabkan oleh
golongan jamur dermatofita, yang mampu mencernakan keratin.
Tinea kruris sebagai salah satu dermatofitosis,disebabkan oleh jamur golongan
dermatofita, terutamasuatukelas Fungi imperfecti, yaitu Genus Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. Tinea kruris sering ditemukan pada kulit lipat paha,
genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Penyakit ini merupakan penyakit
terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal, yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit
kulit di inguinal.
Tinea kruris yang sering disebut “jock itch” merupakan infeksi jamur superfisial
yang mengenai kulit pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum.
Tinea kruris lebih sering pada rentang usia 51-60 tahun dan tiga kali lebih sering terjadi
pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Orang dewasa lebih sering menderita tinea
kruris bila dibandingkan dengan anak-anak.

b. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi dermatofitosis cukup tinggi di dalam masyarakat baik di
dalam maupun diluar negeri. Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh
dermatomikosis dan tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak.
Dermatofit tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di negara
berkembang. Berdasarkan urutan kejadian dermatofitosis, tinea korporis (57%), tinea
unguinum (20%), tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1%
tipe lainnya. Di berbagai negara saat ini terjadi peningkatan bermakna dermatofitosis. Di
Kroasia dilaporkan prevalensi dermatofitosis 26% pada tahun 1986 dan meningkat
menjadi 73% pada tahun 2001.

c. Etiologi
Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species Tricophyton rubrum dan
Epidermophyton floccosum, dimana E. floccosum merupakan spesies yang paling sering
menyebabkan terjadinya epidemi. T. Mentagrophytes dan T. verrucosum jarang
menyebabkan tinea kruris. Tinea Kruris seperti halnya tinea korporis, menyebar melalui
kontak langsung ataupun kontak dengan peralatan yang terkontaminasi, dan dapat
mengalami eksaserbasi karena adanya oklusi dan lingkungan yang hangat, serta iklim
yang lembab. Autoinfeksi dapat terjadi dari sumber penularan yang jauh letaknya seperti
tinea pedis,yangsering disebabkan oleh T. rubrum atau T. mentagrophytes.

d. Gejala Klinis
- Rasa gatal yang meningkat saat berkeringat atau terbakar pada daerah lipat paha,
genital, sekitar anus dan daerah perineum.
- Berupa lesi yang berbentuk polisiklik / bulat berbatas tegas, efloresensi
polimorfik, dan tepi lebih aktif.
- Tampak sebagai papulovesikel eritematosa yang multipel dengan batas tegas dan
tepi meninggi.
- Terdapat central healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi,
dengan tepi yang meninggi dan memerah sering ditemukan.
- Pruritus sering ditemukan, seperti halnya nyeri yang disebabkan oleh maserasi
ataupun infeksi sekunder.
- Tinea kruris yang disebabkan oleh E. floccosum paling sering menunjukkan
gambaran central healing, dan paling sering terbatas pada lipatan genitokrural dan
bagian pertengahan paha atas. Sebaliknya, infeksi oleh T. rubrum sering
memberikan gambaran lesi yang bergabung dan meluas sampai ke pubis, perianal,
pantat, dan bagian abdomen bawah.
- Tidak terdapat keterlibatan pada daerah genitalia.

e. Patogenesis

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu:


- Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent “carrier”).

- Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung


maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di
pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat
makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing,
sapi, kuda dan mencit.

- Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia


dan menimbulkan reaksi radang.

Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi


pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan
melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan
pejamu,dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan
suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biakdan menimbulkan
reaksi jaringan atau radang. (Gambar 1)

Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan


pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon
pejamu.

a. Perlekatan Dermatofit Pada Keratinosit

Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam,


dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase
(keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur
ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik
dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen
jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi
pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel,dan pengaruh
sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma
atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena
tergantung pada jenis strainnya.

b. Penetrasi Dermatofit Melewati Dan Diantara Sel

Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan
melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam
untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada
keratin.
Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk
tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:

1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal,


memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada
dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk
biofilamen, suatu polimerekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap
fagositosis.

2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun


pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah kepada tipe
pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur
berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding
makrofag yang berakibataktivasi makrofag akan terhambat.

3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak


atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau
protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi
protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan
proses invasi oleh jamur,dan memproduksi siderospore (suatu
molekulpenangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk
menangkap zat besi untukkehidupan aerobik.

Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan


dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan
dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.

c. Respons Imun Pejamu

Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons cepat
dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat.
Pada kondisi individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized),
cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian
kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan
kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.

f. Pemeriksaan Penunjang
- Diagnosis dermatofitosis yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksaan
mikroskopik langsung dengan KOH 10-20%.

Pada sediaan KOH tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa


penyempitan.Terdapatnya hifa pada sediaan mikroskopis dengan potasium
hidroksida (KOH) dapat memastikan diagnosis dermatofitosis. Pemeriksaan
mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur merupakan teknik
yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas sebagai teknik
skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas hingga 40% dan spesifisitas
hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi hingga pada l5% kasus, bahkan bila
secara klinis sangat khas untuk dermatofitosis.

Sensitivitas, spesifisitas, dan hasil negatif palsu pemeriksaan mikroskopik


sediaan langsung dengan kalium hidroksida (KOH) pada dermatofitosis sangat
bervariasi. Pemeriksaan mikroskopik sediaan langsung KOH memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih rendah serta hasil negatif palsu sekitar 15%-30%,
namun teknik ini memiliki kelebihan tidak membutuhkan peralatan yang spesifik,
lebih murah dan jauh lebih cepat bila dibandingkan dingan kultur. Dengan alasan
ini modifikasi teknik pemeriksaan sediaan langsung dibutuhkan untuk
meningkatkan manfaat penggunaannya secara rutin.

- Kultur jamur

Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun


membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah,
harga yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan
tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur perlu dilakukan untuk
menentukan spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada
sediaan langsung. Metode dengan kultur jamur menurut Summerbell dkk. di
Belanda pada tahun 2005 bahwakultur jamur untuk onikomikosis memiliki
sensitivitas sebesar 74,6%. Garg dkk. pada pada tahun 2009 di India melaporkan
sensitivitas kultur jamur pada dermatofitosis yang mengenai kulit dan rambut
sebesar 29,7% denganspesifisitas 100%. Sangat penting bagi masing-masing
laboratorium untuk menggunakan media standar yakni tersedia beberapa varian
untuk kultur. Media kultur diinkubasi pada suhu kamar 26°C (78,8°F) maksimal
selama 4 minggu, dan dibuangbila tidak ada pertumbuhan.

- Punch Biopsi

Punch biopsi Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis


namun sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pada pengecatan dengan
Peridoc Acid–Schiff, jamur akan tampak merah muda atau dengan menggunakan
pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam.

- Lampu wood

Penggunaan lampu woodmenghasilkan sinar ultraviolet 360 nm, (atau


sinar “hitam”) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakit kulit dan
rambut. Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna pigmentasi
melanin yang subtle bisa divisualisasi. Lampu wood bisa digunakan untuk
menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.

Sumber:

1. Adiguna, Made Swastika. (2011). UPDATE TREATMENT IN INGUINAL


INTERTRIGO AND ITS DEFFERENTIAL DIAGNOSIS. P2KB Dermatoses & STIs
Associated with Travel to Tropical Countries
2. Yossela, Tanti. (2015). Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris. Vol. 4 No. 2.
Faculty of Medicine, University of Lampung.
3. file:///C:/Users/ASUSTP~1/AppData/Local/Temp/Diaz_Ananta_Putra_22010110120
074_Bab2KTI.pdf
4. Kurniati, Cita Rosita SP. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. 2008

No. 12 Working Diagnosis (Kandidiasi Kurtis)

a. Definisi
Kandidiasis (USA) atau kandidosis (Eropa) merupakan kelompok
penyakit infeksi akut dan kronik di kulit atau diseminata yang disebabkan oleh
ragi, yang tersering adalah Candida albicans.

Organisme tersebut pada umumnya dapat menginfeksi kulit, kuku,


membran mukosa, dan saluran cerna, tetapi dapat juga menyebabkan penyakit
sistemik.
b. Epidemiologi

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-
laki maupun perempuan. Di Amerika spesies kandida merupakan penyebab umum
kandidosis intertrigo pada orang tua dan pasien diabetes. Spesies kandida merupakan
penyebab keempat infeksi aliran darah pada usia diatas 65 tahun. Di Jepang, Nishimoto
mendapatkan bahwa kandidosis kutis terdapat pada 1% pasien rawat jalan. Dimana paling
banyak menderita kandidosis intertriginosa

c. Etiologi

Genus kandida merupakan grup heterogen kurang lebih 200 spesies ragi. Banyak
spesies Kandida adalah pathogen oportunistik, walaupun sebagian besar tidak
menginfeksi manusia. Beberapa spesies candida menyebabkan manifestasi klinis karena
beberapa kondisi seperti imunosupresi, hospitalisasi yang lama, dan penggunaan
antibiotic sebelumnya.1 Yang paling sering sebagai penyebab adalah Candida albicans
yang dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina, dan feses orang normal.
Sebagai penyebab penyebab endocarditis kandidosis adalah C. parapsilosis dan penyebab
kandidosis septicemia adalah C.tropicalis

d. Tanda dan Gejala

Kandidosis kutis yang diambil adalah Kandidosis intertriginosa.

Candida albicans memiliki predileksi berkoloni pada lipatan kulit yang lembab
dan lecet yaitu di wilayah intertriginosa. Lokasi yang umum yaitu pada area genitokrural,
ketiak, pantat, antar jari, dan dibawah payudara. Faktor predisposisi antara lain
kegemukan, menggunakan pakaian yang ketat, dan diabetes mellitus. Kandidosis kutis
tampak sebagai kulit gatal yang eritema dan terdapat maserasi pada area intertriginosa
dengan lesi satelit berupa vesikopustul. Pustule ini pecah dan meniggalkan dasar yang
eritema dengan keloret yang epidermisnya mudah terlepas.

Varian dari kandidosis intertriginosa pantas disebutkan secara khusus, antara lain
candidal diaper dermatitis yang disebabkan oleh kolonisasi ragi dari traktus
gastrointestinal. Oklusi kronis oleh diaper basah mempermudah terjadi infeksi. Lesi
muncul pertama kali di area perianal dan meluas ke perineum dan lipat inguinal yang
tampak sangat eritema. Sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah dan jarang
diganti yang dapat menimbulkan dermatitis iritan, juga sering diderita neonates sebagai
gejala sisa dermatitis oral dan perianal. Erosio interdigitalis blastomyceticamerujuk pada
kandida interdigital atau infeksi polimokroba dari tangan dan kaki biasanya pada sela jari
3 dan 4. Candida miliaria sering mengenai punggung pasien yang berbaring lama. Lesi
awal berupa vesikopustul yang mengandung sel ragi. Candida juga bisa berkolonisasi dan
menginfeksi kulit di sekitar luka yang ditutup dengan ketat. Antibiotic topical spectrum
luas juga memberi kontribusi tehadap infeksi luka oleh candida.

e. Patogenesis
Candida albicans biasanya ditmukan sebagai saprofit dan berkolonisasi
pada membrane mukosa hewan berdarah panas. Infeksi Candida dapat terjadi,
apabila ada faktor predisposisi baik endogen maupun eksogen.
1. Faktor endogen
a. Perubahan fisiologik
i. Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina
ii. Kegemukan, karena banyak keringat
iii. Debilitas
iv. Iatrogenik: radiasi, obat-obatan (glukokortikoid,
antibiotic spectrum luas, tranquilizer, colchicines,
kontrasepsi oral)
v. Endokrinopati: diabetes mellitus, cushing disease,
hipoadrenalisme, hipotiroidismehipoparatiroidisme.
vi. Penyakit kronik: tuberculosis, lupus eritematosus
dengan keadaan umum yang buruk, uremia.
b. Umur: orang tua dan bayi lebih mudah terkena karena
status imunologiknya tidak sempurna.
c. Imunologik: HIV/AIDS, penyakit genetic
d. Faktor nutrisi: avitaminosis, defisisensi besi, malnutrisi
secara general
2. Faktor eksogen:
a. Iklim panas dan lembab menyebabkan perspirasi
meningkat.
b. Kebersihan kulit.
c. Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama
menyebabkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur.
d. Kontak dengan penderita.

f. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dalam larutan KOH 10%
atau dengan pewarnaan Gram, terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu.
b. Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa
Sabouraud, dapat pula agar ini dibubuhi antibiotik (kloramfenikol) untuk
mencegah pertumbuhan bakteri. Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau
lemari suhu 370, koloni tumbuh setelah 24-48 jam, berupa yeast like colony.
Koloni berwarna putih dan berbentuk mukoid. Identifikasi Candida albicans
dilakukan dengan membiakkannya pada corn meal agar.
Pada kandidiasis sistemik dengan lesi kulit, diagnosis biasanya dapat
dibuat dengan pemeriksaan histopatologi dan kultur biopsi kulit. Hasil kultur
darah biasanya negative.
c. Pathologi
Kandidiasis superfisial memiliki karakteristik pustul sub korneal.
Organismenya kadang terlihat di dalam pustul namun dapat dilihat di dalam
stratum korneum dengan bantuan pewarnaan Periodik Acid- Schiff (PAS).
Pemeriksaan histologik dari granuloma kandida memperlihatkan papilomatosis
dan hiperkeratosis dan infiltrat dermal yang terdiri dari limfosit, granulosit, sel
plasma dan multinukleated giant cell.

g. Hubungan Kandidiasis Kutis dengan Kencing Manis


Patofisiologi timbulnya manifestasi penyakit kulit pada penderita DM belum
sepenuhnya diketahui. Menurut Djuanda, kadar gula kulit merupakan 55% kadar gula
darah pada orang biasa. Pada penderita DM, rasio meningkat sampai 69-71% dari
glukosa darah yang sudah meninggi. Pada penderita yang sudah diobati pun rasio
melebihi 55 %. Gula kulit berkonsentrasi tinggi di daerah intertriginosa dan interdigitalis.
Hal tersebut mempermudah timbulnya dermatitis, infeksi bakterial (terutama furunkel),
dan infeksi jamur (terutama kandidosis). Keadaan-keadaan ini dinamakan diabetes kulit.
Kondisi hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya gangguan mekanisme sistem
imunoregulasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya kemotaksis, fagositosis dan
kemampuan bakterisidal sel leukosit sehingga kulit lebih rentan terkena infeksi. Pada
penderita DM juga terjadi disregulasi metabolisme lipid sehingga terjadi hipertrigliserida
yang memberikan manifestasi kulit berupa Xantoma eruptif. Pada DM tipe 2 terjadi
resistensi insulin sehingga sering terjadi hiperinsulinemia yang menyebabkan
abnormalitas pada proliferasi epidermal dan bermanifestasi sebagai Akantosis nigrikan.
Kejadian kandididiasis kutis pada diduga karena peningkatan ketersediaan
glukosa, seperti pada penderita DM, akan menyebabkan kegagalan flora bakteri normal
kulit untuk menghambat pertumbuhan yeast, di mana ketersediaan glukosa merupakan
lingkungan yang cocok bagi yeast untuk berkembang biak. Pada penderita diabetes
melitus juga terjadi gangguan mekanisme imunoregulasi. Pada beberapa penelitian
disebutkan bahwa terjadi gangguan kemotaksis lekosit dan fagositosis pada penderita
diabetes melitus, terutama selama hiperglikemia dan ketoasidosis diabetik (Hay, 2010).
Pada penderita Diabetes melitus, terdapat peningkatan risiko terkena Kandidiasis
kutis lebih tinggi dari pada yang bukan penderita Diabetes Melitus.
Penderita DM mengalami masalah pada sistem imun yaitu imunodefisiensi
sekunder atau didapat merupakan defisiensi yang tersering ditemukan. Faktor imun yang
berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon imun humoral dan seluler. Faktor
imun seluler diperkirakan mempunyai peranan yang lebih penting. Faktor non-imun yang
berperan paling penting interaksi dengan flora-flora mikrobial lain. Flora mikrobial
normal merupakan mekanisme protektif untuk pejamu, karena flora ini mengadakan
kompetisi dengan kandida untuk mendapatkan makanan dan tempat perlekatan pada
epitelial dan juga flora ini dapat menghasilkan produk-produk toksik terhadap jamur.
Kulit yang intact dengan proses regenerasi dan lipid permukaannya merupakan barier
yang efektif terhadap candida (Conny, 2006).

h. Penatalaksanaan
a. Topikal
b. Sistemik
c. Edukasi
i. Edukasi Tambahan untuk Keadaan Kencing Manis

Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan


edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan
dengan:
a. Makan makanan sehat
b. Kegiatan jasmani secara teratur
c. Menggunakan obat diabete secara aman dan teratur
d. Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan
memanfaatkan berbagai informasi yang ada
e. Melakukan perawatan kaki secara berkala
f. Memperhatikan pakaian yang dikenakan agar tidak mudah
lembab dan menyerap keringat
g. Mengelola diabetes dengan tepat
h. Mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan
ketrampilan
i. Dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
j. Dll.

Edukasi (penyuluhan) secara individual dan


pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan
inti perubahan perilaku yang berhasil.

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan


pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar
glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran
metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi
farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan
insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera
diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat
digunakansesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk
dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat
dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus
untuk itu.

SUMBER:
- Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta: PERDOSKI; 2017.
- Wirata, Gede. (2017). Kandidosis Kutis. FKUNUD.
- Djuanda, Suria. Hubungan Kelainan Kulit dan Penyakit Sistemik. Dalam :
Djuanda adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. 318-326.
- Tin, Melok. Diagnosis And Holistic Management Diabetes Melitus, Manifestasi
Kulit Pada Diabetes Melitus. Seminar Diagnosis and Holistic Management
Diabetes Melitus RSU PKU Muhammadiyah Delanggu; 17 januari 2009.
- Saskia, Tresa. I., Mutiara, Hana. (2015). Infeksi jamur pada penderita diabetes
mellitus. Vol. 4 No. 8. FKUNILA.
- Hartanti., Aditama, Lisa., dkk. (2013). PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
DIABETES MELLITUS Pendekatan Medis, Farmakologis, dan Psikologis.
Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai