Makalah Psi Perkembangan Kel 4
Makalah Psi Perkembangan Kel 4
Disusun Oleh :
Anisah Solihat 21122416
Diana Adhana 19122174
Maelani fitriyani 19122216
Neng Aah Paridatul Muflihah 19122223
Novia Agustin 19122226
Ridwan Muhamad Fauzi 19122233
Sinta Lestari 19122245
Sukamto 19122257
Wida Nur Alifah 20122365
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, kami panjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT. Karena dengan rahmat dan rahim-Nya yang telah di limpahkan, taufiq dan
hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah di berikan sehingga penyusunan Makalah
tentang Aliran-aliran Perkembangan, navitisme, Empirisme, dan Konvergensi & Teori
Perkembanan Sigmund Freud ini dapat terselesaikan.
Sholawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang pembawa risalah
kebenaran yang semakin teruji kebenarannya Baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga dan
sahabat-sahabat, serta para pengikutnya. Dan Semoga Syafa’atnya selalu menyertai
kehidupan ini.
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas Mata Psikologi Umum Perkembangan
dalam membahas tentang Aliran-aliran Perkembangan, navitisme, Empirisme, dan
Konvergensi & Teori Perkembanan Sigmund Freud
Dimana dalam makalah ini di harapkan lebih membuka wawasan berpikir di bidang terkait
dengannya.
Setitik harapan dari kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi
wacana yang berguna. Kami menyadari keterbatasan yang kami miliki. Untuk itu, kami
mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
penyempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
3.1 Kesimpulan........................................................................................................ 14
3.2 Saran.................................................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
Sebuah Pendidikan merupakan sarana yang diciptakan untuk membentuk manusia yang utuh.
Tentunya sasaran dari Pendidikan ini adalah manusia. Pendidikan bermaksud menumbuh
kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih untuk
menjadi manusia. Pendidikan selalu mengalami perkembangan, seiring dengan perkembangan
sosial-budaya dan perkembangan iptek. Perkembangan pendidikan itu, mengakibatkan
terbentuknya pemikiran-pemikiran yang membawa pembaharuan pendidikan yang di sebut juga
dengan aliran-aliran pendidikan.
Pendidikan yang memiliki aliran-aliran ini, baik aliran klasik ataupun aliran yang baru perlu
kita bahas di dalam makalah ini, karena perlu kita ketahui juga bahwa Pendidikan ini memiliki
beberapa lingkungan, diantaranya adalah yang akan kita bahas dalam makalah ini. Mungkin saja
dengan mengetahui aliran klasik dan aliran yang baru, maka berbagai aspek dari aliran itu harus
di pahami terlebih dahulu, agar dapat mengetahui makna dari setiap pemikiran dalam
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Aliran Klasik
Yang dimaksud dengan aliran klasik adalah pemikiran-pemikiran yang ada sejak dulu,
dimulai dari zaman Yunani Kuno. Sampai saat ini aliran-aliran tersebut masih sering
digunakan walaupun dengan perkembangan-perkembangan yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Aliran pendidikan klasik terdiri dari aliran empirisme, navitisme,
konvergensi dan naturalisme.
2. Aliran Modern
Yang dimaksud dengan aliran modern Menurut Mudyaharjo (2001) ada 5 macam aliran
modern dalam pendidikan yaitu progresivisme, eseniallisme,, rekonstruksionalisme,
perennelialisme, dan idealism. Aliran pendidikan modern muncul untuk tujuan
membentuk mutu pendidikan agar lebih maju dan lebih berkembang untuk dimasa yang
akan datang.
Kata empiris bersalah dari bahasa latin empericus yang memiliki arti pengalaman (Idris,
1987:30) Aliran ini menganut paham yang berpendapat bahwa segala pengetahuan, keterampilan
dan sikap manusia dalam perkembangannya ditentukan oleh pengalaman (empiris) nyata melalui
alat inderanya baik secara langsung berinteraksi dengan dunia luarnya maupun melalui proses
pengolahan dalam diri dari apa yang didapatkan secara langsung (Joseph, 2006).
John lock juga mengatakan bahwa anak yang lahir kedunia dapat diumpakan sebagai kertas
putih yang kosong dan yang belum ditulis, menurut aliran ini anak-anak yang lahir ke dunia tidak
4
mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa seperti kertas putih yang polos. Oleh karena itu anak-
anak dapat dibentuk sesuai dengan keinginan orang dewasa yang memberikan warna
pendidikannya.
Contoh aliran empirisme dalam kehidupan sehari-hari misalnya bagaimana kita bisa
mengetahui bahwa api itu panas? Seorang empirisme akan berpandangan bahwa api itu panas
karena memang dia mengalaminya sendiri dengan menyentuh api tersebut dan memperoleh
pengalaman yang kita sebut ‘panas’. Pengetahuan-pengetahuan melalui indera dan pengalaman
tersebut akan disimpan dalam memori otak kita dan dapat dikeluarkan pada saat dibutuhkan.
Dengan kata lain, dengan menggunakan alat inderawi kita akan memperoleh pengalaman yang
menjadi pengetahuan kita kelak.
Kata navitisme berasal dari bahasa latin yang memiliki arti terlahir (Idris, 1987: 31). Dalam
wikipedia bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa navitisme adalah aliran pendidikan yang
berpandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat
alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir. Dalam ilmu kebahasaan aliran nativis,
Douglas Brow (Brow, 2008: 30) mengungkapkan bahwa istilah nativis diambil dari pernyataan
dasar bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan dari sananya, bahwa kita lahir dengan
kapasitas genetik yang memengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang
hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri manusia.
Teori nativis dalam penerimaan bahasa pertama yang diungkapkan oleh Douglas Brow ini
nampaknya tidak jauh berbeda dengan teori navitisme dalam pendidikan yang dipelopori oleh
filosof Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860). Arthur Schopenhauer (Blog Swandika 2011)
5
beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar
ataupun pendidikan.
Jadi, menurut aliran ini, pengetahuan seseorang sepenuhnya dipengaruhi oleh pembawaan
lahir dan gen yang diturunkan oleh kedua orang tua. Pendidikan yang diberikan haruslah
disesuaikan dengan bakat dan pembawaan anak didik itu sendiri. Teori ini percaya bahwa
lingkungan pendidikan maupun lingkungan sekitar yang telah direkayasa oleh orang dewasa
tidak akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang pengetahuan manusia. Dengan kata lain aliran
ini menekankan bahwa pemerolehan pengetahuan manusia hanya berasal dari dalam (internal).
Pembawaan lahir itu ada yang baik ada pula yang buruk. Manusia tumbuh dan berkembang
membawa segala hal yang telah ia bawa sejak lahir. Dan apa yang mereka bawa tersebut, akan
berkembang sesuai arahnya masing-masing. Sedangkan pendidikan tidak akan mempengaruhi
apa-apa.
Konvergensi berasal dari bahasa Inggris dari kata convergenry, artinya pertemuan pada satu
titik. Zahara Idris (1987:33) mengatakan bahwa aliran ini mempertemukan atau mengawinkan
dua aliran yang berlawanan di atas antara navitisme dan empirisme. Perkembangan seseorang
tergantung kepada pembawaan dan lingkungannya. Dengan kata lain pembawaan dan
lingkungan mempengaruhi perkembangan seseorang. Pembawaan seseorang baru berkembang
karena pengaruh lingkungan. Hendaknya pendidik dapat menciptakan lingkungan yang tepat dan
cukup kaya atau beraneka ragam, agar pembawaan dapat berkembang semaksimal mungkin.
Menurut William Stern (Purwanto, 2000:60) ahli ilmu jiwa sekaligus pelopor aliran
konvergensi berbangsa Jerman ini mengatakan bahwa pembawaan dan lingkungan kedua-duanya
menentukan perkembangan manusia.
Akan tetapi, Ngalim Purwanto mengatakan dalam bukunya tentang pendapat W.Stern itu
belum selesai. Dalam aliran ini terdapat dua aliran, yaitu aliran yang dalam hukum konvergensi
ini lebih menekankan kepada pengaruh pembawaan daripada pengaruh lingkungan, dan di pihak
lain mereka yang lebih menekankan pengaruh lingkungan atau pendidikan, sehingga belum tepat
kiranya hal itu diperuntukkan bagi perkembangan manusia.
6
Maka dari itu Ngalim Purwanto (2000:61) memberikan saran dengan jelas kepada pendidik
dalam mencari jalan untuk mengetahui pembawaan seseorang dan kemudian mengusahakan
lingkungan atau pendidikan yang baik dan sesuai. Perkembangan manusia bukan hasil belaka
dari pembawaan dan lingkungannya melainkan manusia harus diperkembangkan dan
memperkembangkannya.
Sigmund Freud adalah seorang tokoh psikologi ternama, yang pertama kali mengembangkan
teori psikoanalisis merupakan teori kepribadian yang paling berpengaruh, tetapi juga pada ilmu-
ilmu lain, termasuk antropologi dan sosiologi. Implementasi teori psikoanalisis dapat ditemui
dalam berbagai praktik kehidupan, seperti manajemen dan iklan (dalam Dede, 2011:23).
Corey ( dalam Lubis, 2011:140) psikoanalisis adalah teori pertama yang muncul dalam psikologi
khususnya yang berhubungan dengan gangguan kepribadian dan perilaku neurotik. Psikoanalisis
memerlukan interaksi verbal yang cukup lama dengan pasien, untuk menggali kehidupan
pribadinya yang paling dalam. Pengalamannya menangani para pasien banyak memberikan
inpirasi kepada Freud untuk menyusun teori kepribadiannya. Pengembangan teorinya, didukung
juga oleh penelaahan terhadap konflik-konflik dan kecemasan-kecemasan yang dialaminya
sendiri.
a) Id
7
Id (dalam bahasa Jerman Jerman disebut das es) merupakan komponen kepribadian yang
primitif dan instingtif. Id berorientasi pada prinsip kesenangan (pleasure principle).
Prinsip ini pada dasarnya merupakan cara untuk mereduksi (menurunkan) ketegangan.
Prinsip kesenangan merujuk kepada pencapaian kepuasan segera dari dorongan biologis.
Dalam penjelasan Freud, id merupakan sumber energi psikis yang menggerakan kegiatan
psikis manusia, karena berisi insting-insting, baik insting hidup (eros) yang menggerakan
untuk mencapai pemenuhan kebutuhan biologis (seperti makan, minum, tidur, hubungan
seks dan lain-lain) dan juga insting kematian (tanatos) yang menggerakan tingkah laku
agresif. Ide bersifat primitif dan tidak logis atau tidak rasional. Dalam mereduksi
ketegangan atau menghilangkan kondisi yang tidak menyenangkan dan untuk
memperoleh kesenangan, id menempuh dua cara (proses), yaitu melalui refleks dan
proses primer (”the primary process”) . Refleks merupakan reaksi-reaksi psikologis yang
lebih rumit. Proses primer berusaha mengurangi ketegangan dengan cara membentuk
khayalan (berfantasi) tentang objek atau aktivitas yang akan menghilangkan ketegangan
tersebut. Misalnya : pada saat lapar menghayalkan makanan; pada saat dendam
menghayalkan kegiatan balas dendam. Kehadiran objek yang diinginkan dalam bentuk
maya (hayalan), sebagai pengalaman halusinasi dinamakan “Wishfullfillment”. Contoh
yang terbaik tentang proses primer ini adalah mimpi (dream).
b) Ego
Ego dalam bahasa Jerman disebut das ich merupakan aspek psikologi kepribadian. Ia
menjadi eksekutif dari kepribadian. Selain itu, ia juga yang membuat keputusan
mengenai insting-insting mana yang akan dipuaskan dan bagaimana cara memuaskannya.
Ego merupakan sistem kepribadian yang rasional dan berorientasi pada prinsip realitas
(reality principle). Ego berperan sebagai mediator antara id (keinginan untuk mencapai
kepuasan) dan kondisi lingkungan atau dunia nyata. Ego dibimbing oleh prinsip realitas
yang bertujuan untuk mencegah ketegangan sampai mendapatkan objek yang dapat
memenuhi kepuasan atau dorongan dari id.
Ego menurut Freud seperti joki penunggang kuda yang harus menghindar dari masalah,
ego harus berusaha menjinakan dorongan id yang tak terkendali. Seperti halnya id, ego
pun mempunyai keinginan untuk memaksimalkan pencapaian kepuasan, hanya dalam
prosesnya, ego berdasarkan pada “secondary process thinking”. Hal yang harus
8
diperhatikan dari ego ini adalah bahwa (1) ego merupakan bagian dari id yang
kehadirannya bertugas untuk memuaskan kebutuhan id, bukan untuk mengecewakannya,
(2) seluruh energi (daya) ego berasal dari id,sehingga ego tidak terpisah dari id, (3) peran
utamanya menengahi kebutuhan id dan kebutuah lingkungan sekitar, 4) ego bertujan
untuk mempertahankan kehidupan individu dan pengembangbiakannya.
c) Super ego
Super ego (dalam bahasa Jerman disebut das ueber ich) merupakan aspek sosial dari
kepribadian. Berisi komponen moral dari kepribadian. Berisi komponen moral dari
kepribadian yang terkait dengan standar atau norma masyarakat mengenai baik-buruk
atau benar-salah. Super ego mulai berkembang pada usia 3 sampai dengan 5 tahun. Pada
usia ini, anak-anak memperoleh (rewards) atas kepatuhannya dan medapatkan hukuman
atas pembangkangannya. Keduanya akan mengarahkan tingkah laku agar sesuai dengan
keinginan atau ketentuan (dalam hal ini adalah orang tuanya). Tingkah laku yang yang
salah (artinya tidak sesuai ketentuan norma) akan mendapatkan hukuman. Proses ini akan
menumbuhkan kata hati (conscience) anak, sedangkan perintah untuk berbuat baik
(tingkah laku yang sesuai dengan aturan) akan mendapatkan hadiah (reward), mungkin
berupa pujian. Peristiwa ini akan membentuk ego ideal anak. Mekanisme terbentuknya
kata hati dan ego ideal ini disebut dengan introjeksi. Introjeksi dapat diartikan sebagai
proses penerimaan anak terhadap norma-norma dan kode moral dari orang tua.
Super ego berfungsi untuk (1) merintangi dorongan-dorongan id, terutama dorongan seksual
dan agresif, karena dalam perwujudannya sangat dikutuk masyarakat, (2) mendorong ego untuk
menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan-tujuan moralistik, dan (3) mengejar
kesempurnaan (perfection).
Id merupakan sumber energi psikis yang menggerakan kegiatan psikis manusia, untuk
menggerakan insting-insting yang terdapat dalam manusia, baik berupa insting hidup seperti
makan, minum, seks dan lain-lain. Dan juga insting mati, baik berupa marah,membalas dendam
dll. Untuk mengurangi rasa tegangnya dengan berusaha untuk menghayalkan tentang apa yang
diinginkannya. Semua manusia mempunyai ego masing-masing, ego adalah sebagai mediator
antara id dan dunia nyata (realitas) . Dengan ego manusia dibimbing untuk memenuhi kepuasan
atau dorongan yang terdapat dalam id. Sedangkan Super Ego yang di dalamnya terdapat aspek
9
moral atau standar baik-buruk yang terdapat pada sosial masyarakat. Super ego berfungsi untuk
meredam keinginan yang terdapat pada id yang berorientasi pada tujuan realistik di ganti oleh
tujuan moralistik, sehingga untuk memenuhi ego di sesuaikan dengan moralitas atau norma-
norma yang terdapat di dalam masyarakat.
Kemudian Freud menggambarkan bahwa kesadaran itu terdiri dari tiga tingkat, yaitu sebagai
berikut :
1. Kesadaran (counscious)
Merupakan bagian kehidupan mental individu.Kehidupan mental ini memeliki kesadaran
penuh,sehingga seseorang mengetahui tentang identitas dirinya,apa yang sedang terjadi
padanya,dan bagaimana cara dia memperolah yang diinginkannya.Menurut Freud
kesadaran ini merupakan bagian terkecil dari kehidupan mentalnya.
2. Ambang Sadar (preconscious)
Merupakan lapisan jiwa di bawah kesadaran,sebagai tempat penampungan dari ingatan-
ingatan yang tidak bisa diungkap secara cepat namun dengan usaha tertentu sesuatu itu
dapat diingat kembali.Contohnya : Pada saat kita lupa tentang apa yang telah
dipelajari,tetapi dengan sedikit konsentrasi kita bisa mengingat kembali pelajaran
tersebut.
3. Ketidaksadaran (unconscious)
Ketidaksadaran merupakan lapisan terbesar kehidupan mental dan berada di bawah
permukaan air. Di samping itu, ketidaksadaran juga merupakan fokus utama dalam teori
psikoanalisis yang berisi insting-insting atau pengalaman tidak menyenangkan yang
ditekan (repress). Meskipun tidak sepenuhnya individu menyadari kebaradaan insting-
insting tersebut, namun insting tersebut aktif bekerja untuk memperoleh kepuasan
kematangan organ repreduksi. Pendapat di atas dijelaskan secara terperinci, sesuai tahap
perkembangan psikoseksual yang terdiri atas berikut ini :
wanita, dan sebaliknya. Tahap ini dipandang sebagai masa perluasan kontak sosial
dengan oran-orang di luar keluarganya.
5. Tahap genital (12 - seterusnya)
Tahap genital,yang dimulai pada saat menstruasi atau pubertas, melibatkan
subordinasi semua sumber perasaan seksual pada keunggulan daerah genital. Pencurahan
energi libido sebelumya mungkin masih dipertahankan, yang dimasukkan dalam aktivitas
atau tindakan pendahuluan atau tindakan atau tindakan penunjang seksual, atau ditekan
atau dialihkan dengan cara tertentu. Pubertas membawa peningkatan libido yang lebih
besar pada anak laki-laki, tetapi pada anak perempuan ada peningkatan pada represi,
terutama soal seksualitas klitoral. Pada saat mentruasi atau pubertas, bersama mengatasi
pilihan- objek inses, tibalah saat melepaskan diri dari otoritas orangtua. Oleh karena
perkembangan seksual sebelumnya yang cukup memadai, individu sekarang siap terlibat
hubungan genital heteroseksual.
Tahap ini dimulai sekitar usia 12 tahun atau 13 tahun. Pada masa ini anak sudah
masuk usia remaja. Masa ini ditandai dengan matangnya organ repreduksi anak. Pada
periode ini, insting seksual dan agresif menjadi aktif. Anak mulai mengembangkan motif
untuk mencitai orang lain, atau mulai berkembangnya motif altruis (keinginan untuk
memperhatikan kepentingan orang lain). Motif-motif ini mendorong anak (remaja) untuk
berpartisifasi aktif dalam berbagai kegiatan, dan persiapan untuk memasuki dunia kerja,
pernikahan, dan bserkeluarga.
Ada beberapa implikasi teori psikoanalisis terhadap bimbingan dan konseling yaitu sebagai
berikut: (dalam Lubis, 2011:150-1530):
individu melalui pengungapan hal yang disadari yang menjadi focus utama bimbingan
dan konseling adalah represi yang tidak terpecahkan, dengan cara menganalisis
pengalaman masa lalu pasien.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Pemikiran tentang pendidikan sejak dulu, kini dan masa yang akan datang terus berkembang.
Hasil-hasil dari pemikiran itu disebut aliran atau gerakan baru dalam pendidikan. Aliran/gerakan
tersebut mempengaruhi pendidikan di seluruh dunia, termasuk pendidikan di Indonesia. Dari
aliran-aliran pendidikan di atas kita tidak bisa mengatakan bahwa salah satu adalah yang paling
baik. Sebab penggunaannya disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, situasi dan kondisinya pada
saat itu, karena setiap aliran memiliki dasar-dasar pemikiran sendiri. Aliran-aliran pendidikan
baru yang berkembang sebenarnya adalah pengembangan dari keempat aliran-aliran klasik yang
ada yaitu, (1) aliran empirisme, (2) aliran navitisme, (3) aliran naturalisme, dan (4) aliran
konvergensi. Pada dasarnya aliran-aliran pendidikan kritis mempunyai kesamaan ialah
pemberdayaan individu. Inilah inti dari masyarakat pedagogi. Sudah tentu aliran-aliran pedagogi
di atas mempunyai keterbatasan.
Sigmund Freud adalah seorang tokoh psikologi ternama, yang pertama kali mengembangkan
teori psikoanalisis dimana teori ini membahas struktur kepribadian manusia yang terdiri dari id,
ego dan super ego. Id, ego dan super ego sangat berkaitan erat sehingga tidak dapat dipisahkan
dimana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi maka
akan menimbulkan sebuah kecemasan sehingga akan menghambat perkembangan individu.
Untuk mengatasi kecemasan, perlu mekanisme pertahanan ego. Freud mengembangkan teori
mengenai perkembangan kepribadian yang merujuk pada perkembangan seksual sehingga lebih
dikenal dengan perkembangan psikoseksual. Menurut Freud terdapat 5 (lima) tahapan
perkembangan psikoseksual, yaitu tahap oral, tahap anal, tahap phalik, tahap latensi, tahap
genital.
3.2 SARAN
Bagi seorang konselor harus dapat menguasai berbagai pendekatan konseling salah satunya
yaitu pendekatan psikoanalisis. Dimana konselor membentuk kembali struktur kepribadian klien
dengan jalan mengembalikan hal yang tak disadari menjadi sadar kembali.
15
16
DAFTAR PUSTAKA
Sukarjo, M., dan Ukim Komarudin. 2010. Landasan Pendidikan Konsep dan
Aplikasinya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Suryabrata ,Sumadi.2010. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali Pers
Swandika, Agung. 2011. Aliran navitisme. Diunduh pada 17 Oktober 2015 pukul
11:15. Didapatkan dari http://agungswandika.blogspot.com/ 2011/aliran–
navitisme.html.
Tirtarahardja, Umar dan La Sula. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Wikipedia.org