Anda di halaman 1dari 5

4.3.

Pembahasan

Percobaan yang dilakukan pada praktikum ini yaitu reaksi saponifikasi.


Praktikum saponifikasi atau yang biasanya disebut dengan praktikum pembuatan
sabun ini dapat dilakukan dengan cara mereaksikan suatu asam lemak ataupun
minyak dengan basa alkali sehingga nantinya akan terbentuk sabun. Percobaan
kali ini menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku utamanya. Basa
alkali yang digunakan pada pembuatan sabun adalah natrium hidroksida (NaOH)
dan kalium hidroksida (KOH), namun pada praktikum ini digunakan basa alkali
NaOH. NaOH dipilih karena tujuan praktikum ini adalah untuk membuat sabun
padat dan karena harganya yang relatif lebih murah. NaOH juga sangat mudah
untuk didapatkan dipasaran, sedangkan jika dalam penggunaan kalium hidroksida
(KOH) akan membuat sabun yang terbentuk menjadi lunak ataupun menjadi cair.
Kelarutan yang dimiliki oleh NaOH ini yaitu sebesar 110 g/ml sehingga
sabun yang dibuat dengan menggunakan NaOH bersifat kurang larut di dalam air.
Nilai kelarutan yang dimiliki oleh KOH yaitu sebesar 112 g/ml sehingga sabun
yang dibuat dengan menggunakan KOH bersifat mudah larut di dalam air. Hal
inilah yang membuat NaOH dipilih sebagai basa kuat dalam pembuatan sabun
padat karena tingkat kelarutan pada NaOH lebih kecil jika dibandingkan dengan
KOH. Variabel bebas yang telah digunakan pada praktikum saponifikasi kali ini
merupakan konsentrasi dari senyawa NaOH yaitu sebesar 35%. Kualitas sabun
yang terbentuk dapat diketahui dengan melakukan beberapa uji terhadap sabun
tersebut, seperti uji asam lemak bebas, uji alkali bebas, uji fraksi tak tersabunkan,
uji kadar air, dan uji pH. Asam lemak bebas yang dimiliki oleh sabun haruslah
sesuai dengan standar yang ada yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menurut SNI sabun yang baik memiliki kadar asam lemak bebas <2,5%.
Jumalah alkali bebas yang terdapat di dalam sabun harus memenuhi standar SNI
yaitu <0,1%. Kelebihan alkali bebas akan menyebabkan iritasi pada kulit. Fraksi
tak tersabunkan adalah lemak netral ataupun trigliserida netral yang tidak bereaksi
selama penyabunan. Kadar air yang berlebihan pada sabun ini akan menyebabkan
tekstur sabun ini menjadi lunak dan tidak terlalu padat. Nilai pH sabun yang baik
yaitu 8-10. Sabun dengan pH yang terlalu basa dapat meningkatkan daya adsorpsi
kulit sehingga kulit menjadi iritasi seperti, luka, gatal, dan kulit mengering. Hasil
dari sabun yang dibuat menggunakan NaOH dengan konsentrasi 35% memiliki
karakteristik yang lebih keras dan padat dibandingkan dengan sabun yang dibuat
menggunakan NaOH 25%. Cairan yang terbentuk pada sabun yang berkonsentrasi
25°C memiliki ciri berwarna kekuningan, jernih, berbau harum dan encer.
Cairan tersebut itu bukanlah gliserol yang seharusnya terbentuk melainkan
campuran air, parfum, alkali bebas, dan jika terdapat gliserol maka kandungannya
hanya sedikit. Kesimpulan ini dapat diperoleh dari analisa pada ciri cairan tersebut
yang encer, berbau harum, dan berwarna kekuningan yang tidak sesuai dengan ciri
yang dimiliki oleh senyawa gliserol. Gliserol yang dihasilkan ini yaitu cairan yang
tidak berwana, tidak berbau dengan rasa manis dan kental pada suhu kamar. 
Cairan yang terbentuk pada produk sabun dapat disebabkan karena ada-
nya faktor yaitu keterlambatan saat memasukkan larutan garam dan pewangi ke
dalam campuran NaOH dan minyak ataupun mungkin juga karena adanya faktor
lainnya. Campuran-campuran tersebut itu telah bereaksi membentuk sabun padat
ketika dimasukkan larutan garam dan dimasukkan parfum, sehingga kelarutannya
didalam kandungan air sangatlah sedikit dan juga membuat larutan garam dan
parfum atau pewangi yang dimasukkan didalamnya tidak dapat bercampur lagi
didalamnya. Proses pelarutan NaOH harus menggunakan sarung tangan karet di-
karenakan sifatnya yang eksotermis. Sifat ini dapat ditinjau secara langsung pada
dinding beaker glass yang sedang digunakan akan terasa panas dan juga akan
menimbulkan rasa gatal jika dipegang jika tanpa menggunakan sarung tangan.
Proses dari pelarutannya juga harus didahului oleh aquadest baru ke-
mudian ditambahkan dengan NaOH padat sehingga akan meredam panas yang di-
timbulkan dan tidak terjadi kerusakan pada wadanya. Proses tersebut ialah proses
melarutkan NaOH yang masih berwujud padatan atau berwujud solid. Proses
memasukkan garam ke dalam NaOH dan minyak dilakukan dalam keadaan panas
dan selalu diaduk. Semakin lama waktu pengadukan maka semakin banyak
jumlah sabun padat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pada saat proses
pengadukan, tumbukan antar reaktan terjadi sehingga energi aktivasi reaksi
tercapai dengan cepat. Jumlah NaOH yang ditambahkan juga berpengaruh pada
jumlah sabun yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah NaOH yang ditambahkan,
maka semakin banyak jumlah sabun yang dihasilkan. Zat aditif yang paling umum
ditambahkan dalam proses pembuatan sabun ialah pewangi, pewarna, dan garam.
Percobaan kali ini menggunakan garam yaitu natrium klorida (NaCl),
bukan dengan garam jenis lainnya karena tujuannya ialah agar sabun mengendap
dan dapat dipisahkan yaitu dilakukan dengan cara penyaringan. Senyawa garam
dapur atau NaCl ini terdiri dari unsur penyusun natrium (Na) dan Klorin (Cl) dan
merupakan sebagai kunci utama di dalam proses membuat sabun. Kandungan
didalam NaCl mewakili perbandingan 1:1 ion natrium dan klorida, dan apabila
NaCl ini digunakan dengan banyak atau dengan takaran yang berlebih akan
menghasilkan tekstur sabun yang keras. NaCl berbentuk padatan ini atau air
garam (brine) juga berfungsi untuk membantu proses pemisahan gliserin dalam
sabun yang akan terbentuk. Alasan tidak digunakannya garam lain seperti jenis
magnesium klorida (MgCl) dan magnesium sulfat (MgSO4) karena harganya jauh
lebih mahal dan susah untuk dicari di pasaran dibandingkan dengan NaCl.
Percobaan kali ini menghasilkan sabun dengan pH yaitu 13, pH dalam
pembuatan sabun menjadi salah satu parameter yang penting dalam penentuan
mutu untuk sabun padat, untuk digunakan sebagai sabun mandi. Sabun padat yang
biasanya dihasilkan menurut SNI pH sabun padat berkisar antara 9-11, jadi sabun
yang diperoleh pada percobaan ini masih belum sesuai dan layak untuk digunakan
sebagai sabun mandi. Pengaruh suhu reaksi terhadap nilai pH sabun akan semakin
turun seiring dengan semakin besar suhu reaksi, dan pada kisaran suhu tertentu
kenaikan suhu akan mempercepat reaksi penyabunan, yang artinya menaikkan
hasil dalam waktu yang lebih cepat. Perlu diingat apabila kenaikan suhu telah
melebihi suhu optimum, akan menyebabkan pengurangan hasil karena harga
kesetimbangan konstanta reaksi K akan turun yang berarti reaksi akan bergeser
kearah pereaksi atau dengan kata lain produk akan berkurang.
Proses pemanasan minyak saat pembuatan sabun ialah bertujuan agar
minyak lebih mudah berikatan dengan alkali, dikarenakan reaksinya eksotermis
maka jika suhunya ini semakin panas akan membuat menjadi pecah. Campuran ini
perlu dijaga dan harus tetap dikontrol selama terjadinya pada proses pengadukan.
Kenaikan suhu pada saat operasi akan meningkatkan konversi reaksi dari reaktan
menjadi produk yang terbentuk, akan tetapi kenaikan suhu yang berlebihan akan
menurunkan dari konversi produk yang diinginkan. Percobaan yang dilakukan
terdapat kesalahan saat sesudah alkali dimasukkan yaitu suhunya tetap berada
pada 60°C dan suhu yang seharusnya ialah pada 80°C. Hal tersebut menyebabkan
minyak dan alkali tidak segera menjadi larutan yang mengental, jika dibandingkan
dengan percobaan pada kelompok lain campurannya lebih cepat mengental.
Penggunaan pewarna sebagai zat aditif pada sabun ini digunakan untuk
variasi warna dalam sabun, pada saat percobaan penambahan pewarna hijau tidak
muncul saat dituangkan ke minyak. Percobaan pada kelompok lainnya yang pe-
warna yang digunakan ialah warna merah dan saat dituangkan ke dalam campuran
minyak dan alkali warnanya berubah menjadi merah muda. Kejadian tersebut ini
dapat dijelaskan dengan kandungan pewarna yang berbeda yaitu salah satunya
berfisat polar dan non-polar. Pewarna yang bersifat polar ini lebih mudah larut
jika dibandingkan dalam pelarut non-polar, itulah yang menyebabkan pewarna
hijau tidak berubah sama sekali saat dituangkan ke dalam minyak.
Pembuatan sabun dilakukan dengan pengadukan, hal ini merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi proses reaksi saponifikasi. Reaksi saponifikasi
memerlukan pengadukan yang menyebabkan tumbukan antar reaktan terjadi
sehingga energi aktivasi tercapai secara cepat (Adventi, 2018). Pengadukan yang
semakin tinggi kecepatanya maka semakin banyak jumlah sabun yang dihasilkan.
Waktu pengadukan dilakukan dengan waktu 1-3 jam, dalam waktu pengadukan
berpengaruh terhadap hasil sabun dan diperlukan waktu yang optimal. Pengaduk-
an dapat dilakukan dengan menggunakan alat bernama magic stirrer ataupun juga
secara manual, dan waktu yang dibutuhkan juga sama yaitu kisaran sampai tiga
jam. Pengadukan yang tinggi kecepatanya banyak jumlah sabun yang dihasilkan.
Pengadukan yang lama mengakibatkan semakin rendah sabun padat yang
dihasilkan. Hal ini diakibatkan oleh reaksi yang terjadi sudah setimbang sehingga
tidak dapat lagi meningkatkan jumlah sabun yang dihasilkan, meskipun dilakukan
penambahan waktu pengadukan. Menurut Levenspiel (1987), dalam pengadukan
dilakukan dengan tujuan yaitu untuk memperbesar probabilitas tumbukan antar
molekul-molekul reaktan yang bereaksi. Tumbukan yang terjadi antar molekul
reaktan ini yang semakin besar dapat berpengaruh pada kemungkinan terjadinya
reaksi saponifikasi yang semakin besar pula. Menurut Gusviputri dkk, (2013).
semakin lama waktu reaksi yang dilakukan dalam percobaan maka dapat
menyebabkan semakin banyak pula minyak yang dapat tersabunkan pada reaksi.
Waktu reaksi yang lama diartian sebagai hal yang dapat memberikan hasil yang
semakin tinggi selama belum melampaui waktu optimum reaksi.
Pengadukan yang semakin lama juga berpengaruh terhadap turunnya pH
sabun yang dihasilkan. Nilai pH semakin menurun dengan lamanya pengadukan
(Indah dkk, 2010). pH ini merupakan salah satu parameter yang penting dalam
penentuan kualitas sabun padat, karena niali pH menentukan kelayakan sabun
untuk digunakan sebagai sabun mandi. Sabun yang memiliki pH basa ini dapat
membantu kulit membuka pori-porinya kemudian busa dari sabun mengikat
kotoran lain yang terdapat pada permukaan kulit. Sedangkan pH tinggi dapat
meningkatnya pertumbuhan bakteri Propionibacterium dan membuat kering kulit
(Hasibuan dkk, 2019). Peristiwa ini disebabkan karena sabun dengan pH tinggi
dapat membengkakkan keratin. Hal ini dapat memudahkan masukya bakteri yang
dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan pecah-pecah, sedangkan pH rendah
dapat mengakibatkan iritasi pada kulit bahkan ketingkat yang lebih parah.
Pengaruh suhu reaksi berpengaruh terhadap nilai pH sabun, dimana seiring
semakin besar suhu reaksi maka semakin turun nilai pH (Hasibuan dkk, 2019).
Kenaikan suhu pada kisaran tertentu akan mempercepat reaksi penyabunan yang
dapat berarti menaikkan hasil produk dalam waktu yang lebih cepat. Tetapi jika
kenaikan suhu sudah melampaui suhu optimum, akan menyebakan pengurangan
hasil produk karena reaksi akan bergeser kearah pereaksinya.
Pembuatan sabun ini juga dilakukan penambahan parfum yang bertujuan
untuk memberikan bau harum terhadap produk yang dihasilkan serta menarik
minat konsumen. Parfum yang digunakan ini haruslah tidak mengandung alkohol.
Penggunaan parfum non-alkohol tersebut menghindari senyawa alkohol yang ter-
kandung dalam parfum yang dapat mengganggu jalannya reaksi saponifikasi.
Senyawa alkohol juga dapat membentuk produk lain dan lebih ke reaktan.

Anda mungkin juga menyukai