Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki
dalam kehidupan manusia. Ilmu Pengetahuan pada dasarnya lahir dan
berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-usaha manusia baik untuk
memhami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk menyelesaikan
permasalahan hidup yang dihadapi,serta mengembangkan serta melestarikan
hasil-hasil yang dicapai manusia sebelumnya. Dengan ilmu, semua keperluan
dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.
Perkembangan ilmu pengetahuan juga begitu pesat, seiring dengan banyaknya
tuntutan keperluan hidup manusia. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia
seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai
kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa
merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan,
dan komunikasi. Singkatnya, ilmu merupakan sarana membantu manusia
dalam mencapai tujuan hidupnya. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang
sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun
atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari
perkembangan ilmu. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang
kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri.
Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan
kemungkinan hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain,
ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu
sendiri. Sehingga diperlukan moral keilmuaan agar ilmu yang dimiliki dan
yang diperoleh dapat bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. 
Dalam kehidupan sehari-hari moral lebih dikenal dengan arti susila.
Moral mengandung arti praktis, ia merupakan ide-ide universal tentang

1
tindakan seseorang yang baik dan wajar dalam masyarakat. Dari pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa moral adalah budi pekerti, sikap mental atau
budi perangai yang ter-gambar dalam bentuk tingkah laku berbicara, berpikir
dan sebagainya yang merupakan ekspresi jiwa seseorang, yang akan
melahirkan perbuatan baik –menurut akal dan syari’at– atau perbuatan buruk.
Ruang lingkup moral meliputi bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik
dan bagaimana caranya untuk berbuat baik serta keburukan.
Ilmu dan moral adalah hal yang saling berhubungan. Terdapat beberapa
pertanyaan yang menggelitik, pertama benarkah makin cerdas, maka makin
pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula
perbuatan kita? Apakah manusia dengan penalaran tinggi lalu makin berbudi
atau sebaliknya makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta?. Bertitik
pangkal dari permasalahan di atas, penulis akan menjelaskan tentang sumber –
sumber, etika, sikap dan kesadaran moral keilmuan. Salah satunya dengan
makalah yang berjudul “Tanggung Jawab Moral Keilmuan”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah ini adalah :
1.      Bagaimana hubungan antara Ilmu dan Moral.
2.      Sikap keilmuan yang seperti apa yang harus kita miliki ?
3.      Kesadaran moral apa saja yang harus kita lakukan dalam etika keilmuan?
 
C. Tujuan
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, tujuan yang
ingin dicapai dari penulisan makalah ini secara umum adalah untuk
memperoleh penjelasan singkat tentang “Tanggung Jawab Moral Keilmuan”.
Secara lebih terperinci tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Mengetahui bagaimana hubungan antara ilmu dan moral.
2.      Mengetahui sikap apa yang harus dimiliki dalam etika keilmuan.
3.      Mendapatkan informasi tentang kesadaran moral yang harus dilakukan
dalam etika keilmuan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan antara Ilmu dan Moral


1. Pengertian Ilmu
Ilmu adalah pengetahuan yang sudah dikelompokkan, disistematisasi, dan
diinterpretasikan sehingga menghasilkan suatu kebenaran objektif serta sudah diuji
kebenarannya secara ilmiah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di
bidang (pengetahuan) itu. Sedangkan, dalam Kamus Webster disebutkan bahwa
ilmu adalah penelurusuran data atau informasi melalui pengamatan, pengkajian, dan
eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat, landasan dasar ataupun asal-usulnya.

2. Pengertian Moral
Moral secara umum adalah suatu hukum tingkah laku yang di terapkan kepada
setiap individu untuk dapat bersosialiasi dengan benar agar terjalin rasa hormat dan
menghormati. Kata moral selalu mengacu pada baik dan buruknya perbuatan
manusia (akhlak).
Moral berasal dari bahasa Latin “mos” (jamak: mores) yang berarti kebiasaan,
adat. Kata “mos” (mores) dalam bahasa Latin sama artinya dengan etos dalam bahasa
Yunani. Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan “aturan
kesusilaan” ataupun suatu istilah yang digunakan untuk menentukan sebuah batas-
batas dari sifat peran lain, kehendak, pendapat atau batasan perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik maupun buruk.

3. Hubungan Antara Ilmu dan Moral

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban


manusia sangat berhutang kepada ilmu. Berkat ilmu maka pemenuhan
kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah
disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti
kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi.

3
Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan
dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi
peperangan atau ada keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka
ilmu berkembang, sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk
menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia
dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan
ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu
semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan
kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang
akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu yang
bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas
ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain
untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas
ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka
kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam
kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari
bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.
Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum,
kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya
ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan
dengan metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk

4
menerapkan ilmu pengatahuan membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan untuk proses perkembangan ilmu pengetahuan lebih lanjut.
Jadi jelaslah bahwa Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat
kuat. Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka
kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak bermoral atau paling
tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tetapi, sebaliknya ilmu akan
menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan
tepat serta mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini
mengharuskan seorang ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa
landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, seorang ilmuwan bisa
menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana
kemanusian bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang
berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan dengan
kejahatan orang yang tidak berilmu.

B. Sikap Keilmuan
1. Etika keilmuan
a. Pengertian etika
Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia (2012) Etika (Yunani Kuno:
"ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat
yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar
dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep
seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika dimulai bila
manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat – pendapat
spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain
karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia. 
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat
dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan
sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu

5
ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.
Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah
laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika
melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.

b. Macam – Macam Etika


Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep
etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi
penggunaan nilai-nilai etika). Ketiga jenis etika tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:
 Meta Etika
Meta-Etika sebagai suatu jalan menuju konsepsi atas benar atau
tidaknya suatu tindakan atau peristiwa. Dalam meta-etika, tindakan atau
peristiwa yang dibahas dipelajari berdasarkan hal itu sendiri dan dampak
yang dibuatnya.
Sebagai contoh,"Seorang anak menendang bola hingga kaca jendela
pecah."Secara meta-etis, baik-buruknya tindakan tersebut harus dilihat
menurut sudut pandang yang netral. Pertama, dari sudut pandang si anak,
bukanlah suatu kesalahan apabila ia menendang bola ketika sedang
bermain, karena memang dunianya(dunia anak-anak) memang salah
satunya adalah bermain, apalagi ia tidak sengaja melakukannya. Akan
tetapi kalau dilihat dari pihak pemilik jendela, tentu ia akan
mendefinisikan hal ini sebagai kesalahan yang telah dibuat oleh si anak. Si
pemilik jendela berasumsi demikian karena ia merasa dirinya telah
dirugikan.
Bagaimanapun juga hal-hal seperti ini tidak akan pernah menemui
kejelasannya hingga salah satu pihak terpaksa kalah atau mungkin masalah
menjadi berlarut-larut. Mungkin juga kedua pihak dapat saling memberi
maklum. Menyikapi persoalan-persoalan yang semacam inilah, maka
meta-etika dijadikan bekal awal dalam mempertimbangkan suatu masalah,
sebelum penetapan hasil pertimbangan dibuat.

6
 Etika Normatif
 Etika normatif tidak berbicara lagi tentang gejala-gejala, melainkan
tentang apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan kita. Dalam etika
normatif, norma-norma dinilai, dan sikap manusia ditentukan (Hamersma,
1994:24). Jadi, etika normatif berbicara mengenai pelbagai norma yang
menuntun tingkah laku manusia. Etika Normatif memberi penilaian dan
himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya
berdasarkan norma-norma. Ia menghimbau manusia untuk bertindak yang
baik dan menghindari yang jelek.
 Hal yang sama juga dirumuskan Bertens (1993:18) dengan
mengatakan bahwa etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptif
(=memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar-
tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Untuk itu ia mengadakan
argumentasi-argumentasi. Jadi, ia mengemukakan alasan-alasan mengapa
suatu anggapan moral dapat dianggap benar atau salah.

 Etika Terapan
Etika Terapan adalah etika yang mencoba membangun jembatan
antara prinsip-prinsip moral dasar yang masih cukup abstrak dan umum
yang diberikan oleh etika umum dan penanganan masalah-masalah moral
konkret dalam praksis kehidupan, baik pribadi maupun sosial. Etika
sendiri sebagai cabang ilmu filsafat atau teologi sebenarnya sudah
merupakan ilmu yang menyangkut praksis kehidupan. Akan tetapi sifat
terapannya masih dapat lebih dipertajam lagi dengan mencoba --
berdasarkan informasi yang diperoleh dari ilmu-ilmu khusus yang
tersangkut -- memberikan prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang
lebih operasional (Sudarminta, dalam Susanto, dkk, ed., 1992:21, dalam
Tata 2012).

7
c. Nilai dalam Etika Keilmuan
 Menurut Khairul Anwar (2012) etika keilmuan merupakan etika
normatik yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat
menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan
dari yang buruk kedalam perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi
ilmuan yang mempertanggungjawabkan keilmuannya. Etika normatif
menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap
perbuataan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang
seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan apa yang
seharusnya terjadi.
 Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai
dan norma moral. Bagi seorang ilmuan nilai dan norma moral yang
dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang
baik atau belum.
 Tugas seorang ilmuan harus menjelaskan hasil penelitiannya
sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat agar
dapat dipergunakan oleh masyarakat.
 Di bidang etika tanggung jawab seorang ilmuan adalah bersifat
objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh
dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa etika
keilmuan yang berkembang saat ini diharapkan tidak menjerumuskan para
ilmuwan pada hal-hal yang tidak diinginkan oleh manusia itu sendiri. Para
ilmuwan yang jujur dan patuh pada norma-norma keilmuan saja belum
cukup melainkan ia harus dilapisi oleh moral dan akhlaq, baik moral
umum yang dianut masyarakat atau bangsa (moral/ etika Pancasila bagi
bangsa Indonesia), maupun moral religi yang dianutnya. Hal ini
dimaksudkan agar jangan sampai terjadi hal-hal yang menyimpang yang
akibatnya menyengsarakan umat manusia. Sebagai seorang ilmuwan sudah

8
barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral yaitu moral khusus
sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu juga disebut juga
sebagai sikap ilmiah. 
Para ilmuwan Indonesia dalam mengembangan ilmu pengetahuan
diharapkan berlandaskan etika Pancasila dan moral Pancasila guna
pembangunan bangsa Indonesia. Sehingga pembangunan tidak
menyimpang dari tujuan luhur keilmuan (objektivitas) dan kepentingan
kemanusiaan agar dapat dapat selalu berdampingan dengan alam yang
lestari dan harmoni. 

2. Sikap keilmuan
Sikap keilmuan dalam hal ini merupakan sikap ilmiah dari seorang
peneliti atau ilmuan. Sikap ilmiah adalah sikap-sikap yang seharusnya
dimiliki oleh setiap ilmuwan dalam melakukan tugasnya untuk
mempelajari meneruskan, menolak atau menerima serta merubah atau
menambah suatu ilmu. 
Menurut Prof harsojo dalam Liza menyebutkan enam macam sikap
ilmiah diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Obyektivitas
 Dalam peninjauan yang penting adalah obyeknya.
2)      Sikap serba relatif
Ilmu tidak mempunyai maksud mencari kebenaran mutlak, ilmu
berdasarkan kebenaran-kebenaran ilmiah atas beberapa postulat, secara
priori telah diterima sebagai suatu kebenaran. Malahan teori-teori dalam
ilmu sering untuk mematahkan teori yang lain.
3)      Sikap Skeptis 
Adalah sikap untuk selalu ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan
yang belum cukup kuat dasar-dasar pembuktiannya. 
4)      Kesabaran Intelektual
Sanggup menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah pada tekanan
agar dinyatakan suatu pendirian ilmiah , karena memang belum selesainya

9
dan cukup lengkapnya hasil dari penelitian , adalah sikap seorang
ilmuwan 
5)      Kesederhanaan 
Adalah sikap cara berfikir, menyatakan, dan membuktikan 
6)      Sikap tidak memihak pada etik.

C. Kesadaran Moral
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan
norma moral. Bagi seorang ilmuan nilai dan norma moral yang dimilikinya
akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum.
Ilmuan yang tidak memiliki moral akan menyalahgunakan ilmu yang
dimilikinya.

10
BAB III

PENUTUP

A. Penutup

Berdasarkan informasi yang diperoleh maka penulis dapat menyimpulkan


sebagai berikut :
Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi)
yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk
bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Jadi hubungan antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha
manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari
berbagai segi harus berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam
bersikap dan bertindak.
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis
sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan
lebih lanjut ilmu dan teknologi.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://pengertianahli.id/2014/08/pengertian-ilmu-apa-itu-ilmu.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Moral

https://www.zonareferensi.com/pengertian-moral

https://www.kompasiana.com/untukimpianku/550defbd813311c52cbc6022/tanggung-
jawab-moral-dalam-ilmu-pengetahuan

http://endik2110.blogspot.com/2016/09/makalah-filsafat-tanggung-jawab-moral.html

12

Anda mungkin juga menyukai