Anda di halaman 1dari 37

PERKEMBANGAN KURIKULUM DAN

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN


IPS (ILMU PENGETAHUAN SOSIAL)
DI INDONESIA
Posted on Juni 12, 2012 by dianascyber
Standar

1. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah

Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupan sosial
masyarakat yang diseleksi menggunakan konsep-konsep ilmu sosial yang digunakan untuk
kepentingan pembelajaran. Keadaan sosial masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu
ke waktu, dinamisasi kemajuan diberbagai bidang kehidupan harus dapat ditangkap dan
diperhatikan oleh lembaga pendidikan yang kemudian menjadi bahan materi pembelajaran,
sehingga bahan pelajaran secara formal dapat dituangkan dalam bentuk kurikulum.

Kurikulum IPS yang dikembangkan hendaknya memiliki landasan filosofis yang jelas, landasan
filosofis yang digunakan haruslah  melihat kondisi nyata yang terjadi di masyarakat. Kondisi
masyarakat yang terjadi saat ini adalah  masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan-
perubahan yang disebabkan adanya interaksi sosial baik antar individu nmaupum kelompok.
Dalam mencermati perubahan tersebut, maka kurikulum harus memiliki landasan filosofis
humanistik, dimana Ilmu Pengetahuan Sosial  menjunjung tinggi sifat-sifat dasar kemanusiaan.

Perkembangan istilah atau nama Social Studies pertama kali dimasukan secara resmi  kedalam
kurikulum sekolah  Rugby di Inggris  pada tahun 1827, Dr. Thomas Arnold  direktur  sekolah 
tersebut  adalah  orang  pertama yang  berjasa  memasukan Social Studies kedalam kurikulum
sekolah. Latar belakang dimasukannya social

studies ke dalam kurikulum sekolah berangkat dari kondisi masyarakat Inggris yang pada waktu
itu tengah mengalami kekacauan akibat Revolusi Industri yang melanda Negara itu.
(http://massofa.wordpress.com/2010/12/09/latar-belakang-lahirnya-ips-di-indonesia/(27
September 2011) diakses jam 20.28 wita.)

Berbeda dengan fenomena di Amerika Serikat  pasca perang saudara antara utara dan selatan
atau dikenal perang budak (1861 – 1865) dimana dihapuskannya sistem perbudakan dan dan
tidak ada lagi rasialisme atau perbedaan warna kulit, orang kulit putih dengan orang negro dan
Indian bersatu sebagai penduduk baru di  Amerika Serikat, serta menjadikan  pluralistik – multi
etnik, sehingga semakin sulit pada awalnya membangun kebangsaan di Amerika Serikat dalam
kondisi multi etnik untuk menjadi suatu bangsa.

Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan mencari pola baru untuk menjadikan sistem
pendidikan yang menghormati keberadaan multi – etnis di Amerika Serikat, salah satu cara yang
ditempuh adalah memasukan social studies  kedalam kurikulum sekolah di Negara bagian
Wisconsin pada tahun 1892. Pada awal abad ke – 20 sebuah Komite Nasional dari The National
Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukan ke
dalam kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat, adapun komponen
formula awal social studies ketika awal kelahirannya di Amerika Serikat terdiri dari mata
pelajaran sejarah, geografi dan civics (kewarganegaraan).

Social studies dalam istilah Indonesia disebut Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dalam
proses eksistensinya terdapat dalam “The National Herbart Society papers of 1896 – 1897”
menegaskan, bahwa social studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use
(upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik / mendidik). Dengan hadirnya
social studies  masuk pada kurikulum di sekolah, ada juga di beberapa negara bagian di Amerika
Serikat dan di Inggris untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat
sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen “Statement of the Chairman
of Commite on Social Studies” yang dikeluarkan oleh Comittee on Social Studies (CSS) tahun
1913.

Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization  of
social sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam
pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat
manusia). Upaya untuk melestarikan program social studies dalam kurikulum sekolah, maka
beberapa pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat
sekolah mengembangkan social studies bisa diaplikasikan di tingkat sekolah dengan membentuk
organisasi profesi social studies, akhirnya pada tahun 1921 berdirilah “National Council for the
Social Studies “ atau disingkat ( NCSS ),  sebuah organisasi professional yang secara khusus
membina dan mengembangkan social  studies  pada tingkat pendidikan dasar dan menengah,
serta kaitannya dengan  disiplin ilmu – ilmu  sosial  dan disiplin ilmu pendidikan sebagai
program pendidikan syntectic. (http ://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalah-
pendidikan-ips.html (27 Sept 2011) diakses jam 20.44.wita.)

1. Rumusan Masalah dan Tujuan Penulisan

Dengan latar belakang perkembangan kehadiran Social Studies diatas dan memandang perlunya
pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) bagi warga negara sebagai apresiasi dari Social
studies terus bertambah ke berbagai negara, terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan berbagai
Negara Eropa, dan kemudian berkembang ke negara Australia dan Asia termasuk Indonesia,
maka muncul pertanyaan mendasar dalam tulisan ini diantaranya : (1) Bagaimana perkembangan
Social Studies atau Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dalam kurikulum pendidikan  di
Indonesia? dan  (2) Landasan filosofis apa saja yang dipakai di Indonesia sebagai konsep dasar
pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dapat dijadikan konsep  kurikulum di tingkat jenjang
persekolahan di Indonesia ?. Kedua permasalahan tersebut menjadi dasar permasalahan dalam
tulisan ini.

Tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan IPS MIPS
505 Progam Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin yang dibina oleh Bapak Dr. Herry Porda Nugroho Putro, M.pd. Selain
itu tujuan penulisan ini adalah untuk mengenal, memahami dan mendalami hakekat konsep,
pengertian, dasar filosofis dan proses belajar – mengajar IPS, sehingga akan bermanfaat ketika
diaplikasikan  bertugas di lembaga pendidikan masing-masing.

1. Pembatasan Masalah Pembahasan

Tulisan ini lebih berorientasi pada pembahasan masalah perkembangan Social Studies di negara
asalnya hingga diadopsi ke Indonesia dan memaparkan landasan Filosofis Pendidikan IPS,
dimana kurikulum yang dikembangkan pemerintah Indonesia akan diaplikasikan pada semua
jenjang dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan lanjutan di tingkat atas. Di
luar peermasalahan tersebut diatas tidaklah menjadi bahasan utama, tetapi demi perbaikan
penulisan tidak menutup kontribusi, saran – saran dan pendapat, serta kritik konstruktif, agar
terdapat persepsi yang sama dalam memahami konsep perkembangan dan landasan filosofis
Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)  khususnya di Indonesia.

1. PERKEMBANGAN KURIKULUM  DAN PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA


1. Perkembangan Social Studies Hingga Pendidikan IPS di Indonesia

Setelah berdirinya National Council for the Social Studies (NCSS) pada tahun 1921 hanya
bertugas sebagai organisasi yang idealnya memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan
kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS (Comitte on Social Studies ) tahun 1913
sebelumnya. Barulah pada tahun 1935 lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS yang
menegaskan “ Social Sciences as the core of the curriculum “ atau kurikulum IPS bersumber dari
ilmu-ilmu sosial.

Perkembangan selanjutnya pengertian social studies yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah
mengenai definisi social studies yang dikemukakan oleh Edgar Wesley (1937) yang
menyatakan “the social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”.
Definisi tersebut menjadi popular saat itu yang kemudian dijadikan definisi resmi mengenai
social studies oleh “the united states of education’s standard terminology for curriculum and
instruction” dengan demikian NCSS perlu membuat pekerjaan rumah tentang definisi resmi pula
yang menghantarkan Social Studies sebagai kajian yang terintegrasi dan mencakup disiplin ilmu
yang semakin luas, khususnya dalam bidang pendidikan dikemudian hari.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia setelah mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan, misalnya pada tahun 1947 kurikulum pada saat
itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Kurikulum yang ada saat itu masih dipengaruhi sistem
pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan
sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan
kolonial Belanda. Keadaan kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, dapat dikatakan bahwa pendidikan di awal
kemerdekaan haruslah membangun semangat kebangsaan dan semangat patriotisme.

Konsep pendidikan yang essensial saat itu untuk SR (Sekolah Rakyat) adalah membaca, menulis
dan berhitung. Mata pelajaran ilmu bumi diajarkan pada kelas 3, sejarah mulai diajarkan pada
kelas 4, ilmu alam baru diajarkan pada kelas 5 dan kelas 6. Mata pelajaran di SMP seperti
bahasa, ilmu pasti,pengetahuan alam, pengetahuan sosial, dan ekonomi. Siswa yang naik kelas
III dikelompokan, kelas III A (kelompok sosial dan ekonomi) dan kelas III B (Kelompok Ilmu
Pasti dan Pengetahuan Alam).

Tahun 1952 kurikulum di Indonesia diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952, kurikulum
ini penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya dan sudah mulai mengarah  pada suatu sistem
pendidikan nasional. Kurikulum 1952 diarahkan pada setiap rencana pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Tahun 1964 pemerintah Orde Lama kembali menyempurnakan kurikulum  pendidikan di


Indonesia. Kurikulum tersebut dinamakan Rentjana Pendidikan 1964, pokok – pokok pikiran
dalam kurikulum tersebut bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapatkan
pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang Sekolah Dasar, sehingga pembelajaran
dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional,
artistik dan jasmani.

Kurikulum tahun 1968, merupakan kurikulum pembaharuan dari kurikulum tahun 1964, yakni
perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan
dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kurikulum
1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati,
kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti,
dan keyakinan beragama.

Seiring dengan perkembangan masuknya istilah Social Studies ke dalam acuan kurikulum
pendidikan di Indonesia di awal tahun 1970 –an telah ditawarkan konsep istilah tersebut. Pada
pertemuan ilimiah dalam sebuah seminar Nasional Indonesia tentang Civic Education tahun
1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah, dalam paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3
(tiga) istilah untuk dimasukan dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah
Pengetahuan sosial; kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga, Ilmu Pengetahuan Sosial.

A.1. Aplikasi Pendidikan IPS dalam Kurikulum 1975 di Indonesia

Kurikulum 1975 adalah kurikulum pertama di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan proses
dan prosedur yang didasarkan pada teori pengembangan kurikulum. Meskipun demikian
kurikulum 1975 masih dikembangkan berdasarkan pemikiran orientasi filosofis pendidikan
keilmuan yang dominan dan tidak berorientasi kepada pembangunan, walaupun demikian
tidaklah berarti kurikulum 1975 telah melepaskan diri dari npengaruh politik . (S. Hamid Hasan :
2006)  dimana situasi pemerintahan  saat itu awal pemerintahan Orde Baru.
Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji coba pertama konsep IPS masuk
dipersekolahan Indonesia diterapkan pada kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan
tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi
saja, sehingga dilakukan reduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu sosial serumpun atau sejenis digabung ke
dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam
kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.

Upaya memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia disajikan mata pelajaran dan bidang studi atau jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum tahun 1975 merupakan perwujudan dari
perubahan sosial pada pelaksanaan UUD 1945 secara mnurni dan konsekuen, bertujuan bahwa
pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama.

Konsep Pendidikan IPS yang menginspirasi kurikulum 1975 yang menampilkan 4 (empat) profil,
pertama; Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menggantikan Kewarganegaraan sebagai bentuk
pendidikan IPS khusus; Kedua, Pendidikan IPS terpadu untuk SD; Ketiga,  Pendidikan IPS
terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep Payung sejarah, geografi dan
ekonomi koperasi; dan keempat ,  Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran
sejarah, ekonomi dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS
(ekonomi dan sejarah) untuk SMEA / SMK.

A.2. Aplikasi Pendidikan IPS kurulum 1984 di Indonesia

Konsep pendidikan IPS dalam pelaksanaan kurikulum 1984 yang secara konseptual merupakan
penyempurnaan  dari kurikulum 1975, khususnya dalam aktualisasi materi, masuknya konsep P-
4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai materi pokok PMP (Pendidikan
Moral Pancasila). Pada kurikulum 1984, PPkn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang
wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan
dalam (1) Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I s.d. VI; (2) Pendidikan IPS terkonfederasi di
SLTP yang mencakup geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; (3) Pendidikan IPS terpisah di
SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan
Geografi di kelas I dan II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.

A.3. Definisi Social Studies dari NCSS   tahun 1993

Sejalan dengan perkembangan kurikulum di Indonesia dan perkembangan zaman di negara maju
khususnya di Amerika Serikat dan negara – Negara  Eropa, serta berkembangnya program
pendidikan dan pengajaran Social Studies (pendidikan IPS) yang masuk dalam kurikulum
pendidikan nasional di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia yang sedang
menjalankan kurikulum 1984, maka pada tahun 1993 National Council for the Social Studies
(NCSS) mengeluarkan definisi resmi yang membawa  social studies sebagai kajian yang
terintegrasi dan  mencakup ilmu yang semakin luas.
NCSS (National Council for the Social Studies) pada tahun 1993 merumuskan definisi Social
Studies sebagai berikut :

“Social  studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civis
competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history,
law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social
studies is to help young people make informed and reasoned decisions for the public good as
citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.”

(http://www.socialstudies.org/standards/execsummary.(30 September 2011) diakses jam 10.27


wita.). atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia definisi tersebut diatas  adalah sebagai berikut
:

“Studi sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk
mempromosikan  kompetensi sipil. Dalam program sekolah, studi sosial menyediakan
terkoordinasi, studi sistematis menggambarkan atas disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi,
ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama dan sosiologi, serta
konten yang sesuai dari humaniora, matematika , dan ilmu alam. Tujuan utama dari ilmu sosial
adalah untuk membantu kaum muda membuat informasi dan keputusan beralasan untuk
kepentingan publik sebagai warga masyarakat, budaya beragam demokrasi di dunia yang saling
bergantung.”

NCSS menekankan pentingnya pendidikan bagi siswa yang berkomitmen untuk ide-ide dan
nilai-nilai demokrasi, siswa akan terlibat dalam proses intelektual yang aktif pada kehidupan di
masyarakat. Siswa sebagai warga masyarakat untuk menggunakan kemampuan pengetahuan
mereka dalam memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. NCSS memaparkan kurikulum
standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja yang dimusyawarahkan secara
professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum nasional pada tahun 1994. Sejak
saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai negara sebagai kerangka kerja bagi guru
dan sekolah – sekolah untuk menyelaraskan kurikulum dan pembangunan dalam bidang
pendidikan.

A.4. Perkembangan kurikulum sejak 1994, 2004 dan 2006 di Indonesia

Para pakar pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial di Indonesia mulai serius terhadap pendidikan
IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah, sehingga upaya  memasukan ilmu-ilmu
sosial ke dalam kurikulum sekolah agar lebih jelas lagi. Mengingat tidak semua disiplin ilmu-
ilmu sosial bisa masuk ke dalam kurikulum sekolah dan bisa diajarkan di tingkat sekolah, maka
penyajian ilmu sosial disatukan atau secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum
Pendidikan IPS (social studies).

Program pendidikan dasar dan menengah (SD – SMP) penyajiannya terpadu penuh, untuk
pembelajaran IPS ditingkat SMA/ MA dan SMEA  penyajiannya secara terpisah antar cabang
ilmu-ilmu sosial, tetapi selalu memperhatikan keterhubungannya antara ilmu sosial yang satu
dengan yang lainnya, terutama jurusan IPS di SMA atau SMEA. Sementara pada tingkat
perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau fakultas, seperti
Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fisip. Namun untuk Pendidikan IPS di FKIP / IKIP/STIKIP
yang mempersiapkan calon guru, maka akan diberikan secara interdisipliner dan juga disipliner.
Interdisipliner dimaksudkan adalah karena ilmu yang diperoleh calon guru tersebut nantinya
untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipiliner adalah ditujukan
kepada calon guru tersebut sebagai guru nantinya yang menguasai ilmu yang diajarkan.

Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994 -1995 merupakan
pembenahan atas pelaksanaaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan
dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan seni. Demikian juga kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi,
dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan
nampak saat diadakan serangkaian Rapat Kerja Nasional Depdikbud tahun 1986 sampai dengan
1989.

Pembenahan kurikulum ini didorong oleh amanat GBHN 1988 intinya antara lain a) perlunya
diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan; (b)
perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan
tahun dan (c) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pembaharuan kurikulum Pendidikan IPS Tahun 2004 berbasis kompetensi atau dikenal
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki pelaksanaan program Pendidikan IPS
yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh pengembangan program Pendidikan IPS yang
bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan
IPS bertujuan meningkatkan kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang
dapat digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pendidikan IPS menurut konsep Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi (KBK) hakekatnya
Pendidikan IPS  sebagai pendidikan kewarganegaraan, pendidikan ilmu-ilmu sosial , pendidikan
inquiri reflektif,  pembelajaran terpadu, dan pendidikan partisipasi sosial. Dalam
pelaksanaannya, pembelajarannya, pengembangan sumber dan materinya, serta penilainnya
haruslah berbasis pada pendekatan konstruktivisme yang memusatkan siswa sebagai subjek yang
membangun dan mengembangkan pengetahuan dan kompetensinya secara mandiri.

Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)  mengacu pada standar nasional pendidikan; standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan. Salah satu dari delapan standar nasional pendidikan tersebut adalah Standar Isi (SI)
merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping
Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) terdapat beberapa hal yang patut dicermati yaitu :

1.  Keragaman Pelaksanaan

Pelaksanaan KTSP di sekolah-sekolah terdapat keragaman, khususnya keragaman dalam


pelaksanaan di setiap jenjang. Ada sekolah yang melaksanakan sekaligus semua jenjang yaitu di
SD langsung dilaksanakan dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 ; di SMP dari kelas VII sampai
dengan kelas IX; dan di SMA dari kelas X sampai dengan kelas XII. Selain itu ada pula sekolah-
sekolah yang melaksanakan secara berjenjang perkelas, misalnya di SMP pada tahun 2006
dilaksanakan hanya di kelas VII dan di kelas VIII pada tahun 2007 sedangkan di kelas IX baru
akan dilaksanakan pada tahun 2008.

Begitu pula halnya di SMA, pelaksanaan di kelas X pada tahun 2006, kelas XI tahun 2007, dan
kelas XII baru tahun 2008. Keragaman pelaksanaan tersebut memiliki berbagai alasan. Sekolah
yang melaksanakan KTSP secara keseluruhan pada semua jenjang beralasan agar kurikulum
yang dilaksanakan di sekolah tersebut seragam dan merasa siap untuk melaksanakannya.
Sedangkan sekolah yang melaksanakan secara berjenjang dengan alasan mengkuti peraturan
sebagaimana diatur dalam Permendiknas no. 23 yang mengatakan pelaksanaan KTSP dilakukan
secara berjenjang dan membolehkan bagi sekolah yang siap untuk melaksanakan di seluruh
jenjang. Alasan lainnya adalah ketidaksiapan sekolah-sekolah tersebut untuk melaksanakan
KTSP secara menyeluruh pada semua jenjang.

b. Tugas guru mengajar

Guru yang mengajar IPS baik di SD, SMP dan SMA mengikuti pada   pengorganisasian materi
kurikulum IPS. Pengorganisasian kurikulum IPS di SD lebih bersifat terpadu atau integrasi, jadi
pelaksanaan pengajaran IPS di SD dipegang oleh satu orang guru. Perubahan pengorganisasian
materi IPS pada KTSP ini adalah di SMP. IPS di SMP diorganisasikan menjadi IPS Terpadu,
sehingga berimplikasi pada tugas guru yang mengajar. Dalam hal ini bagaimana guru IPS di
SMP mengajar terjadi keragaman. Ada sekolah yang mengajarkan IPS di SMP dipegang oleh
satu orang.

Konsekuensinya, guru tersebut harus`mengajar sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.


Pelaksanaan seperti itu beralasan bahwa mata pelajaran IPS merupakan mata pelajaran yang satu,
bukan mata pelajaran yang dipisah-pisahkan walaupun materinya bersumber dari sejarah,
ekonomi, geografi dan sosiologi. Selain itu ada pula SMP yang mengajarkan IPS, dipegang oleh
beberapa orang guru sesuai dengan disiplinnya, yaitu sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.
Jadi pelaksanaan pengajaran IPS dibagi ke dalam empat bidang studi.

Alasan pelaksanaan yang demikian pertama ; untuk pemerataan guru mata pelajaran (sejarah,
ekonomi, geografi dan sosiologi), kedua; pentingnya profesionalisme penguasaan materi oleh
guru. Mata pelajaran apabila diajarkan oleh guru yang bukan disiplinnya akan menjadi kurang
berkualitas, misalnya sejarah diajarkan oleh guru yang berlatar belakang pendidikan geografi
atau sebaliknya. Sedangkan pengajaran IPS di SMA dalam implementasi penugasan guru tidak
terjadi perubahan sebagaimana halnya di SMP, karena pengorganisasian materi IPS di SMA
Kajian Kebijakan Kurikulum MP IPS – 2007  sudah terpisah-pisah secara disiplin. Jadi ada guru
yang secara khusus`mengajar sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.

1. LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN IPS DALAM KURIKULUM

PENDIDIKAN DI INDONESIA

Bangsa Indonesia  dilihat dari latar belakang etnik atau kesukuan merupakan sebaran suku-suku
bangsa yang mendiami wilayah Indonesia dengan disatukan sebagai bangsa yang mempunyai
latar belakang keaneka ragaman bahasa daerah, budaya dan kearifan lokal yang dimiliki masing-
masing etnik. Secara keseluruhan bangsa Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang
majemuk atau heterogenitas multi etnik yang merupakan bagaian dari masyarakat yang
pluralistik.

Dengan kemajemukan masyarakat tersebut pendidikan dan pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) memiliki peran yang strategis baik ditinjau dari segi akademik maupun kepentingan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilihat dari sisi akademik pendidikan dan pengajaran IPS
dapat membekali anak didik atau siswa pada pemahaman konsep-konsep dasar ilmu –ilmu sosial
sebagai basis dari pendidikan dan pengajaran IPS di jenjang lembaga pendidikan atau
persekolahan.

Melalui pendidikan dan pengajaran IPS siswa diharapkan memiliki bakat dan minat terhadap
ilmu-ilmu sosial dan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang riil ketika mereka tamat pada
jenjang persekolahan tertentu dan dapat hidup berinteraksi dalam lingkungan masyarakat sebagai
insan pembangunan bangsa yang memiliki moral, pekerti yang baik dan mandiri. Keberehasilan
pendidikan dan pengajaran IPS akan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap
pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan dan pengajaran IPS di Indonesia sudah mendapatkan landasan hukum yang kuat
sebagaimana tertuang pada Bab III Pasal 2  UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang menegaskan bahwa : ” Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermanfaat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab”.

Dengan dasar tersebut diatas pada kurikulum pendidikan dan pengajaran dibawah naungan
Pendidikan Nasional terdapat kebijakan kurikulum mata pelajaran IPS , misalnya Permendiknas
Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi satuan Pendidikan dasar dan Menengah, sedangkan
untuk lembaga pendidikan tinggi melalui surat Dirjen Dikti Nomor 30/DIKTI/KEP/2003, telah
ditetapkan rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah berkehidupan bermasyarakat di
Pergurtuan Tinggi.
Untuk Pendidikan dan Pengajaran IPS pada satuan Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/Mts)
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, termasuk didalamnya kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pengajaran pada satuan pendidikan IPS diberikan
secara terpadu. Pada tingkat SMA/MA pelajaran IPS bermuatan akademis dan masuk pada
kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

1. Kajian Teoritis Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan IPS

Pengembangan suatu kurikulum haruslah memiliki landasan filosofis, dimaksudkan agar


memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam implimentasinya. Filsafat pendidikan mengandung
suatu nilai-nilai atau cita-cita masyarakat, berdasarkan cita-cita tersebut terdapat sebuah
landasan, yang tidak lain mau dibawa kemana arah pendidikan anak didik tersebut. Dengan kata
lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat.

Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsif – prinsif 
pembelajaran, serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan
dipengaruhi oleh dua hal pokok (1) Cita-cita masyarakat dan (2) kebutuhan peserta didik yang
hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai filsafat Pendidikan harus dilaksanakan dalam prilaku
kehidupan sehari-hari. Dari sekian banyak alternatif landasan utama dalam mengembangkan
kurikulum pendidikan salah satunya adalah Landasan Filosofis.

Secara teoritis terdapat beberapa pandangan filosofis kurikulum, Landasan Filosofis


sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum  Mata
Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI
dirincikan sebagai berikut :

(1)   Esensialisme

Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan  bahwa kurikulum harus menekankan pada
penguasaan ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa, pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan
keilmuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah kurikulum disiplin
ilmu. Tujuan dari aliran esensialisme adalah menciptakan intelektualisme. Proses belajar-
mengajar yang dikembangkan adalah siswa harus memiliki kemampuan penguasaan disiplin
ilmu. Penerapan pembelajaran ini lebih banyak berperan pada guru jika dibandingkan dari siswa.

               Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme adalah sekolah yang mampu
mengembangkan intelektualisme siswa. Implementasi mata pelajaran IPS menurut aliran
esensialisme akan lebih menekankan IPS pada aspek kognitif (pengetahuan) jika dibandingkan
dengan aspek afektif (sikap). Siswa belajar IPS akan lebih berorientasi pada pemahaman konsep-
konsep IPS daripada penerapan materi yang ada pada IPS bagi kehidupan sehari-hari.

(2)   Perenialsme

Perenialsme; adalah aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan
adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta
tidak terkait oleh ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan
menjadi sangat ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta
didik sebagai warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan
oleh Negara. Pandangan perenialisme lebih menekankan pada Transfer Budaya (transfer of
culture), seperti dalam Implementasinya pada  kurikulum IPS yang bertujuan pada
pengembangan dan pembangunan jati diri bangsa peserta didik dalam rangka menuju tercapainya
integrasi bangsa. Aliran ini juga dikenal menekankan pada kebenaran yang absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada ruang dan waktu, aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.

(3)   Progresivisme

Progresivisme; adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni kecerdasan
yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang
disajikan oleh guru atau pendidik. Masalah tersebut biasanya ditemukan berdasarkan
pengalaman siswa. Pembelajaran yang harus dikembangkan oleh aliran Progresivisme adalah
memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan
mendorong untuk berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan
keputusan, dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari.
Implementasi IPS dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata
pelajaran IPS mampu membekali  kepada siswa agar dapat memecahkan permasalahan-
permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan,
pengangguran, kebodohan, ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.

(4)   Rekonstruksionisme

               Rekonstruksionisme; adalah aliran ini berpendapat  bahwa sekolah harus diarahkan
kepada pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat ini menghendaki agar
setiap individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan
pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka
melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksipengetahuan
baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran
mampu menemukan (inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan
bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas
siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.

Dalam implementasi pembelajaran IPS , misalnya siswa mempelajari fakta-fakta disekelilingnya,


berdasarkan fakta tersebut siswa menemukan definisi mengenai sesuatu, tanpa harus
didefinisikan terlebih dahulu oleh guru. Misalnya dalam pelajaran ekonomi diperkenalkan
adanya fakta orang-orang yang mekakukan kegiatan jual – beli. Setelah melihat aktivitas orang-
orang tersebut akhirnya siswa menemukan definisi mengenai penjualan, pembelian, penawaran,
pasar, uang dan lainnya dalam aktivitas jual-beli. Dengan demikian guru tidak menjelaskan atau
membuat definisi, tetapi dari fakta-fakta tersebut siswalah yang aktif melihat fakta dan dapat
mendifinisikannya.

1.  Landasan Filosofis Guru IPS dalam Perubahan Zaman


Perkembangan zaman menuntut perubahan sosial di semua lapisan masyarakat, kemajuan
informasi dan teknologi global merambah negara maju dan negara sedang berkembang termasuk
Indonesia saat ini. Untuk mengimbangi perkembangan dan kemajuan tersebut profil guru harus
mampu melakukan seleksi aneka kecenderungan siswa dalam mengarahkan proses belajar-
mengajar pendidikan IPS. Guru IPS harus pandai memanfaatkan sumber-sumber informasi dari
media massa modern dan peralatan teknologi pengajaran, tetapi tetap dalam koridor kurikulum
yang dipakai saat ini guru senantiasa mengikuti perkembangan dan perubahan – perubahan yang
terjadi.

Secara sadar atau tidak guru IPS ikut aktif dalam tatanan kerja masa transisi yang sedang populer
saat ini dalam kemajuan belajar melalui Informasi  Teknologi, paling tidak guru IPS harus
dipertautkan kembali dalam keterlibatan filosofis atau filsafat yang berkembang khususnya
dalam bidang pendidikan. Ada dua aliran filsafat ekstreminitas ; pertama sikap reaksioner ;
adalah aliran yang paling hati-hati dan takut kepada pembaharuan; dan kedua sikap
Radikal ;adalah sikap paling keranjingan  atau mendukung pembaharuan. Dengan dua sikap
ekstreminitas diatas, maka guru IPS dalam pendekatan pribadi dapat menempati salah satu empat
titik utama  yang terletak diantara dua ekstreminitas tersebut.

N. Daldjoeni dalam buku beliau “Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial” (1992 : 37 – 38)
merincikan Empat Titik Utama secara filosofis bagi kinerja guru IPS dalam melakukan seleksi
diantara dua ekstreminitas perkembangan dan perubahan zaman tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Perenialisme; itu berdasarkan keyakinan adanya kebenaran yang sifatnya abadi dan mutlak.
Sehubungan dengan itu sekolah bertugas membantu para siswa menemukan kebenaran-
kebanaran itu. Faham ini berakar pada filsafat Thomas Aquino.

(2) Esensialisme; berisi faham bahwa ada hakekat-hakekat minimum tertentu yang harus
dipertahankan sekolah. Hakekat tersebut dapat berubah-ubah dalam rentangan zaman, tetapi
untuk masa tertentu hakekat itu merupakan endapan dari pengetahuan dan kebijaksanaan yang
berasal dari masa lampau. Inilah yang perelu diterimakan kepada generasi sekarang di sekolah.

(3) Progresivisme; beretalian dengan faham William James dan John Dewey tentang faham
‘pragmatisme’, dimana penyelelidikan sesuatu harus dilakukan secara ilmiah. Dalam hal itu
sekolah merupakan pendahulunya.

(4) Rekonstruksionisme; meskip ini  mirip  dengan Progresivisme, akan tetapi lebih maju lagi,
karena secara konkrit ini lebih mendekati tujuan yang diidamkan  oleh progresivisme. Karena itu
sekolah diharapkan menjadi pelopor usaha pembaharuan masyarakat. Filsafat ini dari Theodore
Brameld.

1. PENUTUP
1. Kesimpulan

Perkembangan istilah atau nama Social Studies pertama kali dimasukan secara resmi  kedalam  
kurikulum sekolah  Rugby di Inggris  pada tahun 1827,  Dr. Thomas Arnold direktur  sekolah 
tersebut  adalah  orang  pertama yang  berjasa  memasukan Social Studies kedalam kurikulum
sekolah.  Pada awal abad ke – 20 sebuah Komite Nasional dari The National Education
Assciation memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukan ke dalam
kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat.

Tahun 1921 berdirilah “National Council for the Social Studies “ atau disingkat ( NCSS ), 
sebuah organisasi professional yang secara khusus membina dan mengembangkan social 
studies  pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, serta kaitannya dengan  disiplin ilmu –
ilmu  sosial  dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic. Pada pertemuan
ilimiah dalam sebuah seminar Nasional Indonesia tentang Civic Education tahun 1972 di
Tawangmangu Solo Jawa Tengah, dalam paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3 (tiga) istilah
untuk dimasukan dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah Pengetahuan
sosial; kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga , Ilmu Pengetahuan Sosial.

Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji coba pertama konsep IPS masuk
dipersekolahan Indonesia diterapkan pada kurikulum proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan
tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi
saja, sehingga dilakukan reeduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu social serumpun atau sejenis digabung
ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu perberlakuan istilah IPS (social studies) dalam
kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.

Tahun 1993 National Council for the Social Studies (NCSS) mengeluarkan definisi resmi yang
membawa  social studies sebagai kajian yang terintegrasi dan  mencakup ilmu yang semakin
luas.  NCSS memaparkan kurikulum standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja
yang dimusyawarahkan secara professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum
nasional pada tahun 1994. Sejak saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai negara
sebagai kerangka kerja bagi guru dan sekolah – sekolah untuk menyelaraskan kurikulum dan
pembangunan dalam bidang pendidikan.

Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994 -1995 merupakan
pembenahan atas pelaksanaaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan
dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan seni. Pembenahan kurikulum ini didorong oleh amanat GBHN 1988 intinya
antara lain a) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan
jenjang pendidikan; (b) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam
tahun menjadi sembilan tahun dan (c) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur
tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki pelaksanaan program Pendidikan IPS


yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh pengembangan program Pendidikan IPS yang
bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan
IPS bertujuan meningkatkan kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang
dapat digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)  mengacu pada standar nasional pendidikan; standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan. Salah satu dari delapan standar nasional pendidikan tersebut adalah Standar Isi (SI)
merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping
Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Pengembangan suatu kurikulum haruslah memiliki landasan filosofis, dimaksudkan agar


memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam implimentasinya. Filsafat pendidikan mengandung
suatu nilai-nilai atau cita-cita masyarakat, berdasarkan cita-cita tersebut terdapat sebuah
landasan, yang tidak lain mau dibawa kemana arah pendidikan anak didik tersebut. Dengan kata
lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat.

Secara teoritis terdapat beberapa pandangan filosofis kurikulum, Landasan Filosofis


sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum  Mata
Pelajaran IPS ” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Tahun 2007, Depdiknas
RI dirincikan sebagai berikut  berikut : pertama; Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan 
bahwa kurikulum harus menekankan pada penguasaan ilmu Tujuan dari aliran esensialisme
adalah menciptakan intelektualisme Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme
adalah sekolah yang mampu mengembangkan intelektualisme siswa. kedua Perenialsme; adalah
aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan
atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terkait oleh
ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan menjadi sangat
ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta didik sebagai
warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara.

Ketiga;  Progresivisme; adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni
kecerdasan yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah
yang disajikan oleh guru atau pendidik. aliran Progresivisme adalah memperhatikan kebutuhan
individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan mendorong untuk
berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan
memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari. Implementasi
IPS dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran IPS mampu
membekali  kepada siswa agar dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan, pengangguran, kebodohan,
ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.

Keempat; Rekonstruksionisme; adalah aliran ini berpendapat  bahwa sekolah harus diarahkan
kepada pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat ini menghendaki agar
setiap individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan
pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka
melalui pemberdayaan peserta didik  dalam proses pembelajaran guna memproduksipengetahuan
baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran
mampu menemukan (inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan
bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas
siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.

1. Saran – Saran

Guru IPS harus berperan aktif dalam tatanan kerja dimana saat ini sedang  dalam kemajuan
belajar melalui Informasi  Teknologi, paling tidak guru IPS harus dipertautkan kembali dalam
keterlibatan filosofis atau filsafat yang berkembang khususnya dalam bidang pendidikan. Ada
dua aliran filsafat ekstreminitas ; pertama sikap reaksioner ; adalah aliran yang paling hati-hati
dan takut kepada pembaharuan; dan kedua sikap Radikal ;adalah sikap paling keranjingan 
atau mendukung pembaharuan. Dengan dua sikap ekstreminitas diatas, maka guru IPS dalam
pendekatan pribadi dapat menempati salah satu  titik utama  yang terletak diantara dua
ekstreminitas tersebut.

Agar jangan sampai dinilai oleh siswa sebagai guru yang kolot dan ketinggalan, sebaiknya guru
atau pengajar harus banyak belajar seiring dengan kemajuan Informasi dan teknologi, karena
perkembangan informasi Global membuka seluas-luasnya pelajaran di dunia maya, internet dan
media massa, paling tidak guru mampu mengimbangi proses-belajar mengajar dengan
memanfaatkan  peralatan teknologi sebagai alat pengajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Ansori, A., 2011. 52 Kajian Kebijakan Kurikulum Ips. [Online]. Tersedia 


:http://www.slideshare.net/Dwijosusilo/52-kajian-kebijakan-kurikulum-ips [24 September 2011.
Jam 18.04 WITA]

Ardhian, T., 2011. Landasan Kurikulum IPS. [Online]. Tersedia  :


http://trioardhian.blogspot.com/2011/05/landasan-kurikulum-ips.html [30 sept 2011 diakses jam
16.50 wita]

Bambang A. Soekisno, R., 2007. Bagaimanakah Perjalanan Kurikulum Nasional (pada


Pendidikan Dasar dan Menengah) ?. [Online]. Tersedia  :
http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-pada-
pendidikan-dasar-dan-menengah/ [30 Sept 2011 diakses jam 15.03 wita]

Daldjoeni, N., 1992. Dasar –dasar Ilmu Pengetahuan Sosial, Bandung : Penerbit Alumni

Depdiknas, 2007. Naskah Akdemik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Kurikulum 2007. Jakarta: Depdiknas.

Gunawan, 2009. Filosofi Dasar dalam Pengembangan Kurikulum Sekolah. [Online]. Tersedia  :
http://bloggersumut.net/pendidikan/filosofi-dasar-dalam-pengembangan-kurikulum-sekolah [30
Sept 2011 diakses jam 15.10 wita]
Haslinda, 2010. Makalah Pendidikan IPS. [Online]. Tersedia  : (http
://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalah-pendidikan-ips.html [27 Sept 2011 diakses
jam 20.44.wita]

Liewie, 2009. Filosofi Pendidikan. [Online]. Tersedia  : http:


//id.shvoong.com/humanities/philosophy/1947159-filosofi-pendidikan/ [27 September 2011
diakses jam 16.40 Wita]

NCSS, 2000. National Standar for Social Studies Teachers :Executive Summary. [Online].
Tersedia  : http://www.socialstudies.org/standards/execsummary [30 Sept 2011 diakses jam
10.34 wita]

Rijono, 2008. Kurikulum 2004 (KBK) & Kurikulum 2006 (KTSP) Memang Berbeda
Secara Signifikan. [Online]. Tersedia  : http://rijono.wordpress.com/2008/02/28/kurikulum-2004-
kbk-kurikulum-2006-ktsp-memang-berbeda-secara-signifikan/ [30 Sept 2011 diakses jam 14.38
wita]

Sukadi, 2004. Pendidikan IPS yang Powerful dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Laporan
Penelitian.Singaraja: IKIP negeri Singaraja.

PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN


  

 
 PENDAHULUAN
 
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat
cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru
sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta
1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun
jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri.
Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas
pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah
masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan
dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota,
antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan
juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah
disebutkan di atas.
 
Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem
persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni
pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar
sumbernya maupun aplikasinya.
 
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air
kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan
berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk
pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi
kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan
paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini
menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
 
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?
 
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan
masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan
kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan
pendidikan amatlah strategis.
 
John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran
pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b)
mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan
sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi
politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
 
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang
menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma
Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan
kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan,
kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal
sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan
dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses
pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang
dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen,
yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of
return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.
 
Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam
pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga
masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini,
pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan
kemajuan.
 
Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia
pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat
analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme
melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain.
Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier
fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah
direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah
tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan
rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan
serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
 
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid
diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai
instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik
dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas,
yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa
bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari
realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma
pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di
atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang
merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
 
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth,
penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu
menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil
melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal
sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia
ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain,
khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan.
Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji,
berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan
akan dilatih.
 
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan
masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara
terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah
lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid,
manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
 
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa
berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul
Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan
ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya
kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
 
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan
nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya
lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem
persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas
paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.
 
Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan
kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan
secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan
individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan
kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi,
dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai
dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru
melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja
dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
 
Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan
pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan
menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya.
Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan
bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan
politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong
dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai
bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok
masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
 
Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu
mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan
produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering.
Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate
of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
 
Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran
mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat
meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan
formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential
Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti
tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian
yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata
lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.
 
Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik
 
Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan
dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.
 
Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional,
sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan
pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan
pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai
engine of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan
banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia
kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa
meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan
tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan
perubahan ekonomi dan masyarakat.
 
Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan
paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan
teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan
pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu
bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan
bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem
terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.
 
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem
persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses
pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur
yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik
khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa
berinteraksi dengan lingkungan.
 
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan
sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia
pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan
dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya
ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga
ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan
kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan
pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja,
pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.
 
Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki
kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang
senantiasa berubah dengan cepat.
 
Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan
kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang
mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia,
kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu
dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari
masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara
mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.
 
Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan
sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada
awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat
ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern
yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem
pendidikan Jepang.
 
Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang
bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada
persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia
pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab,
desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari
kepercayaan yang mereka peroleh.
 
Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan
merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma
baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa
saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas
bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.
 
Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik
pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila
seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan
profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai
kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini
antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para
guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting
adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan
pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru
merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter atau insinyur.
Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena
hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan
guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi,
sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus
mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.
 
Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari
pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti
pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan
budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan
penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa
tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi.
Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami
globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana
tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang
mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia
yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan.
Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan
menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan
harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level
kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya.
Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah
apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas
yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan
sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk
mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat mempersempit
ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar
guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh
karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan
serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan
pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan
yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus
dilaksanakan.

1.4. Paradigma Baru Pengajaran


 
Selama masih ada kesenjangan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, ada
kesenjangan harapan akan prestasi yang ada, selama itu pula problema pendidikan senantiasa
dibicarakan dan gaung tuntutan pembaharuan pendidikan akan terus bergema. Ada dua pendekatan
yang dapat digunakan membedah problem kependidikan: macrocosmic dan microcosmic. Macrocosmic
merupakan pendekatan yang bersifat makro, di mana proses pendidikan dianalisis dalam kerangka yang
lebih luas. Dalam arti, proses pendidikan harus dianalisis dalam kaitannya dengan proses di bidang lain.
Sebab proses pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan, baik politik, ekonomi, agama, budaya,
dan sebagainya. Oleh karenanya pendekatan ini menekankan bahwa usaha-usaha memecahkan
problema di bidang pendidikan tidak ada artinya kalau tidak dikaitkan dengan perbaikan dan
penyesuaian di bidang lain.
 
Pendekatan microcosmic melihat pendidikan sebagai suatu kesatuan unit yang hidup di mana terdapat
interaksi di dalam dirinya sendiri. interaksi yang terjadi tersebut berupa proses belajar mengajar yang
terdapat di kelas. Pendekatan ini memandang interaksi guru dan murid merupakan faktor pokok dalam
pendidikan. Oleh karenanya, menurut pendekatan mikro ini, perbaikan kualitas pendidikan hanya akan
berhasil kalau ada perbaikan proses belajar mengajar atau perbaikan dalam bidang keguruan.
 
A. Paradigma ilmu keguruan
 
Proses belajar mengajar di mana interaksi murid-guru dilaksanakan secara sadar untuk mencapai tujuan
tertentu yang telah ditargetkan disebut sebagai ilmu keguruan. Ilmu ini bisa diklasifikasi sebagai bagian
dari ilmu kependidikan. Ilmu keguruan memiliki paradigma yang berkaitan dengan pertanyaan apa dan
siapa murid ?, apa dan siapa guru, apa fungsi guru? apa materi pengajaran itu?, ke mana anak akan
dibawa?, apa indikator keberhasilan anak didik? bagaimana mengevaluasi keberhasilan tersebut?
 
Ilmu keguruan yang berkembang dan dipraktekkan di tanah air kita, memandang anak didik sebagai
seorang individu yang belum dewasa, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Jadi, dalam proses
interaksi guru-murid, anak didik merupakan obyek. Sedangkan guru merupakan sumber ilmu dan
keterampilan, dimana kehadirannya di muka kelas merupakan suatu kondisi mutlak yang harus ada agar
proses belajar mengajar berlangsung. Karena guru memegang peran yang penting dalam proses
interaksi tersebut, maka guru harus dihormati dan dipatuhi. Apa yang diajarkan guru sudah tercantum
dalam kurikulum atau sudah dideskripsikan dalam buku yang sudah tersedia. Pengembangan
pembahasan materi sesuai dengan perkembangan lingkungan dan pembahasan teori dalam kaitan
dengan realitas yang ada tidak begitu mendapatkan tekanan. Sebab pembahasan materi pelajaran
terletak pada materi itu sendiri. Sebagai hasil proses belajar mengajar yang penting tidak saja anak didik
memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
anak didik mendapatkan pengetahuan atau keterampilan tersebut.
 
Program-program pembaharuan pendidikan, misalnya pembaharuan kurikulum atau sekolah
pembangunan, yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, merupakan program-
program yang didesain dengan acuan paradigma di atas. Sejauh ini, belum ada program-program
pembaharuan pendidikan yang berhasil dalam memecahkan problem pendidikan. Mengapa?
 
Jawaban atas pertanyaan mangapa ini bisa panjang. Misalnya, dari aspek perencanaan, hampir semua
pembaharuan pendidikan tidak direncanakan secara mantap karena kurang didasarkan pada hasil
penelitian yang solid. Aspek monitoring juga lemah, hal ini ditunjukkkan dengan adanya program
pembaharuan pendidikan yang berlangsung cukup lama tidak pernah dievaluasi tahu-tahu program
tersebut dihentikan. Di samping itu, dan ini yang lebih penting, adalah bahwa kegagalan program-
program pembaharuan pendidikan di tanah air terletak pada paradigmanya sendiri. Artinya paradigma
ilmu keguruan yang diterapkan di tanah air kita ini sudah tidak bisa digunakan untuk memecahkan
problem kependidikan yang kita hadapi. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Thomas
Kuhn mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan ini
dimulai dengan adanya "krisis", di mana kemapanan ilmu dipertanyakan. Yang kemudian diikuti dengan
usaha untuk merubah secara mendasar ilmu pengetahuan tersebut dengan mempertanyakan dan
mengembangkan paradigma baru. Dalam kaitan dengan pembahasan interaksi murid-guru, nampaknya
krisis ilmu keguruan untuk memecahkan problema pendidikan dewasa ini patut dipertanyakan. Oleh
karenanya, sudah saatnya diperlukan adanya keberanian dari para ahli, terutama mereka yang
berkecimpung dalam keguruan, untuk mempertanyakan paradigma lama dan mengembangkan
paradigma baru.
 
B. Paradigma baru pengajaran
 
Angin segar di bidang keguruan telah bertiup dari Cianjur. Di mana di kabupaten ini di sekolah-sekolah
dasar sudah diterapkan metode mengajar cara belajar siswa aktif yang dikenal dengan CBSA, sebagai
kebalikan dari cara mengajar DDCH (duduk, diam, catat, hafal) atau CMGA cara mengajar guru aktif).
Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya CBSA mendasarkan pada paradigma baru. Murid dalam
metode CBSA bukan dianggap obyek pendidikan, melainkan sebagai subyek pendidikan.
Sesungguhnya yang penting bukan saja pengetahuan atau keterampilan akan diperoleh, melainkan juga
bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau keterampilan tersebut. Guru bukan merupakan satu-
satunya sumber pengetahuan. Malahan, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Apa yang
dikemukakan oleh guru masih bersifat "hypothetical". Oleh karena itu murid perlu menguji kebenaran
apa yang dikemukakan oleh guru. Dalam mengajar guru tidak terpancang pada materi yang termaktub
dalam kurikulum, melainkan guru akan aktif untuk mengkaitkan kurikulum dengan lingkungan yang
dihadapi siswa. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
 
Pembaharuan pengajaran yang mendasarkan pada paradigma baru tersebut di Cianjur telah
menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan. Dalam bidang prestasi akademik nilai rata-rata NEM
untuk daerah Cianjur mencapai 33,88 sedangkan untuk daerah Jawa Barat secara keseluruhan rata-rata
NEM hanya mencapai 26,25. Pada aspek perilaku, lulusan SD Cianjur yang sekarang ini sudah di SMP
mempunyai ciri-ciri , antara lain, (a) di kelas mereka aktif baik dalam mengajukan pertanyaan maupun
dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari, (b). mereka ini bisa
bekerjasama dengan membuat kelompok-kelompok belajar, (c). mereka ini bersifat demokratis, berani
menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan
orang lain, dan (d) di samping mampu bekerjasama, mereka memiliki kepercayaan diri yang besar.
 
Melihat kehidupan sekolah dasar di Cianjur betul-betul melihat dunia anak : dinamis, aktif dan gembira.
Sekolah bagi anak bukan merupakan tempat menakutkan ataupun menjemukan. Dari sekolah dasar
semacam inilah akan dapat diharapkan munculnya pribadi yang mandiri dan demokratis. Tetapi
masalahnya, bagaimana pembaharuan di bidang pengajaran dengan CBSA ini dapat disebarluaskan di
seluruh Indonesia? Masalahnya tidaklah gampang, mengingat pelaksanaan CBSA memerlukan
perubahan-perubahan total pada diri siswa maupun guru. Khusus, di fihak guru dituntut untuk memiliki
"Duit" (Dedikasi yang lebih tinggi, Usaha yang lebih keras, lkhlas, dan Tekun). Karena melaksanakan
proses belajar-mengajar dengan CBSA guru harus lebih aktif, khususnya dalam mempersiapkan bahan
pelajaran, merencanakan proses yang akan dilaksanakan, mempersiapkan evaluasi dan tindak lanjut.
Dan itu semua harus dilaksanakan dalam kondisi di mana secara ekonomis tidak akan menghasilkan
apa-apa. Keberhasilan disiminasi proses belajar mengajar dengan pendekatan CBSA di seluruh tanah
air merupakan jembatan menuju revolusi ilmu keguruan.

3.1. Praktek Pendidikan Berwajah Ke-indonesia-an

Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri
seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup.
Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan
keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang
sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi
pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal
tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.
 

Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan
merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu
hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus
sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam
berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.

Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek
pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan
harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.

 
A. Praktek pendidikan modern

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu,
pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan
zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai
praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan
yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial
Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan
dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.

Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk
pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa
mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh
praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak
kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian,
sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan
penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam
mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat
akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan
masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang
pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga
pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang
akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia
memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan.
Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda.

Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut
kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional
yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan
warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan
tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan
jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada
masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme
dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat
terasa terutama

pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).

 
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi
oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan
Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa
praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak
rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan
pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan
ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain
praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan
pembangunan ekonomi.
 

Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan
menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan
nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran
tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses
pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan demikian proses pendidikan cenderung
diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan,
khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan
perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di
kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan
menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.

Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan
menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan
mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat
berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando;
interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan
tindakan yang tidak mengandung emosi.

Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah


menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia,
kualitas pendidikan yang bersifatsentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus
didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.

Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang kepada satuan kerja
yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu
diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan
kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah
kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi
upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan?"

Kalau desentralisasi hanya sekedar mengurangi beban tanggung jawab di puncak kekuasaan dengan
memberikan sebagian tugas-tugas administrasi kepada aparat yang lebih rendah maka desentralisasi
tidak akan banyak artinya sebagai sarana peningkatan kualitas pendidikan. Dewasa ini ketidak-mampuan
sekolah meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan ketidak-mampuan struktur dan sistem
persekolahan. Kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada sistem pendidikan, maka segala upaya
peningkatan kualitas akan sia-sia. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia pendidikan
kita sekarang ini adalah desentralisasi yang mendasar.

Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem
persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua,
iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.

Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan
bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik,
individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan
praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi
massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini.

Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di
Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa
mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka
cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu.
Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa
depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat
tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan
bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun
lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan
sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas
jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya
generasi muda.

Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh
dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah
"kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh
karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan.
Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan
lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan
menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh
seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati,
karena tidak penting.

Dua mental tersebut bisa menjadi faktor yang akan merusak kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
perlu ada upaya untuk mengembalikan kesadaran di kalangan masyarakat khususnya generasi muda;
pentingnya pencapaian tujuan jangka panjang, memahami makna proses yang harus, dilalui dan
menyadari akan pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri sendiri.

B. Pendidikan dan kebudayaan

Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran,
berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai
ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek
pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak
atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan
yang berwajah Indonesia.

Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya
dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai
budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang
"moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk
mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras
sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang
tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan
penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai
beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga
menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana
semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan
menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.

Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan
dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah
yang harus ditinggalkan ?

Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang
bersifat multidisipliner.

C. Penelitian pendidikan yang diperlukan

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang
lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan ilmu pendidikan. Kalau
ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian
pendidikan yang rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an
harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan.
 

Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari
penelitian untuk menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya daerah (setempat) yang memiliki nilai positif
bagi praktek pendidikan. Mtsalnya, nilai "Ratu adil di dukung, ratu zalim disanggah", adalah nilai yang
mendukung keadilan sosial.

Kedua, penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah
(keluarga) dan pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung
anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah
barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak
didik?

Ketiga, penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara.
Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa yang cerdas". Apa maknanya
bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat
industri atau bahkan pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk
menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?

Keempat, penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar
sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki
peran yang penting.

Kelima, penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat
keterkaitan antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang menikmati anggaran pemerintah di bidang
pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati pendidikan?

Keenam, penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa


mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan
merubah kecenderungan tersebut?

Ketujuh, penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan. Misalnya, bagaimana
hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah dan TPI, sekolah dengan surat kabar dan radio?

Akhirnya, perlu dipikirkan adanya penerbitan dari Kelompok Kajian Pendidikan ke-indonesia-an sebagai
media penyebaran pertukaran informasi dengan masyarakat luas.

2.1. Meningkatkan Kualitas Guru

Setiap kali kita berada pada masa akhir tahun ajaran sekolah perhatian masyarakat akan tertuju kepada
betapa rendahnya kualitas pendidikan sekolah menengah yang ditunjukkan dengan rendahnya hasil nilai
ebtanas murni (NEM). Rendahnya skor di atas akan senantiasa dikaitkan dengan rendahnya mutu guru
dan rendahnya kualitas pendidikan guru. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan
sasaran sentral yang dibenahi adalah kualitas guru dan kualitas pendidikan guru.

Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan guru telah dilaksanakan dengan
berbagai bentuk pembaharuan pendidikan, misalnya diintroduksirnya proyek perintis sekolah
pembangunan, pengajaran dengan system modul, pendekatan pengajaran CBSA, tetapi mengapa
sampai detik ini usaha-usaha tersebut belum juga menunjukkan hasilnya?
 

A. Mengabaikan guru

Sudah banyak usaha-usaha yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya
kualitas guru dan pendidikan guru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Namun patut disayangkan usaha-
usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan guru tersebut dilaksanakan berdasarkan
pandangan dari "luar kalangan guru ataupun luar pendidikan guru". Terlalu banyak kebijaksanaan di
bidang pendidikan yang bersifat teknis diambil dengan sama sekali tidak mendengarkan suara guru.
Pengambilan keputusan yang menyangkut guru di atas seakan-akan melecehkan guru sebagai
seseorang yang memiliki "kepribadian".

Sebagai contoh yang masih hangat adalah diintroduksirnya pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif dalam
proses belajar mengajar. Keyakinan para pengambil kebijaksanaan atas kehebatan CBSA telah
mendorong dikeluarkannya penetapan keharusan guru untuk menggunakan pendekatan tersebut dalam
proses belajar mengajar. Barangkali keyakinan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga berdasarkan
hasil-hasil penelitian. Namun sayangnya penetitian-penelitian yang menyangkut proses belajar mengajar
di kelas selama ini lebih banyak bersifat informatif sehingga jauh dari memadai dikarenakan penelitian
tersebut melihat pengajaran pandangan "luar guru".

Pengambil kebijaksanaan di bidang pendidikan tidak pernah menghayati apa dan bagaimana yang
sesungguhnya terjadi di ruang-ruang kelas. Misalnya, dampak jumlah murid yang besar, keberanian
murid untuk menyampaikan gagasan rendah, motivasi lebih terarah untuk belajar guna menghadapi tes
daripada belajar untuk memahami pelajaran yang disampaikan guru, target materi pelajaran yang begitu
berat bagi seorang guru, dan sebagainya. Kalau hal-hal tersebut mendapat perhatian niscaya
kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendekatan pengajaran bisa lain, paling tidak untuk sementara
waktu.
 

Patut disimak misalnya pertanyaan yang diajukan oleh guru-guru: "Mengapa kita tidak dilatih saja
bagaimana cara mengajar dengan ceramah yang paling tepat dan baik, dari pada diharuskan mengajar
dengan CBSA? Seharusnya sesudah bisa melaksanakan pengajaran dengan metode ceramah yang
benar baru kita belajar metode yang lain".

Tersendat-sendatnya pelaksanaan CBSA dewasa ini merupakan bukti bahwa setiap kebijaksanaan di
bidang pendidikan, apalagi pengajaran di kelas, yang meninggalkan pandangan guru sebagai orang yang
paling tahu keadaan kelas cenderung mengalami kegagalan, sebab "pandangan guru" sangat diperlukan
dalam setiap usaha peningkatan kualitas hasil pendidikan.

B. Mentalitas dan vitalitas

Ada tiga kegiatan penting yang diperlukan oleh guru untuk bisa meningkatkan kualitasnya sehingga bisa
terus menanjak pangkatnya sampai jenjang kepangkatan tertinggi. Pertama para guru harus
memperbanyak tukar pikiran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mengembangkan materi
pelajaran dan berinteraksi dengan peserta didik. Tukar pikiran tersebut bisa dilaksanakan dalam
perternuan guru sejenis di sanggar kerja guru, ataupun dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan
hal itu. Kegiatan ilmiah ini hendaknya selalu mengangkat topik pembicaraan yang bersifat aplikatif.
Artinya, hasil pertemuan bisa digunakan secara langsung untuk meningkatkan kualitas proses belajar
mengajar. Hanya perlu dicatat, dalam kegiatan ilmiah semacam itu hendaknya faktor-faktor yang bersifat
struktural administrative harus disingkirkan jauh-jauh. Misalnya, tidak perlu yang memimpin pertemuan
harus kepala sekolah.
 

Kedua, akan lebih baik kalau apa yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah yang dihadiri
para guru adalah merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para guru sendiri. Dengan demikian
guru harus melakukan penelitian. Untuk ini perlulah anggapan sementara ini bahwa penelitian hanya
dapat dilakukan oleh para akademisi yang bekerja di perguruan tinggi atau oleh para peneliti di lembaga-
lembaga penelitian harus dibuang jauh-jauh. Justru sekarang ini perlu diyakini pada semua fihak bahwa
hasil-hasil penelitian-penelitian tentang apa yang terjadi di kelas dan di sekolah yang dilakukan oleh para
guru adalah sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab para gurulah yang nyata-
nyata memahami dan manghayati apa yang terjadi di sekolah, khususnya di kelas.

Masih terlalu banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan proses belajar mengajar di kelas yang
sampai saat ini belum terpecahkan dan perlu untuk dipecahkan. Misalnya, langkah-langkah apa harus
dilaksanakan untuk menghadapi murid yang malas atau mempunyai jati diri yang rendah atau pemalu di
kelas. Bagaimana mendorong peserta didik agar mempunyai motivasi untuk membaca. Bagaimana cara
menanggulangi peserta didik yang senantiasa mengganggu temannya. Masalah-masalah di atas jarang
diteliti, kalaupun pernah diteliti maka pendekatannya terlalu teoritis akademis sehingga tidak dapat
diterapkan dalam praktek proses belajar mengajar sesungguhnya.
 

Ketiga, guru harus membiasakan diri untuk mengkomunikasikan hasil penelitian yang dilakukan,
khususnya lewat media cetak. Untuk itu tidak ada alternatif lain bagi guru meningkatkan kemampuan
dalam menulis laporan penelitian.

C. Peran PGRI

Sebagai suatu organisasi professi guru yang memiliki anggota lebih dari dua juta, PGRI secara moral
mempunyai tanggung jawab untuk mendorong dan memberikan agar para guru bisa melaksanakan tiga
kegiatan di atas. PGRI bias memperbanyak pertemuan-pertemuan ilmiah, menerbitkan pedoman-
pedoman penelitian yang dapat cepat dicerna guru, menerbitkan jurnal-jumal sebagai media komunikasi
ilmiah para anggota, dan melaksanakan lomba penelitian atau karya tulis yang lain. Untuk itu, kiranya
PGRI perlu lebih meningkatkan kualitas tubuhnya sendiri.

Pemperluas Wawasan & Pengetahuan


Senin, 04 Juni 2012
Perkembangan Pendidikan IPS oleh Dr. H. Pargito, M.Pd

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN IPS

(SOCIAL STUDIES DEVELOPMENT)

Oleh:

Dr. H. Pargito, M.Pd

Pertama kali Social Studies dimasukkan secara resmi ke dalam kurikulum sekolah adalah di
Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang
ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Alasan dimasukannya
social studies (IPS) ke dalam kurikulum sekolah karena berbagai ekses akibat industrialisasi di berbagai
negara di belahan dunia juga terjadi, di antaranya perubahan perilaku manusia akibat berbagai
kemajuan dan ketercukupan.

 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menjadikan
bangsa semakin maju dan modern, tetapi juga menimbulkan dampak perilaku sosial yang kompleks.
Para ahli ilmu sosial dan pendidikan mengantisipasi berbagai kemungkinan ekses negatif yang mungkin
timbul di masyarakat akibat dampak kemajuan tersebut. Sehingga untuk mengatasi berbagai masalah
sosial di lingkungan masyarakat tidak hanya dibutuhkan kemajuan ilmu dan pengetahuan secara
disipliner, tetapi juga dapat dilakukan melalui pendekatan program pendidikan formal di tingkat sekolah.
Program pendidikan antar disiplin (interdiscipline) di tingkat sekolah merupakan salah satu
pendekatan yang dianggap lebih efektif dalam rangka membentuk perilaku sosial siswa ke arah yang
diharapkan. Bahkan program pendidikan ini di samping sebagai bentuk internalisasi dan transformasi
pengetahuan juga dapat digunakan sebagai upaya mempersiapkan sumberdaya manusia yang siap
menghadapi berbagai tantangan dan problematika yang makin komplek di masa datang.

Oleh karenanya latar belakang perlu dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di
beberapa negara lain juga memiliki sejarah dan alasan yang berbeda-beda. Amerika Serikat berbeda
dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika
Serikat terdiri dari berbagai macam ras di antaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit
putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di
perkebunan-perkebunan negara tersebut. Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu
tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau
yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu Amerika
Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi
ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.

Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan
dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa
satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social
studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan
penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association
memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua
sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir
merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.

Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika
Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para
pakar pendidikan, khususnya pakar social studies. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah
meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik, dalam arti
mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup bermasyarakat secara
seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu kuliah atau belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi,
tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran social  studies di sekolah dasar dan
menengah.

Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah karena
kebutuhan siswa sekolah, di mana kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan program
pendidikan lanjut dan pengorganisasian materi social studies. Agar materi pelajaran social studies lebih
menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari
kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi,
teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah
dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang
abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.

Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam perjuangannya
tentang eksistensi terdapat dalam ”The National Herbart Society papers of 1896-1897” yang
menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use (upaya
membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/ mendidik). Memperhatikan pentingnya social
studies bagi generasi muda, istilah IPS (social studies) ini kemudian mulai digunakan oleh beberapa
negara bagian di Inggris dan Amerika untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di
tingkat sekolah.  Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen ”Statement of the Chairman
of Commitee on Social studies”  yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913.
Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization of social
sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data
ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).

Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka beberapa
kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah
mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat
sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Kemudian pada tahun 1921, berdirilah
”National Council for the Social Studies” (NCSS), sebuah organisasi profesional yang secara khusus
membina dan mengembangkan  social studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta
keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan
syntectic.

Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan memaksimalkan hasil-
hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS sebelumnya. Sehingga baru
setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis intelektual-keilmuan.  Dalam
perkembangannya banyak naskah dan penelitian tentang social studies, yang mengharapkan perlunya
perhatian terhadap pendidikan anak tentang social studies, dengan harapan dapat membantu anak didik
menjadi warga negara yang baik.  Pada pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang
dikeluarkan NCSS dengan menegaskan bahwa “Social sciences as the core of the curriculum”(kurikulum
IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial).

Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social studies
yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh Edgar Wesley 
pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the social studies are the social sciences simplified for
pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena kemudian dijadikan definisi
“resmi” social studies oleh “the united states of education’s standard terminology for curriculum and
instruction” hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi yang membawa social studies sebagai kajian yang
terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas. Sehingga pada tahun 1993 NCSS
merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program,social studies provides coordinated,systematic study drawing
upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy,
political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate content from the humanities,
mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people
develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citiziens of a
culturally diverse,democratic society in an interdependent world.

Memandang perlunya pendidikan IPS bagi setiap warga negara Apresiasi terhadap social studies
(pendidikan IPS) terus bertambah dari berbagai negara, terutama di Amerika, Inggris, dan berbagai
negara di Eropa, dan baru berkembang ke berbagai negara di Australia dan Asia termasuk Indonesia.

Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia juga
hampir sama dengan di beberapa negara lain, di antaranya situasi kacau dan pertentangan politik
bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa (multikultur) yang sangat rentan terjadinya konflik. Sehingga,
sebagai akibat konflik dan situasi nasional bangsa yang tidak stabil, terlebih adanya pemberontakan
G30S/PKI dan berbagai masalah nasional lainnya di pandang perlu memasukan program pendidikan
sebagai propaganda dan penanaman nilai-nilai sosial budaya masyarakat, berbangsa dan bernegara ke
dalam kurikulum sekolah.

Oleh karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)
sebagai program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan pertama kali muncul dalam Seminar
Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah. Dalam laporan
seminar tersebut, muncul 3 istilah dan digunakan secara bertukar pakai, yaitu :

1. Pengetahuan Sosial

2. Studi Sosial

3. Ilmu Pengetahuan Sosial

Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan di Indonesia pada tahun 1972-
1973 yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PSSP) IKIP Bandung.
Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah sosial dipandang
tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja, maka dilakukan reduksi mata
pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran ilmu sosial yang serumpun digabung ke
dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu, pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam kurikulum
1975 tersebut, dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.

Sejak pemerintahan Orde Baru keadaan tenang,  pemerintah melancarkan Rencana


Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang
pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut
antara lain:

1.    Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.


2.    Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3.    Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4.    Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5.    Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan
nasional.

Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor pendidikan oleh pemerintah menjadi prioritas.
Program pembangunan pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan untuk mengatasi dan
menanamkan kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia. Upaya memasukan materi ilmu-ilmu
sosial dan  humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia disajikan dalam mata pelajaran dan
bidang studi/ jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini
merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen, bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila
sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti,
dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kurikulum pendidikan 1975
menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut :

1.    Berorientasi pada tujuan


2.    Menganut pendekatan integratif
3.    Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4.    Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI).
5.    Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon dan latihan.

Konsep pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang
menampilkan empat profil, yaitu :

1.    Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk pendidikan IPS khusus.

2.    Pendidikan IPS terpadu untuk SD

3.    Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep peyung untuk sejarah,
geografi dan ekonomi koperasi.

4.    Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi dan geografi untuk SMA,
atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi dan sejarah) untuk SMEA /SMK..

Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang secara
konseptual merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya dalam aktualisasi materi,
seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai materi pokok PMP.
DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti semua siswa di
SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam :
1.    Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI.
2.    Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah dan  ekonomi koperasi.
3.    Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I-II; Ekonomi
dan Geografi di kelas I-II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.

Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam rangkaian
pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum Komunikasi
Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, Konvensi
Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi yang selalu menjadi agenda pembahasan
ialah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan Ujung Pandang, M. Numan Soemantri, pakar dan ketua
HISPISI menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta,
yaitu :

a. Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin
Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang duorganisir dan disajikan secara
ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.

b. Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan
humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis
untuk tujuan pendidikan.

PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP,
STKIP),direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi Pendidikan Disiplin
Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan Geografi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan
Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi, Pendidikan Sejarah dsb).

Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang memiliki
komitmen terhadap social studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah,
maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum sekolah lebih jelas lagi.
Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial diajarkan di tingkat sekolah, maka kurikulum
ilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (social studies).
Jadi untuk program pendidikan ilmu-ilmu  sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah harus sudah
mulai di ajarkan. Program pendidikan dasar di SD dan SMP penyajiannya secara terpadu penuh,
sementara itu untuk pembelajaran IPS di tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa dilakukan secara
terpisah antar cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara ilmu
sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan IPS di SMA dan juga di
SMEA. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial  disajikan secara
terpisah atau fakultatif, seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang
mempersiapkan calon guru atau mendidik calon guru di tingkat sekolah, maka pendidikan IPS di berikan
secara interdisipliner dan juga secara disipliner. Secara interdisipliner karena ilmu yang diperoleh
nantinya untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipliner karena sebagai
guru juga harus menguasai ilmu yang diajarkan.
Bertitik tolak dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS, dapat
diidentifikasi sekolah objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu :

1.    Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP dan SMU.
2.    Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-STKIP/FKIP.
3.    Kurikulum dan bahan belajar IPS SD, SLTP dan SMU.
4.    Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan.
5.    Teori, prinsip, strategi, media serta evaluasi pembelajaran IPS.
6.    Masalah-masalah sosial, ilmu pengetahuan dan teknilogi yang berdampak sosial.
7.    Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.

Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai ajaran 1994-1995 merupakan pembenahan
atas pelaksanaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan dan keadaan
masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
seni, kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum
1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan nampak saat diadakannya serangkaian
Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari tahun 1986 sampai 1989.

Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya
diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2) perlunya
persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan 3)
perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi
Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran
Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Di samping itu, khusus dalam kurikulum
SD, IPS pernah diusulkan digabung dengan Pendidikan kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan
kewrganegaraan dan pengetahuan sosial (PKnPS), namun akhirnya kurikulum disempurnakan ke dalam
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali.

 Hal ini memperhatikan berbagai masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan
pendidikan nasional dan politik bangsa yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka
antara IPS dan PKn meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama  yaitu membentuk warganegara yang
baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS. Jadi
wajarlah kalau mata pelajaran PKn hanya ada di Indonesia, sementara di negara lain disebut Civic
education . IPS (social studies) dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan di Indonesia terus melakukan
beberapa tinjauan dan kritik terutama untuk perbaikan IPS sebagai program pendidikan ilmu sosial di
tingkat sekolah melalui seminar dan lokakarya serta pertemuan ilmiah bidang IPS lainnya, terutama oleh
kelompok pakar HISPISI (Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial Indonesia) dalam kongresnya di
beberapa tempat di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai