Edi Susanto
Abstrak :
Dalam hirarki sosial masyarakat Madura tradisional,
kyai adalah elit sosial sekaligus elit keagamaan, sehingga menjadi figur sentral
dan memainkan peran vital dalam kehidupan masyarakat. Seiring dengan dinamika sosial masyarakat
Madura yang bergerak -secara lambat namun pasti- pada bandul
progresivisme dan modernitas, fungsi kyai menjadi semakin terbatas dan berkurang,
sehingga ia tidak lagi menjadi satu-satunya agent of social change. Dalam kondisi demikian,
kepemimpinan kyai bukan lagi berada pada aras religio-paternalis-kharismatik, tetapi berpindah pada
aras persuatif-partisipatif-rasional, sehingga reorientasi peran kyai di tengah dinamika masyarakat
Madura merupakan hal yang mesti dilakukan.
Kata Kunci :
kepemimpinan Kyai, religio-paternalistik, persuatif partisipatif,
1Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: setiap perilaku orang Madura. Akibatnya, sebagian mereka
Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura. terjebak pada keberagamaan legalistik yang telah terputus
Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2003), h. 1 dari akar moralnya. Sebagian yang lain, hanya menjadikan
2Anak kalimat ini dalam pandangan penulis perlu agama menjadi sekadar upaya penyelamatan diri dari
dikemukakan mengingat adanya potret paradok resisprok beban atau derita eskatologis. Periksa Abd A’la, “
masyarakat Madura sebagai masyarakat dengan Membaca Keberagamaan Masyarakat Madura”, dalam
keberagamaan yang kuat tetapi sekaligus dianggap nyaris Rozaki, Menabur Kharisma, h. v-xvii.
lekat dengan tradisi atau budaya yang tidak selamanya 3Bouwsma mencoba menelusuri peran sentral
mencerminkan nilai-nilai Islam, sehingga secara prinsipil kyai dalam masyarakat Madura dari perspektif historis-
keberagamaan masyarakat Madura lebih merupakan antropologis, melalui upaya pengembalian hubungan
keberagamaan yang belum mampu mengembangkan nilai antara Islamisasi dan birokratisasi ketika negara Madura
etika-religius yang bersifat perennial secara optimal. dibentuk. Dalam pandangannya, semula proses Islamisasi
Akidah tauhid yang sejatinya memiliki makna berjalan seiring dengan birokrasi tradisional, tetapi
transformatif terkait erat dengan humanisme dan rasa semenjak VOC menguasai Madura, terjadi pemisahan
keadilan sosial, belum dapat dirumuskan ke dalam nilai proses, di mana penduduk lebih berpihak dan bersimpati
moral praktis yang dapat dijadikan landasan kokoh bagi pada peran kyai dari pada birokrasi. Periksa Kuntowijoyo,
Kepemimpinan (Kharismatik) Kyai
Edi Susanto
Madura.4 Dalam konteks ini, kyai jarang kyai diminta mengobati orang sakit,
merupakan status yang dihormati dengan memberikan ceramah agama, diminta do’a
seperangkat peran yang dimainkannya untuk melariskan barang dagangan dan lain
dalam masyarakat. Sebagai akibat dari sebagainya.6 Sebagai implikasi dari peran
status dan peran yang disandangnya, yang dimainkan kyai ini, kedudukan
ketokohan dan kepemimpinan kyai telah pesantren menjadi multi fungsi.
menunjukkan betapa kuatnya kecakapan Dalam pada itu, pesantren -
dan pancaran kepribadian dalam khususnya di Jawa dan Madura-
memimpin pesantren dan masyarakat. Hal menduduki posisi strategis dalam
ini dapat dilihat dari bagaimana seorang 7
masyarakat serta mendapatkan pengaruh
kyai membangun peran strategis sebagai dan penghargaan besar karena perannya
pemimpin masyarakat non-formal melalui dalam masyarakat. Keperkasaan pesantren
komunikasi intensif dengan masyarakat. dimitoskan karena kharisma kyai dan
Posisi vitalnya di lingkungan pedesaan dukungan besar para santri yang tersebar di
sama sekali bukan hal baru. Bahkan, justru masyarakat. Posisi strategis pesantren tidak
sejak masa kolonial -bahkan jauh sebelum dapat dilepaskan dari peranan kyai (ulama)
itu- peran kyai tampak lebih menonjol pengasuhnya. Posisi ulama dalam Islam
dibandingkan dengan masa sekarang yang sangatlah penting, yakni sebagai penerus
mulai memudar.5 risalah Nabi. Sejak masa-masa awal
Melalui kharisma yang melekat kerajaan Islam di Jawa, para ulama tampak
padanya, Kyai dijadikan imam dalam memainkan peran penting dalam
bidang ‘ubûdiyyah dan sering diminta pemerintahan. Menurut Harry Julian Benda
kehadirannya untuk menyelesaikan dalam bukunya the Crescent and the Rising
problem yang menimpa masyarakat. Sun –sebagaimana dikutip Pradjarta
Rutinitas ini semakin memperkuat peran Dirdjosanjoto— para penguasa yang baru
kyai dalam masyarakat, sebab kehadirannya dinobatkan harus banyak bersandar pada
diyakini membawa berkah. Misalnya, tidak para ulama, guru mistik dan ahli kitab atau
kyai, karena merekalah yang dapat
menobatkan para penguasa tersebut
Radikalisasi Petani. (Yogyakarta: Bentang, 1994), h. 83.
Bandingkan Rozaki, Menabur Kharisma, h. 4.
menjadi pangeran-pangeran Islam,
4Menurut teori ini, Madura didominasi oleh tanah mengajar serta memimpin upacara-upacara
tegalan. Ekosistem tegalan sangat tidak menguntungkan keagamaan serta menjalankan hukum
dari segi pertumbuhan produksi pertanian. Dengan
ekosistem tegal, orang Madura dalam mengelola tanah
Islam, terutama di bidang perkawinan,
pertaniannya tidak melibatkan banyak orang dan biasanya perceraian serta warisan.8
hanya cukup dengan satu anggota keluarga, sehingga
tidaklah berlebihan bila organisasi dan birokrasi yang
dapat mengatur pola kerja sama, mobilisasi dan koordinasi
antar warga dalam kehidupan sosio-ekonomi pedesaan 6Periksa Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam
tidak bermunculan. Dalam konteks ini, agama dan kyai di Pesantren. (Jakarta: LP3ES., 1999), h. 13.
Madura menjadi organizing principle., sehingga kondisi ini, 7Periksa Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara
dengan sendirinya memaksa orang Madura untuk Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. (Yogyakarta:
membangun masjid desa, karena shalat jum’at tidak sah LKiS, 1999), h. 35.
jika kurang dari 40 orang. Kemudian, keharusan agamalah 8Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Sub-
yang membuat orang Madura menjadi sebuah masyarakat Kultur”, dalam M. Dawam Rahardjo, ed. Pesantren dan
dengan membentuk organisasi sosial yang didasarkan Pembaharuan. (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 54-55. Periksa juga
pada agama dan otoritas kyai. Periksa Kuntowijoyo, Kuntowijoyo, “ Peranan Pesantren dalam Pembangunan
Radikalisasi Petani, h. 87. Desa: Potret Sebuah Dinamika”, dalam Kuntowijoyo,
5Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan,
(Jakarta: P3M., 1986), h. 138. 1991), h. 246-264.
lazim digunakan adalah kyaeh atau kyai. diperoleh melalui pendidikan formal.12
Tidak sebagaimana istilah Jawa, kyai dalam Dalam konteks ini, perlu dikemukakan
terminologi bahasa Madura merupakan bahwa kyai dan ulama adalah gelar ahli
istilah khas yang hanya diperuntukkan agama Islam, yang dalam kepustakaan
kepada para alim ulama, dan tidak kepada Barat, perbedaan antara dua jenis keahlian
benda pusaka. ini menjadi kabur dan sering tertukar
Di samping dipredikatkan kepada penggunaannya. Padahal, keduanya
senjata dan benda pusaka, dalam konteks sungguh berbeda pada titik status dan
kebudayaan Jawa, gelar kyai juga diberikan pengaruhnya. Dalam pandangan
kepada laki-laki yang berusia lanjut, arif masyarakat Jawa dan Madura, posisi kyai
dan dihormati. Bahkan dalam penyebaran lebih tinggi daripada ulama. Seorang ulama
agama kristen, sebutan kyai juga dipakai dengan seluruh persyaratan yang
untuk beberapa pengkabar Injil pribumi, diperlukan pada suatu waktu mungkin
guna membedakannya dengan pengkabar berhasil meningkat ke posisi kyai.13
Injil Barat.11 Kadar semantik dari istilah kyai Dengan pengertian tersebut, perlu
di sini mencakup komponen tradisional ditegaskan bahwa yang dimaksud kyai
Jawa secara mutlak, termasuk pemimpin dalam kajian ini adalah pemimpin Islam
pesantren. Gelar tersebut berada dalam yang dipandang masyarakat mempunyai
kesinambungan tradisional dan mencakup kharisma, baik sebagai pemimpin pesantren
arti dimensi kerohanian masyarakat yang atau bukan. Memang, tidak semua kyai
memiliki kesaktian, misalnya sebagai dukun memiliki pondok pesantren. Ada pula kyai
atau ahli kebatinan dan guru maupun yang mengajarkan agama dengan cara
pemimpin di daerah yang berwibawa dan berceramah dari desa ke desa untuk
memiliki legitimasi atas wewenangnya berfatwa kepada masyarakat luas. Kyai jenis
berdasarkan kepercayaan penduduk. ini, dijuluki sebagai kyai Teko. Para kyai
Namun, pengertian kyai dalam konteks penceramah ini diibaratkan seperti teko
Indonesia modern telah mengalami berisi air dan senantiasa menuangkannya
transformasi makna, yakni diberikan kepada setiap orang yang membutuhkan.
kepada pendiri dan pemimpin sebuah Sedangkan julukan kepada kyai yang
pondok pesantren yang membaktikan memiliki pesantren disebut dengan kyai
hidupnya demi Allah serta sumur.14
menyebarluaskan dan memperdalam Kemudian, fungsi kepemimpinan
ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui yang diidealisasikan sebagai peran yang
kegiatan pendidikan. melekat pada status kekyaian merupakan
Oleh karenanya, predikat kyai peran yang mesti dipandang signifikan,
senantiasa berhubungan dengan suatu gelar sebab kepemimpinan adalah salah satu
yang menekankan kemuliaan dan faktor penting yang mempengaruhi
pengakuan yang diberikan secara sukarela keberhasilan atau kegagalan seorang kyai
kepada ulama dan pemimpin masyarakat dalam memimpin masyarakatnya, termasuk
setempat sebagai sebuah tanda kehormatan pada lembaga yang dipimpinnya, yaitu
bagi kehidupan sosial dan bukan
merupakan suatu gelar akademik yang 12Ziemek, Pesantren, h. 131.
13Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial. Ter.
Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa (Jakarta: P3M,
11Periksa catatan kaki no 1 pada Dirdjosanjoto, 1987), h. 1-3.
Memelihara Umat, 20. 14Periksa Sukamto, Kepemimpinan Kiai, h. 85-86.
pesantren. Tanpa pemimpin yang baik, seseorang dalam kaitannya dengan sistem
maka roda organisasi tidak dapat berjalan sosial yang berlaku. Hubungan yang
dengan baik. Meski demikian, penulis tidak melekat antara unsur pribadi dengan sistem
menafikan unsur lain yang dapat menopang sosial ini adalah faktor utama yang
ketercapaian tujuan organisasi, yakni mematangkan kepemimpinan tersebut. Ini
sumber permodalan yang cukup, struktur berarti, bahwa selama pribadi yang disebut
organisasi yang tepat dan tersedianya pemimpin dianggap atau dinilai oleh
human resources yang handal. masyarakat pengikutnya telah memenuhi
Proses berlangsungnya kebutuhan dari sistem sosial dan komunitas
kepemimpinan akan melahirkan seorang pendukungnya, maka selama itu pula ia
tokoh yang disebut sebagai pemimpin. dapat mempertahankan ikatan emosional di
Sebutan ini lahir ketika seseorang memiliki antara para pengikutnya dan
kemampuan mengetahui perilaku orang kepemimpinannya dapat tetap
lain, mempunyai kepribadian khas dan dipertahankan. 16
sebagai legitimator menjadi tersaingi, tetapi Dalam kasus demikian, tampak jelas
juga membuat kredibilitas dan otoritasnya bahwa posisi kyai yang kharismatik dan
menjadi dipertanyakan. Situasi ini sekaligus terhormat sudah “mulai goyah”,
menunjukkan bahwa di pedesaan Jawa dan dengan sebab yang tidak hanya bersumber
Madura, termasuk di internal NU, orang- pada perilaku kyai yang “kurang patut
orang dapat pergi ke mana pun yang dapat diteladani”, tetapi juga karena adanya
memberikan kepada mereka pengetahuan perubahan dalam norma sosial yang
tentang Islam dan kepemimpinan dalam melandasi hubungan sosial antar komunitas
pengertian yang lebih umum. umat Islam. Misalnya, kyai terlibat dalam
Ketiga, meluasnya wilayah operasi politik praktis, baik di tingkat desa, seperti
negara di balik peningkatan kualitas mendukung salah satu calon klebun (kepala
kehidupan umat Islam. Negara sangat desa), atau bahkan mencalonkan dirinya
peduli dengan problem ketidaksetaraan sendiri, terlibat dalam partai politik,
(inequality) dan terlibat dalam berbagai hal menjadi anggota DPR dan sebagainya.
yang sebelumnya berada di bawah Karena itu, muncul ungkapan di
kepedulian kyai. Pengenalan upaya masyarakat. Mon lamba’ du’a kyaeh mandih
pengendalian angka kelahiran misalnya, karanah neggu’ tasbih, mon samangken, asah
telah melibatkan negara dalam karena se eteggu’ banni tasbih pole tape HP; dan
pendefinisian arti sosial kelahiran, yang ungkapan-ungkapan lain yang senada.
secara tradisional sebelumnya berada di Singkatnya, krisis kharisma kyai terjadi
bawah wilayah agama dengan peran pada satu sisi terjadi karena sosok figur ini
penting yang dimainkan kyai. telah memasuki wilayah public accountability
Faktor-faktor di atas, tidak hanya yang jelas¸ dan tidak semata-mata bergerak
melahirkan polarisasi dalam masyarakat dalam ranah spiritual dan pada sisi lain,
Madura, melainkan telah mewujudkan terjadi karena dinamika perubahan dalam
kalangan Islam muda yang kritis terhadap kehidupan masyarakat sehingga persepsi
kepemimpinan kyai hingga batas tertentu, mereka terhadap kharisma kyai menjadi
tetapi juga memberikan alternatif mengenai “memudar”.
keberadaan bentuk-bentuk kepemimpinan
yang lain, sehingga posisi kyai dan Penutup
kepemimpinan kharismatiknya “berubah” Berdasarkan kajian di atas dapat
secara tidak terelakkan. Karena itu, bukan disimpulkan bahwa pertama, kepemimpinan
merupakan suatu kebetulan misalnya, jika kharismatik tokoh keagamaan Islam (kyai)
seorang kyai didemo oleh santri dan terdapat pada masyarakat yang masih
masyarakat sekitarnya.28 tradisional. Kedua, kepemimpinan
kharismatik kyai pada masyarakat transisi –
28Sebagaimana dinyatakan oleh Endang Turmudi apalagi pada masyarakat modern dan
dalam disertasinya, seorang kyai yang dia kenal baik, masyarakat metropolis-- telah mengalami
dituduh korupsi mengambil uang dari harta wakaf yang krisis legitimasi, atau paling tidak,
dikelolanya. Juga beberapa orang santri di pesantren Darul
Ulum Jombang melakukan demontrasi untuk memprotes perubahan secara degradatif, karena
kebijakan kyai mereka mengenai pendidikan sekolah berbagai dinamika dan perubahan yang
formal yang dimilikinya. Periksa Turmudi, Perselingkuhan terjadi, baik yang bersifat internal pesantren
Kiai, h. 4-5. Juga, pengalaman penulis makalah ini ketika
seorang khatib yang waktu itu disampaikan oleh seorang
pengasuh pondok pesantren menyampaikan khutbah Idul Fenomena demikian, hingga batas tertentu, jelas
Adha dengan topik yang melebar dan agitatif, sebagian menunjukkan bahwa kharisma kyai sudah mulai
jamaah shalat keluar dan pulang sebelum khutbah selesai. memudar.