Tugas
Di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah hubungan pusat & daerah
Di Susun Oleh :
Yusriansyah
NPM. 171520180005
i. Hubungan antara pusat dan daerah menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Pengarang
Prof.Dr. Bagir Manan, SH, MCL)
ii. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat & Daerah di Indonesia (Pengarang Ahmad
Yani, S.H., M.M., A.K
iii. Hubungan Pusat dan Daerah dalam Buku Sistem Pemerintahan Indonesia Edisi Revisi
(Prof. Dr.C.S.T. Kansil, S.H & Christine S.T. Kansil, S.H., M.H)
iv. Hubungan Pusat dan Daerah dalam Buku Ilmu Pemerintahan Edisi Revisi (Drs. Inu
Kencana Syafiie, M.Si)
v. Pemerintah Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah (Prof. Dr.C.S.T Kansil,S.H
& Christine S.T Kansil, S.H., M.H)
vi. Analisis terhadap Substansi Buku
Review Buku
Hubungan Antara Pusat & Daerah Menurut UUD 1945
Oleh : Prof. Dr Bagir Manan, SH,MCL
Buku ini menjelaskan secara detail mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah
yang didasarkan pada hukum dasar /konstitusi Tahun 1945 sebelum amandemen , lebih lanjut
buku ini menjelaskan bentuk desentralisasi di tiga negara eropa yakni Inggris, Perancis dan
Belanda sebagai unit analisis komparasi untuk melihat sejauh mana efektifitas hubungan pusat
dan daerah.
Sasaran pokok pembangunan nasional sebagai tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesiaadalah mensejahterakan masyarakat melalui
konsep pembangunan nasional. Mengembangkan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah merupakan sasaran pokok pembangunan nasional. Hubungan kerja serasi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu terus dikembangkan atas dasar keutuhan
negara kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung
jawab.
Pada dasarnya hubungan antara pusat dan daerah tidak hanya terbatas pada bidang
keuangan saja, melainkan hubungan keuangan tersebut merupakan pengaruh dari akibat adanya
pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang lebih mendasa yaitu pembagian
wewenang, tanggung jawab, dan tugas dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Hubungan antara pusat dan daerah mencakup pola hubungan pengawasan, hubungan yang timbul
akibat sistem rumah tangga daerah atau tugas pembantuan dan sebagainya. Dengan demikian,
penyelidikan atau pengkajian hubungan antara pemerintah pusat dan daerah akan mencakup
berbagai segi.
Persoalan hubungan antara pusat dan daerah pada negara dengan susunan organisasi
desentralistik timbul karena pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab pemerintahan
negara tidak hanya dilakukan oleh (dari) satu pusat pemerintahan. Desentralisasi pada negara
kesatuan berwujud dalam bentuk-bentuk satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah
(teriotorial dan fungsional) yang berhak mengatur dan mengurus sendiri sebagaian urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 1 ayat 3 menjelaskan Indonesia adalah negara hukum, yang mana dalam
negara hukum, hukumlah yang merintis jalan dan meletakkan dasar-dasar keseimbangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Namun demikian, perlu disadari bahwa kesulitan menumbuhkan
hubungan serasi antara pemerintah pusat dan daerah bukan semata-mata timbul karena
perbedaan kecenderungan. Kesulitan menumbuhkan hubungan serasi antara pemerintah pusat
dan daerah terjadi pula karena :
a. Lingkungan pusat (nasional) mencakup semua wilayah negara (territorial negara). Dipihak
lain wilayah negara dibagi ke dalam daerah-daerah pemerintahan lebih rendah.
b. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah biasanya diatur
dalam berbagai kaidah hukum khususnya peraturan perundang-undangan.
c. Pelaksanaan konsepsi negara kesejahteraan membawa perubahana pada ruang lingkup dan
isi wewenang, tugas dan tanggung jawab pemerintah baik kuantitatif maupun kualitatif.
Tugas-tugas baru bertambah dan tugas-tugas lama makin berkembang pula. Pertambahan
dan perkembangan wewenang, tugas dan tanggung jawab di bidang pemerintahan
menimbulkan beberapa akibat :
1) Urusan pemerintahan yang begitu luas dan kompleks dan tidak mungkin dirinci,
menimbulkan berbagai persoalan seperti: Bagaimanakah urusan pemerintahan sebaiknya
dibagi antara pemerintah pusat dan daerah.
2) Pertambahan dan perkembangan urusan pemerintahan secara kualitatif dapat
menimbulkan perubahan pada sifat urusan pemerintahan tersebut. Suatu urusan yang
semula bersifat kedaerahan (lokal) dapat berubah menjadi urusan yang mempunyai sifat
nasional.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang dibagi atas daerah provinsi dan
daerah provinsi tersebut dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota yang dalam melaksanakan
urusannya menggunakan sistem konsep desentralisasi. Desentralisasi merupakan salah satu sendi
susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk negara Republik
Indonesia. Susunan organisasi negara yang desentralistik senantiasa ada meskipun terjadi
penggantian Undang-Undang Dasar.
Sistem Rumah Tangga Formal
Ada beberapa kesulitasn dalam mempertinggi hasil guna sistem rumah tangga formal :
a. Tingkat hasil guna dan daya guna sistem rumah tangga formal sangat tergantung pada
kreativitas dan aktivitas daerah, daerah harus mampu melihat urusan yang pertimbangan
mereka penting bagi daerah dan wajar serta tepat diatur dan diurus daerah.
b. Hambatan lain adalah aspek keuangan daerah, meskipun daerah mempunyai peluang yang
luas untuk mengembangkan urusan rumah tangga daerah, hal itu tidak mungkin terlaksana
tanpa ditopang oleh sumber keuangan yang memadai.
c. Hambatan teknis yakni daerah tidak dapat secara mudah mengetahui urusan yang belum
diselenggarakan oleh pusat dan pemerintah daerah tingkat yang lebih atas.
Berdasarkan kajian diatas, ada beberapa pertimbangan untuk mempergunakan sistem rumah
tangga formal :
a. Adanya anggapan bahwa tidak ada perbedaan sifat urusan pemerintahan. Setiap urusan
pemerintahan dapat diatur dan diurus baik oleh pusat ataupun daerah tergantung pada
kemanfaatan, daya guna dan hasil guna.
b. Sistem rumah tangga formal merupakan saran yang memberikan peluang lebih luas kepada
daerah untuk memperluas wewenang, tugas dan tanggung jawab dalam urusan
pemerintahan. Sistem rumah tangga formal merupakan salah satu cara untuk memelihara
warisan historis dan kebudayaan ketatanegaraan dan pemerintahan asli dengan cara tetap
membiarkan daerah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang secara tradisional
termasuk urusan rumah tangganya.
Sistem rumah tangga formal merupakan sarana yang baik untuk mendukung kecenderungan
sentralisasi. Ketidakpastian urusan rumah tangga daerah, tidak ada tradisi otonomi, rendahnya
inisiatif daerah akan menjelmakan daerah yang serba menunggu dan tergantung kepada pusat.
Dasar Kebhinekaan
Di tinjau dari dasar kemajemukan atau dasar-dasar yang lain, desentralisasi di Indonesia
bukan sekedar alat atau sarana pencegah disintegrasi. Desentralisasi tidak terlepas dari tujuan
membentuk pemerintah negara Indonesia yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengenai hubungan antara kebhinekaan atau kemajemukan dan desentralisasi telah
diutarakan hatta, jauh sebelum Indonesia merdeka. “ oleh karena itu Indonesia terbagi atas
beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan , kecil atau besar,
mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri. Keberadaan kemajemukan
sosial, budaya dan kepercayaan akan menimbulkan hajat hidup atau kebutuhan yang berbeda-
beda dari setiap daerah, hal tersebut dikarena unsur geografis akan timbul pula perbedaan
kebutuhan. Perbedaan-perbedaan hajat hidup atau kebutuhan tersebut hanya akan terlayani
dengan baik apabila terdapat satuan pemerintahan yang lebih rendah yang dapat secara nyata
melihat dan mengetahui kebutuhan setempat. Oleh karenannya desentralisasi menjadi cara
terbaik untuk menampung berbagai keragaman bukan sentralisasi.
Dasar Negara Hukum
Dasar keempat desentralisasi yang akan mendasari hubungan antara pusat dan daerah
adalah dasar negara hukum. Karena dasar negara hukum pada akhirnya akan mengatur dan
membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar
kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Ciri negara hukum berkaitan erat dengan desentralisasi secara
langsung yakni :
1. Prinsip pemencaraan kekuasaan, secara konstitusional, pemencaraan kekuasaan menurut
desentralisasi dilakukan melalui badan-badan public yang mandiri, pendukung
wewenang, tugas dan tanggung jawab yang mandiri. Sebagai badan yang mandiri organ-
organ pemerintahan desentralisasi tidak berada dalam kedudukan hubungan berjenjang
dengan organ-organ satu pemerintahan tingkat yang lebih atas. Pemencaran kekuasaan
menurut desentralisasi adalah pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara
badan-badan kenegaraan yaitu antara negara dan satuan daerah pemerintahan lebih
rendah yang sama-sama sebagai badan publik. Lebih lanjut sifat-sifat badan desentralisasi
adalah badan politik, karenanya organ atau alat kelengkapan pemerintahannya pun
pertama-tama menunjukkan karakter politik.
2. Prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial, Dalam UUD 1945 dipergunakan tiga istilah
yang mengacu kepada kesejahteraan, yakni kesejahteraan umum (tujuan pembentukan
negara Indonesia), keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Tercantum dalam dasar
negara), dan kesejahteraan sosial (BAB XIV tentang perekonomian dan pemeliharaan
fakir miskin dan anak terlantar). Desentralisasi merupakan sendi yang tepat untuk
menampung menyalurkan dan melayani dengan baik sifat-sifat khusus yang berbeda-
beda. Sendi desentralisasi lebih tepat karena desentralisasi lebih menjamin rasa tentram
dan keamanan. Dengan kata lain, desentralisasi adalah sarana yang lebih tepat daripada
dekonsentrasi dalam menjaga keutuhan negara kesatuan. Desentralisasi memberikan
kepada rakyat (daerah) untuk bersama-sama memikul beban dan tanggung jawab
mewujudkan kesejahteraan dan memelihara keutuhan NKRI melalui keikusertaan dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah. Adapun empat asas pokok sebagai patokan
hubungan antara pusat dan daerah menurut desentralisasi berdasarkan UUD 1945, yaitu :
Pertama, bentuk hubungan pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hak rakyat
daerah untuk turut serta (bebas) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedua,
bentuk hubungan pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak hak rakyat (daerah) untuk
berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengurus urusan yang dianggap penting bagi
daerah. Ketiga, bentuk hubungan pusat dan daerah dapat berbeda-beda antara daerah
yang satu dengan yang lain sesuai dengan keadaan khusus masing-masing daerah.
Keempat, bentuk hubungan pusat dan daerah adalah dalam rangka mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial di daerah.
3. Sistem rumah tangga daerah, berdasarkan beberapa patokan untuk menentukan sistem
rumah tangga daerah berdasarkan UUD 1945, di dasarkan pada :
a. Berdasarkan paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Sistem rumah tangga daerah harus menjamin
keikusertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah baik dalam bidang
pengaturan maupun pengurusan urusan rumah tangga daerah;
b. Berdasarkan paham memelihara dan mengembangkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam pemerintahan asli, ditemukan patokan bahwa pada asasnya urusan
rumah tangga daerah bersifat asli, bukan sesuatu yang diserahkan pada satuan
pemerintahanan tingkat lebih atas. Dorongan tersebut harus dilakukan mengingat :
Secara nyata urusan rumah tangga asli hanya ada pada desa. Swapradja sudah
ditiadakan. Daerah –daerah otonom yang ada adalah “bentukan”, karena itu tidak
mempunyai rumah tangga asli. Urusan rumah tangga asli yang ada di desa tidak
cukup berarti sebagai dasar untuk melaksanakan wewenang, tugas dan tanggung
jawab mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial menurut ukuran perkembangan
Indonesia pada waktu kini maupun pada masa yang akan datang.
Sebagai upaya satuan pemerintahan tingkat lebih atas untuk mempengaruhi
perkembangan suatu daerah dalam rangka menjamin pemerataan keadilan dan
kesejahteraan sosial;
Sebagai sarana untuk “memaksa” suatu daerah agar mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangga daerah.
c. Sebagai konsekuensi bahwa pada asasnya urusan rumah tangga daerah bersifat asli,
sistem rumah tangga daerah harus memberikan tempat bagi prakarsa atau inisiatif
sendiri dari daerah-daerah untuk mengatur dan mengurus berbagai kepentingan atau
hal-hal yang dianggap penting bagi daerah mereka. Prakarsa tersebut dapat dibedakan
menjadi dua bentuk yaitu langsung dan tidak langsung. Bentuk langsung. Daerah
secara langsung mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan sebagai urusan
rumah tangga. Sedangkan urusan tidak langsung, daerah diberi hak mengusulkan
kepada pusat atau satuan pemerintahan tingkat lebih atas agar suatu urusan
diserahkan untuk diatur dan diurus oleh daerah yang bersangkutan. Bentuk tak
langsung berlaku bagi urusan pemerintahan yang telah diatur dan diurus satuan
pemerintahan tingkat atas. Prakarsa atau inisiatif sendiri, erat kaitannya dengan luas
lingkup isi urusan rumah tangga daerah. Otonomi diartikam luas kalau jumlah urusan
rumah tangga banyak jumlahya. Paling tidak terdapat dua peraturan perundang-
undangan yang cenderung mengartikan otonomi seluas-luasnya adakah jumlah urusan
rumah tangga daerah yaitu UU No.18 Tahun 1965 dan Tap. No.XXI/MPRS/1966.
Suatu pemikiran yang menyatakan bahwa otonomi seluas-luasnya akan dapat
diwujudkan melalui penyerahan atau pemberian urusan pemerintahan kepada daerah.
Selain itu, tersirat bahwa pengertian “otonomi seluas-luasnya” berkaitan dengan
“jumlah” urusan rumah tangga daerah, makin banyak urusan rumah tangga daerah
maka luas otonomi daerah yang bersangkutan.] Pengertian otonomi seluas-luasnya
menurut penjelasan UU No.18 Tahun 1965 dan Tap No.XXI/MPRS/1966, tidak
sesuai dengan perkembangan ruang lingkup urusan pemerintahan daerah dan dasar-
dasar desentralisasi menurut UUD 1945 (i) urusan pemerintahan dalam
perkembangannya bukan sesuatu yang dapat dijumlahkan, sehingga tidak mungkin
mengukur luas sempitnya otonomi daerah dengan sedikit banyaknya jumlah urusan
rumah tangga daerah. (ii) urusan pemerintahan bersifat dinamis. Suatu urusan pada
saat tertentu dianggap tepat menjadi urusan rumah tangga daerah. UU No.18 Tahun
1965 dan Tap. No.XXI/MPRS/1966 mencerminkan adanya garis tegas antara urusan
pusat dan daerah. Sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat dinamis urusan
pemerintahan. (iii) pengertian otonomi seluas-luasnya menurut penjelasan UU No.18
Tahun 1965 dan Tap No.XXI/MPRS/ 1966, akan mengeroggoti prinsip prakarsa atau
inisiatif sendiri dari daerah, karena dalam praktek selama suatu urusan belum
diserahkan atau diberikan kepada daerah akan dipandang sebagai urusan pusat. (iv)
pemberian otonomi seluas-luasnya menurut penjelasan UU No. 18 Tahun 1965 dan
Tap No.XXI?MPRS/1966 akan bertentangan dengan dasar kebhinekaan yang
memungkinkan isi dan jenis urusan rumah tangga daerah tidak sama, sesuia dengan
keadaan masing-masing.
d. Berdasarkan paham kebhenikaan, ditemukan patokan bahwa urusan rumah tangga
daerah dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
e. Berdasarkan prinsip negara hukum, ditemukan patokan bahwa sistem rumah tangga
daerah harus benar-benar mencerminkan pemencaran kekuasaan antara pusat dan
daerah. Setiap bentuk campur tangan pusat dan urusan rumah tangga daerah, tidak
boleh mengurangi kemandirian daerah. Setiap campur tangan yang berlebihan akan
menimbulkan arus balik dari pemencaraan ke pemusatan (sentralisasi) kekuasaan.
f. Sistem rumah tangga daerah harus terutama ditujukan untuk mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial. Dengan perkataan lain isi urusan rumah tangga daerah harus
terutama pada bidang pelayanan kepentingan umum.
g. Keadilan dan kesejahteraan sosial, mengandung aspek pemerataan. Fungsi
pemerataan tidak mungkin dilaksanakan oleh daerah, melainkan oleh pusat. Karena
itu, dalam sistem rumah tangga daerah harus senantiasa ada tempat bagi pusat untuk
mempengaruhi perkembangan daerah menuju pemerataan keadilan dan kesejahteraan.
Sistem rumah tangga yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia dengan konsep
desentralisasi adalah sistem rumah tangga nyata (rill) yang memiliki ciri-ciri dan prinsip-prinsip
sistem rumah tangga nyata, yaitu :
a. Terdapat urusan pangkal;
b. Di luar urusan pangkal, daerah bebas mengatur dan mengurus segala urusan yang
dianggap penting bagi daerah sepanjang belum diatur dan diurus oleh pusat atau
daerah yang lebih atas tingkatannya;
c. Isi urusan rumah tangga nyata ditentukan oleh faktor –faktor nyata di daerah;
d. Sistem rumah tangga nyata memberikan peluang pelaksanaan otonomi luas untuk
daerah Indonesia yang majemuk (bhineka), sesuai dengan keadaan daerah masing-
masing;
e. Sistem rumah tangga nyata mengandung kelenturan dengan tidak mengurangi
kepastian. Daerah bebas berinisiatif mengembangkan urusan rumah tangga daerah
dengan sistem pengendalian (pengawasan).
Apabila ciri dan pertimbangan-pertimbangan diatas diukur menurut dasar desentralisasi
dan patokan sistem rumah tangga menurut UUD 1945 akan ditemukan:
a. Kebebasan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan akan sesuai
dengan dasar dan patokan kebebasan berprakarsa atau berinisiatif.
b. Faktor-faktor nyata sebagai penentu isi urusan rumah tangga daerah, bersesuian
dengan dasar kebhenikaan yang memungkinkan perbedaan-perbedaan isi urusan
rumah tangga daerah.
c. Mengenai peluang pelaksanaan otonomi luas, bersesuaian dengan patokan yang
terkandung dalam kebebasan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang dipandang penting bagi daerah.
d. Aspek kelenturan akan bersesuian dengan patokan yang memberikan tempat kepada
pusat untuk mempengaruhi setiap perkembangan isi rumah tangga daerah.
Mekanisme hubungan antara pusat dan daerah, hubungan antara pusat dan daerah akan
tampak dalam mekanisme hubungan di bidang otonomi, tugas pembantuan, dekonsentrasi,
susunan organisasi, keuangan dan bidang pengawasan. Mekanisme hubungan dibidang otonomi
berinti pada sistem rumah tangga daerah. Dalam sistem rumah tangga daerah akan tampak
kedudukan masing-masing pihak dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Selain itu,
hubungan di bidang otonomi akan terkait pula dengan susunan organisasi, keuangan dan
pengawasan.
a. Mekanisme Hubungan pusat dan daerah di bidang tugas pembantuan. Membantu
menunjukkan salah satu sifat bahkan hakekat hubungan antara pusat dan daerah.
Meskipun bersifat “membantu” dan tidak dalam hubungan atasan-bawahan, daerah
tidak mempunyai hak menolak. Hubungan dalam tugas pembantuan ditimbulkan oleh
atau berdasarkan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih
tinggi. Daerah terkait melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk yang
diperintahkan atau diminta dalam rangka tugas pembantuan. Ditinjau dari kaitan
dengan tugas pembantuan dengan desentralisasi dan hubungan antara pusat dan
daerah dibidang tugas pembantuan seharusnya bertolak dari : (1) Tugas pembantuan
adalah bagian dari desentralisasi. Dengan demikian seluruh pertanggungjawaban
mengenai penyelenggraaan tugas pembantuan adalah tanggung jawab daerah yang
bersangkutan. (2) tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan ,
dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi (walaupun terbatas pada cara
melaksanakan) karena itu, daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri
cara-cara melaksanakan tugas pembantuan. (3) Tugas pembantuan sama halnya
dengan otonomi, mengandung unsur “penyerahan” bukan “penugasan”. Perbedaan,
kalau otonomi adalah penyerahan penuh, sedangkan tugas pembantuan adalah
penyerahan tidak penuh.
b. Mekanisme Hubungan Pusat dan Daerah di Bidang Pengawasan, di tinjau dari
hubungan pusat dan daerah pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan, agar bandul
kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan
mengancam kesatuan. Secara umum dapat disebutkan bahwa pengawasan sebagai
pranata yang melekat pada desentralisasi bukanlah sesuatu yang mesti dihindari.
Namun demikian, pengawasan tidak boleh mengakibatkan pengurangan atau
penggerogotan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam dasar-dasar desentralisasi
serta patokan-patokan sistem rumah tangga daerah.
(1) Pengawasan Represif
a. Wewenang Pengawasan Represif
Pengawasan mengandung makna pembatasan terhadap kebebasan daerah.
Sedangkan kebebasan merupakan inti desentralisasi, khususnya otonomi,
karena itu harus diatur secara pasti dalam undang-undang. Sepanjang
pengawasan refresif dilakukan oleh menteri dalam negeri, gubernur dan bupati
(untuk desa), tidak menyalahi dasar-dasar desentralisasi maupun patokan serta
sistem rumah tangga sebagaimana dikehendaki dalam UUD 1945, karena
pertama pengawasan represif bersifat negative, artinya sebagai reaksi atas
suatu keputusan daerah yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian tidak mempengaruhi kebebasan berprakarsa atau
berinisiatif. Kedua, pelaksanannya terpusat pada suatu tangan yang akan
memudahkan merumuskan patokan-patokan dan akan lebih efisiensi.
b. Obyek Pengawasan Represif
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, objek pengawasan represif
adalah “peraturan daerah” dan “keputusan kepala daerah” (Pasal 70 ayat 1).
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1957, objek pengawasan represif
adalah “keputusan DPRD” atau “keputusan DPD” (Pasal 64). Ketentuan ini
sama dengan UU Nomor. 22 Tahun 1948 (Pasal 42) UU No.18 menyebutkan
“Keputusan Pemerintah Daerah”. Keputusan pemerintah termasuk keputusan
pemerintah tingkat daerah dapat bermacam-macam bentuknya. Secara garis
besar, bentuk keputusan pemerintah dapat berupa tindakan-tindakan konkrit
dan tindakan-tindakan hukum. Tindakan hukum dapat bersifat umum atau
bersifat konkrit. Pengawasan represif dilakukan baik atas suatu tindakan
konkrit, maupun atas keputusan-keputusan yang bersifat umum dan keputusan
yang individual.
(1) Tindakan konkrit, pengawasan represif atas tindakan konkrit dapat
dilakukan secara spontan oleh pemegang pengawasan represif, atau
melalui badan peradilan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.
(2) Terhadap Peraturan Perundang-Undangan, peraturan daerah dan
keputusan kepala daerah yang bersifat umum tergolong sebagai peraturan
perundang-undangan. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah
yang bersifat umum adalah peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tingkatannya dari undang-undang, dengan sendirinya dapat
dibatalkan oleh mahkamah agung. Dengan demikian wewenang
pengawasan represif atas peraturan perundang-undangan tingkat daerah
selain oleh pejabat dimaksud dalam undang-undang tentang
pemerintahan di daerah dapat juga dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengikutsertakan mahkamah agung dalam melaksanakan pengawasan
represif atau keputusan pemerintah tingkat daerah mengadung segi-segi
positif. Pertama, membatasi wewenang pejabat administrasi negara yang
lebih atas tingkatannya, untuk mencampuri pelaksanaan wewenang, tugas
dan tanggung jawab pemerintah daerah yang lebih rendah. Kedua,
Putusan diambil alih sebuah badan netral yang tidak mungkin
mempunyai kepentingan atas pembatalan atau penolakan pembatalan
suatu keputusan pemerintah daerah atau salah satu alat kelengkapan
pemerintah daerah. Ketiga, Pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar
putusan semata-mata berdasarkan pertimbangan hukum yang lebih
menjamin obyektifitas isi suatu putusan. Selanjutnya wewenang yang
diberikan kepada mahkamah agung juga memiliki kelemahan yakni,
Pertama waktu yang dibutuhkan lama, tuntutan pembatalan suatu UU
dilakukan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Berarti harus melalui
pemeriksaan dan putusan pengadilan tingkat pertama dan banding selama
menanti putusan pada pemeriksaan tingkat kasasi, peraturan perundang-
undangan yang dituntut (dimohon) untuk dibatalkan berjalan terus
dengan segala akibat-akibatnya. Kedua, Sifat Putusan Mahkamah Agung,
UU No. 14 Tahun 1970 Pasal 26 ayat 2 disebutkan bahwa pencabutan
peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah oleh
Mahkamah Agung, diserahkan kepada instansi yang mengeluarkan atau
menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Ketentuan ini menimbulkan berbagai masalah yakni: mengurangi arti
kepastian hukum putusan mahkamah agung, dapat terjadi konflik antara
putusan MA dengan Pemda yang bersangkutan, seandainya pencabutan
tidak dilaksanakan. Ketiga, Dasar putusan Mahkamah Agung terbatas,
Putusan MA dalam melakukan pengawasan Represif melalui wewenang
menguji peraturan perundang-undangan tingkat daerah lebih sempit dari
dasar yang diberikan pada pejabat administrasi negara.
(3) Terhadap Ketetapan, wewenang pengawasan represif terhadap asas
“ketetapan” berkaitan dengan wewenang peradilan tata usaha negara. UU
No. 5 Tahun 1986, menjelaskan bahwa peradilan tata usaha negara
bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan partauran perundang-
undangan yang berlaku.
c. Dasar Pengawasan Represif
UU No.5 tahun 1974, dasar pengawasan represif adalah hal yang bertentangan
dengan kepetingan umum, peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah
tingkat di atasnya.
Desentralisasi khususnya dan sistem hukum Indonesia pada umumnya,
mengakui hukum adat sebagai salah satu satu subsistem hukum nasional. di
samping itu penyelenggaraan negara tumbuh pula berbagai hukum kebiasaan
(konvensi). Hukum adat atau hukum kebiasaan ketatanegaraan tidak termasuk
kategori peraturan perundang-undangan. Peraturan daerah atau keputusan kepala
daerah bertentangan dengan kaidah hukum adat yang diakui atau dengan konvensi
ketatanegaraan. Hukum dalam negara hukum, tidak semata-mata diartikan dengan
peraturan perundang-undangan apalagi hanya undang-undang dalam arti formal.
Jadi baik ditinjau dari sudut latar belakang desentralisasi atau negara berdasarkan
atas hukum, dasar bertentangan dengan hukum, sebagai dasar untuk
melaksanakan pengawasan represif lebih mendekati prinsip-prinsip yang
terkandung dalam UUD 1945. Menurut Burger, tidak terdapat perbedaan pokok
antara “bertentangan dengan Undang-Undang” dan “bertentangan dengan
kepentingan umum”, sifat subyektif memainkan peran lebih besar.
(1) Bertentangan dengan hukum akan mencakup :
a. Bertentangan dgn semua peraturan per-UU yang lebih tinggi tingkatannya;
b. Bertentangan dgn hukum adat yang hidup dan diakui;
c. Bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang lahir dari Yurisprudensi;
d. Bertentangan dgn kaidah-kaidah kebiasaan ketatanegaraan yang belaku
umum
(2) Bertentangan dengan kepentingan umum akan mencakup :
a. Bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam
pembukaan UUD 1945 (diluar dasar negara)
b. Bertentangan dengan Pancasila;
c. Bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku;
d. Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak;
e. Bertentangan dengan asas-asas umum peraturan perundang-undangan
yang baik;
f. Bertentangan dengan kebijaksanaan umum pemerintahan yang lebih ditas
tingkatannya;
g. Bertentangan dengan keputusan-keputusan pemerintahan tingkatan lebih
atas yang tidak tergolong sebagai peraturan perundang-undangan;
h. Bertentangan dengan kepentingan dan menimbulkan kerugian pada daerah
lain.
Mekanisme hubungan pusat dan daerah dalam susunan organisasi pemerintah daerah
a. Susunan luar
Susunan luar pemerintahan tingkat daerah, sepenuhnya bergantung pada keadaan serta
pandangan masing-masing negara. Sejak UU No.22 tahun 1948, susunan pemerintahan
tingkat daerah telah mulai diatur secara tegas. UU No.22 tahun 1948 , UU No.1 tahun 1957
dan UU No.18 tahun 1965 menyusun tiga tingkatan yakni provinsi, kabupaten dan desa.
sementara UU No. 5 Tahun 1974 hanya menyusun dua tingkatan yakni daerah tingkat I
Provinsi dan daerah tingkat II Kabupaten.
Perbedaan ini dimungkinkan terjadi karena di satu pihak UUD 1945 tidak mengatur
secara tegas mengenai susunan wilayah pemerintahan tingkat daerah, di pihak lain
pengaturan mengenai pemerintahan daerah diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang.
Sebenarnya ada petujuk mengenai aturan ini, namun substansi pembahasannya tidak tegas.
Petunjuk pertama, daerah Indonesia terbagi menjadi daerah besar dan kecil. Petunjuk ini
mengandung makna tidak akan terdapat hanya satu susunan pemerintahan ditingkat daerah.
Pasal 18 menyebutkan bahwa susunan pemerintahan tingkat daerah akan terdiri dari
beberapa tingkatan sebagai “daerah besar” dan “daerah kecil”. Petunjuk kedua , dalam pasal
18 adalah hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Petunjuk lain di
luar UUD 1945 yang dapat dipergunakan adalah susunan pemeirntahan tingkat daerah yang
ada atau yang pernah di proklamasikan.
Pada masa Hindia Belanda khususnya di Jawa terdapat lima macam daerah otonom yaitu
Provinsi, Gemeente, Swapraja, Kabupaten dan Desa. Provinsi adalah satuan wilayah tingkat
daerah terbesar Swapraja, Kabupaten, Gemeente, dan ketiga wilayah tersebut lebih kecil dari
provinsi tetapi lebih besar dari Desa. daerah-daerah otonom tersebut tidak tersusun dalam
satu ikatan. Swapraja dan desa merupakan susunan yang terlepas dari provinsi atau Gewest.
Dengan demikian tidaklah menyimpang kalau pembentukan UU kemudian menyusun
pemerintahan tingkat daerah dalam tiga tingkatan.
1) Faktor sistem rumah tangga daerah
UUD 1945 menganut sistem rumah tangga nyata, dalam kaitan dengan titik berat
otonomi, ada dua prinsip sistem rumah tangga nyata yang harus diperhatikan. Pertama,
sistem rumah tangga nyata memberikan keleluasaan atau kebebasan berprakarsa dalam
mengatur dan mengurus segala urusan yang dipandang penting bagi daerah atau
penduduknya dengan memperhatikan sistem pembatasan yang berlaku. Kedua, sistem
rumah tangga nyata adalah urusan rumah tangga disesuaikan dengan keadaan nyata atau
keadaan setiap daerah. Prinsip ini membawa konsekuensi daerah setingkat yang satu
dan lainnya mungkin berbeda jumlah urusan rumah tangganya. Perbedaan itu bukan saja
karena perbedaan kemampuan, tetapi juga sifat dari kebutuhan itu sendiri.
2) Faktor ruang lingkup urusan pemerintahan
Urusan pemerintahan bersifat terbuka, senantiasa berubah. Urusan yang pada saat
tertentu adalah urusan rumah tangga daerah dapat serta merta berubah menjadi urusan
rumah tangga yang diatur dan diurus pusat.
3) Faktor Sifat dan Kualitas suatu urusan
Jumlah urusan rumah tangga daerah tidak dapat dipisahkan dari sifat dan
kualitasnnya. Daerah yang memiliki banyak urusan rumah tangga, tidak serta merta lebih
berperan dari tingkat daerah yang lebih sedikit urusan rumah tangganya. Meskipun jumlah
urusan rumah tangga suatu tingkat daerah tidak banyak, tetapi dengan sifat dan kualitas
tertentu akan lebih berperan dari yang mempunyai jumlah urusan yang banyak tetapi
menyangkut urusan sederhana atau kecil.
Pada dasarnya pendekatan fungsi utama pemerintahan daerah adalah memberikan
pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat dalam bentuk penyediaan atau pemenuhan
kebutuhan konkrit, seperti kesehatan, kebersihan dan sebagainya. Heidenheimer
menyebutnya sebagai “personal social services” dan menjadi kecenderungan setiap
pemerintahan untuk menyerahkannya kepada pemerintahan tingkat daerah.
Pendekatan fungsi sekaligus memberikan jalan yang lebih mudah untuk
membedakan fungsi utama pusat dan fungsi utama daerah. Daerah terutama berfungsi
dalam bidang pelayanan konkrit terhadap masyarakat, pusat untuk urusan-urusan lain.
Pendekatan fungsi yang lebih bersifat kualitatif tidak akan mengalami kesulitan berhadapan
dengan sistem rumah tangga nyata, ruang lingkup urusan pemerintahan dan sifat atau
kualitas suatu urusan. Setiap pemerintah daerah tetap mempunyai kebebasan untuk
mengatur dan mengurus berbagai fungsi pelayanan yang mereka pandang penting bagi
daerah atau penduduknya, sesuai dengan sistem pembatasan yang ada.
Fungsi pelayanan dimaksudkan sebagai sebagai pelayanan konkrit (personal Social
Service), sesuai dengan kebutuhan masyarakat (bisa berubah dari waktu ke waktu), untuk
melayani kebutuhan konkrit, pemerintah harus mampu mengetahui dengan baik keadaan
dan kebutuhan tersebut. Tetapi dekatnya jarak antara satuan pemerintahan dengan
masyarakat sebagai pusat pelayanan bukanlah satu-satunya ukuran untuk menentukan
penekanan atau pengutamaan fungsi pelayanan kepada tingkat daerah tertentu. Ada faktor-
faktor lain, seperti diperhatikan untuk penyediaan dana dan tenaga adalah luas wilayah
suatu tingkat daerah. Desa apalagi dengan kebijaksanaan pemekaran tidak mungkin mampu
dengan sumber keuangan sendiri dan tenaga sendiri mengatur dan mengurus pelayanan
yang dibutuhkan oleh masyarakat yang semakin berkembang. Berdasarkan tiga
pertimbangan tersebut, (jarak, keuangan dan tenaga), sangat wajar titik berat pelayanan
diselenggarakan oleh daerah Tingkat II yakni Kabupaten/Kota.
b. Susunan Dalam
Susunan dalam mengenai kelengkapan organ pemerintah daerah. Cara penunjukkan,
keduduka, fungsi, hubungan dengan alat kelengkapan pemerintahan daerah yang lain dan
hubungan dengan pemerintah tingkat lebih atas merupakan indikator, tempat atau kea rah
mana pemerintah daerah sedang bergerak. Kerangka hubungan pusat dan daerah, indikator
di atas menjadi petunjuk apakah pemerintah daerah berada dan cenderung ke desentralisasi
atau sentralisasi.
Hubungan antara pusat dan daerah terdapat dua pola utama : Pertama, pola susunan
yang menunjukkan kecenderungan arah desentralisasi lebih kuat dibandingkan sentralisasi,
kedua pola susunan yang menunjukkan kecenderungan kearah sentralisasi lebih kuat dari
pada desentralisasi. Pola pertama tercermin dalam peraturan perundang-undangan sebelum
dikeluarkan penetapan presiden (Penpres) No,6 Tahun 1959. Semua peraturan perundang-
undangan yang mengatur pemerintahan daerah sebelum itu (kecuali UU No.1 Tahun 1945)
lebih menekankan pada segi desentralisasi daripada sentralisasi. Pola kedua terjadi sejak
Penpres No.6 Tahun 1959. Susunan dalam diubah menjadi Kepala daerah dan DPRD.
Kepala daerah adalah alat kelengkapan utama pemerintahan daerah, Bukan DPRD. Kepala
daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, dengan berbagai modifikasi (tidak terlalu
berarti), pola kedua tetap dipertahankan hingga sekarang, berdasarkan anggapan bahwa hal
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945.
Salah satu prinsip pemerintahan daerah (desentralisasi) menurut UUD 1945 Pasal 18
adalah “memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara atau kerakyatan. Permusyawaratan berdasarkan paham kerakyatan mengadung arti
bahwa “rakyat memerintah dirinya sendiri”. Pemerintah daerah sendiri mengandung unsur-
unsur (1) alat kelengkapan pemerintahan secara langsung atau tidak langsung dipilih oleh
rakyat, (2) alat kelengkapan pemerintahan secara langsung dan atau tidak langsung berada
dibawah pengawasan dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, atau dalam arti sempit di sebut sebagai
perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian
banyak hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Masalah hubungan keuangan antara
pemerintah daerah dengan pusat merupakan sumber keresahan bagi masyarakat daerah, karena
mereka menganggap di perlakukan tidak adil oleh pusat. Ketidakadilan dalam pembagian sumber
sumber keuangan antara pusat dan daerah menyebabkan terjadinya peningkatan kesenjangan
pertumbuhan ekonomi antardaerah, kurangnya kemandirian daerah dan munculnya
ketidakpuasan masyarakat di daerah yang bermuara pada disintegrasi bangsa.
Masalah keuangan pusat dan daerah timbul karena adanya pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah oleh badan-badan yang susun secara bertingkat. Hal ini didorong oleh kebutuhan
ketatanegaraan dan administrasi negara karena tugas-tugas pemerintahan yang makin banyak dan
menjangkau daerah yang luas tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik apabila dipusatkan
ditangan satu tingkat pemerintahan saja, masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah
merupakan tuntutan reformasi, dan sebagai jawaban dari tuntutan tersebut pemerintah telah
menetapkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 Tentang Perimbangan keuangan pusat dan daerah. Fakta, data dan pengalaman ini
menunjukkan bahwa hampir di semua daerah presentase PAD relative kecil. Pada umumnya
APBD suatu daerah didominasi oleh transfer pemerintah pusat dan transfer-transfer lain yang
diatur dalam UU. Hal ini menyebabkan daerah sangat tergantung kepada pusat sehingga
kemampuan daerah dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki sangat terbatas.
Aturan keuangan pusat dan daerah, pada satu sisi mendukung pelaksanaan pembangunan
nasional, disisi lain untuk memfasilitasi proses pembangunan daerah, yang dijalankan dibawah
skema otonomi daerah. Sudah tentu otonomi daerah yang dijalankan membawa pada proses
pengaturan oleh pusat tidak dimaksudkan untuk mengembalikan sentralisme otoriter.
Perimbangan dimaksudkan agar terjadi keadilan dalam pembagian sumber daya bagi
kepentingan nasional dan bagi kepentingan daerah.
Secara teoritis, dalam konteks negara kesatuan dikenal ada dua cara mengembangkan
pemerintah pusat dan daerah yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi mencakup segala
urusan, tugas, fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintah berada dalam genggaman
pemerintah pusat yang pelaksanannya dilakukan secara dekonsentrasi. Lawannya yakni
desentralisasi yakni semua urusan, tugas, wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan
sepenuhnya kepada daerah.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dapat terjadi secara vertikal, horizontal
atau diagonal. Hubungan vertikal adalah hubungan atas-bawah secara timbal-balik, sedangkan
hubungan horizontal terjadi jika pejabat/unit/instansi yang setingkat melakukan hubungan yang
arahnya menyamping. Hubungan diagonal terjadi jika ada hubungan yang menyilang dari atas ke
bawah secara timbal-balik antara dua unit yang berbeda induk.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah meliputi hal-hal yang menyangkut
hubungan, kewenangan, pengawasan, keuangan, koordinasi dan pembinaan. Kavanagh
sebagaimana dikutip oleh SH Sarundajang dalam buku Arus Balik Kekuasaan Pusat ke daerah,
mengemukakan adanya dua model utama dalam hubungan pusat dan daerah, yakni Agency
Model dan Patnership Model. Dalam Agency Model, pemerintah daerah semata-mata dianggap
sebagai pelaksana oleh pemerintah pusat. Wewenang yang dimiliki pemerintah daerah dalam
model ini sangat terbatas. Sedangkan partnership model, pemerintah daerah memiliki tingkat
kebebasan tertentu untuk melakukan pemilihan di tingkat daerahnya. Model ini tidak lagi
memandang pemerintah daerah sebagai pelaksana semata-mata, melainkan dianggap sebagai
patner atau mitra kerja.
Mengacu pada penjelasan di atas, maka Partnership model adalah model yang ideal untuk
diterapkan di negara dalam mengantisipasi perkembangan dewasa ini. Penerapan asas
desentralisasi merupakan pencerminan partnership model ini. Pembentukan daerah otonom
melalui desentralisasi pada hakikatnya merupakan penciptaan efisiensi dan inovasi dalam
pemerintahan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai hak untuk mengurus rumah
tangga sendiri, namun demikian hak tersebut tetap berada pada batas yang tidak melampaui
wewenang pemerintah pusat. Dengan kata lain, kewenangan untuk mengurus rumah tangga.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah telah membawa
dampak yang besar dan cukup mendasar dalam hubungan keuangan pusat dan daerah. UU ini
menyatakan bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan
sumber-sumber pedanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat, desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian
kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan.
Perimbangan keuangan intrapemerintahan merupakan suatu mekanisme bantuan
keuangan dari jenjang pemerintahan yang lebih tinggi ke jenjang pemerintahan di bawahnya.
Transfer tersebut dapat pula terjadi dalam jenjang pemerintahan yang lebih tinggi ke jenjang
pemerintahan yang lebih rendah umumnya terjadi karena pertimbangan adanya kesenjangan
fiskal vertikal dan kesejangan fiskal horizontal. Kesenjangan fiskal vertikal timbul karena adanya
keterbatasan sumber dan kewenangan penerimaan daerah, baik dalam bentuk pajak maupun
bukan pajak. Sementara itu, kesenjangan fiskal horizontal terjadi karena perbedaan kapasitas
antardaerah untuk menghasilkan pendapatan sendiri yang tergantung dari distribusi luas dan
besarnya kewenangan atas objek dan basis pajak serta kewenangan sumber-sumber nonpajak.
Pendekatan yang dirumuskan dalam hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah,
secara teoritis dapat dilihat dari empat pendekatan, yaitu pendekatan kapitalisasi, pendekatan
pendapatan, pendekatan pengeluaran dan pendekatan komprehensif.
Pendekatan kapitalisas, pemerintah daerah diberi modal permulaan yang diharapkan
dapat diinvestasikan dan berkembang serta menghasilka pendapatan untuk menutup
pengeluarannya. Sebagai sebuah investasi, pendekatan kapitalisasi tentunya memiliki tujuan-
tujuan yang diharapkan dapat memperkuat pemerintah daerah, yang menyelaraskan dan
menyerasikan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pendekatan pendapatan, pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelola sejumlah
urusan untuk kemudian menjadi sumber pembiayaan pemerintah daerah. Sumber pendapatan
yang potensial didaerah di serahkan pengelolaannya kepada daerah.
Pendekatan pengeluaran, pemerintah pusat memberikan sejumlah dana pinjaman, bantuan
atau bagi hasil pungutan kepada pemerintah daerah untuk membiayai pengeluaran tertentu.
dengan demikian, daerah memiliki sejumlah dana untuk membiayai kegiatannya dan memberi
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan target nasional.
Pendekatan komprehensif, pendekatan ini menggabungkan sarana pengeluaran dengan
sumber-sumber dananya. Menurut pendekatan ini, sumber pendapatan diberikan kepada daerah
dan disisi lain diberikan tanggung jawab dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan
biaya yang ada.
Persoalan pokok hubungan keuangan pusat dan daerah adalah pembagian sumber-sumber
pendapatan dan kewenangan pengelolannya antara pemerintah pusat dan daerah. Hubungan ini
menyangkut tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-
tingkat pemerintah dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluarannya. Menurut
S.H Sarundajang, setidaknya ada dua pandangan tentang peranan yang seharusnya dimainkan
oleh pemda dalam hubungannya dengan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Pertama, yaitu
menekankan peranan pemerintah daerah sebagai ungkapan dari kemauan dan identitas
masyarakat setempat. Tujuan pemerintah daerah pada dasarnya bersifat politik, dalam arti
pemerintah daerah merupakan wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan keinginan
dan prioritas mereka. Kedua, pemerintah daerah pada dasarnya merupakan lembaga yang
menyelenggarakan layanan-layanan tertentu untuk daerah, sebagai alat yang tepat untuk
menebus biaya memberikan layanan yang semata-mata bermanfaat untuk daerah.
Pola Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah
Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah merupakan suatu
sistem pembagian keuangan yang adil, proposional, demokratis, transparan, dan efisiensi dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi
dan kebutuhan daerah.
Hubungan keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan
memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. UU No.
33 Tahun 2004 telah menetapkan dasar-dasar pendanaan pemerintah daerah sesuai dengan pasal
4 UU No.33 Tahun 2004, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi didanai APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekosentrasi didanai APBN, pelimpahan
kewenangan dalam rangka pelaksanaan dekosentrasi atau penugasan dalam rangka pelaksanaan
tugas pembatuan dari pemerintah kepada pemerintah daerah diikuti dengan pemberian dana yang
disesuaikan dengan besarnya beban kewenangan yang dilimpahkan dan/atau tugas pembatuan
yang diberikan.
Pembentukan UU Perimbangan keuangan pusat dan daerah dimaksudkan untuk
mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU
tentang pemerintahan daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip Money Follows Function,
yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi
kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Perimbangan keuangan
antara pemerintah dan pemerintahan daerah mencakup pembagian keuangan antara pemerintah
dan pemerintah daerah secara proposional, demokratis, adil dan transparan dengan memerhatikan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yakni fungsi distribusi,
fungsi stabilisasi dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan stabilitasasi pada umumnya lebih
efektif dan tepat dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan fungsi alokasi oleh pemerintah daerah
yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi dan situasi masyarakat setempat.
Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah di biayai oleh APBD,
dan penyelenggaraan kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah di biayai dari
APBN, baik kewenangan pusat yang didekosentrasikan kepada gubernur atau ditugaskan kepada
pemerintah daerah dan/atau desa dalam rangka tugas pembantuan. Penerimaan daerah dalam
pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah
bersumber dari :
a. Pendapatan Asli daerah yang bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah
sebagai perwujudan desentralisasi;
b. Dana perimbangan yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan
pemerintahan daerah dan antarpemerintah daerah;
c. Pendapatan lain-lain yang memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh
pendapatan selain yang berasal pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pinjaman
daerah.
Pembiayaan bersumber dari :
a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah;
b. Penerimaan pinjaman daerah;
c. Dana cadangan daerah; dan
d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas
desentralisasi. Jenis pendapatan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan,
antara lain bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah. Sementara itu PAD lain-lain
yang sah meliputi :
a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b. Jasa giro;
c. Pendapatan bunga;
d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan
barang dan jasa oleh daerah.
Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri
dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai
kewenangannya, juga berfungsi untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
pemerintahan pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan
antar daerah.
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu. Dalam UU No.33 Tahun
2004 dimuat pengaturan mengenai bagi hasil penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 25/29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas
bumi sebagaimana dimaksud dalam UU No.27 Tahun 2003 Tentang panas bumi.
Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah
yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui
penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Dana Alokasi
Umum suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal suatu daerah, yang merupakan
selisih antara kebutuhan daerah dan potensi daerah. Dalam UU ini ditegaskan kembali mengenai
formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi
fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskalnya kecil, akan memperoleh alokasi DAU relative kecil.
Sebaliknya daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh
alokasi DAU relative besar.
Dana Alokasi Khusus adalah dana untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus
di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,
khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang
belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
UU No.33 Tahun 2004 juga mengatur Hibah yang berasal dari pemerintah negara asing,
badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri
atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/jasa
termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
UU No. 33 Tahun 2004 Juga mengatur pemberian dana darurat kepada daerah karena
bencana nasional atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD.
Disamping itu, pemerintah juga dapat memberikan dana darurat kepada daerah yang mengalami
krisis solvabilitas yaitu daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk
menghindari menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat, pemerintah dapat memberikan
dana darurat kepada daerah tesebut setelah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR.
Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan
dampak negative bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara
nasional.
b. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan.
Subjek dan wajib retribusi daerah terdiri atas :
1. Subjek retribusi umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan pelayanan
jasa umum yang bersangkutan;
2. Subjek retribusi jasa usaha adalah orang atau badan yang menggunakan pelayanan jasa
usaha yang bersangkutan;
3. Subjek retribusi perizinan tertentu adalah pribadi atau badan yang memperoleh izin
tertentu dari pemerintah daerah;
Sementara objek retribusi daerah adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh
pemerintah daerah. Adapun pembagian jenis retribusi jasa umum adalah sebagai berikut :
Tabel 2
Retribusi jenis umum, Retribusi Jenis Usaha & Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi Jenis Umum Retribusi Jenis Usaha Retribusi Perizinan Tertentu
1. Retribusi Pelayanan 1. Retribusi pemakaian 1. Retribusi izin mendirikan
Kesehatan kekayaan daerah; bangunan;
2. Retribusi Pelayanan 2. Retribusi pasar Grosir atau 2. Retribusi izin tempat
Persampahan/kebersihan; perkotaan; penjualan minuman
3. Retribusi penggantian 3. Retribusi tempat beralkohol;
biaya cetak kartu tanda pelelangan; 3. Retribusi izin gangguan
penduduk dan akta 4. Retribusi terminal; 4. Retribusi izin trayek.
catatan sipil; 5. Retribusi tempat khusus
4. Retribusi pelayanan parkir;
pemakaman dan 6. Retribusi tempat
pengabuan mayat; penginapan;
5. Retribusi pelayanan parkir 7. Retribusi penyodatan
ditepi jalan umum; kasus;
6. Retribusi pelayanan pasar; 8. Retribusi Rumah potong
7. Retribusi Pengujian hewan;
Kendaraan Bermotor; 9. Retribusi Pelayanan
8. Retribusi Pemeriksaan Pelabuhan Kapal;
Alat Pemadam 10. Retribusi Tempat rekreasi
Kebakaran; dan olahraga
9. Retribusi Penggantian 11. Retribusi penyeberangan
Biaya Cetak Peta; di atas air;
10. Retribusi Pengujian Kapal 12. Retribusi pengolahan
Perikanan. limbah cair;
13. Retribusi penjualan
produksi usaha daerah;
Bagi hasil retribusi tertentu sebagain diperuntukkan kepada desa yang terlibat langsung
dalam pemberian pelayanan, seperti retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan
akta catatan sipil. Bagian desa ini ditetapkan lebih lanjut melalui peraturan daerah kabupaten
dengan memperhatikan aspek ketertiban desa dalam penyediaan layanan tersebut.
Selanjutnya mengenai pengelolaan hasil kekayaan yang dipisahkan merupakan hasilyang
diperoleh dari pengelolaan kekayaan yang terpisah dari pengelolaan APBD. Hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan ini mencakup:
1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/badan usaha milik
daerah (BUMD);
2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/Badan Usaha Milik
Negara (BUMN);
3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.
Dana Bagi Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea perolehan ha katas tanah dan bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan. Tariff pajaknya adalah sebesar 5% dari dasar pengenaan
pajak, yaitu nilai perolehan objek pajak. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Objeknya adalah perolehan ha katas tanah dan
atau bangunan yang meliputi sebagai berikut :
1. Pemidahan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan
dalam perseoran atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, penunjukan pembelian dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran
usaha dan hadiah.
2. Pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak, dan diluar pelepasan hak.
Tarif BPHTB adalah sebesar lima persen dan dasar pengenaan pajaknya adalah nilai
peroleh objek pajak. Nilai perolehan objek pajak dimaksud dalam hal ini nilai traksaksi dan
memiliki nilai jual. Adapun pembagian penerimaan BPHTB dibagi dengan imbangan 20% untuk
pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar 80% dibagi untuk
daerah dengan rincian :
1. 16% untuk provinsi yang bersangkutan;
2. 64 % untuk kabupaten/kota yang bersangkutan;
Berdasarkan hasil keputusan menteri keuangan, hasil penerimaan BPHTB merupakan
penerimaan negara. Hasil penerimaan BPHTB dibagi untuk pemerintah pusat 20% dan daerah
80%. Jumlah 20% bagian pemerintah pusat dibagikan dengan porsi yang sama kepada seluruh
daerah kabupaten/kota.
Sementara khusus provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jumlah 80% bagian daerah
dibagi dengan rincian sebagai berikut :
1. 16% untuk daerah provinsi dibagi dengan imbagan, 30% untuk biaya pendidikan di
Provinsi NAD dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan; dan 70%
untiuk daerah provinsi dan disalurkan melalui rekening kas provinsi
2. 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil dibagi dengan imbangan, 30% biaya
pendidikan di provinsi NAD dan disalurkan melalui rekening khusus dana
pendidikan; dan 70% untuk daerah kabupaten/kota dan disalurkan melalui rekening
kas kabupaten/kota.
Dana Bagi Hasil PPh orang pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21
Pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri adalah pajak penghasilan yang tertuang
oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan pasal 25 dan pasal 29
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang penghasilan sebagaimana telah beberapa kali di
ubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, kecuali pajak atas penghasilan
sebagaimana atur dalam pasal pasal 25 ayat 8 yang mengatur mengenai pengenaan pajak bagi
wajib pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri, yang dijabarkan lebih lanjut dengan
peraturan pemerintahan Nomor 42 Tahun 2000 tentang pembayaran pajak penghasilan orang
pribadi yang akan bertolak ke luar negeri.
Pembagian hasil penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri dan pajak
penghasilan pasal 21 antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikaitkan dengan empat
wajib pajak terdaftar karena terdapat hubungan yang kuat dengan daerah tempat wajib pajak
memperoleh penghasilan. Bagian penerimaan pemerintah daerah sebesar 20% dibagi antara
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dengan imbangan 40% untuk daerah provinsi dan
60% untuk daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004, dana bagi hasil dari penerimaan PPh
pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 yang merupakan
bagian daerah adalah sebesar 20%. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh ini dibagi antara
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh pasal 25
dan 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 dibagi dengan imbangan 60%
untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi.
Berdasarkan Pasal 8 PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan, penerimaan
negara daru PPh wajbib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 dibagikan kepada
daerah sebesar 20% dengan rincian 8% untuk provinsi yang bersangkutan, dan 12% untuk
kabupate/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
DAU = CF + AD
Keterangan :
DAU : Dana Alokasi Umum
CF : Celah Fiskal
AD : Alokasi Dasar
CF : Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan
imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU atas dasar celah fiskal untuk
suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan
dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi.
Bobot provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang
bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh daerah provinsi.
CF Provinsi
Bobot Provinsii =
չ CF Provinsi
Keterangan :
CF Provinsi : celah fiskal suatu daerah provinsi
չ CF Provinsi : total celah fiskal seluruh provinsi.
DAU atas celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian
bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah
Kabupaten/Kota.
CF Kab/ Kotai
Bobot Kab /Kota i=¿
չ CF kab/ Kota
Keterangan ;
Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal di peroleh dari lembaga
statistic pemerintah dan/atau lembaga yang berwenang menerbitkan data yang dapat
dipertanggung jawabkan.
DAU untuk suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah undang-undang pembentukan
disahkan. Penghitungan DAU untuk daerah otonom dilakukan setelah tersedia data mengenai
jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk domestic regional
bruto per kapita dan indeks pembangunan manusia. Jika data tersebut tidak tersedia,
pengitungan DAU dilakukan dengan membagi secara proposional dengan daerah induk.
b. DAU Tambahan
Pasal 31 Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan, penyaluran
DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Pertambangan Gas bumi di daerah dilakukan dengan
menggunakan asumsi dasar harga minyak bumi tidak melebihi 130% dari penetapan dalam
APBN tahun berjalan. Dalam hal asumsi dasar harga minyak bumi yang ditetapkan dalam
APBN perubahan melebihi 130%, selisih penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi
sebagai dampak dari kelebihan dimaksud dialokasikan dengan menggunakan formula DAU.
Dana alokasi khusus adalah dana yang besumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana alokasi khusus dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional yang urusan
daerah. Kegiatan tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan
khusus yang ditetapkan oleh pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan dan pengadaan
atau peningkatan atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan
umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.
Penentuan daerah tertentu harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria
teknis. Kriteria umum adalah pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang
memiliki kemampuan fiskal rendah atau dibawah rata-rata nasional. Kriteria khusus dimana
pengalokasian DAK memerhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki karakteristik dan/atau
berada di wilayah :
Selanjutnya kriteria teknis kegiatan DAK untuk bidang pendidikan dirumuskan oleh
menteri pendidikan nasional, bidang kesehatan di rumuskan oleh menteri kesehatan, bidang
infrastruktur jalan, irigasim dan air bersih dan sanitasi dirumuskan oleh menteri kelautan dan
perikanan, bidang pertanian oleh menteri pertanian, bidang prasarana pemerintahan daerah oleh
menteri dalam negeri, dan bidang lingkungan hidup dirumuskan oleh menteri negara lingkungan
hidup.
Dana Kontinjensi
Dana Kontijensi diberikan dengan pertimbangan bahwa pengalihan P3D dari instansi
vertikal ke daerah yang dilakukan setalah dilakukannya perimbangan keuangan pemerintah pusat
dan daerah kenyataanya belum dapat dibiayai sepenuhnya dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di beberapa daerah. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak
menghambat kelancaran pelaksanaan otonomi di beberapa daerah. Dana kontinjensi ini diberikan
untuk mengatasi hal tersebut yang diambil dari APBN tahun anggaran 2001.
Bantuan yang diberikan bersumber dari dana kontinjensi pada pengeluaran rutin lainnya
APBN tahun anggaran 2001.bantuan ini merupakan pendapatan daerah yang dianggarkan dalam
APBD tahun anggaran 2001 dalam pos lain-lain penerimaan yang sah. Daerah yang mendapat
bantuan adalah provinsi, kabupaten/kota yang memperoleh jumlah penerimaan pendapatan
daerah dan komponen bagi hasil dan dana alokasi umum lebih kecil dari pengeluaran untuk
belanja pegawai dan belanja non pegawai setelah dilakukan pengalihan P3D Instansi vertikal ke
daerah yang bersangkutan.
a. Ringkasan realisasi belanja pegawai dan belanja nonpegawai tahun anggaran 2001;
b. Ringkasan APBD tahun anggaran 2000 sebelum perubahan;
c. Ringkasan APBD Tahun 2001 yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan daerah;
d. Ringkasan kutipan Buku Pengeluaran dan Buku Kas umum atas realisasi belanja pegawai
dan belanja non pegawai sampai batas akhir Februari 2001
e. Formasi dan Bezetting pegawai sebelum dan sesudah pengalihan P3D.
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Dan Hibah Kepala Daerah
Hibah daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah
dalam/luar negeri, badan/lembaga dalam/luar negeri atau perseorangan yang tidak perlu dibayar
kembali. Penerimaan ini bersifat tidak mengikat sehingga tidak dapat mempengaruhi kebijakan
daerah. Hibah digunakan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan daerah. Pemberian hibah dapat
berupa dana, barang maupun jasa termasuk tenaga ahli atau pelatihan. Hibah bersumber dari
Dalam negeri dan Luar negeri.
1. Pemerintah;
2. Pemerintah daerah lain;
3. Badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri; dan/atau
4. Kelompok masyarakat/perseorangan.
1. Bilateral, hibah bilateral adalah hibah yang berasal dari pemerintah suatu negara
melalui suatu lembaga/badan keuangan yang ditunjuk oleh pemerintah negara yang
bersangkutan untuk melaksanakan pemberian hibah.
2. Multilateral, adalah hibah yang berasal dari lembaga multilateral.
3. Donor lainnya, adalah badan/lembaga/organisasi/kelompok masyarakat/perorangan
luar negeri yang tidak termasuk lembaga bilateral dan multiteral.
Bentuk hibah sebagai berikut ;
1. Uang, hibah dalam bentuk uang dapat berupa rupiah, devisa dan atau surat berharga;
2. Barang, hibah dalam bentuk barang dapat berupa barang bergerak dan barang tidak
bergerak. Barang bergerak yang dimaksud antara lain peralatan, mesin, kendaraan
bermotor. Barang tidak bergerak yang dimaksud antara lain tanah, rumah, gedung dan
bangunan;
3. Jasa, hibah dalam bentuk jasa dapat berupa bantuan teknis, pendidikan, pelatihan,
penelitian dan jasa lainnya.
Hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri diberikan kepada daerah dengan kriteria
di antaranya:
1. Kegiatan yang merupakan urusan daerah dalam rangka pencapaian sasaran program
yang merupakan prioritas pembangunan nasional dan atau
2. Diprioritaskan untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah, berdasarkan peta
kapasitas fiskal yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Dana Dekonsentrasi
Biaya penyelenggaraan tugas pembantuan dari pemerintah kepada daerah dan desa
dibebankan pada APBN. Penentuan biaya ini dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
pertimbangan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nondapartemen. Proses penetapan jumlah
biaya tugas pembantuan dengan mempertimbangkan usul yang disampaikan oleh pemerintah
daerah dan desa penerima tugas pembantuan. Biaya tersebut disalurkan kepada daerah dan desa
melalui dapartemen/lembaga pemerintah nondapartemen pemberi tugas pembantuan.
Biaya penyelenggaraan tugas pembantuan dari provinsi atau kabupaten kepada desa
dibebankan pada APBD Provinsi atau kabupaten. Penentuan biaya ini dilakukan oleh gubernur
atau bupati dengan persetujuan DPRD provinsi dan kabupaten.
Otonomi khusus di Aceh semula diatur dalam UU No.18 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus bagi daerah istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh adalah
provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberikan
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip
NKRI berdasarkan UUD 1945.
Penerimaan Aceh dan Kabupaten/kota terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan.
Pendapatan daerah bersumber dari :
b. Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain, yaitu :
1. Bagian dari kehutanan sebesar 80%;
2. Bagian dari perikanan sebesar 80%;
3. Bagian dari pertambangan umum sebesar 80%;
4. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 70% (penerimaan Provinsi, Kabupaten dan
Kota adalah 15% dan ditambahaan penerimaan sebesar 55% dalam rangka otonomi
daerah;
5. Bagian dari pertambangan gas alam sebesar 70 % (penerimaan provinsi, kabupaten/kota
dari penerimaan SDA adalah 30% dan tambahan penerimaan sebesar 40% adalah dalam
rangka otonomi khusus.
c. Dana alokasi umum;
d. Dana alokasi khusus;
e. Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya setara 2%
dari plafon dana alokasi umum nasional terutama yang ditujukan untuk pembiayaan
pendidikan dan kesehatan.
f. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan
antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun anggaran.
Sistem Pemerintahan Indonesia
Prof. Dr.C.S.T Kansil,S.H & Christine S.T Kansil, S.H., M.H
Hubungan Kerja
Sebagai suatu organisasi, pemerintah mengenal adanya berbagai hubungan kerja
kedinasan (formal) antara unit yang satu dengan unit yang lain. Hubungan-hubungan kerja dapat
digolongan menjadi dua jenis pokok hubungan yakni hubungan kerja vertikal dan hubungan
kerja fungsional (horizontal).
Hubungan kerja hierarkis yang bersifat vertikal adalah hubungan kerja timbal balik antara
atasan dengan bawahannya, dari tingkat pejabat tertinggi secara berjenjang sampai ke tingkat
pejabat paling rendah. Dalam jenis hubungan vertikal ini terdapat hubungan perintah dan
tanggung jawab sesuai dengan tugas dan batas wewenang masing-masing.
Hubungan kerja fungsional pada pokoknya bersifat horizontal dan merupakan hubungan
kerja sama antara dua atau lebih unit organisasi/pejabat yang mempunyai kedudukan pada eselon
yang setingkat. Dalam kenyataannya hubungan ini dapat pula bersifat diagonal, misalnya
hubungan secara fungsional antara satu unit dengan unit yang lain tidak setingkat dalam
hubungan fungsi yang sama, seperti antara Bagian Kepegawaian dari Sekretariat Direktorat
Jenderal Kepegawaian dari Sekretariat Jenderal dan/atau dengan Badan Administrasi
Kepegawaian Negara. Hubungan fungsional merupakan keharusan dalam tiap organisasi besar
dan modern, demi terwujudnya kerja sama yang harmonis sebagai satu kesatuan yang
menyeluruh.
Pengarahan-Pengarahan
Pengarahan-pengarahan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang
nyata dan bertanggung jawab ialah bahwa :
a. Otonomi daerah harus sesuai dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa;
b. Keserasian hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
c. Perkembangan dan pembangunan daerah harus terjamin.
Buku ini menjelaskan secara singkat mengenai proses hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan
yuridis dalam pelaksanaan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Buku ini
memaparkan beberapa bagian seperti sejarah pemerintahan daerah yang didasarkan pada The
origins of Local Government (asal muasal lahirnya Pemerintahan lokal) dengan konstitusi atau
UU Pemerintahan daerah yang dijelaskan secara singkat Mulai dari UU No. 1 Tahun 1945
hingga UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Beberapa undang-undang
pemerintah daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang No.1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah yang
berisi mengenai penjabaran komite nasional Indonesia pusat yang merupakan badan
legislative darurat.
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini
merupakan penghapusasn perbedaan antara cara pemerintahan di Jawa dan Madura
dengan Daerah-daerah di Luar Jawa dan Madura (Uniformitas).
c. Undang-Undang No.44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia
Timur ini hanya bersifat separatis, hal ini adalah akibat berlakunya konstituante RIS di
mana Negara Republik Indonesia berbentuk serikat.
d. Undang-Undang No.1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah. UU ini
sebagai usaha untuk uniformitas dalam menyatukan UU tentang pokok-pokok otonomi
yang beraneka warna.
e. Undang-Undang No.18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah.UU ini
dibuat sewaktu PKI beberapa waktu menjelang meletusnya, sehingga dalam UU ini
sempat dimasukkan ketentuan bahwa untuk terciptanya demokrasi (terpimpin) maka di
dalam pimpinan DPRD, pembentukan (terpimpin) maka pembentukan wakil-wakil ketua
harus menjamin terciptanya poros Nasakom.
f. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di Daerah. UU ini
terkenal dengan pemberian otonomi yang Nyata, dinamis dan bertanggung jawab. Nyata
dalam arti bahwa pemberian Otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-
faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara Nyata mampu
mengurus rumah tangganya sendiri.
g. Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah ini dibentuk untuk
menyesuaikan diri dengan arus reformasi sehingga dengan demikian daerah-daerah yang
selama ini didominasi oleh pusat dicoba untuk diberikan otonomi dengan tetap
memberikan rambu-rambu pencegahan disintegrasi.
Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan adalah asas untuk turut sertanya pemerintahan daerah bertugas dalam
melaksanakan urusan pemerintahan pusat yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh
pemerintahan pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Konsekuensi daripada ketiga asas
tersebut di atas, maka diadakan sebagai berikut :
1. Otonomi daerah, yaitu akibat adanya desentralisasi lalu diadakan daerah otonom yang
diberikan hak wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai peraturan berlaku.
2. Daerah Otonom, yaitu akibat adanya otonomi daerah lalu dibentuklah daerah-daerah
otonom, baik untuk tingkat I maupun tingkat II. Daerah Otonomi itu sendiri berarti
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.
3. Wilayah Administratif, yaitu akibat adanya asas dekonsentrasi. Wilayah administrative
itu sendiri. Berarti lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan
pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban suatu pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan kepada aparat
legislative yaitu DPRD, sedangkan fungsi mengurus diberikan kepada aparat eksekutif yaitu
kepala daerah dan dinas-dinas otonominya. Itulah sebabnya DPRD dapat membuat peraturan
daerah.
Pemberian otonomi kepada pemerintah daerah haruslah nyata, dinamis dan bertanggung
jawab. Nyata dalam arti desentralisasi pemerintahan karena harus didasarkan pada faktor-faktor,
perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat
menjamin daerah tersebut mampu mengurus rumah tangganya. Bertanggung jawab dalam arti
sentralisasi pemerintahan karena harus sejalan dengan tujuan yaitu melancarkan pembangunan
yang tersebar di seluruh pelosok negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-
pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa,
menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Adapun
garis besar mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah sebagai berikut :
1. Otonomi daerah ditandai dengan pemberian urusan-urusan tertentu kepada daerah
tertentu, dan sisanya tetap dikelola oleh pemerintah pusat. Oleh karenannya terasa ada
pembatasan.
2. Perincian pemberian urusan tersebut dimaksudkan untuk melihat kemampuan masing-
masing daerah, tetapi dibalik daripada itu ada pertimbangan lain untuk tidak memberi
sesuatu urusan.
3. Pemerintah daerah diharapkan untuk tidak terlalu besar mengharapkan ketergantungan
pada bantuan sumbangan dari pemerintah pusat.
4. Urusan-urusan yang tidak mungkin diserahkan kepada pemerintah daerah adalah urusan
monoter, urusan peradilan, urusan luar negeri dan urusan pertahanan dan keamanan.
5. Pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu banyak ikut campur dalam bursa pemilihan
kepala daerah. Sesuai dengan peraturan yang berlaku pemerintah pusat dipersilahkan ikut
menentukan pemenang setelah calon diajukan.
Pemerintah Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah
Prof. Dr.C.S.T Kansil,S.H & Christine S.T Kansil, S.H., M.H
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dipengaruhi oleh tiga pendekatan utama
yakni pendekatan desentralisasi, dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan. Asas desentralisasi
adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah atau dari pemerintah daerah ketingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah
daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah. Dengan
demikian prakarsa, wewenang dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan
tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu, baik mengenai politik kebijaksanaan,
perencanaan dan pelaksanaanya maupun mengenai segi-segi pembiayaanya.
Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal yang lebih tinggi kepada pejabat-
pejabatnya di daerah. Tanggung jawab ada pada pemerintah pusat, baik perencanaan dan
pelaksanaannya namun pembiayaanya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Unsur
pelaksanaanya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil
pemerintah pusat.
Asas pembantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam pelaksanaan
urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban
mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas. Misalnya, kotamadya menarik
pajak-pajak tertentu seperti pajak kendaraan, yang sebenarnya menjadi hak dan urursan
pemerintah pusat. Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, jelaslah bahwa wilayah Indonesia dibagi
menjadi daerah-daerah otonom dan wilayah-wilayah administrasi. Wilayah otonom atau daerah
swatantra adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu,yang
berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan NKRI, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daerah dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi. Sementara wilayah administrasi atau wilayah adalah lingkungan
kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di daerah.
Wilayah ini dibentuk berdasarkan asas dekonsentrasi. Syarat-syarat dibentuknya suatu daerah
antara lain :
a. Mampu membiayai kehidupannya;
b. Jumlah penduduk yang ditentukan;
c. Luas daerah;
d. Memperhatikan pertahanan dan keamanan nasional;
e. Pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa;
f. Dapat melaksanakan pembangunan untuk daerahnya.
Menurut opini penulis, buku ini pada dasarnya telah menjelaskan dan mendeskripsikan
secara detail mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah yang tidak terbatas pada sektor
keuangan saja. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang dibagi atas daerah provinsi dan
daerah provinsi tersebut dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota yang dalam melaksanakan
urusannya menggunakan sistem konsep desentralisasDesentralisasi merupakan salah satu sendi
susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk negara Republik
Indonesia. Susunan organisasi negara yang desentralistik senantiasa ada meskipun terjadi
penggantian Undang-Undang Dasar.
Desentralisasi merupakan cara terbaik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, hal tersebut
dikarenakan desentralisasi memperluas kesempatan bagi rakyat baik secara kualitatif maupun
kuantitatif turut serta dalam memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan
dibandingkan ketika penyelenggaraan terbatas pada tingkat pusat saja, namun menurut penulis
desentralisasi yang terlalu terbuka atau pemberian wewenang yang diserahkan seluruhnya
kepada daerah juga dapat menjadi boomerang bagi suatu negara, hal tersebut dicontohkan
dengan daerah yang akan mandiri atau mampu menghidupi kebutuhan daerahnya akan rawan
memisahkan diri dengan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, penulis mengkritisi tentang paham klasik yang disampaikan oleh Prof. Bagir
Manan mengenai ciri-ciri negara hukum, tidak di dasarkan pada penjelasan Pasal 1 ayat 3 yang
menjelaskan hanya ada 3 ciri-ciri negara hukum yakni Jaminan perlindungan hak-hak asasi
manusia, kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, dan legalitas dalam arti hukum.
Selanjutnya mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam ketentuan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, buku ini menurut hemat penulis tidak bisa dijadikan sebagai sumber
uatama dalam melihat bagaimana hubungan pemerintah pusat dan daerah dewasa ini, hal ini
dikarenakan sumber literature buku ini di dasarkan pada konstitusi sebelum amandemen, artinya
ada beberapa unsur pelaksanaan yang memang berbeda kondisi dengan saat ini.
Sejalan dengan pendapat Prof. Bagir Manan yang mengatakan bahwa Kehadiran wilayah
pemerintahan administrative jangan sampai menggeser satuan pemerintahan otonom yang
merupakan salah satu sendi sistem ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945. Hal
tersebut sebagaimana di jelaskan dalam UUD 1945 Amandemen ke 4 Penjelasan pasal 18
menyebutkan bahwa pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Penugasan ini menjadi dasar hukum bagi
pemerintahan untuk melaksanakan fungsi desentralisasi. Mengenai asas dekonsentrasi tidak di
atur dalam bab pemerintahan daerah Pasal18 UUD 1945 Amandemen ke 4, Tugas Dekonsentrasi
adalah bagian dari tugas yang berkaitan dengan pasal III tentang kekuasaan pemerintahan
negara. namun meskipun daerah diberikan hak untuk membentuk peraturan dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah, bukan berarti bahwa daerah boleh membuat peraturan yang
bertentangan dengan prinsip negara kesatuan.
Selanjutnya mengenai hak atas asal-usul daerah, ternyata buku ini mencontohkan dengan
Penjelasan UUD 1945, pasal 18 sebelum amandemen yang mengindentifikasikan “hak-hak asal-
usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa sebagai daerah-daerah yang mempunyai
susunan asli yaitu Zelfbesturende landschappen (Swaparja) dan volksgemeenschappen (Desa).
sementara dewasa ini dalam ketentuan Pasal 18 B yang mengatur mengenai hak-hak tradisional
suatu daerah di contohkan dengan keberadaan desa Gampong di NAD, Nagari di Sumatera
Barat, desa dan Banjar di Bali dan dukuh di Jawa serta berbagai kelompok masyarakat yang
hidup di daerah berdasarkan hak-hak seperti hak ulayat, tetapi juga dengan syarat bahwa
kelompok masyarakat itu benar-benar ada dan hidup, bukan di paksa-paksakan dan diada-
adakan.
Lebih lanjut mengenai hubungan desentralisasi yang dijelaskan dalam buku ini, penulis
sependapatan dengan buku ini, namun jika melihat UU No.23 tahun 2014 yang memisahkan
urusan pemerintahan menjadi tiga bagian yakni absolut, umum dan konkuren pada dasarnya
telah melanggar arti dari otonomi seluas-luasnya, karena tidak memberikan kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus beberapa urusan yang menjadi hak dan wewenang daerah.
ANALISIS
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia
Oleh : Ahmad Yani, S.H., M.M., AK.
Buku ini menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di
Indonesia yang di dasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yakni UU No.33
Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Prinsip otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran
serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung
jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang
didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara provinsi
dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah.
Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan antara sistem
pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi
terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan, dimana
pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan
yang penting, dan adanya campurtangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap pemerintah
daerah. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan
fiskal daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar.
Ketergantungan terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya
transfer dari pusat. Ironisnya, kendati pelaksanaan otonomi menitikberatkan pada kabupaten/kota
sebagai ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan
yang lebih tinggi dibanding propinsi.
Machfud Sidik Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen
Keuangan RI berpendapat bahwa desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah
satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik
dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi
dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya
untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power),
terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan
adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah
untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama
menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan
pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik
(political decentralization), administratif (administrative decentralization), fiskal (fiscal
decentralization) dan ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah
Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan
keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber
keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil
Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Pelaksanaan
desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor, yaitu
1. Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement,
2. SDM yang kuat pada Pemerintah Daerah guna menggantikan peran Pemerintah
Pusat.
3. Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan
dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi fiskal implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada
daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan
(hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang
menjadi tanggung jawabnya. Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah
dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti
bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa,
sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah, dapat dibiayai dari
sumber-sumber penerimaan yang ada. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat yang berdasarkan azas desentralisasi, Kepala Daerah diberikan kewenangan untuk
memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue
sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber
dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah,
dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman
daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh
Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat
melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. Setidaknya ada empat penyebab utama tingginya
ketergantungan terhadap transfer dari pusat (Kuncoro, 2004: 13), yaitu:
1. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.
3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya hanya sedikit yang bisa diandalkan
sebagai sumber penerimaan.
4. Ada yang khawatir bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan
mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme.
Oleh karena itu, alternatif solusi yang ditawarkan adalah (Kuncoro, 2004: 15):
1. Meningkatkan peran BUMD.
2. Meningkatkan penerimaan daerah.
3. Meningkatkan pinjaman daerah.
Pembangunan daerah adalah suatu proses yang berdimensi banyak yang melibatkan
perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan daerah, semisal
percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dan faktor penentu lainnya. Tujuan pembangunan
daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memperluas kesempatan
kerja, pemerataan pendapatan, peningkatan hubungan antar daerah serta terus diupayakan adanya
proses pergeseran struktur kegiatan ekonomi. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan
pembangunan daerah adalah: (i) mendorong mengupayakan pekerjaan yang berkualitas tinggi
bagi penduduk dengan mengupayakan peningkatan sumber daya yang berkualitas, sehingga
mampu berperan dalam aktivitas yang lebih produktif (ii) menciptakan stabilitas ekonomi
dengan cara menyiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan aktivitas
ekonomi daerah.
Masalah pokok dalam pembangunan daerah sering terletak pada penekanan kebijakan-
kebijakan yang didasarkan pada kekhasan yang dimiliki oleh suatu daerah. Berdasarkan asas
ekonomi daerah, hal-hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan, perencanaan, pengawasan
maupun pembiayaan kegiatan pemerintah daerah menjadi wewenang dan tugas pemerintah
daerah. Melihat keadaan tersebut, maka untuk mencapai tujuan dari suatu pembangunan daerah
yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, pemerintah dan
masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif untuk berperan dalam pembangunan
daerah. Selain mengerahkan segala potensi yang ada untuk lebih mendorong pembangunan
dalam rangka pengembangan wilayah dan masyarakat, pembangunan ekonomi regional juga
sudah mulai ditekankan pada kerjasama dan sinergisitas antar sektor dan antar daerah.
Pembangunan ekonomi regional yang diiringi dengan pengembangan kerjasama antar wilayah
menjadi alternatif bagi suatu daerah yang pembangunannya sudah pesat. Selain itu, kerjasama
juga diharapkan dapat membantu percepatan pembangunan bagi daerah yang proses
pembangunannya tergolong lambat dibandingkan dengan daerah di sekitar yang lebih pesat.
Daerah yang pertumbuhannya lebih tinggi akan memberikan peluang atau membantu daerah
tetangga untuk mengejar ketertinggalan misalnya dengan kerjasama pengembangan jaringan
investasi.
ANALISIS
Sistem Pemerintahan Indonesia
Prof. Dr.C.S.T Kansil,S.H & Christine S.T Kansil, S.H., M.H