Percobaan yang dilakukan pada praktikum ini yaitu reaksi saponifikasi.
Praktikum saponifikasi atau yang biasanya disebut dengan praktikum pembuatan sabun ini dapat dilakukan dengan cara mereaksikan suatu asam lemak ataupun minyak dengan basa alkali sehingga nantinya akan terbentuk sabun. Percobaan kali ini menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku utamanya. Basa alkali yang digunakan pada pembuatan sabun adalah natrium hidroksida (NaOH) dan kalium hidroksida (KOH), namun pada praktikum ini digunakan basa alkali NaOH. NaOH dipilih karena tujuan praktikum ini adalah untuk membuat sabun padat dan karena harganya yang relatif lebih murah. NaOH juga sangat mudah untuk didapatkan dipasaran, sedangkan jika dalam penggunaan kalium hidroksida (KOH) akan membuat sabun yang terbentuk menjadi lunak ataupun menjadi cair. Kelarutan yang dimiliki oleh NaOH ini yaitu sebesar 110 g/ml sehingga sabun yang dibuat dengan menggunakan NaOH bersifat kurang larut di dalam air. Nilai kelarutan yang dimiliki oleh KOH yaitu sebesar 112 g/ml sehingga sabun yang dibuat dengan menggunakan KOH bersifat mudah larut di dalam air. Hal inilah yang membuat NaOH dipilih sebagai basa kuat dalam pembuatan sabun padat karena tingkat kelarutan pada NaOH lebih kecil jika dibandingkan dengan KOH. Variabel bebas yang telah digunakan pada praktikum saponifikasi kali ini merupakan konsentrasi dari senyawa NaOH yaitu sebesar 35%. Kualitas sabun yang terbentuk dapat diketahui dengan melakukan beberapa uji terhadap sabun tersebut, seperti uji asam lemak bebas, uji alkali bebas, uji fraksi tak tersabunkan, uji kadar air, dan uji pH. Asam lemak bebas yang dimiliki oleh sabun haruslah sesuai dengan standar yang ada yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut SNI sabun yang baik memiliki kadar asam lemak bebas <2,5%. Jumalah alkali bebas yang terdapat di dalam sabun harus memenuhi standar SNI yaitu <0,1%. Kelebihan alkali bebas akan menyebabkan iritasi pada kulit. Fraksi tak tersabunkan adalah lemak netral ataupun trigliserida netral yang tidak bereaksi selama penyabunan. Kadar air yang berlebihan pada sabun ini akan menyebabkan tekstur sabun ini menjadi lunak dan tidak terlalu padat. Nilai pH sabun yang baik yaitu 8-10. Sabun dengan pH yang terlalu basa dapat meningkatkan daya adsorpsi kulit sehingga kulit menjadi iritasi seperti, luka, gatal, dan kulit mengering. Hasil dari sabun yang dibuat menggunakan NaOH dengan konsentrasi 35% memiliki karakteristik yang lebih keras dan padat dibandingkan dengan sabun yang dibuat menggunakan NaOH 25%. Cairan yang terbentuk pada sabun yang berkonsentrasi 25°C memiliki ciri berwarna kekuningan, jernih, berbau harum dan encer. Cairan tersebut itu bukanlah gliserol yang seharusnya terbentuk melainkan campuran air, parfum, alkali bebas, dan jika terdapat gliserol maka kandungannya hanya sedikit. Kesimpulan ini dapat diperoleh dari analisa pada ciri cairan tersebut yang encer, berbau harum, dan berwarna kekuningan yang tidak sesuai dengan ciri yang dimiliki oleh senyawa gliserol. Gliserol yang dihasilkan ini yaitu cairan yang tidak berwana, tidak berbau dengan rasa manis dan kental pada suhu kamar. Cairan yang terbentuk pada produk sabun dapat disebabkan karena ada- nya faktor yaitu keterlambatan saat memasukkan larutan garam dan pewangi ke dalam campuran NaOH dan minyak ataupun mungkin juga karena adanya faktor lainnya. Campuran-campuran tersebut itu telah bereaksi membentuk sabun padat ketika dimasukkan larutan garam dan dimasukkan parfum, sehingga kelarutannya didalam kandungan air sangatlah sedikit dan juga membuat larutan garam dan parfum atau pewangi yang dimasukkan didalamnya tidak dapat bercampur lagi didalamnya. Proses pelarutan NaOH harus menggunakan sarung tangan karet di- karenakan sifatnya yang eksotermis. Sifat ini dapat ditinjau secara langsung pada dinding beaker glass yang sedang digunakan akan terasa panas dan juga akan menimbulkan rasa gatal jika dipegang jika tanpa menggunakan sarung tangan. Proses dari pelarutannya juga harus didahului oleh aquadest baru ke- mudian ditambahkan dengan NaOH padat sehingga akan meredam panas yang di- timbulkan dan tidak terjadi kerusakan pada wadanya. Proses tersebut ialah proses melarutkan NaOH yang masih berwujud padatan atau berwujud solid. Proses memasukkan garam ke dalam NaOH dan minyak dilakukan dalam keadaan panas dan selalu diaduk. Semakin lama waktu pengadukan maka semakin banyak jumlah sabun padat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pada saat proses pengadukan, tumbukan antar reaktan terjadi sehingga energi aktivasi reaksi tercapai dengan cepat. Jumlah NaOH yang ditambahkan juga berpengaruh pada jumlah sabun yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah NaOH yang ditambahkan, maka semakin banyak jumlah sabun yang dihasilkan. Zat aditif yang paling umum ditambahkan dalam proses pembuatan sabun ialah pewangi, pewarna, dan garam. Percobaan kali ini menggunakan garam yaitu natrium klorida (NaCl), bukan dengan garam jenis lainnya karena tujuannya ialah agar sabun mengendap dan dapat dipisahkan yaitu dilakukan dengan cara penyaringan. Senyawa garam dapur atau NaCl ini terdiri dari unsur penyusun natrium (Na) dan Klorin (Cl) dan merupakan sebagai kunci utama di dalam proses membuat sabun. Kandungan didalam NaCl mewakili perbandingan 1:1 ion natrium dan klorida, dan apabila NaCl ini digunakan dengan banyak atau dengan takaran yang berlebih akan menghasilkan tekstur sabun yang keras. NaCl berbentuk padatan ini atau air garam (brine) juga berfungsi untuk membantu proses pemisahan gliserin dalam sabun yang akan terbentuk. Alasan tidak digunakannya garam lain seperti jenis magnesium klorida (MgCl) dan magnesium sulfat (MgSO4) karena harganya jauh lebih mahal dan susah untuk dicari di pasaran dibandingkan dengan NaCl. Percobaan kali ini menghasilkan sabun dengan pH yaitu 13, pH dalam pembuatan sabun menjadi salah satu parameter yang penting dalam penentuan mutu untuk sabun padat, untuk digunakan sebagai sabun mandi. Sabun padat yang biasanya dihasilkan menurut SNI pH sabun padat berkisar antara 9-11, jadi sabun yang diperoleh pada percobaan ini masih belum sesuai dan layak untuk digunakan sebagai sabun mandi. Pengaruh suhu reaksi terhadap nilai pH sabun akan semakin turun seiring dengan semakin besar suhu reaksi, dan pada kisaran suhu tertentu kenaikan suhu akan mempercepat reaksi penyabunan, yang artinya menaikkan hasil dalam waktu yang lebih cepat. Perlu diingat apabila kenaikan suhu telah melebihi suhu optimum, akan menyebabkan pengurangan hasil karena harga kesetimbangan konstanta reaksi K akan turun yang berarti reaksi akan bergeser kearah pereaksi atau dengan kata lain produk akan berkurang. Proses pemanasan minyak saat pembuatan sabun ialah bertujuan agar minyak lebih mudah berikatan dengan alkali, dikarenakan reaksinya eksotermis maka jika suhunya ini semakin panas akan membuat menjadi pecah. Campuran ini perlu dijaga dan harus tetap dikontrol selama terjadinya pada proses pengadukan. Kenaikan suhu pada saat operasi akan meningkatkan konversi reaksi dari reaktan menjadi produk yang terbentuk, akan tetapi kenaikan suhu yang berlebihan akan menurunkan dari konversi produk yang diinginkan. Percobaan yang dilakukan terdapat kesalahan saat sesudah alkali dimasukkan yaitu suhunya tetap berada pada 60°C dan suhu yang seharusnya ialah pada 80°C. Hal tersebut menyebabkan minyak dan alkali tidak segera menjadi larutan yang mengental, jika dibandingkan dengan percobaan pada kelompok lain campurannya lebih cepat mengental. Penggunaan pewarna sebagai zat aditif pada sabun ini digunakan untuk variasi warna dalam sabun, pada saat percobaan penambahan pewarna hijau tidak muncul saat dituangkan ke minyak. Percobaan pada kelompok lainnya yang pe- warna yang digunakan ialah warna merah dan saat dituangkan ke dalam campuran minyak dan alkali warnanya berubah menjadi merah muda. Kejadian tersebut ini dapat dijelaskan dengan kandungan pewarna yang berbeda yaitu salah satunya berfisat polar dan non-polar. Pewarna yang bersifat polar ini lebih mudah larut jika dibandingkan dalam pelarut non-polar, itulah yang menyebabkan pewarna hijau tidak berubah sama sekali saat dituangkan ke dalam minyak. Pembuatan sabun dilakukan dengan pengadukan, hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses reaksi saponifikasi. Reaksi saponifikasi memerlukan pengadukan yang menyebabkan tumbukan antar reaktan terjadi sehingga energi aktivasi tercapai secara cepat (Adventi, 2018). Pengadukan yang semakin tinggi kecepatanya maka semakin banyak jumlah sabun yang dihasilkan. Waktu pengadukan dilakukan dengan waktu 1-3 jam, dalam waktu pengadukan berpengaruh terhadap hasil sabun dan diperlukan waktu yang optimal. Pengaduk- an dapat dilakukan dengan menggunakan alat bernama magic stirrer ataupun juga secara manual, dan waktu yang dibutuhkan juga sama yaitu kisaran sampai tiga jam. Pengadukan yang tinggi kecepatanya banyak jumlah sabun yang dihasilkan. Pengadukan yang lama mengakibatkan semakin rendah sabun padat yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan oleh reaksi yang terjadi sudah setimbang sehingga tidak dapat lagi meningkatkan jumlah sabun yang dihasilkan, meskipun dilakukan penambahan waktu pengadukan. Menurut Levenspiel (1987), dalam pengadukan dilakukan dengan tujuan yaitu untuk memperbesar probabilitas tumbukan antar molekul-molekul reaktan yang bereaksi. Tumbukan yang terjadi antar molekul reaktan ini yang semakin besar dapat berpengaruh pada kemungkinan terjadinya reaksi saponifikasi yang semakin besar pula. Menurut Gusviputri dkk, (2013). semakin lama waktu reaksi yang dilakukan dalam percobaan maka dapat menyebabkan semakin banyak pula minyak yang dapat tersabunkan pada reaksi. Waktu reaksi yang lama diartian sebagai hal yang dapat memberikan hasil yang semakin tinggi selama belum melampaui waktu optimum reaksi. Pengadukan yang semakin lama juga berpengaruh terhadap turunnya pH sabun yang dihasilkan. Nilai pH semakin menurun dengan lamanya pengadukan (Indah dkk, 2010). pH ini merupakan salah satu parameter yang penting dalam penentuan kualitas sabun padat, karena niali pH menentukan kelayakan sabun untuk digunakan sebagai sabun mandi. Sabun yang memiliki pH basa ini dapat membantu kulit membuka pori-porinya kemudian busa dari sabun mengikat kotoran lain yang terdapat pada permukaan kulit. Sedangkan pH tinggi dapat meningkatnya pertumbuhan bakteri Propionibacterium dan membuat kering kulit (Hasibuan dkk, 2019). Peristiwa ini disebabkan karena sabun dengan pH tinggi dapat membengkakkan keratin. Hal ini dapat memudahkan masukya bakteri yang dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan pecah-pecah, sedangkan pH rendah dapat mengakibatkan iritasi pada kulit bahkan ketingkat yang lebih parah. Pengaruh suhu reaksi berpengaruh terhadap nilai pH sabun, dimana seiring semakin besar suhu reaksi maka semakin turun nilai pH (Hasibuan dkk, 2019). Kenaikan suhu pada kisaran tertentu akan mempercepat reaksi penyabunan yang dapat berarti menaikkan hasil produk dalam waktu yang lebih cepat. Tetapi jika kenaikan suhu sudah melampaui suhu optimum, akan menyebakan pengurangan hasil produk karena reaksi akan bergeser kearah pereaksinya. Pembuatan sabun ini juga dilakukan penambahan parfum yang bertujuan untuk memberikan bau harum terhadap produk yang dihasilkan serta menarik minat konsumen. Parfum yang digunakan ini haruslah tidak mengandung alkohol. Penggunaan parfum non-alkohol tersebut menghindari senyawa alkohol yang ter- kandung dalam parfum yang dapat mengganggu jalannya reaksi saponifikasi. Senyawa alkohol juga dapat membentuk produk lain dan lebih ke reaktan.