NIM: 11830111410 Kelas; VI B Matkul: Filsafat Islam Dosen Pengampuh: Dr. H. Kasmuri Slamet, Ma.
Al-Farabi dan Pemikiran Filsafatnya
A. Riwayat Hidup al-Farabi
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh al-Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259 H/872 M, selisih satu tahun setelah wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi.Ayahnya dari Iran menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki.Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni), layak disematkan. Diriwayatkan telah belajar logika diBaghdad dari para sarjana Kristen Yuhanna ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta (w.940 M), perlu segera dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisifilsafat dan kedokteran diAlexandria. Beliau termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis, baik berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah; Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’uBaina Ra’yai al-Hākimain, karya ini menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles. Karya penting lainnya adalah Risālah al-Itsbāt al-Mufāraqāt,At-Ta’līqāt, al-Jam’u Baina Ra’yu al-Hākimain, kitab al-Siyāsāt al-Madīnah al-Fadhīlah, al-Mūsiqā al-Kabīr, Risālah Tahsīl al-Sā’adah,‘Uyūnal-Masāil, al-Madīnah al-Fadhīlah, Ārā’Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah,adapun al-Ihshāal-Ulūmkonon merupakan karya terakhir sebelum ia wafat. Bukti bahwa al-Farabi sebagai filosof yang mendalami filsafat Aristoteles adalah konon pada saat Ibn Sina tidak memahami isi Maqālah fī Aghrād al-Hakīm fīKulli Maqālah al- Marsūm bi al-Hurūf karya Aristoteles dan ia membacanya berulangkali hingga 40 kali, akhirnya berlabuh pada karya al-Farabi yang berjudul Tahqīq Gharad Aristātālīs fī Kitāb mā Ba’da al-Thabī’ah kemudian tersingkap ‘tabir gelap’ isi pemikiran karya Aristoteles tersebut. B. Hubungan Antara Agama Dan Filsafat Dalam memahami kesatuan antara filsafat dan agama. Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasi beberapa ajaran filsafat sebelumnya (Plato dan Aristoteles) dan juga antara Agama dan Filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Karena tujuan filsafat adalah memikirkan kebenaran, ia juga berpendapat bahwa antara agama dengan filsafat tidak ada pertentangan. Menurut pendapatnya kebenaran agama dan kebenaran filsafat secara realita adalah satu. Bagi al-Farabi,semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan. Kalaupun berbeda, hanya pada tampak lahirnya saja. Upaya ini terealisasi ketika ia mendamaikan pemikiran Aristoteles dengan Plato dalam bukunya yang populeral-Jam’ bain al-Ra’yu al-Hakimain,dan antara filsafat dan agama.Cara al-Farabi menyatukan pemikiran Aristoteles dan Plato dengan memajukan pemikiran masing-masing filosofyang cocok dengan pemikirannya, sehingga sesuai dengan dasar-dasar Islam. kemudian ia memberikan tafsiran rasional terhadap ajaran-ajaran Islam. Al-Farabi berpendapat, bahwa filsafat dan agama datang dari Tuhan, mengalir dari satu zat yang penting, terus melalui otak manusia dengan menggunakan akal sebagai wakilnya. Perbedaan antara kedua lapangan pengetahuan ini adalah filsafat menghendaki cara dialektika, sedangkan agama mengemukakannya secara pasti. Menurut Harun Nasution, al-Farabi-lah filosof Islam pertama mengusahakan perpaduan dan keharmonisan antara filsafat dengan agama. Dalam upaya merekonsiliasi antara agama dan filsafat. Menurutal-Farabi, para filosof Muslim meyakinibahwa al-Qur‟an dan hadis adalah hak dan benar, begitu punfilsafat. Kebenaran itu tidak boleh lebih dari satu. Oleh karena itu,ia menegaskan bahwa antara keduanya tidak ada pertentangan, bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari Akal Aktif, yang berbedahanyacara memperolehnya. Kalau ada perlawanan, itu hanya lahirnya saja dan tidak sampai menembus batin. Untuk menghilangkan perlawanan itu,maka harus menggunakan takwil filosofisdan tidak meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memikirkan kebenaran dan agama juga menjelaskan kebenaran. Dalam hal ini menurut Al-Farabi, tidaklah berbeda kebenaran yang disampaikan oleh para Nabi dengan kebenaran yang dimajukan para filosof, dan kebenaran antara ajaran Islam dan filsafat Yunani.Akan tetapi, hal ini bukan berarti Al-farabi menerima kelebihan filsafat dari agama. Karena penafsiran rasional atau takwil, sebagaimana kata Harun Nasution digunakan al-Farabi untuk meyakinkan orang-orang yang tidak percaya akan kebanaran ajaran-ajaran agama, yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw. C. Filsafat Ketuhanan al-Farabi Menurut al-Farabi, Allah adalah dzat yang harus ada karena diri-Nya sendiri (wajib al-Wujud bi zatih) dan merupakan sebab pertama bagi segala entitas. wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna, Maha Suci dari segala kuasa seperti materi, bentuk, aksi dan efisiensi. Ia, dengan substansi-Nya, merupakan akal aktual ('aql bi al- fi'l), karena Ia suci dari materi. Dengan substansi-Nya, Ia juga ma'qul (kategori, obyek pengetahuan), karena Ia mengetahui Zat-Nya;jadi, Ia adalah akal sekaligus ma'qul. Ia Maha Mengetahui, karena Ia mengetahui Zat-Nya, dan tidak membutuhkan zat lain untuk mendapatkan ilmu, padahal ilmu yang paling utama adalah ilmu yang langgeng yang tidak hilang dan itu adalah ilmu-Nya melalui Zat-Nya. Seperti yang telah tertulis di atas, penyebab munculnya teori emanasi Aristoteles, yaitu, bagaimana, dari Tuhan Yang Esa kemudian muncul alam semesta yang beraneka, padahal ada diktum filosofis yang telah diterima secara umum, yang menyatakan bahwa dari yang satu, hanya akan muncul yang satu juga. Diktum ini yang kemudian memunculkan ajaran filosofis yang dikenal dengan “muarajjih” atau alasan yang memadai (the sufficient reason), murajjih mutlak diperlukan untuk apa pun yang terjadi dalam perubahan. Misalnya, sebuah planet tidak akan muncul, kalu ia tidak memiliki “sufficiet reason” untuk keberadaanya. Karena itulah al-Farabi berusaha keras dalam menjelaskan sebab efisien dari apa pun yang muncul di alam semesta. Dalam teori emanasi al-Farabi, menurutnya, yang pertama ada tentunya Tuhan Yang Maha Esa (The True One). Tuhan digambarkan olehnya sebagai “akal” yang tugasnya adalah berpikir. Sebagai konsekuensi pemikiran-Nya inilah kemudian muncul Akal Pertama,Yang dari sudut wujud dan sifatnya, sangat dekat dengan Tuhan. Karena Tuhan itu Esa, maka dari-Nya hanya muncul satu akal saja, sebagai akibatnya, yang kemudian muncul akal pertama (al-‘Aql al-Awwal). Sampai di sini belum terjadi keanekaan alam. Setelah terbentuknya akal pertama, maka terbentuk pula keanekaan pada selain Tuhan (yang disebut alam). Jika kita berpikir, muncul pertanyaan pada diri kita, mengapa bisa begitu?, menurut al-Farabi, akal pertama telah mampu berpikir bukan hanya tentang Tuhan, tetapi akal pertama juga mampu berpikir tentang dirinya sendiri, sedang Tuhan, hanya memiliki satu objek berpikir, yaitu tentang diri-Nya sendiri. Di sinilah kita dapat melihat bahwa akal pertama memiliki dua jenis prinsip, pertama tentang keesaan, yang akan menghasilkan akal berikutnya, dan yang kedua ialah prinsip keanekaan, karena dari memikirkan dirinya-sebagai objek non-Tuhan-muncul benda- benda samawi. Hal ini juga terjadi pada akal-akal berikutnya, akal kedua sampai akal kesepuluh. Dengan teori emanasi ini, al-Farabi merasa telah dapaat menjelaskan bagaimana dari Tuhan Yang Esa, kemudian muncul alam yang beraneka ragam. Untuk memahami teori tersebut perlunya kita mengetahui teori emanasi al-Farabi. Ada dua hal yang perlu dijelaskan dalam teori emanasi al-Farabi ini. Pertama, tentang cara Tuhan menciptakan alam, apakah melalui kehendak bebas Tuhan atau keniscayaan. Sementara bagi para teolog (Mutakallimin), alam dicipta melalui kehendak mutlak Tuhan, bagi para filosof penciptaan nampaknya merupakan keniscayaan, sebagai konsekuensi logis dari aktivitas Tuhan berpikir. Tuhan sering digambarkan oleh para filosof sebagai matahari yang seraya niscaya bukan atas kehendak memancarkan sinarnya. Konsep ini, dalam sejarah Mendapatkan serangan gencar dari para teolog, termasuk yang paling menonjol al-Ghozali, dengan bukunya yang terkenal Tahafut al- Falasifah. Meskipun begitu, serangan al-Ghozali ini kemudian mendapatkan kritikan filosof dari Ibnu Rusyd, dalam bukunya Tahafut al-Tahafut. Yang kedua, bekenaan dengan pembagian wujud kepada Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Ketika akal pertama berpikir, maka ia bias berpikir tentang yang Esa, yaitu Tuhan, sehingga munculah akal ketiga, bias juga tentang esensinya sebagai Mumkin al-Wujud, sehingga munculah dari sini Langit Pertama (al-sama; al-ula). Jadi, pemikiran tentang Tuhan maupun tentang esensi-Nya inilah yang disebut dengan Murajjih (the sufficient reason) bagi munculnya yang lain, hal ini, langit pertama dan akal kedua.