Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH : HEMATOLOGI III

DOSEN : 1. Widarti.S.Si.Apt.,M.M.Kes

2. Herdiana.S.ST.,M.Kes

”Dermatomikosis yang Disebabkan Oleh Jamur Non-Dermatofita”

OLEH

A. NURUL MAGKHFIRAH
PO714203181002

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR


D. IV ANALIS KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta kasih
sayang dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada seluruh ciptaan- Nya, shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Alhamdulillah berkat
kemudahan yang diberikan Allah SWT, saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Dermatomikosis yang Disebabkan Oleh Jamur Non-Dermatofita”

Adapun tujuan dari Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mikologi.
Dalam Penyusunan makalah ini, saya  banyak mengalami kesulitan dan hambatan, hal ini
disebabkan oleh keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. saya berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi saya pada khususnya, dan bagi para pembaca pada
umumnya. Amiin. kami sebagai penyusun sangat menyadari bahwa dalam Penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya
sangat mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan untuk membangun.

Makassar, Kamis 08 Oktober

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah dermatofita
(dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan jamur serupa ragi candida
albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial pada kulit, rambut, kuku, dan
selaput lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan hidup dan menyebabkan infeksi
dibagian dalam. Jamur yang berhasil masuk bisa tetap berada di tempat (misetoma) atau
menyebabkan penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis).
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat
luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis profunda jarang
terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2: kelompok dermatofitosis dan
non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus dibedakan di sini dengan dermatomikosis.
Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum
korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita.
Penyebabnya adalah dermatofita yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna
keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu
microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat
yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat
makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies
epidermophyton, 17 species microsporum, dan 21 species trichophyton. Pada tahun-tahun
terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua koloni yang
berlainan “jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat
masuk kedalam family gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan arthroderma yang
masing-masing dihubungkan dengan genus microsporum dan tricophyton.
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh karena
negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah infeksi jamur
superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku.
Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga selalu
menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam penatalaksanaannya. Diagnosis
dapat ditegakkan secara klinis dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan
secara topikal dan sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi
dermatofitosis, baik dari golongan antifungal konvensional atau antifungal terbaru.
Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan
agen penyebab. Prevalensi di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian
khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya
cukup tinggi.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan pekerja
penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu lapis menderita
dermatitis kontak utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dan pekerja pengelolaan minyak
di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya
menemukan 1,82%. Sumamur (1986) memperkirakan bahwa 50-60% dari seluruh penyakit
akibat kerja adalah dermatofitosis akibat kerja. Dari data sekunder ini terlihat bahwa
dermatofitosis akibat kerja memang mempunyai prevalensi yang cukup tinggi, walaupun
jenis dermatofitosisnya tidak sama. Dan angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang
tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai
dari persentase terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 %
(Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang disebabkan oleh
dermatofita dan beberapa jamur oportunistik seperti Malasezzia, Candida (kecuali C.
albicans), Trichosporon, Rhodutorula, Cryptococcus atau Aspergillus, Geotrichum,
Alternaria, dan lainnya.
Berdasarkan lingkungan hidupnya, dermatomikosis terbagi menjadi tiga golongan
yakni : (1) superfisial, yang berkembang pada stratum corneum, rambut, kuku, (2)
subcutaneus, yang berkembang pada dermis dan/atau jaringan subkutan, dan (3)
deep/systemic, yang dapat menyebar melalui hematogen serta menyebabkan infeksi
oportunistik pada host dengan immunocompromised.
Mikosis superfisial juga dibagi menjadi dua, yaitu dermatofitosis dan non
dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi jamur dermatofita (spesies microsporum,
trichophyton, dan epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum
korneum), kuku dan rambut. Dermatofitosis terdiri dari tinea capitis, tinea barbae, tinea cruris,
tinea pedis et manum, tinea unguium dan tinea corporis. Sedangkan non dermatofitosis
terdiri dari pitiriasis versikolor, piedra hitam, piedra putih, tinea nigra palmaris, otomikosis
dan kerato mikosis
B. Infeksi Non Dermatofitosis
Penyakit ini disebabkan oleh ragi yang berkembang (Malassezia), ini
merupakan flora normal kulit pada folikel polisebaseus. Belum ditemukan alasan jelas
kenapa flora normal ini bisa menjadi agen infeksi. Lesi yang ditimbulkan berupa
makula hipopigmentasi, kadang juga disertai skuama halus di atas permukaan. Daerah
badan yang tersering terinfeksi adalah badan dan lengan atas (cenderung tidak
terpapar sinar matahari). Hipopigmentasi terjadi akibat produksi asam azelaik oleh
ragi menghambat tirosinase dalam memproduksi melanin. Infeksi ini jarang terjadi
pada daerah tubuh yang sering terpapar matahari. Ultraviolet yang mengenai kulit
menjadi faktor pembantu pembentukan melanin walaupun dihambat oleh asam
azelaik yang dihasilkan oleh Malassezia
Infeksi no dermatofitosis pada kulit biasanya terjadi pada kulit yang paling
luar, karena jamur ini tidak dapat mencerna keratin kulit sehingga hanya menyerang
lapisan kulit bagian luar. Yang termasuk jamur non dermatofitosis adalah Pitiriasis
versicolor, Tinea nigra palmaris, Piedra
1. PITIRIASIS VERSICOLOR
Disebut juga Pityrosporum ovale / Pytirosporum orbiculare / Tinea versicolor
atau Panu disebabkan oleh jamur Malazzezia furfur. Penyakit ini bersifat kronik ,
ditandai dengan adanya bercak putih sampai coklat bersisik menyerang pada
bagian badan, ketiak, paha, leher, tungkai dan kulit kepala. Infeksi terjadi jika
jamur / hifa/ spora melekat pada kulit. Penderita mengalami kelainan pada kulit ,
orang yang berkulit putih maka jamur akan tampak bercak-bercak coklat atau
merah ( hiperpigmentasi ) sedangkan pada penderita berkulit sawo matang / hitam
maka jamur akan tampak bercak-bercak lebih muda ( hipopigmentasi ). Dengan
demikian warna kulit tampak bermacam-macam ( versicolor).Penderita mengeluh
merasa gatal jika berkeringat atau tanpa keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita
merasa malu karena adanya bercak-bercak pada kulit. Penyebaran jamur ini
melalui kontak atau alat- alat pribadi yang terkontaminasi kulit penderita dan
predisposisi kebersihan pribadi.

DIAGNOSA

Dengan pemeriksaan bahan pemeriksaan kerokan kulit yang mengalami kelainan.

a. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10 %


Yang mengalami kelainan dilakukan kerokan dengan alat skalpel yang sudah
disterilkan dengan alkohol 70 %. Hasil kerokan ditampung pada cawan petri
steril atau kertas steril, dan dilakukan pemeriksaan dengan cara diambil
dengan ose diletakkan pada objek glas dan diberi KOH 10 % ditutup dengan
deck glas dan diperiksa dibawah mikroskop. Secara mikroskopik ditemukan
hifa pendek – pendek dan spora bergerombol.
b. Pemeriksaan sinar wood
Dengan pemeriksaan sinar wood pada daerah infeksi akan memperlihatkan
flouresens warna emas atau orange.
c. Kultur
Jamur Malazzezia furfur belum dapat dibiakkan pada media buatan.

TERAPI

Dengan pemberian salisil / salep imidazol / mikonazol / klotrimazol dan pemberian


ketokonazol secara oral

2. TINEA NIGRA PALMARIS


Tinea Nigra Palmaris merupakan infeksi jamur yang mengenai tangan atau
kaki yang mengalami bercak-bercak putih atau hitam. Penyebabnya adalah
Cladosporium werneckii. Infeksi jamur ini biasanya menyerang telapak tangan
atau kaki yang menimbulkan bercak-bercak warna tengguli hitam , tidak ada
keluhan yang jelas hanya dari segi estetika kurang sedap dipandang karena
tampak kotor pada tangan dan kaki, kadang-kadang terasa gatal
DIAGNOSA

Bahan pemeriksaan berasal dari kerokan kulit tempat infeksi, hasil kerokan
langsung dilakukan pemeriksaan mikroskopik dengan menggunakan KOH 10 %.
Jamur akan tampak hifa dan tunas yang berwarna hitam atau hijau tua dengan
spora yang bergerombol.

KULTUR

Jika dikultur akan tampak koloni granuler yang berwarna hitam

3. Piedra
Merupakan infeksi jamur pada rambut, berupa tonjolan, keras melekat pada
rambut. Ada dua jenis hydra yaitu: piedra hitam dan putih
PIEDRA HITAM
Merupakan infeksi jamur pada rambut kepala yang disebabkan oleh piedraia
hortai. Infeksi terjadi karena rambut kontak dengan spora jamur. rambut yang
terinfeksi mengalami kelainan berupa benjolan yang keras pada rambut yang
berwarna coklat kehitaman. Benjolan sulit dilepaskan jika dipaksakan rambut
akan patah. Penderita tidak mengalami gangguan hanya pada saat menyisir rambut
mengalami kesulitan.

DIAGNOSA

Bahan pemeriksaan berasal dari potongan rambut yang terinfeksi,


dilakukan pemeriksaan langsung dengan menggunakan KOH 10%. hasil
mikroskopik akan tampak hifa yang padat berwarna tengguli dan ditemukan askus
yang mengandung askospora

KULTUR

Jika ditanam pada media SGA dampak koloni yang berwarna hitam
PIEDRA PUTIH

Merupakan infeksi jamur pada rambut yang disebabkan oleh Trichosporon


cutaneum. Infeksi terjadi karena rambut kontak dengan spora jamur. Rambut yang
terinfeksi mengalami kelainan berupa benjolan yang tidak berwarna

DIAGNOSA

Bahan pemeriksaan berasal dari rambut yang terinfeksi dilakukan


pemeriksaan langsung dengan KOH 10%. Tampak anyaman hifa yang padat tidak
berwarna atau putih kekuningan, ditemukan arthrospora pada ujung hifa.

KULTUR

Bahan pemeriksaan jika ditanam pada media akan tumbuh koloni yang
berwarna kuning, granuler
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dermatofitosis adalah setiap infeksi fungal superfisial yang disebabkan oleh
dermatofit dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku, termasuk onikomikosis
dan berbagai macam bentuk tinea.
Dermatofita dibagi menjadi : microsporum, tricopyton, dan epidermophyton. Yang
paling terbanyak ditemukan di Indonesia adalah T.rubrum. dermatofita lain adalah:
E.floccosum, T.mentagrophytes, M. canis, M. gypseum, T.cocentricum, T.schoeleini dan T.
tonsurans.
Insidensi Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga
dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit jamur
yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%.
Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum.
Klasifikasi yang sering dipakai oleh para specialis kulit yi berdasarkan lokasi:
a. Tinea kapitis, tinea pada kulit dan rambut kepala
b. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jengggot.
c. Tinea kruris, dermatofita pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-
kadang sampai perut bagian bawah.
d. Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
e. Tinea unguium, tinea pada kuku kaki dan tangan.
f. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk 5 bentuk tinea diatas.
Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu bercak
bercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga memberikan
kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang aktif serta berbatas tegas sedang
bagian tengah tampak tenang. Gejala objektif ini selalu disertai dengan perasaan gatal, bila
kulit yang gatal ini digaruk maka papula-papula atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga
menimbulkan daerah yang erosit dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang
bentuknya menyerupai dermatitis (ekzema marginatum), tetapi kadang-kadang hanya berupa
makula yang berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai
gejala-gejala pioderma (impetigenisasi).
Tinea pedis et manum dibedakan dengan dermatitis, hiperhidrosis karena
(pengelupasan kulit). Tinea pedis murni dan kandidosis sangat sulit dibedakan, biasanya
pemeriksaan dengan KOH membantu diagnosa. Dengan sifilis sekunder akan dibedakan
dengan gejala lain pada sifilis seperti pembesaran kelenjar getah bening, adanya kondiloma
lata, afek primer dan sebagainya membantu dalm mendiagnosa. Tinea unguium juga harus
dibedakan denga psoriasis pada kuku dan dengan kandidosis unguium. Sedangkan tinea
korporis harus dibedakan dengan dermatitis seboroik, psoriasis, ptiriasis rosea, eritrasma, dan
kandidosis kutis. Begitu pula dengan tinea kapitis. Semuanya dibandingkan tidak hanya
berdasarkan lesi tetapi juga berdasarkan predileksi.
Pengobatan dermatophytosis sering tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi
tunggal pada kulit dapat diterapi secara adekuat dengan antijamur topikal. Walaupun
pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan biasanya
membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Pilihan terapi oral yaitu grisiofulfin atau
itrakonazol atau ketokonazol bila terdapat resistensi terhadap griseofulvin. Lama penggunaan
juga disesuaikan dengan keadaan klinis.
DAFTAR PUSTAKA

Gandahusada S., Ilahude D. H., Pribadi W. 2004. Parasitologi Kedokteran edisi


ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hidayati, dkk. Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2003–2005. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin. Vol. 21 No. 1. 2009..

http://amuntahadsmcom.blogspot.com/2011/04/non-dermatofitosis.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai