Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Sadduz Al-Dzari’ah Mazhab Shahaby


Untuk memnuhi tugas Pelajaran FIQIH

Disusun oleh :
Kelompok 9
Kelas XII IPA 1
Anggota : 1. Erlin Kusumawati
2. Fika Fajriani
3. Mumtaz Tsalatsa

MAN 2 KOTA SEMARANG


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum
yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, al-Sunnah, al-
Ijma’, dan al-Qiyas, jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai
dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama al-
Qur’an, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan keempat al-Qiyas.

Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama
Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang
menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam
menetapkan suatu hukum, beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi, Syar’u Man
Qoblana, dan Sad al-Zari’ah. Sehingga, dalam makalah ini kami akan membahas tentang hal-hal
tersebut.
C. Rumusan Masalah
1. Pengertian saddud Al-Dzari’ah Mazhab Shahaby…….?
2. Dasar Hukum………………………………………….?
3. Macam-Macam………………………………………...?

B.     Tujuan penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi. Memperoleh pengetahuan tentang
pandangan ulama terhadap kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi dan macam-macamnya.
2.      Mengetahui pengertian dari Sar’u Man Qablana, pendapat para yang terkait dengannya serta
kehujjaannya.
3.      Mengetahui pengertian dari Sadd Al-zari’ah, kehujjaan, macam-macam dan aplikasinya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    MAZHAB SHAHABI
1.      Pengertian Mazhab Shahabi
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW tentang
suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah.

Sedangkan menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa
sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya
dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri
menunjuk pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum
syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimanan pendapat para sahabat tersebut
merupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan
antara keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu
pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan mazhab
shahabi merupakan pendapat bersama.

Namun ada juga pendapat lain yang memberikan defenisi mazhab shahabi tersebut.
Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi adalah fatwa sahabat secara
perorangan. maksudnya adalah bahwa fatwah itu adalah mengandung suatu keterangan atau
penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. Namun perbedaan
pengertian ini tidaklah harus kita jadikan sebagai permasalahan, karena dari beberapa defenisi
diatas tentang mazhab shahabi itu adalah mengarah pada pengertian yang sama, hanya saja
pengunaan bahasa yang sedikit berbeda. Oleh karena itu perbedaan pengertian yang ada
hanyalah sebuah tujuan penulis untuk mempermudah pembaca, agar lebih mudah untuk
diapahami.

Baik juga disebutkan, terdapat perbedaan pengertian antara jumhur ulama ushul fiqh dan
jumhur ulam hadist tentang yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah. Menurut jumhur ulama,
yang dimaksud dengan sahabat ialah, setiap orang mukmin yang bertemu dengan Rasulullah,
wafat dalam keadaan mukmin dan bergaul dengan beliau dalam waktu yang lama. Sedangkan
menurut jumhur ulama hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap
orang mukmin yang bertemu dengan Rasulullah dan wafat dalam keadaan mukmin, baik
pergaulan mereka tersebut dalam waktu yang lama maupun sebentar.

Sejarah membuktikan,qaul ash shahabi merupakan rujukan hukum mengenai peristiwa-


peristiwa hukum yang baru terjadi setelah wafatnya Rasulullah, yang tidak terdapat ketentuan
hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi harus dikatakan sebagaimana
layaknya suatu komunitas masyarakat, tidak semua sahabat ahli dalam hukum islam. Bakat dan
keahlianya pun berbeda-beda. Sebagian sahabat mendalami dan menekuni masalah-masalah
hukum, sehingga tidaklah mengherankan, jika sebagian sahabat populer dengan fatwa-fatwa
hukumnya.

Muhammad ;Ajjaj al-Khatib ahli hadist berkebangsaan syiria, dalam karyanya ushul al-
hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup
bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimbah ilmu dari Rasulullah.
Seperti Umar ibn Khattab, ‘abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin
Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah sahabat yang banyak berfatwa
tentang hukum islam.

Menurut Ulama hadits yang disebut sahabat yaitu orang yang pernah bertemu dengan
Nabi dan wafat dalam keadaan islam. Menurut pandangan ahli ushul fiqh yang disebut sahabat
ialah orang yang pernah bertemu Nabi dan beriman kepadanya serta menyertai kehidupan Nabi
dalam masa yang panjang. Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menambah persyaratan
untuk disebut sahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu pada dirirnya terdapat
bakat  atau bawaan (malakah)dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai
kehidupan Nabi disebut shahabi dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).

2.      Macam-Macam Mazhab (Qaul) Al-Shahabi
      Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:
a.       Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.

Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa
dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan
sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah
hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh
perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali
bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit
haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.

Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal
tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada
kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan
masing-masing.

b.      Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat
adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.

c.       Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada
sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena
ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa
dijadikan hujjah.

d.      Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabiyang


seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya
sebagai hujjah dalam fiqh Islam.

Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan beberapa poin mengenai
macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:
1.      Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat
untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits, ”Hendaklah kalian
mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”.

2.      Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang
lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bisa
dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari
kalangan Ushuliyyin dan fuqahamengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.

3.      Kehujjahan Mazhab Shahabi


Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat
islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan
perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu menyangkut beberapa segi
pembahasan yaitu; Pembahasan dari kehujjahannya terhadap sesame sahabt lain, dan
kehujjahannya terdapat generasi berikutnya atau oaring yang selain sahabat. Pembahasan dari
segi bentuk mazhab shahabi dapat dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi
sahabat tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Beberapa
diantaranya yaitu;
Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara qath’I
berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi
hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini maka diselesaikan
dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).

Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq, tenetang
kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan. Para ulama sepakat
bahwa pwndapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainya,
baik ia seorang imam,hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini di nukilkan oleh dua pakar ushul
fiqh, yaitu; Ibn Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan beberapa argumen.

Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai rujukan
terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab, dalam masalah-
masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan
sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber
dari rasulullah.

Para ulam juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan
ketentuna hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi) baik
kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih) maupun yang dipandang
sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang
berkembang  (ijma’ as-sukuti) yang dalam istialh lain disebut dengan mazhab ash-shahabi,
misalnya :bagian warisan nenek perempuan adalah seperenam harta warisan. Sebaliknnya, para
ulam juga sepakat, bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak
menjadi hujjah terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah menunjukan dikalangan sahabat
sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu. Sekiranya
pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu perbedaan pendapat
tersebut tidak terjadi.

Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in dan generasi berikutnya atau
tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama diantaranya yaitu; Menurut jumhur
ulama, yaitu ulama Hanfiyyah, Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qadim)
dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi merupakan hujjah.
Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini
didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut : Firman Allah SWT pada suarah Ali Imran (3):
110 yang berbunyi :

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Ayat ini ditujukan kepada sahabat, sehingga menunjukan bahwa apa yang mereka
perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yang
berbunyi : “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya,
kemudian generasi berikutnya”.
Dari segi alasasn logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah  karena terdapat kemungkinan
bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat
dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat
luas kepada mereka dalam memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan persyariatan hukum syara’.
Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari
beliau,dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati
kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-qiyas, maka sangat
mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka
adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-adalah), yang sangat sulit diterima, menurut kebiasaan,
jika melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.

Dalam beberapa literature  ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang


berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat itu adalah secara terbatas bagi sahabat-
sahabat tertentu saja. Beberpa pendapat mereka adalah sebagai berikut :

1.      Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah lahir dari Abu Bakar dan ‘Umar ibn Khattab
bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang menyatakan “ikutilah dua orang sesudahku
yaitu Abu Bakar dan ‘Umar”. Hadits ini dinyatakan hasan al-Tarmidzi.

2.      Pendapat dari empat orang Khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat lainya.
Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh al-Tarmidzi; “adalah kewajibanmu untuk
mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa al-Rasyidin yang datang sesudahku”.

3.      Pendapat selain Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini dinukilkan dari al-
Syafi’i. tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’I bukan karena
kurang dari segi kualitasnya disbandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah
ia memindahkan kedudukanya ke khulafa dan waktu itu para sahabat yang bisa menjadi nara
sumber bagi khalifah dalam forum musyawarah  pada masa sebelum ‘Ali sudah tidak ada lagi.

4.      Pendapat sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Rasulullah menjadi hujjah bila ia
berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid bin Tsabit dalam bidang faraid
(hukum waris); Muaz ibn Jabal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali Abi Thalib dalam
masalah peradilan. Dikalangan ulama yang menerima kehujjahan pendapat sahabat secara
mutlak muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas.
Ulama yang berpendapat bahwa sahabat itu menjadi hujjah dan berada diatas qiyas, sehingga
kalau terjadi pembenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah pendapat
sahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini, bila ada dua pendapat yang berada dalam satu
masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana penyelesaiannya dua dalil yang
bertentangan yaitu melalui tarjih (mencari dalil yang terkuat).   

5.      Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah, namun kedudukanya
dibawah qiyas dan bila terjadi pembenturan antara keduanya maka harus didahulukan qiyas atas
pendapat sahabat. Berdasarkan pendapat kedua diatas, apakah pendapat sahabat itu dapat
digunakan untuk mentakhsis umunya dalil lafaz suatu hukum? Dalam hal ini para ulama juga
berbeda pendapat yaitu: Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umunya dalil,
sebagaimana berlaku terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hujjah.
Ulama lainya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena para
sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum. Dikalangan ulama
yang menolak kehujjahan mazhab shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang
(generasi) sesudah sahabat boleh bertaqlid kepada sahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat yaitu:
(1) Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional, bahwa bila orang boleh bertaqlid
kepada seorang mujtahid sesudah sahabat, tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujatahid
sahabat.   (2) Qaul qadim (pendapat lama)dari al-Syafi’I mengatkan boleh  bertaqlid kepada
sahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun belum dibukukan.

C.    SADD AL-DZARÎ’AH
1.      Pengertian Sadd Az-Zari’ah

Kata sadd  menurut bahasa berarti “Menutup” dan kata az-zari’ah berarti “wahsilah” atau
jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian sadd az-zari’ah secara bahasa berarti menutup jalan
kepada suatu tujuan. Imam al-satibi mendefenisikan dzari’ah dengan “melakukan suatu
pekerjaan yang semula mengandung suatu kemaslahatan untuk menuju kesuatu kemasadatan.
Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena
mengandung suatu kemaslahatan tetapi tujuan yang akan dia capai berahir pada suatu
kemafsadatan.

Menurut istilah ushul fiqih seperti dikemukakan oleh abdul karim zaidan Sadd Az-
Zari’ah berarti:
‫ سد‬I‫انه من باب منع الوسا ئل المؤديةإلى الفا‬
Artinya: menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.

2.      Kehujjahan  Sadd  Az-Zari’ah
Meskipun hampir semua dan penulis ushul fiqih menyinggung tentang sadd az-zari’ah
namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri, ada yang
menempatkan bahasanya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama.
Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menempatkan hukum meskipun
diperselisihkan penggunaannya mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan
secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai
washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil
bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap
perbuatan pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat alquran
mengisaratkan kearah itu. 

Umpamanya:
a)      Qs. Al-an’am 6: 108
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan.”
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja bahkan
jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan
menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah maka perbuatan mencaci dan
menghina itu menjadi dilarang.

b)      QS. Al-Baqarah:104
‫وا انظُرْ نَا َوا ْس َمعُوا ْ َولِل َكافِ ِرينَ َع َذابٌ أَلِي ٌم‬
ْ ُ‫وا َرا ِعنَا َوقُول‬
ْ ُ‫وا الَ تَقُول‬
ْ ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬ 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad):
"Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah:104)

Orang-orang Yahudi menggunakan lafal ‫را ِعنَا‬  untuk


َ mencela atau mengumpat Rasulullah
Saw.. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin untuk mengucapkan lafal ini agar dapat
terhindar dari ungkapan yang kiranya dapat mencela RasulullahSaw.. Larangan menggunakan
sarana tersebut adalah sadd al-dzarî`ah

c)      Qs. Annur 24: 31


“Dan janganlah mereka (perempuan itu) memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-
orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Sebenarnya menghentakkan kaki boleh-boleh saja bagi perempuan namun karena


menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan
menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.

Dari beberapa contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh
hukumnya.

3.       Macam-macam  Tingkatan  Sadd  Az-Zari’ah
Ada 2 macam pembagian dzariah,yaitu:
a.       Dzariah dilihat dari segi kualitas kemashalatannya.
Imam asy-syatibi menyatakan bahwa dilihat dari segi kualitasnya dibagi kepada 4 macam:
1)      Perbuatan yang dilakukan itu membawa itu membawa kepada kemaslahatan secara pasti.
2)      Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karena jarang membawa kemaslahatan.
3)      Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kemaslahatan.
4)      Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi
kemungkinan juga perbuatan itu membawa kemaslahatan.

b.      Dzariah dilihat dari segi  kemaslahatan yang ditimbulkannya.


Menurut Ibnu Qayyimaljauziyah, dzariah dari segi ini terbagi kepada:
1)      Perbuatan itu membawa kepada ke suatu kemasadatan seperti meminum minuman keras yang
mengakibatkan mabuk dan mabuk  itu kesuatu kemaslahatan.
2)      Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang di bolehkan atau dianjurkan tetapi jalan untuk
melakukan suatu perbuatan yang haram baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak.
4.      Aplikasi Sadd Az-Zari’ah di Zaman Kotemporer.

Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh kasus 
Saddul Adz Dzari’ah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer sehingga masyarakat
kurang memperhatikannya.

Contoh Dalam Kehidupan Sehari-Hari


1.            Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka hukumnya dilarang
secara kesepakatan ulama’.
Contoh: menggali lubang dibelakang pintu rumah atau dijalan umum.
2.            Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau pada kebiasaannya
berakibat kerusakan. Hukumnya haram. Contoh: menjual senjata dimasa perang atau banyak
fitnah, menjual anggur untuk membuat khamr.
3.            Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak sampai pada tingkat tinggi.
Ulama’ berbeda dalam menghukuminya, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam
Malik dan Imam Ahmad menetapkan keharamannya. Contoh: menjual sesuatu yang didalamnya
ada barang riba.
4.            Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini hukumnya
diperbolehkan. Contoh: melihat lain jenis disaat melamar. 

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan sebagai
berikut: Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu
hukum, beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi, Syar’u Man Qoblana, dan Sad
al-Zari’ah.

Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan
kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang
mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang
mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang
dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu
kerusakan.

http://yonputra.wordpress.com/2013/12/20/makalah-madzhab-shahabi/

Anda mungkin juga menyukai