Anda di halaman 1dari 21

B A B II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hiperemesis Gravidarum


2.1.1. Definisi
Mual dan muntah (Morning Sickness, Emesis Gravidarum) adalah mual dan
muntah selama kehamilan yang terjadi antara 4 dan 8 minggu kehamilan dan terus
berlanjut hingga 14-16 minggu kehamilan dan gejala biasanya akan membaik. Mual dan
muntah selama kehamilan dapat berupa gejala yang ringan hingga berat. Mual dan muntah
adalah keluhan utama pada 70 %-80 % kehamilan. (1,4)
Hiperemesis Gravidarum adalah kondisi mual dan muntah yang berat selama
kehamilan, yang terjadi pada 1 %-2 % dari semua kehamilan atau 1-20 pasien per 1000
kehamilan. (4,5)
Hiperemesis gravidarum menyebabkan tidak seimbangnya cairan, elektrolit, asam-
basa, defisiensi nutrisi dan kehilangan berat badan yang cukup berat. Pada hiperemesis
gravidarum dapat terjadi dehidrasi, asidosis akibat kelaparan, alkalosis akibat hilangnya
asam hidroklorida pada saat muntah, hipokalemia dan ketonuria, sehingga mengharuskan
pasien masuk dan dirawat di rumah sakit. (2,10,11)

2.1.2. Etiologi
Hingga saat ini penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti dan
multifaktorial. Walaupun beberapa mekanisme yang diajukan bisa memberikan penjelasan
yang layak, namun bukti yang mendukung untuk setiap penyebab hiperemesis gravidarum
masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan penyebab hiperemesis
gravidarum. Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis hiperemesis
gravidarum, yaitu faktor endokrin dan faktor non endokrin. Yang terkait dengan faktor
endokrin antara lain Human Chorionic Gonodotrophin, estrogen, progesteron, Thyroid
Stimulating Hormone, Adrenocorticotropine Hormone, human Growth Hormone, prolactin
dan leptin. Sedangkan yang terkait dengan faktor non endokrin antara lain immunologi,
disfungsi gastrointestinal, infeksi Helicobacter pylori, kelainan enzym metabolik,
defisiensi nutrisi, anatomi dan psikologis. (2)

Universitas Sumatera Utara


Hypotheses based on
endocrinological Pathogenetic mechanisms Hypotheses based on
effects involved in the non endocrinological
pathogenesis of HG effects
Overactivated involved in the
hypothalamic-pituitaryadrenal pathogenesis of HG
Hypothalamus/ axis
Adrenal gland
Cortisol/ ACTH
Gestational transient thyrotoxicosis

Thyroid Immunological
stimulating Overactivated
Thyroid Gland hormone/ immune system
Thyroxine
H. pylori infection Infectious

Human
Chorionic Distension
Ovary/ Gonadotropin upper GI tract Gastro intestinal
Corpus Luteum tract

Trace element/
vitamin deficiency
Oestrogen/
Progesterone
Anatomical
Elevated metabolic
Placenta enzymes

Prolactin
Decreased LESP
Placental
Growth Corpus luteum
Hormone Motility changes

Leptin
Elevated levels of
sex Nervous system
steroids in hepatic
portal
system

Psychological causes

Higher neural pathways


triggering vomiting

Notes : –→ previous publications, - - → hypotheses


Tabel 2.1. : Etiologi Hiperemesis Gravidarum. (2)

Universitas Sumatera Utara


2.1.3. Diagnosis
Untuk diagnosis, pasien mana yang harus ditest, kapan ditest dan test apa yang
harus digunakan masih merupakan pertanyaan sulit. Jawaban pertanyaan ini didasarkan
pada keadaan pasien, biaya, ketersediaan test dan nilai prediktif positif dan negatif dari test
yang berbeda-beda. (9)
Pada diagnosis harus ditentukan adanya kehamilan dan muntah yang terus-
menerus, sehingga mempengaruhi keadaan umum. Pemeriksaan fisik pada pasien
hiperemesis gravidarum biasanya tidak memberikan tanda-tanda yang khusus. Lakukan
pemeriksaan tanda vital, keadaan membran mukosa, turgor kulit, nutrisi dan berat badan.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai penurunan berat badan 5 % dari berat sebelum
hamil, dehidrasi, turgor kulit yang menurun, perubahan tekanan darah dan nadi.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara lain, pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan kadar elektrolit, keton urin, tes fungsi hati, dan urinalisa untuk menyingkirkan
penyebab lain. Bila hyperthyroidism dicurigai, dilakukan pemeriksaan T3 dan T4. Lakukan
pemeriksaan ultrasonografi untuk menyingkirkan kehamilan mola. (2,10,11)

2.1.4. Komplikasi
Baik komplikasi yang relatif ringan maupun berat bisa disebabkan karena
hiperemesis gravidarum. Kehilangan berat badan, dehidrasi, acidosis akibat dari gizi buruk,
alkalosis akibat dari muntah-muntah, hipokalemia, kelemahan otot, kelainan
elektrokardiografi dan gangguan psikologis dapat terjadi. Komplikasi yang mengancam
nyawa meliputi ruptur esofagus yang disebabkan muntah-muntah berat, Wernicke's
encephalopathy (diplopia, nystagmus, disorientasi, kejang, coma), perdarahan retina,
kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan, IUGR dan kematian janin. Pasien dengan
hiperemesis gravidarum pernah dilaporkan mengalami epistaxis pada minggu ke-15
kehamilan karena intake vitamin K yang tidak adekuat yang disebabkan emesis berat dan
ketidakmampuannya mentoleransi makanan padat dan cairan. Dengan penggantian vitamin
K, parameter-parameter koagulasi kembali normal dan penyakit sembuh. Vasospasme
arteri cerebral yang terkait dengan hiperemesis gravidarum juga ada dilaporkan pada
beberapa pasien. Vasospasme didiagnosa dengan angiografi Magnetic Resonance Imaging
(MRI). (2,5)
Tetapi bila semua bentuk pengobatan gagal dan kondisi ibu menjadi mengancam
nyawa, pengakhiran kehamilan merupakan pilihan. Verberg melaporkan pilihan

Universitas Sumatera Utara


pengakhiran kehamilan kira-kira 2 % pada kehamilan yang terkomplikasi dengan
hiperemesis gravidarum. (2)
Namun demikian, Kuscu dan Koyuncu menilai luaran maternal dan neonatal dari
penderita hiperemesis gravidarum yang diteliti pada dua penelitian berbeda yang
melibatkan 193 dan 138 pasien. Dari 193 pasien, 24% membutuhkan perawatan inap dan
satu pasien membutuhkan nutrisi parenteral. Berat lahir, usia kandungan, kelahiran
preterm, skor Apgar, mortalitas perinatal dan kejadian kelainan bawaan janin tidak berbeda
antara pasien hiperemesis dan populasi umum. Dalam studi lainnya, tidak ada terdeteksi
peningkatan risiko keterlambatan pertumbuhan, kelainan bawaan dan prematuritas.
Umumnya hiperemesis gravidarum dapat disembuhkan. Dengan penanganan yang baik
prognosis hiperemesis gravidarum sangat memuaskan. Namun pada tingkatan yang berat,
(5)
penyakit ini dapat mengancam jiwa ibu dan janin.

2.2. Helicobacter pylori


Pada tulisan ini akan dipresentasikan gambaran singkat H. Pylori, epidemiologi,
patogenesis, manifestasi klinik infeksi H. pylori, strategi diagnostik dan terapeutik yang
relevan untuk pembasmian H. pylori sebagai patogen pada manusia.

2.2.1. Sejarah
H. pylori adalah bakteri spiral yang dikultur dari mukosa lambung manusia oleh
Marshall dan Warren dari Perth Australia pada tahun 1983. Sejak diperkenalkan kepada
komunitas ilmiah pada tahun 1989 oleh Marshall dan Warren, H. pylori menjadi fokus
penelitian klinik dan perdebatan biokimia. Berkat penemuannya ini Marshall dan Warren
menerima nobel Fisiologi dan Medicine pada tahun 2005 untuk penemuan terbaru. Sejak
saat itu banyak peneliti yang kemudian menaruh perhatian besar pada kuman ini, terutama
terhadap peranannya untuk menimbulkan inflamasi pada saluran cerna bagian atas,
penyakit ulkus peptikum dan kemungkinan peranannya dalam perkembangan gastritis
kronik ke arah karsinoma lambung. Semua individu yang terkena infeksi kuman ini akan
mengalami peradangan lambung yang kronik dan menetap/ persistent, namun pada
sebagian besar kasus tampaknya tidak menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang
berarti. (9,12)

Universitas Sumatera Utara


2.2.2. Morfologi
H. pylori adalah bakteri Gram negatif, dengan bentuk spiral melengkung dan
berflagel yang ditemukan hidup berkoloni pada lapisan mukosa lambung yang dapat
menyebabkan gangguan saluran pencernaan. Bakteri ini dicirikan oleh aktivitas urease
yang tinggi. Bakteri ini mampu hidup dalam suasana asam yang kuat dengan cara
memproduksi urease. H. Pylori mempunyai mekanisme resistensi asam, yang
menghidrolisa urea menjadi karbon dioksida dan ammonia. Bakteri ini mempunyai sifat
pertumbuhan yang lambat tetapi mampu merusak lapisan lendir / mukus pada epitel
lambung sehingga menimbulkan peradangan lambung yang kronik, menetap/ persistent,
menahun dan ulkus peptikum. (3,13)
Bakteri ini ada pada 95 %-98 % pasien penderita ulkus duodenal dan 60 %-90 %
pasien penderita ulkus peptikum. Taksiran angka kejadian infeksi menurut berbagai test
diagnostik termasuk test bakteriologi, test histologi dan test serologi menunjukkan bahwa
90 % pasien yang terserang tanpa adanya gejala-gejala klinik. (14,15)

Gambar 2.1. : H. pylori. (15)

Universitas Sumatera Utara


2.2.3. Epidemiologi
Banyak studi berusaha menilai kejadian dan prevalensi infeksi H. pylori, cara
penularannya dan setiap faktor risiko yang turut mendukung perkembangan infeksi.
Kejadian per tahun yang dilaporkan untuk infeksi H. pylori sebagai salah satu penyebab
hiperemesis gravidarum di negara-negara maju adalah 0,3 %- 0,5 % per tahun, sedangkan
di negara-negara yang sedang berkembang 10 %-20 %. (9)
Bakteri ini merupakan patogen dengan penyebaran di seluruh dunia, yang
menyerang populasi manusia di negara-negara maju dan di negara-negara yang sedang
berkembang. Prevalensi ditemukan lebih tinggi di negara yang sedang berkembang
dibandingkan dengan negara maju. Prevalensi infeksi H. pylori sekitar 30 % di Amerika
Serikat, sedangkan di negara yang sedang berkembang > 80 %. Prevalensi ini sangat
bervariasi tergantung kelompok etnik, budaya, genetik, sosial ekonomi, lingkungan, dan
beberapa faktor lainnya termasuk lokasi kelompok studi dan ciri-ciri populasi yang di
studi. Angka infeksi ini juga ditemukan tinggi di daerah yang padat penduduknya dengan
lingkungan sosial ekonomi yang rendah, yang mengindikasikan bahwa H. pylori ditularkan
melalui kontak langsung. H. pylori didapat selama masa anak-anak, yang paling sering
(9,13)
dengan rute feces-oral atau oral-oral.
Hubungan antara H. pylori dan hiperemesis gravidarum bisa menjadi penjelasan
yang mungkin untuk variasi yang diamati dalam kejadian hiperemesis gravidarum pada
kelompok etnis yang berbeda-beda, karena angka kejadian infeksi H. pylori juga berbeda
secara mencolok antara populasi. Akan tetapi, hipotesa ini rentan terhadap faktor-faktor
pengganggu seperti status sosial ekonomi yang lebih rendah, yang disebut-sebut pada
hiperemesis gravidarum maupun infeksi H. pylori. Karaca di Turkey tahun 2004
menemukan bukti yang mendukung hubungan antara status sosial ekonomi dan infeksi H.
pylori pada wanita hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dalam studi
perbandingan prospektif dengan wanita hamil asimptomatik. Menurutnya, status sosial
ekonomi yang rendah juga merupakan faktor resiko yang penting untuk infeksi H. pylori
pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Walaupun infeksi H. pylori sering
ditemukan pada pasien penderita hiperemesis gravidarum, sebagian besar wanita hamil
dengan infeksi H. pylori bisa tetap asimptomatik. Jadi bila dalam lambung manusia
terdapat H. Pylori maka dapat menimbulkan ulkus duodenal dan ulkus peptikum yang
tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan antiemetik biasa, sehingga biaya pengobatan
akan lebih tinggi dan waktu pengobatan yang lebih lama dengan hasil yang
mengecewakan. (2,16)

Universitas Sumatera Utara


2.2.4. Patogenesis
Reaksi tubuh terhadap infeksi H. Pylori pada wanita hamil, dapat berupa
kerusakan langsung pada mukosa lambung yang disebabkan oleh perubahan dalam pH
lambung atau melewati reaksi immunologik. Manifestasi infeksi H. pylori bisa merupakan
akibat dari perubahan pH lambung karena peningkatan akumulasi cairan yang
disebabkan peningkatan hormon steroid pada wanita hamil. Perubahan pH pada saluran
pencernaan diduga dapat menyebabkan manifestasi infeksi subklinis H. pylori yang
menimbulkan gejala gastrointestinal. (2)
Lambung merupakan sebuah organ yang berisi cairan asam, yang menyebabkan
sebagian besar mikroorganisme tidak mampu berkolonisasi di sini. Namun penelitian
membuktikan bahwa masih cukup banyak spesies bakteri yang dapat memanfaatkan
lambung sebagai tempat tinggal mereka. Salah satu di antaranya adalah kuman H. pylori.
H. pylori mempunyai sifat khusus, tinggal di bawah lapisan mukus di permukaan epitel
atau di mukosa lambung. Bakteri H. pylori ini mempunyai mekanisme resistensi asam,
khususnya urease yang akan menguraikan urea menjadi karbon dioksida dan ammonia.
Ammonia dapat menetralisir asam hidroklorida dan dengan netralisasi asam di lambung
maka bakteri dapat mencapai epitel gaster. Infeksi H. pylori membutuhkan interaksi yang
kompleks dari faktor bakteri dan host. Beberapa peneliti mengidentifikasi protein bakteri
yang diperlukan untuk kolonisasi H. pylori pada mukosa lambung, termasuk protein yang
aktif dalam pengangkutan organisme ke permukaan mukosa (misalnya, flagellin, yang
disandikan pada gen flaA dan flaB). Begitu berada di dalam mukosa lambung, bakteri
memicu hypochlorhydria dengan mekanisme yang tidak diketahui. Enzym urease yang
dihasilkan bakteri mengubah lingkungan untuk mempermudah kolonisasi. Kemudian
terjadi perlekatan melalui interaksi antara glycolipid permukaan sel dan adhesin yang
spesifik terhadap H. pylori. Juga ada peranan protein yang disebut cecropin, yang
dihasilkan H. pylori sehingga menghambat pertumbuhan organisme pesaing, dan juga oleh
adenosinetriphosphatase tipe P yang membantu mencegah alkalinisasi berlebihan. Begitu
melekat pada mukosa lambung, H. pylori menyebabkan cedera jaringan dengan rangkaian
kejadian yang kompleks yang tergantung pada organisme dan host. H. pylori, seperti
halnya semua bakteri Gram negatif, mempunyai lipopolisakarida di dalam dinding selnya,
yang bertindak merusak keutuhan mukosa. Lebih jauh lagi, H. pylori melepaskan beberapa
protein patologi yang memicu cedera sel. Sebagai contoh misalnya, protein CagA, yang
dihasilkan cytotoxic-associated gene A (cagA), adalah protein yang sangat immunogenik,

Universitas Sumatera Utara


selain itu, produk protein vacuolating cytotoxin A gene (vacA) yang kontak dengan
epithelium diketahui terkait dengan cedera mukosa. (9)
Perubahan kekebalan humoral selama hamil juga bisa menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi H. pylori pada kehamilan. Begitu kolonisasi mukosa lambung
terjadi, sifat-sifat immunogenik dari H. pylori memicu reaksi inflamasi yang menyebabkan
manifestasi klinik dari infeksi. Proses ini diperantarai oleh faktor host, termasuk IL- 1, 2, 6,
8 dan 12, interferon gamma, TNF-α, limfosit T dan B serta sel-sel fagositik. Faktor ini
mengantarai cedera melalui pelepasan spesies oksigen reaktif dan cytokin inflamasi. (9)
Selain menyebabkan cedera lokal mukosa lambung, H. pylori mengubah sekresi
lambung normal. Banyak studi menunjukkan bahwa pasien yang terinfeksi H. pylori
mengalami peningkatan kadar gastrin serum, yang pada gilirannya menyebabkan
peningkatan output asam. Kondisi ini menyebabkan atrophy sel-sel parietal yang
bertanggung jawab dalam memproduksi asam dan sel-sel yang memproduksi gastrin dari
(9)
antrum yang menstimulasi sekresi asam dan akhirnya menghasilkan achlorhydria.

2.2.5. Manifestasi Klinik


Tidak didapati gejala klinis spesifik pada infeksi H. pylori. Pasien dapat
mengeluhkan dispepsia, mual dan perasaan tidak nyaman dengan berbagai keluhan saluran
cerna bahkan sebagian besar orang tetap asimptomatik. Pada dasarnya semua orang dengan
kolonisasi H. pylori mengalami inflamasi pada lambung dan pada individu tersebut akan
berkembang jadi penyakit seperti gastritis, ulkus peptikum, dyspepsia nonulcer,
Gastroesophageal Reflux Disease, adenokarsinoma atau limfoma. (9)

Gastritis
Begitu terinfeksi dengan H. pylori, sebagian besar orang tetap asimptomatik.
Sebagian orang yang terinfeksi bahkan bisa membersihkan infeksi dengan laju seroreversi,
umumnya dilaporkan berada dalam rentang 5 %-10 %, tidak diketahui apakah seroreversi
ini spontan atau akibat dari pembasmian organisme dengan obat antibiotik yang digunakan
untuk mengobati kondisi lain. Akan tetapi, masa perjalanan penyakit yang umum pada
pasien yang terinfeksi dimulai dengan gastritis superfisial kronis, yang akhirnya
berkembang menjadi gastritis atrofik. Perkembangan ini ternyata merupakan kejadian
kunci dalam rangkaian seluler yang menyebabkan perkembangan karsinoma lambung. (9)

Universitas Sumatera Utara


Ulkus Peptik
Hubungan antara infeksi H. pylori dan penyakit ulkus peptik telah banyak dikaji,
dan sekarang telah diterima bahwa organisme ini merupakan penyebab utama, tetapi bukan
satu-satunya penyebab penyakit ulkus peptik di seluruh dunia. Pembasmian infeksi bisa
mengubah masa perjalanan penyakit ulkus peptik dengan penurunan angka
kekambuhannya secara dramatis pada pasien yang diobati, dibandingkan dengan pasien
yang tidak diobati. Penurunan ini terjadi pada pasien penderita ulkus duodenum dan ulkus
peptik yang tidak mempunyai riwayat penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid.
Mekanisme H. pylori memicu penyakit ulkus peptik masih kurang dipahami namun sangat
mungkin melibatkan kombinasi pemicuan genetik host, faktor virulensi organisme
misalnya protein VacA dan CagA, kerusakan mekanik pada mukosa, dan perubahan
sekresi lambung dan duodenum. (9)

Dyspepsia Nonulcer
Dyspepsia nonulcer terdiri dari gejala-gejala yang bervariasi, yang meliputi gejala-
gejala dismotilitas, ulkus dan reflux. Banyak penyebab yang mungkin diajukan untuk
dyspepsia nonulcer, yang meliputi faktor gaya hidup, stres, perubahan sensasi visceral,
peningkatan sensitivitas serotonin, perubahan sekresi asam lambung dan pengosongan
lambung serta infeksi H. pylori. Sebuah tinjauan baru-baru ini juga mengkaji peranan
gangguan psikososial misalnya depresi dan ansietas pada pasien penderita dyspepsia
nonulcer. Dalam studi yang mengkaitkan infeksi H. pylori dengan dyspepsia nonulcer,
bahwa pembasmian H. pylori menghasilkan perbaikan gejala-gejala dyspepsia nonulcer.
Akan tetapi pembasmian organisme tidak bisa dianggap merupakan standar perawatan
pada semua pasien penderita dyspepsia nonulcer, karena infeksi H. pylori hanyalah
merupakan bagian tunggal dari etiologi multifaktor dari penyakit ini. (9)

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


Banyak perhatian terfokus pada hubungan yang mungkin antara infeksi H. pylori
dan GERD dengan berbagai manifestasinya misalnya esophagitis. Beberapa peneliti
mengajukan adanya hubungan antara keberadaan H. pylori dan risiko esophagitis. Studi-
studi juga menunjukkan bahwa strain tertentu dari H. pylori, terutama strain yang positif
CagA terhadap perkembangan esophagitis. Sebaliknya, studi lain yang menggunakan
temuan-temuan endoskopik, pengukuran pH dan histologi untuk menentukan keberadaan
(9)
H. Pylori, tidak menemukan hubungan antara GERD dengan infeksi H. pylori.

Universitas Sumatera Utara


Adenokarsinoma Lambung
Data yang ada menunjukkan peningkatan 90 kali lipat dalam angka kejadian
karsinoma lambung pada pasien penderita gastritis atrofik multifokal berat dibandingkan
dengan kontrol normal. Mekanisme tumorgenesis ternyata melibatkan kerusakan DNA
yang dipicu oleh cytokin yang berbeda-beda dan radikal bebas yang dilepaskan dalam
keadaan inflamasi kronis. Walaupun H. pylori terkait dengan perkembangan
adenokarsinoma antrum dan corpus lambung, namun H. pylori jelas terkait dengan
Mucosa–Associated Lymphoid Tissue (MALT). H. pylori menstimulasi infiltrasi
limfositik stroma mukosa, infiltrasi ini bisa bertindak sebagai fokus untuk perubahan
seluler dan proliferasi, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan neoplastik. Tampak
bahwa H. pylori juga menghasilkan protein yang menstimulasi pertumbuhan limfosit pada
stadium dini neoplasia. Penelitian baru-baru ini menunjukkan pemeriksaan endoskopik
tidak ternilai harganya dalam mengidentifikasi grade lymphoma dan dalam memprediksi
efikasi pengobatan infeksi H. pylori untuk memperoleh penyusutan lymphoma. (9)

2.2.6. Penanganan
Terdapat beberapa kontroversi mengenai tipe pengobatan yang harus diberikan
pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Terapi cairan dan elektrolit parenteral
pengganti, pemberian vitamin B 6, antiemetik dan tirah baring secara rutin digunakan pada
hiperemesis gravidarum dan biasanya tanpa perbaikan yang berarti. Hal ini tidak
mengherankan, karena obat-obat tersebut tidak ada yang mempengaruhi infeksi H. pylori.
H. pylori merupakan organisme yang hidup di dalam lingkungan yang tidak mudah
diakses banyak obat, selain itu karena resistensi bakteri yang muncul menimbulkan
tantangan tambahan. Lagipula, banyak aturan yang direkomendasikan sulit dilaksanakan
oleh pasien, yang menimbulkan masalah dengan kepatuhan, dengan harus mengkonsumsi
obat dalam jumlah besar setidaknya dua kali sehari dan efek yang tidak menyenangkan,
sehingga tidak banyak berpengaruh dalam mendorong kerjasama pasien. Meskipun
dengan kendala-kendala ini, aturan pengobatan saat ini bisa memperoleh tingkat
kesembuhan lebih dari 85 % pada sebagian besar populasi pasien. (9)

Antibiotik
Sekarang ini obat antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi H. pylori dan
diberikan secara kombinasi dengan inhibitor pompa proton. Tanpa obat tunggal pernah

Universitas Sumatera Utara


digunakan sebagai monoterapi, karena kurangnya efektifitas dan perkembangan potensial
resistensi. (9)
Metronidazole mempunyai aktivitas yang tidak tergantung pada pH, tetapi
resistensi terhadap obat sudah terjadi di Amerika Serikat. Dosis metronidazole 2 x 500 mg
selama 10-14 hari. Metronidazole oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai obat
kategori C. Penggunaan pada trimester pertama dapat menyebabkan kelainan kongenital
berupa retardasi mental, dislokasi panggul, hidrokel, bibir sumbing, holotelencephaly,
atrofi organ penglihatan dan kelainan pada tangan, sehingga di kontraindikasikan pada
trimester pertama, tetapi dapat digunakan pada trimester kedua dan ketiga jika pengobatan
alternatif lain tidak memberikan respon yang baik. (9)
Clarithromycin mempunyai tingkat resistensi yang lebih rendah kira-kira 7 %-11 %
tetapi tidak stabil asam dan dengan harga yang lebih mahal daripada obat antibiotik
lainnya. Dosis clarithromycin 2 x 500 mg selama 10-14 hari. Clarithromycin oleh FDA
sebagai obat kategori C. Penggunaan pada trimester pertama dapat menyebabkan efek
teratogenik dan fetotoksik berupa kelainan kardiovaskuler, bibir sumbing, Intrauterine
Growth Retardation (IUGR). (9)
Tetracycline mempunyai kelebihan berupa biaya murah dan dengan kejadian
resistensi yang juga rendah, tetapi bisa menyebabkan perubahan warna gigi yang
permanen pada anak, hipoplasia enamel dan reaksi photosensitivitas. Dosis tetracycline 2 x
500 mg selama 10-14 hari. Tetracycline oleh FDA sebagai obat kategori D. (9)
Amoxicillin banyak digunakan, karena resistensi terhadap obat ini jarang, tetapi
obat ini biasanya mengharuskan pemberian secara bersamaan inhibitor pompa proton,
karena aktivitasnya yang tergantung pH. Dosis amoxicillin 2 x 1 gram selama 10-14 hari.
Amoxicillin oleh FDA sebagai obat kategori B. (9)
Erythromycin dapat digunakan pada pengobatan hyperemesis gravidarum. Pasien
dengan hyperemesis gravidarum yang terbukti seropositif terhadap H. pylori dapat bereaksi
secara baik terhadap terapi erythromycin oral yang di konsumsi. Dosis erythromycin 4 x
500 mg selama 10-14 hari. Erythromycin oleh FDA sebagai obat kategori B. (5)

Inhibitor Pompa Proton


Obat paling populer yang digunakan saat ini secara kombinasi dengan obat
antibiotik untuk membasmi infeksi H. pylori adalah inhibitor pompa proton, dengan
omeprazole sebagai obat yang paling banyak distudi. Inhibitor pompa proton yang lebih
baru yaitu lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole juga sudah digunakan. Inhibitor pompa

Universitas Sumatera Utara


proton bukan hanya bertindak dengan menghambat enzym mikrosom bakteri secara
langsung tetapi juga dengan menaikkan pH di dalam lambung, yang dengan demikian
memperlancar kerja obat antibiotik, mengurangi sekresi lambung dan meningkatkan
konsentrasi antibiotik di dalam lambung. H. pylori dapat hidup dalam suasana asam,
sehingga bila sekresi asam menurun maka kolonisasi H. pylori juga akan berkurang.
Tujuan pengobatan ini adalah untuk menghilangkan keluhan, menyembuhkan ulkus
peptikum dan mencegah kekambuhan dan komplikasi. (9)

Terapi Tambahan
Pemberian cairan parenteral dan elektrolit yang sesuai merupakan regimen terapi
pada hiperemesis gravidarum. Diberikan larutan kristaloid intravena untuk memperbaiki
dehidrasi, ketonemia, defisit elektrolit, dan ketidakseimbangan asam-basa. Cairan
intravena diberikan hingga muntah dapat dikontrol. (5)
Terapi tambahan lainnya meliputi antagonis reseptor histamin dan ranitidine
bismuth citrat, yang memiliki sifat antisekresi dan tindakan antibakteri bismuth dengan
mengganggu dinding sel bakteri. Akan tetapi, ranitidine bismuth citrat tidak lagi ada
tersedia di Amerika Serikat. (9)
Berbagai antiemetik dan asupan vitamin bisa diberikan sebagai terapi tambahan.
Promethazine, prochlorperazine, chlorpromazine, meclizine, droperidol, diphenhydramine,
dan metoclopramide adalah obat yang umum digunakan secara rutin untuk meredakan
mual dan muntah. Rute intravena atau rektal bisa mula-mula digunakan dan diganti dengan
rute oral bila gejala-gejala mulai menghilang. Jika tidak ada ditemukan reaksi dalam
beberapa hari dan gejala-gejala tetap bertahan bahkan pada tingkat yang lebih berat,
seperti gastroenteritis, cholecystitis, pankreatitis, hepatitis, ulcus peptik, dan pyelonephritis
haruslah dimasukkan dalam diagnosis banding dan pasien harus dinilai ulang. Dukungan
psikologis dari tim medis dan keluarga pasien dapat menambah pada penanganan pasien.
Pasien harus menghindari bau-bau yang merangsang dan makanan yang tidak diinginkan
karena keduanya bisa memicu muntah. Setelah pulang dari rumah sakit kekambuhan pada
sebagian pasien dapat terjadi dan perawatan inap ulang mungkin diperlukan. Selain obat
antiemetik, pyridoxine tampaknya lebih efektif dalam mengurangi keparahan mual. (5)
Risiko relatif untuk terjadinya kelainan kongenital mayor pada anak dari pasien
yang terpapar pada antihistamin pada trimester pertama diteliti dengan menilai 24 studi
terkontrol yang melibatkan lebih dari 200.000 wanita. Tidak ada ditemukan peningkatan
risiko teratogenik, dan antihistamin terbukti aman bila diresepkan selama kehamilan. (5)

Universitas Sumatera Utara


Pemberian infus droperidol dan diphenhydramine intravena bolus dikaji pada
hiperemesis gravidarum dan dibandingkan dengan pasien lain yang tidak menerima obat.
Kelompok studi menjalani masa yang lebih singkat di rumah sakit dengan lebih sedikit
masuk rumah sakit kembali. Pengobatan droperidol dan diphenhydramine dilaporkan
bermanfaat dengan biaya yang terjangkau. (5)
Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine yang digunakan untuk
mencegah mual dan muntah berat selama kemoterapi dan pada periode pascaoperatif.
Obat ini oleh FDA didaftarkan sebagai obat kategori B. Ondansetron bisa dicanangkan
untuk kasus-kasus resisten. Tidak ada ditemukan efek merugikan untuk ibu atau janin pada
pasien yang diobati dengan obat ini pada setiap trimester. Dilaporkan bila ondansetron
dibandingkan promethazine dengan cara double-blinded yang mencakup 15 pasien dalam
masing-masing kelompok. Tidak ada ditemukan perbedaan dalam peredaan mual,
pertambahan berat badan dan lama rawat inap. (5)
Steroid bisa digunakan sebagai aturan pengobatan alternatif pada pasien yang
resisten terhadap terapi standar. Dilaporkan pertama kali pada tahun 1953 bahwa
pengobatan cortisone menyebabkan berhentinya hiperemesis secara total. Sejak itu,
berbagai bentuk terapi digunakan. Masa pengobatan methylprednisolone singkat, 16 mg
tiga kali sehari, dengan penurunan bertahap/ tapering off selama masa dua minggu terbukti
lebih efektif bila dibandingkan dengan promethazine. Ada tingkat perbedaan yang
signifikan dalam masuknya kembali ke rumah sakit. Berat lahir dan skor Apgar tidak
berbeda. Obat ini memberikan efeknya melalui zona pemicu kemoreseptor yang berlokasi
di batang otak. Model terapi ini bisa dimulai di rumah sakit dan terus berlanjut di
lingkungan rawat jalan dan untuk pasien yang resisten terhadap hidrasi intravena standar
dan antiemetik. Dalam studi lain hydrocortisone intravena diikuti dengan prednisolone oral
pada tujuh pasien dengan hiperemesis gravidarum resisten, ditemukan muntah-muntah
berhenti dalam tiga jam dosis pertama hydrocortisone dan gejala-gejala sembuh dalam
hitungan hari dengan mulainya kembali selera makan yang normal dan kembalinya berat
badan yang hilang. (5)
Nutrisi parenteral mungkin diperlukan pada kasus berat. Pemberian makanan
enteral adalah pendekatan alternatif setelah gejala-gejala akut berakhir dengan terapi awal.
Bentuk nutrisi ini haruslah dipertimbangkan pada pasien yang tidak bisa mentoleransi
pemberian makanan oral meskipun dengan adanya pengobatan antiemetik. Kadang-
kadang sangat sulit bagi pasien makan dengan beban mual dan muntah yang berat. Kuscu
melakukan pemberian makanan menggunakan pipa nasogastrik / Nasogastric Tube (NGT)

Universitas Sumatera Utara


pada tujuh wanita dengan muntah-muntah yang berat untuk pemberian asupan gizi, ini
terbukti efektif dalam meredakan gejala-gejala hiperemesis gravidarum. (5)
Aturan pengobatan saat ini di Amerika Serikat, bahwa pengobatan mencakup 2
obat antibiotik dan 1 obat tambahan selama 14 hari. Studi di Eropa menyebutkan angka
kesembuhan terjadi dengan masa terapi 7 hari dengan 2 obat antibiotik dan 2 obat
tambahan.
Sebagian besar praktisi klinik mengobati infeksi H. pylori dengan pendekatan obat
rangkap tiga atau bahkan pendekatan obat rangkap empat. Petunjuk dari American College
of Gastroenterology tahun 1998 menggunakan 3 aturan berikut: (1) pemberian inhibitor
pompa proton, clarithromycin dan metronidazole atau amoxicillin selama 2 minggu, (2)
pemberian ranitidine bismuth citrat, clarithromycin dan metronidazole, amoxicillin atau
tetracycline selama 2 minggu, (3) pemberian inhibitor pompa proton, ranitidine bismuth
citrat, metronidazole dan tetracycline selama 2 minggu. Inhibitor pompa proton yang
digunakan adalah omeprazole 2 x 20 mg. Penggunaan inhibitor pompa proton yang lebih
baru yaitu lansoprazole 2 x 30 mg, pantoprazole 2 x 40 mg, rabeprazole 2 x 20 mg.
Untuk pasien yang gagal dalam terapi obat rangkap tiga awal, terapi selanjutnya
akan melibatkan penggunaan kombinasi terapi rangkap empat, yang meningkatkan durasi
pengobatan. Kultur dengan pengujian sensitivitas haruslah dilaksanakan setelah 2
kegagalan pengobatan. (9)

Proton Pump Inhibitors Dosis Kategori FDA


Lansoprazole 30 mg oral, 2 kali sehari B
Omeprazole 20 mg oral, 2 kali sehari B
Pantoprazole 40 mg oral, 2 kali sehari B
Rabeprazole 20 mg oral, 2 kali sehari B

Tabel 2.2. : Terapi Tambahan Inhibitor Pompa Proton. (9)

Universitas Sumatera Utara


Nama Obat Dosis Kategori FDA

Pyridoxine (vitamin B6) 25 mg oral, 3 kali sehari A


Antiemetik
Chlorpromazine 10-25 mg oral, 2-4 kali sehari C
Prochlorperazine 5-10 mg oral, 3-4 kali sehari C
Promethazine 12,5-25 mg oral, setiap 4- 6 jam C
Trimethobenzamide 250 mg oral, 3-4 kali sehari C
Ondansetron 8 mg oral, 2-3 kali sehari B
Droperidol 0,5-2 mg IV/IM, tiap 3-4jam C
Antihistamin dan
Antikolinergik
Diphenhydramine 25-50 mg oral, tiap 4- 8jam B
Meclizine 25 mg oral, tiap 4-6 jam B
Dimenhydrinate 50-100 mg oral, tiap 4-6 jam B
Motility drug
Metoclopramide 5-10 mg oral, 3 kali sehari B
Kortikosteroid
Methylprednisolone 16 mg oral, 3 kali sehari kemudian C
diturunkan

Tabel 2.3. : Terapi Tambahan Vitamin, Antiemetik, Antihistamin dan Kortikosteroid. (5)

2.3. Tes Diagnostik


Sekarang ini ada beberapa cara populer untuk mendeteksi adanya infeksi H. pylori,
masing-masing memiliki kelebihan, kekurangan dan keterbatasan. Pada dasarnya tes yang
tersedia untuk diagnosis ada 2 metode yaitu metode invasif dan metode non invasif. Pada
metode yang invasif dapat dilakukan biopsi endoskopi untuk pemeriksaan histologi, kultur,
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Rapid Urease Test. Pada yang non invasif dapat
dilakukan Urea Breath Test, Serologi Test dan Stool Antigen Test. (9,12,13,14)

2.3.1. Histologi
Evaluasi histologi merupakan metode standar emas untuk memastikan adanya
kuman H. pylori pada lambung. Untuk evaluasi ini diperlukan tindakan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi. Dengan sensitivitas 98 % dan spesifitas 95 % namun tidak
dapat dilakukan pada wanita hamil. Diangosis dengan metode endoskopi untuk evaluasi
histologi hanya boleh digunakan jika prosedur ini diperlukan untuk mendeteksi kondisi
lainnya selain infeksi H. pylori. Metode endoskopi dengan pengambilan sampel jaringan
pada pasien dengan riwayat penyakit ulcus peptik bisa memberikan diagnosis yang lebih

Universitas Sumatera Utara


pasti dari infeksi H. pylori, dan juga tingkat inflamasi atau metaplasia dan keberadaan
lymphoma MALT atau kanker lambung lainnya pada pasien risiko tinggi. (9)
Biopsi endoskopi pada antrum dan corpus untuk pemeriksaan histopatologi
dilakukan oleh Bagis di Turkey tahun 2002 terhadap 20 pasien dengan hiperemesis
gravidarum dan 10 pasien asimptomatik. H. pylori di diagnosis pada 19 pasien (95 %). (17)
Kelemahan teknik evaluasi histologi ini adalah diperlukannya endoskopi untuk
mendapatkan jaringan. Keterbatasan yang lain adalah jumlah yang tidak layak dari
spesimen biopsi yang diperoleh atau kegagalan mendapatkan spesimen dari daerah
lambung. Pada sebagian kasus, teknik pemulasan yang berbeda-beda mungkin diperlukan,
yang bisa melibatkan waktu pemprosesan yang lebih lama dan biaya yang lebih tinggi. (9,18)

2.3.2. Kultur
Karena H. pylori sulit tumbuh pada medium kultur, peranan kultur dalam diagnosis
infeksi sebagian besar terbatas pada penelitian dan pertimbangan epidemiologi.
Pemeriksaan kultur mahal, memakan waktu yang lama dan intensif, namun kultur tetap
memegang peranan dalam studi kerentanan terhadap antibiotik dan studi tentang faktor-
faktor pertumbuhan dan metabolisme. Di Amerika Serikat, kultur tidak dianggap cara
diagnosis lini pertama yang rutin. (9,19)

2.3.3. Polymerase Chain Reaction (PCR)


Dengan lahirnya PCR, banyak kemungkinan yang menarik muncul untuk
mendiagnosa dan mengklasifikasikan infeksi H. pylori. PCR memungkinkan identifikasi
organisme dalam sampel kecil dengan sedikit bakteri dan tidak membutuhkan persyaratan
khusus dalam pemprosesan dan pengangkutan. PCR bisa dilaksanakan dengan cepat dan
bisa digunakan untuk mengidentifikasi strain-strain bakteri yang berbeda untuk studi
epidemiologi. PCR juga sedang dievaluasi manfaatnya dalam mengidentifikasi H. pylori
dalam sampel plak gigi, saliva dan feces yang mudah diambil sampelnya. Keterbatasan
dari PCR adalah bahwa relatif sedikit laboratorium yang memiliki kemampuan untuk
mengoperasikan pengujian ini. Selain itu, karena PCR bisa mendeteksi segmen-segmen
DNA H. pylori dalam mukosa lambung pasien yang diobati sebelumnya, hasil positif palsu
bisa terjadi. (9,19,20)

Universitas Sumatera Utara


2.3.4. Rapid Urease Test
Rapid Urease Test/ Pengujian Urease Cepat dilakukan berdasarkan dari fakta
bahwa H. pylori adalah organisme yang menghasilkan urease. Sampel yang diperoleh dari
endoskopi ditempatkan di dalam medium yang mengandung urea. Jika urease ada, urea
akan diuraikan menjadi karbon dioksida dan ammonia, akibatnya terjadi peningkatan pH
medium dan selanjutnya terjadi perubahan warna pada medium. Test ini memiliki
kelebihan yaitu tidak mahal, cepat dan tersedia secara luas. Akan tetapi, test ini dibatasi
oleh kemungkinan hasil positif palsu, dimana terjadi penurunan aktivitas urease yang
disebabkan konsumsi antibiotik yang masih baru, senyawa bismuth, inhibitor pompa
proton atau sucralfate atau oleh reflux empedu, bisa turut andil atas hasil positif palsu ini.
(9,19,21)

2.3.5. Urea Breath Test


Urea Breath Test/ Test Napas Urea mengandalkan aktivitas urease H. pylori untuk
mendeteksi keberadaan infeksi aktif. Dalam test ini, pasien yang diduga mengidap infeksi
diberi urea berlabel-14C atau urea berlabel-13C. Urea berlabel-14C atau 13
C memiliki
kelebihan bersifat nonradioaktif dan karenanya lebih aman untuk anak-anak dan wanita
setelah melahirkan. Jika ada urease, akan menguraikan urea menjadi ammonia dan karbon
dioksida, karbon dioksida diserap dan akhirnya terekspirasikan di dalam napas, di mana
senyawa ini akan terdeteksi. Urea Breath Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih
dari 90 %. Selain sangat bagus untuk mendokumentasikan infeksi aktif, test ini juga sangat
bernilai untuk memastikan ketiadaan infeksi setelah pengobatan. Juga penting pada pasien
dengan riwayat penyakit ulcus yang terkomplikasi yang disertai perdarahan atau perforasi.
Selain itu, Urea Breath Test tidak mahal dengan isotop manapun yang digunakan, mudah
dilaksanakan dan tidak mengharuskan endoskopi. Akan tetapi, jika pasien baru
mengkonsumsi inhibitor pompa proton, antibiotik atau senyawa bismuth, Urea Breath Test
bisa terbatas manfaatnya. Karena itu, setidaknya jarak 1 minggu waktu antara penghentian
obat antisekresi dan Urea Breath Test dilaksanakan 4 minggu setelah pengobatan selesai
(eradikasi). Tambahan lagi, kecuali untuk pusat medis besar di mana hasil-hasil biasanya
tersedia dalam waktu kurang dari 24 jam, Urea Breath Test juga bisa untuk waktu beberapa
hari yang dibutuhkan untuk pengangkutan sampel dan analisa oleh laboratorium. (9,18,19)
Pemeriksaan Urea Breath Test bersifat non invasif, tidak menggunakan bahan
radioaktif, hasil cepat, praktis tanpa persiapan khusus dan tanpa efek samping.
Pemeriksaan Urea Breath Test dapat dilakukan dengan menggunakan alat Infra Red

Universitas Sumatera Utara


Isotope Analyser (IRIS) untuk mendeteksi adanya H. pylori. Prosedur pemeriksaan
dilakukan dengan cara meniupkan udara pernafasan kedalam kantong udara yang tersedia
yang kemudian dihubungkan ke alat IRIS untuk mengetahui ada tidaknya H. pylori.
Prosedurnya sederhana dan hasilnya cepat dengan waktu ± 30 menit. Non invasif karena
tidak ada alat yang dimasukkan kedalam tubuh dan tanpa efek samping karena hanya
menggunakan udara pernafasan. (9,22)

2.3.6. Serologi Test


Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Pemeriksaan serologi dengan metode ELISA untuk melihat adanya antibodi
terhadap kuman H. pylori memililki sensitivitas 90-95 % dan spesifitas 92 %. Teknik ini
dinilai cukup efektif, ekonomis serta lebih mudah dilakukan dibanding tes diagnostik
lainnya. Sebagai reaksi terhadap infeksi H. pylori, sistem kekebalan akan memunculkan
reaksi melalui produksi immunoglobulin terhadap antigen spesifik organisme. Antibodi ini
bisa terdeteksi dalam serum atau sampel darah yang dengan mudah diperoleh. Keberadaan
antibodi IgG terhadap H. pylori bisa dideteksi dengan menggunakan pengujian biokimia
dan banyak pengujian yang berbeda-beda tersedia. (9,18,19,23)
Test serologi menawarkan cara cepat, mudah, non invasif dan relatif tidak mahal
dalam mengidentifikasi pasien yang terinfeksi dengan organisme. Akan tetapi, metode ini
kurang bermanfaat dalam menentukan jumlah H. pylori pada sampel dan perubahan titer
H. pylori setelah eradikasi. Pada populasi prevalensi rendah, test serologi merupakan
metodologi lini kedua karena nilai prediksi positif yang rendah dan kecenderungan ke arah
hasil positif palsu. Test serologi berguna dalam mengidentifikasi H. pylori dengan
mendeteksi antibodi yang terkait dengan penyakit yang lebih berat yaitu, ulcus yang
terkomplikasi, kanker lambung dan lymphoma. (9,19)

Prinsip test
Prinsip test ini didasarkan pada teknik ELISA. Test ini untuk menentukan kadar
semi kuantitatif IgG H. pylori di dalam serum atau plasma manusia. Dengan teknik ini
sumur-sumur mikro dilapisi dengan antigen H. pylori spesifik. Kemudian sampel serum
dibiarkan bereaksi dengan antigen. Jika antibodi spesifik ada di dalam serum, antibodi
tersebut akan mengalami pengikatan pada antigen H. pylori. Setelah inkubasi pada suhu
kamar, sumur-sumur dicuci dengan larutan buffer phosphate 0,05 % dengan pH = 6 untuk
menghilangkan antibodi yang tidak terikat. Setelah pencucian sumur, IgG anti-H. pylori

Universitas Sumatera Utara


yang tertangkap akan bereaksi dengan antibodi berkonjugasi IgG anti-manusia yang
dilabelkan dengan Horseradish Peroxidase (HRP)/ Alkalin Phosphatase (AP) yang
ditambahkan ke dalam sumur. Konjugat enzym alkalin Phosphatase ini menjadi terikat
pada kompleks antibodi-antigen. Setelah inkubasi, komponen-komponen yang tidak
terikat dihilangkan kembali dengan pencucian. Alkalin phosphatase yang terikat akan
bereaksi dengan penambahan komponen khromogenik tetramethylbenzidine dan hydrogen
peroxide, setelah diinkubasi akan menghasilkan warna biru. Perkembangan warna
dihentikan dengan penambahan larutan stop asam hidroklorat dengan pH < 1. Warna
berubah menjadi kuning dan diukur secara spektrophotometrik pada 450 nm. Intensitas
warna yang dihasilkan sebanding dengan jumlah antibodi spesifik IgG dalam sampel.
Hasil-hasil dibaca dengan alat pembaca sumur mikro yang dibandingkan secara paralel
dengan kalibrator dan kontrol. (12,13,14,23,24)

Gambar 2.2. : Prinsip Test. (13)

Saat ini telah banyak dilaporkan kemungkinan terlibatnya H. pylori dengan


terjadinya hiperemesis gravidarum. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara hiperemesis gravidarum dengan infeksi H. pylori. Mekanisme terjadinya
hal ini dapat dijelaskan secara teoritis yaitu bahwa infeksi subklinis H. pylori merupakan
akibat perubahan kadar hormon steroid dan pH lambung pada kehamilan. Para peneliti
membuat suatu hipotesa bahwa pada fase awal kehamilan, perubahan pada konsentrasi
cairan tubuh wanita mempengaruhi pH saluran cerna, yang kemudian dapat mengaktifkan
H. pylori laten yang ada di saluran cerna. Perubahan pH saluran cerna dapat mengaktivasi

Universitas Sumatera Utara


bakteri H. pylori laten sehingga timbul manifestasi penyakit tersebut. Juga beberapa
laporan kasus menyatakan bahwa pemberantasan infeksi H. pylori memperbaiki klinis
hiperemesis gravidarum. (9,19,25,26)
Beberapa penelitian H. pylori pada hiperemesis gravidarum dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Penelitian Hiperemesis % Kontrol % P
Gravidarum
Frigo 95/105 90,5 60/129 46,5 < 0,001
Kocak 87/95 91,5 52/116 44,8 < 0,001
Erden 40/47 85,1 25/39 64,1 < 0,05
Hayakawa 18/34 52,9 6/29 20,6 < 0,0005
Khayati 48/54 88,9 22/54 40,7 < 0,001
Tabel 2.4. : Hasil Penelitian H. pylori Seropositif pada Hiperemesis Gravidarum. (6,7)

Infeksi kronis H. pylori dinyatakan sebagai salah satu faktor penyebab hiperemesis
gravidarum, walaupun bukan merupakan penyebab tunggal hiperemesis gravidarum. Pada
tahun 1998 Frigo di Austria pertama sekali menghubungkan antara hiperemesis
gravidarum dengan H. pylori seropositif, dilaporkan infeksi H. pylori pada 90,5 % pasien
hiperemesis gravidarum dan 46,5 % pada kontrol. Menurutnya, infeksi H. pylori dapat
menyebabkan hiperemesis gravidarum. Hubungan ini didukung oleh berbagai penelitian
lain. Kocak di Turkey tahun 1999 menyatakan adanya hubungan antara infeksi H. pylori
dengan hiperemesis gravidarum. Penelitian ini menggunakan tes antibodi serum H. pylori
spesifik untuk menilai hubungan infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Kocak
melakukan penelitian terhadap 95 pasien hiperemesis gravidarum dan 116 kontrol.
H. pylori ditemukan pada 91,5 % pasien hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan
44,8 % pada kontrol. Erden di Turkey tahun 2002 melakukan penelitian pada wanita hamil
dengan hiperemesis gravidarum. Serologi positif untuk infeksi H. pylori ditemukan pada
85,1 % pasien hiperemesis gravidarum dan 64,1 % pada kontrol. Hayakawa di Jepang
tahun 2000 memeriksa genome H. pylori pada saliva. Dari penelitian tersebut disimpulkan
bahwa infeksi kronis H. pylori merupakan salah satu faktor penting sebagai penyebab
hiperemesis gravidarum walaupun bukan merupakan penyebab tunggal penyakit tersebut.
Tahun 2002 Khayati di Iran menemukan banyak pasien hiperemesis gravidarum dengan
seropositif terhadap infeksi H. pylori, tetapi tidak menunjukkan korelasi antara H. pylori

Universitas Sumatera Utara


seropositif dengan onset dan durasi hiperemesis gravidarum. Walaupun infeksi H. pylori
merupakan faktor penting pada hiperemesis gravidarum, tetapi tidak menggambarkan
penyebab tunggal penyakit tersebut. (6,7)
Jamal di Iran tahun 2002 menemukan konsentrasi IgG serum positif pada 26 pasien
(66,7 %) dari 39 pasien hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan 23 pasien (41,8 %)
dari 55 pasien kontrol. Perbedaan signifikan secara statistik (P < 0,015) pada wanita
dengan hiperemesis gravidarum daripada wanita dalam kelompok kontrol. Tampak bahwa
infeksi H. pylori mempunyai hubungan yang signifikan dengan hiperemesis gravidarum.
Blecker meneliti kemungkinan transmisi antibodi anti H. pylori dari ibu ke bayi. Dari
seluruh bayi yang dilahirkan dari ibu dengan H. pylori seropositif didapatkan IgG anti H.
pylori positif dari darah tali pusat pada waktu kelahiran, tetapi titer berubah menjadi
negatif pada usia 3 bulan. Karenanya disimpulkan antibodi IgG terhadap H. pylori dapat
melewati sawar plasenta, namun walaupun ditemukan infeksi H. pylori pada ibu, janin
yang lahir dari wanita positif infeksi H. pylori tidak menunjukkan peningkatan resiko
perkembangan H. pylori selama tahun pertama kehidupannya. (1)

2.3.7. Stool Antigen Test


H. pylori Stool Antigen (HpSA)/ Pengujian antigen tinja merupakan metodologi
yang relatif baru yang menggunakan enzyme immunoassay untuk mendeteksi keberadaan
antigen H. pylori di dalam spesimen tinja. Biaya cukup efektif dan cara yang handal dalam
mendiagnosa infeksi aktif dan menegaskan kesembuhan. Pengujian ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan sensitivitas dan spesifisitas test non
invasif lainnya. Stool Antigen Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90 %.
(9,10,27)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai