Anda di halaman 1dari 8

Nama : Ahmat Tirmiji

NIM : 187420100372

1. Denmark
Denmark menciptakan kodifikasi pertama kali tahun 1683 dengan nama DANSKE LOV. Bentuknya
belum modern sebagaimana kuhp berbagai negara dewasa ini. Pada tahun 1866 diciptakan KUHP
tersendiri dan berlaku sampai tahun 1933, suatu yang diciptakan tahun 1930. Beberapa hal yang perlu
dicatat sebagai sesuatu yang berbeda dengan KUHP Indonesian adalah sebagai berikut:

1. Penahanan sederhana berlangsung paling kurang 7 hari dan paling lama 6 bulan. Pidana ini
sejajar pidana kurungan paling lama 1 tahun dan paling kuran 1 hari di KUHP indonesia hanya
yang berbeda jangka waktunya.
2. Pidana denda (bode) di denmark sama halnya dengan jerman, austria, dan portugal dengan
cara denda harian (day fine), bedanya hanya KUHP denmark denda yang ditentukan (pasti).
KUHP indonesia tidak menentukan minimum dan maksimum denda.
3. Di KUHAP denmark jaksa dapat menyampingkan perkara dengan syarat terdakwa membayar
denda yang ditentukan oleh jaksa dan dikuatkan oleh seorang hakim, yang disebut
TILTALEFRAFALD. Sedangkan di KUHAP indonesia jaksa agung saja yang dapat
menyampingkan perkara dan hal tersebut didasarkan atas demi kepentingan umum.
4. Jika denda tidak dibayar di denmark di konvesikan menjadi pidana penjara, di KUHP indonesia
di konvesikan menjadi pidana kurungan.
5. Di denmark dikenal pidana kerja sosial dan samksi penahanan untuk pengamanan yaitu sanksi
ini bersifat pembinaan.
6. Di KUHP denmark terdapat jenis pidana yang ditunda, dikenal juga di KUHP indonesia hanya
saja bentuknya berupa pidana bersyarat. Sedangkan yang membedakannya pidana yang
ditunda terdapat penentuan (fix) pidana tertunda.

Dalam hukum pidana Denmark mengenal adanya pidana denda harian (a day fine), minimal 1 hari
dan maksimal 60 denda harian. Pada pasal 123 CCP dapat menunda penuntutan dengan alas an bahwa
pelaku telah membayar sejumlah denda yang sudah ditetapkan oleh lembaga penuntutan dan sudah
disahkan oleh hakim. Sebaliknya di Indonesia hanya mengenal adanya pidana denda tetapi hal
tersebut tidak dapat diputuskan oleh penuntut umum sebelum mendapat putusan dari pengadilan
oleh majelis hakim dan pentut umum tidak mendahului proses hukum serta kepastian hukuman
sebelum proses persidangan hukum selesai.

Negara ini adalah negara paling bersih alias paling bebas korupsi pada tahun 2012. Sebagai salah
satu negara dengan pendapatan per kapita terbesar di dunia, negara Skandinavia ini juga tercatat
sebagai negara yang memiliki pemerataan kekayaan terbaik di dunia. Artinya, hampir tidak ada
kesenjangan kesejahteraan antar penduduk-nya. Tidak mengherankan, rakyat mereka diklaim sebagai
rakyat yang paling bahagia berdasarkan survey Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD). Sudah bisa menebak negara mana yang dimaksud? Ya, negara yang dimaksud
adalah Denmark. Denmark, bersama Selandia Baru dan Finlandia, adalah negara paling bebas korupsi
di dunia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi yang dibuat oleh Transparency International. Sementara
itu, Afghanistan, Korea Utara, dan Somalia menjadi negara-negara terkorup akibat sejarah konflik
berkepanjangan. Ketika Denmark mencapai nilai 90 dari 100, dua pertiga dari 176 negara di dunia
justru berada di bawah nilai 50.

Transparency International juga menempatkan Denmark sebagai negara dengan pemerintahan


yang paling transparan. Tentu saja, transparansi berkontribusi besar pada penyelenggaraan
pemerintah yang bersih. Penegakan hukum mampu dipastikan dengan adanya sistem transparansi
pemerintah yang memudahkan warga negara Denmark untuk ikut mengawasi. Dan, sebagai
implikasinya, kepastian hukum membuat iklim bisnis menjadi kondusif dan akhirnya mendorong
kualitas kehidupan ekonomi Denmark. Jadi, semacam efek domino begitu. Pertama, transparansi oleh
Pemerintahnya. Selanjutnya, transparansi memungkinkan seluruh masyarakat turut mengawasi
jalannya pemerintahan. Nah, dengan pengawasan oleh seluruh rakyat, tentu penegakan hukum dapat
diwujudkan, karena rakyat mengetahui siapa saja pemimpinnya yang terjerat kasus korupsi atau
perbuatan pidana lainnya. Rakyat pun jadi dapat mengikuti proses hukum dan jalannya pemeriksaan
yang melibatkan koruptor-koruptor tersebut, sehingga tidak ada lagi putusan-putusan pengadilan
yang disalahgunakan-lah, dipalsukan-lah, atau pun dibeku-kan (coba Anda baca buku karangan Prof.
Sebastian Pompe yang judulnya “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung”, maka Anda tidak akan
pernah percaya bagaimana boboroknya pilar tertinggi pemegang Kekuasaan Kehakiman di negara kita
ini sekarang. Bahkan, tidak berlebihan ketika selesai membaca buku tersebut, saya jadi berpikir
mengapa negeri ini masih bisa berdiri (ada) sekarang?)

Kembali pada efek domino tadi, setelah penegakan hukum menjadi suatu kepastian dan bukan
keniscayaan, maka tentulah para investor-investor (baik investor asing maupun domestik) akan
tertarik untuk menanamkan modalnya, membangun perusahaannya, ataupun kegiatan-kegiatan
lainnya yang secara langsung akan berdampak pada iklim bisnis dan kondisi perekonomian. Nah, iklim
bisnis yang kondusif tentu saja akan mendorong kualitas perekonomian di suatu negara menjadi
kondusif pula.

Jadi, terlihat bagaimana benang merah yang menghubungkan antara kepastian dan penegakan
hukum di suatu negara dengan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan negara tersebut,
bukan? Ya, kepastian dan penegakan hukum memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat
perekonomian suatu negara. Bahkan, kepastian dan penegakan hukum dapat dikatakan sebagai salah
satu kuncinya! Kembali lagi pada negara Denmark, lantas apa yang sebenarnya menyebabkan negeri
itu sedemikian maju dalam menciptakan kehidupan sosial yang transparan dan bebas korupsi? Mari
kita sejenak kembali membuka sejarah Denmark. Pada kurun waktu 1840-1860, Denmark melakukan
perubahan besar untuk memberantas korupsi. Denmark ketika itu dipimpin oleh Raja Christian VII,
yang kemudian diteruskan oleh anaknya, Frederik VI. Nah, Raja Frederik VI inilah yang sangat
terganggu oleh besarnya pencurian kas negara oleh pegawainya sendiri.

Ia kemudian memperkenakan beberapa kebijakan penting untuk menanggulangi korupsi di Istana.


Salah satunya adalah peraturan tertulis yang menyebutkan bahwa menerima suap adalah tindakan
kriminal. Sesuatu yang terbilang inovatif pada saat itu. Frederik VI ini jugalah yang menyadari bahwa
korupsi tidak dapat diberantas dengan hukuman represif. Dan karenanya, Ia menaikkan gaji para
pegawai istana, memberikan mereka jaminan perlindungan (asuransi), dan pensiun yang baik. Nah,
terjawab sudah salah satu cara memberantas korupsi, yaitu tidak cukup hanya dengan memberikan
hukuman yang berat kepada sang koruptor, meskipun itu adalah hukuman gantung sekalipun. Tetapi,
akan jauh lebih efektif, apabila memulainya dengan menaikkan gaji para pegawai dan pensiun dengan
nominal yang sesuai. Sehingga kalaupun masih tetap terjadi korupsi, bukan lagi sistemnya yang salah,
melainkan individu atau orang-orangnya yang memang tidak benar! Kalau sudah demikian, maka
hendaknya kembali pada sistem perekrutan calon-calon pegawai tersebut, apakah benar sudah sesuai
dengan aturan hukum dan peraturan yang berlaku. Selain dengan menaikkan gaji pegawai kerajaan,
kebijakan reformasi Frederik VI jugalah yang telah mengubah budaya rakyat Denmark.

Ia mengenalkan kebebasan pers, suatu kebijakan yang tidak lazim di lingkungan monarki. Nah,
kebebasan pers inilah yang menjadi alat paling efektif dan efisien dalam membongkar kasus-kasus
korupsi. Efektifitas kebijakan ini semakin didukung oleh adanya kajian yang membuktikan bahwa
rendahnya tingkat korupsi pada negara demokrasi maju berhubungan positif dengan kebebasan.pers.
Semua negara-negara Skandinavia, termasuk Finlandia dan Swedia sangat terkenal dengan kebijakan
hak asasi manusia dan kebebasan informasi. Pada saat yang sama, mereka justru berada pada lima
besar negara paling bersih dalam Indeks Persepsi Korupsi. Jadi, terbayang kan bagaimana pentingnya
kebebasan pers dan informasi dalam mendukung transparansi pemerintahan? Nah, pelajaran
selanjutnya yang dapat diambil dari Denmark adalah bahwa masyarakat Denmark sangat sulit
dimanipulasi oleh pemerintahan yang berkuasa. Mereka mengerti betul bagaimana sistem, situasi dan
kondisi kekuasaan pemerintahan yang sedang memimpin mereka. Mereka juga memiliki pemahaman
yang mendalam atas bagaimana lembaga-lembaga negara bekerja ataupun bagaimana seharusnya
berjalan. Alhasil, masyarakat Denmark jadi memiliki kepercayaan yang sangat tinggi kepada
pemerintahnya bahwa pemerintahnya benar-benar bekerja sesuai dengan fungsi dan tugasnya, serta
membawa negara Denmark mencapai tujuan negara. Tingginya tingkat pemahaman dan kepercayaan
masyarakat inilah yang pada akhirnya mendorongpartisipasi masyarakat Denmark dalam kegiatan
kenegaraan. Ketika masyarakat percaya dan paham betul bagaimana pemerintahan berjalan dan
sistem yang ada sendiri sudah sangat transparan dan bebas korupsi, maka masyarakat akan lebih rela
untuk membayar pajak dan ikut serta dalam pemilihan umum. Sebagai tambahan, di Denmark,
lembaga Ombudsman memainkan peranan yang sangat penting dalam memastikan transparansi,
akuntabilitas, dan efisiensi pemerintahan. Lembaga ini bertanggung jawab mengkaji setiap aspek
pelayanan publik dengan berperan sebagai pengawas dan whistleblower. Kewenangannnya meliputi
setiap kegiatan publik tanpa terkecuali. Sejarah telah membuktikan bahwa peran ini tidak hanya
bermain dalam tataran normatif, tetapi telah berkontribusi melindungi hak-hak kenegaraan warga.
Ya, begitulah singkat cerita mengenai keberhasilan Denmark. Sungguh indah membayangkannya,
bukan? Semua berjalan teratur dan harmonis.

Masyarakat kenal dan paham betul siapa pemimpinnya, menaruh harapan dan kepercayaan yang
besar. Sebaliknya, sang Pemimpin yang memegang amanah harapan dan kepercayaan rakyat tersebut
benar-benar bekerja sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Mungkin tidak ya suatu hari negara kita juga
bisa seperti Denmark? Ya, sangat mungkin! Kita bisa saja belajar dari Denmark. Toh, kita juga mampu
menerapkan semua kebijakannya. Pertama, kita sudah memiliki kebebasan pers dan keterbukaan
informasi yang baik. Lah, wong kita negara demokrasi ketiga terbesar di dunia kok. Hanya saja,
mungkin memang belum begitu mumpuni dan matang dalam proses berjalannya, toh kita baru lima
belas tahun “merdeka” setalah reformasi 1998. Kedua, kita juga sudah memiliki Ombudsman sendiri.
Again, hanya saja, kita harus menciptakan sistem Ombudsman yang baik sama seperti dengan yang
ada di Denmark. Lembaga seperti Ombudsman perlu diperkuat untuk mengawal regulasi protektif
terhadap para pemberi informasi atau whistleblowers. Dan, yang terakhir adalah transparansi,
transparansi, dan transparansi!!! Semua tindakan pencegahan korupsi dilandasi dengan prinsip
transparansi. Oleh karena itu, Denmark menerapkan sistem integritas nasional yang mewajibkan
setiap pejabat negaranya melaporkan penerimaan dan pengeluaran mereka, termasuk biaya.

2. Perancis
A. Pidana Pokok

Sejak penghapusan pidana mati dengan Undang-Undang tanggal 9 Oktober 1981, pidana pokok
yang paling utama adalah pidana penjara (imprisonment) dan denda (fine)

1. Pidana Penjara (Imprisonment)

KUHP Perancis mengenal tiga jenis pidana penjara (Imprisonment), yaitu:


a. Confinement, dalam waktu tertentu dikenakan untuk crimes, minimalnya 5 tahun dan
maksimalnya 20 tahun. Pidana ini menggantikan pidana kerja paksa (for ced labour)
yang dihapus pada tahun 1960. Confinement seumur hidup menggantikan pidana
mati yang dihapus pada tahun 1981.
b. Detention, seumur hidup dan dalam waktu dan dalam waktu tertentu dikenakan
untuk kejahatan politik dan menggantikan pidana transportasi (the sentence of
transportation). Lamanya detention dalam waktu tertentu sama dengan confinement
dalam waktu tertentu. Kejahatan-kejahatan politik yang secara formal masih diancam
pidana mati, sekarang dipidana dengan pidana detention seumur hidup.
c. Pidana prison dapat dikenakan pada delits dan contraventions, dan selalu untuk
waktu tertentu. Untuk delits minimalnya 2 bulan dan maksimalnya 5 tahun. Untuk
kasus-kasus pengulangan (recidive) dan delik-delik tertentu maksimumnya adalah 10
tahun. Untuk contraventions minimalnya 1 hari dan maksimalnya 2 bulan.

2. Pidana Denda

Pidana denda dapat dikenakan untuk delits dan contraventions. UU 7 Agustus 1985 menetapkan
denda untuk delits antara 6.000-15.000 Francs dan untuk contraventions (pelanggaran) antara 30-
10.000 Francs. Undang-undang No 10 Juni 1983 memperkenalkan pidana denda harian (the day fine
atau jours amende). Pidana ini tidak dapat dikenakan pada anak dan hanya diterapkan pada delits
yang diancam dengan pidana penjara (prison). Pidana dengan harian ini dimaksudkan sebagai
alternatif dari pidana penjara pendek. Maksimum jumlah denda harian adalah 360, sedangkan jumlah
denda hariannya ditetapkan oleh hakim dengan mempertimbangkan penghasilan dan pengeluaran
terdakwa. Jumlah maksimum tiap denda harian adalah 2000 Francs.

Denda yang telah dibayarkan dikenakan detention. Pidana pengganti ini dimaksudkan untuk
memaksa/menekan terpidana untuk membayar dendanya. Lamanya detention ini bergantung pada
besarnya denda dan maksimumnya dapat mencapai 2 tahun untuk denda yang lebih dari 8000 Francs.
Apabila denda dikenakan dalam bentuk denda harian, pidana pengganti (detention) tidak boleh
melebihi separuh dari jumlah denda harian yang tidak dibayar. Oleh karena itu maksimumnya 180
hari.

3. Pidana Tertunda/Bersyarat (Suspended Sentence)

Suspended Sentence di Perancis merupakan jenis sursis simple yang dipandang sebagai
implementasi dari mode of sanction (strafmodus), bukan from sanction (strafsoort). Suspended
Sentence merupakan tidak dilaksanakannya unconditional sentence dengan syarat.

4. Pelepasan Bersyarat (Conditional release or Parole)

Pelepasan bersyarat diberikan apabila terpidana menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang


serius. Pelepasan bersyarat dapat diberikan setelah terpidana menjalani separuh pidananya. Apabila
terpidana adalah recidivist, ia dapat memperoleh pelepasan bersyarat setelah menjalani 2/3 dari
pidananya. Bagi narapidana seumur hidup dapat memperoleh pelepasan bersyarat setelah minimum
menjalani 15 tahun penjara.

5. Kebebasan semi (Semi liberte)

Undang-undang 17 Juli 1970 (No. 70-643) memasukkan ke dalam CCP/KUHP, kemugkinan pidana
penjara yang dijalani/dilaksanakan dalam bentuk semi liberte. Seorang hakim, ketika menjatuhkan
pidana penjara 6 bulan atau kurang, dapat memberi kesempatan kepada terpidana untuk menjalani
pidananya di luar lembaga penjara untuk mengikuti kursus pelatihan atau studi lainnya, melakukan
pekerjaan atau menjalani perawatan medis (to follow a training course or other studies, to pursue an
occupation and to undergo medical treatment).

Pada mulanya semi liberte inin merupakan salah satu jenis dari pidana penjara malam hari (right
time prison sentence), di mana para napi/tahanan (the detainees) kembali ke penjara pada setiap sore
setelah mengakhiri pekerjaannya. Menurut ketentuan baru ini (UU 85-1407), para napi hanya berada
di penjara ketika mereka tidak terlibat dalam pekerjaan di luar penjara. Oleh karena itu, semi liberte
lebih mempunyai ciri sebagai penahanan akhir minggu (week end detention). Bedanya, hari-hari di
luar penjara pada semi liberte juga dihitung sebagai hari-hari penahanan.

Upaya mengembangkan alternatif lain dari pidana penjara di Perancis, antara lain dengan
mengeluarkan:

▪ UU 17 Juli 1970 (No. 70-643) mengenai Pengawasan judicial (controle


judiciaire).
▪ UU 11 Juli 1975 (No. 75-624) mengenai modifikasi pidana, antara lain
kemungkinan mengubah/mengganti pidana penjara pendek.

Pengganti pidana penjara pendek yaitu pidana pendek antara 15 hari dan 6 bulan banyak
dibahas pada tahun 70-an sehubungan dengan kecenderungan pidana itu meningkatkan terjadinya
pengulangan tindak pidana. Pidana sangat pendek sampai 15 hari diharapkan mempunyai pengaruh
kejiwaan yang sehat tanpa menimbulkan akibat-akibat sosial negatif yang sangat besar. pidana yang
lebih lama dari 6 bulan dipandang bermanfaat, yaitu terpidana diharapkan dapat dipengaruhi secara
positif selama ia berada di penjara.

Sistem sanksi yang ada menawarkan pilihan sanksi yang tidak cukup bagi hakim. Pada
kebanyakan delik, delits dan contraventions, pilihan sanksi bagi hakim yang hanya pidana denda dan
penjara. Pidana terakhir (penjara) dapat ditunda dengan atau tanpa pengawasan. Pembuat Undang-
undang meningkatkan pilihan hakim ini dengan menciptakan sejumlah sanksi alternative dalam Pasal
43.1-43.4 UU 17 Juli 1975 (No. 75-624). Sanksi-sanksi alternatif ini diharapkan tidak mempunyai akibat
sosial yang negatif dari pidana penjara pendek, akan tetapi efek pencegahan umum dan sifat
pidananya sama dengan pidana penjara pendek.

B. Pidana Asessori

Pidana Asessori merupakan jenis pidana tambahan yang tidak dapat dijatuhkan oleh hakim secara
mandiri, tetapi harus digabung dengan pidana pokok. Contoh dari pidana ini adalah interdiction legale,
di mana seorang curator/pengampu ditunjuk secara otomatis untuk memelihara harta terpidana
selama ia menjalani pidana penjara (Pasal 29 PC).

C. Pidana Komplementer

Pidana komplementer adalah pidana yang harus dijatuhkan secara terpisah oleh hakim, di samping
pidana pokok. Contoh: larangan melaksanakan profesi khusus, larangan melakukan hak-hak sipil
tertentu, pencabutan SIM dan pengumuman pemidanaan (keputusan hakim). Ada dua jenis pidana
komplementer yang bersifat pilihan (optional) dan yang merupakan keharusan/wajib (compulsory).
Yang bersifat pilihan, antara lain dijumpai dalam Pasal 317 PC yang melarang aborsi. Apabila seorang
dokter dihukum karena kejahatan ini, maka hakim mencabut haknya melakukan praktek untuk
sekurang-kurangnya 5 tahun.

D. Pasal 43 PC Hukum Pidana di Perancis

Adapun Pasal 43 PC dalam hukum pidana di Perancis, antara lain:[13]

Pasal 43.1 PC, membolehkan hakim mengenakan pidana (tambahan) asessori yang tercantum untuk
suatu delik tertentu sebagai pidana pokok di samping pidana pokok yang tercantum untuk delik yang
bersangkutan. Ketentuan ini diterapkan untuk delits yaitu delik yang diancam pidana penjara antara
2 bulan sampai 5 tahun.

Pasal 43.2 PC, membolehkan hakim melarang terdakwa melakukan pekerjaan tertentu atau aktivitas
lain untuk masa paling lama 5 tahun, apabila terdakwa telah menggunakan pekerjaan atau aktivitas
itu untuk mempersiapkan atau untuk melakukan tindak pidana. Ketentuan ini berlaku untuk delik yang
sama seperti Pasal 43.1 di atas.

Pasal 43.3 PC, membolehkan hakim (untuk delik-delik seperti Pasal 43.1) menjatuhkan satu atau lebih
sanksi-sanksi berikut ini sebagai pidana pokok:[14]

a. Pencabutan SIM untuk paling lama 5 tahun.


b. Larangan mengendarai kendaraan tertentu untuk paling lama 5 tahun.
c. Penyitaan (confiscation) satu atau lebih kendaraan milik terdakwa.
d. Larangan memiliki peluru untuk paling lama 5 tahun.
e. Pencabutan izin berburu dan larangan mengajukan permohonan izin baru untuk
paling lama 5 tahun.
f. Penyitaan satu atau lebih peluru yang dimiliki terdakwa.

Pasal 43.4, memungkinkan penyitaan khusus (special confiscation) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 PC diberikan sebagai pidana pokok, sekalipun UU yang merumuskan delik itu tidak
menetapkan pidana semacam itu. ketentuan ini juga berlaku untuk delik sebagaimana disebut dalam
Pasal 43.1, tetapi tidak dapat diterapkan untuk delik pers. Objek yang dapat disita berdasarkan Pasal
11 adalah barang-barang yang diperoleh langsung dari kejahatan atau keuntungan yang diperoleh dari
kejahatan itu dan barang-barang yang telah digunakan untuk merencanakan atau melakukan delik
itu.[15]

Pasal 43.1-43.4 PC, mencakup wilayah yang sangat luas. Walaupun memori penjelasan menyatakan,
bahwa sanksi-sanksi ini merupakan alternative untuk pidana penjara pendek, namun hal ini tidak
ditegaskan dalam text KUHP. Peraturan UU menetapkan, bahwa delik-delik yang dicakup oleh sanksi-
sanksi ini adalah delits, yaitu yang diancam pidana penjara antara 2 bulan dan 5 tahun.

Ditegaskan dalam 43.5 PC, bahwa hakim jangan mengenakan pidana penjara atau denda
berdampingan dengan salah satu sanksi yang ada dalam Pasal 43.1-43.4. akan tetapi ia boleh
mengenakan sanksi alternative tertentu secara kumulatif (Pasal 43.3 PC). Terlepas dari hal ini,
peraturan memberikan kebebasan penuh kepada hakim untuk memilih sanksi. Tidak diperlukan
adanya hubungan antara sifat delik dengan jenis sanksi. Dengan demikian, pencurian biasa misalnya
dapat dipidana dengan pencabutan SIM.[16]

Apabila terpidana tidak mengikuti/mematuhi larangan atau kewajiban yang diterapkan kepadanya, ia
dapat dipidana dengan pidana penjara antara 2 bulan sampai 2 tahun atau antara 1-5 tahun apabila
ia adalah recidivist. Juga mereka yang menghalangi pelaksanaan sanksi dalam Pasal 43.1-43.4,
misalnya dengan menolak menyerahkan SIM, menyembunyikan barang yang disita, dapat dipidana
tidak bergantung pada delik aslinya, tetapi bergantung pada tingkat ketidakrelaan/ketidakpatuhan
pada kewajiban atau larangan yang diberikan sebagai sanksi alternatif itu. jadi,
ketidakrelaan/ketidakpatuhan merupakan delik yang independent.

UU No. 75-624 tanggal 11 Juli itu juga memasukkan beberapa perubahan fundamental ke dalam KUHP
(CCP) yang juga dimaksudkan untuk mengurangi pidana penjara pendek, yaitu pernyataan bersalah
tanpa menjatuhkan pidana (the declaration of quilt without imposing a penalty) dan
penundaan/penangguhan pemidanaan (the postponement of sentencing). Lihat Pasal 469 CCP. Akan
tetapi dalam prakteknya, ketentuan baru ini sangat sedikit mempunyai pengaruh (jarang diterapkan).

3. Yunani
Di Yunani , Konstitusi dengan tegas menetapkan independensi sistem peradilan. Namun pemilihan
ketua majelis hakim ketiga Mahkamah Agung diatur oleh Pemerintah (Kementerian Kehakiman).
Manipulasi sistem peradilan dan keputusannya oleh masing-masing pemerintah, merupakan
fenomena umum yang jadi melanggar kemandirian sistem.

A. Peradilan sipil

Kasus perdata diadili:

• Pada tingkat pertama, oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tingkat Pertama, sesuai
dengan perkiraan nilai masalah yang disengketakan di hukum.
• Pada tingkat kedua, oleh Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Banding, sesuai dengan
perkiraan nilai masalah yang disengketakan di hukum.

Oleh Pengadilan Kasasi, ketika surat perintah certiorari diajukan terhadap keputusan akhir
Pengadilan Banding. Keputusan Pengadilan Kasasi tidak dapat dibatalkan. Jika Pengadilan Kasasi
menyimpulkan bahwa pengadilan yang lebih rendah melanggar hukum atau prinsip-prinsip prosedur,
maka pengadilan tersebut dapat memerintahkan persidangan ulang kasus tersebut oleh pengadilan
yang lebih rendah.

B. Peradilan pidana

Kejahatan dinilai sebagai berikut:

Felonies dinilai, pada tingkat pertama, oleh Pengadilan Tingkat Pertama "campuran" dan,
pada tingkat kedua, oleh Pengadilan Banding "campuran". Istilah "campuran" mengacu pada
partisipasi hakim dan juri profesional (hampir tidak ada perbedaan dari hakim awam dalam hal ini).
Dalam pengadilan "campuran" ini empat juri berpartisipasi bersama dengan tiga hakim profesional,
masing-masing tingkat pertama dan tingkat banding. Ketentuan konstitusional memungkinkan
pengecualian kejahatan tertentu dari yurisdiksi pengadilan "campuran". Kejahatan-kejahatan ini
diadili, pada tingkat pertama oleh Pengadilan Tinggi yang beranggotakan tiga orang dan, pada tingkat
kedua, oleh Pengadilan Banding yang beranggotakan lima orang, tanpa partisipasi juri mana pun.
Misalnya, anggota kelompok teroris Organisasi Revolusioner 17 November diadili menurut prosedur
ini, karena kejahatan terorisme atau kejahatan terorganisir termasuk dalam kompetensi Pengadilan
Tinggi dan bukan pengadilan "campuran".

Pengadilan Kasasi memeriksa surat perintah certiorari terhadap keputusan akhir Pengadilan
Banding ("campuran" atau tidak) dan dapat memerintahkan sidang ulang kasus oleh pengadilan yang
lebih rendah, jika menyimpulkan bahwa pengadilan yang lebih rendah melanggar hukum atau prinsip
prosedur.
Pelanggaran ringan , pada tingkat pertama, oleh Pengadilan Pelanggaran ringan dan, pada
tingkat kedua, oleh Pengadilan Banding. Surat perintah certiorari terhadap keputusan akhir
Pengadilan Banding dimungkinkan.

Pelanggaran diadili oleh Pengadilan Magistrate.

C. Peradilan Administratif

Kontrol yudisial atas tindakan administratif berjalan baik atau tidak. Tindakan administratif dari
kasus pertama diajukan banding dengan upaya hukum dari tuntutan atau gugatan dan mereka
termasuk dalam yurisdiksi Pengadilan Administratif (Tingkat Pertama dan Banding), sementara semua
tindakan administratif lainnya diajukan banding dengan pemulihan hukum dari surat perintah
pembatalan dan mereka milik yurisdiksi baik dari Dewan Negara atau dari Pengadilan Administratif
Banding.

Pengendalian perbuatan tersebut berkaitan dengan masalah legalitas, yaitu apakah dikeluarkan
sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Pada tingkat kedua dan terakhir, Dewan Negara selalu
kompeten untuk menilai tindakan ini. Keputusan dari semua pengadilan administratif dapat naik
banding dengan surat perintah certiorari , yang dinilai oleh Dewan Negara.

Chamber of Accounts juga merupakan mahkamah administrasi tertinggi, yang yurisdiksinya


terbatas pada area tertentu (misalnya, perselisihan antara negara dan pegawai negeri mengenai
pensiun mereka). Keputusannya tidak dapat dibatalkan dan di luar kendali Dewan Negara.

Anda mungkin juga menyukai