Anda di halaman 1dari 85

Review

5 Buku Yang Berkaitan dengan Hubungan Pusat dan Daerah

Tugas

Di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah hubungan pusat & daerah

Dosen : Dr. Dr. Rahman Mulyawan, M.Si

Di Susun Oleh :
Yusriansyah
NPM. 171520180005

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAH


FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
DAFTAR PUSTAKA

i. Hubungan antara pusat dan daerah menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Pengarang
Prof.Dr. Bagir Manan, SH, MCL)
ii. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat & Daerah di Indonesia (Pengarang Ahmad
Yani, S.H., M.M., A.K
iii. Hubungan Pusat dan Daerah dalam Buku Sistem Pemerintahan Indonesia Edisi Revisi
(Prof. Dr.C.S.T. Kansil, S.H & Christine S.T. Kansil, S.H., M.H)
iv. Hubungan Pusat dan Daerah dalam Buku Ilmu Pemerintahan Edisi Revisi (Drs. Inu
Kencana Syafiie, M.Si)
v. Pemerintah Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah (Prof. Dr.C.S.T Kansil,S.H
& Christine S.T Kansil, S.H., M.H)
vi. Analisis terhadap Substansi Buku

Review Buku
Hubungan Antara Pusat & Daerah Menurut UUD 1945
Oleh : Prof. Dr Bagir Manan, SH,MCL

Buku ini menjelaskan secara detail mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah
yang didasarkan pada hukum dasar /konstitusi Tahun 1945 sebelum amandemen , lebih lanjut
buku ini menjelaskan bentuk desentralisasi di tiga negara eropa yakni Inggris, Perancis dan
Belanda sebagai unit analisis komparasi untuk melihat sejauh mana efektifitas hubungan pusat
dan daerah.
Sasaran pokok pembangunan nasional sebagai tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesiaadalah mensejahterakan masyarakat melalui
konsep pembangunan nasional. Mengembangkan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah merupakan sasaran pokok pembangunan nasional. Hubungan kerja serasi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu terus dikembangkan atas dasar keutuhan
negara kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung
jawab.
Pada dasarnya hubungan antara pusat dan daerah tidak hanya terbatas pada bidang
keuangan saja, melainkan hubungan keuangan tersebut merupakan pengaruh dari akibat adanya
pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang lebih mendasa yaitu pembagian
wewenang, tanggung jawab, dan tugas dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Hubungan antara pusat dan daerah mencakup pola hubungan pengawasan, hubungan yang timbul
akibat sistem rumah tangga daerah atau tugas pembantuan dan sebagainya. Dengan demikian,
penyelidikan atau pengkajian hubungan antara pemerintah pusat dan daerah akan mencakup
berbagai segi.
Persoalan hubungan antara pusat dan daerah pada negara dengan susunan organisasi
desentralistik timbul karena pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab pemerintahan
negara tidak hanya dilakukan oleh (dari) satu pusat pemerintahan. Desentralisasi pada negara
kesatuan berwujud dalam bentuk-bentuk satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah
(teriotorial dan fungsional) yang berhak mengatur dan mengurus sendiri sebagaian urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 1 ayat 3 menjelaskan Indonesia adalah negara hukum, yang mana dalam
negara hukum, hukumlah yang merintis jalan dan meletakkan dasar-dasar keseimbangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Namun demikian, perlu disadari bahwa kesulitan menumbuhkan
hubungan serasi antara pemerintah pusat dan daerah bukan semata-mata timbul karena
perbedaan kecenderungan. Kesulitan menumbuhkan hubungan serasi antara pemerintah pusat
dan daerah terjadi pula karena :
a. Lingkungan pusat (nasional) mencakup semua wilayah negara (territorial negara). Dipihak
lain wilayah negara dibagi ke dalam daerah-daerah pemerintahan lebih rendah.
b. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah biasanya diatur
dalam berbagai kaidah hukum khususnya peraturan perundang-undangan.
c. Pelaksanaan konsepsi negara kesejahteraan membawa perubahana pada ruang lingkup dan
isi wewenang, tugas dan tanggung jawab pemerintah baik kuantitatif maupun kualitatif.
Tugas-tugas baru bertambah dan tugas-tugas lama makin berkembang pula. Pertambahan
dan perkembangan wewenang, tugas dan tanggung jawab di bidang pemerintahan
menimbulkan beberapa akibat :
1) Urusan pemerintahan yang begitu luas dan kompleks dan tidak mungkin dirinci,
menimbulkan berbagai persoalan seperti: Bagaimanakah urusan pemerintahan sebaiknya
dibagi antara pemerintah pusat dan daerah.
2) Pertambahan dan perkembangan urusan pemerintahan secara kualitatif dapat
menimbulkan perubahan pada sifat urusan pemerintahan tersebut. Suatu urusan yang
semula bersifat kedaerahan (lokal) dapat berubah menjadi urusan yang mempunyai sifat
nasional.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang dibagi atas daerah provinsi dan
daerah provinsi tersebut dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota yang dalam melaksanakan
urusannya menggunakan sistem konsep desentralisasi. Desentralisasi merupakan salah satu sendi
susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk negara Republik
Indonesia. Susunan organisasi negara yang desentralistik senantiasa ada meskipun terjadi
penggantian Undang-Undang Dasar.
Sistem Rumah Tangga Formal
Ada beberapa kesulitasn dalam mempertinggi hasil guna sistem rumah tangga formal :
a. Tingkat hasil guna dan daya guna sistem rumah tangga formal sangat tergantung pada
kreativitas dan aktivitas daerah, daerah harus mampu melihat urusan yang pertimbangan
mereka penting bagi daerah dan wajar serta tepat diatur dan diurus daerah.
b. Hambatan lain adalah aspek keuangan daerah, meskipun daerah mempunyai peluang yang
luas untuk mengembangkan urusan rumah tangga daerah, hal itu tidak mungkin terlaksana
tanpa ditopang oleh sumber keuangan yang memadai.
c. Hambatan teknis yakni daerah tidak dapat secara mudah mengetahui urusan yang belum
diselenggarakan oleh pusat dan pemerintah daerah tingkat yang lebih atas.
Berdasarkan kajian diatas, ada beberapa pertimbangan untuk mempergunakan sistem rumah
tangga formal :
a. Adanya anggapan bahwa tidak ada perbedaan sifat urusan pemerintahan. Setiap urusan
pemerintahan dapat diatur dan diurus baik oleh pusat ataupun daerah tergantung pada
kemanfaatan, daya guna dan hasil guna.
b. Sistem rumah tangga formal merupakan saran yang memberikan peluang lebih luas kepada
daerah untuk memperluas wewenang, tugas dan tanggung jawab dalam urusan
pemerintahan. Sistem rumah tangga formal merupakan salah satu cara untuk memelihara
warisan historis dan kebudayaan ketatanegaraan dan pemerintahan asli dengan cara tetap
membiarkan daerah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang secara tradisional
termasuk urusan rumah tangganya.
Sistem rumah tangga formal merupakan sarana yang baik untuk mendukung kecenderungan
sentralisasi. Ketidakpastian urusan rumah tangga daerah, tidak ada tradisi otonomi, rendahnya
inisiatif daerah akan menjelmakan daerah yang serba menunggu dan tergantung kepada pusat.

Sistem Rumah Tangga Material


Keraguan dan ketidakpastian dalam sistem rumah tangga formal dapat diatasi oleh sistem
rumah tangga materil. Dalam sistem rumah tangga materill ada pembagian wewenang, tugas dan
tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang termasuk ke
dalam urusan rumah tangga daerah yang ditetapkan dengan pasti.
Sistem rumah tangga material berpangkal pada pemikiran bahwa memang ada perbedaan
mendasar antara urusan pemerintahan pusat dan daerah.Daerah dianggap memang mempunyai
ruang lingkup urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh pusat. Oleh karena itu, di
Belanda sistem desentralisasi material disebut juga ajaran tiga lingkungan, disebut ajaran tiga
lingkungan karena sesuai dengan susunan satuan organisasi pemerintahan Belanda yang terdiri
dari Pemerintah pusat, Provinsi dan Gemeente.
Sistem rumah tangga material sebenarnya berpangkal tolak pada dasar pemikiran yang
keliru yaitu anggapan bahwa urusan pemerintahan itu mungkin dirinci dan dipilah-pilah.
Memang dalam hal-hal tertentu tampak sifat atau karakter suatu urusan pemerintahan misalnya
yang menyangkut kepentingan dan ketertiban seluruh negara seperti urusan pertahanan
keamanan, urusan luar negeri dan urusan moneter tertentu.

Sistem Rumah Tangga rill (Nyata)


Sistem ini sering disamakan dengan sistem otonomi rill atau nyata, karena isi rumah tangga
daerah didasarkan pada keadaan dan faktor-faktor yang nyata. Sistem rumah tangga formal
mengandung dasar-dasar yang lebih kokoh untuk mewujudkan prinsip dan tujuan rumah tangga
daripada sistem rumah tangga material. Dalam konteks pemikiran dapat dipahami apabila sistem
rumah tangga nyata meletakkan alasanya pada sistem rumah tangga formal. Hanya dengan
sistem rumah tangga formal yang disertai dengan unsur-unsur sistem rumah tangga material,
tujuan rumah tangga, khususnya otonomi dapat diwujudkan secara wajar, dengan adanya
sejumlah urusan pemerintahan yang diserahkan, daerah sejak awal telah mempunyai kepastian
mengenai urusan rumah tangga materiallah yang merupakan asas sistem rumah tangga nyata.
Sistem rumah tangga formal justru sebagai kelengkapan yang menyempurnakan, jalan pikiran
semacam ini sukar di pertahankan berdasarkan beberapa hal, yaitu :
a. Sistem rumah tangga material bertolak dari asumsi yang keliru, yaitu menganggap urusan
pemerintahan dapat dirinci dan karena itu dibagi-bagi secara rinci pula.
b. Sistem rumah tangga material, lebih terasa mengekang karena terikat pada urusan
pemerintahan yang secara rinci ditetapkan sebagai urusan rumah tangga.
c. Sistem rumah tangga mataerial akan lebih banyak merentangkan (spanning) hubungan
pusat dan daerah.
d. Perkembangan desentralisasi, khususnya otonomi dalam sistem rumah tangga material
sangat tergantung pada pusat, karena semua faktor diatas tidak mencerminkan tujuan dari
desentralisasi, khususnya otonomi. Yang mana ketika sistem rumah tangga material di
jadikan asas dalam sistem rumah tangga rill makan akan berdampak pada pembatasan-
pembatasan terhadap otonomi daerah.
Sistem rumah tangga riil memang mengandung ciri-ciri sistem rumah tangga formal
maupun sistem rumah tangga material. Meskipun demikian, rumah tangga nyata menunjukkan
ciri-ciri khas yang membedakannya dari sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga
material, yaitu :
a. Adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah otonom,
memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal semacam ini tidak
mungkin terjadi pada sistem rumah tangga formal;
b. Di samping urusan-urusan rumah tangga yang ditetapkan secara “material” daerah-daerah
dalam rumah tangga nyata, dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan
pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang
belum diatur dan diurus oleh pusat atau daerah tingkat yang lebih atas.
c. Otonomi dalam rumah tangga nyata di dasarkan pada faktor-faktor nyata suatu daerah.
Hal tersebut memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan-urusan rumah tangga daerah
sesuai dengan keadan masing-masing.
Berdasarkan ciri-ciri diatas dapat dilihat bahwa sistem rumah tangga rill (nyata) memiliki
sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem rumah tangga formal maupun material . sistem
rumah tangga nyata dijadikan jalan tengah yang diharapkan dapat mengatasi masalah kesulitan
dan kelemahan yang terkandung dalam kedua sistem rumah tangga baik formal maupun material,
sehingga sistem rumah tangga rill diharapkan mampu mewujudkan suatu sistem rumah tangga
yang sehat dan kuat dalam suatu kerangka hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Desentralisasi, Demokrasi dan Negara Hukum.


Hubungan desentralisasi dengan kerakyatan (Demokrasi) di utarakan oleh Muhammad
Hatta yang menyatakan : “Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan
nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negaeri, melainkan juga pada tiap tempat, di
kota, di desa dan di daerah.”
Makna diatas menunjukkan bahwa kedaulatan tersebut bukan saja diperoleh dengan
sumbangsih pemerintahan pusat saja melainkan ada unsur penting lainnya yang juga dapat
mewujudkan kedaultan rakyat yakni pemerintah daerah. Selanjutnya penjelasan mengenai
konsep pemerintah daerah dan desentralisasi sebagai salah satu sendi susunan Indonesia
merdeka. Ia menyatakan bahwa :
“oleh karena Indonesia dibagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka diperlukan
tiap-tiap golongan, kecil atau besar mendapatkan otonomi, mendapatkan hak untuk
menentukan nasib sendiri. Satu-satunya dapat mengatur pemerintahan sendiri menurut
keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja peraturan-peraturan masing-masing tidak
berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum”
Alexis de Tocqueville berpendapat bahwa kehadiran lembaga pemerintahan tingkat daerah
tidak dapat dipisahkan dari semangat kebebasan. Dengan demikian suatu pemerintahan yang
merdeka tetapi tanpa disertai oleh semangat untuk membangun lembaga pemerintahan tingkat
daerah tidaklah akan mempunyai semangat kedaulatan rakyat, karena tidak mempunyai
semangat kebebasan.
Ada tiga faktor utama yang menunjukkan kaitan erat antara pembentukan dan susunan
pemerintahan tingkat daerah (desentralisasi) dengan kerakyatan, yaitu :
1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan
2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan agar rakyat memutus sendiri
berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka.
Membiasakan rakyat mengurus dan mengatur sendiri urusan-urusan yang bersifat lokal,
bukan hanya sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang
sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik.
3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang
mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.
Desentralisasi merupakan cara terbaik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, hal tersebut
dikarenakan desentralisasi memperluas kesempatan bagi rakyat baik secara kualitatif maupun
kuantitatif turut serta dalam memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan
dibandingkan ketika penyelenggaraan terbatas pada tingkat pusat saja.
Menurut paham klasik, negara hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan
warganya, yakni Undang-Undang atau konstitusi sebagai alat untuk membatasi
kekuasaan pemerintah atau negara, hal tersebut dibuktikan dengan materi muatan yang
selalu terdapat berbagai macam pembatasan di dalamnya;
2. Ada pembagian kekuasaan yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman
yang merdeka, pada dasarnya hal ini, dibentuk semata-mata untuk adanya pembatasan
antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya, dengan konsep check and
balances system;
3. Ada pemencaraan kekuasaan negara/pemerintah, yang memiliki makna dalam
membentuk rumah tangga mengandung makna pengakuan dan kemajemukan sebagai
salah satu asumsi kedaulatan rakyat.;
4. Ada jaminan hak-hak asasi manusia, jaminan mengenai HAM di artikan bahwa adanya
persamaan di depan hukum, perlindungan hukum dan asas legilitas bertujuan untuk
menghindarkan negara atau pemerintah bertindak sewenang-wenang.;
5. Ada jaminan persamaan di muka hukum dan jaminan perlindungan hukum ;
6. Ada legalitas. Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus didasarkan atas hukum
(undang-undang).

Hubungan Pusat dan Daerah


Latar belakang pasal 18 UUD 1945 di dasarkan pada hasil sidang BPUPKI yang
menghendaki adanya pelimpahan wewenang secara mendasar di wilayah atau pulau-pulau besar
Indonesia sebagai wujud negara kesatuan yang menjunjung tinggi kedauluatan rakyat. Lebih
lanjut Dr.Amir, Ratulanggi dan Soepomo sepemikiran bahwa urusan rumah tangga pada
dasarnya harus diserahkan kepada daerah, namun ada beberapa pengecualian tetapi tetap basic
untuk urusan rumah tangga seyognya diberikan kepada pemerintah daerah. Memperhatikan
pertayaan ketiga anggota BPUPKI tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa :
a. Bahwa maksud pembagian daerah besar dan kecil tidak lain dari pembagian ke dalam
daerah daerah otonom.
b. Bahwa isi otonomi adalah seluas-luasnya “asal saja dilakukan dengan permusyawaratan,
dan tidak boleh membuat peraturan sendiri yang menentang dasar pemerintah pusat.
Berdasrkan ketentuan di atas, ketentuan Pasal 18 mengandung beberapa prinsip yakni :
1) Prinsip desentralisasi territorial wilayah NKRI akan dibagi dalam satuan-satuan
pemerintahan yang tersusun dalam daerah besar dan kecil, dengan demikian UUD 1945
tidak mengatur mengenai desentralisasi fungsional.
2) Perintah kepada pembentukan UU untuk mengatur desentralisasi territorial tersebut
dalam Undang-Undang (Undang-Undang Organik).
3) Perintah dalam pembentukan UU dalam menyusun undang-undang tentang desentralisasi
territorial harus :
a. Memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara;
b. Memandang dan mengingati hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.
Dasar permusyawaratan di sini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penggalian
nilai-nilai pancasila yakni sila keempat pancasila yang tercantum dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan adalah padanan kata demokrasi. Dalam Undang-
Undang Pasal 1 ayat 2 menjelaskan secara detail mengenai kerakyatan yang diterjemahkan
menjadi kedaulatan rakyat. Kerakyatan, kedaulatan rakyat atau demokrasi dijalankan dengan
permusyawaratan/perwakilan.
Berdasarkan pasal 18, dasar permusyawaratan diadakan pula pada tingkat daerah, hal
tersebut menyebabkan bahwa permusyawaratan perwakilan, tidak hanya terdapat dalam
pemerintahan pada tingkat atas/pusat, melainkan juga pada pemerintah daerah. Pasal 18 UUD
1945 sebelum amandemen menyebutkan bahwa pemerintah daerah dalam susunan daerah besar
dan kecil harus dijalankan melalui permusyawaratan atau harus memiliki badan perwakilan.
Selanjutnya Hatta, menafsirkan bahwa hak untuk melakukan pemerintahan sendiri
sebagai sendi kerakyatan dalam sebuah negara kesatuan tidak lain berarti otonomi yaitu hak
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri.
Penjelasan UUD 1945, pasal 18 mengindentifikasikan “hak-hak asal-usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa sebagai daerah-daerah yang mempunyai susunan asli yaitu
Zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen.
Kedua susunan pemerintahan diatas, meskipun tunduk kepada berbagai peraturan
pemerintahan Hindia Belanda memang merupakan pemerintahan Indonesia Asli. Pemerintahan
tersebut bukan hasil bentukan atau ciptaan peraturan perundang-undangan atau pemerintah
hindia belanda melainkan diciptakan dan dijalankan oleh “Bumiputera”.
Pada masa kemerdekaan Zelfbesturende landschappen, dikenal dengan istilah Swapraja.
Swapraja adalah persekutuan hukum territorial Indonesia asli dengan sifat hukumnya sendiri.
Keberadaan Swapraja pada masa pemerintahan Hindia Belanda didasarkan perjanjian. Swapraja
memiliki hak pemerintahan dan memerintah sendiri. Pemerintah Swapraja pada dasarnya diatur
menurut hukum adat, sepanjang tidak ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian Swaparaja adalah daerah otonom dalam lingkungan susunan pemerintah
Hindia Belanda.
Sedangkan, volksgemeenschappen dalam penjelasan pasal 18 adalah desa, negeri, marga
dan sebagainya. Volksgemeenschappen adalah daerah otonom yang dibiarkan mengatur dan
mengurus urusan-urusan rumah tangan mereka sebagaimana tercantum dalam dasar konstitusi
Hukum Hindia yakni IS pada pasal 128 ayat 3. Dari pembahasan diatas, maka “memandang dan
mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” menurut pasal 18
sepanjang mengacu pada volksgemeenschappen dan Zelfbesturende landschappen berarti
menunjuk kepada daerah otonom asli Indonesia yakni Swapraja dan Desa. Dengan demikian,
ditinjau dari pengertian “memandang dan mengingati hak-hak dan asal-usul dalam daerah-daerah
yang bersifat istimewa “.
Kesimpulan bahwa Pasal 18 tidak mengatur mengenai pemerintah wilayah dan
dekonsentrasi sama sekali tidak mengandung arti bahwa dekonsentrasi adalah sesuatu yang tidak
perlu atau kurang penting. Dekonsentrasi adalah mekanisme untuk menyelenggarakan urusan
pusat di daerah. Pengaturan dekonsentrasi terutama yang berkaitan dengan pembentukan wilayah
pemerintahan administrative harus menghindari beberapa hal, antara lain:
a. Kehadiran wilayah pemerintahan administrative jangan sampai menggeser satuan
pemerintahan otonom yang merupakan salah satu sendi sistem ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar 1945.
b. Kehadiran wilayah pemerintahan administrative jangan sampai menimbulkan dualism
penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah;
c. Kehadiran wilayah pemerintahan administrative jangan sampai menimbulkan
kesimpangsiuran wewenang, tugas dan tanggung jawab dengan satuan pemerintahan
otonom yang akan mempengaruhi fungsi pelayanan terhadap masyarakat.
Dasar-dasar hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi.
Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
Terdapat dua ciri pokok paham kerakyatan menurut UUD 1945, yaitu :
1) Penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berjalan dan dijalankan secara damai,
untuk memungkinkan berjalannya proses serba damai atas dasar nikmat kebijaksanaan
atau kearifan, kekuasaan negara atau pemerintah berdasarkan paham kerakyatan harus
dibatasi dan diatur secara konstitusional.
2) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Antara permusyawaratan dan perwakilan diletakkan tanda
baca “/” (garis miring) menurut ketentuan tata bahasa, tanda baca tersebut menunjukkan
adanya pilihan atau alternative, dan apabila penggunaan pengertian tersebut di
pergunakan, maka kerakyatan menurut dasar negara dijadikan melalui
“permusyawaratan” atau melalui “perwakilan”. Adapun maksud garis miring tersebut,
didasarkan pada dua hipotesis yakni : Pertama, terdapat tiga unsur kerakyatan yang
tercantum dalam dasar negara RI, yaitu : “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”,
“permusyawaratan” dan “perwakilan”. Kedua memang dimaksudkan sebagai alternative
atau pilihan tetapi kata “permusyawaratan” disini tidak berarti berunding atau cara
mencapai mufakat melainkan sebagai “corak kerakyatan”. Jadi corak kerakyatan yaitu
“kerakyatan yang bercorak permusyawaratan” dan ”kerakyatan yang bercorak
perwakilan” kerakyatan yang bercorak permusyawaratan adalah kerakyatan yang
mengikusertakan seluruh warga untuk ikut bermusyawarah atau berunding, dengan kata
lain kata permusyawaratan dalam sila keempat mengandung arti “kerakyatan yang
dilaksanakan secara langsung” artinya demokrasi langsung. Pengertian ini memiliki dasar
yang lebih kuat, dengan alasan :
a. Di tinjau dari kepentingan desentralisasi, permusyawaratan sebagai corak kerakyatan
yang dijalankan secara langsung menjadi dasar yang membenarkan rapat-rapat atau
musyawarah desa yang bertujuan mengatur dan mengurus kepentingan mereka
sendiri.
b. Memberi arti “permusyawaratan” sebagai corak kerakyatan yang dijalankan secara
langsung, akan mewadahi secara konstitusional keikusertaan rakyat secara langsung
untuk menetapkan atau memutuskan masalah kenegaraan yang penting. Misalnya
Referendum untuk perubahan UUD 1945.
c. Apabila “permusyawaratan” diartikan semata-mata sebagai cara berunding, sudah
dapat diduga bahwa para perancang dan penyusunan UUD 1945, sangat memahami
bahwa kerakyatan dalam perwakilan harus dijalankan dengan permusyawaratan.
Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki kerakyaan dilaksanakan pada pemerintahan
tingkat daerah berarti UUD 1945 menghendaki keikusertaan rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintah tingkat daerah. Keikusertaan rakyat pada pemerintah tingkat daerah hanya
dimungkinkan oleh desentralisasi.

Dasar Pemeliharaan dan Pengembangan Prinsip Prinsip Pemerintahan Asli


Format terakhir: Susunan ketatanegaraan asli yang dibiarkan atau diakui pada masa
pemerintahan Hindia Belanda adalah Swapraja dan Desa. Swaparja pada dasarnya lebih
menampakkan ciri-ciri pemerintahan berdasarkan paham feodalisme. Bentuk pemerintahan
Swapraja tidak seragam ada yang diperintah satu orang raja, ada yang dipimpin oleh lebih dari
satu orang, ada yang berbentuk republik dan kerajaan, yang mana semuanya menunjukkan
persamaan yakni rakyat tidak turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain,
pada pemerintahan swapraja tidak terdapat dasar permusyawaratan atau kerakyatan. Selanjutnya
karena mengandung unsur-unsur feodalistik atau tidak terdapat unsur permusyawaratan atau
kerakyatan, UUDS 1950 membuat semacam persyaratan bagi pemerintahan swapraja dengan
menyebutkan :
“Kedudukan daerah swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa
dalam bentuk susunan pemerintahannya harus didasarkan pada permusyawaratan dan
perwakilan dalam sistem permusyawaratan” (Pasal 132 ayat 1)”.
Sementara, pemerintah desa bersendikan paham kerakyatan, dijalankan atas dasar
permusyawaratan pimpinan desa (kepala desa) di pilih langsung oleh warga desa. Rakyat turut
serta dalam penyelenggaraan pemerintahan desa melalui musyawarah desa. prinsip-prinsip
kerakyatan pada pemerintah desa inilah yang ingin diangkat oleh para pejuang kemerdekaan dan
penyusun UUD 1945 dan menjadi sendi kerakyatan Indonesia merdeka.
Sebagai daerah otonom, Swaparja dan Desa mempunyai urusan rumah tangga sendiri, tetapi
akibat penjajahanan, urusan rumah tangga swapraja dan desa mengalami perkembangan yang
agak berbeda. Swaparja, meskipun pada asasnya tetap diatur berdasarkan hukum adat, terdapat
juga peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berusaha membatasi kebebasan
Swapraja untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga daerahnya. Pembatasan
tersebut dapat berbentuk pengawasan atas keputusan yang dibuat oleh Swapraja. Sementara
dengan desa, pemerintah desa dibiarkan untuk mengatur sendiri segala sesuatu mengenai
kepentingan desa. Pertumbuhan dam Perkembangan urusan rumah tangga desa, bukan berasal
dari penyerahan, melainkan tumbuh dan berkembang atas inisiatif sendiri. Inisiatif sendiri untuk
mengatur dan mengurus kepentingan desa adalah inti sistem rumah tangga desa.
Dengan demikian “memandang” dan mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah daerah
yang bersifat istimewa, selain pengukuhan adanya daerah-daerah otonom, juga mengandung
pengertian bahwa dalam sistem pemerintahan daerah haruslah ada tempat bagi inisiatif sendiri
dari daerah yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap
penting bagi daerahnya.

Dasar Kebhinekaan
Di tinjau dari dasar kemajemukan atau dasar-dasar yang lain, desentralisasi di Indonesia
bukan sekedar alat atau sarana pencegah disintegrasi. Desentralisasi tidak terlepas dari tujuan
membentuk pemerintah negara Indonesia yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengenai hubungan antara kebhinekaan atau kemajemukan dan desentralisasi telah
diutarakan hatta, jauh sebelum Indonesia merdeka. “ oleh karena itu Indonesia terbagi atas
beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan , kecil atau besar,
mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri. Keberadaan kemajemukan
sosial, budaya dan kepercayaan akan menimbulkan hajat hidup atau kebutuhan yang berbeda-
beda dari setiap daerah, hal tersebut dikarena unsur geografis akan timbul pula perbedaan
kebutuhan. Perbedaan-perbedaan hajat hidup atau kebutuhan tersebut hanya akan terlayani
dengan baik apabila terdapat satuan pemerintahan yang lebih rendah yang dapat secara nyata
melihat dan mengetahui kebutuhan setempat. Oleh karenannya desentralisasi menjadi cara
terbaik untuk menampung berbagai keragaman bukan sentralisasi.
Dasar Negara Hukum
Dasar keempat desentralisasi yang akan mendasari hubungan antara pusat dan daerah
adalah dasar negara hukum. Karena dasar negara hukum pada akhirnya akan mengatur dan
membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar
kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Ciri negara hukum berkaitan erat dengan desentralisasi secara
langsung yakni :
1. Prinsip pemencaraan kekuasaan, secara konstitusional, pemencaraan kekuasaan menurut
desentralisasi dilakukan melalui badan-badan public yang mandiri, pendukung
wewenang, tugas dan tanggung jawab yang mandiri. Sebagai badan yang mandiri organ-
organ pemerintahan desentralisasi tidak berada dalam kedudukan hubungan berjenjang
dengan organ-organ satu pemerintahan tingkat yang lebih atas. Pemencaran kekuasaan
menurut desentralisasi adalah pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara
badan-badan kenegaraan yaitu antara negara dan satuan daerah pemerintahan lebih
rendah yang sama-sama sebagai badan publik. Lebih lanjut sifat-sifat badan desentralisasi
adalah badan politik, karenanya organ atau alat kelengkapan pemerintahannya pun
pertama-tama menunjukkan karakter politik.
2. Prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial, Dalam UUD 1945 dipergunakan tiga istilah
yang mengacu kepada kesejahteraan, yakni kesejahteraan umum (tujuan pembentukan
negara Indonesia), keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Tercantum dalam dasar
negara), dan kesejahteraan sosial (BAB XIV tentang perekonomian dan pemeliharaan
fakir miskin dan anak terlantar). Desentralisasi merupakan sendi yang tepat untuk
menampung menyalurkan dan melayani dengan baik sifat-sifat khusus yang berbeda-
beda. Sendi desentralisasi lebih tepat karena desentralisasi lebih menjamin rasa tentram
dan keamanan. Dengan kata lain, desentralisasi adalah sarana yang lebih tepat daripada
dekonsentrasi dalam menjaga keutuhan negara kesatuan. Desentralisasi memberikan
kepada rakyat (daerah) untuk bersama-sama memikul beban dan tanggung jawab
mewujudkan kesejahteraan dan memelihara keutuhan NKRI melalui keikusertaan dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah. Adapun empat asas pokok sebagai patokan
hubungan antara pusat dan daerah menurut desentralisasi berdasarkan UUD 1945, yaitu :
Pertama, bentuk hubungan pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hak rakyat
daerah untuk turut serta (bebas) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedua,
bentuk hubungan pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak hak rakyat (daerah) untuk
berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengurus urusan yang dianggap penting bagi
daerah. Ketiga, bentuk hubungan pusat dan daerah dapat berbeda-beda antara daerah
yang satu dengan yang lain sesuai dengan keadaan khusus masing-masing daerah.
Keempat, bentuk hubungan pusat dan daerah adalah dalam rangka mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial di daerah.
3. Sistem rumah tangga daerah, berdasarkan beberapa patokan untuk menentukan sistem
rumah tangga daerah berdasarkan UUD 1945, di dasarkan pada :
a. Berdasarkan paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Sistem rumah tangga daerah harus menjamin
keikusertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah baik dalam bidang
pengaturan maupun pengurusan urusan rumah tangga daerah;
b. Berdasarkan paham memelihara dan mengembangkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam pemerintahan asli, ditemukan patokan bahwa pada asasnya urusan
rumah tangga daerah bersifat asli, bukan sesuatu yang diserahkan pada satuan
pemerintahanan tingkat lebih atas. Dorongan tersebut harus dilakukan mengingat :
 Secara nyata urusan rumah tangga asli hanya ada pada desa. Swapradja sudah
ditiadakan. Daerah –daerah otonom yang ada adalah “bentukan”, karena itu tidak
mempunyai rumah tangga asli. Urusan rumah tangga asli yang ada di desa tidak
cukup berarti sebagai dasar untuk melaksanakan wewenang, tugas dan tanggung
jawab mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial menurut ukuran perkembangan
Indonesia pada waktu kini maupun pada masa yang akan datang.
 Sebagai upaya satuan pemerintahan tingkat lebih atas untuk mempengaruhi
perkembangan suatu daerah dalam rangka menjamin pemerataan keadilan dan
kesejahteraan sosial;
 Sebagai sarana untuk “memaksa” suatu daerah agar mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangga daerah.
c. Sebagai konsekuensi bahwa pada asasnya urusan rumah tangga daerah bersifat asli,
sistem rumah tangga daerah harus memberikan tempat bagi prakarsa atau inisiatif
sendiri dari daerah-daerah untuk mengatur dan mengurus berbagai kepentingan atau
hal-hal yang dianggap penting bagi daerah mereka. Prakarsa tersebut dapat dibedakan
menjadi dua bentuk yaitu langsung dan tidak langsung. Bentuk langsung. Daerah
secara langsung mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan sebagai urusan
rumah tangga. Sedangkan urusan tidak langsung, daerah diberi hak mengusulkan
kepada pusat atau satuan pemerintahan tingkat lebih atas agar suatu urusan
diserahkan untuk diatur dan diurus oleh daerah yang bersangkutan. Bentuk tak
langsung berlaku bagi urusan pemerintahan yang telah diatur dan diurus satuan
pemerintahan tingkat atas. Prakarsa atau inisiatif sendiri, erat kaitannya dengan luas
lingkup isi urusan rumah tangga daerah. Otonomi diartikam luas kalau jumlah urusan
rumah tangga banyak jumlahya. Paling tidak terdapat dua peraturan perundang-
undangan yang cenderung mengartikan otonomi seluas-luasnya adakah jumlah urusan
rumah tangga daerah yaitu UU No.18 Tahun 1965 dan Tap. No.XXI/MPRS/1966.
Suatu pemikiran yang menyatakan bahwa otonomi seluas-luasnya akan dapat
diwujudkan melalui penyerahan atau pemberian urusan pemerintahan kepada daerah.
Selain itu, tersirat bahwa pengertian “otonomi seluas-luasnya” berkaitan dengan
“jumlah” urusan rumah tangga daerah, makin banyak urusan rumah tangga daerah
maka luas otonomi daerah yang bersangkutan.] Pengertian otonomi seluas-luasnya
menurut penjelasan UU No.18 Tahun 1965 dan Tap No.XXI/MPRS/1966, tidak
sesuai dengan perkembangan ruang lingkup urusan pemerintahan daerah dan dasar-
dasar desentralisasi menurut UUD 1945 (i) urusan pemerintahan dalam
perkembangannya bukan sesuatu yang dapat dijumlahkan, sehingga tidak mungkin
mengukur luas sempitnya otonomi daerah dengan sedikit banyaknya jumlah urusan
rumah tangga daerah. (ii) urusan pemerintahan bersifat dinamis. Suatu urusan pada
saat tertentu dianggap tepat menjadi urusan rumah tangga daerah. UU No.18 Tahun
1965 dan Tap. No.XXI/MPRS/1966 mencerminkan adanya garis tegas antara urusan
pusat dan daerah. Sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat dinamis urusan
pemerintahan. (iii) pengertian otonomi seluas-luasnya menurut penjelasan UU No.18
Tahun 1965 dan Tap No.XXI/MPRS/ 1966, akan mengeroggoti prinsip prakarsa atau
inisiatif sendiri dari daerah, karena dalam praktek selama suatu urusan belum
diserahkan atau diberikan kepada daerah akan dipandang sebagai urusan pusat. (iv)
pemberian otonomi seluas-luasnya menurut penjelasan UU No. 18 Tahun 1965 dan
Tap No.XXI?MPRS/1966 akan bertentangan dengan dasar kebhinekaan yang
memungkinkan isi dan jenis urusan rumah tangga daerah tidak sama, sesuia dengan
keadaan masing-masing.
d. Berdasarkan paham kebhenikaan, ditemukan patokan bahwa urusan rumah tangga
daerah dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
e. Berdasarkan prinsip negara hukum, ditemukan patokan bahwa sistem rumah tangga
daerah harus benar-benar mencerminkan pemencaran kekuasaan antara pusat dan
daerah. Setiap bentuk campur tangan pusat dan urusan rumah tangga daerah, tidak
boleh mengurangi kemandirian daerah. Setiap campur tangan yang berlebihan akan
menimbulkan arus balik dari pemencaraan ke pemusatan (sentralisasi) kekuasaan.
f. Sistem rumah tangga daerah harus terutama ditujukan untuk mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial. Dengan perkataan lain isi urusan rumah tangga daerah harus
terutama pada bidang pelayanan kepentingan umum.
g. Keadilan dan kesejahteraan sosial, mengandung aspek pemerataan. Fungsi
pemerataan tidak mungkin dilaksanakan oleh daerah, melainkan oleh pusat. Karena
itu, dalam sistem rumah tangga daerah harus senantiasa ada tempat bagi pusat untuk
mempengaruhi perkembangan daerah menuju pemerataan keadilan dan kesejahteraan.
Sistem rumah tangga yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia dengan konsep
desentralisasi adalah sistem rumah tangga nyata (rill) yang memiliki ciri-ciri dan prinsip-prinsip
sistem rumah tangga nyata, yaitu :
a. Terdapat urusan pangkal;
b. Di luar urusan pangkal, daerah bebas mengatur dan mengurus segala urusan yang
dianggap penting bagi daerah sepanjang belum diatur dan diurus oleh pusat atau
daerah yang lebih atas tingkatannya;
c. Isi urusan rumah tangga nyata ditentukan oleh faktor –faktor nyata di daerah;
d. Sistem rumah tangga nyata memberikan peluang pelaksanaan otonomi luas untuk
daerah Indonesia yang majemuk (bhineka), sesuai dengan keadaan daerah masing-
masing;
e. Sistem rumah tangga nyata mengandung kelenturan dengan tidak mengurangi
kepastian. Daerah bebas berinisiatif mengembangkan urusan rumah tangga daerah
dengan sistem pengendalian (pengawasan).
Apabila ciri dan pertimbangan-pertimbangan diatas diukur menurut dasar desentralisasi
dan patokan sistem rumah tangga menurut UUD 1945 akan ditemukan:
a. Kebebasan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan akan sesuai
dengan dasar dan patokan kebebasan berprakarsa atau berinisiatif.
b. Faktor-faktor nyata sebagai penentu isi urusan rumah tangga daerah, bersesuian
dengan dasar kebhenikaan yang memungkinkan perbedaan-perbedaan isi urusan
rumah tangga daerah.
c. Mengenai peluang pelaksanaan otonomi luas, bersesuaian dengan patokan yang
terkandung dalam kebebasan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang dipandang penting bagi daerah.
d. Aspek kelenturan akan bersesuian dengan patokan yang memberikan tempat kepada
pusat untuk mempengaruhi setiap perkembangan isi rumah tangga daerah.
Mekanisme hubungan antara pusat dan daerah, hubungan antara pusat dan daerah akan
tampak dalam mekanisme hubungan di bidang otonomi, tugas pembantuan, dekonsentrasi,
susunan organisasi, keuangan dan bidang pengawasan. Mekanisme hubungan dibidang otonomi
berinti pada sistem rumah tangga daerah. Dalam sistem rumah tangga daerah akan tampak
kedudukan masing-masing pihak dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Selain itu,
hubungan di bidang otonomi akan terkait pula dengan susunan organisasi, keuangan dan
pengawasan.
a. Mekanisme Hubungan pusat dan daerah di bidang tugas pembantuan. Membantu
menunjukkan salah satu sifat bahkan hakekat hubungan antara pusat dan daerah.
Meskipun bersifat “membantu” dan tidak dalam hubungan atasan-bawahan, daerah
tidak mempunyai hak menolak. Hubungan dalam tugas pembantuan ditimbulkan oleh
atau berdasarkan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih
tinggi. Daerah terkait melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk yang
diperintahkan atau diminta dalam rangka tugas pembantuan. Ditinjau dari kaitan
dengan tugas pembantuan dengan desentralisasi dan hubungan antara pusat dan
daerah dibidang tugas pembantuan seharusnya bertolak dari : (1) Tugas pembantuan
adalah bagian dari desentralisasi. Dengan demikian seluruh pertanggungjawaban
mengenai penyelenggraaan tugas pembantuan adalah tanggung jawab daerah yang
bersangkutan. (2) tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan ,
dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi (walaupun terbatas pada cara
melaksanakan) karena itu, daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri
cara-cara melaksanakan tugas pembantuan. (3) Tugas pembantuan sama halnya
dengan otonomi, mengandung unsur “penyerahan” bukan “penugasan”. Perbedaan,
kalau otonomi adalah penyerahan penuh, sedangkan tugas pembantuan adalah
penyerahan tidak penuh.
b. Mekanisme Hubungan Pusat dan Daerah di Bidang Pengawasan, di tinjau dari
hubungan pusat dan daerah pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan, agar bandul
kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan
mengancam kesatuan. Secara umum dapat disebutkan bahwa pengawasan sebagai
pranata yang melekat pada desentralisasi bukanlah sesuatu yang mesti dihindari.
Namun demikian, pengawasan tidak boleh mengakibatkan pengurangan atau
penggerogotan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam dasar-dasar desentralisasi
serta patokan-patokan sistem rumah tangga daerah.
(1) Pengawasan Represif
a. Wewenang Pengawasan Represif
Pengawasan mengandung makna pembatasan terhadap kebebasan daerah.
Sedangkan kebebasan merupakan inti desentralisasi, khususnya otonomi,
karena itu harus diatur secara pasti dalam undang-undang. Sepanjang
pengawasan refresif dilakukan oleh menteri dalam negeri, gubernur dan bupati
(untuk desa), tidak menyalahi dasar-dasar desentralisasi maupun patokan serta
sistem rumah tangga sebagaimana dikehendaki dalam UUD 1945, karena
pertama pengawasan represif bersifat negative, artinya sebagai reaksi atas
suatu keputusan daerah yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian tidak mempengaruhi kebebasan berprakarsa atau
berinisiatif. Kedua, pelaksanannya terpusat pada suatu tangan yang akan
memudahkan merumuskan patokan-patokan dan akan lebih efisiensi.
b. Obyek Pengawasan Represif
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, objek pengawasan represif
adalah “peraturan daerah” dan “keputusan kepala daerah” (Pasal 70 ayat 1).
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1957, objek pengawasan represif
adalah “keputusan DPRD” atau “keputusan DPD” (Pasal 64). Ketentuan ini
sama dengan UU Nomor. 22 Tahun 1948 (Pasal 42) UU No.18 menyebutkan
“Keputusan Pemerintah Daerah”. Keputusan pemerintah termasuk keputusan
pemerintah tingkat daerah dapat bermacam-macam bentuknya. Secara garis
besar, bentuk keputusan pemerintah dapat berupa tindakan-tindakan konkrit
dan tindakan-tindakan hukum. Tindakan hukum dapat bersifat umum atau
bersifat konkrit. Pengawasan represif dilakukan baik atas suatu tindakan
konkrit, maupun atas keputusan-keputusan yang bersifat umum dan keputusan
yang individual.
(1) Tindakan konkrit, pengawasan represif atas tindakan konkrit dapat
dilakukan secara spontan oleh pemegang pengawasan represif, atau
melalui badan peradilan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.
(2) Terhadap Peraturan Perundang-Undangan, peraturan daerah dan
keputusan kepala daerah yang bersifat umum tergolong sebagai peraturan
perundang-undangan. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah
yang bersifat umum adalah peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tingkatannya dari undang-undang, dengan sendirinya dapat
dibatalkan oleh mahkamah agung. Dengan demikian wewenang
pengawasan represif atas peraturan perundang-undangan tingkat daerah
selain oleh pejabat dimaksud dalam undang-undang tentang
pemerintahan di daerah dapat juga dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengikutsertakan mahkamah agung dalam melaksanakan pengawasan
represif atau keputusan pemerintah tingkat daerah mengadung segi-segi
positif. Pertama, membatasi wewenang pejabat administrasi negara yang
lebih atas tingkatannya, untuk mencampuri pelaksanaan wewenang, tugas
dan tanggung jawab pemerintah daerah yang lebih rendah. Kedua,
Putusan diambil alih sebuah badan netral yang tidak mungkin
mempunyai kepentingan atas pembatalan atau penolakan pembatalan
suatu keputusan pemerintah daerah atau salah satu alat kelengkapan
pemerintah daerah. Ketiga, Pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar
putusan semata-mata berdasarkan pertimbangan hukum yang lebih
menjamin obyektifitas isi suatu putusan. Selanjutnya wewenang yang
diberikan kepada mahkamah agung juga memiliki kelemahan yakni,
Pertama waktu yang dibutuhkan lama, tuntutan pembatalan suatu UU
dilakukan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Berarti harus melalui
pemeriksaan dan putusan pengadilan tingkat pertama dan banding selama
menanti putusan pada pemeriksaan tingkat kasasi, peraturan perundang-
undangan yang dituntut (dimohon) untuk dibatalkan berjalan terus
dengan segala akibat-akibatnya. Kedua, Sifat Putusan Mahkamah Agung,
UU No. 14 Tahun 1970 Pasal 26 ayat 2 disebutkan bahwa pencabutan
peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah oleh
Mahkamah Agung, diserahkan kepada instansi yang mengeluarkan atau
menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Ketentuan ini menimbulkan berbagai masalah yakni: mengurangi arti
kepastian hukum putusan mahkamah agung, dapat terjadi konflik antara
putusan MA dengan Pemda yang bersangkutan, seandainya pencabutan
tidak dilaksanakan. Ketiga, Dasar putusan Mahkamah Agung terbatas,
Putusan MA dalam melakukan pengawasan Represif melalui wewenang
menguji peraturan perundang-undangan tingkat daerah lebih sempit dari
dasar yang diberikan pada pejabat administrasi negara.
(3) Terhadap Ketetapan, wewenang pengawasan represif terhadap asas
“ketetapan” berkaitan dengan wewenang peradilan tata usaha negara. UU
No. 5 Tahun 1986, menjelaskan bahwa peradilan tata usaha negara
bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan partauran perundang-
undangan yang berlaku.
c. Dasar Pengawasan Represif
UU No.5 tahun 1974, dasar pengawasan represif adalah hal yang bertentangan
dengan kepetingan umum, peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah
tingkat di atasnya.
Desentralisasi khususnya dan sistem hukum Indonesia pada umumnya,
mengakui hukum adat sebagai salah satu satu subsistem hukum nasional. di
samping itu penyelenggaraan negara tumbuh pula berbagai hukum kebiasaan
(konvensi). Hukum adat atau hukum kebiasaan ketatanegaraan tidak termasuk
kategori peraturan perundang-undangan. Peraturan daerah atau keputusan kepala
daerah bertentangan dengan kaidah hukum adat yang diakui atau dengan konvensi
ketatanegaraan. Hukum dalam negara hukum, tidak semata-mata diartikan dengan
peraturan perundang-undangan apalagi hanya undang-undang dalam arti formal.
Jadi baik ditinjau dari sudut latar belakang desentralisasi atau negara berdasarkan
atas hukum, dasar bertentangan dengan hukum, sebagai dasar untuk
melaksanakan pengawasan represif lebih mendekati prinsip-prinsip yang
terkandung dalam UUD 1945. Menurut Burger, tidak terdapat perbedaan pokok
antara “bertentangan dengan Undang-Undang” dan “bertentangan dengan
kepentingan umum”, sifat subyektif memainkan peran lebih besar.
(1) Bertentangan dengan hukum akan mencakup :
a. Bertentangan dgn semua peraturan per-UU yang lebih tinggi tingkatannya;
b. Bertentangan dgn hukum adat yang hidup dan diakui;
c. Bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang lahir dari Yurisprudensi;
d. Bertentangan dgn kaidah-kaidah kebiasaan ketatanegaraan yang belaku
umum
(2) Bertentangan dengan kepentingan umum akan mencakup :
a. Bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam
pembukaan UUD 1945 (diluar dasar negara)
b. Bertentangan dengan Pancasila;
c. Bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku;
d. Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak;
e. Bertentangan dengan asas-asas umum peraturan perundang-undangan
yang baik;
f. Bertentangan dengan kebijaksanaan umum pemerintahan yang lebih ditas
tingkatannya;
g. Bertentangan dengan keputusan-keputusan pemerintahan tingkatan lebih
atas yang tidak tergolong sebagai peraturan perundang-undangan;
h. Bertentangan dengan kepentingan dan menimbulkan kerugian pada daerah
lain.

(2) Pengawasan Preventif


Pelaksanaan pengawasan preventif berada pada posisi “lebih awal” dari
pengawasan represif. Daya campur tangan terhadap daerah juga menjadi lebih besar.
Pengawasan preventif mengandung prasyarat agar keputusan daerah dibidang atau yang
mengandung sifat tertentu dapat dijalankan. Selama prasyarat tidak atau belum terpenuhi,
keputusan tersebut tidak dapat dijalankan.

Mekanisme hubungan pusat dan daerah dalam susunan organisasi pemerintah daerah
a. Susunan luar
Susunan luar pemerintahan tingkat daerah, sepenuhnya bergantung pada keadaan serta
pandangan masing-masing negara. Sejak UU No.22 tahun 1948, susunan pemerintahan
tingkat daerah telah mulai diatur secara tegas. UU No.22 tahun 1948 , UU No.1 tahun 1957
dan UU No.18 tahun 1965 menyusun tiga tingkatan yakni provinsi, kabupaten dan desa.
sementara UU No. 5 Tahun 1974 hanya menyusun dua tingkatan yakni daerah tingkat I
Provinsi dan daerah tingkat II Kabupaten.
Perbedaan ini dimungkinkan terjadi karena di satu pihak UUD 1945 tidak mengatur
secara tegas mengenai susunan wilayah pemerintahan tingkat daerah, di pihak lain
pengaturan mengenai pemerintahan daerah diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang.
Sebenarnya ada petujuk mengenai aturan ini, namun substansi pembahasannya tidak tegas.
Petunjuk pertama, daerah Indonesia terbagi menjadi daerah besar dan kecil. Petunjuk ini
mengandung makna tidak akan terdapat hanya satu susunan pemerintahan ditingkat daerah.
Pasal 18 menyebutkan bahwa susunan pemerintahan tingkat daerah akan terdiri dari
beberapa tingkatan sebagai “daerah besar” dan “daerah kecil”. Petunjuk kedua , dalam pasal
18 adalah hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Petunjuk lain di
luar UUD 1945 yang dapat dipergunakan adalah susunan pemeirntahan tingkat daerah yang
ada atau yang pernah di proklamasikan.
Pada masa Hindia Belanda khususnya di Jawa terdapat lima macam daerah otonom yaitu
Provinsi, Gemeente, Swapraja, Kabupaten dan Desa. Provinsi adalah satuan wilayah tingkat
daerah terbesar Swapraja, Kabupaten, Gemeente, dan ketiga wilayah tersebut lebih kecil dari
provinsi tetapi lebih besar dari Desa. daerah-daerah otonom tersebut tidak tersusun dalam
satu ikatan. Swapraja dan desa merupakan susunan yang terlepas dari provinsi atau Gewest.
Dengan demikian tidaklah menyimpang kalau pembentukan UU kemudian menyusun
pemerintahan tingkat daerah dalam tiga tingkatan.
1) Faktor sistem rumah tangga daerah
UUD 1945 menganut sistem rumah tangga nyata, dalam kaitan dengan titik berat
otonomi, ada dua prinsip sistem rumah tangga nyata yang harus diperhatikan. Pertama,
sistem rumah tangga nyata memberikan keleluasaan atau kebebasan berprakarsa dalam
mengatur dan mengurus segala urusan yang dipandang penting bagi daerah atau
penduduknya dengan memperhatikan sistem pembatasan yang berlaku. Kedua, sistem
rumah tangga nyata adalah urusan rumah tangga disesuaikan dengan keadaan nyata atau
keadaan setiap daerah. Prinsip ini membawa konsekuensi daerah setingkat yang satu
dan lainnya mungkin berbeda jumlah urusan rumah tangganya. Perbedaan itu bukan saja
karena perbedaan kemampuan, tetapi juga sifat dari kebutuhan itu sendiri.
2) Faktor ruang lingkup urusan pemerintahan
Urusan pemerintahan bersifat terbuka, senantiasa berubah. Urusan yang pada saat
tertentu adalah urusan rumah tangga daerah dapat serta merta berubah menjadi urusan
rumah tangga yang diatur dan diurus pusat.
3) Faktor Sifat dan Kualitas suatu urusan
Jumlah urusan rumah tangga daerah tidak dapat dipisahkan dari sifat dan
kualitasnnya. Daerah yang memiliki banyak urusan rumah tangga, tidak serta merta lebih
berperan dari tingkat daerah yang lebih sedikit urusan rumah tangganya. Meskipun jumlah
urusan rumah tangga suatu tingkat daerah tidak banyak, tetapi dengan sifat dan kualitas
tertentu akan lebih berperan dari yang mempunyai jumlah urusan yang banyak tetapi
menyangkut urusan sederhana atau kecil.
Pada dasarnya pendekatan fungsi utama pemerintahan daerah adalah memberikan
pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat dalam bentuk penyediaan atau pemenuhan
kebutuhan konkrit, seperti kesehatan, kebersihan dan sebagainya. Heidenheimer
menyebutnya sebagai “personal social services” dan menjadi kecenderungan setiap
pemerintahan untuk menyerahkannya kepada pemerintahan tingkat daerah.
Pendekatan fungsi sekaligus memberikan jalan yang lebih mudah untuk
membedakan fungsi utama pusat dan fungsi utama daerah. Daerah terutama berfungsi
dalam bidang pelayanan konkrit terhadap masyarakat, pusat untuk urusan-urusan lain.
Pendekatan fungsi yang lebih bersifat kualitatif tidak akan mengalami kesulitan berhadapan
dengan sistem rumah tangga nyata, ruang lingkup urusan pemerintahan dan sifat atau
kualitas suatu urusan. Setiap pemerintah daerah tetap mempunyai kebebasan untuk
mengatur dan mengurus berbagai fungsi pelayanan yang mereka pandang penting bagi
daerah atau penduduknya, sesuai dengan sistem pembatasan yang ada.
Fungsi pelayanan dimaksudkan sebagai sebagai pelayanan konkrit (personal Social
Service), sesuai dengan kebutuhan masyarakat (bisa berubah dari waktu ke waktu), untuk
melayani kebutuhan konkrit, pemerintah harus mampu mengetahui dengan baik keadaan
dan kebutuhan tersebut. Tetapi dekatnya jarak antara satuan pemerintahan dengan
masyarakat sebagai pusat pelayanan bukanlah satu-satunya ukuran untuk menentukan
penekanan atau pengutamaan fungsi pelayanan kepada tingkat daerah tertentu. Ada faktor-
faktor lain, seperti diperhatikan untuk penyediaan dana dan tenaga adalah luas wilayah
suatu tingkat daerah. Desa apalagi dengan kebijaksanaan pemekaran tidak mungkin mampu
dengan sumber keuangan sendiri dan tenaga sendiri mengatur dan mengurus pelayanan
yang dibutuhkan oleh masyarakat yang semakin berkembang. Berdasarkan tiga
pertimbangan tersebut, (jarak, keuangan dan tenaga), sangat wajar titik berat pelayanan
diselenggarakan oleh daerah Tingkat II yakni Kabupaten/Kota.

b. Susunan Dalam
Susunan dalam mengenai kelengkapan organ pemerintah daerah. Cara penunjukkan,
keduduka, fungsi, hubungan dengan alat kelengkapan pemerintahan daerah yang lain dan
hubungan dengan pemerintah tingkat lebih atas merupakan indikator, tempat atau kea rah
mana pemerintah daerah sedang bergerak. Kerangka hubungan pusat dan daerah, indikator
di atas menjadi petunjuk apakah pemerintah daerah berada dan cenderung ke desentralisasi
atau sentralisasi.
Hubungan antara pusat dan daerah terdapat dua pola utama : Pertama, pola susunan
yang menunjukkan kecenderungan arah desentralisasi lebih kuat dibandingkan sentralisasi,
kedua pola susunan yang menunjukkan kecenderungan kearah sentralisasi lebih kuat dari
pada desentralisasi. Pola pertama tercermin dalam peraturan perundang-undangan sebelum
dikeluarkan penetapan presiden (Penpres) No,6 Tahun 1959. Semua peraturan perundang-
undangan yang mengatur pemerintahan daerah sebelum itu (kecuali UU No.1 Tahun 1945)
lebih menekankan pada segi desentralisasi daripada sentralisasi. Pola kedua terjadi sejak
Penpres No.6 Tahun 1959. Susunan dalam diubah menjadi Kepala daerah dan DPRD.
Kepala daerah adalah alat kelengkapan utama pemerintahan daerah, Bukan DPRD. Kepala
daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, dengan berbagai modifikasi (tidak terlalu
berarti), pola kedua tetap dipertahankan hingga sekarang, berdasarkan anggapan bahwa hal
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945.
Salah satu prinsip pemerintahan daerah (desentralisasi) menurut UUD 1945 Pasal 18
adalah “memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara atau kerakyatan. Permusyawaratan berdasarkan paham kerakyatan mengadung arti
bahwa “rakyat memerintah dirinya sendiri”. Pemerintah daerah sendiri mengandung unsur-
unsur (1) alat kelengkapan pemerintahan secara langsung atau tidak langsung dipilih oleh
rakyat, (2) alat kelengkapan pemerintahan secara langsung dan atau tidak langsung berada
dibawah pengawasan dan bertanggung jawab kepada rakyat.

Mekanisme Hubungan Pusat dan daerah di Bidang Keuangan.


Desentralisasi, khususnya otonomi dimanapun tidak dapat dipisahkan dengan masalah
keuangan. Hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri menyiratkan pula makna
“membelanjakan diri sendiri”. Membelanjakan diri sendiri akan bermuara pada keharusan daerah
memiliki sumber-sumber pendapatan sendiri. Salah satu sumber pendapatan asli adalah pungutan
yang diperoleh dari pajak atau retribusi. Kewenangan untuk mengenakan pungutan, bukan
sekedar sebagai sumber pendapatan, tetapi sekaligus melambangkan kebebasan untuk
menentukkan sendiri cara-cara mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah yang
bersangkutan.
Sumber pendapatan asli yang utama (pada umumnya) adalah pajak dan retribusi. Kedua
sumber ini sangat tergantung pada pusat. Sesuai dengan pembawaanya (karakteristiknya) urusan
keuangan dimanapun senantiasa dikategorikan sebagai urusan yang diatur dan diurus oleh pusat.
Daerah hanya boleh mengatur dan mengurus sepanjang ada penyerahan dari pusat yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Karena sifatnya Statutory, maka pada dasarnya ketergantungan daerah pada pusat di bidang
keuangan akan selalu ada terlepas dari apakah sumber pendapatan asli daerah tersebut cukup
atau tidak cukup membelanjai diri sendiri. Kemandirian hanya terbatas pada kebebasan
menentukan sendiri peruntukan dan cara menggunakan pendapatan asli tersebut. Ini pun akan
lebih dibatasi oleh mekanisme pengawasan preventif (pengesahan anggaran pendapatan dan
belanja daerah), tingkat ketergantungan akan menjadi lebih besar, apabila :
a) Terdepat keengganan pusat (meskipun tidak semuanya) untuk mengalihkan sumber
pendapatan kepada Daerah;
b) Pusat berpendapat bahwa pajak-daerah tertentu secara politis tidak menguntungkan,
karena itu pusat mengadakan berbagai pembatasn dan sebagai pengganti kepada daerah
diberikan bantuan.
c) Sumber-sumber pendapatan daerah sangat terbatas.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah tidak
terletak pada upaya melepaskan ketergantungan daerah kepada pusat. Inti penyelesaian terletak
pada upaya menciptakan sistem hubungan agar ketergantungan pusat tidak menyebabkan daerah
kehilangan keleluasaan atau kebebasan mengatur sendiri urusan rumah tangganya.
Dasar desentralisasi dan sistem rumah tangga yang dikehendaki oleh UUD 1945, hubungan
keuangan antara pusat dan daerah harus berada dalam kerangka menjamin keleluasaan atau
kebebasan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya. Lebih lanjut dasar
pemikiran untuk membangun pelaksanaan otonomi sebagaimana mestinya tampak dalam
penjelasan mengenai tujuan undang-undang, yakni :
a) Memberikan ketentuan sekedar menjalankan keuangan daerah;
b) Mendorong kearah penyerahan urusan rumah tangga;
c) Mendorong daerah untuk mengintensifkan sumber-sumber pendapatan daerah dan
mengadakan sumber-sumber baru;
d) Memupuk rasa tanggung jawab daerah dalam menyelenggarakan rumah tangga
daerah;
e) Supaya daerah leluasa menjalankan tugansya.
Bantuan keuangan yang besar telah memberikan kesempatan lebih besar kepada daerah
untuk melaksanakan berbagai tugas pelayanan pada masyarakat. Tetapi ketergantungan
keuangan ini menimbulkan akibat “penyelenggaraan otonomi daerah tidak sepenuhnya dapat
berjalan dan pihak lain mengudang kuatnya campur tangan pemerintah pusat dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah. Selain faktor-faktor umum tersebut dimuka, ada
faktor-faktor lain yang menimbulkan ketergantungan yakni : Pertama, PAD terutama bertumpu
pada pajak dan retribusi, sumber PAD lain seperti perusaah daerah sangat kecil. Kesulitan
menggandalkan PAD dari perusahaan daerah juga dipengaruhi oleh fungsi-fungsi tertentu yang
harus dilaksanakan. Telah dikemukakan bahwa pemerintahan tingkat daerah terutama
mengemban fungsi pelayanan konkrit pada masyarakat. Kedua, secara formal, cukup banyak
jenis-jenis pajak daerah maupun presentase pajak negara yang diserahkan kepada daerah. Hasil
pungutan dari pajak-pajak tersebut tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan. Kecilnya
pendapatan dari pajak daerah karena :
1) Jenis pajak tertentu sulit ditingkatkan karena erat dengan sistem sosial budaya
masyarakat, misalnya pajak atas pemeliharaan anjing. Pemeliharaan anjing dari segi
sosial budaya keindonesiaan sulit untuk berkembang menjadi pola yang populis seperti di
Belanda;
2) Perubahan sosial dan ekonomi menyebabkan objek pajak tertentu menjadi tidak berarti.
Termasuk dalam kategori ini adalah pajak kendaraan bermotor seperti sepeda, andong,
becak.
3) Objek pajak meskipun banyak tetapi sulit dilaksanakan, seperti pajak atas radio.
4) Objek pajak tidak terdapat pada daerah-daerah tertentu.
Selain itu, sumber pendapatan daerah dari pajak dan retribusi dipengaruhi pula oleh
berbagai kebijaksanaan pemerintah pusat dibidang-bidang tertentu. misalnya kebijaksanaan
membatasi jumlah jembatan ditimbang dengan sendirinya mengurangi retribusi yang diperoleh
dari jembatan timbang.
Ketergantungan daerah atas pusat di bidang keuangan akan selalu ada, bahkan cenderung
semakin meningkat. Menghadapi kenyataan di atas, usaha mengurangi apalagi menghapuskan
bantuan keuangan dari pusat bukan cara terbaik untuk memcahkan maalah keuangan daerah.
Pemecahan masalah keuangan daerah hendaknya ditujukan kepada upaya agar bantuan-bantuan
pusat tidak akan begitu banyak mengurangi kemandiran daerah untuk mengatur dan mengurus
urusan rumah tangganya sendiri. Bantuan keuangan dari pusat kepada daerah dapat digolongan
kedalam tiga kategori utama yakni :
1) Pertama, bantuan yang hanya ditentukan jumlahnya. Peruntukan dan tata cara
penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing daerah;
2) Bantuan yang ditentukan peruntukannya secara umum peruntukaan secara khusus dan
cara-cara pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
3) Bantuan yang ditentukan secara rinci peruntukan dan tata cara pemanfaatannya. Daerah
tidak ada kesempatan untuk menentukan sendiri peruntukan maupun tata cara
pemanfaatannya.
Tinjauan Buku : Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia
Oleh : Ahmad Yani, S.H., M.M., AK.

Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, atau dalam arti sempit di sebut sebagai
perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian
banyak hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Masalah hubungan keuangan antara
pemerintah daerah dengan pusat merupakan sumber keresahan bagi masyarakat daerah, karena
mereka menganggap di perlakukan tidak adil oleh pusat. Ketidakadilan dalam pembagian sumber
sumber keuangan antara pusat dan daerah menyebabkan terjadinya peningkatan kesenjangan
pertumbuhan ekonomi antardaerah, kurangnya kemandirian daerah dan munculnya
ketidakpuasan masyarakat di daerah yang bermuara pada disintegrasi bangsa.
Masalah keuangan pusat dan daerah timbul karena adanya pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah oleh badan-badan yang susun secara bertingkat. Hal ini didorong oleh kebutuhan
ketatanegaraan dan administrasi negara karena tugas-tugas pemerintahan yang makin banyak dan
menjangkau daerah yang luas tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik apabila dipusatkan
ditangan satu tingkat pemerintahan saja, masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah
merupakan tuntutan reformasi, dan sebagai jawaban dari tuntutan tersebut pemerintah telah
menetapkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 Tentang Perimbangan keuangan pusat dan daerah. Fakta, data dan pengalaman ini
menunjukkan bahwa hampir di semua daerah presentase PAD relative kecil. Pada umumnya
APBD suatu daerah didominasi oleh transfer pemerintah pusat dan transfer-transfer lain yang
diatur dalam UU. Hal ini menyebabkan daerah sangat tergantung kepada pusat sehingga
kemampuan daerah dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki sangat terbatas.
Aturan keuangan pusat dan daerah, pada satu sisi mendukung pelaksanaan pembangunan
nasional, disisi lain untuk memfasilitasi proses pembangunan daerah, yang dijalankan dibawah
skema otonomi daerah. Sudah tentu otonomi daerah yang dijalankan membawa pada proses
pengaturan oleh pusat tidak dimaksudkan untuk mengembalikan sentralisme otoriter.
Perimbangan dimaksudkan agar terjadi keadilan dalam pembagian sumber daya bagi
kepentingan nasional dan bagi kepentingan daerah.
Secara teoritis, dalam konteks negara kesatuan dikenal ada dua cara mengembangkan
pemerintah pusat dan daerah yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi mencakup segala
urusan, tugas, fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintah berada dalam genggaman
pemerintah pusat yang pelaksanannya dilakukan secara dekonsentrasi. Lawannya yakni
desentralisasi yakni semua urusan, tugas, wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan
sepenuhnya kepada daerah.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dapat terjadi secara vertikal, horizontal
atau diagonal. Hubungan vertikal adalah hubungan atas-bawah secara timbal-balik, sedangkan
hubungan horizontal terjadi jika pejabat/unit/instansi yang setingkat melakukan hubungan yang
arahnya menyamping. Hubungan diagonal terjadi jika ada hubungan yang menyilang dari atas ke
bawah secara timbal-balik antara dua unit yang berbeda induk.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah meliputi hal-hal yang menyangkut
hubungan, kewenangan, pengawasan, keuangan, koordinasi dan pembinaan. Kavanagh
sebagaimana dikutip oleh SH Sarundajang dalam buku Arus Balik Kekuasaan Pusat ke daerah,
mengemukakan adanya dua model utama dalam hubungan pusat dan daerah, yakni Agency
Model dan Patnership Model. Dalam Agency Model, pemerintah daerah semata-mata dianggap
sebagai pelaksana oleh pemerintah pusat. Wewenang yang dimiliki pemerintah daerah dalam
model ini sangat terbatas. Sedangkan partnership model, pemerintah daerah memiliki tingkat
kebebasan tertentu untuk melakukan pemilihan di tingkat daerahnya. Model ini tidak lagi
memandang pemerintah daerah sebagai pelaksana semata-mata, melainkan dianggap sebagai
patner atau mitra kerja.
Mengacu pada penjelasan di atas, maka Partnership model adalah model yang ideal untuk
diterapkan di negara dalam mengantisipasi perkembangan dewasa ini. Penerapan asas
desentralisasi merupakan pencerminan partnership model ini. Pembentukan daerah otonom
melalui desentralisasi pada hakikatnya merupakan penciptaan efisiensi dan inovasi dalam
pemerintahan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai hak untuk mengurus rumah
tangga sendiri, namun demikian hak tersebut tetap berada pada batas yang tidak melampaui
wewenang pemerintah pusat. Dengan kata lain, kewenangan untuk mengurus rumah tangga.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah telah membawa
dampak yang besar dan cukup mendasar dalam hubungan keuangan pusat dan daerah. UU ini
menyatakan bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan
sumber-sumber pedanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat, desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian
kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan.
Perimbangan keuangan intrapemerintahan merupakan suatu mekanisme bantuan
keuangan dari jenjang pemerintahan yang lebih tinggi ke jenjang pemerintahan di bawahnya.
Transfer tersebut dapat pula terjadi dalam jenjang pemerintahan yang lebih tinggi ke jenjang
pemerintahan yang lebih rendah umumnya terjadi karena pertimbangan adanya kesenjangan
fiskal vertikal dan kesejangan fiskal horizontal. Kesenjangan fiskal vertikal timbul karena adanya
keterbatasan sumber dan kewenangan penerimaan daerah, baik dalam bentuk pajak maupun
bukan pajak. Sementara itu, kesenjangan fiskal horizontal terjadi karena perbedaan kapasitas
antardaerah untuk menghasilkan pendapatan sendiri yang tergantung dari distribusi luas dan
besarnya kewenangan atas objek dan basis pajak serta kewenangan sumber-sumber nonpajak.
Pendekatan yang dirumuskan dalam hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah,
secara teoritis dapat dilihat dari empat pendekatan, yaitu pendekatan kapitalisasi, pendekatan
pendapatan, pendekatan pengeluaran dan pendekatan komprehensif.
Pendekatan kapitalisas, pemerintah daerah diberi modal permulaan yang diharapkan
dapat diinvestasikan dan berkembang serta menghasilka pendapatan untuk menutup
pengeluarannya. Sebagai sebuah investasi, pendekatan kapitalisasi tentunya memiliki tujuan-
tujuan yang diharapkan dapat memperkuat pemerintah daerah, yang menyelaraskan dan
menyerasikan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pendekatan pendapatan, pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelola sejumlah
urusan untuk kemudian menjadi sumber pembiayaan pemerintah daerah. Sumber pendapatan
yang potensial didaerah di serahkan pengelolaannya kepada daerah.
Pendekatan pengeluaran, pemerintah pusat memberikan sejumlah dana pinjaman, bantuan
atau bagi hasil pungutan kepada pemerintah daerah untuk membiayai pengeluaran tertentu.
dengan demikian, daerah memiliki sejumlah dana untuk membiayai kegiatannya dan memberi
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan target nasional.
Pendekatan komprehensif, pendekatan ini menggabungkan sarana pengeluaran dengan
sumber-sumber dananya. Menurut pendekatan ini, sumber pendapatan diberikan kepada daerah
dan disisi lain diberikan tanggung jawab dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan
biaya yang ada.
Persoalan pokok hubungan keuangan pusat dan daerah adalah pembagian sumber-sumber
pendapatan dan kewenangan pengelolannya antara pemerintah pusat dan daerah. Hubungan ini
menyangkut tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-
tingkat pemerintah dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluarannya. Menurut
S.H Sarundajang, setidaknya ada dua pandangan tentang peranan yang seharusnya dimainkan
oleh pemda dalam hubungannya dengan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Pertama, yaitu
menekankan peranan pemerintah daerah sebagai ungkapan dari kemauan dan identitas
masyarakat setempat. Tujuan pemerintah daerah pada dasarnya bersifat politik, dalam arti
pemerintah daerah merupakan wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan keinginan
dan prioritas mereka. Kedua, pemerintah daerah pada dasarnya merupakan lembaga yang
menyelenggarakan layanan-layanan tertentu untuk daerah, sebagai alat yang tepat untuk
menebus biaya memberikan layanan yang semata-mata bermanfaat untuk daerah.

Pola Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah
Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah merupakan suatu
sistem pembagian keuangan yang adil, proposional, demokratis, transparan, dan efisiensi dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi
dan kebutuhan daerah.
Hubungan keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan
memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. UU No.
33 Tahun 2004 telah menetapkan dasar-dasar pendanaan pemerintah daerah sesuai dengan pasal
4 UU No.33 Tahun 2004, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi didanai APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekosentrasi didanai APBN, pelimpahan
kewenangan dalam rangka pelaksanaan dekosentrasi atau penugasan dalam rangka pelaksanaan
tugas pembatuan dari pemerintah kepada pemerintah daerah diikuti dengan pemberian dana yang
disesuaikan dengan besarnya beban kewenangan yang dilimpahkan dan/atau tugas pembatuan
yang diberikan.
Pembentukan UU Perimbangan keuangan pusat dan daerah dimaksudkan untuk
mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU
tentang pemerintahan daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip Money Follows Function,
yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi
kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Perimbangan keuangan
antara pemerintah dan pemerintahan daerah mencakup pembagian keuangan antara pemerintah
dan pemerintah daerah secara proposional, demokratis, adil dan transparan dengan memerhatikan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yakni fungsi distribusi,
fungsi stabilisasi dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan stabilitasasi pada umumnya lebih
efektif dan tepat dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan fungsi alokasi oleh pemerintah daerah
yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi dan situasi masyarakat setempat.
Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah di biayai oleh APBD,
dan penyelenggaraan kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah di biayai dari
APBN, baik kewenangan pusat yang didekosentrasikan kepada gubernur atau ditugaskan kepada
pemerintah daerah dan/atau desa dalam rangka tugas pembantuan. Penerimaan daerah dalam
pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah
bersumber dari :
a. Pendapatan Asli daerah yang bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah
sebagai perwujudan desentralisasi;
b. Dana perimbangan yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan
pemerintahan daerah dan antarpemerintah daerah;
c. Pendapatan lain-lain yang memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh
pendapatan selain yang berasal pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pinjaman
daerah.
Pembiayaan bersumber dari :
a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah;
b. Penerimaan pinjaman daerah;
c. Dana cadangan daerah; dan
d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas
desentralisasi. Jenis pendapatan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan,
antara lain bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah. Sementara itu PAD lain-lain
yang sah meliputi :
a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b. Jasa giro;
c. Pendapatan bunga;
d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan
barang dan jasa oleh daerah.
Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri
dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai
kewenangannya, juga berfungsi untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
pemerintahan pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan
antar daerah.
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu. Dalam UU No.33 Tahun
2004 dimuat pengaturan mengenai bagi hasil penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 25/29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas
bumi sebagaimana dimaksud dalam UU No.27 Tahun 2003 Tentang panas bumi.
Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah
yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui
penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Dana Alokasi
Umum suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal suatu daerah, yang merupakan
selisih antara kebutuhan daerah dan potensi daerah. Dalam UU ini ditegaskan kembali mengenai
formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi
fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskalnya kecil, akan memperoleh alokasi DAU relative kecil.
Sebaliknya daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh
alokasi DAU relative besar.
Dana Alokasi Khusus adalah dana untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus
di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,
khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang
belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
UU No.33 Tahun 2004 juga mengatur Hibah yang berasal dari pemerintah negara asing,
badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri
atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/jasa
termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
UU No. 33 Tahun 2004 Juga mengatur pemberian dana darurat kepada daerah karena
bencana nasional atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD.
Disamping itu, pemerintah juga dapat memberikan dana darurat kepada daerah yang mengalami
krisis solvabilitas yaitu daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk
menghindari menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat, pemerintah dapat memberikan
dana darurat kepada daerah tesebut setelah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR.
Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan
dampak negative bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara
nasional.

Pendapatan Asli Daerah


Sumber pendapatan asli daerah terdiri dari :
1. Pajak daerah;
2. Retribusi daerah, termasuk hasil dari pelayanan Badan Layanan Umum (BLU) Daerah;
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
a. Pajak Daerah
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah
tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Jenis pajak daerah adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Jenis pajak daerah
Jenis Pajak Provinsi Jenis Pajak Kabupaten/Kota
Pajak Kendaraan Bermotor & Kendaraan Pajak Hotel adalah pajak atas pelayann hotel.
diatas Air atas kepemilikan dan penguasaan Hotel adalah bangunan khusus disediakan bagi
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. orang untuk menginap dan memperoleh
pelayanan & fasilitas dengan dipungut bayaran.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan
Kendaraan di Atas Air adalah pajak atas restoran.
penyerahan hak milik kendaraan bermotor dan
kendaraan diatas air sebagai akibat perjanjian
dua pihak.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Hiburan adalah pajak atas
adalah pajak atas bahan bakar yang disediakan penyelenggaraan hiburan yang meliputi semua
atau dianggap digunakan untuk kendaraan jenis pertunjukan, permainan, permainan
bermotor. ketangkasan dan keraiman dengan nama
apapun.
Pajak pengambilan dan Pemanfataan Air Pajak Reklame, Pajak penerangan Jalan, Pajak
Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dan
atas pengambilan dan pemanfaatan air bawah Pajak Parkir.
tanah untuk digunakan secara pribadi atau
badan kecuali untuk keperluan dasar rumah
tangga dan pertanian rakyat.

Bagi hasil pajak daerah antara lain sebagai berikut :


a. Bagi hasil Pajak Provinsi kepada Daerah Kabupaten/Kota
1. Hasil penerimaan pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air dan bea balik
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air diserahkan kepada kabupaten/kota paling
sedikit 30%;
2. Hasil penerimaan pajak Bahan bakar kendaraan bermotor dan pajak pengambilan dan
pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air permukaan diserahkan kepada daerah
kabupaten/kota diprovinsi yang bersangkutan paling sedikit 70%;
3. Penggunaan bagian daerah kabupaten/kota ditetapkan sepenuhnya oleh daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.

b. Bagi hasil Pajak Kabupaten kepada desa


1. Hasil penerimaan pajak kabupaten di peruntukkan paling sedikit 10% bagi desa di
wilayah kabupaten yang bersangkutan;
2. Bagian desa ini ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten dengan memperhatikan
aspek pemetaan potensi desa.
3. Penggunaan bagian desa ditetapkan sepenuhnya oleh desa yang bersangkutan.

b. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan.
Subjek dan wajib retribusi daerah terdiri atas :
1. Subjek retribusi umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan pelayanan
jasa umum yang bersangkutan;
2. Subjek retribusi jasa usaha adalah orang atau badan yang menggunakan pelayanan jasa
usaha yang bersangkutan;
3. Subjek retribusi perizinan tertentu adalah pribadi atau badan yang memperoleh izin
tertentu dari pemerintah daerah;
Sementara objek retribusi daerah adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh
pemerintah daerah. Adapun pembagian jenis retribusi jasa umum adalah sebagai berikut :
Tabel 2
Retribusi jenis umum, Retribusi Jenis Usaha & Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi Jenis Umum Retribusi Jenis Usaha Retribusi Perizinan Tertentu
1. Retribusi Pelayanan 1. Retribusi pemakaian 1. Retribusi izin mendirikan
Kesehatan kekayaan daerah; bangunan;
2. Retribusi Pelayanan 2. Retribusi pasar Grosir atau 2. Retribusi izin tempat
Persampahan/kebersihan; perkotaan; penjualan minuman
3. Retribusi penggantian 3. Retribusi tempat beralkohol;
biaya cetak kartu tanda pelelangan; 3. Retribusi izin gangguan
penduduk dan akta 4. Retribusi terminal; 4. Retribusi izin trayek.
catatan sipil; 5. Retribusi tempat khusus
4. Retribusi pelayanan parkir;
pemakaman dan 6. Retribusi tempat
pengabuan mayat; penginapan;
5. Retribusi pelayanan parkir 7. Retribusi penyodatan
ditepi jalan umum; kasus;
6. Retribusi pelayanan pasar; 8. Retribusi Rumah potong
7. Retribusi Pengujian hewan;
Kendaraan Bermotor; 9. Retribusi Pelayanan
8. Retribusi Pemeriksaan Pelabuhan Kapal;
Alat Pemadam 10. Retribusi Tempat rekreasi
Kebakaran; dan olahraga
9. Retribusi Penggantian 11. Retribusi penyeberangan
Biaya Cetak Peta; di atas air;
10. Retribusi Pengujian Kapal 12. Retribusi pengolahan
Perikanan. limbah cair;
13. Retribusi penjualan
produksi usaha daerah;
Bagi hasil retribusi tertentu sebagain diperuntukkan kepada desa yang terlibat langsung
dalam pemberian pelayanan, seperti retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan
akta catatan sipil. Bagian desa ini ditetapkan lebih lanjut melalui peraturan daerah kabupaten
dengan memperhatikan aspek ketertiban desa dalam penyediaan layanan tersebut.
Selanjutnya mengenai pengelolaan hasil kekayaan yang dipisahkan merupakan hasilyang
diperoleh dari pengelolaan kekayaan yang terpisah dari pengelolaan APBD. Hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan ini mencakup:
1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/badan usaha milik
daerah (BUMD);
2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/Badan Usaha Milik
Negara (BUMN);
3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.

Dana Bagi Hasil Pajak Bumi & Bangunan


Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas bumi dan atau
bangunan. Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan.
Pembangian hasil penerimaan PBB, dimana penerimaan negara dari pajak bumi dan
bangunan dibagi dengan imbangan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah. Dana
bagi hasil PBB untuk daerah sebesar 90% dibagi dengan rincian sebagai berikut :
1. 16,2 % untuk daerah provinsi yang bersangkutan;
2. 64,8 % untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan
3. 9 % untuk biaya pemungutan.
Selanjutnya 10% penerimaan pajak bumi dan bangunan bagian pemerintah pusat
dialokasikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota. Alokasi untuk kabupaten dan kota
sebesar 10% bagian pemerintah pusat dibagi dengan rincian sebagai berikut :
1. 6,5 % dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota. Pembagian ini
dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antar daerah.
2. 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten/kota yang realisasi penerimaan pajak
bumi dan bangunan sektor perdesaan dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya
mencapai rencana penerimaan yang ditetapkan.

a. Alokasi dan Penyaluran DBH PBB


Alokasi dana bagi hasil PBB ditetapkan oleh menteri keuangan. Alokasi ini ditetapkan
berdasarkna rencana penerimaan PBB tahun anggaran bersangkutan paling lambat dua bulan
sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan. Dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan
disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum
daerah.
Penyaluran bagian pemerintah sebesar 6,5% yang dibagikan secara merata kepada
kabupaten/kota dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu bulan april, agustus dan November tahun
anggaran berjalan. Sementara penyaluran PBB bagian pemerintah sebesar 3,5% yang dibagikan
sebagai insentif kepada kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor perdesaan dan
perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai rencana penerimaan ditetapkan dalam
bulan November tahun anggaran berjalan.
Hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan bagian daerah provinsi sebesar 16,2%,
kabupaten/kota 64,8% dan pusat 10% yang dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota
merupakan pendapatan daerah setiap tahun anggaran dicantumkan dalam APBD. Sementara itu,
hasil penerimaan PBB untuk biaya pemungutan sebesar 9% dibagikan kepada Direktorat
Jenderal Pajak dan Daerah.
Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 90% hasil penerimaannya merupakan
penerimaan bagian daerah yang dibagi dengan rincian sebagai berikut :
1. 16,2 % dibagikan untuk daerah provinsi yang dibagi dengan imbangan 30% untuk biaya
pendidikan di Provinsi NAD dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan,
dan 70% untuk daerah provinsi dan disalurkan melalui rekening kas daerah provinsi.
2. 64,8 % dibagikan untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan, dengan imbangan
30% untuk biaya pendidikan di provinsi NAD dan disalurkan melalui rekening khusus
dana pendidikan, dan 70% untuk daerah kabupaten/kota dan disalurkan melalui rekening
kas daerah kabupaten/kota.
3. 9% untuk biaya pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal pajak dan
Daerah.

Dana Bagi Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea perolehan ha katas tanah dan bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan. Tariff pajaknya adalah sebesar 5% dari dasar pengenaan
pajak, yaitu nilai perolehan objek pajak. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Objeknya adalah perolehan ha katas tanah dan
atau bangunan yang meliputi sebagai berikut :
1. Pemidahan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan
dalam perseoran atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, penunjukan pembelian dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran
usaha dan hadiah.
2. Pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak, dan diluar pelepasan hak.
Tarif BPHTB adalah sebesar lima persen dan dasar pengenaan pajaknya adalah nilai
peroleh objek pajak. Nilai perolehan objek pajak dimaksud dalam hal ini nilai traksaksi dan
memiliki nilai jual. Adapun pembagian penerimaan BPHTB dibagi dengan imbangan 20% untuk
pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar 80% dibagi untuk
daerah dengan rincian :
1. 16% untuk provinsi yang bersangkutan;
2. 64 % untuk kabupaten/kota yang bersangkutan;
Berdasarkan hasil keputusan menteri keuangan, hasil penerimaan BPHTB merupakan
penerimaan negara. Hasil penerimaan BPHTB dibagi untuk pemerintah pusat 20% dan daerah
80%. Jumlah 20% bagian pemerintah pusat dibagikan dengan porsi yang sama kepada seluruh
daerah kabupaten/kota.
Sementara khusus provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jumlah 80% bagian daerah
dibagi dengan rincian sebagai berikut :
1. 16% untuk daerah provinsi dibagi dengan imbagan, 30% untuk biaya pendidikan di
Provinsi NAD dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan; dan 70%
untiuk daerah provinsi dan disalurkan melalui rekening kas provinsi
2. 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil dibagi dengan imbangan, 30% biaya
pendidikan di provinsi NAD dan disalurkan melalui rekening khusus dana
pendidikan; dan 70% untuk daerah kabupaten/kota dan disalurkan melalui rekening
kas kabupaten/kota.
Dana Bagi Hasil PPh orang pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21
Pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri adalah pajak penghasilan yang tertuang
oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan pasal 25 dan pasal 29
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang penghasilan sebagaimana telah beberapa kali di
ubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, kecuali pajak atas penghasilan
sebagaimana atur dalam pasal pasal 25 ayat 8 yang mengatur mengenai pengenaan pajak bagi
wajib pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri, yang dijabarkan lebih lanjut dengan
peraturan pemerintahan Nomor 42 Tahun 2000 tentang pembayaran pajak penghasilan orang
pribadi yang akan bertolak ke luar negeri.
Pembagian hasil penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri dan pajak
penghasilan pasal 21 antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikaitkan dengan empat
wajib pajak terdaftar karena terdapat hubungan yang kuat dengan daerah tempat wajib pajak
memperoleh penghasilan. Bagian penerimaan pemerintah daerah sebesar 20% dibagi antara
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dengan imbangan 40% untuk daerah provinsi dan
60% untuk daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004, dana bagi hasil dari penerimaan PPh
pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 yang merupakan
bagian daerah adalah sebesar 20%. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh ini dibagi antara
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh pasal 25
dan 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 dibagi dengan imbangan 60%
untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi.
Berdasarkan Pasal 8 PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan, penerimaan
negara daru PPh wajbib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 dibagikan kepada
daerah sebesar 20% dengan rincian 8% untuk provinsi yang bersangkutan, dan 12% untuk
kabupate/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya Alam


Dana bagi hasil sumber daya alam adalah bagian daerah yang berasal dari kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan
pertambangan panas bumi.
a. Pembagian sumber daya alam kehutanan
Pembagian penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam kehutanan
ditetapkan sebagai berikut :
 Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan iuran hak pengusahaan hutan dan
provinsi sumber daya hutan yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan
dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah.
 Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar
60% untuk pemerintah dan 40% untuk daerah.
Dana bagi hasil kehutanan berasak dari sumber-sumber berikut ini :
 Iuran izin usaha pemanfaatan hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang
izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali
pada saat izin tersebut diberikan.
 Provinsi sumber daya hutan adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai
intrinsic dari hasil yang dipungut dari hutan negara.
 Dana Reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfataan hasil
hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
Dana bagi hasil kehutanan yang berasal dari Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
untuk daerah 80% dengan rincian sebagai berikut 16% untuk provinsi yang bersangkutan dan
64% untuk kabupaten/kota.
Sementara DBH kehutanan yang berasal dari Provinsi Sumber daya hutan untuk
daerah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk provinsi, 32% untuk kabupaten/kota
penghasil dan 32% untuk kabupaten kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. DBH
ini selanjutnya dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
DBH dari Dana Reboisasi sebesar 40% dibagi kepada kabupaten/kota penghasil untuk
mendanai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

b. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambagan Umum


Pembagian penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam pertambangan umum
didasarkan pada penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah.
DBH pertambangan umum berasal dari, Pertama iuran tetap yakni iuran yang diterima
negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum eksplorasi dan eksploitasi pada
suatu wilayah kuasa pertambangan. Kedua, Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi adalah
iuran produksi yang diterima oleh negara dalam hal pemegang kuasa usaha pertambangan
eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan yang diberikan
kepadanya dari usaha pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian. Adapun
pembagian dana bagi hasil sumber daya pertambangan adalah sebagai berikut :
Tabel 3
DBH Pertambangan umum
DBH Pertambangan Kabupaten/Kota Provinsi
umum
Iuran Tetap 80% berasal dari 80% berasal dari wilayah
kabupaten.kota dengan rincian provinsi diperuntukkan bagi
16% untuk provinsi dan 64% provinsi yang bersangkutan
untuk kabupaten/kota
penghasil.
Iuran Eksplorasi dan Iuran 80% berasal dari DBH pertambangan umum
Eksploitasi kabupaten/kota dengan rincian dari Iuran Eksplorasi dan
sebagai berikut yaitu 16% Iuran Eksploitasi sebesar 80%
untuk provinsi, 32 % untuk yang berasal dari wilayah
kabupaten/kota penghasil dan provinsi dibagi dengan rincian
32% untuk kabupaten/kota 26% untuk provinsi dan 54%
penghasil dan untuk untuk kabupaten/kota lainnya
kabupaten kota lainnya dalam dalam provinsi yang
provinsi yang bersangkutan. bersangkutan, yang dibagikan
DBH ini selanjutnya dengan porsi yang sama besar
dibagikan dengan porsi yang untuk seluruh kabupaten/kota
sama besar untuk seluruh lainnya dalam provinsi yang
kabupaten/kota lainnya dalam bersangkutan.
provinsi yang bersangkutan.

Yang dimaksud berasal dari wilayah provinsi adalah penerimaan pertambangan


umum yang bersumber dari wilayah 4-12 Mil laut berdasarkan kewenangan pengelolaan
sumber daya di wilayah laut.

c. DBH Sumber Daya Alam Perikanan


Penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam perikanan yang diterima
secara nasional dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah. DBH
perikanan berasal dari sumber-sumber, pertama pungutan pengusahan perikanan adalah
pungutan perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang
memperoleh izin usaha perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal
(APIPM) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas kesempatan
yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah
NKRI. Kedua, Pungutan Hasil Perikanan adalah pungutan hasil perikanan yang dikenakan
kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai
dengan surat penangkapan ikan (SPI) yang diperoleh. DBH perikanan untuk daerah sebesar
80% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota.

d. DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Minyak Bumi


Penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi
adalah penerimaan pertambagan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah pusat dan
15,5% untuk pemerintah daerah. Adapun pembagian rincinya sebagai berikut :
Pertama, DBH pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan
negara sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah kabupaten/kota yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.
DBH Pertambangan minyak bumi sebesar 15% dibagi dengan rincian, 3% untuk provinsi
yang bersangkutan; 6% untuk kabupaten/kota penghasil dan 6% dibagikan untuk seluruh
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, yang dibagikan dengan porsi
yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
DBH pertambangan minyak bumi sebesar 0,5% dibagi dengan rincian, 0,1% untuk
provinsi yang bersangkutan, 0,2 % untuk kabupaten/kota penghasil dan 0.2% dibagikan
untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, yang dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan. DBH yang berasal dari pertambangan minyak bumi sebesar 0.5% ini wajib
dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Pelanggaran terhadap ketentuan
ini dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran dana bagi hasil
disektor minyak bumi.
Kedua, DBH pertambagan minyak bumi dari penerimaan negara sumber daya alam
pertambangan minyak bumi di wilayah provinsi dengan 15,5% setelah dikurangi komponen
pajak dan pungutan lainnya.. DBH pertambangan minyak bumi sebesar 15% ini dibagi
dengan rincian 5% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan dan 10% dibagikan untuk
seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, yang dibagikan dengan
porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan.
DBH Pertambagan minyak bumi sebesar 0,5% dibagi dengan rincian sebagai berikut
yakni 0.17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan dan 0.33 % dibagikan untuk
seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, yang dibagikan dengan
porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan. DBH yang berasal dari pertambangan minyak bumi sebesar 0.5% ini wajib
dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Pelanggaran terhadap ketentuan
ini dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran dana bagi hasil
disektor minyak bumi.

e. DBH Sumber Daya Alam Pertambagan Gas Bumi


Penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam pertambangan gas bumi adalah
penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, dibagi dengan imbangan 69,5% untuk pemerintah pusat, dan 30,5% untuk daerah.
DBH yang berasal dari wilayah kabupaten/kota kota dengan rincian dana pembagian
sebesar 30,5% dibagi dengan rincian :
 6% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
 12% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil dan
 12% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan,
yang dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan.
DBH pertambagan gas bumi sebesar 0.5% dibagi dengan rincian :
 0,1 % untuk provinsi yang bersangkutan;
 0,2 % untuk kabupaten/kota penghasil dan
 0,2 % dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan, yang dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
DBH yang berasal dari pertambangan gas bumi sebesar 0.5% ini wajib dialokasikan
untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan
sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran dana bagi hasil sektor gas bumi.
DBH pertambangan gas bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara sumber daya
alam pertambangan gas bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH pertambangan minyak bumi sebesar 30% ini
dibagi dengan rincian sebagai berikut :
 10% dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan;
 20% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan,
yang dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan.
DBH pertambangan gas bumi sebesar 0.5% dibagi dengan rincian sebagai berikut :
 0.17% dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan;
 0,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan, yang dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
DBH yang berasal dari pertambangan gas bumi sebesar 0.5% ini wajib dialokasikan
untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan
sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran dana bagi hasil sektor gas bumi.

f. DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi


Penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam pertambangan panas bumi adalah
penerimaan pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan merupakan penerimaan negara bukan pajak, dibagi dengan imbangan 20%
untuk pemerintah dan 80% untuk daerah.
DBH pertambangan panas bumi berasal dari sumber sumber berikut :
1. Setoran bagian pemerintah adalah penerimaan negara dari pengusaha panas bumi atas
dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum UU No,27 Tahun
2003 Tentang Panas Bumi ditetapkan , setelah dikurangi dengan kewajiban perpajakan
dan pungutan-pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Iuran tetap dan iuran produksi yang dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas
kesempatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja.
DBH Pertambangan panas bumi untuk daerah sebesar 80% dan dibagi dengan rincian :
1. 16% untuk provinsi yang bersangkutan;
2. 32% untuk kabupaten/kota penghasil dan
3. 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, yang dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan

Dana Alokasi Umum


Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi . DAU dialokais untuk provinsi dan
Kabupaten/kota . Namun demikian, daerah Kabupaten/Kota yang ada di wilayah Provinsi DKI
Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi provinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup
provinsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari jumlah pendapatan
dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. Pendapatan dalam negeri neto adalah
penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan
penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah.
Jumlah DAU 26% ini merupakan jumlah DAU untuk seluruh provinsi dan
kabupaten/kota. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan
antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota.
Proporsi DAU antara DAU provinsi dan DAU kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10%
dan 90%. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan dalam APBN setiap tahun dan bersifat final.
DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah
fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Sementara alokasi dasar
dihitung berdasarkan jumlah gaji PNS . Jumlah gaji PNS daerah yang dimaksud adalah gaji
pokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian
PNS termasuk didalamnya tunjangan beras dan tunjangan pajak penghasilan.
Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum, layanan dasar public yang dimaksud antara lain adalah penyediaan
layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur dan pengentasan masyarakat dari
kemiskinan. Kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum
diukur secara berturut-turut berdasarkan :
1. Jumlah penduduk;
2. Luas wilayah;
3. Indeks kemahalan konstruksi, ialah cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai
berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relative antar daerah;
4. Produk domestic regional bruota per kapita, ialah cerminan potensi dan aktivitas
perekonomian suatu daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output produksi kotor
dalam suatu wilayah;
5. Indeks Pembangunan manusia, ialah variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian
kesejahteraan penduduk atas layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan.
Kebutuhan pendanaan suatu daerah dihitung dengan pendekatan total pengeluaran rata-
rata nasional. sedangkan kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang
berasal dari PAD dan dana bagi hasil. Berdasarkan uraian diatas, alokasi dana alokasi umum
(DAU) untuk daerah dihitung dengan menggunakan formal sebagai berikut :

DAU = CF + AD

Keterangan :
DAU : Dana Alokasi Umum
CF : Celah Fiskal
AD : Alokasi Dasar
CF : Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan
imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU atas dasar celah fiskal untuk
suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan
dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi.

DAU Provinsi = Bobot provinsi x DAU Provinsi

Bobot provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang
bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh daerah provinsi.

CF Provinsi
Bobot Provinsii =
չ CF Provinsi

Keterangan :
CF Provinsi : celah fiskal suatu daerah provinsi
չ CF Provinsi : total celah fiskal seluruh provinsi.
DAU atas celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian
bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah
Kabupaten/Kota.

DAU Kab/Kotai = Bobot Kab/Kotai x DAU Kab/Kota


Bobot daerah kabupaten/kota merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah kabupaten/kota.

CF Kab/ Kotai
Bobot Kab /Kota i=¿
չ CF kab/ Kota

Keterangan ;

CF Kab/Kota: Celah fiskal suatu daerah kab/kota

չ CF kab/kota : Total celah fiskal seluruh kab/kota

Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal di peroleh dari lembaga
statistic pemerintah dan/atau lembaga yang berwenang menerbitkan data yang dapat
dipertanggung jawabkan.

a. Alokasi DAU untuk pemekaran daerah

DAU untuk suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah undang-undang pembentukan
disahkan. Penghitungan DAU untuk daerah otonom dilakukan setelah tersedia data mengenai
jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk domestic regional
bruto per kapita dan indeks pembangunan manusia. Jika data tersebut tidak tersedia,
pengitungan DAU dilakukan dengan membagi secara proposional dengan daerah induk.

b. DAU Tambahan

Pasal 31 Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan, penyaluran
DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Pertambangan Gas bumi di daerah dilakukan dengan
menggunakan asumsi dasar harga minyak bumi tidak melebihi 130% dari penetapan dalam
APBN tahun berjalan. Dalam hal asumsi dasar harga minyak bumi yang ditetapkan dalam
APBN perubahan melebihi 130%, selisih penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi
sebagai dampak dari kelebihan dimaksud dialokasikan dengan menggunakan formula DAU.

Dana Alokasi Khusus

Dana alokasi khusus adalah dana yang besumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana alokasi khusus dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional yang urusan
daerah. Kegiatan tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan
khusus yang ditetapkan oleh pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan dan pengadaan
atau peningkatan atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan
umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.

Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui dua tahapa, yaitu :

1. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK; dan


2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.

Penentuan daerah tertentu harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria
teknis. Kriteria umum adalah pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang
memiliki kemampuan fiskal rendah atau dibawah rata-rata nasional. Kriteria khusus dimana
pengalokasian DAK memerhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki karakteristik dan/atau
berada di wilayah :

1. Provinsi papua yang merupakan daerah otonomi khusus;


2. Daerah pesisir dan kepulaua, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah
tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk kategori ketahanan pangan dan daerah
pariwisata;
3. Daerah rawan banjir/longsor, daerah penampung transmigrasi, daerah yang memiliki
pulau-pulau kecil terdepan.

Selanjutnya kriteria teknis kegiatan DAK untuk bidang pendidikan dirumuskan oleh
menteri pendidikan nasional, bidang kesehatan di rumuskan oleh menteri kesehatan, bidang
infrastruktur jalan, irigasim dan air bersih dan sanitasi dirumuskan oleh menteri kelautan dan
perikanan, bidang pertanian oleh menteri pertanian, bidang prasarana pemerintahan daerah oleh
menteri dalam negeri, dan bidang lingkungan hidup dirumuskan oleh menteri negara lingkungan
hidup.
Dana Kontinjensi

Dana Kontijensi diberikan dengan pertimbangan bahwa pengalihan P3D dari instansi
vertikal ke daerah yang dilakukan setalah dilakukannya perimbangan keuangan pemerintah pusat
dan daerah kenyataanya belum dapat dibiayai sepenuhnya dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di beberapa daerah. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak
menghambat kelancaran pelaksanaan otonomi di beberapa daerah. Dana kontinjensi ini diberikan
untuk mengatasi hal tersebut yang diambil dari APBN tahun anggaran 2001.

Bantuan yang diberikan bersumber dari dana kontinjensi pada pengeluaran rutin lainnya
APBN tahun anggaran 2001.bantuan ini merupakan pendapatan daerah yang dianggarkan dalam
APBD tahun anggaran 2001 dalam pos lain-lain penerimaan yang sah. Daerah yang mendapat
bantuan adalah provinsi, kabupaten/kota yang memperoleh jumlah penerimaan pendapatan
daerah dan komponen bagi hasil dan dana alokasi umum lebih kecil dari pengeluaran untuk
belanja pegawai dan belanja non pegawai setelah dilakukan pengalihan P3D Instansi vertikal ke
daerah yang bersangkutan.

Untuk mendapatkan dana kontinjensi, daerah provinsi, kabupaten/kota harus mengajukan


permintaan bantuan kepada Menteri Dalam Negeri, selaku ketua Tim Keppres 157 Tahun 2000
tentang pembentukan Tim Kerja Pusat Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pengajuan
permintaan ini paling lambat tanggal 10 mei 2001. Setelah batas tersebut, bagi daerah yang tidak
mengajukan permintaan bantuan atas kekurangan biaya pengalihan P3D dianggap tidak
memerlukan bantuan. Pengajuan permintaan bantuan disertai dengan lampiran :

a. Ringkasan realisasi belanja pegawai dan belanja nonpegawai tahun anggaran 2001;
b. Ringkasan APBD tahun anggaran 2000 sebelum perubahan;
c. Ringkasan APBD Tahun 2001 yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan daerah;
d. Ringkasan kutipan Buku Pengeluaran dan Buku Kas umum atas realisasi belanja pegawai
dan belanja non pegawai sampai batas akhir Februari 2001
e. Formasi dan Bezetting pegawai sebelum dan sesudah pengalihan P3D.
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Dan Hibah Kepala Daerah

Cakupan lain-lain pendapatan daerah yang sah terdiri dari :

1. Hibah yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya,


badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan dan
lembaga luar negeri yang tidak mengikat;
2. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan bencana
alam;
3. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota;
4. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan
5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.

Hibah daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah
dalam/luar negeri, badan/lembaga dalam/luar negeri atau perseorangan yang tidak perlu dibayar
kembali. Penerimaan ini bersifat tidak mengikat sehingga tidak dapat mempengaruhi kebijakan
daerah. Hibah digunakan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan daerah. Pemberian hibah dapat
berupa dana, barang maupun jasa termasuk tenaga ahli atau pelatihan. Hibah bersumber dari
Dalam negeri dan Luar negeri.

Hibah dalam negeri bersumber dari :

1. Pemerintah;
2. Pemerintah daerah lain;
3. Badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri; dan/atau
4. Kelompok masyarakat/perseorangan.

Hibah dari luar negeri bersumber dari sebagai berikut ;

1. Bilateral, hibah bilateral adalah hibah yang berasal dari pemerintah suatu negara
melalui suatu lembaga/badan keuangan yang ditunjuk oleh pemerintah negara yang
bersangkutan untuk melaksanakan pemberian hibah.
2. Multilateral, adalah hibah yang berasal dari lembaga multilateral.
3. Donor lainnya, adalah badan/lembaga/organisasi/kelompok masyarakat/perorangan
luar negeri yang tidak termasuk lembaga bilateral dan multiteral.
Bentuk hibah sebagai berikut ;

1. Uang, hibah dalam bentuk uang dapat berupa rupiah, devisa dan atau surat berharga;
2. Barang, hibah dalam bentuk barang dapat berupa barang bergerak dan barang tidak
bergerak. Barang bergerak yang dimaksud antara lain peralatan, mesin, kendaraan
bermotor. Barang tidak bergerak yang dimaksud antara lain tanah, rumah, gedung dan
bangunan;
3. Jasa, hibah dalam bentuk jasa dapat berupa bantuan teknis, pendidikan, pelatihan,
penelitian dan jasa lainnya.

Kriteria penerimaan hibah antara lain :

1. Melaksanakan kegiatan yang menjadi urusan daerah, yaitu meningkatkan fungsi


pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan aparatur daerah;
2. Kegiatan dengan kondisi tertentu yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan
pemerintah yang berskala nasional/internasional di daerah;
3. Melaksanakan kegiatan sebagai akibat kebijakan pemerintah yang mengakibatkan
penambahan beban APBD.

Hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri diberikan kepada daerah dengan kriteria
di antaranya:

1. Kegiatan yang merupakan urusan daerah dalam rangka pencapaian sasaran program
yang merupakan prioritas pembangunan nasional dan atau
2. Diprioritaskan untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah, berdasarkan peta
kapasitas fiskal yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Dana Dekonsentrasi

Dekonsentrasi merupakan salah satu cara dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan


Negara Republik Indonesia. Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu. pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu :
1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan
pembangunan & pelayanan terhadap kepentingan umum;
2. Terpeliharannya komunikasi sosial kemasyrakatan dan sosial budaya dalam sistem
administrasi negara;
3. Terpeliharannya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional;
4. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur adalah sebagai berikut :
1. Aktualisasi nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 serta sosialisasi
kebijaksanaan nasional di daerah;
2. Koordinasi wilayah, perencanaan, pelaksanaan, sektoral, kelembagaan, pembinaan,
pengawasan dan pengendalian;
3. Fasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antar daerah dalam wilayah kerjanya;
4. Pelantikan bupati/walikota;
5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah dengan daerah otonom di
wilayahnya dalam rangka memelihara dan menjaga keutuhan NKRI;
6. Fasilitasi penerapan & penegakkan peraturan perundang-undangan;
7. Pengondisian terselenggarannya pemerintahan daerah yang baik, bersih dan bertanggung
jawab baik yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Daerah maupun Badan legislative
Daerah;
8. Penciptaan dan pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban umum;
9. Penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan lainnya yang tidak termasuk tugas
instansi lain;
10. Pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota;
11. Pengawasan represif terhadap perda, keputusan kepala daerah dan keputusan DPRD serta
keputusan pimpinan DPRD Kabupaten/Kota;
12. Pengawasna pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karier pegawai di wilayahnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
13. Pemberian pertimbangan terhadap pembentukan pemekaran, penghapusan dan
penggabungan daerah.

Gubernur dalam menyelenggarakan wewenang yang dilimpahkan pemerintah


berkewajiban :
1. Mengoordinasikan perangkat daerah dan pejabat pusat di daerah serta antarkabupaten dan
kota diwilayah sesuai dengan bidang tugas yang berkaitan dengan kewenangan yang
dilimpahkan;
2. Melakukan fasilitasi terselenggarannya pedoman, norma, standar, arahan, pelatihan, dan
supervise serta melaksanakan pengendalian dan pengawasan; dan
3. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah berkenaan dengan
penyelenggaraan kewenangan pemerintah di wilayahnya.

Dalam menyelenggarakan kewenangan yang dilimpahkan gubernur memperhatikan:

1. Norma, standar dan kebijakan pemerintah;


2. Keserasian kemanfataan, kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan;
3. Standar pelayanan minimal.

Dalam rangka menyelenggarakan kewenangan yang dilimpahkan, gubernur


memberitahukan kepad DPRD Provinsi.

Kewajiban perangkat pusat di daerah dalam menyelenggarakan kewenangan yang


dilimpahkan adalah ;

1. Melakukan koordinasi dengan gubernur dan instansi terkait dalam perencanaan,


pembiayaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan sesuai dengan norma, standar,
pedoman, arahan dan kebijakan pemerintahan yang selaraskan dengan perencaan tata
ruang dan program pembangunan daerah lainnya;
2. Membina pegawai di lingkungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
3. Memberikan saran dan pertimbangan kepada menteri/pimpinan lembaga pemerintahan
non dapartemen dan gubernur berkenaan dengan penyelenggaraan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan.

Biaya yang digunakan untuk penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan kepada


gubernur atau perangkat vertikal pusat di daerah dibebankan pada APBN sesuai dengan besaran
kewenangan dan beban tugas yang dilimpahkan.
Tugas Pembantuan

Tugas pembantuan merupakan salah satu cara dalam penyelenggaraan sistem


pemerintahan Negara Republik Indonesia. Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan
pembangunan,dan pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas dan penyelesaian permasalahan
serta membantu mengemban pembangunan bagi daerah dan desa.

Biaya penyelenggaraan tugas pembantuan dari pemerintah kepada daerah dan desa
dibebankan pada APBN. Penentuan biaya ini dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
pertimbangan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nondapartemen. Proses penetapan jumlah
biaya tugas pembantuan dengan mempertimbangkan usul yang disampaikan oleh pemerintah
daerah dan desa penerima tugas pembantuan. Biaya tersebut disalurkan kepada daerah dan desa
melalui dapartemen/lembaga pemerintah nondapartemen pemberi tugas pembantuan.

Biaya penyelenggaraan tugas pembantuan dari provinsi atau kabupaten kepada desa
dibebankan pada APBD Provinsi atau kabupaten. Penentuan biaya ini dilakukan oleh gubernur
atau bupati dengan persetujuan DPRD provinsi dan kabupaten.

Dana Otonomi Khusus Pemerintahan Aceh dan Provinsi Papua

Otonomi khusus di Aceh semula diatur dalam UU No.18 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus bagi daerah istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh adalah
provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberikan
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip
NKRI berdasarkan UUD 1945.

Penerimaan Aceh dan Kabupaten/kota terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan.
Pendapatan daerah bersumber dari :

1. Pendapatan asli daerah;


2. Dana Perimbangan;
3. Dana Otonomi Khusus dan
4. Lain-lain pendapatan yang sah.
Sumber pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/kota terdiri atas:
1. Pajak daerah;
2. Retribusi daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan milik Aceh/Kabupaten/Kota dan
hasil penyertaan Modal Aceh/Kabupaten/Kota.
4. Zakat; dan
5. Lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli kabupaten/kota yang sah.
Pengelolaan Sumber PAD Aceh dan PAD Kabupaten/kota yang terdiri dari pajak daerah
dan retribusi daerah dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Dana perimbangan terdiri atas dana-dana berikut :
a. Dana bagi hasil pajak, yaitu :
1. Bagian dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sebesar 90%.
2. Bagian dari penerimaan Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar
80%; dan
3. Bagian dari penerimaan pajak penghasilan (PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang
pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21) sebesar 20%.
b. Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain, yaitu :
1. Bagian dari kehutanan sebesar 80%;
2. Bagian dari perikanan sebesar 80%;
3. Bagian dari pertambangan umum sebesar 80%;
4. Bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80%;
5. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 15%; dan
6. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30%.
c. Dana alokasi umum;
d. Dana alokasi khusus;
Pembagian dana perimbangan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain dana bagi hasil sebagaimana tersebut di atas, pemerintah Aceh mendapat tambahan
dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan pemerintah
Aceh, yaitu :
a. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 55%; dan
b. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40%.
Pemerintah Aceh berwenang mengelola tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi
tersebut di atas yang merupakan pendapatan dalam APBA. Paling sedikit 30% dari
pendapatan tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi, dialokasikan untuk membiayai
pendidikan di Aceh. Dana ini dapat digunakan seperti untuk peningkatan kapasitas aparatur,
tenaga pendidik, pemberian bea siswa baik dalam maupun ke luar negeri dan kegiatan
pendidikan.
Dana otonomi khusus merupakan penerimaan pemerintahan Aceh yang ditujukan untuk
membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,
pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial
dan kesehatan. Pembiayaan pendanaan pendidikan ini dapat digunakan seperti untuk
meningkatkan kapasitas aparatur, tenaga pendidik, pemberian beasiswa ke dalam maupun
keluar negeri dan kegiatan pendidikan lainnya sesuai dengan skala prioritas.

Otonomi khusus Provinsi Papua


Undang-undang yang mengatur otonomi khusus bagi provinsi Papua adalah UU No.21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Otonomi khusus bagi provinsi
papua pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat
papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri.
Penerimaan Papua dan Kabupaten/kota terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan.
Pendapatan daerah bersumber dari :

1. Pendapatan asli daerah;


2. Dana Perimbangan;
3. Dana Otonomi Khusus
4. Pinjaman Khusus
5. Lain-lain pendapatan yang sah.
Sumber pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/kota terdiri atas:
1. Pajak daerah;
2. Retribusi daerah;
6. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan; dan
7. Lain-lain pendapatan asli Papua dan pendapatan asli kabupaten/kota yang sah.
Dana perimbangan bagian provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka otonomi
khusus meliputi sebagai berikut :
a. Dana bagi hasil pajak, yaitu :
1. Bagian dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sebesar 90%;
2. Bagian dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar
80%; dan
3. Bagian dari penerimaan pajak penghasilan (PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang
pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21) sebesar 20%.

b. Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain, yaitu :
1. Bagian dari kehutanan sebesar 80%;
2. Bagian dari perikanan sebesar 80%;
3. Bagian dari pertambangan umum sebesar 80%;
4. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 70% (penerimaan Provinsi, Kabupaten dan
Kota adalah 15% dan ditambahaan penerimaan sebesar 55% dalam rangka otonomi
daerah;
5. Bagian dari pertambangan gas alam sebesar 70 % (penerimaan provinsi, kabupaten/kota
dari penerimaan SDA adalah 30% dan tambahan penerimaan sebesar 40% adalah dalam
rangka otonomi khusus.
c. Dana alokasi umum;
d. Dana alokasi khusus;
e. Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya setara 2%
dari plafon dana alokasi umum nasional terutama yang ditujukan untuk pembiayaan
pendidikan dan kesehatan.
f. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan
antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun anggaran.
Sistem Pemerintahan Indonesia
Prof. Dr.C.S.T Kansil,S.H & Christine S.T Kansil, S.H., M.H

Hubungan Kerja
Sebagai suatu organisasi, pemerintah mengenal adanya berbagai hubungan kerja
kedinasan (formal) antara unit yang satu dengan unit yang lain. Hubungan-hubungan kerja dapat
digolongan menjadi dua jenis pokok hubungan yakni hubungan kerja vertikal dan hubungan
kerja fungsional (horizontal).
Hubungan kerja hierarkis yang bersifat vertikal adalah hubungan kerja timbal balik antara
atasan dengan bawahannya, dari tingkat pejabat tertinggi secara berjenjang sampai ke tingkat
pejabat paling rendah. Dalam jenis hubungan vertikal ini terdapat hubungan perintah dan
tanggung jawab sesuai dengan tugas dan batas wewenang masing-masing.
Hubungan kerja fungsional pada pokoknya bersifat horizontal dan merupakan hubungan
kerja sama antara dua atau lebih unit organisasi/pejabat yang mempunyai kedudukan pada eselon
yang setingkat. Dalam kenyataannya hubungan ini dapat pula bersifat diagonal, misalnya
hubungan secara fungsional antara satu unit dengan unit yang lain tidak setingkat dalam
hubungan fungsi yang sama, seperti antara Bagian Kepegawaian dari Sekretariat Direktorat
Jenderal Kepegawaian dari Sekretariat Jenderal dan/atau dengan Badan Administrasi
Kepegawaian Negara. Hubungan fungsional merupakan keharusan dalam tiap organisasi besar
dan modern, demi terwujudnya kerja sama yang harmonis sebagai satu kesatuan yang
menyeluruh.

Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah


Yang dimaksud dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan antara
pemerintahan tingkat pusat sebagai keseluruhan dengan aparat pemerintahan daerah, termasuk
hubungan suatu unit pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Yang dimaksud dengan unit pemerintah ialah seluruh aparat dari pemerintah pusat, baik
yang berada di pusat pemerintahan maupun di daerah (instansi vertikal).

Pelaksanaan Hubungan Kerja Pemerintah Pusat dan Daerah


1) Di Tingkat Pusat
a. Gubernur/kepala daerah bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Dalam
Negeri Selaku pembantu presiden dalam masalah-masalah pemerintah daerah;
b. Menteri Dalam Negeri memberikan pedoman/bimbingan , koordinasi dan pengawasan
terhadap pemerintah daerah;
2) Di Tingkat Daerah
a. Semua instansi vertikal secara teknis, organisatoris dan administrative bertanggung
jawab kepada menteri yang bersangkutan (hubungan hierarkis), tetapi operasional
tunduk kepada gubernur/kepala daerah;
b. Instansi otonomi mempunyai hubungan hierarkis dengan kepala daerah, tetapi secara
teknis fungsional berhubungan pula dengan dapartemen yang bertugas dalam bidang
yang sama;
c. Dalam memimpin pemerintahan daerah gubernur/kepala daerah mendapat bantuan
nasihat dan muspida.

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok
negara dan dalam rangka membina kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikembangkan atas dasar Keutuhan Negara Kesatuan
dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab
yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah dan dilaksanakan bersama-sama
dengan dekonsentrasi.

Prinsip Otonomi Nyata dan Bertanggung Jawab


Prinsip otonomi yang berarti pemberian otonomi kepada daerah hendaknya berdasarkan
pertimbangan, perhitungan tindakan, dan kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin
bahwa daerah yang bersangkutan nyata-nyata mampu mengurus rumah tangga berarti bahwa
bersangkutan nyata-nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri.
Prinsip otonomi daerah yang bertanggung jawab berarti bahwa pemberian otonomi daerah itu
benar-benar sesuai dengan tujuannya, yaitu :
1. Lancar dan teraturnya pembangunan diseluruh wilayah Negara;
2. Sesuai atau tidaknya pembangunan dengan pengarahan yang telah diberikan;
3. Sesuai dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa;
4. Terjaminnya keserasian hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah;
dan
5. Terjaminnya pembangunan dan perkembangan daerah.

Tujuan Pemberian Otonomi


Tujuan pemberian otonomi kepada daerah berorientasi kepada pembangunan, yaitu
pembangunan dalam arti luas, yaitu meliputi semua segi kehidupan dan penghidupan. Dengan
demikian, otonomi daerah yang condong merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini berarti
bahwa dengan berkewajiban melancarkan jalannya pembangunan dengan sungguh-sungguh dan
penuh rasa tanggung jawab sebagai sarana untuk mencapai cita-cita bangsa, yaitu masyarakat
yang adil dan makmur, baik material maupun spiritual.

Pengarahan-Pengarahan
Pengarahan-pengarahan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang
nyata dan bertanggung jawab ialah bahwa :
a. Otonomi daerah harus sesuai dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa;
b. Keserasian hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
c. Perkembangan dan pembangunan daerah harus terjamin.

Pemberian Otonomi Kepada Daerah Di lakukan Bersama-sama dengan Dekonsentrasi


Asas Dekonsentrasi dan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerinta di daerah
sama pentingnya. Apakah suatu urusan pemerintahan di daerah akan tetapi diselenggarakan oleh
perangkat pemerintah pusat (atas dasar asas dekosentrasi) atau diserahkan kepada daerah
sehingga menjadi urusan otonomi (atas dasar asas desentralisasi) terutama didasarkan pada daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan urusan pemerintahan itu.
Buku Ilmu Pemerintahan Edisi Revisi
Oleh : Drs. Inu Kencana Syafiie, M.Si

Buku ini menjelaskan secara singkat mengenai proses hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan
yuridis dalam pelaksanaan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Buku ini
memaparkan beberapa bagian seperti sejarah pemerintahan daerah yang didasarkan pada The
origins of Local Government (asal muasal lahirnya Pemerintahan lokal) dengan konstitusi atau
UU Pemerintahan daerah yang dijelaskan secara singkat Mulai dari UU No. 1 Tahun 1945
hingga UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Beberapa undang-undang
pemerintah daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang No.1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah yang
berisi mengenai penjabaran komite nasional Indonesia pusat yang merupakan badan
legislative darurat.
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini
merupakan penghapusasn perbedaan antara cara pemerintahan di Jawa dan Madura
dengan Daerah-daerah di Luar Jawa dan Madura (Uniformitas).
c. Undang-Undang No.44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia
Timur ini hanya bersifat separatis, hal ini adalah akibat berlakunya konstituante RIS di
mana Negara Republik Indonesia berbentuk serikat.
d. Undang-Undang No.1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah. UU ini
sebagai usaha untuk uniformitas dalam menyatukan UU tentang pokok-pokok otonomi
yang beraneka warna.
e. Undang-Undang No.18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah.UU ini
dibuat sewaktu PKI beberapa waktu menjelang meletusnya, sehingga dalam UU ini
sempat dimasukkan ketentuan bahwa untuk terciptanya demokrasi (terpimpin) maka di
dalam pimpinan DPRD, pembentukan (terpimpin) maka pembentukan wakil-wakil ketua
harus menjamin terciptanya poros Nasakom.
f. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di Daerah. UU ini
terkenal dengan pemberian otonomi yang Nyata, dinamis dan bertanggung jawab. Nyata
dalam arti bahwa pemberian Otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-
faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara Nyata mampu
mengurus rumah tangganya sendiri.
g. Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah ini dibentuk untuk
menyesuaikan diri dengan arus reformasi sehingga dengan demikian daerah-daerah yang
selama ini didominasi oleh pusat dicoba untuk diberikan otonomi dengan tetap
memberikan rambu-rambu pencegahan disintegrasi.

Azas Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia


Azas Negara Hukum
Yaitu azas yang mempedomani peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini
mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya, dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum atau harus
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Azas Semangat kekeluargaan


Yaitu azas yang mempedomani rasa kemanusiaan dan cinta kasih senasib
sepenanggungan. Istilah kekeluargaan itu membawa pada respon saling membantu, saling
menghormati dan saling mmeberikan dukungan. Demikianlah jika ikatan-ikatan itu
ditingkatkan dalam hubungan antar anggota keluarga yang lebih besar, disebut kekeluargaan.

Azas Kedaulatan Rakyat


Yaitu azas yang mempedomani bahwa kekuasaan tertinggi adalah hati nurani rakyat
kecil. Azas ini berasal dari keinginan untuk mewujudkan demokrasi.

Azas Pemerintahan Di Daerah


Azas Desentralisasi
Azas desentralisasi adalah azas penyerahan sebagai urusan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Azas Dekosentrasi
Azas dekosentrasi adalah azas pelimpahan wewenang dan pemerintah pusat atau kepala
wilayah, atau kepala instansi vertikal tingkatan atasnya, kepada pejabat-pejabat di Daerah.

Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan adalah asas untuk turut sertanya pemerintahan daerah bertugas dalam
melaksanakan urusan pemerintahan pusat yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh
pemerintahan pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Konsekuensi daripada ketiga asas
tersebut di atas, maka diadakan sebagai berikut :
1. Otonomi daerah, yaitu akibat adanya desentralisasi lalu diadakan daerah otonom yang
diberikan hak wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai peraturan berlaku.
2. Daerah Otonom, yaitu akibat adanya otonomi daerah lalu dibentuklah daerah-daerah
otonom, baik untuk tingkat I maupun tingkat II. Daerah Otonomi itu sendiri berarti
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.
3. Wilayah Administratif, yaitu akibat adanya asas dekonsentrasi. Wilayah administrative
itu sendiri. Berarti lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan
pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban suatu pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan kepada aparat
legislative yaitu DPRD, sedangkan fungsi mengurus diberikan kepada aparat eksekutif yaitu
kepala daerah dan dinas-dinas otonominya. Itulah sebabnya DPRD dapat membuat peraturan
daerah.
Pemberian otonomi kepada pemerintah daerah haruslah nyata, dinamis dan bertanggung
jawab. Nyata dalam arti desentralisasi pemerintahan karena harus didasarkan pada faktor-faktor,
perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat
menjamin daerah tersebut mampu mengurus rumah tangganya. Bertanggung jawab dalam arti
sentralisasi pemerintahan karena harus sejalan dengan tujuan yaitu melancarkan pembangunan
yang tersebar di seluruh pelosok negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-
pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa,
menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Adapun
garis besar mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah sebagai berikut :
1. Otonomi daerah ditandai dengan pemberian urusan-urusan tertentu kepada daerah
tertentu, dan sisanya tetap dikelola oleh pemerintah pusat. Oleh karenannya terasa ada
pembatasan.
2. Perincian pemberian urusan tersebut dimaksudkan untuk melihat kemampuan masing-
masing daerah, tetapi dibalik daripada itu ada pertimbangan lain untuk tidak memberi
sesuatu urusan.
3. Pemerintah daerah diharapkan untuk tidak terlalu besar mengharapkan ketergantungan
pada bantuan sumbangan dari pemerintah pusat.
4. Urusan-urusan yang tidak mungkin diserahkan kepada pemerintah daerah adalah urusan
monoter, urusan peradilan, urusan luar negeri dan urusan pertahanan dan keamanan.
5. Pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu banyak ikut campur dalam bursa pemilihan
kepala daerah. Sesuai dengan peraturan yang berlaku pemerintah pusat dipersilahkan ikut
menentukan pemenang setelah calon diajukan.
Pemerintah Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah
Prof. Dr.C.S.T Kansil,S.H & Christine S.T Kansil, S.H., M.H

Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dipengaruhi oleh tiga pendekatan utama
yakni pendekatan desentralisasi, dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan. Asas desentralisasi
adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah atau dari pemerintah daerah ketingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah
daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah. Dengan
demikian prakarsa, wewenang dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan
tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu, baik mengenai politik kebijaksanaan,
perencanaan dan pelaksanaanya maupun mengenai segi-segi pembiayaanya.
Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal yang lebih tinggi kepada pejabat-
pejabatnya di daerah. Tanggung jawab ada pada pemerintah pusat, baik perencanaan dan
pelaksanaannya namun pembiayaanya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Unsur
pelaksanaanya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil
pemerintah pusat.
Asas pembantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam pelaksanaan
urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban
mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas. Misalnya, kotamadya menarik
pajak-pajak tertentu seperti pajak kendaraan, yang sebenarnya menjadi hak dan urursan
pemerintah pusat. Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, jelaslah bahwa wilayah Indonesia dibagi
menjadi daerah-daerah otonom dan wilayah-wilayah administrasi. Wilayah otonom atau daerah
swatantra adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu,yang
berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan NKRI, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daerah dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi. Sementara wilayah administrasi atau wilayah adalah lingkungan
kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di daerah.
Wilayah ini dibentuk berdasarkan asas dekonsentrasi. Syarat-syarat dibentuknya suatu daerah
antara lain :
a. Mampu membiayai kehidupannya;
b. Jumlah penduduk yang ditentukan;
c. Luas daerah;
d. Memperhatikan pertahanan dan keamanan nasional;
e. Pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa;
f. Dapat melaksanakan pembangunan untuk daerahnya.

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah


Pembentukan pemerintah daerah otonom tidak semata-mata didasarkan pada besarnya
pendapatan daerah karena pada besarnya pendapatan daerah karena pada dasarnya pemerintah
seluruhnya adalah bertanggung jawab nasional. oleh karena itu dalam pembentukan daerah
otonom yang penting adalah :
a. Pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah;
b. Peningkatan swadaya masyarakat didaerah;
c. Kesadaran serta rasa tanggung jawab warga negara masing-masing daerah.
Agar pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dapat berjalan
dengan baik, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus diatur dengan
UU. Daerah perlu diberi sumber-sumber pembiayaan yang cukup supaya dapat mengurus rumah
tangganya sendiri. Sumber pendapatan daerah di peroleh dari :
a. Pemerintah pusat dalam bentuk :
1. Sumbangan, subsidi, atau bantuan pemerintah pusat;
2. Pinjaman dari luar negeri melalui pemerintah pusat;
3. Sumber-sumber penghasilan yang semula merupakan wewenang pemerintah pusat,
kemudian diserahkan kepada daerah.
b. Sumber-sumber keuangan di daerah sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku seperti;
1. Pajak Daerah;
2. Hasil retribusi daerah;
3. Hasil perusahaan daerah;
4. Dan lain-lain usaha daerah yang sah.
Hubungan antara kewajiban dan Struktur Pemerintah Daerah
Kekuasaan dan wewenang pemerintah daerah sebenarnya adalah pelimpahan dari pusat
ke daerah. Jadi jika dilihat dari segi pemerintah pusat, pemerintah daerah otonom adalah organ
pemerintah pusat. Akan tetapi, apabila dilihat dari segi pemerintah daerah, pemerintah daerah
adalah pemerintah otonom. Pengangkatan tersebut ditetapkan oleh pemerintah pusat. Oleh
karena itu , tugas dan wewenang pemerintahan daerah otonom harus dijelaskan dengan tegas,
dengan demikan pemerintah daerah dan pusat bisa selaras dan serasi dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan.

Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Jalannya Pemerintah Daerah


Pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin :
a. Keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
pemerintah pusat; dan
b. Kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna.
Pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah meliputi :
a. Pengawasan umum;
b. Pengawasan preventif; dan
c. Pengawasan Represif.
Pengawasan umum dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintah daerah dapat berjalan
dengan baik, pengawasan umum dilakukan oleh menteri dalam negeri dan kepala wilayah
sebagai pemerintah di daerah. Menteri dalam negeri dalam melaksanakan tugasnya dibantu
oleh Inspektur Jenderal, Gubernur di bantu Inspektur Daerah dan Bupati dan Walikota
dibantu oleh pejabat yang ditentukan. Wewenang pejabat dalam melaksanakan tugas
pengawasan umum adalah :
a. Meminta, menerima, dan mengusahakan bahan-bahan atau keterangan yang diperlukan
dari pejabat-pejabat daerah;
b. Melakukan atau menyuruh pejabat lain melakukan penyelidikan dan pemeriksaan di
tempat-tempat pekerjaan.
c. Menerima dan mempelajari pengaduan.
d. Memanggil pejabat-pejabat di daerah untuk dimintai pertanggungjawaban;
e. Menyarankan langkah-langkah, baik preventif maupun represif.
Pengawasan Preventif adalah pengawasan yang mengharuskan setiap peraturan daerah
dan keputusan kepala daerah mengenai pokok tertentu berlaku sesudah mendapatkan pengesahan
dari :
a. Menteri dalam negeri, bagi peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tingkat I,
dan
b. Gubernur kepala daerah, bagi peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tingkat
II.
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang memerlukan pengesahan ialah
peraturan dan keputusan yang menyangkut hal-hal :
a. Ketentuan yang menyangkut rakyat dan mengandung perintah, larangan dan
keharusan untuk berbuat sesuatu yang ditujukan kepada rakyat;
b. Mengadakan Ancaman pidana berupa denda dan hukuman kurungan;
c. Memberikan bahan kepada rakyat (pajak, retribusi daerah).
d. Mengadakan utang piutang, menanggung pinjaman dan mengadakan perusahaan
daerah, menetapkan, mengubah dan menghitung APBD dan gaji pegawai.
Pengawasan Represif adalah pengawasan yang menyangkut penangguhan atau
pembatalan terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh
pejabat yang berwenenang terhadap semua peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
ANALISIS
Hubungan Antara Pusat & Daerah Menurut UUD 1945
Oleh : Prof. Dr Bagir Manan, SH,MCL

Menurut opini penulis, buku ini pada dasarnya telah menjelaskan dan mendeskripsikan
secara detail mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah yang tidak terbatas pada sektor
keuangan saja. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang dibagi atas daerah provinsi dan
daerah provinsi tersebut dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota yang dalam melaksanakan
urusannya menggunakan sistem konsep desentralisasDesentralisasi merupakan salah satu sendi
susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk negara Republik
Indonesia. Susunan organisasi negara yang desentralistik senantiasa ada meskipun terjadi
penggantian Undang-Undang Dasar.

Desentralisasi merupakan cara terbaik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, hal tersebut
dikarenakan desentralisasi memperluas kesempatan bagi rakyat baik secara kualitatif maupun
kuantitatif turut serta dalam memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan
dibandingkan ketika penyelenggaraan terbatas pada tingkat pusat saja, namun menurut penulis
desentralisasi yang terlalu terbuka atau pemberian wewenang yang diserahkan seluruhnya
kepada daerah juga dapat menjadi boomerang bagi suatu negara, hal tersebut dicontohkan
dengan daerah yang akan mandiri atau mampu menghidupi kebutuhan daerahnya akan rawan
memisahkan diri dengan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, penulis mengkritisi tentang paham klasik yang disampaikan oleh Prof. Bagir
Manan mengenai ciri-ciri negara hukum, tidak di dasarkan pada penjelasan Pasal 1 ayat 3 yang
menjelaskan hanya ada 3 ciri-ciri negara hukum yakni Jaminan perlindungan hak-hak asasi
manusia, kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, dan legalitas dalam arti hukum.
Selanjutnya mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam ketentuan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, buku ini menurut hemat penulis tidak bisa dijadikan sebagai sumber
uatama dalam melihat bagaimana hubungan pemerintah pusat dan daerah dewasa ini, hal ini
dikarenakan sumber literature buku ini di dasarkan pada konstitusi sebelum amandemen, artinya
ada beberapa unsur pelaksanaan yang memang berbeda kondisi dengan saat ini.
Sejalan dengan pendapat Prof. Bagir Manan yang mengatakan bahwa Kehadiran wilayah
pemerintahan administrative jangan sampai menggeser satuan pemerintahan otonom yang
merupakan salah satu sendi sistem ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945. Hal
tersebut sebagaimana di jelaskan dalam UUD 1945 Amandemen ke 4 Penjelasan pasal 18
menyebutkan bahwa pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Penugasan ini menjadi dasar hukum bagi
pemerintahan untuk melaksanakan fungsi desentralisasi. Mengenai asas dekonsentrasi tidak di
atur dalam bab pemerintahan daerah Pasal18 UUD 1945 Amandemen ke 4, Tugas Dekonsentrasi
adalah bagian dari tugas yang berkaitan dengan pasal III tentang kekuasaan pemerintahan
negara. namun meskipun daerah diberikan hak untuk membentuk peraturan dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah, bukan berarti bahwa daerah boleh membuat peraturan yang
bertentangan dengan prinsip negara kesatuan.
Selanjutnya mengenai hak atas asal-usul daerah, ternyata buku ini mencontohkan dengan
Penjelasan UUD 1945, pasal 18 sebelum amandemen yang mengindentifikasikan “hak-hak asal-
usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa sebagai daerah-daerah yang mempunyai
susunan asli yaitu Zelfbesturende landschappen (Swaparja) dan volksgemeenschappen (Desa).
sementara dewasa ini dalam ketentuan Pasal 18 B yang mengatur mengenai hak-hak tradisional
suatu daerah di contohkan dengan keberadaan desa Gampong di NAD, Nagari di Sumatera
Barat, desa dan Banjar di Bali dan dukuh di Jawa serta berbagai kelompok masyarakat yang
hidup di daerah berdasarkan hak-hak seperti hak ulayat, tetapi juga dengan syarat bahwa
kelompok masyarakat itu benar-benar ada dan hidup, bukan di paksa-paksakan dan diada-
adakan.
Lebih lanjut mengenai hubungan desentralisasi yang dijelaskan dalam buku ini, penulis
sependapatan dengan buku ini, namun jika melihat UU No.23 tahun 2014 yang memisahkan
urusan pemerintahan menjadi tiga bagian yakni absolut, umum dan konkuren pada dasarnya
telah melanggar arti dari otonomi seluas-luasnya, karena tidak memberikan kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus beberapa urusan yang menjadi hak dan wewenang daerah.
ANALISIS
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia
Oleh : Ahmad Yani, S.H., M.M., AK.

Buku ini menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di
Indonesia yang di dasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yakni UU No.33
Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Prinsip otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran
serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung
jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang
didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara provinsi
dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah.
Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan antara sistem
pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi
terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan, dimana
pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan
yang penting, dan adanya campurtangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap pemerintah
daerah. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan
fiskal daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar.
Ketergantungan terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya
transfer dari pusat. Ironisnya, kendati pelaksanaan otonomi menitikberatkan pada kabupaten/kota
sebagai ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan
yang lebih tinggi dibanding propinsi.
Machfud Sidik Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen
Keuangan RI berpendapat bahwa desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah
satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik
dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi
dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya
untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power),
terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan
adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah
untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama
menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan
pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik
(political decentralization), administratif (administrative decentralization), fiskal (fiscal
decentralization) dan ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah
Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan
keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber
keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil
Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Pelaksanaan
desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor, yaitu
1. Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement,
2. SDM yang kuat pada Pemerintah Daerah guna menggantikan peran Pemerintah
Pusat.
3. Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan
dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi fiskal implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada
daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan
(hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang
menjadi tanggung jawabnya. Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah
dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti
bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa,
sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah, dapat dibiayai dari
sumber-sumber penerimaan yang ada. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat yang berdasarkan azas desentralisasi, Kepala Daerah diberikan kewenangan untuk
memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue
sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber
dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah,
dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman
daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh
Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat
melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. Setidaknya ada empat penyebab utama tingginya
ketergantungan terhadap transfer dari pusat (Kuncoro, 2004: 13), yaitu:
1. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.
3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya hanya sedikit yang bisa diandalkan
sebagai sumber penerimaan.
4. Ada yang khawatir bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan
mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme.
Oleh karena itu, alternatif solusi yang ditawarkan adalah (Kuncoro, 2004: 15):
1. Meningkatkan peran BUMD.
2. Meningkatkan penerimaan daerah.
3. Meningkatkan pinjaman daerah.
Pembangunan daerah adalah suatu proses yang berdimensi banyak yang melibatkan
perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan daerah, semisal
percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dan faktor penentu lainnya. Tujuan pembangunan
daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memperluas kesempatan
kerja, pemerataan pendapatan, peningkatan hubungan antar daerah serta terus diupayakan adanya
proses pergeseran struktur kegiatan ekonomi. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan
pembangunan daerah adalah: (i) mendorong mengupayakan pekerjaan yang berkualitas tinggi
bagi penduduk dengan mengupayakan peningkatan sumber daya yang berkualitas, sehingga
mampu berperan dalam aktivitas yang lebih produktif (ii) menciptakan stabilitas ekonomi
dengan cara menyiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan aktivitas
ekonomi daerah.
Masalah pokok dalam pembangunan daerah sering terletak pada penekanan kebijakan-
kebijakan yang didasarkan pada kekhasan yang dimiliki oleh suatu daerah. Berdasarkan asas
ekonomi daerah, hal-hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan, perencanaan, pengawasan
maupun pembiayaan kegiatan pemerintah daerah menjadi wewenang dan tugas pemerintah
daerah. Melihat keadaan tersebut, maka untuk mencapai tujuan dari suatu pembangunan daerah
yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, pemerintah dan
masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif untuk berperan dalam pembangunan
daerah. Selain mengerahkan segala potensi yang ada untuk lebih mendorong pembangunan
dalam rangka pengembangan wilayah dan masyarakat, pembangunan ekonomi regional juga
sudah mulai ditekankan pada kerjasama dan sinergisitas antar sektor dan antar daerah.
Pembangunan ekonomi regional yang diiringi dengan pengembangan kerjasama antar wilayah
menjadi alternatif bagi suatu daerah yang pembangunannya sudah pesat. Selain itu, kerjasama
juga diharapkan dapat membantu percepatan pembangunan bagi daerah yang proses
pembangunannya tergolong lambat dibandingkan dengan daerah di sekitar yang lebih pesat.
Daerah yang pertumbuhannya lebih tinggi akan memberikan peluang atau membantu daerah
tetangga untuk mengejar ketertinggalan misalnya dengan kerjasama pengembangan jaringan
investasi.
ANALISIS
Sistem Pemerintahan Indonesia
Prof. Dr.C.S.T Kansil,S.H & Christine S.T Kansil, S.H., M.H

Pembagian wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah menandakan


adanya hubungan pemerintah pusat dan daerah. Bagaimana hubungan itu idealnya terjadi adalah
merupakan sebuah keinginan dan proses pencarian bentuk yang sesuai dengan cita-cita dan
keinginan rakyat Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dalam perjalanan sejarahnya, hubungan pemerintah pusat dan daerah telah melalui
berbagai model dan bentuk sesuai regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai dasar
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu dengan ditetapkanya undang-undang yang
mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah.
Dewasa ini, UU Pemerintah Daerah adalah UU No. 23 Tahun 2014. Menurut Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengertian Pemerintah Pusat
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah yang
merupakan bagian dari pemerintahan pusat Pemerintah daerah merujuk pada otoritas
administrative di suatu daerah yang lebih kecil dari sebuah negara. Sebutan ini digunakan untuk
melengkapi lembaga-lembaga tingkat negara-bangsa, yang disebut sebagai pemerintah pusat,
pemerintah nasional, atau (bila perlu) pemerintah federal. "Pemerintah Daerah" hanya beroperasi
menggunakan kekuasaan yang diberikan undang-undang atau arahan tingkat pemerintah yang
lebih tinggi dan masing-masing negara memiliki sejenis pemerintah daerah yang berbeda dari
satu negara ke negara lain.
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014, urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dibedakan atas dua jenis. Dalam Pasal 9 disebutkan:
i. Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum;
ii. Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat;
iii. Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota;
iv. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan
Otonomi Daerah;
v. Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yangmenjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Urusan pemerintah absolut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 ayat 1, terdiri atas
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter, fiskal dan agama. Namun,
Pemerintah Pusat dapat melimpahkan kewenangannya kepada instansi vertikal dan wakil
pemerintah pusat di daerah yakni gubernur yang berdasarkan asas dekonsentrasi. Dengan
demikian, urusan pemerintah absolut memang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan tak
berkaitan dengan pemerintah kota dan kabupaten yang mengedepankan asas desentralisasi serta
bukan perwakilan pemerintah pusat. Dilihat dari isinya, undang-undang ini lebih seimbang
dalam arti tidak terlalu ke model desentralisasi juga tidak terlalu sentralisasi.
Model desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan
mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya yang berkaitan dengan
distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu, adanya
satuan pemerintahan yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain adalah untuk
mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.
Dalam negara kesatuan, semua kekuasaan pemerintahan ada di tangan pemerintah pusat.
Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kekuasaannya kepada unit-unit konstituen tetapi apa
yang didelegasikan itu mungkin juga ditarik kembali. Sejalan dengan pendapat tersebut, wolhof
juga menyatakan bahwa dalam negara kesatuan pada asasnya kekuasaan seluruhnya dimiliki oleh
pemerintah pusat. Artinya, peraturan-peraturan pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk
dan susunan pemerintahan daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut
inisiatifnya sendiri. Daerah otonom juga turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral
(medebewind), pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-
daerah otonom tersebut.
Buku Ilmu Pemerintahan Edisi Revisi
Oleh : Drs. Inu Kencana Syafiie, M.Si
Inu Kencana menyimpulkan ada beberapa garis besar mengenai hubungan pemerintah
pusat dan daerah adalah sebagai berikut :
6. Otonomi daerah ditandai dengan pemberian urusan-urusan tertentu kepada daerah
tertentu, dan sisanya tetap dikelola oleh pemerintah pusat. Oleh karenannya terasa ada
pembatasan. Namun pendapat ini pada dasarnya tidak didasarkan pada argumentasi yang
jelas. Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 menjelaskan meskipun daerah
memiliki otonomi daerah atau daerah otonom dalam pelaksanaanya pemerintah pusat ikut
mengelola beberapa urusan dan menjadi lembaga pengawas dari pemerintah daerah, hal
tersebut digunakan agar menjaga terjadinya produk hukum berupa peraturan daerah dan
keputusan daerah yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya, dan berpotensi
mengdisintegrasikan bangsa.
7. Perincian pemberian urusan tersebut dimaksudkan untuk melihat kemampuan masing-
masing daerah, tetapi dibalik daripada itu ada pertimbangan lain untuk tidak memberi
sesuatu urusan. Dalam pembangian urusan pemerintahan dalam pasal 10 UU No. 23
Tahun 2014 memang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk memilih urusan yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi daerah, namun dalam penyelenggaraan
urusan ada unsur tugas pembantuan dan dekosentrasi yang menjadi wujud dari hubungan
pemerintah pusat dan daerah.
8. Pemerintah daerah diharapkan untuk tidak terlalu besar mengharapkan ketergantungan
pada bantuan sumbangan dari pemerintah pusat, namun dalam kenyataanya, pemerintah
daerah tidak bisa lepas dari ketergantungan pemerintah pusat, hal ini disebabkan adanya
subsidi dan bantuan dari pemerintah pusat yang terlalu besar dan di atur dalam UU
perimbangan keuangan pusat dan daerah UU No. 33 Tahun 2004.
9. Urusan-urusan yang tidak mungkin diserahkan kepada pemerintah daerah adalah urusan
monoter, urusan peradilan, urusan luar negeri dan urusan pertahanan dan keamanan.
Urusan yang dikemukakan oleh Inu Kencana adalah urusan yang didasarkan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama, sedangkan UU No. 23 Tahun 2014
yang baru menjelaskan ada 6 urusan yang menajdi kewenangan pusat yakni Pertahanan
keamanan, agama, yustisi, moneter, fiskal dan politik luar negeri.
10. Pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu banyak ikut campur dalam bursa pemilihan
kepala daerah. Sesuai dengan peraturan yang berlaku pemerintah pusat dipersilahkan ikut
menentukan pemenang setelah calon diajukan, nyatanya dalam Undang-Undang Dasar
1945 memang pemerintah pusat tidak memiliki wewenang dalam mengintervensi hasil
demokrasi atau pemilihan kepala daerah yang dipilh secara langsung oleh Masyarakat
daerah.

Pemerintah Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah


Prof. Dr.C.S.T Kansil,S.H & Christine S.T Kansil, S.H., M.H
Analisis penulis di sini lebih menekankan pada adanya kelebihan utama dalam
pelaksanaan Desentralisasi, namun pada pelaksanaan UU terbaru justru lebih menekankan pada
resentralisasi atau penarikan kembali beberapa urusan yang semula menjadi wewenang
pemerintah kabupaten/kota.
Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk mendistribusikan
kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam penyediaan pelayanan
umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan
manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah,
tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu:
1. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat
kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hierarkinya.
2. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang
lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah
Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal
tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya,
Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan
tugas tersebut. Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal
dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali
sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi
dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hierarki organisasi dikenal sebagai distributed
institutional monopoly of administrative decentralization.
3. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk
tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang
dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini
biasanya diatur dengan ketentuan perundangundangan. Pihak yang menerima wewenang
mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut,
walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).

Anda mungkin juga menyukai