Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN

SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOUS (SLE)

A. Pengertian
- Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. (Sudoyo Aru,dkk
2009)
- Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik
dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini
bisa bermacam - macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiognisis.
- Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminant atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai
macam autoantibodi dalam tubuh.
B. Etiologi
Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum diketahui,
Diduga ada beberapa paktor yang terlibat seperti faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sistemik Lupus Eritematosus).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan
jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan
antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun
sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan
multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan
self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap
beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1. Infeksi
2. Antibiotik
3. Sinar ultraviolet
4. Stress yang berlebihan
5. Obat-obatan yang tertentu
6. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-
15 kali sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita
sering terserang penyakit lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini
pada masa sebelum menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa
hormone (terutama esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip lupus, yang
akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan.

C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan
produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi serangan antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1) Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2) Pembentukan sitokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
- Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin dalam tubuh
- Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
- Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang tersebut
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ
yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

D. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak
disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga
menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang
terkenanya sistem imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin
berlangsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh
faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat.
Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu
makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
1. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal,
berupa artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal
proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan
pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi
sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau
ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi
pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan
pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena
ialah kaput femoris.
2. Gejala mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus
SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut,
subakut, diskoid dan livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan
kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit
yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk
lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis
dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup
sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama
akan terbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada
SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi
hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria
yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya
menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis
dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi.
Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak
nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen
Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas
penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.
3. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling
sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan
kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang
urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE
difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus
merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom
nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis
penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom
nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah
pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan
salah satu penyebab kematian SLE kronik.
4. Kardiovaskular
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).

5. Paru
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-
faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah
disingkirkan.
6. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual
(muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan
sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin
disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil
mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga
menimbulkan pankreatitis.
7. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali
normal.
8. Kelenjer Getah Bening
Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya
berupa limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati
difus ini kadang-kadang disangka sebagai limfoma.
9. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.
10. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.
Biasanya bersifat sementara
11. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan
bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien
menunjukkan gejala delusi/ halusinasi disamping gejala khas kelainan organik
otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat
kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis
tak dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya
baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang
dipakai. Psikosis penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan
psikosis steroid sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan
lain yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia
karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya. Mekanisme
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor - faktor yang
memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus
koroideus.

E. Klasifikasi
Penyakit Lupus yang diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu :
1. Dicoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas erithema
yang meninggi, skuama, sumbatan falikuler dan telangiektasia. Lesi ini timbul
dikulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung dan dada. Penyakit ini
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan jaringan parut.
2. Sistemik lupus erythematous
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor dan karekteristik oleh adanya gangguan
disgerulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi.
Autoantibody yang berlebihan terbentuknya auto antibodi terhadap dSDNA,
berbagai macam ribonuklea protein intraseluler, sel-sel darah dan fosfolipid dan
dapat menyebabkan jaringan melalui mekanisme pengaktifan komplemen
3. Lupus Yang diinduksikan oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DP-4 menyebabkan asetilatasi akan menjadi
lambat. Obat banyak terakumulasi ditubuh sehinggan memberikan kesempatan
obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon benda asing oleh
tubuh sehingga tubuh manusia membentuk kompleks antibody antinuklir ( ANA
) untuk menyerang benda asing tersebut
F. Penatalaksanaan
Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara
penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis.
Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat,
trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif.
Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostik.
a) Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan
pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang
tenang.
b) Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari
suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif
terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja
karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga
jumblah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain,
jika hasil test posotof maka sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain
tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya dilakukan test serelogi yang lain
untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat
meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.

c) Test laboratorium lain


Test laboratorium lainya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring tetapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, urinalisis, serum kreatinin, test fungsi hepar.

G. Penatalaksanaan
1. Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif
yang agresif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ
mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi
kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan
yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan
melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas
autoimun di tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,2004):
1. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau
komplikasi pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di
samping pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu
mengubah gaya hidup. SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar
matahari pada waktu-waktu tersebut.
2. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat
LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya.
Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan
menggunakan obat yang mengandung estrogen.

3. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada
keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi
nonsteroid namun tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping
terhadap system gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan
pemeriksaan kreatinin serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis
rendah 15 mg, setiap pagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar
sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung
PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap
sinar ultraviolet A dan B atau steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya
betametason valerat dan triamsinolon asetonid.
4. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5
mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan
prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1
gram atau 15 mg/kgBB selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-
1,5 mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :
a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
d. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan
gejala artritis.
e. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau
triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
f. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti
hidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
g. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah
eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan
dengan sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus,
faskulitis dan gangguan pada SSP. (Kowalak, Welsh, Mayer . 2002).

Anda mungkin juga menyukai