Anda di halaman 1dari 10

Mudharabah dan Musyarakah serta Implementasinya dalam Perbankan

Islam
Ditulis pada Juni 6, 2011 oleh ayahaca

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH

Oleh : M. Irfan Syahroni, M.S.I.

A. Pendahuluan

Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan musyarakah
merupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datang. Sebagaimana Lewis dan Algaoud mengutip pendapat
Crone, Kazarian dan Cizaka, bahwa di Timur Tengah pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah dan
musyarakah berjalan berdampingan dengan konsep pinjam sistem bunga sebagai cara untuk membiayai berbagai aktivitas ekonomi[1].
Kemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis riba[2] (bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar
bagi hasil (profit and loss sharing).

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hikmah diharamkannya riba antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan sikap permusuhan antar individu
dan juga menghilangkan tolong-menolong sesame manusia; kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau mendapatkan harta
tanpa kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih payah orang lain; ketiga, riba adalah salah satu bentuk penjajahan; dan keempat,
Islam mengajak manusia agar mendermakan kepada saudaranya yang membutuhkan[3].

Sedangkan al-Razi sebagaimana dikutip Lewis dan Algaoud mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba antara lain: pertama, riba tak lain
adalah perampasan hak milik orang lain tanpa ada nilai imbangan; kedua, riba dilarang karena menghalangi orang dari keikutsertaan dalam
profesi-profesi aktif; ketiga, perjanjian riba menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat, perjanjian riba adalah alat
yang digunakan orang kaya untuk mendapatkan kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan keadilan dan persamaan; dan kelima,
keharaman riba dinyatakan oleh nas Al-Qur’an dan manusia tidak harus mengetahui alasannya[4].

Dengan melarang riba, Islam berusaha membangun sebuah masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan[5]. Keadilan dalam konteks ini
memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan, dan
imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang dimodalinya. Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang ditetapkan
sebelumnya.

Di Indonesia bunga bank masih menjadi polemik tersendiri karena para ulama masih belum sepakat tentang boleh-tidaknya sehingga dalam
praktek, baik perbankan syariah[6] maupun perbankan konvensional berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan menjadi
tiga pandangan, yaitu: pertama, bunga bank adalah termasuk dalam kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur; kedua,
bunga bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan; ketiga, riba termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga
sebaiknya bunga bank tidak dilakukan[7].

Perbedaan pokok antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah pada penggunaan bunga dalam pembiayaannya ( equity
financing). Kalau perbankan konvensional menggunakan sistem bunga, maka perbankan syariah tidak menggunakan bunga tetapi sistem bagi
hasil.

Mudharabah dan musyarakah atau yang sering dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah dua model perkongsian yang
direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem riba. Maka, dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikan mudharabah dan
musyarakah serta implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).

B. Mudharabah dan Implementasinya dalam Perbankan Syariah

1. Definisi Mudharabah

Mudharabah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata dharab yang bermakna memukul, bergerak, pergi, mewajibkan, mengambil bagian,
berpartisipasi[8]. Dalam kaitannya dengan pengertian mudharabah maka yang lebih cocok adalah mengambil bagian dan berpartisipasi.

Adapun menurut istilah ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun di sini penulis hanya mengutip beberapa bendapat
saja antara lain:

a. Menurut Sayyid Sabiq “Mudharabah adalah akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal)
kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan”.[9]
b. Antonio mengutip pendapat al-Syarbasyi sebagai berikut: “Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
(shabib al-mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola, dan keuntungan usaha secara dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian
si pengelola”.[10]

c. Lewis dan Algaoud mendefinisikan mudharabah sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal
(shahib al-mal atau rab al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas
atau usaha. Konsekuensinya para pemberi pinjaman memperoleh bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai[11].

d. Adiwarman mengutip pendapat M. Anwar Ibrahim bahwa “Mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan
kerja dari pihak lain, dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak
kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung”. [12]

Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah akad antara dua belah pihak atau lebih, antara pemilik modal (shahib
al-mal) dengan pengelola usaha (mudhararib) dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan kesepakatan yang
tertuang di dalam kontrak, dimana bila usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola usaha (profit and lost sharing).

2. Landasan Syariah Mudharabah

Mudharabah hukumnya adalah boleh sesuai dengan ijma’ (kesepakatan) ulama.[13] Di dalam Al-Qur’an maupun hadis banyak dijumpai ayat
maupun hadis yang menganjurkan manusia untuk menjalankan usaha. Berikut ini akan dipaparkan beberapa ayat dan hadits berkenaan dengan
anjuran untuk melakukan usaha.

… #$!« tbrãyz#uäur tbqç/ΎôØtƒ ’Îû ÇÚö‘F{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù …

Artinya : “…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah….” (Q.S. al-Muzammil: 20)

… ‘§/øŠs9 öNà6ø‹n=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În §}

Artinya : “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…” (Q.S. al-Baqarah : 198)

‫ كا ن سيدنا ا لعبا س بن عبد ا لمطلب إ ذا دفع ا لما ل مضا ربة ا شترط على صا حبه أ ن ال يسلك به بحرا وال ينزل به وا ديا وال يشترى به دا بة ذا ت كبد‬: ‫روى ا بن عبا س رضي هللا عنهما ا نه قا ل‬
‫رطبة فإ ن فعل ذلك ضمن فبلغ شرطه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فأجا زه‬

Artinya : “Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Sayyidina Abbas ibn Abd al-Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah
ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi
peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Kemudian hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW dan
beliau membolehkannya.” (H.R. Thabrani).

‫ قا ل رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ثال ث فيهن البركة ا لبيع إ لى أ جل وا لمقا رضة وأ خال ط ا لبُر با لشعير للبيت ال للبيع‬: ‫عن صا لح صهيب عن أ بيه قا ل‬

Artinya : “Dari Shalih ibn Shuhaib bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara
tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (H.R. Ibn Majah).

3. Jenis-jenis Mudharabah

Secara umum mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah[14]. Berikut ini akan
dikemukakan kedua macam pembagian mudharabah di atas.

a. Mudharabah Muthlaqah

Yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemodal (shahib al-mal) dan pengusaha (mudharib) yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharabah muthlaqah ini shahib al-mal
memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada mudharib dalam mengelola modal dan usahanya.[15]

b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari
mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib) dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan
ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha.[16]

4. Implementasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah

Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada
:

a. tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa;

b. deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau
ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :

a. pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;

b. investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal (bank).[17]

5. Manfaat dan Resiko Mudharabah

Dalam mudharabah di samping terdapat keuntungan dari sistem bagi hasil yang diterapkan, tapi juga terdapat resiko yang harus ditanggung. Jika
usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh shahib al-mal (bank) selama kerugian itu bukan disebabkan
oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha (nasabah). Namun, jika usaha yang dijalankan tersebut mengalami kerugian disebabkan oleh kelalaian
dari pihak pengelola usaha, maka kerugian tersebut harus ditanggung oleh pihak pengelola, bukan pihak pemberi modal (bank).

Adapun manfaat yang diperoleh dari sistem mudharabah ini antara lain :

a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat;

b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapat/hasil usaha
bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.

d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang
konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap
berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Sedangkan resiko dalam mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :

a. side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak;

b. lalai dan kesalahan yang disengaja;

c. penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.[18]

Dengan demikian, esensi dari kontrak mudharabah adalah kerja sama untuk mencapai profit (keuntungan) berdasarkan akumulasi dasar dari
pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui kedua komponen ini. Resiko juga menentukan profit dalam mudharabah. Pihak
investor menanggung resiko kerugian dari modal yang telah diberikan, sedangkan pihak mudharib menanggung resiko tidak mendapatkan
keuntungan hasil pekerjaan dan usaha yang telah dijalankannya.[19]

Secara umum, aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Skema Mudharabah[20]

C. Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah

1. Definisi Musyarakah

Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata syaraka yang bermakna bersekutu, meyetujui.[21] Sedangkan
menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan[22].

Lewis dan Algaoud juga memberikan definisi musyarakah sebagai sebuah bentuk kemitraan dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal
atau kerja mereka untuk merbagi keuntungan, menikmatai hak-hak dan tanggung jawab yang sama.[23]

2. Landasan Hukum Syariah Musyarakah

bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# ‘Éóö6u‹s9 öNåkÝÕ÷èt/ 4 ’n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨ …

Artinya : “… dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh”. (Q.S. Shad: 24)

‫عن أ بي هريرة رفعه قا ل إ ن هللا يقول أ نا ثا لث ا لشريكين ما لم يخن أ حدهما صاحبه‬

Artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat
selama salah satunya tidak menghianati lainnya.'” (H.R. Abu Dawud)

Kedua ayat dan hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam mengakui tentang eksistensi perkongsian serta membolehkannya selama salah satu
pihak yang bersekutu tetap memegang teguh kesepakatan yang telah dibuat dan tidak berkhianat.

3. Jenis-jenis Musyarakah

Musyarakah ada dua jenis, yaitu: musyarakah kepemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah kepemilikan terjadi karenawarisan,
wasiat, dan kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang
atau lebih berbagi dalam sebuah asset nayata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.

Musayarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal
musyarakah. Merekapun sepakat membagi keuntungan dan kerugian.

Musyarakah akad terbagi menjadi : al-‘inan, al-mufawwadhah, al-a’mal, al-wujuh, dan al-mudharabah. Para ulama berbeda berbeda pendapat
tentang al-mudharabah, apakah ia termasuk jenis musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap al-mudharabah termasuk kategori
musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat sebuah akad (kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain menganggap al-mudharabah tidak
termasuk sebagai musyarakah.[24] Berikut ini akan jelaskan mengenai pembagian musyarakah akad tersebut.

Syirkah al-‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan
berpartisipasi dalam kerja, dan kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati dalam kontrak. Akan tetapi,
porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.

Syirkah al-mufawwadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan
dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dalam jenis syirkah inisyarat utamanya
adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
Syirkah al-a’mal atau kadang disebut juga dengan musyarakah abdan atau sana’i adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.

Syirkah al-wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis, dimana mereka
membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, dan mereka berbagi dalam keuntungan dan
kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra. Jenis syrirkah ini tidak memerlukan modal karena pembelian
secara kredit berdasar pada jaminan tersebut, sehingga syirkah ini biasa disebut dengan musyarakah piutang.[25]

Adapun jenis syirkah al-mudharabah sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sehingga didak perlu lagi dipaparkan di sini.

4. Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah

Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-pembiayaan seperti:

a. Pembiayaan Proyek

Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai
proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

b. Modal Ventura

Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema
modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian
sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.

5. Manfaat dan Resiko Musyarakah

Dalam musyarakah terdapat manfaat dan resiko yang harus ditanggung bersama antara kedua belah pihak yang melakukan akad sesuai dengan
kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Manfaat yang diperoleh dari akad musyarakah ini adalah :

a. Bank akan mengalami peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

b. Bank tidak berkewajiban menbayar pendanaan secara tetap dalam jumlah tertentu kepada nasabah, tetapi disesuaikan dengan
pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

c. Pengembalian pokok pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan
yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagi.

e. Prinsip bagi hasil dalam musyarakah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap
berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Sedangkan resiko dalam musyarakah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :

a. side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak;

b. lalai dan kesalahan yang disengaja;

c. penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.[26]

Pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua
belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama
pada awal perjanjian (akad). Mudharabah dan musyarakah berbeda pada beberapa hal sebagaimana berikut :
Dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, dan dalam manajemen shahib al-mal tidak
diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan. Bagi hasil
diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan. Sedangkan dalam musyarakah, kedua belah pihak ikut andil
dalam pemodalan (equity participation) dan masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen, sehingga porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh
sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen ini. Sedang bila usaha
merugi, maka kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut karena musyarakah menganut azas profit and loss sharing contract[27].

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka implementasi musyarakah dalam perbankan syariah lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2. Skema Musyarakah[28]

Dari pemaparan di atas, baik mengenai mudharabah maupun musyarakah bahwasanya perbedaan bank syariah dengan bank konvensional
dapat dilihat pada hubungan antara bank dengan nasabahnya. Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara
debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib al-mal) dengan pengelola dana (mudharib).
Sedangkan pada bank konvensional, para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan.
Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat
bunga tertentu.[29]

Melihat betapa urgent dan besarnya manfaat yang diberikan dengan keberadaan sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah,
maka di akhir pembahasan ini penulis memaparkan beberapa implikasi sosial ekonomi yang merupakan keistimewaan dari perbankan syariah,
kiranya dapat menjadi motivasi bagi pembaca agar senantiasi mengutamakan bank syariah daripada bank konvensional. Keistimewaan-
keistimewaan tersebut antara lain :

a. Pertumbuhan ekonomi, dimana tujuan utama perbankan syariah adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam kehidupan
masyarakat.

b. Mencegah capital flight yang dapat memperlemah pertumbuhan ekonomi.

c. Jaminan sosial dan pemerataan kekayaan,.

d. Prinsip operasional perbankan syariah menggunakan nilai-nilai syariah, sehingga dapat menciptakan kemaslahatan masyarakat.

e. Dalam perbankan syariah terdapat dewan pengawas syariah (DPS) untuk mengawasi keabsahan kegiatan atau transaksi yang ada.

f. Memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan bisnis.[30]

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-urain tentang mudharabah dan musyarakat serta implementasinya dalam perbankan syariah di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian
(kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang
disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Dan kedua jenis perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian (profit and loss
sharing)

Mudharabah dan musyarakah memiliki perbedaan pada beberapa hal : pertama, dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh
dana yang dibutuhkan mudharib, sedang dalam musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation); kedua, dalam
manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk
mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen; ketiga, dalam
mudharabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai
dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan
frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen; keempat, dalam mudharabah kerugian ditanggung oleh shahib al-mal selama kerugian
tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak mudharib, sedang dalam musyarakah kedua pihak sama-sama menanggung kerugian
tersebut.

Daftar Pustaka

Ali, Atabik, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta, Multi Karya Grafika, cet. VIII, 2003.

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, 2001.
Arifin, Zainul, Dasar-dasar Manajemen Perbankan Syariah, Jakarta, Pustaka Alvabet, cet. IV, 2006.

Ilmi, Makhalul SM, Teori dan praktek Mikro Keuangan Syari’ah: Beberapa Permasalahan dan Alternatif Solusi, Yogyakarta, UII Press, 2002.

Kara, Muslimin H., Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press,
2005.

Karim, Adiwarman A., Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007.

Lewis, Mervvyn, Latifa Algaoud, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek, dan Prospek, Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, cet. II, 2004.

Marthon, Said Sa’ad, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta, Zikrul Hakim, penerjemah, Ahmad Ikhrom dan Dimyaudin, 2004.

Masyhuri (Ed), Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005.

Nasution, Mustafa Edwin (et.al.), Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. II, 2007.

Parmudi, Muchammad, Sejarah dan Doktrin Bank Islam, Yogyakarta: Kutub, 2005.

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jilid III, Jakarta, Pustaka Amani, penerjemah, Imam Ghazali Said dan Achmad
Zaidun, cet. III, 2007.

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid IV, Jakarta, Pena Pundi Aksara, penerjemah: Nor Hasanuddin, 2006.

Saeed, Abdullah, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, Jakarta, Paramadina, penerjemah, Arif
Maftuhin, cet. II, 2004.

_____________, Bank Islam dan Bunga: studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, penerjemah,
Muhammad Ufuqil Muhibin, dkk., cet. II, 2004.

[1]Mervvyn Lewis dan Latifa Algaoud, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek, dan Prospek, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), cet. II, hlm.
14.

[2] Riba adalah tambahan tambahan atas modal, sedikit atau banyak (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid IV, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006), penerjemah: Nor Hasanuddin, hlm. 173). Pengharaman bunga (riba) dilakukan Al-Qur’an secara bertahap, yaitu: pertama, menolak
anggapan bahwa pinjaman riba seolah-olah menolong orang-orang yang memerlukannya (Q.S. ar-Rum: 39); kedua, riba digambarkan sebagai
hal yang buruk (Q.S. an-Nisa: 160-161); ketiga, larangan memakan riba yang berlipat ganda (Q.S. Ali Imran: 130); dan keempat, larangan
terhadap berbagai jenis tambahan yang diambil dari pinjaman (Q.S. al-Baqarah: 278-279).

[3] Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 175.

[4] Mervvyn Lewis dan Latifa Algaoud, op.cit., hlm. 61-62.

[5] Konsep perbankan dalam Islam bersandar pada keadilan dan keharmonisan antara realita dan keinginan manusia, artinya, perbankan Islam
mencoba menjembatani antara realita dan hasrat manusia untuk mendapatkan keuntungan namun dalam kerangka yang adil. Lihat Masyhuri
(Ed), Teori Ekonomi dalam Islam, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 138.

[6] Perkembangan bank-bank dengan landasan syariah Islam di berbagai negara dimulai pada dekade 1970-an. Di Indonesia, pendirian bank
syariah diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui satu lokakarya yang menghasilkan Tim Perbankan MUI. Tim ini kemudian
menghasilkan pendirian Bank Muamalat Indonesia pada 1 November 1991. Namun, Bank Muamalat mulai resmi beroperasi pada 1 Mei 1992
dengan modal awal sekitar Rp 106 miliar. Lihat Mustafa Edwin Nasution (et.al.), Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007), cet. II, hlm. 294. Lihat pula Muchammad Parmudi, Sejarah dan Doktrin Bank Islam, (Yogyakarta: Kutub, 2005),
hlm. 55-59.
[7] Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII Press,
2005), hlm. 80.

[8] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), cet. VIII, hlm. 1205-1206.

[9] Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 218.Lihat pula Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis,
(Jakarta: Paramadina, 2004), penerjemah, Arif Maftuhin, cet. II, hlm. 77.

[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 95. Pendapat ini senada dengan
yang dikemukakan oleh Ilmi, Lihat Makhalul Ilmi SM, Teori dan praktek Mikro Keuangan Syari’ah: Beberapa Permasalahan dan Alternatif Solusi,
(Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 32; dan Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) penerjemah, Muhammad Ufuqil Muhibin, dkk., cet. II, hlm. 91.

[11] Mervvyn Lewis dan Latifa Algaoud, op.cit., hlm. 66.

[12] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007), hlm. 204-205.

[13] Sayyid Sabiq, loc.cit.

[14] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hlm. 97.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Ibid., hlm. 97-98.

[19] Abdullah Saeed, Bank Islam…op.cit., hlm. 97-98.

[20] Muhammad Syafi’i Antonio, loc.cit.

[21] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, op.cit., hlm. 1110.

[22] Muhammad Syafi’I Antonio, op.cit., hlm. 90. Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jilid III, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), penerjemah, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. III, hlm. 143.

[23] Lewis dan Algaoud, op.cit., hlm. 69.

[24] Ibid., hlm. 91-92.

[25] Ibid., hlm. 92-93.

[26] Ibid., hlm. 93-94. Lihat pula Mustafa Edwin Nasution (et.al.), op.cit., hlm. 296.

[27] Makhalul Ilmi SM, op.cit., hlm. 42 dan Muhammad Parmudi, op.cit., hlm. 67-69.

[28] Muhammad Syafi’i Antonio, loc.cit.

[29] Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), cet. IV, hlm. 46.
[30] Said Sa’ad Marthon, ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), penerjemah, Ahmad Ikhrom dan
Dimyaudin, hlm. 134-135.

Istilah syirkah atau musyarakah sebenarnya sudah familier dan banyak dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia. Dalam keseharian kita
mengenal istilah serikat, kongsi atau perkumpulan, sama halnya dengan istilah musyarakah yang secara bahasa juga berarti bercampur,
yakni mencampur satu modal dengan modal yang lain menjadi satu.

Secara sederhana, dapat dipahami bahwa musyarakah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian untuk melaksanakan suatu jenis usaha yang halal dan produktif, dengan
tujuan memperoleh dan berbagi keuntungan.

BERITA REKOMENDASI

 Mobile Banking iB
 Tabungan iB, Menabung Sekaligus Berinvestasi
 Peran Ekonomi Syariah Makin Penting

Dalam aplikasi perbankan syariah, musyarakah terutama diterapkan dalam pembiayaan, di mana bank sebagai pemilik modal bekerjasama
dengan pengusaha, dengan kontribusi modal dan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Pembiayaan musyarakah di perbankan syariah
bisa berikan dalam berbagai bentuk, di antaranya:

Pertama, musyarakah permanen (continous musyarakah), di mana pihak bank merupakan partner tetap dalam suatu proyek atau usaha.
Model ini jarang dipraktikkan, namun musyarakah permanen ini merupakan alternatif menarik bagi investasi surat-surat berharga atau
saham, yang dapat dijadikan salah satu portfolio investasi bank.

Kedua, musyarakah digunakan untuk pembiayaan modal kerja (working capital), di mana bank merupakan partner pada tahap awal dari
sebuah usaha atau proses produksi. Dalam model pembiayaan ini, pihak bank akan menyediakan dana untuk membeli aset atau alat-alat
produksi, begitu juga dengan partner musyarakah lainnya.

Setelah usaha berjalan dan dapat mendatangkan profit, porsi kepemilikan bank atas aset dan alat produksi akan berkurang karena dibeli oleh
para partner lainnya, dan pada akhirnya akan menjadi nol, model pembiayaan ini lebih dikenal dengan istilah deminishing musyarakah, dan
model ini yang banyak diaplikasikan dalam perbankan syariah.

Ketiga, musyarakah digunakan untuk pembiayaan jangka pendek. Musyarakah jenis ini bisa diaplikasikan dalam bentuk project finance
atau pembiayaan perdagangan, seperti ekspor, impor, penyediaan bahan mentah atau keperluan-keperluan khusus nasabah lainnya.

Mengenai bagi hasil, ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu profit sharing (bagi laba) dan revenue sharing (bagi pendapatan). Jika
memakai metode revenue sharing, berarti yang dibagi hasil antara bank dan nasabah pembiayaan adalah pendapatan tanpa dikurangi dengan
biaya-biaya.

Sedangkan apabila menggunakan metode profit sharing, maka yang dibagi hasil antara bank dengan nasabah pembiayaan adalah pendapatan
setelah dikurangi biaya-biaya (laba). Namun, yang saat ini dipakai dalam praktik perbankan syariah adalah metode revenue sharing.

Sebagai ilustrasi, seorang pengusaha jasa konstruksi memperoleh proyek pembangunan jembatan dari pemerintah daerah dengan total nilai
proyek Rp1,4 miliar, yang dibagi dalam tiga termin pembayaran (termin I Rp200 juta, termin II Rp400 juta, dan termin II Rp800 juta).

Total modal yang dibutuhkan adalah Rp1 miliar, sementara ia hanya memiliki modal Rp400 juta. Maka ia dapat mengajukan penambahan
modal kerja kepada bank syariah sebesar Rp600 juta. Atas permohonan nasabah tersebut, bank syariah akan memberikan pembiayaan
berbasis bagi hasil berupa pemberian tambahan modal sejumlah Rp600 juta yang dijadikan penyertaan bank syariah dalam proyek tersebut
dengan menggunakan akad kemitraan bagi hasil (musyarakah).

Dalam hal ini, kontraktor dan bank syariah bermitra dalam bentuk kongsi penyertaan modal. Misalnya disepakati nisbah bagi hasil adalah 40
persen untuk pengusaha dan 60 persen untuk bank syariah. Misalnya juga disepakati proyeksi keuntungan total sebesar Rp400 juta. Maka
ilustrasi pembayaran untuk pembiayaan modal kerja iB oleh pengusaha sebagai berikut:

Termin I, pembayaran dari pemerintah sebesar Rp200 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp100 juta dan bagi hasil
bagi bank syariah sebesar Rp34,3 juta (1/7 x 60 persen x Rp400 juta).

Termin II, pembayaran dari pemerintah sebesar Rp400 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp200 juta dan bagi hasil
bagi bank syariah sebesar Rp68,6 juta (2/7 x 60 persen x Rp400 juta).

Termin III, pembayaran dari pemerintah sebesar Rp800 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp300 juta dan bagi hasil
bagi bank syariah sebesar Rp137,1 juta (3/7 x 60 persen x Rp400 juta).
Dari ilustrasi di atas, terlihat bahwa sistem bagi hasil di bank syariah berbeda dengan bunga pada bank konvensional. Kalau di bank
kovensional, besarnya persentase bunga ditentukan di awal berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan. Misalnya 15 persen dari besar
pinjaman, tanpa memperdulikan berapa keuntungan atau kerugian dari usaha yang dibiayai.

Sedangkan dalam bagi hasil, besarnya bagi hasil tidak didasarkan pada jumlah pinjaman (pembiayaan), tetapi berdasarkan porsi (nisbah)
tertentu dari keuntungan yang diperoleh, misalnya, 40:60 (40 persen keuntungan untuk bank dan 60 persen untuk deposan) atau 35:65 (35
persen untuk bank dan 65 persen untuk deposan) dan seterusnya. Disinilah letak nilai keadilan dari konsep bagi hasil yang ada di bank
syariah.

Diasuh Oleh:

Syamsun Nahar

Bank Syariah Bukopin

Anda mungkin juga menyukai