Anda di halaman 1dari 7

KELOMPOK VI

Nama: Reksi Saputra


NIM: 11830111410
Kelas; VI B
Matkul: Filsafat Islam
Dosen Pengampuh: Dr. H. Kasmuri Slamet, Ma.

Al-Ghazali dan Filsafatnya


A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad
ibnu Muhammad Al-Ghazali al-Thusi yang bergelar hujjatul Islam. Di dilahirkan di Thusi
(sekarang dekat Meshed) salah satu daerah Khurasan (sekarang masuk wilayah Iran)
tahun 450 H (1058 M). Di tempat ini pula dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H./
111 M, dalam usia yang relatif belum terlalu tua yaitu 55 tahun.
Ayah Imam Ghazali adalah seorang yang shalih dan seorang wira’i, tidak makan
sesuatu kecuali dari hasil pekerjaannya sendiri. Beliau bekerja sebagai memintal benang
wol dan menjualnya di tokonya di Thus. Dengan kehidupan yang sederhana itu ayah
menekuni sufi, dan menjadi ahli tasawuf yang hebat di tempatnya. Ketika sakit keras,
sebelum ajalnya tiba, ia berwasiat kepada sahabat dekatnya seorang ahli sufi bernama
Ahmad bin Muhammad Al-Rozakani agar dia bersedia mengasuh al-Ghazali dan
saudaranya yang bernama Ahmad.
Al-Ghazali merupakan salah seorang ulama’ besar yang pernah dimiliki Islam
dalam sepanjang sejarahnya. Ia tergolong ulama dan pemikir Islam yang sangat produktif
dalam menuliskan buah pemikirannya. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai
sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Daudy
menjelaskan, penelitian paling akhir yang dilakukan oleh Abdurrahman al-Badawi
tentang jumlah judul buku yang menjadi karya oleh al-Ghazali, kemudian al-Badawi
mengumpulkan dalam satu buku diberi judul Muallafat Al-Ghazali.
Dalam kitab itu al-Badawi membuat klasifikasi kitab-kitab yang telah dikarang dan
diduga sebagai karya oleh al-Ghazali menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab
yang dapat dipastikan keasliannya sebagai karya al-Ghazali terdiri dari 72 buah kitab.
Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya asli al-Ghazali terdiri atas 22
kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah
kitab.
Karya-karya al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada zamannya, yaitu
ilmu kalam, tafsir al-Qur’an, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, fiqih, falsafat, dan lainnya. Di
antara karyanya yang paling monumental adalah;
1. Ihyal Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama); sebuah kitab yang
ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan antra dimensi eksoterik dan
esoterik Islam. Kitab ini dikarang al-Ghazali selama beberapa tahun dalam keadaan
berpindah-pindah antara Damaskus, Baitul Maqdis, Makkah dan Thus. Kitab ini
merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu, diantaranya fiqh, tasawuf dan
filsafat.
2. Maqashid al-Falasifat (Tujuan-tujuan para filosof). Kitab ini berisi tentang ringkasan
ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu alam. Menurut
Dunya karya al-Ghazali ini memaparkan tentang tiga persoalan pokok dalam filsafat
Yunani (logika, metafisika dan fisika) dengan bahasa yang sederhana, sehingga kitab
ini dapat memudahkan para pemula yang mengkaji filsafat Yunani, dengan susunan
yang sistematis dan bahasanya yang sederhana serta mudah dicerna.
3. Karya lain di bidang filsafat, logika dan ilmu kalam antara lain, Mi’yar al-ilmi
(standar ilmu), al- Iqtashad fi al ‘Iitiqad (moderasi dalam berkeyakian), Mahku A-
Nadhar fi al Manthiq (uji pemikiran dalam ilmu manthiq), Dll.
B. Kritik Terhadap Filosof
Dalam fase awal-awal perkembangan intelektualnya, al-Ghazali banyak berkarya
di bidang ilmu-ilmu syariat ketika masih di Baghdad. Namun, setelah itu dalam kurun
dua tahun al-Ghazali memahami filsafat dengan seksama, hampir setahun ia terus
merenungkannya, mengulang-ulang kajiannya, dan membiasakan diri dengannya, di
samping meneliti kebohongan dan penyelewengan yang terkandung di dalamnya.
Pada saat itulah al-Ghazali menyingkap pemalsuan dan tipuan-tipuan, serta membedakan
unsur yang benar dan yang cuma khayatan.
Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali memberikan klasifikasi filosof
sekaligus memberikan penilaian (vonis kekafiran) kepada mereka;
Pertama, pengikut ateisme (al-Dahriyyun); kelompok ini merupkan golongan filosof yang
mengingkari Tuhan yang mengatur alam ini dan menentang keberadaan-Nya. Mereka
mempunyai dugaan kuat bahwa alam telah ada dengan sendirinya tanpa campur tangan
Tuhan. Mereka berkeyakinan bahwa bahwa hewan berasal dari sperma dan sperma
berasal dari hewan, dari zaman dahulu dan selamanya tetap seperti itu. Menurut al-
Ghazali mereka itu orang-orang yang tidak mengenal Tuhan.
Kedua, Pengikut faham naturalisme (al-Thabi’iyyun);mereka merupakan
golongan filosof yang setelah sekian lama meneliti keajaiban hewan dan tumbuh-
tumbuhan (alam atau thabi’ah) dan menyaksikan tanta-tanda kekuasaan Tuhan, akhirnya
mereka mengakui keberadaan-Nya. Namun karena terlalu banyak meneliti alam, mereka
terkesan dengan dengan watak biologis hewan yang memiliki pengaruh terhadap daya-
daya inderawi mereka. Akibatnya, mereka pun berpendapat bahwa daya pikir manusia
tergantung pada watak biologisnya, dan ketika watak biologisnya hilang, maka hilang
pulalah daya pikirnya. Pada akhirnya, mereka berpandangan bahwa tidak mungkin
mengembalikan sesuatu yang telah tiada. Mereka berkeyakinan orang yang telah tiada
ruhnya tidak akan kembali. Selain itu mereka juga menentang eksistensi akhirat, surga,
neraka, hari kiamat dan hisab.
Ketiga, penganut filsafat Ketuhanan (ilahiyyun); mereka adalah golongan filosof
yang percaya kepada Tuhan, mereka para filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan
Aristoteles, serta orang-orang yang mengekor pada pemikiran mereka. Kelompok
ilahiyyunini pada garis besarnya membantah dua kelompok pertama yaitu dahriyyun dan
thabi’iyyun. Al-Ghazali lebih lanjut menyatakan bahwa Aristoteles pada fase berikutnya
menolak dan menyanggah dengan tegas pandangan Plato dan Socrates beserta
pendahulunya yang mengikuti filsafat ketuhanan sehingga ia keluar dari ruang lingkup
mereka.
Hanya sayangnya, dalam filsafatnya, ia masih menyisakan beberapa hal kecil yang
setidaknya masih mengandung indikasi kekufuran yang belum dapat ia lepaskan. Dari
pandangan itu al-Ghazali menvonis kafir, termasuk para filosof Islam yang terinspirasi
pandangan-pandangan Aristoteles seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.
C. Kritik Terhadap Teori Emanasi
1. Menurut al-Ghazali, sekiranya alam melimpah dari Allah sebagai suatu keniscayaan,
misalnya melimpahnya sinar dari matahari, alam ini akan qadim serupa qadim-nya
dengan Allah. Paham ini sama dengan mazhab panteisme. Pada pihak lain, tentu saja
alam tidak diciptakan dan Allah tidak lagi pencipta alam. Menurutnya pula, tidak
akan ada orang yang mengatakan lampu membuat sinar dan orang membuat bayang-
bayang. Atas dasar itulah al-Ghazali mengecam para filosof muslim yang
mengemukakan filsafat emanasi ini dengan kafir zindik.
2. Kritik al-Ghazali lainnya terhadap klaim para filosof muslim tentang teori emanasi,
adalah bahwa Allah hanya memikirkan dirinya, sedangkan akal-akal dapat
memikirkan Allah dan dirinya. Pendapat seperti ini, menurutnya, telah menempatkan
Allah lebih rendah atau hina dari ciptaannya. Allah hanya bisa memikirkan zatnya,
sedangkan makhluknya (akal-akal) bisa memikirkan Allah dan bisa pula memikirkan
yang lain (dirinya). Pandangan ini tentu saja akan membawa pada kesimpulan bahwa
akal-akal yang melimpah dari Allah lebih sempurna dan lebih mulia kedudukannya
daripada Allah.
3. Pandangan para filosof emanasi yang menyatakan alam qadim juga dikritik oleh al-
Ghazali. Menurutnya, penciptaan alam yang tidak bermula itu tidak dapat diterima
oleh teologi, karena menurut teologi tuhan adalah pencipta dan yang dimaksud
dengan pencita dalam paham teologi itu adalah penciptaan sesuatu dari tiada
(creation ex nihilo). Dan kalau alam dikatakan tidak bermula maka alam ini bukanlah
diciptakan dan tuhan bukanlah sebagai pencita. Karena alam diciptakan dari tiada
sehingga ia tidak qadim.
4. Kritik al-Ghazali tentang teori emanasi, erat hubungannya dengan pemahamannya
sebagai seorang tokoh Asy’ary yang bertolak dari kekuasaan dan kehendak mutlak
Allah. Dan menurutnya, perbedaan ini merupakan hal yang lumrah karena filosof
muslim bertolak dari rasio, sedang al-Ghazali bertolak dari empirik keagamaan.
Menurut Harun Nasution, kritik al-Ghozali terhadap filsafat emanasi para filosof
Islam hanya berkisar pada kurang lurusnya pendapat para filosof itu. Ia menuduh mereka
merendahkan derajat Tuhan dan meninggikan derajat akal-akal, karena Tuhan dalam
paham emanasi berpikir hanya tentang zat-Nya dan mewujudkan hanya yang berbilang
satu. Sedang akal-akal selain berpikir tentang dirinya juga berpikir pula tentang yang ada
di luar dirinya dan mewujudkan yang terbilang banyak. Pandangan emanasi ini, kata al-
Ghazali, menghilangkan keagungan Allah Swt dan membuat Tuhan dekat pada keadaan
mati. Namun demikian, filsafat emanasi, dalam pendapatnya tidak sampai membawa
kepada kekufuran.

D. Kausalitas Dan Mukjizat


Kausalitas (sebab akibat), merupakan salah satu masalah pokok yang sangat
bernuansa filosofis-metafisis yang menjadi perdebatan antar ulama ahli Kalam
(mutakallimun) yang perlu dibahas di sini untuk menambah hazanah pemikiran dan
pemikiran keislaman kita. Dalam al-Qur’an, Kausalitas secara eksplisit disebutkan dalam
kisah Zulkarnain. "Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka)
bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu" ,
"maka diapun menempuh suatu jalan."  (QS. al-Kahfi 84-85).
Di dalam salah satu karya monumentalnya,tahafutal-falasifah, Al-Ghazali
menempatkan hukum kausalitas pada urutan ke-17 dari 20 butir pandangan filsafat yang
dikomentarinya. Ia mengatakan bahwa keterkaitan sesuatu yang diyakini
sebagai“akibat”dari kebiasaan (al-‘adah) tidaklah bersifat “pasti” (dharuri).Tidak ada
kepastianpada salah satunya, baik pada apa yang disebut “sebab” atau pun “akibat”.
Tidak adasesuatu penegasian untuk menegasikan yang lain yang dapat dikatakan “pasti”.
Umpamanya, hubungan antara hilangnya rasa haus dengan minum, kenyang danmakan,
proses terjadinya kebakaran dan bertemunya api dengan benda yang dapatmenerima
proses pembakaran; cahaya dan terbitnya matahari, mati dan terputusnya urat nadi pada
leher; sembuh dan tindakan minum obat dan seterusnya, semua terjadi sebagaiakibat dari
takdir Tuhan dan sama sekali bukan terjadi dengan sendirinya. Jelasnya,hubungan
masing-masing dari dua fenomena di atas yang terjadi secara beriringan bukanlah
disebabkan oleh atau pada dirinya sendiri.
Karena itu, tidak pula dapat dikatakan bahwa fakta yang terjadi sebagai suatu keharusan
(dharuri), sebab Tuhan mampu menciptakan rasa kenyang tanpa makan, menciptakan
kematian tanpa terputusnya leher dari badan danseterusnya.
Yang disangkal Al-Ghazali di sini adalah anggapan bahwa sifat-sifat khusus pada
alam (thabi’ah) berfungsi dengan sendirinya tanpa ada kaitan dengan Tuhan. Hubungan
keterkaitan inilah yang diputus para filosof muslim. Karena al-Ghazali memandang
bahwasifat khusus pada alam tidak dapat terlepas dari qudrah Nya, maka bagaimana
mungkin, api misalnya, sebagai benda mati, dapat membakar sebuah benda yang berada
di dekatnya,dengan kehendak api itu sendiri. Ini tidaklah mungkin terjadi.

Perbeadaan pendapat al-Ghazali VS Ibnu Rusyd terkaitan kaitan mukijzat dengan


hukum kausalitas
Menurut Al-Ghazali bahwa kertas dan api, jika bertemu, bisa terbakar bisa tidak,
tergantung iradah (keinginan) Allah. Sedangkan Ibnu Rusyd, dengan hukum
kausalitasnya, maka jika api ditemukan dengan kertas, secara alami kertas ini akan
terbakar. Teori yang dipakai Ibnu Rusyd ini seperti teori positivistik (quantitatif),
sehingga A+B=C, B+A=C. Sementara Al-Ghazali, A+B belum tentu C, menggunakan
teori relativitas.
jika referensi kepada beberapa pendapat Mutakallimun di atas, bahwa Kausalitas
adalah hukum alam, dan hukum alam adalah Sunnatullah. Kalau kita hubungkan dengan
Mukjizat (miracle), asus Nabi Ibrahim AS, ketika dibakar oleh raja Namrud, ia tidak
terbakar, maka kalau kita menggunakan teori positivistiknya Ibnu Rusyd hasilnya,
mukjizat nabi Ibrahim menjadi lebih clear. Karena, kertas (atau sejenisnya) dengan api,
pasti terbakar. Ketika Nabi Ibrahim tidak terbakar, berarti di situ ada hukum baru yang
dapat melampui hukum alam. Maka dia lebih unggul dari hukum yang berlaku di alam ini
yang sifatnya umum (in general). Kalau kita melihat dari sisi types of realities, Mukjizat
ini memang tupoksinya ilmu Theology (ushuluddin), yang notabenenya masuk kategori
non empirical sciences/ non human ideas namun teori positivistik yang biasa dipakai
dalam hard sciences/ natural sciences ini sangat relevan untuk mengkaji Mukjizat.
Setelah melihat beberapa argumen tentang Kausalitas, dan sebab-sebab yang mendasari
perbedaan  pendapat di antara ulama’ Kalam (Mutakallimun),
baik yang percaya dan yang menolak hukum Kausalitas tersebut, di sini dapat saya
simpulkan bahwa ulama’ yang menerima adalah mereka yang percaya dengan Qanun
Thabi’i (natural law) yang selanjutnya disebut dengan Sunnatullah yang notabenenya
telah fix. Sehingga hukum tersebut sifatnya umum (general). Jika terdapat pengecualian,
maka di situ sudah melibatkan campur tangan Yang Mahamutlak (Tuhan) dan merupakan
pengecualian yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu pada waktu-waktu tertentu.
Itulah yang diteorikan para filsuf Muslim seperti Ibnu Rusyd, dan lain-lain.Sementara
yang menolak, seperti para pendukung Madzhab Asy’ariyah, lebih kepada pemahaman
bahwa kosmos dan kosmik itu tidak ada apa-apanya tanpa kehendak Tuhan. Di sini
Tuhan menjadi center of gravity dari setiap pemikirannya.
Menurut saya, pendapat yang pertama lebih menarik. Sehingga Mukjizat jelas
terlihat sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Nampak kalau itu merupakan sesuatu yang
betul-betul extra-ordinary. Hukum yang melampaui segala hukum yang berlaku.
Pendapat kedua, seperti yang disampaikan oleh Al-Ghazali, menurut saya, ketika
dikorelasikan dengan kisah Mukjizat para nabi, terlihat hampir tidak ada perbedaan yang
menyolok. Karena, baik orang awam, maupun orang-orang yang istimewa, seperti Nabi,
berada dalam satu kemungkinan “ya” dan “tidak”.

Anda mungkin juga menyukai